PROSIDING SNIPS 2016
Profil Keterampilan Memecahkan Masalah Siswa Sekolah Menengah Pertama dalam Penerapan Ekstrakulikuler IPA Berbasis STEM Hira Amalia Purnama1,a), Irma Rahma Suwarma1,b) dan Didi Teguh Chandra1,c) 1
Program Studi Pendidikan Fisika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudhi no. 229 Bandung, Indonesia, 40154 a)
[email protected] (corresponding author) b)
[email protected] c)
[email protected]
Abstrak Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat memaksa kita untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang memiliki berbagai keterampilan agar mampu menjawab berbagai tantangan abad 21. Berdasarkan National Research Council, salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh generasi abad 21 adalah keterampilan memecahkan masalah. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2012 untuk siswa Indonesia kelas VIII (sekolah menengah) menunjukkan bahwa keterampilan memecahkan masalah yang dimiliki oleh siswa Indonesia masih tergolong rendah sehingga dibutuhkan suatu perubahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterampilan memecahkan masalah siswa Sekolah Menengah Pertama dalam penerapan ekstrakulikuler IPA berbasis Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM). Penelitian dilakukan di salah satu SMP di Kota Bandung dengan metode quasi experimental design dan desain penelitian one group pretest and posttest design. Keterampilan memecahkan masalah diukur dengan menggunakan beberapa contoh pertanyaan dari OECD’S PISA Assessments. Terdapat tujuh indikator keterampilan memecahkan masalah yang diukur melalui OECD’S PISA Assessments. Berdasarkan hasil pengolahan data pretes yang telah dilakukan, profil awal keterampilan memecahkan masalah siswa SMP yaitu: mengidentifikasi isu-isu ilmiah 33,08%; mengevaluasi bukti ilmiah secara kritis 34,78%; menerapkan pengetahuan ilmiah ke dalam situasi sekarang 56,52%; menjelaskan fenomena-fenomena secara ilmiah 39,20%; mendemonstrasikan pengetahuan dan pemahaman 30,43%; mengkomunikasikan kesimpulan yang sah berdasarkan bukti/data 22,93%; menggambarkan atau mengevaluasi kesimpulan 13,04%. Kata-kata kunci: Ekstrakulikuler IPA berbasis STEM, Keterampilan Memecahkan Masalah
PENDAHULUAN Pada abad 21 ini perubahan terjadi di setiap sektor kehidupan. Pengetahuan tumbuh secara eksponensial bersamaan dengan teknologi yang secara berkesinambungan merubah cara kita hidup dan bekerja. Perubahan apapun yang terjadi pada masa sekarang maupun nanti, kita dan generasi penerus bangsa selanjutnya harus mampu menjawab berbagai tantangan ini. Agar dapat menjawab tantangan tersebut, maka National Research Council (NRC) [2] menyebutkan berbagai keterampilan yang harus dimiliki oleh generasi abad ke 21, yaitu adaptability, complex communication skill/social skill, non-routine problem solving skill, self-management/self-development, dan system thinking.
