Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
KESALAHAN PROSES BERPIKIR SISWA KELAS VII SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA Suyono Wiryoatmojo1), Muhtarom2), Ali Shodiqin3) Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia 2) Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia, email:
[email protected] 3) Dosen Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang Jl. Lontar Nomor 1 (Sidodadi Timur) Semarang Indonesia, email:
[email protected] 1)
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kesalahan proses berpikir siswa SMP berkemampuan matematika rendah dalam memecahkan masalah matematika yang valid dan reliabel. Jenis penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah penelitian kualitatif-eksploratif. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Se-Kota Semarang yang berkemampuan matematika rendah. Pemilihan subjek didasarkan pada kemampuan matematika siswa dan kelancaran dalam berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Penelitian tahap-1 (materi bangun datar segiempat) ini dilaksanakan di SMP N 34 Semarang dan tahap-2 (materi bangun datar segitiga) ini dilaksanakan di SMP N 9 Semarang.Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek mengalami beberapa kesalahan dalam menyelesaikan soal bangun datar segiempat dan segitiga. Kesalahan yang dialami diantaranya adalah kesalahan konsep, kesalahan prinsip, dan kesalahan algoritma. Kesalahan konsep yang terjadi meliputi kesalahan dalam memberikan nama, mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan arti simbol dan syarat perlu dari suatu bangun. Kesalahan prinsip meliputi subyek tidak dapat menentukan hubungan antara dua sudut, hubungan antar rumus, dan tidak dapat menuliskan rumus. Sedangkan kesalahan algoritma meliputi subyek tidak dapat menentukan satuan luas yang tepat dan kesalahan kalkulasi dalam menghitung luas bangun. Kata kunci: Kesalahan, Proses Berpikir, Pemecahan Masalah.
PENDAHULUAN Setiap siswa tidak dapat menghindar dari kesulitan belajar matematika. Jika siswa menghindar dari kesulitan termasuk dalam belajar matematika hanya untuk tujuan pragmatis, mencari mudahnya saja, sama artinya menjerumuskan diri dalam kebodohan dan akan berhadapan dengan kesulitan lain yang lebih besar. Oleh karena itu, siswa perlu berusaha memotivasi diri untuk lebih menyenangi matematika. Siswa perlu menanamkan dalam benaknya bahwa matematika itu penting. Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yaitu memecahkan masalah, maka setiap siswa pasti akan menjumpai masalah matematika dalam pembelajaran. Yulaelawati (2004) mengatakan salah satu peran pendidik dalam pembelajaran matematika adalah membantu siswa mengungkapkan bagaimana proses yang berjalan dalam pikirannya ketika memecahkan masalah, misalnya dengan cara meminta siswa menceritakan langkah yang ada dalam pikirannya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kesalahan berpikir yang terjadi dan merapikan jaringan pengetahuan siswa. Kesalahan proses berpikir siswa dalam Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
103
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
memecahkan masalah matematika diungkapkan oleh Muhtarom (2010) yang menyatakan bahwa siswa kelas VI Sekolah Dasar (SD) dalam mengalami kesalahan dalam pemahaman konsep, kesalahan dalam menggunakan prinsip matematika dan kesalahan algoritma. Hasil penelitian ini juga memberikan gambaran bahwa dalam memecahkan masalah/soal matematika, seorang siswa pasti mengalami kesalahan proses berpikir. Hasil penelitian tersebut diperkuat oleh penelitian penelitian lanjutan Muhtarom (2012) menunjukkan bahwa siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berkemampuan matematika rendah ketika memecahkan masalah matematika terjadi kesalahan proses berpikir sehingga menyebabkan kesalahan dalam jawaban. Oleh karena itu, mengetahui proses berpikir siswa dalam memecahkan suatu masalah sangat diperlukan. Dengan mengetahui proses berpikir siswa, guru dapat melacak letak dan jenis kesalahan yang dilakukan siswa. Kesalahan yang diperbuat siswa dapat dijadikan sumber informasi belajar dan pemahaman bagi siswa. Yang tak kalah pentingnya adalah guru dapat dengan merancang pembelajaran yang sesuai dengan proses berpikir siswa. Jika kesalahan proses berpikir yang dilakukan oleh siswa tidak segera mendapatkan perhatian yang serius, maka dapat dimungkinkan akan terjadi kesalahan proses berpikir lanjutan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengungkapan kesalahan proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika perlu dilakukan sejak dini sehingga guru dapat segera merapikan skema/struktur kognitif siswa. Dalam hal ini dilakukan penelitian lanjutan tentang analisis kesalahan proses berpikir siswa khususnya siswa SMP dalam memecahkan masalah matematika. Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “bagaimanakah kesalahan proses berpikir siswa SMP dalam memecahkan masalah matematika”.
METODE PENELITIAN Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif-eksploratif yang dilaksanakan pada siswa kelas VII SMP di Kota Semarang. Pemilihan subjek penelitian didasari beberapa pertimbangan, yaitu: (1) dipilih siswa kelas VII SMP yang mempunyai kemampuan matematika rendah, sehingga akan mudah mendapatkan data tentang kesalahan proses berpikir yang dilakukan (2) mudah diwawancarai sehingga diperoleh data akurat yang dibutuhkan pada penelitian. Instrumen dalam penelitian ini dibagi dalam dua bagian yaitu: (1) peneliti sendiri sebagai instrumen utama, (2) lembar tugas dan (3) pedoman wawancara. Prosedur penelitian ini menempuh langkah-langkah sebagai berikut: (1) menyusun instrumen penelitian, (2) menentukan subyek penelitian, (3) mengumpulkan data penelitian melalui wawancara berbasis tugas dan analisis pekerjaan tertulis, (4) menganalisis data penelitian dan triangulasi. Data yang telah terkumpul baik dari tes tertulis maupun dari hasil wawancara dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut: (a) reduksi data yakni
104
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
melakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian penyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data mentah di lapangan. Bila terdapat data yang tidak valid, maka data itu dikumpulkan tersendiri yang mungkin dapat digunakan sebagai pelengkap data atau temuantemuan sampingan; (b) pemaparan data yakni mengklasifikasi dan mengidentifikasi data sehingga terorganisir dan terkategori dengan baik; (c) menarik kesimpulan berdasarkan hasil paparan data. Setelah data dipaparkan sedemikianrupa sehingga terkategori dengan baik, maka langkah selanjutnya menarik kesimpulan atau menginterprestasikan makna dari paparan data tersebut. Analisis data ini dilakukan pada setiap data yang diperoleh dari tiap metode pengumpulan data (analisis tugas, wawancara). Kemudian triangulasi metode untuk mendapatkan data subjek yang valid.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data yang valid dari masing-masing subyek, selanjutnya dibandingkan untuk digeneralisaikan jenis kesalahan yang dilakukan oleh siswa berkemampuan rendah pada materi Bangun Datar. Hasil analisis triangulasi sumber disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan Data Subjek FM dan Subjek RS No. 1.
Jenis Kesalahan Kesalahan Konsep
Subyek FM a. Subyek
Subyek RS FM a. Subyek
mengalami kesalahan
Kesimpulan RS a. Subyek FM dan
mengalami dalam
RS
kesalahan
dalam
mengalami
kesalahan
dalam
memberikan nama
mem-berikan
memberikan nama
dari suatu bangun
nama dari suatu
dari suatu bangun
datar segi empat
bangun datar segi
datar segi empat
empat
b. Subyek RS tidak
b. Subyek FM tidak b. Subyek RS tidak mampu
mampu
menjelaskan simbol
arti
mampu menjelaskan
menjelaskan
arti
simbol
arti
koefisien-
koefisien-
simbol koefisien-
koefisien dalam k
koefisien dalam k =
koefisien dalam k
= 2(a+b)
2(a+b).
= 2(a+b)
c. Subyek
c. Subyek FM dan
FM c. Subyek RS tidak
mengalami
RS
tidak
dapat
dapat menjelaskan
menjelas-kan
dalam
syarat yang perlu
syarat yang perlu
menjelaskan syarat
dari suatu istilah
dari suatu istilah
yang
dalam
dalam
kesalahan
diperlukan
dari suatu obyek
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
bangun
datar segi empat
bangun
datar segi empat
105
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
bangun datar segi d. Subyek RS tidak d. Subyek FM dan empat berdasarkan
mampu mengenal
RS
definisi
contoh penerapan
kesalahan
konsep
memberikan
yang
diketahui. d. Subyek
FM
mengalami kesalahan
teorema
Phytagoras e. Subyek
dalam
mengalami dalam
contoh penerapan RS
mengalami
teorema Phytagoras
memberikan contoh
kesalahan
penerapan teorema
mengklasifikasika
RS
Phytagoras.
n contoh dan non
kesalahan
contoh dari suatu
mengklasifika-
bangun datar segi
sikan contoh dan
empat
non contoh dari
e. Subyek
FM
mengalami kesalahan
dalam
mengklasifikasikan contoh
dan
non
f. Subyek
dalam e. Subyek FM dan
RS
mengalami
mengalami
suatu bangun datar segi empat
contoh dari suatu
kesalahan
bangun datar segi
mengelompokan
RS
empat.
sifat-sifat
kesalahan
f. Subyek
FM
mengalami kesalahan
dalam
dalam f. Subyek FM dan
dari
mengalami dalam
suatu bangun datar
mengelompok-kan
segi empat
sifat-sifat
dalam
dari
suatu bangun datar
mengelompokkan
segi empat
sifat-sifat dari suatu bangun datar segi empat
2.
Kasalahan Prinsip
a. Subyek FM tidak a. Subyek RS tidak a. Subyek FM dan dapat menentukan
dapat menentukan
RS
hubungan
hubungan
menentukan
dari suatu
dua
bangun
datar
salah satu sudut
rumus
suatu
berdasarkan
hasil
yang
bangun
datar
berdasarkan
hasil
b. Subyek
106
diketahui FM
dari
sudah pada
bangun datar segi
mengalami
empat
kesalahan
dalam b. Subyek RS tidak
hubungan
dapat
rumus
percobaan.
sudut
antara
tidak
dari
percobaan b. Subyek FM dan RS
mengalami
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
menentukan hubungan
anatar
dua sudut
Volume 1
dapat menentukan
kesalahan
hubungan
menentukan
dari
dam hu-
rumus
suatu
bungan antara dua
bangun
datar
sudut.
berdasarkan hasil percobaan c. Subyek RS tidak dapat menuliskan rumus
suatu
bangun datar segi empat d. Subyek RS tidak dapat menuliskan rumus yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan 3.
Kesalahan Algoritma
a. Subyek
FM a. Subyek RS tidak a. Subyek FM dan
mengala-mi kesalahan
dalam
menentukan satuan luas
dan
berle-bihan
dapat menentukan
RS
mengalami
satuan luas yang
kesalahan
tepat.
menentukan
dalam luas
terlalu b. Subyek RS tidak
bangun datar segi
dalam
empat.
dapat menentukan
memberi-kan
luas bangun datar b. Subyek FM dan
jawaban
segi empat.
b. Subyek
FM
mengalami kesalahan
soal
mengalami
kesalahan
dalam
menentukan satuan dalam
menentukan satuan dari
RS
luas dari bangun adatr segi empat.
yang
ditanyakan
Sedangkan untuk analisis jenis kesalahan yang dilakukan oleh siswa berkemampuan rendah pada materi Segitiga disajikan dalam Tabel 2.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
107
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Tabel 2 Perbandingan Data Subjek SI dan Subjek APH No. 1.
Jenis Kesalahan Kesalahan Konsep
Subyek SI
Subyek APH
a. Mengalami
Kesimpulan
a. Mengalami
kesalahan
dalam
a. Subyek
kesalahan
dalam
SI
APH
dan
mengalami
menjelaskan
menjelaskan
kesalahan
definisi dari suatu
definisi dari suatu
menjelaskan
bangun
bangun
definisi dari suatu
datar
segitiga. b. Tidak
datar
segitiga. mampu b. Tidak
menjelaskan
bangun mampu
menjelaskan
definisi
garis
dalam
datar
segitiga. b. Subyek
definisi
garis
APH
SI
mengalami
tinggi, garis berat,
tinggi, garis berat,
kesalahan
garis
garis
menjelaskan
bagi,
dan
garis sumbu c. Tidak
bagi,
dan
garis sumbu.
mampu c. Tidak
dalam
definisi
mampu
dan
garis
tinggi, garis berat,
mema-hami syarat
mema-hami syarat
garis
cukup dari suatu
cukup dari suatu
garis sumbu.
bangun
datar
bangun
datar c. Subyek
untuk
dapat
untuk
dapat
APH
bagi,
SI
dan
dan
mengalami
dikatakan bangun
dikatakan bangun
kesalahan
dalam
segitiga
lancip,
segitiga
lancip,
memahami
syarat
segitiga
tumpul,
segitiga
tumpul,
segitiga siku-siku. d. Menganggap
segitiga siku-siku. d. Tidak
mampu
cukup dari suatu bangun datar untuk dapat
dikatakan
bahwa gambar A
memberikan
bangun
segitiga
dan
contoh
lancip,
segitiga segitiga
gambar
B
gambar
merupakan bangun
garis tinggi, garis
tumpul,
datar segitiga
berat, garis tinggi,
siku-siku.
e. Tidak
mampu
dan garis sumbu
d. Subyek
SI
dan
memberikan
APH tidak mampu
contoh
memberikan
gambar
garis tinggi, garis
contoh
gambar
berat, garis bagi,
garis tinggi, garis
dan garis sumbu.
berat, garis tinggi, dan garis sumbu.
108
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
2.
Volume 1
Kasalahan
Mengalami kesalahan a. Mengalami
Prinsip
dalam
menggambar-
Subyek SI dan APH
kesalahan
dalam mengalami kesalahan
kan soal cerita yang
menggambarkan
disajikan.
soal cerita yang menggambarkan soal disajikan
dalam
cerita yang disajikan.
b. Mengalami kesalahan
dalam
mengkaitkan hubungan dalam
sudut segitiga
dengan sudut luar segitiga. 3.
Kesalahan
c. Megalami
Algoritma
kesalahan dalam
a. Mengalami dasar
menjawab
soal.
menentukan
dalam
dasar mengalami kesalahan
menjawab dasar dalam menjawab
soal.
d. Mengalami kesalahan
kesalahan
Subyek SI dan APH
soal
b. Mengalami dalam dasar
kesalahan
dalam
dan
kesalahan menentukan
dalam satuan sudut
dalam
menentukan satuan menjawab soal.
dalam menentukan
sudut
dalam
satuan sudut dalam
menjawab soal.
menjawab soal.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pada materi bangun datar segiempat dan materi segitiga, subyek mengalami beberapa kesalahan dalam menyelesaikan soal bangun datar segiempat dan segitiga. Kesalahan yang dialami diantaranya adalah kesalahan konsep, kesalahan prinsip, dan kesalahan algoritma. Kesalahan konsep yang terjadi meliputi kesalahan dalam memberikan nama, mengklasifikasikan contoh dan non contoh, tidak mampu menjelaskan arti simbol dan sayarat perlu dari suatu bangun datar segiempat. kesalahan prinsip meliputi subyek tidak dapat menentukan hubungan antara dua sudut, hubungan antar rumus, dan tidak dapat menuliskan rumus. Sedangkan kesalahan algoritma meliputi subyek tidak dapat menentukan satuan luas yang tepat dan kesalahan kalkulasi dalam menghitung luas bangun datar segi empat dan segitiga. Berdasar simpulan dari hasil penelitian ini, maka disampaikan saran yaitu untuk guru
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
109
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
matematika di tingkat SMP diharapkan melakukan penekankan pembelajaran konsep dan mengajarkan pemecahan masalah matematika yang menggunakan langkah-langkah Polya.
DAFTAR PUSTAKA Abbas N. (2000). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berorientasi Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based-Instruction). Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya. Agung Handayanto, Ali Shodiqin dan Muhtarom. (2011). Proses Berpikir Mahasiswa Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang dalam Memecahkan Masalah Kalkulus 2. Laporan Penelitian Hibah APBI IKIP PGRI Semarang. Begerson T. (2000). Teaching and Learning Mathematics: Using Research to Shift from the “Yesterday” Mind to the “Tomorrow” Mind. Washington: superintendent of Public Instruction. (Online). http://www.k12.wa.us. diakses tanggal 3 Agustus 2011. Daniel Muijs dan David Reynold. (2008). Effective Teaching. Translated by Helly dan Sri Muyantini. 2008. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Dewiyani. (2008). Mengajarkan Pemecahan Masalah dengan Menggunakan Langkah Polya. Jurnal STIKOM, Volume 12 Nomor 2. Henk Vos dan E. D. Graff. (2004). Developing Metacognition: a Basis For Active Learning. European Journal of Engineering Education. 29. 543-548. Huitt. (1992). Problem Solving and Decision Making: Consideration of individual differences using the Myers-Briggs Type Indicator. Journal of Psychological Type.24.33-44. tersedia dalam: http://chiron.valdosta.edu/whuitt/papers/prbsmbti.html. diakses 10 Juli 2010. Jerry Glover. (2002). Adaptive Leadership: When Change is Not Enough. The Organization Development Journal. 20 (2). 15-31. Lexy J Moleong. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Maarten W. van Someren, Yvonne F. Barnard, dan Jacobijn A.C. Sandberg. (1994). The Think Aloud Method: A Pratical Guide to ModellingCognitive Processes. London: Academic Press. Muhtarom. (2010). Analisis Permasalahan Proses Berfikir Siswa Sekolah Dasar dalam Menyelesaikan Soal Cerita dan Alternatif Pemecahannya. Makalah dalam Seminar Nasional FPMIPA IKIP PGRI Semarang tanggal 2 Maret 2010. Muhtarom. (2012). Proses Berpikir Siswa IX Kelas Sekolah Menengah Pertama dalam Memecahkan Masalah Matematika. Tesis. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Patrick Reany. (1991). “Heuristics 101”. Arizona Journal of Natural Philosophy. 3.
5-7.
http://www.ajnpx.com/pdf/AJNP/apr91c.pdf.
110
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Polya. (1973). How to Solve It. 2nded , Princeton University Press, ISBN 0-691-08097-6. Rheta DeVries. (2006). Piaget's Social Theory. The Constructivist Journal. 17 (1) ISSN 10914072. Robert L Solso. (1988). Cognitive Psychology. Boston: Allyn and Bacon. Shahnaz Qayumi. (2001). Piaget and His Role in Problem Based Learning. Journal of Investigative Surgery. 14. 63-65. Sukayasa. (2010). Profil Karakteristik Penalaran Siswa SMP dalam MemecahkanMasalah Geometri. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di UNY pada tanggal 27 November 2010. Wayne A. Wicklelgren. (1974). How to Solve Problem; Elements of a Theory of Problems and Problems Solving. New York: W.H. Freeman and Company. Yulaelawati. (2004). Kurikulum dan Pembelajaran: Filosofi Teori dan Aplikasi, Bandung: Pakar Raya.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
111
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
KEMAMPUAN GURU DALAM PROSES ASESMEN MATEMATIS Edy Bambang Irawan Jurusan Matematika FMIPA – UM ;
[email protected] Abstrak Kemampuan guru melakukan asesmen matematis akan membawa dampak terhadap perubahan proses pembelajaran. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak guru mengalami permasalahan dalam melaksanakan proses asesmen matematis. Permasalahan tersebut dapat dilihat dari dua aspek pembelajaran , yaitu pengusaan materi dan kemampuan mengorganisasi siswa. Fakta-fakta tersebut memberi petunjuk perlunya mengkaji perkembangan kemampuan guru dalam proses asesmen. Perkembangan kemampuan guru dalam proses asesmen dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Romberg (2004,h.230) menawarkan empat langkah yang perlu dilakukan guru dalam mengembangkan proses asesmen, yaitu: initiate, investigate, interpret, dan integrate. Langkah pertama berorientasi ke arah memulai dengan pemahaman guru terhadap praktek asesmen, langkah kedua berorientasi pada keterlibatan guru dalam melakukan investigasi terhadap teknik asesmen. Langkah ketiga mengharapkan guru dapat menginterpretasikan hasil kerja siswa, langkah keempat memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan lebih jauh terhadap praktek asesmen, antara lain melalui kegiatan lokakarya, atau kegiatan profesional guru lainnya. Merujuk pada Battista (2007, h.836), reformasi proses asesmen matematis dapat dilakukan melalui pengintegrasian proses asesmen dalam pembelajaran konsep matemais. Idea pembelajaran konsep menuntut guru melakukan pengkajian konsep matematika secara spesifik, sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Kata kunci: Kemampuan guru, asesmen matematis
A. Pendahuluan Perubahan orientasi pembelajaran matematika, tidak dapat dilepaskan dari peran guru untuk mempelajari perubahan proses belajar bagi dirinya sendiri. Dalam hal ini, guru perlu melakukan proses belajar yang berbeda dari proses belajar yang dilakukan siswa, atau guru perlu melakukan proses belajar yang berbeda dengan proses belajar yang pernah dialami sebelumnya. Demikian pula, guru perlu melakukan perubahan proses asesmen dalam pembelajaran. Proses asesmen yang perlu dilakukan guru terkait perubahan kurikulum dapat dihubungkan dengan dua pertanyaan berikut: (i)
apakah guru dapat memahami proses asesmen sesuai pembelajaran yang dituntut kurikulum baru ?
(ii) apakah guru dapat melaksanakan proses asesmen sesuai pembelajaran yang dituntut kurikulum baru ? Ditinjau dari dimensi perkembangan guru, pada umumnya teori perkembangan berpijak pada pandangan bahwa guru merupakan pebelajar dewasa yang perkembangannya diperoleh dari perubahan struktur berpikir. Diasumsikan pola berpikirnya berkembang melalui interaksi dengan lingkungan (Brown & Borko, 1992,h. 227).
112
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
B. Fakta-fakta di Lapangan Fakta-fakta kelemahan guru dalam proses asesmen tercermin dari beberapa hasil penelitian tentang kelemahan kemampuan guru dalam pembelajaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua guru mampu berkomunikasi secara jelas dan secara langsung pada siswanya tanpa ngelantur (wandering), berbicara
melampaui kemampuan anak atau
menggunakan pola berbicara yang merusak (impair) kejelasan dari yang dipresentasikan (Land & Smith, 1979; Smith & land, 1981; dalam Borich, 1992, h. 9). Hasil penelitian Leinhardt (1989, h. 173) menunjukkan bahwa banyak guru muda matematika lemah dalam kemampuan analitik. Struktur pelajaran oleh guru muda terpotong-potong dengan peralihan yang lama, sering kebingungan yang disebabkan oleh tanda-tanda keliru (missent signal) dan sistem dari tujuan pelajaran tidak jelas. Sehingga sangat disarankan bagi guruuntuk mengembangkan kemampuan mengajar sesuai tujuan yang diinginkan, yaitu: pelajaran secara terbuka, fleksibel, responsif, mendasarkan pada masalah (problem-based) dan tidak berbelit-belit. Brown & Borko (1992, dalam Hino & Shigematsu, 2002, h. 240) telah membandingkan kemampuan guru muda dan guru berpengalaman (expert teacher). Dikatakannya bahwa guru berpengalaman lebih sistematis dan mempunyai kemampuan lebih dalam hal materi (content) dan pengetahuan mengajar (pedagogical knowledge) dibandingkan dengan guru muda. Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. Namun demikian, banyak kasus yang terjadi di lapangan berkaitan pembelajaran penyelesaian masalah. Kasus-kasus tersebut dikemukakan antara lain oleh Koplowitz (1979), Lester (1982), Schoenfeld (1985) dan Victor (2004).
Koplowitz
menemukan adanya kesalahan penalaran dalam proses penyelesaian masalah. Lester menggunakan istilah “masalah proses” dalam penelitiannya yang menemukan ciri khas kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah matematis. Victor mengemukakan bahwa secara umum kegagalan siswa dalam menyelesaikan masalah disebabkan oleh kegagalan dalam memahami masalah, mengorganisasikan operasi matematis, dan kegagalan dalam proses analisis. Adanya kesalahan penalaran dalam proses penyelesaian yang dikemukakan oleh Koplowitz (1979) dilandasi oleh pemberian masalah berikut kapada mahasiswa undergraduate pada matakuliah ketrampilan belajar matematika. Saya pergi ke suatu tempat tertentu dengan 40 mil per jam dan sayamembutuhkan 20 menit untuk sampai ke sana. Saya kembali dengan 50 mil per jam. Berapa lama perjalanan pulang yang saya butuhkan?
