Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
69
OPTIMALISASI PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH MENENGAH BERBASIS KETERAMPILAN PROSES: SEBUAH PERSPEKTIF GURU IPA-BIOLOGI
Yanur Setyaningrum1; Husamah2 1
SMP Muhammadiyah 1 Malang, e-mail:
[email protected] 2 Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang, e-mail:
[email protected]
Abstract:Inappropriate characters affected by moral degradation cannot be seperated from education. Many people argue that those characters are originated from the world education. School as a formal institution in educational system can be a place where the inappropriate characters come from. It happens because schools give more attention to on intellectual purpose other than others. This brings a moral message that the teachers have not only to educate the students by transfering their knowledge, but also pay attention to their characters development. Character education can be introduced to the students through any subjects. One of them is Biology. The teaching and learning Biology is believed to be able to support character education. This article aims at introducing character education through implementing process skill based - Biology teaching and learning. The students in Biology classes will be benefited by this implementation because the students will involve in teaching and learning process intelectually, manually, and socially. Besides, they will develop scientific attitudes such as honest, patience, openess, carefulness, independence, care, and discipline. Those attitudes affected by process skill based - Biology teaching and learning can be the basis to develop student strong characters. Key words: character education, process approach, biology
Dunia pendidikan dewasa ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang dengan sangat cepat khususnya pergeseran aspek nilai dan moral dalam kehidupan masyarakat. Dekadensi moral dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa merupakan contoh bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan. Selain perilaku kekerasan, isu-isu moralitas di kalangan remaja seperti penggunaan narkotika, pornoaksi, tawuran pelajar, free sex, aborsi, perkosaan, perampasan, pencurian, pembunuhan, dan tindakan-tindakan amoral lainnya sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Beberapa data dapat digunakan untuk menggambarkan bahwa betapa dekadensi moral
dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa merupakan contoh bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Pertama, perilaku free sex remaja. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melaporkan bahwa 51% remaja di Jabodetabek telah melakukan seks pranikah. Beberapa wilayah lain di Indonesia melaporkan bahwa seks pranikah juga dilakukan remaja, misalnya saja di Surabaya tercatat 54%, di Bandung 47%, dan di Medan 52%. Data ini tidak jauh berbeda dengan data yang dilansir sebelumnya oleh Komnas Pelindungan Anak, PKBI, BKKBN pada tahun 2009 di mana 62,7% remaja mengaku pernah melakukan hubungan seks pranikah, 21,2% remaja pernah aborsi, 93,7%, remaja SMPSMA pernah melakukan ciuman serta oral seks, dan 97,0% remaja SMP-SMA pernah menonton
70
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
film porno (Indarini, 2010). Hasil survei BKKBN-LDFE Universitas Indonesia memperlihatkan di Indonesia terjadi 2,4 juta kasus aborsi per tahun dan sekitar 21%-nya dilakukan oleh remaja. Angka penyakit menular seksual (PMS) pada remaja mencapai 4,18%, 50% dari jumlah penderita HIV/AIDS di Jabar berusia sekisar 15-29 tahun dan pengguna narkoba mencapai 2.736 orang (Muhtar, 2010). Kedua, jumlah pemakai narkoba di Indonesia mencapai 3,6 juta orang atau 2% dari jumlah penduduk (Kompas, 2010). Ironisnya, 78% dari jumlah pengguna narkoba adalah remaja atau pelajar (Malik, 2007). Ketiga, kasus korupsi dari pusat sampai daerah. Kasus korupsi di Indonesia-baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif- tidak jelas kapan akan selesai. Beberapa kasus yang menarik perhatian publik adalah BLBI (Rp. 138,4 triliun), HPH dan Dana Reboisasi (Rp. 15,025 triliun), Bank Century (Rp. 6,7 triliaun) dan Kasus Mafia Pajak Gayus Tambunan. Selain itu, total laporan korupsi seluruh Indonesia mencapai 40 ribu kasus. Pemerintah pun telah berhasil menertibkan 39.477 rekening keuangan negara dengan potensi penyelamatan sebesar Rp. 35,92 triliun, US$ 237,94 juta, dan € 2,86 juta (Berita Indonesia, 2010; Masduki, 2010). Kasus korupsi semakin menggurita akibat maraknya mafia kasus, mafia pajak, money laundering dan upaya kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemeringkatan yang dilakukan Transparency Internasional atau PERC, secara konsisten menempatkan Indonesia ke dalam kelompok negara terkorup, di mana dalam skala PERC 0 sampai 10 posisi Indonesia hanya 2,8 (PKS Bojonggede, 2009). Berbagai permasalahan bangsa sebagaimana disebutkan di atas harus segera diakhiri. Sejatinya semua pihak perlu introspeksi diri, segera mencari solusi jitu dan terlibat secara intensif. Salah satu solusi yang sangat tepat adalah dengan optimalisasi penerapan pendidikan karakter di sekolah menengah. Pola pendidikan saat ini hanya menghasilkan siswa yang kehilangan kepekaan sosial (sence of social crisis) atau kehilangan kasadaran budi nurani manusia (social consciousness of men). Siswa hanya memiliki kemampuan teknis (skill)