ISBN: 978-602-61045-0-2
21-22 JULI 2016
411
PROSIDING SNIPS 2016 Salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh generasi abad ke 21 adalah keterampilan memecahkan masalah. Sedangkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) [4] untuk kelas VIII menunjukkan skor sains dibawah rata-rata Economic Co-operation and Development (OECD). Hasil skor sains pada PISA berhubungan erat dengan skor keterampilan memecahkan masalah [5]. Skor sains yang rendah menunjukkan bahwa skor keterampilan memecahkan masalah juga rendah. Maka berdasarkan hasil skor sains siswa Indonesia yang tergolong rendah menunjukkan bahwa keterampilan memecahkan masalah siswa Indonesia juga tergolong rendah. Rodger W. Bybee [1] menyebutkan bahwa pendidikan anak dari mulai Taman Kanak-Kanak hingga menginjak kelas XII di Sekolah Menengah Atas memberikan pengaruh pada kehidupan dan pekerjaan anak tersebut kelak. Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam menghasilkan generasi penerus bangsa. Di negara-negara maju, salah satu solusi yang mereka kembangkan melalui pendidikan adalah penerapan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berbasis pendidikan sains, teknologi, engineering, dan matematika (STEM). Pembelajaran IPA berbasis pendidikan STEM merupakan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan berdasarkan hasil integrasi empat bidang ilmu yaitu Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika sehingga siswa dapat memahami suatu masalah dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sisi sains saja. Bybee [1] menjelaskan bahwa pendidikan STEM memberikan pengalaman kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki ke dalam situasi kehidupan pribadi dan sosial mereka yang relevan. Selain itu, keterampilan yang dibangun dalam pendidikan STEM ini sejalan dengan keterampilan yang harus dimiliki oleh generasi abad ke 21, yaitu non-routine problem solving skill. Namun, Bybee [1] juga menuliskan bahwa penerapan pembelajaran berbasis STEM di kelas interkulikuler bukanlah hal mudah, banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya, pengintegrasian teknologi dan engineering ke dalam proses pembelajaran dikarenakan kurikulum yang membatasi. Hal tersebut telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Suwarma [6] bahwa penerapan pembelajaran IPA berbasis STEM di kelas interkulikuler mengalami beberapa kendala diantaranya kurangnya buku sumber dan bahan ajar yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku di Indonesia, selain itu kebijakan pemerintah yang berganti mendorong perubahan kebijakan kurikulum sekolah khususnya dalam pengaturan jam dan konten materi IPA. Sehingga penerapan pembelajaran IPA berbasis STEM dilakukan di kelas Ekstrakurikuler.
TEORI Keterampilan Memecahkan Masalah PISA Assessments 2012 [5] mendefinisikan keterampilan memecahkan masalah sebagai keterampilan individu dalam menggunakan pengetahuan yang mereka miliki untuk memahami dan menyelesaikan situasi masalah dimana metode solusi pada masalah tersebut tidak dihadirkan secara jelas. Framework keterampilan memecahkan masalah PISA Assessments 2012 [5] menjelaskan terdapat tiga domain keterampilan memecahkan masalah yaitu nature of the problem situation, problem-solving process dan problem-solving context. Namun, pada penelitian ini dibatasi hanya pada domain problem-solving process saja. Pada domain ini terdapat empat aspek keterampilan memecahkan masalah yaitu menyelidiki dan memahami masalah, merepresentasikan masalah dan merumuskan solusi, merencanakan dan melaksanakan solusi, mengamati dan merefleksikan solusi. Aspek keterampilan memecahkan masalah mencakup indikator soal mengidentifikasi isu-isu ilmiah, dan mendemonstrasikan pengetahuan dan pemahaman. Aspek merepresentasikan dan merumuskan mecakup indikator soal menerapkan pengetahuan ilmiah ke dalam situasi sekarang, dan menjelaskan fenomena secara ilmiah. Aspek merencanakan dan melaksanakan mencakup mengevaluasi bukti ilmiah secara kritis, dan mengkomunikasikan kesimpulan yang sah berdasarkan bukti/data. Aspek mengamati dan merefleksikan mencakup menggambarkan atau mengevaluasi kesimpulan. Pendidikan Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika (STEM) Istilah STEM pertama kali digunakan oleh NSF (National Science Foundation) pada tahun 1990an sebagai sebuah akronim dari science, technology, engineering and mathematics. Pada awalnya, akronim pertama yang diajukan adalah SMET namun akronim ini memiliki konotasi negatif dengan kata smut. Kemudian diajukan akronim METS, tapi akronim ini juga kurang mendapat respon dari para anggota karena ada yang mengatakan bahwa ini adalah nama grup baseball Nasional di New York. Akhirnya muncullah akronim STEM dan semua anggota menyetujuinya karena banyak memiliki korelasi positif dengan bidang-bidang terkait. Ketika pertama kali STEM muncul dalam konteks pendidikan, banyak tanggapan yang muncul. Salah satunya dari para ilmuwan botani yang berpikir bahwa masyarakat sudah mulai menyadari pentingnya bagian terkecil dari tanaman. Sedangkan orang teknologi dan engineering merasa senang karena mereka berpikir bahwa