Koplowitz melaporkan bahwa berbagai penyelesaian salah yang sering muncul 1
dikerjakan murid-muridnya adalah 15, l7 2, dan 25 menit. Dalam proses pembelajaran, Koplowitz memberikan kesempatan siswa untuk mendiskusikan penyelesaian masalah Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
113
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
tersebut, dan mereka tidak merasa heran dengan jawaban beragam dalam kelompok. Selanjutnya Koplowitz membimbing kelompok yang mengarah pada jawaban benar dari masalah. Namun jalan pikiran yang disampaikan Koplowitz tidak dipandang sebagai jawaban yang lebih logis dari pikiran para siswa. Bahkan siswa memandang apa yang disampaikan Koplowitz sebagai cara lain dalam menyelesaikan masalah. Disisi lain Koplowitz menyampaikan bahwa meskipun murid-muridnya memiliki keterampilan yang diperlukan dalammenyelesaikan masalah, mereka tidak mengetahui apakah mereka telah menyelesaikan masalah atau belum. Para siswa berhenti bekerja dalam menyelesaikan masalah ketika mereka merasa telah menyelesaikannya. Istilah “masalah proses” dalam menyelesaikan masalah yang dikemukakan Lester (1985) dihasilkan dalam penelitian pada kelas tiga dan kelas lima dengan mengangkat masalah berikut. Tom dan Sue mengunjungi peternakan dan melihat ada ayam dan babi. Tom mengatakan, "Ada 18 binatang." Sue berkata, "Ya, dan mereka memiliki 52 kaki seluruhnya." Berapa banyak dari setiap jenis binatang yang ada di sana? Dalam hasil penelitiannya ditemukan bahwa hampir semua siswa kelas tiga menyelesaikan masalah ini dengan menambahkan 18 dan 52, sedangkan siswa kelas lima menyelesaikan dengan membagi 52 dengan 18. Ketika ditanya tentang jawaban mereka, siswa kelas tiga mengatakan “ soal tersebut bertanya tentang „berapa banyak semuanya‟ sehingga ditambahkan”. Sedangkan siswa kelas lima menulis jawaban 52 : 18 kemudian berhenti bekerja. Mereka merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa selain menyerah. Baik siswa kelas tiga maupun siswa kelas lima, ketika mereka menyadari bahwa jawaban mereka salah, mereka tidak mampu memikirkan prosedur alternatif untuk menyelesaikannya.
C. Perkembangan Kemampuan Guru Sebagai manusia dewasa, seorang guru memiliki karakteristik berbeda dengan siswa dalam melaksanakan proses belajar. Proses belajar bagi guru sebagai manusia dewasa dapat ditinjau berdasarkan teori perkembangan. Teori perkembangan dalam bidang pendidikan matematika dapat diklasifikasi dalam dua dimensi, yaitu dimensi psikologi belajar matematika bagi siswa dan dimensi perkembangan guru. Ditinjau dari dimensi psikologi belajar matematika bagi siswa, pada umumnya teori perkembangan berpijak pada teori-teori belajar dari para ahli psikologi belajar matematika yang terkenal, antara lain: jean Piaget, J.P Guilford, Robert Gagne, Zalton Dienes, David Ausubel, Jerome Bruner dan B.F. Skinner (Bell, 1978, h. 98-157). Ditinjau dari dimensi perkembangan guru, pada umumnya teori perkembangan berpijak pada pandangan bahwa guru merupakan pebelajar dewasa yang perkembangannya diperoleh dari perubahan struktur berpikir. Diasumsikan pola berpikirnya berkembang melalui interaksi dengan lingkungan (Brown & Borko, 1992,h. 227).
114
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Teori-teori yang dihasilkan dari para pakar penelitian pengembangan tentang kemampuan guru
antara lain: Teori Piaget tentang perkembangan kognitif (1972), Teori
Kohlberg tentang membuat keputusan moral (1969), Teori Loevinger tentang perkembangan diri (1976), Teori Hunt tentang perkembangan konseptual (1970) Teori Perry tentang perkembangan etika dan intelektual (1970), Teori Fuller tentang level-level perhatian (1969) (Brown & Borko, 1992, h. 227). Pada makalah ini akan disajikan secara singkat tentang Teori Perry, karena mempunyai kaitan erat berkaitan dengan proses asesmen sebagai bagi guru matematika. Teori Perry tentang perkembangan etika dan intelektual merupakan level perkembangan yang berguna dalam menetapkan level-level perkembangan bagi guru matematika. Pada Teori Perry dikenalkan istilah Pola Perry (Perry’ Scheme), yaitu evolusi interpretasi kehidupan seseorang yang diperoleh dari sejumlah pengalaman selama bertahuntahun. Dalam Pola Perry dikenalkan 9 level perkembangan yang dimampatkan dalam 4 kategori, yaitu: dualisme, multiplistik, relativisme dan komitmen. Seseorang pada level dualisme berpandangan bahwa setiap pertanyaan mempunyai jawaban, atau setiap masalah mempunyai penyelesaian, dan setiap ahli akan mengetahui dan menyediakan jawaban tersebut. Seorang guru pada level ini mempunyai kecenderungan mendominasi
proses
pembelajaran,
dan
menempatkan
diri
sebagai
sentral
dalam
menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi di kelas. Dalam proses pembelajaran matematika , guru cenderung menempatkan diri memiliki otoritas internal, sedangkan siswa akan memandang guru memiliki otoritas eksternal. Seseorang pada level multiplistik berpandangan bahwa segala sesuatu dihargai berdasarkan cara berpikir dan keyakinan masing-masing. Guru berperan membuat muridnya berpikir sesuai caranya masing-masing. Seorang guru pada level ini cenderung menciptakan pembelajaran yang bersifat demokratik. Dalam proses pembelajaran, guru cenderung menghargai pendapat siswa, walaupun pendapat tersebut bertentangan dengan guru. Seseorang pada level relativisme berpandangan bahwa tidak semua gagasan bernilai baik secara bersama, terdapat kriteria untuk mengevaluasi gagasan tersebut sesuai konteks evaluasinya. Pada level relativisme ini guru tidak sekedar mampu menciptakan pembelajaran demokratik, tetapi juga lebih obyektif. Pada proses pembelajaran, guru tidak akan memandang pendapat murid bertentang dengan dirinya, guru tidak mudah menyalahkan siswa yang bertentangan dengan pendapatnya. Guru akan memandang bahwa pendapat siswa yang bertentangan tidak bisa disalahkan, karena konteks berpikir siswa tersebut berbeda dengan konteks berpikir yang dimiliki guru. Guru pada level relativisme ini kiranya akan lebih mudah dalam menerapkan perubahan kurikulum dibandingkan guru pada level multiplistik. Pada tahap relativisme ini, guru tidak menggunakan kriteria benar atau salah dengan berorientasi pada pendapatnya sendiri. Kriteria
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
115
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
dalam menetapkan sesuatu itu benar atau salah tergantung dari konteks yang dihadapi. Dalam memberikan penilaian, kiranya guru pada level relativisme akan melakukan penilaian lebih teliti terhadap siswanya. Guru tidak dapat memberikan penilaian berdasarkan subyektifitas yang dimiliki guru. Namun penilaian yang dilakukan perlu mepertimbangkan berbagai faktor sesuai konteks berpikir siswa. Seseorang pada level komitmen berpandangan bahwa sesuatu keputusan hanya dapat dibuat dengan berdasarkan pada ketidakpastian (uncertainty). Pada tahap ini, seseorang akan menerima sesuatu gagasan bersifat alternatif, dan pengetahuan dipandang sebagai struktur individu dalam menafsirkan pengalaman yang dihadapi. Guru pada level ini kiranya akan mampu menerapkan berbagai perubahan kurikulum secara lebih baik. Setiap proses pembelajaran akan dirancang dengan sangat hati-hati, karena terdapat banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam menyusun rencana pembelajaran. Berbagai alternatif yang terjadi dalam proses pembelajaran akan diperhitungkan secara matang. Pada proses pembelajaran guru tidak mudah mengklaim setiap keputusan dengan ungkapan benar atau salah. Bahkan guru cenderung tidak mengatakan benar atau salah terhadap suatu keputusan, tetapi cenderung memberikan argumentasi terhadap setiap keputusan yang dibuat guru maupun siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru cenderung berada pada level rendah dari Pola Perry, dan sulit berpindah pada level yang lebih tinggi. Dikemukakan pula bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa para guru cenderung sulit menerima konsepsi konstruktivisme dalam pembelajaran matematika yang dapat menempatkan semua individu termasuk siswa sebagai seseorang yang mempunyai otoritas (Brown & Borko, 1992, h. 229). Kondisi ini menjadi tantangan berat bagi para guru dalam menerapkan setiap perubahan kurikulum . Guruguru pada level rendah cenderung melaksanakan proses pembelajaran bersifat sentralistik, sedangkan dalam perkembangan kurikulum
menuntut proses pembelajaran bersifat
demokratik. Guru yang akan menerapkan proses asesmen secara baik harus meningkatkan level tinggi dari Pola Perry. Upaya meningkatkan level lebih tinggi kiranya dapat dilakukan melalui serangkaian aktivitas profesional para guru.
D. Reformasi Proses Asesmen Matematis Reformasi proses asesmen matematis untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam rangka menghadapi pergeseran paradigma pembelajaran dapat dilakukan melalui berbagai sudut pandang. Romberg (2004,h.230) menawarkan empat langkah yang perlu dilakukan guru dalam mengembangkan proses asesmen, yaitu: initiate, investigate, interpret, dan integrate. Langkah pertama berorientasi ke arah memulai dengan pemahaman guru terhadap praktek asesmen, langkah kedua berorientasi pada keterlibatan guru dalam melakukan investigasi terhadap teknik asesmen. Langkah ketiga mengharapkan guru dapat menginterpretasikan hasil kerja siswa, langkah keempat memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan
116
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
lebih jauh terhadap praktek asesmen, antara lain melalui kegiatan lokakarya, atau kegiatan profesional guru lainnya. Apabila merujuk pada Battista (2007, h.836), reformasi proses asesmen matematis dapat dilakukan melalui pengintegrasian proses asesmen dalam pembelajaran konsep. Idea pembelajaran konsep menuntut guru melakukan pengkajian konsep matematika secara spesifik, sebelum melaksanakan proses pembelajaran. Pengkajian konsep matematika dapat dilakukan dengan mengidentifikasi konsep, dan membuat pertanyaan. Kemampuan mengidentifikasi konsep yang dimaksudkan dalam makalah ini dihubungkan dengan dua hal, yaitu memahami karakteristik konsep dan kemampuan memberikan contoh dan bukan contoh. Menyusun karakteristik konsep berarti melakukan analisis sifat-sifat terhadap konsep. Analisis sifat-sifat tersebit memberi dukungan dalam pengenalan pola. (Kellas, Ferraro & Simpson, 1988; dalam Bruning et.al., h. 26). Proses mengenal pola merupakan unsur penting dalam belajar matematika (Burger & Murser, 1991, h. 11; Fendel,1987, h. 104). Kemampuan memberikan contoh dan bukan contoh terhadap suatu konsep penting dimiliki oleh seorang guru, untuk membantu siswa agar siswa memahami secara mendalam dari konsep yang dipelajari. Kebiasaan guru dalam menyusun contoh dan bukan contoh dapat menciptakan aktivitas matematika di kelas. Booler (Lester, 2007, h. 411) memandang bahwa pemberian contoh dan bukan contoh sebagai aktivitas di kelas dapat memberi inspirasi dalam melakukan reformasi pembelajaran. Menurut Booler, belajar matematika di kelas secara aktif tidak sekedar hanya memiliki pengetahuan prosedural, tetapi akan mampu mengembangkan conceptual understanding, (Lester, h. 411) Disadari bahwa guru matematika di sekolah menengah tidak hanya dituntut untuk mampu mengidentifikasi konsep, tetapi juga dituntut mampu mengkomunikasikan kepada siswa . Komunikasi tersebut mempunyai peran penting dalam mengkonstruksi pemahaman anak, mengevaluasi, dan menginterpretasikan ide-ide (Bloomer & Carlson, 1993, h.2). Sebagai upaya untuk mampu mengkomunikasikan konsep matematika kepada siswa, guru perlu mempunyai kemampuan menyusun
pernyataan verbal terkait dengan konsep yang dikaji.
Seseorang dikatakan belajar matematika secara baik bila mampu menggunakan strategi penyelesaian masalah, dan dapat berkreasi terhadap masalah yang diselesaikan (Moses, dalam Brown, 1993, h. 187). Siswa mampu menggunakan strategi penyelesaian masalah, sangat dipengaruhi peran guru dalam memilih strategi pembelajaran di kelas. Kemampuan guru membuat pertanyaan dalam kegiatan mengajar di kelas akan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan kreatifitas siswa. Pertanyaan yang diformulasikan dengan baik oleh guru dapat meningkatkan partisipasi di kelas dan menjadikan siswa merasa dirinya mempunyai peran penting di dalam kelas. Cobb & Hadge (2002, h.408) memperkuat perlunya meningkatan partisipasi siswa dengan menggunakan istilah relational perspektif. Dalam prinsip relational
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
117
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
perspektif, partisipasi anak tidak hanya dikembangkan dalam pembelajaran di kelas, tetapi perlu pembentukan hubungan antara partisipasi di kelas dan praktek di luar kelas, dimana siswa berperan sebagai anggota masyarakat.
E. Penutup Pokok-pokok pikiran dalam mendukung kemampuan guru dalam proses asesmen matematik dalam menghadapi pergeseran paradigma pembelajaran dapat dideksripsikan sebagai berikut. 1. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak guru mengalami permasalahan dalam melaksanakan proses asesmen, namun demikian perlu disadari bahwa perkembangan kemampuan guru melakukan asesmen akan membawa dampak terhadap perubahan proses pembelajaran. Guru perlu membangun lingkungan belajar yang kondusif bagi anak didik, yaitu pembelajaran yang dilaksanakan secara terbuka, fleksibel, responsif, mendasarkan pada masalah, dan tidak berbelit-belit. 2. Guru yang akan menerapkan proses asesmen secara baik, perlu meningkatkan serangkaian aktivitas profesional, dapat menerima dan melaksanakan konsepsi konstruktivisme, dan dapat menempatkan individu termasuk siswa sebagai seseorang yang mempunyai otoritas. 3. Dalam mengembangkan proses asesmen, guru dapat melakukan empat langkah, yaitu: initiate, investigate, interpret, dan integrate. Langkah pertama berorientasi ke arah memulai dengan pemahaman guru terhadap praktek asesmen,
langkah kedua berorientasi pada
keterlibatan guru dalam melakukan investigasi terhadap teknik asesmen. Langkah ketiga mengharapkan guru dapat menginterpretasikan hasil kerja siswa, langkah keempat memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan lebih jauh terhadap praktek asesmen, antara lain melalui kegiatan lokakarya, atau kegiatan profesional lainnya.
F. Sumber Pustaka
Battista M.T. 2007. The development of geometric and spatial thinking. In Lester F.K, Jr. Second Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. NCTM Bell, F.H. 1978. Teaching and learning mathematics (in secondary schools). WCB. Iowa Borich G.D. 1992. Effective Teaching Methods. 2nd Eds. Merrill. Burger, W.F. & Murser, G.L. 2006. Mathematics for elementary teachers. Contemporary Approach. USA: Macmillan Bloomer, A.M. & Carlson, P.A.T. 1993. Activity math, using manipulative in the classroom. USA: Addison –Wesley Brown, C.A. & Borko, H. 1992. Becoming a mathematics teacher. In Grouws D.A. (Ed.) Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: NCTM Brown, S.I. & Walter, M.I.
1993. Problem posing: reflection and application. USA:
Lawrence, E.A. 118
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Howard T.C & Aleman G.R. 2008. Teacher capacity for diverse learner. In Cochran M-Smith etc.Handbook of Research on Teacher Education. Enduring Question in Changing Contexts. 3th Eds. Routledge Hino, K. & Shigematsu, K. 2002. Creating a frame of reference for mathematics teaching: a study of teacher change through an in-service education program. In Edge D & Har Y.B. (Eds). MathematicsEducation for a Knowledge-Based Era. Proceeding of ICMI Singapore:SEAME 9 Koplowitz. 1979. H. The feeling of knowing when one has solved a problem. In J.Lochhead & J. Clement (Eds.). Cognitive process instruction: Research in teaching thinking skill. Philadelphia: The Franklin Institute Press. Leinhardt, G. 1989. Math lesson: a contrast of novice and expert competence. Journal for Research in Mathematics Education. USA: NCTM Lester F.K. 1985. Methodological Consideration In Research on Mathematical Problem Solving Instruction. In TeAching and learning mathematical problem olving. Multiple reseach perspective (E.Silver),ed. Hillsdale.NJ:LEA. Romberg. (2004). Standard Based Mathematics Assessment in Midlle School. Rethinking College Press, Columbia University Schoenfeld, A. (1985). Mathematical Problem Solving. San Diego, CA: Academic Press. Victor, A.M. (2004). The effects of metacognitive instruction on the planning and academic achievement of first and second grade children. (Doctoral Thesis). Chicago, IL: Graduate College of the Illinois Istitute of Technology.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
119
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
PENGGUNAAN METODE MIND MAPPING (PETA PIKIRAN) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP
Ratna Cempaka Kombado1), Louise M. Saija Sihotang2) 1) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNAI Jl. Kolonel masturi no.288, e-mail:
[email protected] 2) Dosen FKIP Universitas Advent Indonesia Jl. Kolonel masturi no.288, e-mail:
[email protected] Abstrak Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa SMP. Kemampuan penalaran matematis pada siswa SMP masih rendah seperti yang dilaporkan dari berbagai hasil penelitan, sehingga dilakukan usaha untuk meningkatkannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu metode yang tepat untuk mengatasinya. Metode mind mapping digunakan untuk mengatasi hal tersebut. Metode ini menggunakan peta-peta pikiran yang bercabang-cabang, dan dengan metode ini dapat meningkatkan daya berpikir dan daya nalar seorang anak. Dalam penelitian ini, yang menjadi sampel adalah dari siswa SMPN 10 Cimahi dan ada 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan eksperimen dengan metode mind mapping. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen.Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, angket, wawancara, dokumentasi, dan tes. Keywords : Mind mapping, penalaran.
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan juga merupakan harapan bagi setiap orang. Priantini et al., (2013) melaporkan bahwa pendidikan juga merupakan hal yang sangat menarik untuk dibahas karena melalui usaha pendidikan diharapkan tujuan pendidikan akan segera tercapai. Hal tersebut juga terlihat pada era reformasi yang telah membuka ruang bagi masyarakat untuk membicarakan masalah pendidikan dengan lebih baik dan banyak orang tua yang sangat antusias untuk memasukkan anaknya ke sekolah unggulan, bahkan hal ini telah menjadi sebuah kompetisi pendidikan (Ali, 2009). Lee dan Statham., (2010) melaporkan bahwa untuk meningkatkan kemampuan belajar matematis siswa, hendaknya disertakan lima standar proses National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) ke dalam proses belajar mengajar. Lima standar proses di antaranya : 1) pemecahan masalah, 2) Penalaran, 3) komunikasi, 4) koneksi, dan 5) pemahaman. Tetapi pada kenyataannya, kemampuan penalaran matematis siswa khususnya siswa SMP masih rendah dibandingkan dengan kemampuan matematis lainnnya seperti yang dilaporkan oleh mullis et al,. (2012). Dapat dilihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa siswa di Indonesia memiliki kemampuan penalaran yang rendah dibandingkan dengan Negara lainnya. Padahal, penalaran matematis sangat dibutuhkan dalam matematika khususnya untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi siswa (Soares et al., 2012) dengan penalaran juga memungkinkan kita untuk mengevaluasi argument,
120
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
menguji hipotesis alternative, mengumpulkan bukti, menarik kesimpulan, dan pada akhirnya membuat keputusan untuk hidup kita (Metllidou et al., 2012).
Tabel 1.1 Presentase TIMSS 2011 Penilaian Matematika untuk Domain Kognitif Negara
Knowing
Applying
Reasoning
Singapura
82 (0.8)
73 (1.0)
62 (1.1)
Korea Ref.
80 (0.5)
73 (0.6)
65 (0.6)
Jepang
70 (0.6)
64 (0.6)
56 (0.7)
Malaysia
44(1.2)
33 (1.0)
23 (0.9)
Thailand
38 (1.0)
30 (0.8)
22 (0.8)
Indonesia
37 (0.7)
23 (0.6)
17 (0.4)
Rata-rata Internasional
49 (0.1)
39 (0.1)
30 (0.1)
Sumber: Mullis et al., (2012) Deporter., (2007) melaporkan bahwa banyak faktor yang melatar belakangi hal tersebut di atas, diantaranya adalah kurangnya pemahaman akan materi yang diberikan guru dalam pembelajaran matematika dan kurangnya saling pengertian antara Guru dan siswa. Hal ini bisa terjadi karena materi yang disampaikan belum terstruktur dengan baik dalam pikiran seorang anak dan juga kurangnya kreatifitas serta cara bernalar seorang anak terhadap materi yang disampaikan kurang maksimal (Lamon, 2007), serta penggunaan metode dalam pembelajaran matematika yang belum efektif dan efisien (Kamaruddin & Amin, 2012). Mencermati hal-hal di atas, guru sangat berperan penting dalam kesuksesan seorang siswa. Kamaruddin dan Amin., (2012) melaporkan bahwa guru hendaknya memilih strategi pembelajaran yang tepat yang dapat meningkatkan kemampuan bernalar dan kreativitas dalam belajar khususnya dalam pembelajaran matematika. Banyak strategi pembelajaran yang dapat digunakan, salah satu diantaranya ialah Mind Mapping (Peta Pikiran). Metode mind mapping sangat cocok digunakan sebagai suatu metode pada pembelajaran karena dengan metode mind mapping dapat meningkatkan pemikiran seorang anak dan dapat menyampaikan apa yang telah ia dapatkan dengan baik, yaitu dengan cara berdiskusi (Riswanto & Putra, 2012). Selain itu, metode mind mapping dapat digunakan untuk belajar dan mengingat juga menyelesaikan masalah yang sangat rumit sekalipun dan membuat memori jangka panjang (Adodo, 2013) dan melalui metode mind mapping jugapenalaran secara signifikan ditingkatkan dan ini sangat efektif untuk digunakan (Cheng et al., 2010). Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
121
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
KAJIAN TEORITIS A. Kemampuan Penalaran Matematis Istilah panalaran atau reasoning dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir seseorang khususnya siswa dan mampu menghubungkan dan membandingkan fakta-fakta dan akhirnya menuju kepada suatu kesimpulan (Cetin & Ertekin, 2011). Penalaran merupakan suatu proses yang akhirnya menuju kepada suatu kesimpulan yang merupakan pernyataan baru dan yang berasal dari pernyataan-pernyataan yang telah diketahui sebelumnya (Siswanto & Rechana, 2011). Penalaran matematis sangat dibutuhkan dalam matematika khususnya untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi siswa (Soares et al., 2012). Wardhani (2010) melaporkan indikator-indikator kemampuan penalaran yang harus dicapai oleh seorang siswa, yaitu : 1. Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, gambar, dan diagram 2. Mengajukan dugaan 3. Melakukan manipulasi matematika 4. Menarik kesimpulan dari sebuah pernyataann 5. Memeriksa kesahihan suatu argument 6. Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi
B. Mind Mapping Mind Mapping atau peta pikiran petama kali dikembangkan oleh Tony Buzan. Mind mapping merupakan satu strategi yang melibatkan topik dari suatu ide di tengah dari sebuh kertas dan membuat cabang-cabang dari topic atau yang menjadi bagian dari topik. Ini adalah sebuah
alat
visual
yang
dapat
menghasilkan
ide-ide,
mengorganisir
pikiran
dan
mengembangkan konsep dengan menggunakan berbagai warna (Al-Jarf, 2011). Jones et al., (2012) melaporkan bahwa ada tiga kegiatan pemetaan pikiran yang dikelompokkan menjadi tiga tingkatan meditasi sosial, yaitu : 1. Selama proses belajar mengajar berlangsung, siswa dituntut atau diwajibkan untuk membuat peta dengan buku catatan 2. Siswa diberikan satu jam di kelas untuk menyelesaikan peta dan serahkan ke guru yang menjadi seorang instruktur dan guru tetap berada di kelas untuk menjawab setiap pertanyaan yang diberikan oleh siswa. Siswa diajak untuk bekerja dengan siswa lain di kelas mereka. 3. Guru membagi siswa kedalam tiga atau empat kelompok, dan siswa diajak untuk mebuat peta pikiran secara berkelompok yang telah dibagikan. Dari pernyataan di atas, dapat kita simpulkan bahwa siswa diajak atau diwajibkan untuk membuat peta pikiran baik secara individu ataupun secara berkelompok dari pelajaran yang mereka pelajari.