dan menjadi manusia “siap pakai” layaknya robot (Ghopur, 2010). Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana (Dimyati, 2010). Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Dunia pendidikan, sesungguhnya memberikan kontribusi paling besar terhadap situasi ini. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih meninikberatkan pada pengembangan intelektual semata. Aspek-aspek lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian (Koesoema, 2007; Koesoema, 2009). Kondisi ini menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan karakter pada para siswa. Salah satunya melalui pembelajaran biologi yang dinilai sangat mendukung penguatan karakter siswa. Menurut Juniarso (2010) pembelajaran biologi sebagai subsistem pendidikan nasional memberi kontribusi penting dalam pembentukan karakter siswa. Sedangkan karakter sebagai hasil dari pendidikan membawa arti penting dalam kehidupan yang sesungguhnya di masyarakat. Karena itu penting sekali memahami nilai karakter yang dilaksanakan dalam pembelajaran biologi. Menurut Dwikoranto (2010) pembelajaran biologi yang benar akan mengarahkan siswa untuk memiliki karakter-karakter diantaranya berupa kecermatan, disiplin, kejujuran, ketekunan, berpikir kritis, bertanggungjawab, dan saling bekerja sama. Hal ini menjadi tantangan bagi para guru untuk mengupayakan bagaimana melakukan pembelajaran yang menitikberatkan pada proses penyempurnaan manusia atau memanusiakan manusia (to be a human) dan mengartikan hidup (enoble life). Spiritualisme yang dilaksanakan dalam pendidikan berorientasi praktik riil seorang guru dan siswa untuk menyempurnakan proses menuju kematangan hidupnya. Pada akhirnya yang diinginkan adalah dimensi spiritual yang mapan dalam diri setiap siswa. Siswa tidak
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
hanya mampu menangkap pesan lahiriah dari apa yang ia pelajari, namun lebih dari itu siswa juga mampu memproyeksikan pesan esoterik dari setiap teori yang ia pelajari. Sehubungan dengan itu, menurut Sudarisman (2010) fenomena merosotnya nilai-nilai perilaku peserta didik secara khusus dalam hubungannya dengan pembelajaran biologi disebabkan karena pemahaman guru yang kurang benar terhadap biologi itu sendiri. Biologi sejauh ini belum diajarkan sesuai hakikat pembelajarannya yang mengacu pada proses dan produk melainkan hanya sebagai produk (content). Oleh karena itu, artikel ilmiah ini akan memfokuskan pembahasan pada optimalisasi penerapan pendidikan karakter di sekolah menengah berbasis keterampilan proses. PEMBAHASAN Karakter dan Pendidikan Karakter Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter akan membentuk motivasi, pada saat yang sama dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral (Sirajuddin, 2010). Koesoema (2007) mengatakan bahwa karakter yang baik diketahui melalui “respon” yang benar ketika kita mengalami tekanan, tantangan dan kesulitan. Karakter berkualitas adalah sebuah respon yang sudah teruji berkalikali dan telah berbuahkan kemenangan. Seseorang yang berkali-kali melewati kesulitan dengan kemenangan akan memiliki kualitas yang baik. Tidak ada kualitas yang tidak diuji. Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar, keyakinan, wawasan, motivasi hidup dan perjalanan. Karakter yang dapat membawa keberhasilan yaitu empati, tahan dan beriman.
71
Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte. Pendidikan karakter akan memberikan bantuan sosial agar individu dapat tumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain di dunia (Koesoema, 2007). Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Lickona (2007) tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Williams & Schnaps (1999) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “Any deliberate approach by which school personnel, often in conjunction with parents and community members, help children and youth become caring, principled and responsible”. Maknanya kurang lebih pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab. Lebih lanjut Williams (2000) menjelaskan bahwa makna dari istilah pendidikan karakter tersebut awalnya digunakan oleh National Commission on Character Education (di Amerika) sebagai suatu istilah payung yang meliputi berbagai pendekatan, filosofi, dan program. Pemecahan masalah, pembuatan keputusan, penyelesaian konflik merupakan aspek yang penting dari pengembangan karakter moral. Oleh karena itu, di dalam pendidikan karakter semestinya memberikan kesempatan ke pada siswa untuk mengalami sifat-sifat
72
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