ISBN: 978-602-61045-0-2
21-22 JULI 2016
412
PROSIDING SNIPS 2016 itu berhubungan dengan suatu bagian dari jam tangan. Ahli karya seni anggur (wine) merasa antusias karena mereka pikir STEM ini adalah batang dari gelas anggur. Tidak ada satu pun pihak yang menyangka bahwa STEM ini merupakan akronim dari science, technology, engineering, dan mathematics. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Bybee [1] Scientists, Engineer, dan pengelola di sekolahsekolah belum paham mengenai definisi dan makna dari pendidikan STEM. Bahkan beberapa pengelola program STEM di sekolah pun masih belum paham makna dari akronim STEM. Pada kondisi ini, maka dibutuhkan definisi mengenai STEM. Bybee [1] menuliskan definisi mengenai STEM, Science merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang mempelajari alam semesta, fakta-fakta, fenomena serta keteraturan yang ada di dalamnya; Technology merupakan inovasi, perubahan, modifikasi dari lingkungan alam untuk memberi kepuasan terhadap keinginan dan kebutuhan manusia; Engineering: Design under constraint, engineers design solutions to problems; Mathematics: The study of any patterns or relationships. Ketika STEM dipandang dari sudut pandang pendidikan, STEM bukanlah hanya sebuah slogan/ akronim tapi mempunyai suatu tujuan dan pencapaian dalam pendidikan. Bybee [1] menjelaskan bahwa tujuan Pendidikan STEM (STEM Education) bagi semua siswa adalah menerapkan dan mempraktekan konten dasar dari STEM pada situasi yang mereka hadapi/temukan dalam kehidupan, menjadi melek STEM. Bybee [1] menjelaskan beberapa perspektif mengenai pendidikan STEM. Perspektif pertama STEM hanya berarti sains saja. Lalu yang selanjutnya STEM berarti sains dan matematika. Namun, perspektif yang paling kompleks adalah STEM yang merupakan intergrasi dari keempat bidang ilmu yaitu sains, teknologi, engineering, dan matematika. Ekstrakulikuler IPA Berbasis Pendidikan STEM Ekstrakulikuler IPA berbasis pendidikan STEM adalah kegiatan ekstrakulikuler yang seluruh kegiatannya dirancang dan dilaksanakan berdasarkan hasil integrasi empat bidang ilmu yaitu Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika. Tahapan pembelajaran yang dilakukan pada penelitian ini merujuk pada engineering design yang dikeluarkan oleh Next Generation Science Framework (NGSS) [3]. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi Masalah 2. Bertukar Pikiran 3. Desain
METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterampilan memecahkan masalah siswa di kelas yang diberikan treatment yaitu ekstrakulikuler IPA berbasis STEM. Penelitian ini hanya dilakukan pada satu kelas sebagai kelas eksperimen, tanpa adanya kelas pembanding (kelas kontrol) sehingga termasuk ke dalam metode quasi experimental design. Desain penelitian yang digunakan adalah Pretest and Posttest Group. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII di salah satu SMP di Kota Bandung. Mayoritas siswa berusia 14-15 tahun. Sampel penelitian ini adalah kelas ekstrakulikuler IPA di SMP yang diteliti. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sample. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes. Instrumen tes berupa beberapa contoh soal dari OECD’S PISA Assessments. Soal ini digunakan untuk mengukur keterampilan memecahkan masalah siswa dalam beberapa indikator yang merujuk pada indikator keterampilan memecahkan masalah menurut PISA. Soal yang diberikan berupa soal pilihan ganda dan essay. Banyaknya soal pilihan ganda berjumlah dua soal mengenai topik latihan fisik, empat soal mengenai asap tembakau, empat soal mengenai adonan roti, satu soal mengenai ozon, dan dua soal mengenai keanekaragaman hayati. Sedangkan untuk soal essay berjumlah tiga soal yang terdiri dari satu soal mengenai latihan fisik dan dua soal mengenai ozon. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap analisis data. Pada tahap persiapan, langkah yang pertama dilakukan adalah menganalisis materi IPA yang sudah dipelajari di dalam kelas interkulikuler yang sesuai dengan topic yang akan dibahas di kelas ekstrakulikuler, lalu melakukan diskusi mengenai penerapan ekstrakulikuler IPA berbasis pendidikan STEM bersama dengan guru-guru yang mengajar di kelas tersebut dan membuat modul pembelajaran untuk topik yang telah dipilih, kemudian memilih soal yang akan digunakan untuk mengukur keterampilan memecahkan masalah, dan langkah terakhir yaitu menyiapkan media pembelajaran. Pada tahap pelaksanaan, langkah yang dilakukan adalah melakukan pretest, pelaksanaan kegiatan ekstrakulikuler IPA berbasis pendidikan STEM, dan melakukan posttest. Tahap terakhir yaitu tahap analisis data diawali dengan melakukan pengolahan data pretest dan posttest lalu mengambil kesimpulan berdasarkan hasil pengolahan data yang didapatkan dan analisisnya.