122
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Al-jarf (2011) melaporkan bahwa mind mapping dapat digunakan oleh guru untuk meningkatkan belajar seorang anak. Hal ini juga berguna untuk pelajar dengan cara visual sebagai alat ilustrasi yang dapat membantu mengelola cara berpikir seorang anak, mengarahkan pembelajaran, dan membuat koneksi dari setiap pelajaran yang telah dipelajari dengan yang sedang dipelajari dan akan dipelajari. Metode mind mapping sangat cocok digunakan sebagai suatu metode pada pembelajaran karena dengan metode mind mapping dapat meningkatkan pemikiran seorang anak dan dapat menyampaikan apa yang telah ia dapatkan dengan baik, yaitu dengan cara berdiskusi (Riswanto & Putra, 2012). Oleh sebab itu efesiensi penggunaannya sangat tinggi. Selain itu, metode mind mapping dapat digunakan untuk belajar dan mengingat juga menyelesaikan masalah yang sangat rumit sekalipun dan membuat memori jangka panjang (Adodo, 2013). Selain itu, dengan menggunakan metode mind mapping penalaran secara signifikan ditingkatkan dan ini sangat efektif digunakan (Cheng et al., 2010). Adapun langkah-langkah dalam membuat mind mapping seperti yang dilaporkan oleh Cheng et al., (2010) sebagai berikut : 1. Tempatkan topi yang akan dibahas di tengah. Mulailah dari tengah kertas, sebagaimana cara berpikir kita. 2. Alangkah baiknya jika menggunakan kertas yang memiliki kualitas tinggi dan kertas A3 yang kosong atau kertas A4 dan letakkan horizontal. 3. Kertas yang memmiliki kualitas yang baik dapat membuat perasaan yang nyaman, sedangkan kertas kosong menyediakan ketidakterbatasan dan memberikan ruang untuk bebas dalam berpikir. 4. Aplikasi gambar-lebih baik jika menggunakan banyak warna dan tiga dimensi karena akan memicu pola pikir dan lebih mudah memperkuat daya ingat ketika lebih dekat dengan kehidupan nyata. 5. Aplikasi warna-warna yang berbeda memiliki arti yang berbeda untuk semua orang. 6. Aplikasi kata-kata dari setiap garis merupakan kata kunci, tulislah dengan rapi in lembar kertas yang kosong dan letakkan hanya satu kosa kata. 7. Panjang garis harus sama dengan ukuran gambar atau panjang kalimat. 8. Garis harus halus dan terstruktur dan dihubungkan satu sama lain. 9. Ketebalan garis tergantung pada jarak dari pusat. Semakin dekat ke pusat, semakin tebal garis tersebut. Tetapi dapat disesuaikan dengan situasi yang berbeda. 10. Sangat penting bentuk dari mind mapping harus menyoroti poin dan menunjukkan bentuk sendiri.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
123
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Gambar 1.1 METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode mind mapping atau peta pikiran. Penelitian ini dilakukan guna meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa SMP khususnya kelas VII C dan kelas VII D sebagai sampel dalam penelitian ini. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada semester ganjil tahun akademik 2013/2014 di SMP Negeri 10 Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Target/Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah siswa kelas VII C dan kelas VII D SMP Negeri 10 Cimahi yang masing-masing kelas terdiri dari 31 orang siswa. Prosedur Adapun prosedur dalam penelitian eksperimen dapat dilihat pada Gambar 2.2:
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Data, instrument dan teknik pengumpulan data merupakan suatu tahap yang sangat penting dilakukan dalam penelitian. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah semua data yang berhubungan dengan kemampuan penalaran matematis siswa dan sikap siswa terhadap aspek yang dinilai. Untuk mendapat data dan informasi yang lengkap yang bersangkutan dengan penelitian ini, maka dibuat instrument tes yang diberikan pada tahap awal 124
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
dan akhir penelitian, tetapi sebelumnya tes sudah diujicobakan dan dianalisis. Selain instrumen tes, maka pada penelitian ini digunakan juga instrumen non tes, berupa angket. Langkahlangkah untuk mengumpulkan data-data tersebut di atas adalah sebagai berikut : 1. Semua data yang berhubungan dengan kemampuan penalaran matematis siswa, dikumpulkan melalui pre-test dan post-test. 2. Data yang berhubungan dengan sikap siswa selama pembelajaran dengan menggunakan metode mind mapping, dikumpulkan melalui angket skala sikap siswa seusai pemberian materi ajar.
Mengidentifikasi Masalah
Persiapan Penelitian
Penyusunan Instrumen Penelitian Pre-Test
Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
Post-Test
Angket Skala Skiap
Pengolahan Data
Analisis Kemampuan Penalaran Matematis
Penarikan Kesimpulan
Gambar 1.2. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
125
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Teknik Analisis Data Terhadap data hasil uji coba dilakukan analisis validitas, reliabilitas, daya beda dan tingkat kesukaran. Sedangkan terhadap data hasil pre-test dan post-test dilakukan teknik analisis data sebagai berikut : analisis data Gain, Uji Normalitas, Uji homogenitas dan Uji perbedaan dua rata-rata. 1. Analisis Data Gain Analisis data gain dilakukan untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dan dilakukan analisis terhadap hasil tes awal (pre-tes) dan tes akhir (post-tes). Berikut ini merupakan rumus Gain ternormalisasi oleh Hake, dengan rumus sebagai berikut: 𝑔𝑛 =
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑜𝑠𝑡 𝑡𝑒𝑠𝑡 −(𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒 𝑡𝑒𝑠𝑡 ) 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑖𝑑𝑒𝑎𝑙 −(𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑝𝑟𝑒 𝑡𝑒𝑠𝑡 )
Hake ( Afrilianto, 2012)
Dari hasil perhitungan gain dikategorikan sebagai berikut : Tabel 3.6 Klasifikasi Gain (g) Besarnya Gain (g)
Interpretasi
g≥ 0,7
Tinggi
0,3 ≤ g < 0,7
Sedang
g < 0,3
Rendah (Hake, Afrilianto, 2012)
2. Uji Normalitas Langkah pertama adalah melakukan uji normalitas. Uji normalitas ini berfungsi untuk melihat dan mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak. Hipotesis nol untuk uji ini adalah
: 𝐻0 = skor kemampuan penalaran matematis siswa berasal dari populasi yang
berdistribusi normal.𝐻0 tidak ditolak jika nilai signifikan lebih dari α = 0,05. Untuk Uji normalitas digunakan uji Shapiro-Wilk sebagai berikut: 𝑤=
( 𝑛𝑖=1 𝑎 𝑖 𝑥 𝑖 )2 𝑛 2 𝑖=1 𝑥 1 −𝑥
(Uyanto dalam Tarigan ,2013)
Dengan ; 𝑋(𝑖) = statistik tatanan 𝑥
1 , 𝑥(2) , … , 𝑥(𝑛)
𝑎(𝑖) = konstanta yang diperoleh dari nilai rata-rata (mean), varians dan kovarians sampel tatanan sebesar n dari distribusi normal. 3. Uji Homogenitas Untuk mengetahui apakah data berasal dari populasi-populasi yang memiliki varians yang homogen dan tidak homogen, maka dilakukan uji homogenitas. Untuk uji homogenitas ini digunakan rumus Uji-F sebagai berikut : 126
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
𝑠2
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 𝑠𝑒2 , (Sudjana dalam Tarigan, 2013) 𝑘
Keterangan : F
: Nilai F
𝑠𝑒2
: Varians data kelas eksperimen
𝑠𝑘2
: Varians data kelas kontrol
Ho : 𝜌𝑒2 = 𝜌𝑘2 tidak akan ditolak jika nilai signifikan > α = 0,05 Artinya : varians dari kedua populasi data homogeny 4. Uji Perbedaan Dua Rata-rata Pengujian ini memiliki hipotesis sebagai berikut : 𝐻0 𝜇𝑘 = 𝜇𝑒 : Tidak terdapat peningkatan rata-rata kemampuan penalaran matematis siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan metode mind mapping dengan pembelajaran konvensional atau biasa. 𝐻𝑎 𝜇𝑘 < 𝜇𝑒 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan rata-rata kemampuan penalaran matematis siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan metode mind mapping dengan siswa yang mendapat pembelajaran dengan metode mengajar konvensional (biasa).
Hipotesis dari penelitian ini diuji dengan menggunakan uji-t sebagai berikut : 𝑡=
𝑥1− 𝑥2 1 2 1 𝑠𝑔 + 𝑛 𝑛 1
2
Dengan standar deviasi gabungan (𝑠𝑔 ) dapat dihitung dengan menggunakkan rumus sebagai berikut : 𝑠𝑔2 =
𝑛 1 −1 𝑠12 + 𝑛 2 −1 𝑠22 𝑛 1 +𝑛 2 −2
(Sudjana dalam Astuti et al., 2012)
Jika terdapat populasi yang tidak terdistribusi normal, maka dapat menggunakan statistik uji non parametrik, yaitu uji Mann-Whitney. Rumus untuk uji Mann Whitney adalah ebagai berikut : 𝑢 = 𝑛1 𝑛2 +
𝑛𝑖 (𝑛𝑖+ 1) − 𝑅𝑖 2
Dimana; 𝑅𝑖 =
jumlah
peringkat
yang
diberikan
pada
sampel
dengan
jumlah
𝑛𝑖
𝑅𝑖 = jumlah peringkat yang diberikan pada sampel dengan jumlah 𝑛𝑖 . 𝑖 = 1,2
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
127
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian berikut yang dilakukan oleh Siswanto & Rechana (2011) yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads Together) Menggunakan Peta Konsep dan Peta Pikiran Terhadap Penalaran Formal Siswa”, berdasarkan hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe NHT menggunakan peta pikiran lebih berpengaruh terhadap penalaran formal siswa. Penelitian berikut yang dilakukan oleh Priantini et al., (2013) dengan judul penelitiaan “Pengaruh Meode Mind Mapping Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Prestasi Belajar IPS”, berdasarkan data yang diperoleh hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) terdapat perbedaan keterampilan berpikir kreatif yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran menggunakan metode Mind Mapping dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional, dan 2) Secara simultan keterampilan menggunakan metode Mind Mapping lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Penelitian yang sedang dilaksanakan berpusat pada mind mapping dengan warna dan kertas, yang dapat memicu kemampuan bernalar, daya ingat dan pola pikir siswa yang terarah. Seperti yang telah di bahas bahwa metode mind mapping merupakan satu strategi yang melibatkan topik dari suatu ide di tengah dari sebuh kertas dan membuat cabang-cabang dari topic atau yang menjadi bagian dari topik. Ini adalah sebuah alat visual yang dapat menghasilkan
ide-ide,
mengorganisir
pikiran
dan
mengembangkan
konsep
dengan
menggunakan berbagai warna (Al-Jarf, 2011). Metode mind mapping juga dapat digunakan untuk belajar dan mengingat juga menyelesaikan masalah yang sangat rumit sekalipun dan membuat memori jangka panjang (Adodo, 2013). Selain itu, dengan menggunakan metode mind mapping penalaran secara signifikan ditingkatkan dan ini sangat efektif digunakan (Cheng et al., 2010). Dalam pembuatan mind mapping digunakan kertas A4 dengan kualitas yang baik. Kertas yang memiliki kualitas yang baik dapat membuat perasaan yang nyaman, sedangkan kertas kosong menyediakan ketidakterbatasan dan memberikan ruang untuk bebas dalam berpikir. Pembuatan mind mapping juga menggunakan Aplikasi gambar degan menggunakan banyak warna. Warna yang berbeda memiliki arti yang berbeda untuk semua orang.
Dengan
menggunakan banyak warna dan tiga dimensi akan memicu pola pikir dan lebih mudah memperkuat daya ingat ketika lebih dekat dengan kehidupan nyata (Cheng et al., 2010). Berdasarkan kajian teori di atas, penelitian yang sedang dilakukan dengan judul “Penggunaan Metode Mind Mapping (Peta Pikiran) untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SMP” dapat diprediksi akan menghasilkan: 1) kemampuan penalaran siswa yang tinggi khususnya untuk siswa SMP, 2) siswa-siswa yang kreatif dalam membuat mind mapping nya sendiri, dan 3) sikap yang baik terhadap pembelajaran ini karena
128
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
siswa memiliki pengalaman belajar yang berbeda, menantang mereka untuk berpikir dan menyenangkan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan kajian teori dan penelitian yang sedang berlangsung, maka dapat saya simpulkan sebagai berikut: 1. Penelitian dengan menggunakan metode mind mapping ini akan menghasilkan kemampuan penalaran siswa yang tinggi khususnya untuk siswa SMP. 2. Penelitian ini akan menghasilkan siswa-siswa yang kreatif dalam membuat mind mapping nya sendiri. 3. Dapat dipredidksi sikap yang baik terhadap pembelajaran ini karena siswa memiliki pengalaman belajar yang berbeda, menantang mereka untuk berpikir dan menyenangkan.
Saran Berdasarkan kajian teori dan penelitian yang sedang berlangsung, maka dapat disarankan sebagai berikut: 1. Bagi guru matematika, agar dapat menggunakan metode mind mapping sebagai salah satu media untuk melatih dan meningkatkan penalaran dan berpikir kreatif siswa. 2. Bagi siswa, agar terus termotivasi untuk membiasakan diri dalam cara bernalar dalam belajar matematika dengan menggunakan mind mapping. 3. Bagu peneliti lain, agar dapat dipergunakan sebagai masukan untuk menggunakan metode mind mapping dalam meneliti dengan materi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Adodo, S.O. (2013). Effect of Mind Mapping as a Self-Regulated Learning Strategy on Students‟ Achievement in Basic Science and Thechnology. Mediterranean Journal of Social Sciences Vol 4 No.6, hal 163-164 Afrilianto, M. (2012). Peningkatan Pemahaman Konsep dan Kompetensi Strategis Matematika Siswa SMP Dengan Pendekatan Metaphorical Thinking. Dalam Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Volume 1, Nomor 2, September 2012. Al-jarf, R. (2011). Teaching Spelling Skills with a Mind Mapping Software. Asian EFL Journal Professional Teaching Articles Vol 53, hal 4-5 Ali, M. (2009). Pendidikan untuk Pembangunan Nasional : Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri. Bandung : PT. Imperial Bakti Utama. Tersedia Online : http://books.google.co.id/books?id=g3ZUyBYo94YC&printsec=frontcover&dq=M
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
129
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
ohammad+Ali+pendidikan&hl=en&sa=X&ei=nBBuUdGxBo3xrQeD7oHwDA&re dir_esc=y [diakses tanggal 17 April 2013] Astuti, S., (2012). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Active Knowledge Sharing Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Poko Bahasan Kelarutan dan Hasil Ksli Kelarutan di Kelas XI SMA Al Huda Pekanbaru. Skripsi pada Universitas Riau : Diterbitkan. Cetin, H & Ertekin, E., (2011). The Relationship Between eigth grade primary School Students‟ Proportional Reasoning Skills and Success in Solving Equations. Dalam International Journal of Instruction, Volume 4, Nomor 1, Januari 2011. Cheng W.W., Chieh L.C. dan Chien C.Y. (2010). A Brief Review on Developing Creative Thinking in Young Children by Mind Mapping. International Business ResearchVol 3 No. 3, hal 233-234 Deporeter, B et al., (2007). Quantum Teaching. Bandung : Kaifa. Tersedia Online : http://books.google.co.id/books?id=oRQbeySpce8C&printsec=frontcover&source=gbs_g e_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false [diakses tanggal 05 mei 2013] Kamaruddin, k. & Amin Z. (2012). Dilemma in Teaching Mathematics. Dalam US-China Education Review B 2, 2012 Jones B. D., Ruff C., Petrich B., dan Koonce C. (2012). The Effects of Mind Mapping Activities on Students‟ Motivation. International Journal for the Scholarship of Teaching and Learning Vol 6 No.1, Hal 6 Lamon, S. J. (2007). “Rational numbers and proportional reasoning”, dalam Make Your Own Paint Chart. Australia : University of Tasmania. Lee K, H dan Statham A., (2010). The Impacts of a Service-Learning Experience on Preservice Mathematics Teachers. IUMPST journal Vol 2 Metallidou P., Diamantidou E., Konstantinopoulou E., dan Megari K. (2012). Changes in Children‟s Beliefs about Everyday Reasoning : Evidence from Greek Primary Students. Australian Journal of Education & Developmental Psycology Vol 12, hal 83 Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. (2012). TIMSS 2011 Internastional Result in Mathematics. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center, BostonCollege. Priantini, D. A. M. M. O., Atmadja, N.B., Marhaeni, A.A.I.N. (2013). Pengaruh Metode Mind Mapping Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Prestasi Belajar IPS. Dalam eJournal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Dasar, Volume 3, Tahun 2013
130
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Riswanto dan Putra P.P. (2012). The Use of Mind Mapping Strategy in the Teaching of Writing at SMAN 3 Bengkulu, Indonesia. International Journal of Humanities and Social Science Vol.2 No. 21, hal. 60 Siswanto J, dan Rechana S. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads Together) Menggunakan Peta konsep dan peta Pikiran Terhadap Penalaran Formal Siswa. JP2F Vol 2, No.2 Soares M.T.C., Maro.L.F. dan Spinillo.A.G. (2012). Graps of Consciousbess and Performance in Mathematics Making Explicit the Ways of Thingking in Solving Cartesian Product Problems. Us-China Review Vol 5, hal 484-489 Tarigan, L. L. (2013). Meningkatkan Kemampuan Komunkasi Matemtis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Throwing. (Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas V11-D SMPN 1 Parompong). Skripsi FKIP UNAI Bandung : Tidak Diterbitkan. Wardhani S. (2010). Teknik Pengembangan Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika Di SMP/MTs.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
131
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
PENGEMBANGAN RUBRIK PEER ASSESSMENT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH PADA PERKULIAHAN TEORI GRAF Erika Laras Astutiningtyas, Utami Murwaningsih, Januar Budi Asmari Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Jl. Letjend. S. Humardani No.1 Jombor Sukoharjo E-mail:
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan pengembangan rubrik peer assessment dengan model ADDIE pada perkuliahan Teori Graf, (2) menghasilkan rubrik peer assessment pada perkuliahan Teori Graf, (3) mengetahui efektifitas rubrik peer assessment untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah Teori Graf. Penelitian ini tergolong penelitian pengembangan dengan produk: rubrik peer assessment dan modul kuliah Teori Graf. Model pengembangan yang digunakan adalah ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluation). Penelitian ini dibatasi pada tahap development. Pengumpulan data dilakukan dengan metode angket, pengamatan dan tes. Instrumen penelitian terdiri dari: lembar validasi, checklist keterlaksanaan perkuliahan, angket mahasiswa, dan tes pemecahan masalah. Analisis data kualitatif dilakukan dengan telaah data, reduksi data, dan kesimpulan. Skor kemampuan pemecahan masalah Teori Graf dianalisis dengan uji beda rerata. Metode Lilliefors dan Bartlett digunakan untuk menguji normalitas dan homogenitas. Berdasarkan penelitian diperoleh: (1) pengembangan rubrik peer assessment dengan model ADDIE pada penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu analysis untuk menentukan pengembangan yang dilakukan, design meliputi perancangan draft modul perkuliahan dan rubrik peer assessment, development meliputi expert judgement dan uji terbatas produk, (2) luaran penelitian berupa modul perkuliahan, dan rubrik peer assessment, (3) penerapan rubrik peer assessment pada perkuliahan Teori Graf menghasilkan kemampuan pemecahan masalah lebih tinggi daripada traditional assessment. Kata-kata kunci : peer assessment, penilaian sebaya, model ADDIE
PENDAHULUAN Teori Graf adalah bagian dari Matematika Diskrit. Materi yang terdapat pada mata kuliah Teori Graf dapat diaplikasikan dalam beberapa kebutuhan, misalnya perencanaan jalur transportasi, dan strategi penentuan jalur distribusi dengan konsep minimum spanning tree dan Hamiltonian Graf. Keragaman masalah pada mata kuliah Teori Graf bertujuan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa. Akan tetapi, pada kenyataannya tujuan tersebut belum dapat terlaksana. Hal ini terlihat pada Tabel 1.1 yang menunjukkan nilai Teori Graf mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Tahun Akademik 2011/2012. Tabel 1 Sebaraan Nilai Teori Graf Tahun Akademik 2011/2012 Kategori
A
B
Interval Nilai (x) 85 <x 100 75 <x 85 Prosentase
132
4%
10%
C
D
E
60 <x 75
50 <x 60
0 x 50
41%
25%
20%
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Tabel 1 menunjukkan bahwa hanya 14% dari mahasiswa yang memiliki nilai di atas 75, artinya hanya 7% dari mahasiswa yang menguasai lebih dari 75% materi, dan selebihnya memiliki penguasaan kurang dari 75%. Fakta yang diperoleh dari data nilai tersebut, mendorong untuk segera mencari tahu apa penyebab dan bagaimana mencari solusinya. Angket respon mahasiswa tentang perkuliahan teori graf telah disebarkan kepada 80 responden memberikan informasi bahwa sebanyak 85,5% dari responden mengalami kesulitan pada mata kuliah Teori Graf seperti pada Gambar 1 berikut. Angket Respon Mahasiswa 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0%
55%
27.5% 15% 2.5% Sangat Sulit
Sulit
Mudah
Sangat Mudah
Gambar 1 Diagram Hasil Angket Respon Mahasiswa
Berdasarkan hasil angket, ternyata ketika mengalami kesulitan, 55% responden lebih suka bertanya kepada teman, 29% suka bertanya kepada dosen pengampu dan 19% memilih untuk mencari buku dan referensi yang lain. Oleh karena itu, peran teman sebaya dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah harus dikaji lebih lanjut. Peer assessment adalah salah satu teknik penilaian yang melibatkan teman sebaya dalam proses penilaian. Sejalan dengan hasil studi pendahuluan di atas, perlu diujikan apakah Peer assessment mampu membantu mahasiswa untuk memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik. Penilaian merupakan alih bahasa dari kata Assessment. Zainal Arifin (2012) menyebutkan bahwa penilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam rangka membuat keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbangan tertentu. Zulrahman (2007) menyatakan bahwa peer asessment adalah sebuah proses dimana seorang pelajar menilai hasil belajar teman atau pelajar lainnya yang bersifat se-level. Maksud dari selevel adalah jika dua orang atau lebih berada dalam level kelas yang sama atau subyek pelajaran yang sama. Boud and Falchikov (2007) menyatakan bahwa peer assessmet mengharuskan siswa untuk memberikan umpan balik rekan-rekan mereka pada produk atau kinerja, berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Boud and Falchikov (2007) juga menyebukan beberapa hal yang terkandung dalam peer assessment berikut. (1) Umpan balik pelaksanaan peer assessment mendorong pembelajaran kolaboratif melaluiinterchange tentang apa yang merupakan pekerjaan yang baik. (2) Siswa dapat saling membantu untuk memahami materi yang nantinya
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
133
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
diharapkan mampu mendapatkan pemahaman lebih baik. (3) Siswa dapat meningkatkan kemampuan penilaian dan membuat pilihan intelektual. (4) Siswa mendapatkan berbagai gagasan tentang pekerjaan mereka untuk selanjutnya dilakukan pengembangan dan perbaikan. (5) Proses dalam peer assessment mendorong siswa untuk mengklarifikasi, meninjau dan mengedit ide-ide mereka. Proses peer assessment dapat membantu siswa belajar menerima dan memberikan umpan balik. Boud and Falchikov (2007) menyatakan bahwa bukti menunjukkan tentang peningkatan kemampuan siswa peer assessment. Siswa perlu berlatih untuk mendapatkan kepercayaan dalam peer assessment dan menjadi lebih kompeten dalam hal itu.. Ada empat langkah dalam perencanaan dan penerapan peer assessment agar efektif yaitu sebagai berikut. (1) Penyampaian maksud dan tujuan peer assessment kepada semua partisipan yang terlibat. (2) Penggunaan kriteria standar penilaian harus jelas dan mudah dipahami. Kriteria harus disampaikan kepada partisipan. Kriteria ini meliputi berapa banyak partisipan yang terlibat, karakteristik partisipan, komponen kompetensi apakah yang akan dinilai, kapan penilaian akan dilaksanakan, dan juga metode pengambilan data (checklist, rating form, scoring key). (3) Pelatihan perlu dilakukan untuk semua partisipan. Pelatihan yang intensif perlu dilakukan untuk para mahasiswa yang pertama kali menghadapi penilaian ini. Pelatihan ini mencakup pelatihan mengenai penentuan kriteria penilaian dan pelatihan cara memberikan feedback yang efektif. (4) Hasil penilaian perlu dimonitor, apakah hasil penilaian dari peer dan instruktur, dalam hal ini pengajar, sudah memiliki kesamaan. Hal ini perlu untuk mengidentifikasi hal-hal yang dapat menyebabkan perbedaan hasil penilaian oleh peer dan instruktur sehingga nantinya dapat diperbaiki. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa proses peer assessment dimulai dengan mendiskusikan item dan kriteria penilaian oleh dosen dan para mahasiswa. Kemudian masingmasing mahasiswa menilai teman mereka yang telah ditunjuk dan juga memberikan feedback. Hasil penilaian ini biasanya dicocokkan dengan hasil penilaian dosen. Apabila selisih nilai penilaian peer kurang dari 10 % maka penilaian ini dapat diterima. Menurut Polya (1973) memecahkan masalah terdiri atas empat langkah, yaitu: (l) memahami masalah, (2) menyusun rencana penyelesaian masalah, (3) melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan (4) mengecek penyelesaian masalah. Penjelasan setiap tahapnya adalah sebagai berikut. (1) Memahami masalah, pada tahap ini, kegiatan diarahkan untuk membantu siswa menetapkan apa yang diketahui pada permasalahan dan apa yang ditanyakan. Beberapa pertanyaan perlu dimunculkan kepada siswa untuk membantunya dalam memahami masalah ini. (2) Menyusun rencana penyelesaian masalah, pendekatan pemecahan masalah tidak akan berhasil tanpa perencanaan yang baik. Pada tahap ini, siswa diarahkan untuk dapat mengidentifikasi strategi pemecahan masalah yang sesuai. Hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah apakah strategi tersebut berkaitan dengan permasalahan yang akan dipecahkan. (3) Melaksanakan rencana penyelesaian masalah, jika siswa telah memahami 134