tersebut secara langsung. Secara khusus, tujuan pendidikan moral adalah membantu siswa agar secara moral lebih bertanggung jawab, menjadi warga negara yang lebih berdisiplin (McBrien & Brandt, 1997). Pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan di tengah gempa multidimensional yang mengancam dan bahkan sedikit demi sedikit menghancurkan sendi-sendi bangsa. Namun, pendidikan karakter hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh, menyeluruh, menyatu dan melibatkan semua sumberdaya yang terkait (integral-holistik). Bahkan, pendidikan karakter yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat kontraproduktif bagi pembentukan karakter siswa. Menurut Abdullah (2010) sifat pendidikan karakter adalah multidimensi dan multidisiplin, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antar berbagai disiplin ilmu, dan tidak sektoral-parsial. Pendidikan karakter mengasumsikan keterkaitan erat antara dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum, agama, budaya, dan estetika. Ironisnya, menurut Koesoema (2010a) pendidikan karakter yang selama ini banyak bicarakan dipahami secara sempit. Pendidikan karakter integratif-holistik menurut hemat penulis haruslah didasarkan minimal kepada pilar, basis desain, dan kunci sukses. Pertama, pilar pendidikan karakter. Menurut Foerster dalam Koesoema (2007) ada empat pilar yang menjadi ciri dasar pendidikan karakter. (1) keteraturan interior: setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. (2) koherensi: memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. (3) otonomi: seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. (4) keteguhan dan kesetiaan: keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik; kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Kematangan keempat karakter ini memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas, antara independensi eksterior dan interior. Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya. Kedua, basis desain. Menurut Koesoema (2010b) pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. (1) Desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai guru dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi gurupembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas dan konsensus kelas yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman. (2) Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter siswa dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. (3) Desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter hanya menjadi wacana semata. Ketiga, kunci sukses pendidikan karakter. Kunci sukses ini terdiri dari dua hal yaitu: (1) dari knowing menuju doing. Kilpatrick (1992) menyebutkan salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing) adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing). Berangkat dari pemikiran ini maka kesuksesan pendidikan karakter sangat bergantung pada ada tidaknya knowing, loving, dan doing atau acting dalam penyelenggaraan pendidikan karakter. Moral knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Selanjutnya moral loving atau Moral Feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri, empati, cinta kebenaran, pengendalian diri, dan kerendahan hati. Setelah dua aspek tadi terwujud, maka moral acting sebagai outcome akan dengan mudah muncul dari para siswa. (2) Identifikasi Karakter. Pendidikan karakter tanpa identifikasi karakter hanya akan menjadi sebuah perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa peta. Organisasi manapun di dunia ini yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan karakter harus mampu mengidentifikasi karakter-karakter dasar yang akan menjadi pilar perilaku individu. Megawangi & Williams (2007) merumuskan delapan karakter dasar yang menjadi tujuan pendidikan karakter. Delapan karakter tersebut adalah; (1) cinta kepada Tuhan dan semesta beserta isinya, (2) tanggung jawab, disiplin dan mandiri, (3) jujur, (4) hormat dan santun, (5) kasih sayang, peduli, dan kerja sama, (6)
73
percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, (7) keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, dan (8) toleransi, cinta damai dan persatuan. Karakter dalam Biologi Salah satu tujuan biologi adalah memberikan penguatan atau memberikan bekal tentang sikap ilmiah kepada siswa. Pembelajaran biologi mengandung empat unsur yaitu sikap, proses, produk dan aplikasi, sehingga siswa diharapkan tidak hanya memiliki pengetahuan namun juga menguasai proses ilmiah dan dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh. Aplikasi itu dilakukan melalui sikap ilmiah yang jujur, menyadari tentang adanya keteraturan di jagad raya yang memiliki hukum alam tak terbantahkan serta menyadari keterbatasan manusia dan kehebatan Sang Pencipta (Unijianto, 2009). Menurut Muslich (2008) sikap ilmiah merupakan sikap yang harus ada pada diri seorang ilmuwan dan akademisi termasuk guru dan siswa ketika menghadapi persoalanpersoalan ilmiah. Sikap ilmiah ini perlu dibiasakan. Sikap-sikap ilmiah yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Sikap ingin tahu. Sikap ingin tahu ini terlihat pada kebiasaan bertanya tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bidang kajiannya. Mengapa demikian? Bagaimana caranya? Apa saja unsur-unsurnya? 2) Sikap kritis. Sikap kritis ini terlihat pada kebiasaan mencari informasi sebanyak mungkin berkaitan dengan bidang kajiannya untuk dibanding-banding kelebihankekurangannya, kecocokan-tidaknya, kebenaran-tidaknya, dan sebagainya. 3) Sikap terbuka. Sikap terbuka ini terlihat pada kebiasaan mau mendengarkan pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain, walaupun pada akhirnya pendapat, argumentasi, kritik, dan keterangan orang lain tersebut tidak diterima karena tidak sepaham atau tidak sesuai. 4) Sikap objektif. Sikap objektif ini terlihat pada kebiasaan menyatakan apa adanya, tanpa diikuti perasaan pribadi.