ISBN: 978-602-61045-0-2
21-22 JULI 2016
413
PROSIDING SNIPS 2016 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan framework keterampilan memecahkan masalah PISA Assessments 2012 pada domain problemsolving process terdapat empat aspek keterampilan memecahkan masalah yaitu menyelidiki dan memahami, merepresentasikan dan merumuskan, merencanakan dan melaksanakan, mengamati dan merefleksikan. Setiap aspek memiliki indikator soal masing-masing. Di bawah ini gambar grafik persentase profil awal keterampilan memecahkan masalah pada setiap aspek.
Persentase Porfil Awal Keterampilan Memecahkan Masalah
Grafik Persentase Profil Awal Keterampilan Memecahkan Masalah 70,00
60,84
60,00 50,00 40,00
39,58
36,44
30,00
20,00
20,00 10,00 0,00 Menyelidiki dan Memahami
Merepresentasikan Merencanakan dan dan Merumuskan Melaksanakan
Mengamati dan Merefleksikan
Aspek Keterampilan Memecahkan Masalah
Gambar 1. Grafik Persentase Profil Awal Keterampilan Memecahkan Masalah
Berdasarkan grafik di atas persentase keterampilan memecahkan masalah yang paling rendah adalah aspek mengamati dan merefleksikan yaitu 20% sedangkan aspek yang persentasenya paling tinggi adalah merepresentasikan dan merumuskan 60,84%, setelah itu aspek menyelidiki dan memahami 39,58%, lalu aspek merencanakan dan melaksanakan 36,44%. Profil akhir keterampilan memecahkan masalah diukur dengan menggunakan instrument yang sama persis dengan instrument yang digunakan untuk mengukur profil awal keterampilan memecahkan masalah. Berikut gambar grafik persentase profil akhir keterampilan memecahkan masalah pada setiap aspek.
Presentase Porfil Akhir Keterampilan Memecahkan Masalah
Grafik Presentase Profil Akhir Keterampilan Memecahkan Masalah 80,00
70,93
70,00 55,00
60,00 50,00
45,67 36,50
40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 Menyelidiki dan Memahami
Merepresentasikan dan Merumuskan
Merencanakan dan Melaksanakan
Mengamati dan Merefleksikan
Aspek Keterampilan Memecahkan Masalah
Gambar 2. Grafik Persentase Profil Akhir Keterampilan Memecahkan Masalah
ISBN: 978-602-61045-0-2
21-22 JULI 2016
414
PROSIDING SNIPS 2016 Aspek keterampilan memecahkan masalah yang memiliki nilai persentase paling tinggi adalah aspek merepresentasikan dan merumuskan yaitu 70,93%, lalu aspek mengamati dan merefleksikan 55%, aspek menyelidiki dan memahami 45,67%, dan yang paling kecil adalah aspek merencanakan dan melaksanakan 36,50%. Berdasarkan kedua grafik persentase keterampilan memecahkan masalah siswa di atas, berikut grafik persentase profil awal dan profil akhir keterampilan memecahkan masalah siswa.