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
permasalahan dengan baik dan sudah menentukan strategi pemecahannya, langkah selanjutnya adalah melaksanakan penyelesaian soal sesuai dengan yang telah direncanakan. Kemampuan siswa memahami substansi materi dan keterampilan siswa melakukan perhitungan-perhitungan matematika akan sangat membantu siswa untuk melaksanakan tahap ini. (4) Mengecek penyelesaian masalah, langkah memeriksa ulang jawaban yang diperoleh penting dilakukan untuk mengecek apakah hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi kontradiksi dengan yang ditanya. Penskoran pada kemampuan pemecahan masalah yang akan digunakan pada penelitian ini mengadopsi pada model Schoem dan Ochmke (dalam Fina L.H, 2006) seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 2. Penskoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Skor
0
1
Memahami Masalah Salah menginterpretasikan / tidak memahami soal / tidak ada jawaban Interpretasi soal kurang tepat/ salah menginterpretasikan sebagian soal/ mengabaikan kondisional
Memahami soal dengan baik 2
Merencanakan strategi penyelesaian yang tidak relevan
Membuat rencana strategi penyelesaian yang tidak relevan
Melaksanakan Strategi Penyelesaian Tidak ada penyelesaian sama sekali
Memeriksa Kembali Hasil
Melaksanakan prosedur yang benar dan mungkin menghasilkan jawaban yang benar tapi salah perhitungan/ penyelesaian tidak lengkap Melakukan prosedur/proses yang benar dan mendapatkan hasil yang benar
Ada pengecekan jawaban/ hasil tidak tuntas
Pengecakan dilaksanakan untuk melihat kebenaran proses
Membuat rencana strategi penyelesaian tetapi tidak lengkap Membuat rencana strategi penyelesaian yang benar dan mengarah pada jawaban yang benar
3
4
Skor Maks
Merencanakan Strategi Penyelesaian Tidak ada rencana strategi penyelesaian
2
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
4
2
2
135
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini tergolong dalam penelitian pengembangan, hal ini sesuai dengan tujuan penelitian. Produk yang akan mengembangkan adalah rubrik peer assessment pada mata kuliah Teori Graf. Sejalan dengan pengembangan rubrik peer assessment dikembangkan pula modul mata kuliah Teori Graf yang mengarah pada pelaksanaan peer assessment. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo. Perancangan produk dilakukan pada semester genap Tahun Akademik 2012/2013. Pelaksanaan uji terbatas terhadap produk yang dihasilkan dilakukan pada semester gasal Tahun Akademik 2012/2013. Target Penelitian Luaran yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Rubrik peer assessment, dilengkapi kriteria standar penilaian kemampuan pemecahan masalah mahasiswa pada perkuliahan Teori Graf. (2) Modul mata kuliah Teori Graf. Prosedur Penelitian Model pengembangan yang akan digunakan adalah model ADDIE dari Dick and Carry. ADDIE
merupakan
singkatan
dari
Analysis, Design, Development
or
Production,
Implementation or Delivery and Evaluations. Endang Mulyatiningsih (2012) menyatakan bahwa model ini dapat digunakan untuk berbagai macam bentuk pengembangan produk seperti model, strategi pembelajaran, metode pembelajaran, media dan bahan ajar. Menurut Benny A. Pribadi (2009) model pengembangan ADDIE terdiri atas 5 langkah pokok, yaitu Analysis, Design, Development, Implementation, dan Evaluation. Kegiatan pada tahap analysis adalah menganalisis urgensi pengembangan perangkat pembelajaran, menganalisis kelayakan dan syarat-syarat pengembangan media pembelajaran baru. Pengembangan media pembelajaran diawali oleh adanya masalah. Setelah itu, dilakukan analisis perlunya pengembangan media pembelajaran baru, menganalisis kelayakan dan syarat pengembangan media pembelajaran baru tersebut. Tahap design merupakan proses sistematik yang dimulai dari menetapkan tujuan belajar, merancang skenario kegiatan belajar mengajar, merancang perangkat dan materi pembelajaran serta alat evaluasi hasil belajar. Rancangan perangkat pembelajaran ini masih bersifat konseptual. Development dalam model ADDIE berisi kegiatan realisasi rancangan produk. Dalam tahap desain, telah disusun kerangka konseptual perangkat pembelajaran yang baru. Pada tahap development, kerangka konseptual direalisasikan menjadi produk yang siap diimplementasikan. Pada tahap implementasi perangkat yang dikembangkan pada situasi di kelas. Selama implementasi, rancangan media/metode yang telah dikembangkan diterapkan pada kondisi yang sebenarnya. Setelah penerapan, dilakukan evaluasi awal untuk memberi
136
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
umpan balik. Rancangan penelitian pengembangan rubrik peer assessment ini mengacu pada model ADDIE yang dibatasi sampai 3 tahap yaitu analysis, design, dan development. Data, Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data Instrumen penelitian ini terdiri dari lembar validasi untuk rubrik, modul kuliah, dan instrumen tes kemampuan pemecahan masalah. Instrumen yang lain adalah checklist keterlaksanaan perkuliahan, angket mahasiswa, dan soal tes pemecahan masalah. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, angket, pengamatan, dan tes. Metode angket digunakan untuk mengumpukan data pada identifikasi permasalahan dalam tahap analysis dan design. Selain itu metode angket digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan perkuliahan dan respon mahasiswa. Metode pengamatan dilakukan untuk mengetahui keterlaksanaan proses perkuliahan dengan instrumen yang dipakai berupa checklist dari observer. Metode tes digunakan untuk mengumpulkan data kemampuan pemecahan masalah mahasiswa pada mata kuliah Teori Graf. Sebelum digunakan, seluruh instrumen penelitian harus melalui expert judgement. Data penelitian ini ada dua macam, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif berupa lembar validasi perangkat pembelajaran, checklist keterlaksanaan perkuliahan, dan angket respon mahasiswa. Lexy J. Moleong (2002) menyatakan bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Pada penelitian ini data berasal dari lembar validasi, checklist dan angket. Data mengenai pelaksanaan perkuliahan diperoleh dari checklistpelaksanaan peer assessment pada saatperkuliahan berlangsung Angket respon mahasiswa berisi pertanyaan mengenai perasaan siswa selama kegiatan perkuliahan dan pendapat siswa mengenai pelaksanaan pembelajaran. Teknik Analisa Data Data checklistpelaksanaan peer assessment angket respon mahasiswa dihitung dengan menggunakan persentase indikator keberhasilan. Selanjutnya, data persentasedikategorikan sebagaiberikut. Tabel 3 Kategori ketertarikan mahasiswa dan keberhasilan pembelajaran Rata-rata
Tingkat Keberhasilan
90% < IKK ≤ 100%
Sangat baik
80% < IKK ≤ 90%
Baik
70% < IKK ≤ 80%
Cukup
60% < IKK ≤ 70%
Kurang
0% < IKK ≤ 60%
Sangat kurang
Data kuantitatif berupa skor kemampuan pemecahan masalah pada mata kuliah Teori Graf. Teknik analisis yang digunakan adalah uji beda rerata menggunakan uji t. Selain itu, digunakan pula dua jenis analisa data yang lain yaitu : metode Lilliefors dan metode Bartlett Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
137
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
untuk menguji persyaratan analisis yaitu normalitas dan homogenitas. Budiyono (2009) merumuskan langkah uji normalitas dimulai dengan penentuan hipotesis nol yaitu sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hipotesis diuji pada taraf signifikansi = 5% dengan statistik uji L = Max | F(Zi) – S(Zi) |, F(Zi) = P(Z Zi) ZN(0,1), Zi = skor standart Xi, S = deviasi standart, S(Zi) = proporsi banyaknya Z Zi terhadap banyaknya Zi. Daearah kritik uji adalah
L | L L;n . Hipotesis nol ditolak jika L
hitungDK.
Uji homogenitas dilakukan
dengan dengan menggunakan uji Bartlett. Budiyono (2009) merumuskan prosedur uji Bartlett yang dimulai dengan penentuan hipotesis nol yaitu 12 22 ... k2 dengan taraf signifikansi = 5% dengan statistik uji 2
2 k 1 , dengan RKG =
SS j f
k
; f = derajad kebebasan RKG = N–k =
k=banyak
N = banyaknya seluruh amatan;
, i = 1, 2, 3, …, k, untuk nilai
nj = banyaknya amatan pada sampel ke-i
1 1 1 2 1 dan SSj = X j 3 k 1 f j f 2
fj ; j1
populasi; fj = derajad kebebasan s j2 n j 1 , j = 1,2,… , k;
2,303 f log RKG f j log s j2 , 2 ~ c
X j nj
2
c =
n j 1 s j2 daerah kritis (DK) =
| 2 2;k 1 . Hipotesis nol ditolak jika 2 DK. Pengukuran kinerja produk dilakukan dengan pemberian tes kepada dua kelompok
populasi. Agar hasil dari eksperimen benar-benar akibat dari perlakuan yang dibuat, maka dilakukan uji untuk mengetahui keseimbangan kondisi awal kedua kelompok tersebut menggunakan uji t. Untuk mengetahui perbedaan efek perlakuan juga digunakan uji t. Budiyono (2009) memulai prosedur uji t dengan menetapkan hipotesis nol 1 = 2 yang diuji pada taraf
X1 X 2
signifikansi = 5%. Statistik uji yang digunakan adalah t =
sp
n1 1 s12 n 2 1 s22 n1 n 2 2
1 1 n1 n 2
dengan
sp2
=
. DK = t | t t α atau t t α . Hipotesis nol ditolak jika ,v ,v
2
2
thitungDK. Tahap penelitian pengembangan rubrik peer assessmet mulai dari tahap analysis sampai dengan tahap development dapat dijelaskan pada diagram alir pada Gambar 2.
138
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Tahap Design
Tahap Analysis
Perencanaan
Identifikasi produk
Perancangan produk
Volume 1
Analisis situasi (siswa dan proses perkuliahan) Pengumpulan data awal Pemilihan produk dan analisis kelayakan produk yang direncanakan
Perancangan konsep produk Perangcangan modul kuliah Perancangan rubrik peer assessment
Draft 1
Expert judgement
Revisi I
Draft 2
Penyusunan instrumen pengukur kinerja produk
1. Checklist keterlaksanaan perkuliahan 2. Angket respon mahasiswa 3. Tes kemampuan pemecahan masalah
Tahap Development
Validasi Instrumen Uji coba produk Analisa Data Checklist keterlaksanaan perkuliahan Lembar angket respon mahasiswa
Telaah data Reduksi Data Penyajian Data
Tes kemampuan pemecahan masalah
ttest
Kesimpulan Refleksi
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Pengembangan
HASIL DAN PEMBAHASAN Data dalam penelitian ini meliputi data skor pada sampel penelitian yang masingmasing terdiri dari skor tes proses berfikir siswa pemecahan masalah, dan skor tes kemampuan awal siswa. Setelah kedua data tersebut diperoleh selanjutnya data tersebut diuji dengan uji statistik, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Sebagai prasayarat penelitian, kedua populasi penelitian harus memiliki kondisi awal yang seimbang. Tujuannya, agar apabila terdapat perbedaan hasil tes proses berfikir siswa pemecahan masalah, diakibatkan karena Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
139
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
perlakuan dan bukan karena kondisi awal yang sudah berbeda. Untuk mengetahui keseimbangan kemampuan awal siswa, digunakan data nilai ahir mata kuliah riset operasi. Berikut ini uraian tentang data yang diperoleh. Sebelum digunakan, instrumen divalidasi terlebih dahulu. Validasi oleh pakar (expert judgement) dilakukan untuk menyusun beberapa perangkat dan instrumen berikut: modul perkuliahan Teori Graph, rubrik peer assessment, dan tes pemecahan masalah. Validasi dilakukan oleh dua orang pakar, Drs. Joko Bekti Haryono, M.Pd., yang sudah berpengalaman mengajar mata kuliah teori graf dan Andhika Ayu Wulandari, S.Si., M.Pd. Angket pelaksaan peer assessment pada perkuliahan teori graph terdiri atas duapuluh dua pertanyaan yang harus dijawab oleh observer dengan memilih ya dan tidak. Jawaban ya diberi nilai 1 dan jawaban tidak bernilai nol. Berikut adalah rekapitulasi checklist yang diperoleh dari 4 orang observer. Tabel 4. Hasil checklist pelaksanaan peer assessment Keterangan
Data
Sd
83
Smaks
22
N
4
IK
Kesimpulan Tingkat
95,318
keberhasilan: Sangat baik
Berdasarkan hasil pada Tabel 4, diperoleh bahwa pelaksanan perkuliahan dengan penerapan peer assessment memiliki tingkat keberhasilan sangat baik, dan tahapan yang harus ada dalam peer assessment telah dilakukan pada saat perkuliahan. Artinya, peer assessment sudah dilaksanakan sesuai dengan ciri dan karakteristiknya. Angket respon mahasiswa terdiri atas empatbelas pertanyaan yang harus dijawab mahasiswa dengan memilih ya dan tidak. Untuk pernyataan positif, jawaban ya bernilai 1 dan jawaban tidak bernilai nol. Sebaliknya, untuk pernyataan negatif, jawaban ya bernilai 0 dan jawaban tidak bernilai 1. Berdasarkan angket yang disebarkan ke kelas eksperimen yang terdiri dari 36 mahasiswa, diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 5. Hasil Angket Mahasiswa Keterangan
Data
Sd
432
Smaks
14
N
36
IK
Kesimpulan Tingkat
85,714
keberhasilan: Baik
Berdasarkan hasil di atas, diperoleh bahwa pelaksanan perkuliahan dengan penerapan peer assessment memiliki tingkat keberhasilan baik, artinya siswa merasa terbantu dan tertarik pada pembelajaran. 140
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Uji terbatas untuk mengukur kinerja produk dilakukan setelah melalui expert judgement. Uji terbatas dilakukan dengan melalui tahap eksperimentasi dan tahap tes. Hasil uji hipotesis untuk data tes kemampuan pemecahan masalah dilakukan terlihat pada tabel berikut. Tabel 6. Uji Hipotesis Sumber Variasi
N
Rerata
s
Kelas Kontrol
38
75,474
8,500
Kelas Eksperimen
37
79,676
9,095
sp
ttabel
8,799
tobs
1,987 2,068
Keputusan uji H0 ditolak
Uji hipotesis menggunakan uji-t dan diperoleh nilai dari tobs = 2,068 Nilai tersebut termasuk anggota daerah kritik (DK) yaitu {tobs|tobs> t(0,05; 70) = 1,987 atau tobs<t(0,05; 70) = 1,987} maka H0 tidak ditolak. Hal ini berarti kelompok eksperimen dan kelompok kontrol memiliki kemampuan pemecahan masalah yang berbeda. Perbedaaan kemampuan pemecahan masalah pada siswa kelompok kontrol dan eksperimen menunjukkan bahwa ada salah satu dari dua macam pendekatan pembelajaran yang lebih efektif. Penentuan jenis pendekatan pembelajaran yang lebih baik dilakukan dengan melihat rerata dari kedua kelompok populasi. Rerata kelompok eksperimen adalah 79,676 dan kelompok kontrol 75,474. Hal ini menunjukkan bahwa teknik penilaian yang diberikan pada kelas eksperimen menghasilkan kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik dari pada kelas kontrol. Artinya, perkuliahan dengan peer assessment menghasilkan kemampuan pemecahan masalah yang lebih baik daripada traditional assessment. Rubrik peer assessment yang dikembangkan pada mata kuliah Teori Graf ini adalah seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 4. Rubrik peer assessment pada mata kuliah Teori Graf
Skor
0
1
2
Memahami Masalah Mahasiswa salah menginterpretasi soal/ tidak memahami soal/ tidak ada jawaban Mahasiswa kurang tepat dalam menginterpretasi soal / mengabaikan beberapa persyaratan Memahami soal dengan baik
Merencanakan, dan Melaksanakan Strategi Penyelesaian Tidak ada proses perancangan graf sesuai ketentuan
Melaksanakan Strategi Penyelesaian
Memeriksa Kembali Hasil
Tidak ada penyelesaian sama sekali
Membuat graf Melaksanakan tetapi tidak lengkap proses yang benar tapi kurang teliti mengidentifikasi persyaratan
Ada pengecekan jawaban/ hasil tidak tuntas
Membuat graf tetapi tidak memenuhi kriteria yang ditentukan
Pengecakan dilaksanakan untuk melihat kebenaran
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Melakukan proses yang benar dan mendapatkan hasil yang benar
141
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
proses Mampu membuat graf, tetapi hanya memnuhi beberapa ketentuan Mampu membuat graf, yang memenuhi seluruh ketentuan
3
4 Skor Maks
2
4
2
2
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian dan hasil analisa data yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut. (1) Pengembangan rubrik peer assessment dengan model ADDIE pada mata kuliah Teori Graf untuk penelitian dibatasi tiga tahapan yaitu analysis, design, dan development. Tahap analysis meliputi studi pendahuluan guna pengumpulan data untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan. Tahap design meliputi perancangan draft modul perkuliahan
dan rubrik peer assessment. Tahap development meliputi expert
judgement dan uji terbatas produk yang sudah divalidasi pakar. Serangkaian proses tersebut akan menghasilkan draft awal untuk tahapan pengembangan selanjutnya. (2) Hasil pengembangan rubrik peer assessment dengan model ADDIE pada mata kuliah Teori Graf meliputi modul perkuliahan, dan rubrik peer assessment pada pemecahan masalah. (3) Pengembangan rubrik peer assessment dengan model ADDIE pada mata kuliah Teori Graf dapat menghasilkan kemampuan pemecahan masalah lebih tinggi daripada traditional assessment pada perkuliahan Teori Graf. Berdasarkan hasil penelitian pengambangan yang telah dilakukan, disarankan beberapa hal berikut. (1) Penerapan peer assessment dengan rubrik yang baik, direkomendasikan untuk perkuliahan teori graf. (2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menerapkan peer assessment beserta rubriknya pada mata kuliah atau jenjang pendidikan yang lain. (3) Penelitian pengembangan ini hanya dibatasi pada tiga tahapan, oleh karena itu akan lebih baik lagi jika ada penelitian lajutan mengenai implementasi dan evaluasi penggunaan rubrik peer assessment. Hal ini dimaksudkan agar hasil penelitian ini yang berupa draft dapat diuji kelayakan penggunaannya kemudian dievaluasi untuk dilakukan perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Benny A Pribadi. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta:PT. Dian Rakyat Boud, D. & Falchikov, N. 2007. Rethinking assessment in higher education. London: Kogan Page. Budiyono. 2009. Statistika untuk penelitian. Surakarta: UNS Press 142
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Fina Listiana H. 2006. Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Kelas VII SMPN 1 Wonosobo Tahun Pelajaran 2005/2006 pada Pokok Bahasan Segiempat. Skripsi. Jurusan Matematika FMIPA UNNES. Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Polya, G.1973. How To Solve It. New Jersey: Princeton University Press Zainal Arifin. 2012. Evaluasi pembelajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Zulrahman. 2007. Self dan Peer Assessment sebagai penilaian formatif dan
sumatif.
http://zulharman79.wordpress.com. diunduh tanggal 12 Februari 2013
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
143
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
KEPERCAYAAN DIRI SISWA SMP DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA Ellita Idorestu1), M. Andy Rudhito2) 1) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, e-mail:
[email protected] 2) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Kampus III USD Paingan Maguwoharjo Yogyakarta, email:
[email protected] Abstract Kepercayaan diri siswa merupakan salah satu sikap yang menjadi tujuan pembelajaran yang direkomendasikan Kurikulum 2013. Dalam pembelajaran matematika, khususnya dalam pemecahan masalah kepercayaan diri juga sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuikepercayaan diri siswa dalam memecahkan masalah matematika. Penelitian ini merupakan penelitian diskriptif kualitatif dengan subyek penelitian 5 siswa SMP kelas IX. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat siswa yang merasa yakin atas hasil pekerjaannya, tetapi jawabannya salah, yang diakibatkan oleh kekurang cermatan dalam perhitungan numerik, (2) terdapat siswa yang merasa tidak yakin dengan jawabannya justru jawabannya benar, dengan ketidakyakinan pada pemahaman soal dan jawabannya sendiri. Keywords:kepercayaan diri, siswa SMP, pemecahan masalah, kesalahan.
PENDAHULUAN Salah satu tujuan pembelajaran yang direkomendasikan dalam kurikulum 2013 adalah kepercayaan diri. Dengan ini, diharapkan peserta didik dapat memiliki sikap dan citra diri yang baik agar dia dapat menjadi generasi yang hebat dan memiliki kualitas diri yang tinggi sehingga dia pun dapat bersaing di era global bermodalkan pengetahuan serta diiringi dengan sikap dan karakter yang baik pula. Saat ini sudah menjadi rahasia umum, ada banyak kecurangan yang terjadi di Indonesia. Ada banyak hal yang dapat mengakibatkan kecurangan-kecurangan ini terjadi di dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah ketidakpercayaandiri siswa dalam menjalani proses pembelajaran yang dilakukannya di sekolah dan dia harus menghadapi ujian nasional yang menjadi penentu masa depannya. Untuk itu, pada kurikulum 2013 kepercayaandiri siswa menjadi salah satu tujuan yang akan dicapai agar menjadi sikap yang dimiliki oleh siswa. Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin atas kemampuan mereka sendiri serta memiliki pengharapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka tetap berpikiran positif dan dapat menerimanya. Menurut Thantaway dalam Kamus istilah Bimbingan dan Konseling (2005:87), percaya diri adalah kondisi mental atau psikologis diri seseorang yang memberi keyakinan kuat pada dirinya untuk berbuat atau melakukan sesuatu tindakan. Orang yang tidak percaya diri memiliki konsep diri negatif, kurang percaya pada kemampuannya, karena itu sering menutup diri.
144
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Pada proses pembelajaran mata pelajaran matematika, secara khusus untuk kurikulum 2013, siswa diajak untuk berpikir logis dan jujur dalam setiap langkah yang dilakukannya. Apabila ada hal yang tidak benar pada jawaban yang diketemukan, maka sudah dapat ditebak bahwa ada yang salah pada proses yang dijalaninya. Untuk itu, diperlukan pemikiran yang benar dan kepercayaan diri yang tinggi dalam menyelesaikan masalah matematika.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah dengan memberikan soal tes kepada siswa Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian ini di luar jam sekolah. Target/Subjek Penelitian Dipilih lima orang siswa SMP kelas IX di suatu sekolah negeri di Godean, Sleman Yogyakarta yang kebetulan sudahdikenal oleh penulis. Prosedur 1. Siswa mengerjakan soal-soal yang sudah dipersiapkan. 2. Hasil jawabannya dikoreksi dan dibandingkan dengan teman yang lain dan diolah.
Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Kerjakansoal-soal berikut dengan baik!
1.
Titin berangkat dari kota A ke kota B mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 25 km/jam. Andi berangkat dari kota B ke kota A mengendarai sepedadengan kecepatan 15 km/jam. Mereka berangkat bersama pada pukul 07.30. pukul berapa mereka bertemu di jalan jika jarak kota A ke kota B adalah 60 km?
Yakinkah dengan jawabanmu? Berapa persentase keyakinanmu? Dari langkah mana mulai tidak yakin? Kenapa tidak yakin?
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
145
Volume 1
2.
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Panjang diagonal ruang DF pada balok ABCD. EFGH di bawah adalah ....
Yakinkah dengan jawabanmu? Berapa persentase keyakinanmu? Dari langkahmana mulai tidak yakin? Kenapa tidak yakin?
3.
Pada gambar berikut panjang diameter setengah lingkaran CD = 4, DB tegak lurus terhadap AB, AC = 13 dan AB = 9. Berapakah luas daerah yang diarsir? A C
D
B
B
Yakinkah dengan jawabanmu? Berapa persentase keyakinanmu? Dari langkah mana mulai tidak yakin? Kenapa tidak yakin? 4.
Sebuah kubus memiliki volume 64 cm3 dipotong secara horizontal. Kedua belahan tersebut kemudian direkatkan lagi sehingga membentuk balok (bukan kubus). Berapa luas permukaan untuk bangun ruang yang baru?
146
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Yakinkah dengan jawabanmu? Berapa persentase keyakinanmu? Dari langkah mana mulai tidak yakin? Kenapa tidak yakin?
5.
Toko I menjualpensil merahRp 1.000,00 per empat buah dan pensil kuning Rp 1.000,00 per tiga buah. Toko II menjual pensil merah Rp 1.000,00 per empat buah dan pensil kuningRp 1.000,00 per enam buah. Ana membelanjakan uang Rp 10.000,00 untuk membeli m buah pensil merah dan n buah pensil kuning pada masing-masing toko. Tentukan banyaknya pensil yang dibeli Ana!
Yakinkah dengan jawabanmu? Berapa persentase keyakinanmu? Dari langkah mana mulai tidak yakin? Kenapa tidak yakin?
6.
Suatu persegi dengan panjang sisinya adalah s terdapat X yang terletak pada garis DC sehingga DX : XC = 5 : 2 dan Y terletak pada garis BC sehingga BY : YC = 3 : 4. Perbandingan luas segitiga AXC dan ABY adalah…
Yakinkah dengan jawabanmu? Berapa persentase keyakinanmu? Dari langkah mana mulai tidak yakin? Kenapa tidak yakin?