74
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
5) Sikap rela menghargai karya orang lain. Sikap menghargai karya orang lain ini terlihat pada kebiasaan menyebutkan sumber secara jelas sekiranya pernyataan atau pendapat yang disampaikan memang berasal dari pernyataan atau pendapat orang lain. 6) Sikap berani mempertahankan kebenaran. Sikap ini menampak pada ketegaran membela fakta dan hasil temuan lapangan atau pengembangan walapun bertentangan atau tidak sesuai dengan teori atau dalil yang ada. 7) Sikap menjangkau ke depan. Sikap ini dibuktikan dengan selalu ingin membuktikan hipotesis yang disusunnya demi pengembangan bidang ilmunya. Sikap ilmiah tidak hanya terkait dengan pola pikir ilmiah, tetapi juga emosi (afektif) dan sikap perilaku (psikomotor). Sikap ilmiah yang dimaksud antara lain (Saukah, 2000; Wiyono, 2009): 1) Hasrat ingin tahu dan belajar terus menerus. Perkembangan ilmu pengetahuan selalu didorong oleh hasrat ingin tahu (curiosity) yang merupakan sifat dasar manusia dan sebuah tindakan (action) berupa belajar terus menerus. Kedua faktor ini menjadi pembeda antara akademisi dengan komunitas lain dalam kehidupan masyarakat. 2) Daya analisis yang tajam. Setiap permasalahan membutuhkan analisis tajam untuk menentukan ketepatan dan kebenaran sebuah tindakan dari hasil pemecahan masalah. Analisis yang tajam juga diperlukan jika menghadapi variasi dan banyaknya masalah agar solusi yang diberikan tepat, kreatif dan inovatif. 3) Jujur dan terbuka Kejujuran dan keterbukaan menjadi kunci pembuka berkembangnya ilmu pengetahuan serta ciri pribadi yang sehat dan matang. Hilangnya kejujuran dan keterbukaan akan menyebabkan mundurnya ilmu pengetahuna, berkembangnya perilaku negatif dan terhentinya
pemikiran-pemikiran baru yang kreatif dan inovatif. 4) Kritis terhadap pendapat berbeda Perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang wajar dan alamiah karena adanya kemajemukan pola pikir dan kepribadian manusia. Perbedaan akan meningkatkan daya kritis jika disikapi dengan sikap positif dan bertanggung jawab. Kritis terhadap perbedaan akan meningkatkan semangat untuk mencari solusi yang terbaik dan tujuan yang lebih baik. 5) Tanggung jawab yang tinggi Setiap guru mempunyai tanggungjawab sesuai peran dan fungsinya. Pelaksanaan tanggung jawab ini akan menentukan keberhasilan. Tanggung jawab yang dimiliki tidak hanya terkait dengan internal tetapi juga ekternal (lingkungan global). 6) Bebas dari prasangka Prasangka akan mempengaruhi pelaksanaan tugas dan t anggung jawab yang diemban. Prasangka memiliki dampak terhadap kondisi fisik dan psikologis seseorang. Selain itu, prasangka dapat melemahkan upaya untuk mencapai tujuan, menyebabkan konflik dengan diri sendiri dan orang lain (intrapersonal dan interpersonal). 7) Menghargai nilai, norma, kaidah dan tradisi keilmuan Salah satu tradisi keilmuan yang tetap dikembangkan adalah adanya kebebasan mimbar akademik, kebebasan berpikir, dan berpendapat serta nilai keterbukaan dalam mengembangkan keilmuan. Penghargaan terhadap nilai, norma, kaidah dan tradisi keilmuan merupakan ciri kepribadian sehat dan matang dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Pembelajaran biologi juga perlu memberikan penguatan pada karakter sumberdaya manusia (SDM). Ciri-ciri karakter SDM yang kuat meliputi: (1) religius, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang taat beribadah, jujur, terpercaya, dermawan, saling tolong menolong, dan toleran; (2) moderat, yaitu memiliki sikap hidup yang tidak radikal
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta mampu hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (3) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yang rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) mandiri, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai waktu, ulet, wirausaha, kerja keras, dan memiliki cinta kebangsaan yang tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai kemanusiaan universal dan hubungan antarperadaban bangsabangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44). Menurut Dedy (2010) biologi merupakan dorongan pada unsur pola dan cara berpikir melalui tatanan valid, true, reliable, verify, hypothesis, theory, law, principle, axioma, postulate dan proof. Bahasa dan nalar bekerja timbal balik saling mendorong mengembangkan biologi sebagai basis pemikiran untuk membimbing manusia menemukan hal-hal yang asli (original). Soelardjo dalam Dedy (2010) mengungkapkan bahwa biologi selalu dikaitkan dengan fakta nyata yang terjadi dari suatu proses alam maupun yang secara khusus dirancang. Teori dari biologi melekat pada rancangan proses, sedangkan fakta merupakan dasar dari proses biologi. Biologi harus diuraikan sesuai dengan hukum-hukum atau pedoman yang berakar sehingga fakta tersebut harus mengandung kebenaran, rasional dan logis pada saat menentukan kebenaran. Unsur-unsur fakta yang penting dapat dilacak lagi setiap saat sehingga manusia dapat menemukan fakta-fakta baru untuk koreksi. Biologi pada hakekatnya sebagai suatu disiplin yang sangat berarti dalam pengembangan kemampuan berpikir logis, sistematis dan kreatif sehingga biologi seringkali mampu mengantarkan individu pada kesadaran bahwa kebenaran yang mutlak adalah kebenaran Tuhan sedangkan kebenaran ilmiah pada hakekatnya bersifat tentatif. Semakin aktif dan semakin jauh para ilmuwan melakukan studi maka semakin terbuka untuk menemukan Tuhan. Oleh karena itu beruntunglah para ilmuwan di bidang biologi karena biologi memiliki potensi dan peluang besar untuk hidup yang dilandasi agama
75