Persentase Porfil Keterampilan Memecahkan Masalah
Grafik Persentase Profil Awal dan Akhir Keterampilan Memecahkan Masalah 80,00
70,93
70,00
60,84
60,00
55,00 45,67
50,00 40,00
39,58
36,44 36,50
30,00 20,00 20,00 10,00 0,00 Menyelidiki dan Memahami
Merepresentasikan dan Merumuskan
Merencanakan dan Melaksanakan
Mengamati dan Merefleksikan
Aspek Keterampilan Memecahkan Masalah
Gambar 3. Grafik Persentase Profil Awal dan Profil Akhir Keterampilan Memecahkan Masalah
Berdasarkan gambar 3. dapat dilihat bahwa profil keterampilan memecahkan masalah pada setiap aspek mengalami peningkatan setelah diterapkannya ekstrakulikuler IPA berbasis STEM. Namun, setiap aspek keterampilan memecahkan masalah mengalami peningkatan yang berbeda-beda. Peningkatan yang tertinggi adalah aspek mengamati solusi dan merefleksikan yaitu dengan perbedaan persentase sebesar 35%. Setelah itu aspek merepresentasikan masalah dan merumuskan solusi memiliki perbedaan persentase 10,09% dan aspek menyelidiki dan memahami masalah 6,09%. Aspek keterampilan memecahkan masalah yang memiliki nilai perbedaan persentase yang paling kecil adalah aspek merencanakan dan melaksanakan solusi yaitu 0,06%. Hal tersebut dapat terjadi diduga karena pada project STEM yang dilakukan pada penelitian ini siswa tidak sampai membuat produk, siswa hanya diminta membuat proposal dan desain dari project nya sebagai solusi dari masalah yang mereka temukan sehingga peningkatan keterampilan memecahkan masalah pada aspek merencanakan dan melaksanakan solusi ini tidak begitu signifikan. Selain itu, seiring dengan waktu motivasi siswa dalam melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler ini semakin menurun sehingga berdampak terhadap perubahan keterampilan memecahkan masalah siswa.
KESIMPULAN Persentase keterampilan memecahkan masalah siswa pada setiap aspek mengalami peningkatan dari profil awal ke profil akhir. Pada aspek menyelidiki dan memahami masalah perubahan persentase sebesar 6,09%, aspek merepresentasikan masalah dan merumuskan solusi 10,09%, aspek merencanakan dan melaksanakan solusi 0,06%, sedangkan pada aspek mengamati dan merefleksikan 35%. Aspek mengamati dan merefleksikan memiliki persentasi peningkatan yang paling tinggi dibandingkan ketiga aspek keterampilan memecahkan masalah lainnya, terutama apabila kita bandingkan dengan aspek merencanakan dan melaksanakan solusi.
REFERENSI 1.
Bybee, Rodger W. (2013). The Case for STEM Education: Challenges and Opportunities. Arlington, Virginia: National Science Teachers Association Press.
ISBN: 978-602-61045-0-2
21-22 JULI 2016
415
PROSIDING SNIPS 2016 2.
3.
4. 5. 6.
National Research Council. (2011). Successful K-12 STEM Education: Identifying Effective Approaches in Science, Technology, Engineering, and Mathematics. Committee on Highly Successful Science Programs for K-12 Science Education. Board on Science Education and Board on Testing and Assessment, Division of Behavioral and Social Sciences and Education. Washington, DC: The National Academies Press. National Research Council. (2012). A Framework for K-12 Science Education: Practices, Crosscutting Concepts, and Core Ideas. Committee on a Conceptual Framework for New K-12 Science Education Standards. Board on Science Education, Division of Behavioral and Social Sciences and Education. Washington, DC: The National Academies Press. OECD. (2014). PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can do with what they know. OECD Publishing. OECD. (2014). PISA 2012 Results: Creative Problem Solving: Students’ Skills in Tackling Real-Life Problems (Volume V). PISA. OECD Publishing. Suwarma, Irma Rahma. (2015). Research on STEM Education Implementation Method in Japan and Indonesia using Multiple Intelegences Aprroach. Disertasi Program Doktor Shizuoka University
ISBN: 978-602-61045-0-2
21-22 JULI 2016
416