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
147
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Teknik Analisis Data Proses penelitian dimulai dari proses penyusunan soal yang merupakan materi dari kelas 1 sampai dengan materi kelas 3 dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui mengenai kemampuan siswa dalam menghadapi setiap masalah matematika dengan logika yang baik dan benar. Siswa yang sudah dikenal oleh penulis secara kebetulan, berkumpul di luar jam sekolah untuk menyelesaikan soal yang sudah disiapkan oleh penuli agar dapat diselesaikan dengan baik oleh siswa SMP kelas IX tersebut. Setelah soal-soal sebanyak enam buah soal tersebut diselesaikan, soal-soal tersebut dikumpulkan dan diolah oleh penulis untuk dapat dijadikan bahan sebagai hasil penelitian. Penilaian dari soal-soal tersebut dilakukan dengan cara melihat hasil akhir dari siswa dan melihat tingkat keyakinan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika yang ada.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Setelah soal-soal dapat diselesaikan dengan baik oleh para siswa, soal-soal tersebut diolah sedemikian rupa oleh penulis hingga didapati data sebagai berikut :
Tabel hasil olahan dari jawaban siswa SOAL SISW
1
A B S
2 PD
A
√ 65%
B
√
C
√ 50%
D
%
100
√
E
100
% √
45%
3
B S
PD
√
89%
√ √ √ √
B S
PD
B S
√ 55%
100
√
%
80%
√
100
√
%
√
100 % 100 %
5 PD
√ 90%
√ 50%
50%
50%
4
100 %
√ 50% 100
√
% √
100 %
B S
6 PD
√ 70% √
B S
PD
√
20%
100
√
%
√ 50% √ √
50%
100 %
√ 50% 90%
√
90%
√
95%
Keterangan : B: Jawaban benar S : Jawaban salah PD : Tingkat kepercayaan diri pada siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
148
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yang menekankan pada pendekatan paradigm naturalistic. Pada penelitian ini, subjek yang diteliti adalah kondisi responden dengan keadaannya tanpa dibuat-buat, dalam hal ini adalah siswa SMP kelas IX yang akan menghadapi ujian nasional. Fokus penelitian berpijak pada kepercayaandiri siswa dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah matematika. Tuntutan hirarki matematika mengajak anak untuk berpikir logis dan runtut supaya mendapatkan hasil yang benar. Berdasarkan tabel yang disusun sesuai dengan jawaban para responden, diketahui bahwa pada siswa A, D dan E memiliki tingkat kepercayaan diri yang berbeda-beda dan tergantungpada tingkat kepercayaan diri masing-masing terhadap soal yang dikerjakannya. Sedangkan pada siswa B dan C memiliki tingkat kepercayaan diri yang selalu sama pada tiap soalnya, yaitu pada siswa B selalu 100% sedangkan pada siswa C selalu 50% dengan jawaban yang tidak selalu benar dan tidak selalu salah.
PEMBAHASAN Dalam menyelesaikan masalah matematika, diperlukan proses berpikir yang logis dan runtut, serta kepercayaan diri yang tinggi dalam menjawab setiap soal yang ada. Dalam penelitian ini, poin-poin penting yang menjadi pembahasan adalah mengenai sikap siswa dalam menghadapi masalah matematika. Siswa yang sudah memiliki bakat dan talenta masing-masing diajak untuk dapat menyelesaikan masalah matematika dengan logis. Pada penelitian ini, anak mengerjakan sendiri soal yang diberikan. Soal-soal ini merupakan soal-soal yang diambil dari materi soal kelas 1 sampai dengan kelas 3 dengan tingkat kesulitan yang semakin tinggi. Sesuai dengan tabel hasil penelitian, diketahui bahwa pada siswa A, D dan E memiliki tingkat kepercayaan diri yang berbeda-beda dan tergantung pada tingkat kepercayaan diri masing-masing terhadap soal yang dikerjakannya, tetapi pada siswa B dan C memiliki tingkat kepercayaan diri yang selalu sama pada tiap soalnya, yaitu pada siswa B selalu 100% sedangkan pada siswa C selalu 50% dengan jawaban yang tidak selalu benar dan tidak selalu salah.Argumentasi yang diberikan oleh siswa B yang selalu memiliki kepercayaan diri 100% atas apa yang telah dikerjakannya tidah terkait dengan materi yang sedang diselesaikan. Sedangkan pada siswa C, tidak banyak memberikan argumentasi atas pekerjaannya dan apabila memberikan argument, cukup terkait dengan materi. Berikut ini adalah tabel rincian dari tiap pekerjaan siswa yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang berbeda-beda.
Keterangan : B/S : Nilai kebenaran pada tiap soal
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
149
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
PD : Tingkat kepercayaandiri siswa terhadap jawabannya Siswa A NO.
B/S
PD
ARGUMENTASI
LETAK KESALAHAN/KOMENTAR
1.
S
65%
Bingung menerapkan rumusnya
Pada logika berpikirnya
2.
B
89%
bingung rumus pithagoras
jawabannya benar tanpa proses
3.
S
55%
gambarnya kurang jelas
salah perhitungan
4.
S
90%
-
salah perhitungan
5.
S
70%
merasa
aneh
dengan
jawaban salah perhitungan
sendiri 6.
B
20%
Tidak tahu jawabannya
Tidak ada proses perhitungan
Siswa D NO. B/S
PD
ARGUMENTASI
LETAK KESALAHAN/KOMENTAR
1.
B
100% lupa pakai rumus apa
dengan logika berpikir yang benar
2.
B
80%
benar, dengan proses yang benar
3.
S
100% awalnya soal kelihatan sulit
salah konsep
4.
B
100% biasanya saya salah menjumlahkan
benar dengan proses yang benar
5.
S
50%
tidak/kurang mengerti soal
penalaran yang keliru
6.
B
90%
bingung sama soalnya
penalarannya benar
lupa hukum pithagoras
Siswa E NO. B/S
PD
ARGUMENTASI
LETAK KESALAHAN
1.
S
45%
lupa caranya
salah pada logikanya
2.
B
50%
jawabanku aneh
penalarannya sudah benar
3.
B
100% -
-
4.
S
100% -
salah perhitungan
5.
S
90%
-
penalaran kurang tepat
6.
S
95%
-
salah penalaran
Dari berbagai alasan dan kepercayaan diri siswa, dapat dilihat bahwa pada siswa A dan siswa D terkadang lupa mengenai rumus yang harus dipergunakan dalam menyelesaikan masalah, pada siswa A dan siswa E ada beberapa soal yang salah karena kurang teliti pada proses perhitungannya. Untuk siswa D, didapati ada lebih banyak jawaban yang benar karena dia dapat memahami maksud soal dan menggunakan logika berpikir matematikanya dengan
150
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
baik dan benar sehingga walaupun dia lupa rumusnya, dia dapat menyelesaikan soal tersebut dengan benar.
SIMPULAN DAN SARAN Dari data yang sudah diperoleh, diketahui bahwa : 1. Ada hubungan antara kepercayaan diri siswa dengan hasil jawabannya, tetapi ada juga keunikkan-keunikkan yang terjadi pada beberapa siswa yang mau menjadi responden dalam penelitian ini, yaitu : a. Ada siswa yang merasa yakin 100% dan jawabannya benar tetapi ada juga yang merasa yakin dengan jawabannya tetapi jawabannya tersebut salah. b. Dari siswa yang lain, dapat diketahui juga bahwa ada siswa yang merasa raguragu dan tidak percaya diri dengan jawabannya dan jawabannya salah, tetapi ada juga siswa yang ragu-ragu dan ternyata jawabannya benar. 2. Hasil jawaban siswa dapat dilihat dari kepercayaan dirinya dalam menyelesaikan masalah walaupun ada beberapa kasus khusus. Namun, kepercayaan diri siswa tersebut dapat terbentuk berdasarkan modal pengetahuan apa saja yang sudah diketahui dan dipelajarinya selama ini serta bagaimana logika dan konstruksi pengetahuannya selama ini.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu siswa membutuhkan pengetahuan yang benar dan kepercayaan diri yang tinggi dalam menyelesaikan suatu masalah secara khusus masalah-masalah matematika. Dalam menyelesaikan masalah, peran guru adalah membangkitkan kepercayaan diri siswa dan membantu siswa agar dia dapat mengkonstruksi pengetahuan-pengetahuan yang diterimanya dengan baik dan benar sehingga siswa dapat menghadapi dan menyelesaikan maslah matematika dengan baik dan benar pula. Penelitian ini dilakukan pada ruang lingkup yang kecil, akan lebih baik lagi apabila dapat diketahui untuk ruang lingkup yang lebih luas agar sudut pandangnya pun semakin luas lagi dan lebih bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA
http://belajarpsikologi.com/pengertian-kepercayaan-diri/ http://fadjarp3g.files.wordpress.com/2007/09/01-hirarki_pelangi_.pdf http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131569335/Makalah%20Medan-2.pdf Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 54 tahun 2013 tentang Standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
151
Volume 1
Adhetia
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Martyanti.
2013.
Membangun
Self-Cofidence
Siswadalam
Pembelajaran
Matematikadengan Pendekatan Problem Solving. Prosiding, Seminar dan Musyawarah Nasional MIPA yang diselenggarakan oleh FMIPA UNY, tanggal 09 November 2013. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Nasution, S. 1984. Berbagai Pendekatan dalam proses belajar dan mengajar. Bina Aksara : Jakarta. M.A.W. Brouwer…[et al.]. 1983. Kepribadian dan perubahannya( Edisi kedua ). Gramedia : Jakarta.
152
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MATERI LUAS TRAPESIUM DENGAN PENDEKATAN LUAS PERSEGI PANJANG MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK BERKONTEKS RUMAH ADAT KUDUS Henry Suryo Bintoro 1), Eka Zuliana 2) 1) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Muria Kudus Gondang manis-Bae Kudus 59352, email:
[email protected]. 2) Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Universitas Muria Kudus Gondang manis-Bae Kudus 59352, email:
[email protected]. Abstrak Inovasi pembelajaran matematika di SD diperlukan di tengah maraknya pola pembelajaran yang masih berpusat pada guru dan kurang memanfaatkan potensi lokal daerah sebagai sumber belajar khususnya di kabupaten Kudus. Siswa kelas V SD di Kabupaten Kudus mengalami kesulitan dalam memahami konsep luas daerah trapesium. Berdasarkan masalah tersebut peneliti merancang sebuah desain pembelajaran menggunakan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendapatkan desain pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus, (2) menggunakan desain pembelajaran tersebut untuk membantu siswa mengkonstruksi pemahaman tentang luas daerah trapesium dengan pendekatan luas persegi panjang, dan (3) melihat dampak penggunaan desain pembelajaran tersebut terhadap proses konstruksi pengetahuan matematis siswa. Jenis penelitian yang digunakan adalah designresearch, dengan tahapan (1) persiapan uji coba desain, (2) uji coba desain, dan (3) analisis retrospektif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa modelpembelajaran matematika realistikberkonteks rumah adat Kudusdapatmerangsang danmeningkatkankemampuan siswauntuk memahamikonsepluas daerahtrapesium dengan pendekatan luas persegi panjang. Keywords: Pembelajaran Matematika Realistik, Keunggulan Lokal Kudus, dan Luas Trapesium.
PENDAHULUAN Masalah utama dalam pembelajaran matematika di Indonesia adalah masih rendahnya daya serap siswa. Sebuah laporan dalam studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2011 menyatakan bahwa rata-rata skor matematika siswa di Indonesia berada di bawah rata-rata skor Internasional dan berada pada ranking 38 dari 42 negara. Skor rata-rata yang diperoleh siswa Indonesia adalah 386. Hasil studi TIMSS ini mengakibatkan Indonesia masih jauh tertinggal dari Thailand, Malaysia dan Palestina. Sebagian besar siswa hanya mampu mengerjakan soal sampai level menengah saja, dan dari hasil ini terlihat bahwa pendidikan matematika di Indonesia selama ini terlalu fokus pada kecakapan teknis dan tidak mampu sampai pada proses bernalar. National Council of Teacher of Mathematics (2000:20) menyebutkan bahwa dalam belajar matematika siswa hendaknya secara aktif membangun pengetahuan baru dari pengalaman dan pengetahuan sebelumnya. Namun kondisi di lapangan yang ada selama ini, Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
153
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
proses pembelajaran matematika masih mekanistik dan tidak berangkat dari pengetahuan maupun pengalaman siswa sebelumnya dalam kehidupan mereka sehari – hari. (Soedjadi, 2000) menyatakan pembelajaran matematika di kelas hampir selalu dilaksanakan dengan urutan sajian: (1) diajarkan teori/definisi/teorema melalui pemberitahuan, (2) diberikan dan dibahas contohcontoh, kemudian (3) diberikan latihan soal. Akibatnya siswa kurang diberdayakan untuk berpikir, sedangkan kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan menghafal dan kemampuan kognitif tingkat rendah. Dalam pembelajaran matematika banyak metode mengajar yang dapat digunakan, namun tidak setiap metode mengajar cocok dengan materi yang diajarkan. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran yang matang dalam pemilihan metode mengajar yang tepat untuk suatu materi yang akan disajikan, hal tersebut dimaksudkan agar pembelajaran matematika efektif dan efisien. Namun yang sering terjadi guru kurang bervariasi dalam menggunakan metode mengajar. Umumnya yang sering digunakan adalah metode ceramah dan ekspositori. Kedua metode tersebut terpusat pada guru. Dominasi guru menyebabkan siswa kurang dapat berpikir kritis dan kreatif. Salah satu materi yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa kelas V adalah materi luas trapesium. Untuk mencari luas trapesium diperlukan kemampuan-kemampuan yang mendukung seperti kemampuan numerik, kemampuan memahami rumus, dan kemampuan menggambar benda-benda bangun datar. Pada umumnya kesulitan yang dihadapi siswa adalah dalam menerapkan rumus untuk mencari luas trapesium dikarenakan begitu banyak rumus yang ada. Sehingga banyak siswa yang merasa bingung dalam mempelajari dan memahami materi luas trapesium tersebut. Hal ini disebabkan karena pembelajaran yang digunakan guru masih bersifat konvensional, yang menempatkan guru sebagai pusat belajar (teacher centered). Pola teacher centered ini mengakibatkan banyaknya dominasi guru dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran terkadang guru juga melupakan kemampuan-kemampuan matematika yang seharusnya dimiliki siswa. Pola teacher centered ini masih banyak terjadi dalam pembelajaran matematika SD di kabupaten Kudus. Dari beberapa SD Mitra PPL dan MBS PGSD FKIP Universitas Muria Kudus, lebih dari 75% SD masih menggunakan pola ini. Konstruksi pengetahuan akan lebih mudah jika berangkat dari pengalaman nyata yang dekat dengan siswa, terkait dengan realitas, mudah dibayangkan (imagineable), berwujud suatu kegiatan dan kebiasaan yang sering dilakukan di lingkungan atau daerah sekitarnya. Pola teacher centered yang masih mendominasi dalam pembelajaran matematika SD di kabupaten Kudus, mengakibatkan konstruksi pengetahuan siswa kurang, selain itu pemanfaatan potensi keunggulan lokal Kudus yang bisa dijadikan sumber belajar kurang maksimal. Rumah adat kudus bisa dijadikan sebuah media pembelajaran yang menarik. Berangkat dari masalah ini, diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat dalam mendukung proses pembelajaran matematika SD di kabupaten Kudus agar dapat memberikan
154
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
iklim kondusif dalam perkembangan daya nalar, meningkatkan keaktifan, kreatifitas siswa serta menanamkan kecintaan terhadap potensi keunggulan lokal Kudus. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti membuat rancangan sebuah desain pembelajaran matematika materi luas trapesium dengan pendekatan luas persegi panjang menggunakan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus. Penelitian ini penting dilaksanakan untuk mendapatkan desain pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus pada materi luas trapesium dan untuk mengetahui keefektifannya dalam pembelajaran matematika SD. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah desain pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus? (2) bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus? (3) apakah implementasi pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus efektif? Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendapatkan desain pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus, (2) menggunakan desain pembelajaran tersebut untuk membantu siswa mengkonstruksi pemahaman tentang luas daerah trapesium dengan pendekatan persegi panjang, dan (3) melihat dampak penggunaan desain pembelajaran tersebut terhadap proses konstruksi pengetahuan matematis siswa. Manfaat dalam penelitian ini adalah (1) mendapatkan desain pembelajaran matematika realistik di sekolah dasar berkonteks rumah adat Kudus dan (2) memberikan pengalaman kepada guru dalam pelaksanaan pembelajaran matematika realistik di sekolah dasar berkonteks rumah adat Kudus. Design research dalam penelitian ini merupakan model penelitian yang digunakan untuk merancang desain pembelajaran untuk memecahkan masalah pendidikan yang kompleks dan mengembangkan pengetahuan (teori). Langkah design research dalam penelitian ini : (1) persiapan uji coba desain, (2) uji coba desain, dan (3) analisis retrospektif.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode design research. Langkah proses penelitian design research seperti halnya pada proses perancangan pendidikan (educational design), yaitu analisis, perancangan, evaluasi dan revisi yang merupakan proses siklikal yang berakhir pada keseimbangan antara teori ideal dengan praktiknya. Menurut Gravemeijer & Cobb (2006) tahapan pelaksanaan design research adalah: 1) preparing for the experiment (persiapan penelitian), 2) design experiment (pelaksanaan desain eksperimen), dan 3) retrospective analysis (analisis data yang diperoeh dari tahap sebelumnya). Waktu dan Tempat Penelitian
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
155
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Kudus pada bulan Oktober 2013 dengan mengujicobakan hasil rancangan desain dan perangkat pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus ke 2 SD di kabupaten Kudus, yaitu SD 1 Gondangmanis dan SD 1 Prambatan Kidul. Target/Subyek Penelitian Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD 1 Gondangmanis yang berjumlah 18 orang dan siswa kelas V SD 1 Prambatan Kidul yang berjumlah 24 orang. Dari beberapa kecamatan di Kudus, diambil 2 SD yang berbeda kecamatan, satu berada di desa dan yang satu dekat dengan kota. Prosedur Penelitian ini menggunakan metode design research untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui iterative analysis, mendesain atau memperbaiki design sebelumnya, dan melaksanakan pembelajaran dengan mengacu pada teori dan prinsip – prinsip realitas. Langkah yang dilakukan Menurut Gravemeijer & Cobb (2006) adalah: 1. Preparing for the experiment (persiapan penelitian) Pada tahap ini dibuat hypothetical learning trajectory (HLT) atau lintasan belajar (proses berpikir) hipotesis. Dalam membuat HLT ini diperlukan desain pendahuluan yang berfungsi untuk mengimplementasikan ide-ide awal yang diperoleh dari kajian literatur sebelum mendesain aktivitas pembelajaran, diskusi dengan guru yang berpengalaman, peneliti maupun ahli dalam bidang yang terkait. 2. Design experiment (pelaksanaan desain eksperimen) Tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan data yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pada tahap ini, desain yang sudah dirancang diujicobakan di lapangan (ruang – ruang kelas). Pengalaman-pengalaman yang terjadi pada tahap ini akan menjadi dasar untuk mendesain ulang atau memodifikasi HLT untuk proses-proses pembelajaran berikutnya. 3. Retrospective analysis (analisis data yang diperoeh dari tahap sebelumnya) Peneliti menganalisis data yang diperoleh dari tahap design experiment dan menggunakan hasil dari analisis untuk mengembangkan desain selanjutnya. HLT digunakan dalam tahap retrospective analysis sebagai panduan dan referensi utama dalam menjawab pertanyaan penelitian. Adapun alur rancangan penelitian tiap siklusnya dengan menggunakan metode design research disajikan pada gambar 1.
Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data-data keunggulan lokal Kudus. Kaitannya dalam penelitian ini adalah rumah adat Kudus. Observasi digunakan untuk
156
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
mengumpulkan data aktivitas belajar siswa, aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. Selain itu data aktivitas siswa dan guru ini direkam menggunakan video dan kamera. Rekaman video dan kamera kemudian di deskripsikan. Tes digunakan untuk mengumpulkan data nilai hasil belajar matematika siswa khususnya pada materi luas daerah trapesium setelah mendapatkan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. Angket digunakan untuk mengumpulkan data respon siswa dan guru terhadap pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. Teknik Analisis Data Data potensi lokal Kudus (rumah adat) dianalisis dari hasil dokumentasi pengumpulan data keunggulan lokal Kudus. Data hasil belajar matematika siswa dianalisis dari hasil tes hasil belajar siswa pada materi luas daerah trapesium. Data aktivitas belajar siswa dan aktivitas pengelolaan pembelajaran oleh guru menggunakan pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan lokal Kudus dianalisis menggunakan lembar observasi aktivitas siswa dan lembar observasi aktivitas pengelolaan pembelajaran guru. Selain itu data tersebut dianalisis dari hasil rekaman video dan kamera.
Preparing for the experiment Design experiment
1. Telaah literatur 2. Diskusi dengan guru dan peneliti dalam bidang pendidikan matematika 3. Mendesain model PMR berkonteks rumah adat Kudus termasuk HLT 4. Telaah ahli dan guru terhadap desain awal
1. 2. 3. 4. 5.
Pengumpulan data di lapangan Uji coba 2 SD di Kabupaten Kudus Observasi Tes Angket
Retrospective analysis
1. 2. 3.
Analisis data kuantitatif dan kualitatif Analisis keefektifan model PMR berkonteks rumah adat Kudus dalam pembelajaran matematika SD Sintesis untuk kemungkinan perbaikan desain siklus berikutnya Gambar 1. Alur Rancangan Penelitian
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
157
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Respon siswa dan guru terhadap pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan lokal Kudus dianalisis menggunakan hasil sebaran angket respon siswa dan guru terhadap pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan lokal Kudus.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Tahap Pembuatan Desain dan Perangkat Pembelajaran Matematika Realistik Berkonteks Rumah Adat Kudus Pada tahap ini peneliti berada pada proses preparing for the experiment (persiapan penelitian) dan membuat lintasan belajar atau hypothetical learning trajectory (HLT). Dalam membuat HLT peneliti melakukan: a.
Kajian literatur sekaligus diskusi dengan guru yang berpengalaman terkait keunggulan lokal Kudus. Keunggulan lokal Kudus yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran adalah rumah adat Kudus.
b.
Pembuatan perangkat pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus berdasarkan data – data rumah adat Kudus, beberapa perangkat pembelajaran matematika yang dibuat antara lain: silabus, RPP, Lembar Kegiatan Siswa, media pembelajaran, alat peraga dan bahan ajar berkonteks rumah adat Kudus.
c.
Pendesainan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus, dengan menggabungkan syntax pembelajaran matematika realistik dan data-data rumah adat Kudus sebagai konteks masalah realistiknya. Adapun tahapan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus adalah : 1)
Penggunaan konteks masalah realistik berbasis keunggulan lokal Kudus, yaitu: rumah adat Kudus.
2)
Penggunaan model untuk matematisasi progresif
3)
Model yang digunakan disini adalah beberapa alat peraga trapesium dan LKS yang mengantarkan pada suatu bentuk representasi matematis dari suatu masalah. Proses matematisasi terhadap model nyata akan menghasilkan suatu model matematika.
4)
Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
5)
Pengembangan interaktivitas dan karakter
6)
Pengaitan antar konsep matematika
2. Tahap Telaah Desain Awal Model dan Perangkat Pembelajaran Matematika Realistik Berkonteks Rumah Adat Kudus Pada tahap ini peneliti bersama dengan guru melakukan telaah desain awal prototipe pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus di SD 1 Gondangmanis dan SD 1 Prambatan Kidul. Dalam telaah desain awal terhadap prototipe, peneliti dan beberapa guru mitra melihat, mengamati dan mengecek kesesuaian dan kelayakan prototipe desain awal
158
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus untuk digunakan dalam proses pembelajaran. 3. Tahap Pembuatan Instrumen Penelitian Pada tahap ini peneliti membuat instrumen penelitian, antara lain: soal tes, lembar observasi pengelolaan pembelajaran, lembar observasi aktivitas belajar siswa, angket respon guru dan angket respon siswa. a. Soal tes digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif siswa pada materi luas daerah trapesium setelah mengikuti pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. b. Lembar observasi pengelolaan pembelajaran digunakan untuk mengamati keterlaksanaan dan pengelolaan pembelajaran yang dilakukan peneliti dengan menggunakan model pembelajaran realistik berkonteks rumah adat Kudus. c. Lembar observasi aktivitas belajar siswa digunakan untuk mengamati aktivitas belajar siswa selama mengikuti pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. d. Angket respon guru digunakan untuk mengetahui respon guru terkait desain pembelajaran dan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. e. Angket respon siswa digunakan untuk mengetahui respon siswa terkait pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. 4. Tahap Uji Coba Lapangan Dan Pengumpulan Data Pada tahap ini peneliti telah melakukan uji coba dan pengumpulan data di 2 SD Kabupaten Kudus, yaitu : SD 1 Gondangmanis dan SD 1 Prambatan Kidul. a. Tahap preparation for the experiment (persiapan penelitian) Beberapa hal yang telah dilakukan pada tahap ini adalah: 1)
membuat lintasan belajar atau hypothetical learning trajectory (HLT) pada materi luas daerah trapesium. Dalam membuat HLT peneliti melakukan: a) Kajian literatur sekaligus diskusi dengan guru mitra yang berpengalaman terkait keunggulan lokal Kudus. Keunggulan lokal Kudus yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran matematika materi luas daerah trapesium adalah rumah adat Kudus (Joglo). b) Pembuatan perangkat pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus berdasarkan data – data rumah adat Kudus, beberapa perangkat pembelajaran matematika yang dibuat antara lain: silabus, RPP, Lembar Kegiatan Siswa, media pembelajaran, alat peraga dan bahan ajar berkonteks rumah adat Kudus. c) Pendesainan model pembelajaran matematika realistik berbasis keunggulan lokal Kudus, dengan menggabungkan syntax pembelajaran matematika realistik dan data – data rumah adat Kudus sebagai konteks masalah realistiknya.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
159
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Adapun tahapan model pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus pada materi luas daerah trapesium adalah :
(1) Penggunaan konteks masalah realistik berbasis keunggulan lokal Kudus, yaitu rumah adat Kudus.