sehingga secara moral kehidupannya tetap terjaga. Wasono dalam Dedy (2010) mengemukakan tentang keterkaitan antara biologi dan pengembangan karakter bangsa. Seseorang yang belajar mendalami biologi dan melakukan penelitian akan terdidik untuk mendapatkan karakter dasar seorang peneliti berupa teliti, jujur, punya integritas, visioner, terbuka dan obyektif terhadap kebenaran, kooperatif terhadap orang lain dan berjiwa pembelajar. Kenyat aan yang terjadi adalah adanya kecenderungan masuknya budaya diluar masyarakat biologi seperti ketidakjujuran, plagiarisme atau kurangnya integritas meneliti demi kepentingan sesaat. Oleh karena itu perlu adanya program pembangunan karakter yang terdiri dari tujuh budi utama meliputi kejujuran, tanggungjawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil dan peduli. Berdasarkan berbagai uraian di atas jelas sekali bahwa pembelajaran biologi memiliki nilai-nilai yang sangat dekat dengan pembentukan karakter siswa. Apabila pembelajaran biologi dengan nilai-nilai seperti disebutkan di atas dapat dilaksanakan maka mutu pendidikan biologi akan makin baik dan secara utuh dapat membentuk lulusan yang baik pula. Namun demikian, menurut Juniarso (2010) pendidikan karakter dalam pelajaran biologi, selama ini sama dengan pelajaran lainnya, jarang atau bahkan tidak memuat pendidikan karakter dalam pembelajarannya. Pelajaran biologi dianggap sebagai pelajaran tentang penggunaan otak semata. Somant ri (2008) malah menegaskan pelajaran biologi di sekolah masih berfokus pada hafalan akibatnya minat belajar dan pengembangan biologi masih terbatas. Pendekatan Proses dan Hubungannya dengan Karakter Siswa Pembelajaran IPA termasuk biologi menurut Devi et al. (2010) menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Pengembangan keterampilan proses siswa dapat dilatihkan melalui suatu kegiatan pembelajaran
76
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
yang menggunakan pendekatan keterampilan proses. Pendekatan keterampilan proses adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan faktafakta, membangun konsep-konsep dan teoriteori dengan keterampilan intelektual dan sikap ilmiah siswa sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti yang dikerjakan para ilmuwan, tetapi pendekatan keterampilan proses tidak bermaksud menjadikan setiap siswa menjadi ilmuwan. Pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses dilaksanakan dengan maksud karena IPA merupakan alat yang potensial untuk membantu mengembangkan kepribadian siswa. Kepribadian yang berkembang merupakan prasyarat untuk melangkah ke profesi apapun yang diminati siswa. Proses dapat didefinisikan sebagai perangkat keterampilan kompleks yang digunakan ilmuwan dalam melakukan penelitian ilmiah. Proses merupakan konsep besar yang dapat diuraikan menjadi komponen-komponen yang harus dikuasai seseorang bila akan melakukan penelitian. Keterampilan berarti kemampuan menggunakan pikiran, nalar dan perbuatan secara efisien dan efektif untuk mencapai suatu hasil tertentu, termasuk kreativitas. Dengan demikian Pendekatan Keterampilan Proses adalah perlakuan yang diterapkan dalam pembelajaran yang menekankan pada pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan kemudian mengkomunikasikan perolehannya. Keterampilan memperoleh pengetahuan dapat dengan menggunakan kemampuan olah pikir (psikis) atau kemampuan olah perbuatan (fisik). Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti mengamati, berhipotesis, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan. Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984. Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam kegiat an belajar (Dirdjosoemarto et al., 2004). Menurut Rustaman et al. (2000) keterampilan ilmiah dalam biologi berorientasi
pada pendekatan keterampilan proses dimana di dalamnya terkandung berbagai keterampilan yang mencakup setidaknya delapan (8) kegiatan diantaranya: mengamai (observation), mengelompokkan (classification), menafsirkan (interpretation), meramalkan (prediction), mengajukan pertanyaan (question), berhipotesis (hipothesis), melakukan percobaan (experiment) dan mengkomunikasikan hasil percobaan (communication). Penggunaan pembelajaran biologi berbasis keterampilan proses memiliki beberapa keuntungan diantaranya: (1) pembelajaran biologi berbasis keterampilan proses memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif secara intelektual, manual, dan sosial. Pengalaman beraktivitas secara intelektual, manual dan sosial dapat mengantarkan peserta didik untuk beajar biologi secara bermakna yang pada akhirnya dapat mengoptimalkan hasil belajar peserta didik. (2) pembelajaran biologi berbasis keterampilan proses memungkinkan dapat dikembangkan sikap ilmiah pada peserta didik. Sikap ilmiah mencakup berbagai sikap seperti: kejujuran, kesabaran, keterbukaan, ketelitian, kemandirian, sikap menghargai orang lain, disiplin dan lain-lain. Sikap ilmiah yang berkembangkan setelah melakukan keterampilan proses tersebut merupakan sikap dasar dalam membangun karakter yang kuat pada peserta didik. Peran Guru Biologi dalam Pendidikan Karakter Berbagai penelitian empirik menunjukkan bahwa faktor guru memainkan peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter murid. Diperoleh data bahwa ada kecenderungan makin tinggi level lembaga pendidikan formal makin rendah peran dan kontribusi guru/guru dalam kesuksesan murid, misalnya PAUD/TK sampai >90%, SD/MI sekitar 80-90%, SMP/ MTS sekitar 70-80%, SMA/MA/SMK sekitar 60-70%, Mahasiswa S1 sekitar 40-50%, S2 sekitar 20-30%, dan S3 sekitar 10%, atau mungkin bisa kurang (Anwar, 2010). Guru mempunyai peran dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional khususnya dalam bidang pendidikan.