(2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif Model yang digunakan disini adalah beberapa alat peraga dan LKS yang mengantarkan pada suatu bentuk representasi matematis dari suatu masalah. Proses matematisasi terhadap model nyata akan menghasilkan suatu model matematika.
(3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa (4) Pengembangan interaktivitas dan karakter (5) Pengaitan antar konsep matematika 2)
Telaah desain awal model dan perangkat pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus. Dalam telaah desain awal terhadap model dan perangkat, peneliti dan beberapa guru mitra melihat, mengamati dan mengecek kesesuaian dan kelayakan model dan perangkat desain awal pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus untuk digunakan dalam proses pembelajaran.
b. Tahap design experiment (pelaksanaan desain pembelajaran) Pada tahap ini tim peneliti melakukan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat Kudus dengan materi luas daerah trapesium. Adapun tahapan – tahapan pelaksanaannya sebagai berikut. 1) Penggunaan konteks masalah realistik berbasis keunggulan lokal Kudus, dalam hal ini peneliti menggunakan rumah adat Kudus (Joglo) sebagai konteks masalah realistik. 2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif Pada tahap ini peneliti menggunakan alat peraga luas daerah trapesium dengan pendekatan luas daerah persegi panjang serta lembar kegiatan siswa (LKS) penemuan konsep luas daerah trapesium dengan pendekatan luas daerah persegi panjang. Model tersebut mengantarkan pada suatu bentuk representasi matematis dari suatu masalah nyata. Proses matematisasi terhadap model nyata akan menghasilkan suatu model matematika yang mengarah kepada konstruksi konsep matematika formal. 3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa Pada tahap ini siswa mengkonstruksi peraga yang diberikan dengan didampingi LKS untuk menemukan konsep luas daerah trapesium. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika. 4) Pengembangan interaktivitas dan karakter
160
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Dari kegiatan ini terjadi interaksi sosial antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan anggota kelompok yang lain. Interaksi sosial dalam pembelajaran ini berperan membentuk karakter siswa yang mau menghargai pendapat orang lain dan bersikap demokratis. Tuntutan mempresentasikan gagasan penemuan konsep luas daerah trapesium berkembang menjadi suatu bentuk kesadaran dan tanggung jawab dalam mengkomunikasikan gagasan kepada lingkungan. 5) Pengaitan antar konsep matematika Dalam proses penemuan konsep luas daerah trapesium, beberapa konsep matematika yang saling terkait antara lain: konsep geometri, luas persegi panjang, dan operasi hitung perkalian. Proses matematisasi yang dikonstruksi oleh siswa melalui penggunaan model digambarkan dalam iceberg penemuan konsep luas daerah trapesium berikut. Luas daerah trapesium = 𝟏 × 𝟐
Tahapan
(𝒂 + 𝒃) × 𝒕
Matematika Formal Pembuatan Pondasi pemahaman matematis. Siswa mengkonstruksi konsep dan melakukan interaksi sosial Penggunaan model untuk jembatan(penggunaan alat peraga&media yang sesuai) Orientasi lingkungan/ masalah realistik : rumah Joglo Gambar 2.Iceberg Penemuan Konsep Luas Daerah Trapesium
c. Tahap retrospective analysis (analisis data yang diperoleh dari tahap sebelumnya) Peneliti menganalisis data yang diperoleh dari tahap teaching experiment dan menggunakan hasil dari analisis untuk mengembangkan desain selanjutnya. Tabel 1. Hasil Penelitian di SD 1 Gondangmanis No
Data
Hasil
Kriteria
1
Rata-rata tes prestasi belajar siswa
81,3
Tuntas
2
Rata-rata aktivitas belajar siswa
4,1
Baik
3
Rata-rata respon siswa terhadap pembelajaran
4,3
Senang
4
Rata-rata pengelolaan pembelajaran guru
4,1
Baik
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
161
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
5
Rata-rata respon guru terhadap desain
3,97
Baik
4,17
Baik
Hasil
Kriteria
pembelajaran 6
Rata-rata respon guru terhadap proses pembelajaran
Tabel 2. Hasil Penelitian di SD 1 Prambatan Kidul No
Data
1
Rata-rata tes prestasi belajar siswa
82,6
Tuntas
2
Rata-rata aktivitas belajar siswa
4,3
Baik
3
Rata-rata respon siswa terhadap pembelajaran
4,6
Senang
4
Rata-rata pengelolaan pembelajaran guru
4,3
Baik
5
Rata-rata respon guru terhadap desain
4,69
Baik
4,17
Baik
pembelajaran 6
Rata-rata respon guru terhadap proses pembelajaran
Dari hasil di atas, rata-rata tes prestasi belajar menunjukkan nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dimana KKM untuk mata pelajaran matematika adalah 70. Hal tersebut membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus sudah optimal. Dalam pembelajaran tersebut siswa diajak menemukan luas daerah trapesium menggunkan konteks yang dekat dengan lingkungan sekitar, dalam hal ini rumah adat kudus. Pembelajaran menjadi menyenangkan, sehingga tahap-tahap pembelajaran matematika realistik dapat berjalan secara maksimal. Kenyataan di lapangan ada 2 orang siswa yang tidak tahu rumah adat kudus, karena mereka tinggal di perumahan perkotaan. Hal tersebut tidak terlalu bermasalah, karena setelah ditunjukkan rumah adat kudus, mereka langsung tahu dan langsung ikut memahami beberapa bentuk bangun datar yang ada pada rumah adat kudus. Rata-rata aktivitas belajar siswa menunjukkan kriteria “baik” dan respon siswa terhadap pembelajaran menunjukkan kriteria “senang”. Hal tersebut dikarenakan siswa merasa tertarik karena di awal pembelajaran siswa diperlihatkan beberapa keunggulan lokal kudus, salah satu diantaranya yang akan dijadikan untuk pembelajaran adalah rumah adat kudus. Rumah adat tersebut diidentifikasi bentuk-bentuk bangun apa yang menyusun rumah adat tersebut. Rumah adat tersebut ditampilkan dalam LCD projector. Siswa semakin tertarik karena pembelajarannya berkelompok, disediakan Lembar Kerja Siswa (LKS), menggunakan CD Pembelajaran interaktif, dan alat peraga manipulatif (luas daerah trapesium). Keunggulan lokal Kudus harus sering ditonjolkan dalam
162
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
pembelajaran, karena masih ada sebagian kecil siswa belum tahu terkait keunggulan lokal Kudus. Dengan konteks seperti itu ternyata pembelajaran akan semakin menyenangkan. Rata-rata pengelolaan pembelajaran guru dan respon guru terhadap desain serta proses pembelajaran menunjukkan kriteria “baik”. Dalam pembelajaran menggunkan konteks rumah adat kudus, di mana hal tersebut sangat dekat dengan siswa. Penggunaan LKS dan alat peraga manipulatif (luas dareah trapesium) yang mengharuskan siswa bekerja dalam kelompok untuk menemukan luas daerah trapesium dengan pendekatan persegi panjang. Siswa dituntut mengisi LKS dengan bantuan alat peraga sampai menemukan luas daerah trapesium. LKS dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menuntun siswa menemukan luas daerah trapesium dengan pendekatan persegi panjang. Pelaksanaan pembelajaran matematika realistik berjalan efektif dan efisien, tahap demi tahap dijalankan secara optimal, mulai orientasi masalah kontekstual (rumah adat Kudus) sampai pada penarikan kesimpulan. Hal-hal yang masih perlu ditingkatkan lagi, yaitu (1) masalah kontekstual harus lebih bervariatif, kaitannya dengan bangun datar, bisa ditambah dengan pakaian adat Kudus atau makanan khas Kudus yang berbentuk bangun datar. (2) CD pembelajaran interaktif dan LKS harus match, agar siswa dapat lebih fokus. Dalam penelitian ini antara CD pembelajaran interaktif dan LKS kurang sedikit match di bagian awal atau bagian materi prasyarat, sehingga siswa merasa kebingungan waktu mengisi LKS pada bagian itu. (3) Menambah membuat alat peraga manipulatif lagi. Hal tersebut bertujuan sebagai cadangan. Dalam penelitian ini ada satu alat peraga yang tidak lengkap, sehingga perlu meminjam ke kelompok lain bagian yang hilang tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut harus membuat beberapa alat peraga manipulatif lagi (luas daerah trapesium dengan pendekatan persegi panjang). Secara keseluruhan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus pada materi luas trapesium sudah berjalan dengan optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil tes prestasi belajar yang mendapatkan nilai rata-rata di atas KKM. Selain itu dapat dilihat dari aktivitas guru dan siswa yang menunjukkan kriteria baik. Respon guru dan siswa juga menunjukkan kriteria baik.
SIMPULAN DAN SARAN Pelaksanaan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus pada materi luas daerah trapesium di SD 1 Gondangmanis dan SD 1 Prambatan Kidul berjalanoptimal, respon siswa dan guru baik dan aktivitas guru dan siswa juga baik. Implementasi pelaksanaan pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus dapat meningkatkan prestasi belajar matematika pada materi luas daerah trapesium. Memperoleh desain dan perangkat
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
163
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
pembelajaran matematika realistik berkonteks rumah adat kudus pada materi luas daerah trapesium dengan pendekatan luas persegi panjang. Guru maupun peneliti hendaknya lebih memaksimalkan potensi keunggulan lokal Kudus (rumah adat, pakaian adat, makanan khas, dll.). Dalam pembuatan desain dan perangkat pembelajaran hendaknya melakukan telaah dan diskusi yang melibatkan beberapa guru dan ahli yang berpengalaman
DAFTAR PUSTAKA Asmani, J. 2012. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Yogyakarta : DIVA Press. Charitas, dkk. 2012. Learning Multiplication Using Indonesian Traditional game in Third Grade. IndoMs – JME, 3(2), 115 – 132. Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam KTSP mata pelajaran matematika Sekolah Dasar/Madrasah Ibtiaiyah. Jakarta : Depdiknas. Freudenthal. 1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. Gravemeijer & Cobb. 2006. “Design Research from a Learning Perspective, dalam Educational Design Research. New York : Routledge Helsa, Y., & Hartono, Y. 2011. Designing Reflection and Symmetry Learning by Using Math Traditional Dance in Primary School. IndoMs – JME, 2(1), 79 – 94. Heruman. 2012. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Hidayat, M. 2005. Teori Pembelajaran Matematika. Semarang: PPs UNNES. Ibrahim & Suparni. 2012. Pembelajaran Matematika Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga. Kwang, T.S. 2002. An Investigative Approach to Mathematics Teaching and Learning. The Mathematics Educator, 6(2), 32-46. Maaβ, K. 2010. Classification Scheme for Modelling Task. J Math Didakt, 31(2), 285-311. Nasrullah & Zulkardi. 2011. Building counting by traditional game: A Mathematics Program for Young Children. IndoMs – JME, 2(1), 41 – 54. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Soedjadi, R. 2000.
Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (konstatasi keadaan masa
kini menuju harapan masa depan). Jakarta : Depdiknas. Suherman, E. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA, Universitas Pendidikan Indonesia. Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Matematika. Yogyakarta : Dirjen Dikdasmen P3G Matematika
164
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
The International Association for the Evaluation of Educational Achievement. 2011. Progress in Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).The International Association for the Evaluation of Educational Achievement Washington DC: Department of Education. Tersedia di http://timss.bc.edu/. Diunduh 17 Februari 2012. Wijaya. 2012. Pendidikan Matematika Realistik suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu. Zulkardi & Ilma. 2010. Pengembangan Blog Support Untuk Membantu Siswa Dan Guru Matematika
Indonesia
Belajar
Pendidikan
Matematika
Realistik
Indonesia
(PMRI).Jurnal Inovasi Perekayasa Pendidikan (JIPP), 2(1), 1-24.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
165
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
RESPONS GURU TERHADAP PEMBELAJARAN BERBASIS PENGAJUAN DAN PEMECAHAN MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA Eka Puspitasari, Dwi Shinta Rahayu,Tatag Yuli Eko Siswono (Program Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya Kampus Ketintang Surabaya; Tulang Bawang Barat, Lampung 081369277783;
[email protected]) Abstrak Salah satu tujuan pembelajaran matematika di Indonesia adalah melatih siswa berpikir kreatif. Kemampuan ini dapat dikembangkan melalui berbagai cara, salah satunya dengan menerapkan model pembelajaran pengajuan dan pemecahan masalah (JUCAMA). Dalam hal ini, guru memegang peran penting dalam pelaksanaan pembelajaran. Opini guru mempengaruhi kelanjutan implementasi JUCAMA di kelas sebagai upaya meningkatkan kreativitas siswa. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui respon guru dalam kaitannya dengan kemampuan merencanakan dan mengimplementasikan JUCAMA, mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa serta keyakinan guru terhadap tujuan pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, dan (2) mengetahui kendala-kendala yang dihadapi guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pembelajaran JUCAMA. Penelitian kuantitatif dan deskriptif ini merupakan bagian dari penelitian strategi nasional yang dilakukan dengan metode angket terhadap 35 guru yang terdiri dari guru kelas 3, 4 dan 5 dari 8 SD di Kabupaten Sidoarjo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak mengalami kesulitan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam pembelajaran JUCAMA. Selain itu, mereka juga yakin bahwa model ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Dengan demikian, dapat disimpulkan guru memberikan respon positif terhadap pembelajaran JUCAMA. Kata kunci: pengajuan masalah, pemecahan masalah, berpikir kreatif
PENDAHULUAN Di masa yang kompetitif ini, kemampuan berpikir kreatif mutlak perlu dimiliki oleh siswa. Bahkan, menurut Career Center Maine Department of Labor USA, yang dikutip oleh Mahmudi (2010), berpikir kreatif merupakan salah satu kemampuan yang dikehendaki dunia kerja. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berpikir kreatif menjadi fokus dalam tujuan pendidikan di Indonesia, terutama melalui pembelajaran matematika. Lebih jauh, Peraturan Menteri no 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyebutkan bahwa matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama. Definisi berpikir kreatif sendiri telah diungkapkan oleh banyak ahli, misalnya McGregor mendefinisikan berpikir kreatif sebagai berpikir yang mengarah pada pemerolehan wawasan baru, pendekatan baru, perspektif baru, atau cara baru dalam memahami sesuatu. Senada dengan pendapat tersebut, Martin berpendapat bahwa kemampuan berpikir kreatif digunakan untuk menghasilkan ide atau cara baru dalam menghasilkan suatu produk. (Mahmudi, 166
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
2010). Aspek kebaruan juga ditekankan oleh Ruggirro dan Evans dalam memandang kemampuan berpikir kreatif sebagai suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masala atau situasi yang harus dipecahkan untuk membangun ide atau gagasan ”baru (dalam Siswono, 2011). Tampak jelas bahwa berpikir kreatif mengandung unsur kebaruan. Selain unsur kebaruan, Isaksen mengkaitkan berpikir kreatif dengan proses pembentukan ide yang menekankan pada aspek kelancaran, keluwesan, dan keterincian. Sementara itu, menurut Sharp, beberapa aspek berpikir kreatif antara lain kebaruan, produktivitas, dan dampak atau manfaat. Kebaruan disini bersifat relatif untuk setiap individu, dalam konteks belajar mengajar hal ini dapat dikaitkan dengan penemuan penyelesaian yang bagi siswa dianggap baru ketika mereka menghadapi masalah yang menantang. Aspek produktivitas dijelaskan sebagai penemuan banyak ide, bisa baru ataupun tidak. Sedangkan dampak atau manfaat dipandang perlu karena jika suatu produk proses berpikir seseorang jika tanpa ada kebermanfaatannya tidak akan bernilai. Manfaat disini bisa merujuk pada peningkatan kepercayaan diri siswa setelah menyelesaikan masalah yang baru tersebut. Penjelasan yang hampir sama dikemukakan oleh Martin (dalam Mahmudi, 2010), bahwa kemampuan berpikir kreatif berkaitan dengan produktivitas, keaslian atau originalitas, dan keflesibelan atau keluwesan. Komponen produktivitas di sini merujuk pada hal yang sama dengan pendapat sebelumnya, sedangkan keaslian merujuk pada aspek kebaruan. Sementara itu, fleksibilitas terkait dengan kemampuan memodifikasi ide berdasarkan informsi baru. Siswa yang memiliki fleksibiltas dapat memodifikasi ide mereka untuk mendapatkan cara penyelesaian yang berbeda-beda dari suatu masalah yang sama. Dalam artikel ini, indikator berpikir kreatif meliputi keluwesan yaitu kemampuan menghasilkan banyak ide, kebaruan yang merujuk pada ide-ide yang ”baru” menurut siswa dan bersifat unik, dan fleksibilitas yaitu kemampuan memodifikasi ide-ide menggunakan informasi yang baru. Sementara itu, kreativitas tidak hanya dapat dilatih melalui bidang-bidang seni atau sastra, tetapi juga dapat dilatih melalui pembelajaran sains dan matematika (Pehkonen dalam Mahmudi, 2010). Hanya saja, dalam pembelajaran matematika aspek kreativitas ini lebih difokuskan pada proses berpikir, yaitu proses berpikir kreatif. Proses berpikir kreatif matematika merujuk pada proses berpikir kreatif umum, Siswono dan Budayasa (2006) mengutip pendapat Pehkonen, Krutetskii, Haylock, dan Silver bahwa berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran yang memperhatikan fleksibilitas, kefasihan dan kebaruan. Kemampuan berpikir logis dan divergen ini dapat dilatihkan melalui pembelajaran matematika. Adapun salah satu cara untuk melatih siswa berpikir kreatif adalah melalui pembelajaran dengan tugas yang memuat masalah. Masalah merupakan situasi dimana seseorang ingin melakukan sesuatu tetapi tidak tahu apa yang diperlukan untuk mendapatkan yang diinginkan
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
167
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
(Crowl et a, dalam King, et al). Dalam konteks pembelajaran, masalah harus menantang dan tidak otomatis diketahui cara penyelesaiannya. Hal ini ditegaskan oleh Becker dan Shimada sebagai berikut. Genuine problem solving requires a problem that is just beyond the student’s skill level so that she will not automatically know which solution method to use. The problem should be nonroutine, in that the student perceives the problem as challenging and unfamiliar, yet not insurmountable. Berdasarkan penjelasan tersebut, tidak semua pertanyaan matematika merupakan masalah. Adanya ciri menantang dan tidak bisa secara langsung dipecahkan dengan prosedur rutin yang diketahui berimplikasi pada kenyataan bahwa suatu pertanyaan mungkin menjadi masalah bagi seorang siswa tapi belum tentu demikian bagi siswa yang lain. Dari pendapat di atas dapat diidentifikasi ciri utama masalah, yaitu (1) individu memiliki pengetahuan prasayarat tentang situasi yang dihadapi, (2) menantang, dan (3) langkah menemukan penyelesaiannya tidak harus jelas atau mudah dipahami orang lain. Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat didorong untuk berpikir kreatif melalui pembelajaran yang melibatkan pengajuan dan pemecahan masalah. Istilah pemecahan masalah sendiri didefinisikan oleh beberapa ahli, salah satunya Gagne. Papola (2005) menjelaskan bahwa menurut Gagne, “Problem solving is a set of events in which human being was rudes to achieve science goals”. Berdasarkan pendapat Gagne, pemecahan masalah adalah rangkaian peristiwa dimana seseorang berusaha keras untuk mencapai tujuannya. Definisi yang lain diajukan oleh Risk (dalam Papola, 2005), yaitu “Problem solving may be defined as a process of raising a problem in the minds of the students in such a way as to stimulate purposeful reflective thinking in arriving at a rational solution”. Menurut Risk, pemecahan masalah merupakan suatu proses memunculkan masalah dalam pikiran untuk mendorong siswa berpikir reflektif dalam mencari solusi yang rasional. Sementara itu, menurut Siswono, pemecahan masalah matematika dapat diartikan sebagai proses siswa dalam menyelesaikan suatu masalah matematika yang langkahnya terdiri dari memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana tersebut, dan memeriksa kembali jawaban. Pengertian pemecahan masalah menurut Siswono ini mengacu pada langkah-langkah penyelesaian masalah yang digagas oleh Polya. Dari pendapat-pendapat ahli di atas, pemecahan masalah dapat diartikan sebagai proses seseorang untuk menemukan penyeleaian masalah yang rasional dengan mengacu pada langkahlangkah yang dikemukakan Polya, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan rencana tersebut, dan memeriksa kembali jawaban.
168
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Sedangkan, pengajuan masalah merujuk pada pemberian tugas yang bersifat open-ended atau masalah terbuka dengan meminta siswa menuliskan sebarang masalah yang dipikirkannya tanpa batas dari isi ataupun konteks matematika. Becker dan Shimada (1997), dalam bukunya “How to Solve It”, mendefinisikan masalah open ended sebagai masalah yang memiliki banyak jawaban yang benar atau banyak cara menemukan jawaban yang benar. Hal ini didukung oleh Moses (dalam Siswono, 2011) bahwa untuk mendorong berpikir kreatif siswa guru dapat memodifikasi masalah dari buku teks dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang memiliki jawaban majemuk, karena masalah yang hanya memiliki satu jawaban tunggal tidak akan mendorong siswa untuk berpikir kreatif. Pengajuan masalah memang sedikit berbeda dengan pemecahan masalah, namun strategi ini dapat digunakan untuk menstimulus siswa untuk berpikir kreatif dalam pembelajaran matematika. Strategi ini dapat dilakukan melalui langkah-langkah yang dikembangkan Silver dan Chai yaitu (1) pengajuan pre-solusi dimana siswa mengajukan pertanyaan dari informasi yang diberikan, (2) pengajuan di dalam solusi dimana siswa siswa merumuskan ulang seperti yang telah diselesaikan, (3) pengajuan stelah solusi dimana siswa memodifikasi soal yang telah diselesaikan untuk membuat soal yang baru. Model pembelajaran matematia yang melibatkan tugas pemecahan dan pengajuan masalah disebut model pembelajaran JUCAMA. Siswono (2008), mendefinisikan model pembelajaran JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif sebagai suatu model pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemecahan dan pengajuan masalah matematika sebagai fokus pembelajarannya dan menekankan belajar aktif secara mental dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif Adapun sintaks dalam model pembelajaran JUCAMA adalah sebagai berikut. Fase
Aktivitas Guru
1. Menyampaikan tujuan dan
Menjelaskan tujuan, materi prasyarat, memotivasi
mempersiapkan siswa
siwa, dan mengaitkan materi pelajaran denan konteks kehidupan sehari-hari
2. Mengorientasikan siswa
Memberikan masalah yang sesuai dengan tingkat
pada masalah dan
perkembanagn anak untuk diselesaikan atau meminta
mengorganisasikannya
siswa mengajukan masalah berdasarkan informasi
untuk belajar
maupun masalah awal. Meminta siswa bekerja dalamkelompok atau individu dan mengarahkan siswa membantu dan membagi dengan anggota kelompok atau teman lainnya
3. Membimbing penyelesaiannya secara
Guru membimbing dan mengarahkan belajar secara efektif dan efisien
individual maupun
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
169
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Fase
Aktivitas Guru
kelompok 4. Menyajian hasil
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan
penyelesaian pemecahan dan
menetapkan suatu kelompok atau seorang siswa
pengajuan masalah
dalam menyajikan hasil tugasnya
5. Memeriksa pemahaman dan
Memeriksa kemampuan siswa dan memberikan
memberikan umpan balik umpan balik untuk menerapkan maslaah yang sebagai evaluasi
dipelajari pada suatu materi lebih lanut dan pada konteks nyata masalah sehar-hari
Dalam model pembelajaran JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreaif siswa, penilaian tidak hanya dilakukan pada kemampuan siswa memecahkan dan mengajukan masalah namun juga pada tingkat berpikir kreatif siswa. Siswono (2008) merumuskan suatu penjenjangan kemampuan berpikir kreatif siswa yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa. Penjenjangan tersebut didasarkan pada indikator berpikir kreatif yakni kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Kebaruan ditempatkan pada tingkat teratas dalam penjenjangan ini mengingat indikator ini menunjukkan kekhasan dan keunikan dari suatu produk berpikir kreatif yag sangat ditekankan. Selanjutnya, diikuti oleh fleksibilitas dimana kemampuan siswa memodifikasi ide dan cara penyelesaian. Sementara itu, kefasihan mencerminkan kelancaran siswa dalam menghasilkan penyelesaian melalui proses berpikir kreatif. Penjelasan selengkapnya tentang pejenjangan tingkat berpikir kreatif siswa adalah sebagai berikut.
Tingkat Berpikir Kreatif 4 Siswa mampu menyelesaikan suatu masalah dengan lebih dari satu alternatif jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah yang berbeda-beda dengan lancar (fasih) dan fleksibel. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa sangat kreatif.
Tingkat Berpikir Kreatif 3 Siswa mampu menunjukkan suatu jawaban yang baru dengan cara penyelesaian yang berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau membuat berbagai jawaban yang baru meskipun tidak dengan cara yang berbeda (tidak fleksibel). Selain itu, siswa dapat membuat masalah yang berbeda dengan lancar (fasih) meskipun jawaban masalah tunggal atau membuat masalah yang baru dengan jawaban divergen. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa kreatif.
170
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Tingkat Berpikir Kreatif 2 Siswa mampu membuat satu jawaban atau masalah yang berbeda dari kebiasaan umum meskipun tidak dengan fleksibel atau fasih, atau mampu menunjukkan berbagai cara penyelesaian yang berbeda dengan fasih meskipun jawaban yang dihasilkan tidak baru. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa cukup kreatif.
Tingkat Berpikir Kreatif 1 Siswa tidak mampu membuat jawaban atau membuat masalah yang berbeda (baru), meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi, yaitu cara penyelesaian yang dibuat berbeda-beda (fleksibel) atau jawaban/masalah yang dibuat beragam (fasih). Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa kurang kreatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siswono pada tahun 2005 serta Siswono dan Novitasari pada tahun 2007 menunjukkan bahwa pembelajaran dengan model ini dapat meningkatkan hasil belajar siswa terutama dalam pemecahan masalah dan mengindikasikan peningkatan kemampuan berpikir kreatif sesuai indikator kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan dalam memcahkan dan mengajukan masalah. Selain itu model ini juga daat digunakan untuk melatih siswa mengkomunikasikan ide secara rasional karena dalam pembelajaran ini siswa ditantang untuk menyelesaikan masalah terbuka yang memiliki jawaban atau cara penyelesaian yang bermacam-macam. (Siswono, 2011) Masih menurut Siswono, meskipun model ini memberikan kontribusi positif dalam peningkatan kemampuan pengajuan dan pemecahan masalah serta berpikir kreatif siswa, model ini perlu persiapan yang sangat matang terutama dalam memilih masalah yang tepat bagi siswa dan waktu yang lama. Hal yang perlu digarisbawahi oleh guru dalam menerapkan model ini adalah penerapan yang berkelanjutan sehingga siswa menjadi terbiasa menyelesaikan masalahmasalah terbuka. Persiapan yang matang akan tercapai jika guru menguasai konten yang akan diajarkan dan memiliki kemampuan pedagogik yang mumpuni, dalam hal ini guru perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang model JUCAMA sebelum menerapkannya dalam kelas. Dengan adanya pemahaman yang baik ini diharapkan tujuan pembelajaran, yaitu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa melalui pembelajaran JUCAMA, dapat tercapai maksimal. Pemahaman guru ini dapat tercermin dari respons guru terhadap pembelajaran. Peran guru dalam proses belajar mengajar sangat penting. Guru yang menentukan strategi apa yang akan digunakan di kelas untuk membantu siswa mengkonstruk pengetahuannya. Sementara itu, model JUCAMA ini merupakan salah satu model yang baru. Pandangan guru terhadap penerapan model pembelajaran ini menentukan keberlangsnungan penerapan model ini
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
171
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
di dalam proses belajar mengajar di kelas. Jika guru memandang JUCAMA sebagai model yang mudah untuk diaplikasikan dan yakin bahwa model ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa maka, guru tentunya akan menerapkannya secara berkesinambungan seperti yang telah disebutkan di atas bahwa hal yang peru diperhatikan dalam penerapan model ini adalah kekontinyuan pelaksanaannya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk (1) mengetahui respons guru dalam kaitannya dengan kemampuan merencanakan dan mengimplementasikan JUCAMA, mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa serta keyakinan guru terhadap tujuan pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, dan (2) mengetahui kendala-kendala yang dihadapi guru dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pembelajaran JUCAMA.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan deskriptif yang dilaksanakan sebagai bagian dari penelitian strategi nasional. Penelitian ini dilakukan dengan pemberian angket kepada guru SD di Kabupaten Sidoarjo untuk mengetahui respon guru terhadap pembelajaran JUCAMA. Guru yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 30 orang yang terdiri dari 10 guru kelas 3, 7 guru kelas 4 dan 13 guru kelas 5. Berdasarkan wawancara yang bertujuan untuk mengetahui informasi awal tentang guru, pengalaman mengajar guru bervariasi antara 5-35 tahun dengan pendidikan terakhir S1 dan S2. Ditinjau dari pengetahuan guru tentang model pembelajaran JUCAMA, paea guru belum pernah mendapatkan pelatihan yang terkait dengan upaya peningkatan berpikir kreatif siswa dengan menggunakan JUCAMA sehingga memiliki pengalaman yang relatif sama yaitu suatu metode yang baru. Prosedur penelitian diawali dengan mendesain workshop mengenai perencanaan pembelajaran JUCAMA dan melaksanakannya sebanyak 2 kali. Setelah kegiatan itu guru merancang perangkat pembelajaran jucama dan mengimplementasikan pada sekolah masingmasing. Setelah itu, semua guru diberi angket respon terhadap pembelajaran menggunakan model JUCAMA. Penelitian deskriptif dilakukan dengan melakukan wawancara semi terstruktur terhadap beberapa guru terpilih pada masing-masing tingkat kelas untuk menggali informasi
lebih
lanjut
dalam
kaitannya
dengan
kemampuan
merencanakan
dan
mengimplementasikan JUCAMA, mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa serta keyakinan guru terhadap tujuan pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kreatif. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket untuk mengetahui tanggapan guru setelah melaksanakan pembelajaran dan pedoman wawancara semi terstruktur sebagai panduan dalam menggali kemampuan berpikir kreatif guru, kendala-kendala yang dihadapi, dan keyakinannya terhadap pelaksanaan pembelajaran. Analisis kuantitatif dilakukan setelah melakukan rekapitulasi angket dan menghitung persentase nilai respon guru (NRG) dari tiap
172
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
butir pernyataan, kemudian menentukan kriteria persentase NRG per butir pernyataan serta menghitung jumlah butir pernyataan yang memenuhi masing-masing kriteria (sangat baik, baik, kurang baik dan tidak baik). Selanjutnya, membuat kategori utuk seluruh butir pernyataan. Respons guru dikatakan positif jika ≥ 50% dari seluruh butir pernyataan termasuk kategori “baik” atau “sangat baik”. Sedangkan analisis deskriptif dilakukan dengan melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran kesulitan-kesulitan guru dalam merancang, melaksanakan, maupun menilai kemampuan berpikir kreatif siswa dalam implementasi jucama.
Hasil Penelitian: Respon guru terhadap pembelajaran JUCAMA Respons guru diperoleh dari angket yang diberikan setelah guru melakukan serangkaian pembelajaran menggunakan model JUCAMA pada bulan Oktober 2013. Hasil angket disajikan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Hasil Angket Respon Guru No.
Pernyataan
Jumlah Respons S
KS
TS
NRG
7
16
6
1
74,17%
5
16
9
0
71,67%
1
18
9
1
64,17%
2
19
9
0
69,17%
7
21
2
0
79,17%
16
13
1
0
87,50%
5
16
7
2
70,00%
2
18
9
1
67,50%
SS 1
Saya tidak mengalami kendala yang berarti dalam
%
membuat rencana pembalajaran yang mengkaitkan kemampuan berpikir kreatif siswa 2
Saya tidak kesulitan menyusun soal yang terbuka untuk mendorong berpikir kreatif siswa
3
saya mengalami kesulitan dalam membuat tugas pengajuan masalah
4
Saya tidak kesulitan merumuskan tujuan dari indikator untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa.
5
Saya dapat menyusun kegiatan inti yang sesuai dengan langkah-langkah pada pembelajaran JUCAMA
6
Saya senang dalam mengajar menggunakan RPP untuk mendorong berpikir kreatif siswa
7
Saya tidak kesulitan menilai kemampuan berpikir kreatif siswa
8
Indikator-indikator berpikir kreatif siswa (kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan) dapat saya pahami dengan mudah
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
173
Volume 1
9
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Saya yakin materi yang saya ajarkan menyebabkan
10
19
0
0
80,83%
15
15
0
0
87,50%
7
18
5
0
76,67%
13
17
0
0
85,83%
9
18
2
1
79,17%
3
20
2
0
63,33%
9
21
0
0
82,50%
siswa dapat berpikir kreatif 10
Saya percaya tugas-tugas memecahkan masalah dapat medorong siswa berpikir kreatif
11
Saya tidak ragu sama sekali siswa akan berpikir kreatif ketika diminta membuat soal
12
Saya percaya bahwa langkah-langkah pembelajaran jucama benar-benar dapat diterapkan untuk mendorong berpikir kreatif siswa
13
Saya merasakan dengan sesungguhnya pembelajaran JUCAMA memudahkan guru mengantar siswa berpikir kreatif
14
Saya berketetapan hati menggunakan langkahlangkah pembelajaran JUCAMA ini untuk materimateri lain
15
Saya percaya siswa kami mampu berpikir kreatif dalam pembelajaran
kriteria persentase NRG 25% ≤ NRG < 44%
Tidak Baik
44% ≤ NRG < 63%
Kurang Baik
63% ≤ NRG < 82%
Baik
82% ≤ NRG ≤ 100%
Sangat Baik
Berdasarkan angket, butir 1, 2, 3, 4 dan 5 merepresentasikan respons guru dalam perencanaan pembelajaran. Butir 6 berkaitan dengan pelaksanaan, butir 7 dan 8 berkaitan dengan evaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa, sedangkan butir 9-15 mencerminkan keyakinan guru terhadap pembelajaran menggunakan JUCAMA dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Berdasarkan kriteria persentase NRG, guru memberikan respon “baik” terhadap perencanaan pembelajaran dan evaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa. Respons berbeda, yaitu “sangat baik”, ditunjukkan terhadap pelaksanaan pembelajaran menggunakan model JUCAMA. Berdasarkan Tabel 1, sebagian besar butir pernyataan tentang keyakinan guru terhadap pembelajaran menggunakan JUCAMA jika dikaitkan dengan kreativitas siswa masuk dalam kategori “baik”.
Kendala dan Keyakinan Guru dalam Mengimplementasikan JUCAMA 174
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Hasil angket menunjukkan tidak semua guru menjawab setuju atau sangat setuju pada tiap butir pernyataan. Hal ini mengindikasikan bahwa ada beberapa hal yang masih kurang dalam implementasi JUCAMA. Hal tersebutlah yang kita sebut sebagai kendala. Demi memperoleh gambaran kendala yang dialami guru dalam penerapan model JUCAMA, peneliti melakukan wawancara semi terstruktur berdasarkan jawaban pada angket. Kendala-kendala tersebut disajikan pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Kendala- Kendala dalam Mengimplementasikan JUCAMA Tahap Implementasi Persiapan
Kendala-Kendala membuat soal open-ended untuk melatih siswa berpikir kreatif kurang waktu Pengetahuan kurang Kekurangan waktu untuk persiapan Kesulitan membuat RPP Kesulitan mencari bahan
Pelaksanaan
Siswa yang aktif makin aktif, sedangkan siswa yang pasif lebih pasif Kesulitan melakukan manajemen kelas dengan jumlah siswa yang banyak Kesulitan mengajak siswa berpikir kreatif siswa ramai siswa belum bisa mengajukan soal kebaruan Kurikulum yang digunakan kurang sesuai dengan jucama sehingga menjadi bingung kurang pengarahan Kesulitan mengarahkan siswa
Evaluasi
bingung format penilaian kesulitan untuk membedakan fleksibilitas dan kebaruan banyak indikator yang harus dinilai analisis indikator
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dirangkum dalam tabel diatas, jelas bahwa pada setiap tahap implementasi guru masih mengalami kesulitan. Pada tahap persiapan, sebagian besar guru merasa kesulitan saat membuat soal-soal open-ended yang dapat merangsang siswa untuk berpikir kreatif. Selain itu, guru masih merasa kesulitan dalam membuat RPP hal ini disebabkan oleh kurangnya bimbingan dalam pembuatan perangkat pembelajaran JUCAMA. Pada tahap pelaksanaan, guru merasa kesulitan mengatur kelas dengan jumlah siswa yang banyak, akibatnya kelas menjadi ramai. Disamping itu, guru dan siswa juga belum terbiasa Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
175
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
untuk melaksanakan dan mengikuti pembelajaran yang melibatkan kemampuan mengajukan masalah. Pada saat evaluasi atau penilaian kesulitan utama guru adalah tentang perbedaan cara penilaian dibandingkan dengan penilaian yang telah dilakukan guru sebelumnya, baik berupa format penilaian maupun indikator yang dinilai. Terkait dengan indikator, jumlah indikator yang lebih banyak membuat guru kesulitan dalam membedakan indikator-indikator yang muncul, terutama indikator kebaruan dimana guru belum pernah mangevaluasi indikator ini sebelumnya. Keyakinan guru dalam penggunaan model JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa juga diungkap melalui wawancara. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Keyakinan guru terhadap penerapan JUCAMA Tingkat Keyakinan
Persentase
Yakin
53,85%
Ragu-ragu
26,92%
Tidak Yakin
19,23%
Terlihat dari tabel bahwa lebih dari 50% guru yakin bahwa JUCAMA dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Keragu-raguan muncul dengan persentase 26,92% dari jumlah guru yang diwawancara. Hal ini dapat dilihat dari jawaban guru dimana mereka percaya JUCAMA bisa meningkatkan kreativitas siswa tetapi masih perlu dilatihkan lagi baik pada guru dan siswa. Kurang dari 20% guru tidak yakin dengan penerapan JUCAMA.
Pembahasan Hasil Penelitian Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui respon guru terhadap pembelajaran JUCAMA yang terbilang baru bagi guru. Respon masuk dalam kategori “positif” jika ≥ 50% dari seluruh butir pernyataan pada angket masuk dalam kriteria baik atau sangat baik. Terlihat dari tabel 1, tahap perencanaan, tahap evaluasi dan tingkat keyakinan guru mendapat respon “baik”, sedangkan tahap pelaksanaan mendapat respon “sangat baik”. Ditinjau dari kategori respon secara keseluruhan, lebih dari 50% pernyataan mendapat respon baik atau sangat baik. Artinya guru memberikan respon positif terhadap penerapan model JUCAMA untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Meskipun guru memberikan respon positif terhadap pembelajaran dengan menggunakan JUCAMA, tak dapat dipungkiri bahwa masih ada kendala-kendala dalam penerapannya. Guru merasa kendala utama dalam proses persiapan adalah kurangnya pelatihan yang diberikan sehingga guru masih kesulitan dalam pembuatan perangkat pembelajaran. Meskipun RPP yang digunakan hanya merupakan pengembangan dari RPP yang biasa guru gunakan, penyesuaian tujuan dan langkah-langkah pembelajaran menggunakan JUCAMA pun masih memerlukan
176
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
bimbingan. Selain itu, kesulitan juga dihadapi guru saat pembuatan perangkat lain yaitu berupa soal-soal dalam LKS maupun lembar evaluasi. Guru masih belum mengerti bagaimana cara membuat soal open-ended yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa. Selanjutnya, meskipun pada tahap pelaksanaan respon sangat baik ditunjukkan oleh guru, masih ada kendala yang dihadapi guru terutama terkait dengan waktu dan manajemen kelas. Langkah pembelajaran JUCAMA yang berbeda dari pembelajaran yang biasa guru lakukan memerlukan waktu yang lebih lama. Ditambah lagi dengan kenyataan dimana guru dan siswa sama-sama belum terbiasa dengan model pembelajaran baru sehingga masih perlu bimbingan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Terkait dengan manajemen kelas, perubahan susunan klasik menjadi berkelompok dengan jumlah siswa yang banyak (mayoritas, jumlah siswa setiap kelas lebih dari 30 orang) membuat guru kesulitan memonitor secara menyeluruh sehingga dipertengahan proses pembelajaran kelas menjadi ribut. Selain itu, ditinjau dari kemampuan siswa, siswa baru pertama kali mengikuti pembelajaran yang melibatkan kemampuan mengajukan/membuat soal sehingga mereka masih sulit saat diminta untuk membuat soal yang berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari. Ditambah lagi dengan 3 indikator kreativitas (kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan) yang diharapkan muncul pada jawaban siswa, ternyata siswa masih belum memunculkan kebaruan pada pengajuan masalah. Evaluasi hasil kerja siswa pada pembelajaran JUCAMA meliputi analisis ketuntasan belajar dan kemampuan berpikir kreatif siswa. Guru biasa melakukan analisis ketuntasan belajar siswa, namun evaluasi kemampuan berpikir kreativitas siswa merupakan pengalaman baru bagi guru-guru tersebut dan disinilah kendala dihadapi. Guru mengaku masih bingung dengan format penilaian yang diberikan. Jumlah indikator yang lebih banyak (3 indikator) membuat guru kesulitan dalam menentukan indikator apa saja yang muncul dalam jawaban siswa. Masalah lain terkait dengan pemahaman guru terhadap 3 indikator kreativitas. Guru mengaku mengerti secara teori apa yang dimaksud dengan indikator-indikator tersebut, namun ketika dihadapkan dengan jawaban siswa masih sulit membedakan antara fleksibilitas dan kebaruan. Keyakinan guru terhadap suatu model pembelajaran menentukan keberlangsungan penerapan model tersebut dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Selain itu, keyakinan tersebut dapat merepresentasikan pencapaian tujuan dari penerapan suatu model pembelajaran. Berdasarkan data yang telah dituliskan dalam Tabel 3, terlihat bahwa lebih dari 50% guru yakin bahwa JUCAMA dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa, meskipun masih ada sebagian yang menjawab ragu-ragu. Keragu-raguan itu muncul karena kurangnya pelatihan yang diterima oleh para guru sehingga guru merasa belum maksimal dalam penerapan model JUCAMA di kelas. Guru juga merasa siswa masih perlu dilatihkan untuk berpikir kreatif sehingga kreativitas siswa dalam mengerjakan tugas dari guru bisa keluar secara maksimal.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
177
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Simpulan dan Saran Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan, dapat disimpulkan bahwa guru memberikan respon “positif” dalam kaitannya dengan kemampuan merencanakan dan menerapkan JUCAMA serta mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif siswa. Berdasarkan hasil analisis angket, lebih dari 50% guru yakin bahwa pembelajaran dengan menggunakan model JUCAMA dapat meningkatkan kemampuan berikir kreatif siswa namun masih perlu banyak pelatihan. Kendala-kendala selalu muncul pada saat mencoba hal baru, termasuk penerapan suatu model pembelajaran. Kendala yang muncul disini terkait kurangnya pelatihan yang diberikan kepada guru sebelum implementasi di kelas. Ditambah lagi dengan keadaan dimana guru dan siswa yang masih belum terbiasa dengan model JUCAMA membuat alokasi waktu yang diperlukan lebih lama. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, disarankan agar model pembelajaran JUCAMA ini dapat diterapkan untuk pembelajaran materi atau mata pelajaran lain sehingga kemampuan berpikir kreatif siswa lebih terlatih. Dan juga, siswa akan terbiasa mengerjakan soal-soal terbuka atau bahkan mampu mengajukan masalah/soal terbuka
Daftar Pustaka Mahmudi, Ali. 2010. Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Makalah Disajikan Pada Konferensi Nasional Matematika XV UNIMA Manado, 30 Juni – 3 Juli 2010 Papola, C. 2005. Teaching of Mathematics. New Delhi: Anmol Publication Polya, George. 1973. How To Solve It. New Jersey: Princeton University Press Siswono, Tatag Yuli Eko, dan Budayasa, I Ketut. 2006 Implementasi Teori Tentang Tingkat Berpikir Kreatif Dalam Matematika. Makalah dipresentasikan pada Seminar Konferensi Nasional Matematika XIII dan Konggres Himpunan Matematika Indonesia di Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang, 24-27 Juli 2006 Siswono, Tatag Yuli Eko. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya: Unesa University Press Siswono, Tatag Yuli Eko.
2011. Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan
Pemecahan Masalah (JUCAMA) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematka 2011 di Universitas Negeri Surabaya, 22 Oktober 2011
.
178
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
ANALISIS KETERAMPILAN GEOMETRI SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH GEOMETRI BERDASARKAN TINGKAT BERPIKIR VAN HIELE (Studi Kasus pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014) Imam Sujadi1, Nur’aini Muhassanah2 Dosen Pendidikan Matematika FKIP UNS 2) Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Matematika UNS Email: 1)
[email protected], 2)
[email protected] 1)
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keterampilan geometri siswa kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta dalam memecahkan masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele. Sejalan dengan tujuan penelitian maka penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan.Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP N 16 Surakarta tahun ajaran 2013/2014. Hasil penelitian dapat diketahui keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri sebagai berikut, siswa tingkat 0 (visualisasi) pada keterampilan visual (visual skill), siswa hanya bisa menentukan jenis bangun datar segiempat berdasarkan penampilan bentuknya, dan dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar tidak dapat secara spesifik lebih terfokus pada banyaknya sisi, dan banyaknya sudut; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat mengelompokkan nama yang benar untuk gambar-gambar segiempat yang diberikan, belum dapat mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki karena sifat yang dijelaskan meliputi ukuran sudut, ukuran sisi, dan kesejajaran sisi, dan belum bisa membedakan antara segiempat yang satu dengan yang lain karena sifat yang dijelaskan sama antara segiempat; keterampilan menggambar (drawing skill), siswa hanya mampu membuat sebuah segiempat dengan pelabelan tetapi tidak mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan sifat-sifat yang diberikan seperti dua garis yang saling tegak lurus dan menentukan suatu titik dalam sebuah garis; keterampilan logika (logical skill), subyek dapat memahami konservasi bentuk gambar segiempat dalam berbagai posisi dengan menyebutkan jenis masing-masing gambar, dan menyadari adanya persamaan dari beberapa gambar segiempat yaitu sama- sama berbentuk segiempat; dan keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menghubungkan informasi (objek fisik) yang diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri (tanpa menggunakan skala), dapat menjelaskan sifat geometri dari benda-benda fisik. Selanjutnya keterampilan geometri siswa tingkat 1 (analisis) pada keterampilan visual (visual skill), siswa hanya bisa menentukan jenis bangun datar segiempat berdasarkan penampilan bentuknya dan sifat-sifat yang dimiliki, dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar dapat menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, kesejajaran sisi, dan hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat menggambarkan/ mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki mulai dari banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, banyaknya sudut, kesejajaran sisi; keterampilan menggambar (drawing skill), siswa mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan sifat-sifat yang diberikan seperti dua garis yang saling sejajar, dua garis yang saling tegak lurus dan menentukan suatu titik dalam sebuah garis, dan mampu membangun gambar segiempat lain yang berkaitan dengan gambar segiempat yang diberikan dan bisa menjelaskan sifat-sifat dari segiempat tersebut mulai dari ukuran sisi; keterampilan logika (logical), siswa menyadari adanya persamaan dari beberapa gambar segiempat mulai dari sama-sama berbentuk segiempat dan banyaknya sisi, dan dapat menyebutkan perbedaan segiempat dan menyadari bahwa sifat dapat digunakan untuk membedakan jenis segiempat, mulai dari ukuran sisi, ukuran sudutnya dan banyaknya sisi yang sejajar; keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menggunakan model geometri dalam pemecahan masalah. Kemudian keterampilan geometri siswa tingkat 2 (deduksi informal) pada keterampilan visual (visual skill), siswa dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar dapat menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi, ukuran sisi, kesejajaran sisi, ukuran sudut, hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar, banyaknya sudut, dan hubungan antara sudut yang berdekatan jumlahnya 180o, dapat menjelaskan keterkaitan antara berbagai jenis gambar segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki masing-masing gambar, dan mengakui sifat umum dari berbagai jenis gambar segiempat dengan memilah mana yang masuk ke dalam sifat umum atau bukan; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat menggambarkan/ mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki mulai dari banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
179
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
banyaknya sudut, kesejajaran sisi, dan hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar, hubungan antara sudut yang berdekatan jumlah sudutnya 180 o, dan dapat merumuskan kalimat yang menunjukkan keterkaitan antara bangun segiempat berdasarkan sifat umum yang dimiliki oleh segiempat-segiempat tersebut; keterampilan menggambar (drawing skill), siswa mampu membangun gambar segiempat lain yang berkaitan dengan gambar segiempat yang diberikan bahkan mampu membuat garis bantu untuk membentuk segiempat yang baru, dan dapat menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki gambar segiempat yang dibentuknya itu; keterampilan logika (logical skill), siswa dapat menggunakan sifat-sifat dari suatu gambar segiempat untuk menentukan suatu kelas segiempat terkandung di dalam jenis kelas segiempat yang lain; dan keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menghubungkan informasi (objek fisik) yang diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri (dengan menggunakan skala), dan dapat menggunakan konsep model matematika yang mewakili hubungan antara objek. Kata kunci: Keterampilan Geometri, Tingkat Berpikir van Hiele, Pemecahan Masalah.