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mendefinisikan guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dengan ditegaskannya guru sebagai pekerjaan profesional, secara otomotis menuntut adanya prinsip profesionalitas yang selayaknya dijunjung tinggi dan dipraktikkan oleh para guru. Seorang guru hendaknya memiliki kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi yang jelas. Faktor kompetensi sebagai seorang guru sangatlah penting, terlebih objek yang menjadi sasaran pekerjaanya adalah peserta didik (siswa) yang diibaratkan kertas putih, gurulah yang akan menentukan apa yang hendak dituangkan dalam kertas tersebut, berkualitas tidaknya tergantung kepada sejauh mana guru bisa menempatkan dirinya sebagai guru yang memiliki kapasitas dan kompetensi profesional dalam mengarahkan individu-individu menjadi sosok yang memiliki karakter dan mentalitas yang dapat diandalkan dalam proses pembangunan bangsa (Sauri, 2010). Menurut Sauri (2010) dalam tataran normatif betapa mulia dan strategisnya kedudukan guru. Namun, dalam realitas di lapangan tidak sedikit guru yang tidak mencerminkan peran strategisnya sebagai guru, bahkan ia jauh dari garis jati diri kependidikannya, penyimpangan-penyimpangan moral, tampilan kepribadian yang tidak sewajarnya, landasan penguasaan norma-norma agama yang lemah dan sejumlah patologi sosial lainya. Banyak faktor tentunya yang mempengaruhi hal tersebut terjadi, yang jelas jika dibiarkan hal ini dapat memberikan ekses buruk bagi dunia pendidikan, khususnya terhadap kualitas lulusan dan output pendidikan serta karakter masyarakat sebagai objek pendidikan yang dimotori para guru. Proses pendidikan akan jauh dari tujuannya, sehingga menjadi sangat penting untuk melakukan sebuah upaya strategis dalam mempersiapkan sosok guru yang mampu menjadi panutan dan melaksanakan profesinya secara profesional sehingga ia bisa diandalkan.
77
Berangkat dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa guru sebagai entitas strategis sangat diperlukan paranannya dalam upaya membentuk karakter bangsa yang memiliki jati diri dan bermartabat di tengah-tengah bangsa lainnya. Peran guru sangat penting dalam membentuk karakter siswa (Suyatno, 2010). Guru merupakan personalia penting dalam pendidikan karakter di sekolah karena sebagian besar interaksi yang terjadi di sekolah, adalah interaksi siswa dengan guru baik melalui proses pembelajaran akademik kurikuler, ko-kurikuler, maupun ekstra-kurikuler (Triatmanto, 2010). Kondisi ini menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhat ian dan menekankan pent ingnya pendidikan moral dan karakter pada para siswa. Terkait dengan pendidikan karakter, peran guru pada intinya adalah sebagai masyarakat yang belajar dan bermoral. Lickona et al. (2007) menguraikan beberapa pemikiran tentang peran guru, di antaranya: 1. Guru perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, dan mengambil inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter. 2. Guru bertanggung jawab untuk menjadi model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan untuk mempengaruhi siswa-siswanya. Artinya guru di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi uswah hasanah yang hidup bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk berdiskusi dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut. 3. Guru perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam mengambil keputusan. 4. Guru perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter. 5. Guru perlu menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus-menerus tentang berbagai nilai baik dan buruk.
78
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
Hal-hal lain yang dapat guru lakukan dalam implementasi pendidikan karakter (Djalil & Megawangi, 2006) adalah: (1) guru perlu menerapkan metode pembelajaran yang melibatkan partisipatif aktif siswa, (2) guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, (3) guru perlu memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) guru perlu memperhatikan keunikan siswa masing-masing dalam menggunakan metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan sembilan aspek kecerdasan manusia. Guru perlu melatih dan membentuk karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten. Suyatno (2010) mencoba mengkategorikan peran guru di setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter siswa. Dalam pendidikan formal dan non formal, guru (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa dalam mendiskusikan materi pembelajaran, (2) harus menjadi teladan bagi siswanya dalam berperilaku dan bercakap, (3) harus mampu mendorong siswa aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yang variatif, (4) harus mampu mendorong dan membuat perubahan, (5) harus mampu membantu dan mengembangkan emosi dan kepekaan sosial siswa agar siswa menjadi lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan dan belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan siswa selanjutnya, dan (6) harus menunjukkan rasa kecintaan pada siswa sehingga guru tidak mudah putus asa dalam membimbing siswa yang sulit memahami. Sehubungan dengan itu, dalam penerapan pembelajaran biologi berbasis keterampilan proses, guru menjadi faktor kunci dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Herlen dalam Sudarisman (2010) sedikitnya terdapat lima aspek yang perlu diperhatikan guru biologi dalam mengembangkan pembelajaran berbasis keterampilan proses yaitu:
1. Rancangan pembelajaran yang disusun harus dapat memberikan kesempatan peserta didik untuk keterampilan proses melalui pengalaman langsung mengeksplorasi materi dan fenomena alam. Melalui pengalaman langsung tersebut, mereka dapat menggunakan alat-alat inderanya untuk melakukan pengamatan, mengumpulkan informasi atau bukti-bukti untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pengajuan pertanyaan dan perumusan hipotesis berdasarkan gagasan mereka. 2. Setting pembelajaran dalam bent uk kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan peserta didik dapat melakukan diskusi. Tugas-tugas pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat berbagi gagasan (brainstorming) menyimak pendapat teman lain, menjelaskan dan mempertahankan gagasan, sehingga diperlukan berpikir reflektif. 3. Mengakomodasikan kegiatan berproses berdasarkan gagasan peserta didik melalui penggunaan atau penerapan berbagai strategi pembelajaran, sehingga peserta didik dapat menghubungkan antara pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru yang mereka peroleh setelah berinteraksi dengan lingkungan belajarnya. 4. Memberikan kesempatan atau mendorong peserta didik untuk mengulas at au mereview secara kritis tentang kegiatan yang telah mereka lakukan. 5. Memberikan teknik atau strategi sebagai bekal untuk meningkatkan keterampilan ilmiah peserta didik, sebab untuk dapat mengetahui teknik penggunaan alat secara tepat diperlukan pengetahuan tentang prosedur penggunaannya seperti teknik mengukur, mengkomunikasikan data dan menggunakan alat. PENUTUP Kesimpulan 1. Karakter mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional,
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
dan perilaku dari kehidupan moral. Karakter terbentuk dengan dipengaruhi oleh paling sedikit 5 faktor, yaitu: temperamen dasar, keyakinan, wawasan, motivasi hidup dan perjalanan. Karakter yang dapat membawa keberhasilan yaitu empati, tahan dan beriman. 2. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu siswa agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab. 3. Biologi memiliki keterkaitan dengan pengembangan karakter peserta didik. Seseorang yang belajar mendalami biologi dan melakukan penelitian akan terdidik untuk mendapatkan karakter dasar seorang peneliti berupa teliti, jujur, punya integritas, visioner, terbuka dan obyektif terhadap kebenaran, kooperatif terhadap orang lain dan berjiwa pembelajar. Apabila pembelajaran biologi dengan nilai-nilai seperti disebut di atas dapat dilaksanakan maka mutu pendidikan biologi akan makin baik dan secara utuh dapat membentuk lulusan yang baik pula. 4. Penggunaan pembelajaran biologi berbasis keterampilan proses memiliki beberapa keuntungan terutama terkait dengan pendidikan karakter diantaranya: (1) pembelajaran biologi berbasis keterampilan proses memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif secara intelektual, manual, dan sosial. (2) pembelajaran biologi berbasis keterampilan proses memungkinkan dapat dikembangkan sikap ilmiah pada peserta didik seperti: kejujuran, kesabaran, keterbukaan, ketelitian, kemandirian, sikap menghargai orang lain, disiplin dan lainlain. Sikap ilmiah yang berkembangkan setelah melakukan keterampilan proses tersebut merupakan sikap dasar dalam
79
membangun karakter yang kuat pada peserta didik. Saran 1. Menerapkan pendidikan karakter di sekolah bukan hal yang mudah, karena harus merubah paradigma, butuh waktu dan tenaga. Namun yang paling penting adalah semua pihak terutama guru harus kreatif. Guru Biologi harus selalu berusaha untuk menggunakan pendekatan yang komprehensif dan proaktif. Perlu disadari bahwa penanaman nilai merupakan sebuah proses, berkelanjutan dan memiliki visi-misi jauh ke depan yaitu penciptaan generasi yang ideal, seperti amanah dan cita-cita pendidikan karakter itu sendiri. 2. Guru disarankan menggunakan pendekatan proses dalam pembelajaran biologi karena sangat strategis sebagai wahana pembangunan karakter peserta didik secara utuh.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, A. 2010. Pendidikan Karakter: Mengasah Kepekaan Hati Nurani. Disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, Hotel Santika, Yogyakarta, 15 April 2010. Anwar, Q. 2010. Nilai Agama Sebagai Acuan Membangun Karakter Bangsa. Makalah dipresentasikan dalam Sarasehan Nasional Pendidikan Karakter, Jakarta, 12 April 2010. Berita Indonesia. 2010. Kaltim Peringkat 10 Kasus Korupsi Tertinggi di Indonesia. Harian Berita Indonesia Edisi Minggu, 31 Januari 2010. Dedy. 2010. Peningkatan Keprofesionalan Peneliti, Guru dan Praktisi MIPA untuk Mendukung Pembangunan Karakter Bangsa. Press Release Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta Sabtu 15 Mei 2010.
80
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Pendidikan, Volume 1, Nomor 1, September 2011
Devi, P. K; Sofireni, R; Rosendi, Y. 2010. Pendekatan Keterampilan Proses pada Pembelajaran IPA. Jakarta: Teknodik. Dimyati. 2010. Peran Guru Sebagai Model dalam Pembelajaran Karakt er dan Kebajikan Moral Melalui Pendidikan Jasmani. Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th. XXIX. Dirdjosoemarto, S., Yudianto, S. A., Achmad, Y., Subekti, R. 2004. Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung : FPMIPA UPI dan JICA IMSTEP. Djalil, S.A. dan Megawangi, R. 2006. Peningkatan Mutu Pendidikan di Aceh melalui Implementasi Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter. Makalah Orasi Ilmiah pada Rapat Senat Terbuka dalam Rangka Dies Natalis ke 45 Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, 2 September 2006. Dwikoranto. 2010. Membangun Karakter Melalui Pembelajaran Berbasis Nilai di Fullday School. Proseding Seminar Nasional Pendidikan IPA Tahun 2010 dengan tema Membangun Prof esionalisme Guru IPA melalui Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Guru (PPG). FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Ghopur, A. 2010. Pendidikan Karakter yang Terlupakan. (Online). (http://www.detik. com, diakses 16 Mei 2010). Juniarso, T. 2010. Pendidikan Karakter di Sekolah (Character Education In School) Sebuah Usulan Gagasan: Pengembangan Model Kontrak Belajar dengan Pelibatan Masyarakat Untuk Penguatan Karakter Siswa Dalam Pembelajaran Sains. Surabaya: Universitas PGRI Adi Buana. Kilpatrick, W. 1992. Moral Illiteracy. Chapter 6 in Why Johnny Can’t Tell Right from Wrong and What We Can Do About It. Edited by J.H. Clarke. New York: A Touchstone Book. Koesoema, A. D. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
_______. 2009. Guru Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta: Penerbit PT Grasindo. _______. 2010a. Pendidikan Karakter Integral. Harian Kompas Edisi Kamis, 11 Februari 2010. _______. 2010b. Pendidikan Karakter. (Online). (www.kompas.com, diakses 16 Mei 2010). Kompas. 2010. Pengguna Narkoba Mencapai 3,6 Juta Orang. Edisi Senin, 26 April 2010. Lickona, T. 2007. Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgement, Integrity, and Other Essential Virtues. USA: Simon & Schuster Adult Publishing. Malik, A. 2007. 45% Remaja Lakukan Free Sex. Harian Seputar Indonesia Edisi 21 Mei 2007. Masduki. 2010. Jawa Timur Juara Satu dalam Jumlah Korupsi. Harian Republika Edisi Selasa, 27 April 2010. McBrien, J. L., & Brandt, R. S. 1997. The language of Learning: A Guide to Education Terms. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development. Muhtar. 2010. Revolusi Seks dan AIDS. Harian Pikiran Rakyat Edisi 31 Mei 2010. Muslich, M. 2008. Karya Tulis Ilmiah: Ciri dan Sikap Ilmiah. (Online). (http:// menulisbukuilmiah.blogspot .com/, Diakses November 2009). Megawangi, R & Williams, R., T. 2007. Kecerdasan Plus Karakter. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. PKS Bojonggede. 2009. Kondisi Nasional dan Akar Permasalahan Bangsa (bagian I). (Online). (pksbojonggede.blogspot.com, diakses 16 Mei 2010). Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2009. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa. Yogyakarta: PP Muhammadiyah. Rustaman, N.; Dirdjosoemarto, S.; Yudianto, S. A.; Achmad, Y.; Subekt i, R.; Rochintaniawati, D. & Nurjhani, M. 2004. Strategi Belajar Mengajar
Yanur, Optimalisasi Penerapan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Berbasis Keterampilan
Biologi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UPI. Saukah , A., (Ed). 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang. Sauri, S. 2010. Membangun Karakter Bangsa Melalui Pembinaan Profesionalisme Guru Berbasis Pendidikan Nilai. Makalah Sarasehan Nasional “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” oleh Kopertis Wilayah 3 DKI Jakarta, 12 Januari 2010. Sirajuddin, N. 2010. Mereorientasi Pendidikan Karakter Indonesia. Harian Fajar Metro Edisi Rabu, 05 Mei 2010. Somantri, R. G. 2008. Pelajaran Sains Masih Bersifat Hafalan. Harian Kompas. Selasa 4 Nopember 2008 Halaman 12 Kolom 1. Sudarisman, S. 2010. Membangun Karakter Peserta Didik melalui Pembelajaran Biologi Berbasis Keterampilan Proses. Proceeding Seminar Nasional VII Pendidikan Biologi FKIP UNS, Surakarta, 31 Juli 2010.
81
Suyatno. 2010. Peran Pendidikan Sebagai Modal Utama Membangun Karakter Bangsa. Makalah Sarasehan Nasional “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” oleh Kopertis Wilayah 3 DKI Jakarta, 12 Januari 2010. Triatmanto. 2010. Tantangan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Cakrawala Pendidikan, Vol. 1 No. 3 2010. Unijianto, B. 2009. Pembelajaran Sains untuk Membentuk Karakter Siswa. Cyber News Edisi 29 Nopember 2009. Williams, M. 2000. Models of Character Education: Perspectives and Developmental Issues. Journal of Humanistic Counseling, Education and Development, 39, pp. 32-40. Williams, M., & Schnaps, E. (Eds.) 1999. Character Education: The foundation for teacher Education. Washington, DC: Character Education Partnership. Wiyono, B. B. 2009. Penelitian Tindakan Kelas dan Penulisan Karya Ilmiah. Cetakan I. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.