PENDAHULUAN Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ada beberapa kompetensi yang harus ditunjukkan pada hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika, salah satu kompetensi tersebut adalah pemecahan masalah.Secara umum untuk memecahkan masalah matematika, siswa bisa menggunakan beberapa strategi-strategi.Untuk beberapa kasus tertentu memerlukan keterampilan khusus untuk pelaksanaan rencana dalam pemecahan masalah.Seperti pada permasalahan geometri, keterampilan geometri siswa dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan rencana dalam pemecahan masalah (Polya). Keterampilan geometri yang dimaksud adalah keterampilan siswa dalam belajar geometri yang menurut Hoffer (1981) terdiri dari 5 keterampilan, yaitu: (1) keterampilan visual (visual skill), (2) keterampilan verbal (descriptive skill), (3) keterampilan menggambar (drawing skill), (4) keterampilan logika (logical skill), dan (5) keterampilan terapan (applied Skill). Dalam mempelajari geometri siswa membutuhkan suatu konsep yang matang sehingga siswa mampu menerapkan keterampilan dasar geometri yang dimiliki seperti menvisualisasikan, mengenal bermacam-macambangun datar dan ruang, mendeskripsikan gambar, menyeketsa gambarbangun, melabel titik tertentu, dan kemampuan untuk mengenal perbedaan dan kesamaan antar bangun geometri. Selain itu, di dalam memecahkan masalah geometri dibutuhkan pola berpikir dalam menerapkan konsep dan keterampilan dalam memecahkan masalah tersebut.Tetapi dalam kenyataannya siswa-siswa masih mengalami kesulitan dalam mempelajari dan memecahkan soal-soal geometri.Hal ini ditunjukan dari beberapa hasil penelitian. Penelitian tentang pengajaran geometri di sekolah sudah banyak dilakukan. Clements dan Battista (dalam Budiarto, 2002) melakukan penelitian pada siswa SMP kelas VII mengemukakan temuannya bahwa : (1) hanya 64% dari sejumlah 52 siswa yang mengetahui bahwa persegipanjang merupakan jajar genjang; (2) 50% dari sejumlah siswa tidak menyukai masalah pembuktian; (3) siswa lebih baik menyelesaikan permasalahan geometri yang disajikan secara visual dibanding secara verbal. Selain itu, seperti yang diungkapkan Sehatta Saragih (2003) dalam penelitiannya pada siswa SMP kelas VII mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian tersebut diperoleh fakta bahwa secara umum siswa belum memiliki kemampuan yang 180
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
baik mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap jenis segitiga sehingga belum bisa mengklasifikasikan suatu objek segitiga dalam hal ini klasifikasi jenis segitiga sama kaki, sama sisi, dan siku-siku. Secara umum pengetahuan siswa tentang contoh dan bukan contoh dari konsep segitiga hanya sebatas yang diberikan oleh guru pada saat pembelajaran. Siswa tidak mengetahui bahwa suatu konsep segitiga sama sisi, sama kaki, dan siku-siku dapat dimodelkan dalam bentuk yang bermacam-macam. Dari penelitian-penelitian yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan geometri siswa masih relatif rendah.Rendahnya kemampuan geometri ini dimungkinkan oleh pemahaman konsep dan keterampilan geometri siswa dalam pemecahan masalah geometri masih lemah. Penyebab lainnya adalah perlakuan yang diberikan oleh guru (model, metode, maupun pendekatan pembelajaran yang digunakan guru) cenderung sama untuk setiap siswa, padahal siswa memiliki cara belajar dan berfikir yang berbeda-beda. Menurut Mulyana (2003) pengajaran geometri yang baik harus sesuai dengan kemampuan anak. Kemampuan anak dapat dilihat dari proses berpikir dan penerapan keterampilan dalam pemecahan masalah geometri. Penerapan teori van Hiele diyakini dapat mengatasi kesulitan siswa dalam pemecahan masalah dalam geometri.Hal ini disebabkan karena teori van Hiele menjelaskan perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri. Berdasarkan teori van Hiele, tingkat berpikir siswa terbagi menjadi lima tingkat (level) yaitu, tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1 (analisis), tingkat 2 (deduksi informal), tingkat 3 (deduksi formal), dan tingkat 4 (rigor). Dalam setiap tingkat berpikir van Hiele juga dibutuhkan keterampilan-keterampilan dasar dalam memecahkan masalah geometri yang berbeda-beda. Misalnya, untuk tingkat 0 (visualisasi) dan tingkat 1 (analisis) dilihat dari keterampilan verbal (verbal skill) mempunyai karakteristik yang berbeda, yaitu: untuk tingkat 0 (visualisasi) siswa hanya mampu mengelompokkan gambar segiempat dan memberikan nama jenis segiempat tersebut, sedangkan untuk tingkat 1 (analisis) siswa sudah dapat secara akurat menjelaskan sifat berbagai gambar segiempat. Berdasarkan penjelasan itu terlihat bahwa keterampilan geometri yang dimiliki siswa dalam memecahkan masalah geometri berkaitan dengan tingkat berpikir van Hiele yang terdiri dari 5 tingkatan yang mempunyai karakteristik keterampilan geometri yang berbeda-beda. Untuk itu perlu dilakukan penelitian keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele. Dengan mengetahui karakteristik keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri untuk masing-masing tingkat berpikir van Hiele siswa di kelasnya, seorang guru diharapkan mempunyai referensi untuk mengambil keputusan dalam memilih model dan media pembelajaran yang tepat bagi siswanya.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
181
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
KETERAMPILAN GEOMETRI Menurut Hoffer (1981), keterampilan geometri dalam memecahkan masalah geometri merupakan prasyarat untuk mempelajari konsep-konsep dalam geometri khususnya pada materi bangun datar. Hoffer juga mengemukakan bahwa ada lima keterampilan geometri dalam memecahkan masalah geometri, yaitu: 1) Keterampilan Visual (Visual Skill) Hoffer (1981: 11) memberikan penjelasan tentang keterampilan visual seperti di bawah ini: “Visual skill, including the ability to: recognize various plane and space figures; observe parts of a given figure and their interrelations; identify centres, axes, and planes of symmetry of given figure; classify given figures by their observable characteristic; deduce further information from visual observations; and visualize the geometric representations (models), or counter-example, which are implied by given data in a given deductive mathematical system.” Kutipan di atas dapat diartikan bahwa keterampilan visual adalah yaitu meliputi kemampuan untuk mengenal bermacam-macambangun datar dan ruang, mengamati bagianbagian dari sebuahbangun dan keterkaitan bagian satu dengan bagian yang lain, menunjukkanpusat simetri, sumbu simetri, dan bidang simetri dari sebuah gambar bangun,mengklasifikasikan teramati,menyimpulkan
bangun-bangun informasi
lanjut
geometri
menurut
berdasarkan
ciri-ciri
pengamatan
yang visual,
dan memvisualisasikan model geometri, atau contoh-contoh penangkal yangdinyatakan secara implisit oleh data dalam suatu sistem matematika deduktif. 2) Keterampilan Verbal (Deskriptive Skill) Hoffer (1981: 12) mengemukakan penjelasan terkait keterampilan verbal sebagai berikut: “Verbal skills, including the ability to: identify various figures by name; visualize figures from verbal descriptions of them; describe given figures and their properties; formulate proper definitions of the words used; describe relationships among given figures, recognize the logical structure of verbal problems; and formulate statements of generalization and of abstractions.” Kutipan di atas dapat diartikan bahwa keterampilan verbal, meliputi kemampuan untuk menunujukkan bermacam-macam bangun geometri menurut namanya. Memvisualisasikan bangun geometrimenurut deskripsi verbalnya, mengungkapkan bangun geometri dan sifatsifatnya,merumuskan definisi dengan tepat dan benar, mengungkapkanhubungan antar bangun, mengenali struktur logis dari masalah verbal, danmerumuskan pernyataan generalisasi dan abstraksi. 3) Keterampilan Menggambar (Drawing Skill) Hoffer (1981: 12) memberikan penjelasan tentang keterampilan menggambar seperti di bawah ini:
182
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
“Drawing skills, including the ability to: sketch given figure and label spesified points; sketch figure from their verbal descriptions; draw or construct figure with given properties; construct figures having a specified relation to given figures; sketch plane secauxiliary elements to figures; recognize the role (and limitations) of sketches and constructed figures; and sketch of construct geometric models or counter-example.” Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa keterampilan menggambar, meliputi kemampuan untuk menyeketsa gambarbangun dan melabel titik tertentu, mensketsa gambar bangun
menurutdeskripsi
verbalnya,
menggambar
atau
mengkonstruksi
gambar
bangunberdasarkan sifat-sifat yang diberikan, mengkonstruksi gambar bangun yangmempunyai kaitan tertentu dengan gambar-gambar yang telah diberikan, mensketsa bagian-bagian bidang dan interaksi gambar-gambar bangun yangdiberikan, menambahkan unsur-unsur tambahan yang berguna pada sebuahgambar bangun, mengenal peranan (keterbatasan) sketsa dan gambar bangunyang terkonstruksi, dan mensketsa atau mengkonstruksi model geometri ataucontoh penyangkal. 4) Keterampilan Logika (Logical Skill) Hoffer (1981: 12-13) mengemukakan penjelasan terkait keterampilan logika sebagai berikut: “Logical skills, including the ability to; recognize differences and similarities among given figures; recognize the figures can be classified by their properties; determine whether or not a given figures belong to a specified class; understand ang apply the describle properties of definitions; identify the logical consequences of given data; develop logical proofs; and recognize the role and limitations of deductive methods.” Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa keterampilan logika, meliputi kemampuan untuk mengenal perbedaan dankesamaaan antar bangun geometri, mengenal bangun geometri yang dapatdiklasifikasikan menurut sifat-sifatnya, menentukan apakah sebuah gambar masuk atau tidak masuk dalam kelas tertentu, memahami dan menerapkansifat-sifat penting dari definisi, menujukkan akibar-akibat logis dari data-datayang diberikan, mengembangkan buktibukti yang logis, dan mengenalperanan dan keterbatasan metode deduktif. 5) Keterampilan Terapan (Applied Skill) Hoffer (1981: 13) memberikan penjelasan tentang keterampilan terapan seperti di bawah ini: “Applied skills, including the ability to: recognize phisical models of geometric figures; sketch or construct geometric models of phisical objects; use properties of geometric model to conjecture properties of the usefulness of geometric model for natural phenomena, sets of element in the phisical sciences and sets of elements in the social sciences; ang use geometric models in problem solving.” Kutipan di atas dapat diartikan sebagai keterampilan terapan, meliputi kemampuan untuk mengenal model fisik daribangun geometri. Mensketsa atau mengekonstruksi model geometriberdasarkan objek fisiknya, menerapkan sifat-sifat dari model geometri padasifat-sifat dari objek fisik, mengembangkan model-model geometri untukfenomena alam, himpunan
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
183
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
elemen di IPA dan himpunan elemen di IPS, danmenerapkan model-model geometri dalam pemecahan masalah.
TINGKAT (LEVEL) BERPIKIR VAN HIELE Pembelajaran geometri (Euclides) di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah sekarang ini sejalan juga dengan perkembangan berpikir geometri menurut model van Hiele (Soemaadi, 1994: 10). Van Hiele adalah seorang guru matematika berkebangsaan Belanda yang pada tahun 1954 menulis disertasi tentang pembelajaran geometri. Disertasi tersebut ditulis berdasarkan hasil penelitian di lapangan melalui observasi dan tanya jawab. Kesimpulan yang diperoleh oleh van Hiele adalah bahwa terdapat lima tingkat berpikir geometri secara urut yaitu: secara visual, analysis, informal-deduction, deduction, ke rigor. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (1989) merekomendasikan pengajaran geometri di sekolah-sekolah di Amerika dikonsentrasikan pada tingkat 0 dan tingkat 1, dan beberapa kegiatan dirancang untuk untuk tingkat 2, model van Hiele (Holmes, 1995: 333). Ini didasarkan dari sejumlah penelitian pendidikan matematika yang menerapkan teori dari vah Hiele tersebut. Menurut model Piaget dalam diri seorang anak terbentuk konsep ruang geometri Euclides secara alami, jika ia mempelajari dulu hubungan-hubungan sederhana yang bersifat topologis, dilanjutkan dengan yang bersifat proyektif, baru yang bersifat Euclides (Geddes dan Fortunato, 1993: 200). Sedangkan menurut model van Hiele, tingkat-tingkat yang berkaitan dengan perkembangan berpikir seorang anak agar dapat memahami geometri dalam 5 tingkat, yaitu tingkat 0: visualization, tingkat 1: analysis, tingkat 2: informal-deduction, tingkat 3: deduction, dan tingkat 4: rigor (Suydam, 1983: 100; Geddes dan Fortunato, 1993: 202; Holmes, 1995: 332-333).
KETERAMPILAN GEOMETRI BERDASARKAN TINGKAT BERPIKIR VAN HIELE Meurut Hoffer (1981), keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri terdiri dari 5 keterampilan. Dia juga menjelaskan tentang keterampilan geometri memecahkan masalah geometri menurut tingkat berpikir van Hiele pada indikator yang berada pada Tabel 2.2 di bawah ini: Tabel 2.2 Indikator Keterampilan Geometri dalam Memecahkan Masalah Geometri berdasarkan Tingkat (level) berpikir van Hiele Tingkat Tingkat 0
Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 3
Tingkat 4
Skill
184
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Visual (a)
Volume 1
Dapat
Dapat
Dapat
Menggunaka
Mengenali
mengenali
memberitahua
mengakui
n informasi
asumsi-asumsi
bentuk
n sifat-sifat
keterkaitan
dari gambar
yang tidak
gambar
dalam gambar.
antara
untuk
tepat yang
yang
mengidentifik
berbagai jenis
menarik
dibuat
berbeda dari
asi gambar
gambar
kesimpulan
menggunakan
beberapa
sebagai bagian
dengan
dan informasi
gambar.
gambar dan
dari gambar
mengakui sifat
lebih lanjut.
Memahami
mengenali
yang lain. (1a)
umum dari
(3a)
gambar-
informasi
berbagai jenis
gambar yang
label yang
gambar. (2a)
saling
tertulis pada
berkaitan
gambar. (0a)
dalam sistem deduksi. (4a)
Verbal (b)
Dapat
Dapat
Dapat
Dapat
Membentuk
mengelomp
menjelaskan
mendefinisika
memahami
pola yang
okkan nama
secara akurat
n kata-kata
perbedaan
lebih luas dari
yang benar
sifat berbagai
secara akurat
diantara
hasil-hasil
untuk
gambar. (1b)
dan ringkas
definisi,
yang diketahui
gambar
untuk
postulant/dali
dan
yang
merumuskan
l, dan
menggambark
diberikan
kalimat yang
teorema-
an macam-
dan
menunjukkan
teorema.
macam sistem
menafsirkan
keterkaitan
Mengenali
deduksi. (4b)
kalimat
antara
apa yang
yang
gambar-
diberikan
menjelaskan
gambar
sebagai
gambar
tersebut. (2b)
masalah dan
tersebut.
diminta
(0b)
dalam masalah tersebut. (3b)
Drawin g (c)
Dapat
Dapat
Gambar-
Mengenali
Memahami
membuat
menerjemahka
gambar
kapan dan
batasan-
sketsa
n informasi
tertentu yang
bagaimana
batasan dan
gambar
verbal yang
diberikan
menggunaka
kemampuan-
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
185
Volume 1
Logical (d)
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
akurat
diberikan ke
mampu
n elemen
kemampuan
dengan
dalam gambar.
membangun
pembantu
dari berbagai
pelabelan
Dengan
gambar lain
dalam sebuah
alat gambar.
bagian
menggunakan
yang berkaitan
gambar.
Dari berbagai
tertentu.
sifat yang
dengan
Menarik
macam
(0c)
diberikan
gambar yang
kesimpulan
gambar
gambar untuk
diberikan. (2c)
dari
mampu
menggambar
informasi
menjelaskan
atau
yang
konsep/gagasa
membangun
diberikan
n yang tidak
suatu gambar.
untuk
standar dalam
(1c)
menggambar
berbagai
sebuah
macam sistem
bangun. (3c)
deduktif. (4c)
Dapat
Dapat
Dapat
Dapat
Dapat
menyadari
memahami
menggunakan
menggunaka
memahami
ada
bahwa gambar
sifat-sifat
n aturan-
batasan-
perbedaan
dapat
gambar untuk
aturan yang
batasan dan
dan
diklasifikasika
menentukan
masuk akal
kemampuan-
kesamaan
n ke dalam
apakah satu
untuk
kemampuan
antara
jenis yang
kelas gambar
membangun
dari asums-
gambar.
berbeda.
yang
bukti-bukti
asumsi dan
memahami
menyadari
terkandung di
dan dapat
postulat-
konservasi
bahwa sifat
kelas lain. (2d) mengambil
bentuk
dapat
kesimpulan
ada.
gambar
digunakan
dari
Mengetahui
dalam
untuk
informasi-
kapan sebuah
berbagai
membedakan
informasi
sistem dari
posisi. (0d)
gambar. (1d)
yang
postulat
diberikan.
bersifat
(3d)
independen,
postulat yang
konsisten, dan dapat dikelompokka n. (4d)
186
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
METODE PENELITIAN Berdasarkan tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini, maka bentuk penelitian yang digunakan merupakan penelitian kualitatif. Menurut Bodgan dan Taylor (dalam Moleong, 2009: 4) penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian deskriptif kualitatif ini menggunakan data kualitatif untuk mendeskripsikan secara jelas dan terperinci mengenai keterampilan geometri siswa
dalam memecahkan masalah geometri
berdasarkan tingkat (level) berpikir van Hiele. Subyek penelitian adalah 9 siswa kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta tahun ajaran 2013/2014. Pemilihan subyek penelitian dilakukan dengan pemberian tes penempatan untuk mengkategorikan siswa ke dalam tingkat berpikir van Hiele kepada 28 siswa.Dan hasil dari tes tersebut adalah terbagi siswa ke dalam tiga kategori yaitu kategori tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1 (analisis), dan tingkat 2 (deduksi informal).Dari masing-masing kategori tersebut dilakukan teknik clustering sehingga terpilih 3 siswa pada masing-masing kategori yang menjadi subyek penelitian.Setelah itu kesembilan subyek dilakukan wawancara brbasis tugas sebanyak dua kali dalam waktu yang berbeda guna menguji kevalidan data yang diperoleh dengan menggunakan triangulasi waktu.Selanjutnya, peneliti menyimpulkan keterampilan geometri siswa pada tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1 (analisis), dan tingkat 2 (deduksi informal) berdasarkan data yang diperoleh dan divalidasi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis data hasil penelitian, dapat diketahui keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri sebagai berikut: Siswa tingkat 0 (visualisasi) pada keterampilan visual (visual skill), siswa hanya bisa menentukan jenis bangun datar segiempat berdasarkan penampilan bentuknya, dan dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar tidak dapat secara spesifik lebih terfokus pada banyaknya sisi, dan banyaknya sudut; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat mengelompokkan nama yang benar untuk gambar-gambar segiempat yang diberikan, belum dapat mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki karena sifat yang dijelaskan meliputi ukuran sudut, ukuran sisi, dan kesejajaran sisi, dan belum bisa membedakan antara segiempat yang satu dengan yang lain karena sifat yang dijelaskan sama antara segiempat; keterampilan menggambar (drawing skill), siswa hanya mampu membuat sebuah segiempat dengan pelabelan tetapi tidak mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan sifat-sifat yang diberikan seperti dua garis yang saling tegak lurus dan menentukan suatu titik dalam sebuah garis; keterampilan logika (logical skill), subyek dapat memahami konservasi bentuk gambar segiempat dalam berbagai posisi dengan menyebutkan jenis masing-masing gambar, dan menyadari adanya persamaan dari beberapa gambar segiempat yaitu sama- sama berbentuk
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
187
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
segiempat; dan keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menghubungkan informasi (objek fisik) yang diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri (tanpa menggunakan skala), dapat menjelaskan sifat geometri dari benda-benda fisik. Selanjutnya keterampilan geometri siswa tingkat 1 (analisis) pada keterampilan visual (visual skill), siswa hanya bisa menentukan jenis bangun datar segiempat berdasarkan penampilan bentuknya dan sifat-sifat yang dimiliki, dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar dapat menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, kesejajaran sisi, dan hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama
besar;
keterampilan
verbal
(descriptive
skill),
siswa
dapat
menggambarkan/
mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki mulai dari banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, banyaknya sudut, kesejajaran sisi; keterampilan menggambar (drawing skill), siswa mampu mengkonstruksi gambar sesuai dengan ciri-ciri dan sifat-sifat yang diberikan seperti dua garis yang saling sejajar, dua garis yang saling tegak lurus dan menentukan suatu titik dalam sebuah garis, dan mampu membangun gambar segiempat lain yang berkaitan dengan gambar segiempat yang diberikan dan bisa menjelaskan sifat-sifat dari segiempat tersebut mulai dari ukuran sisi; keterampilan logika (logical), siswa menyadari adanya persamaan dari beberapa gambar segiempat mulai dari sama-sama berbentuk segiempat dan banyaknya sisi, dan dapat menyebutkan perbedaan segiempat dan menyadari bahwa sifat dapat digunakan untuk membedakan jenis segiempat, mulai dari ukuran sisi, ukuran sudutnya dan banyaknya sisi yang sejajar; keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menggunakan model geometri dalam pemecahan masalah. Kemudian keterampilan geometri siswa tingkat 2 (deduksi informal) pada keterampilan visual (visual skill), siswa dalam menjelaskan sifat-sifat bangun segiempat berdasarkan gambar dapat menjelaskan secara spesifik yang meliputi banyaknya sisi, ukuran sisi, kesejajaran sisi, ukuran sudut, hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar, banyaknya sudut, dan hubungan antara sudut yang berdekatan jumlahnya 180o, dapat menjelaskan keterkaitan antara berbagai jenis gambar segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki masing-masing gambar, dan mengakui sifat umum dari berbagai jenis gambar segiempat dengan memilah mana yang masuk ke dalam sifat umum atau bukan; keterampilan verbal (descriptive skill), siswa dapat menggambarkan/ mendefinisikan suatu bangun segiempat berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki mulai dari banyaknya sisi, ukuran sisi, ukuran sudut, banyaknya sudut, kesejajaran sisi, dan hubungan antara dua sudut yang berhadapan sama besar, hubungan antara sudut yang berdekatan jumlah sudutnya 180o, dan dapat merumuskan kalimat yang menunjukkan keterkaitan antara bangun segiempat berdasarkan sifat umum yang dimiliki oleh segiempat-segiempat tersebut; keterampilan menggambar (drawing skill), siswa mampu membangun gambar segiempat lain yang berkaitan dengan gambar segiempat yang diberikan bahkan mampu membuat garis bantu untuk membentuk segiempat yang baru, dan dapat
188
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki gambar segiempat yang dibentuknya itu; keterampilan logika (logical skill), siswa dapat menggunakan sifat-sifat dari suatu gambar segiempat untuk menentukan suatu kelas segiempat terkandung di dalam jenis kelas segiempat yang lain; dan keterampilan terapan (applied skill), siswa dapat menghubungkan informasi (objek fisik) yang diberikan dan mengembangkannya dalam model geometri (dengan menggunakan skala), dan dapat menggunakan konsep model matematika yang mewakili hubungan antara objek. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh karakteristik keterampilan geometri pada masing-masing tingkat berpikir van Hiele yang berbeda-beda, dimana jika siswa berada pada tingkat 2 (deduksi informal) berarti siswa tersebut juga menguasai keterampilan geometri pada tingkat 1 (analisis) dan tingkat 0 (visualisasi), sedangkan siswa yang berada pada tingkat 1 (analisis) juga menguasai keterampilan geometri pada tingkat 0 (visualisasi) tetapi tidak menguasai keterampilan geometri yang ada pada tingkat 2 (deduksi informal).
SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan kepada guru-guru matematika dan calon guru matematika untuk: 1. Menjadikan sebagai bahan referensi bagi guru dalam mengajar geometri, terutama dalam menentukan cara mengajar yang tepat dan efektif sesuai dengan keterampilan geometri (berdasarkan tingkat berpikir van Hiele) yang dimiliki oleh siswa. 2. Mengembangkan metode, strategi, maupun model peembelajaran yang mampu meningatan keterampilan geometri siswa dalam belajar geometri berdasarkan hasil penelitian ini. 3. Menjadikan sebagai bahan referensi bagi guru dan calon guru untuk mengembangkan penelitian sejenis yang berkaitan dengan keterampilan geometri siswa berdasarkan tingkat berpikir van Hiele dalam memecahkan masalah geometri.
DAFTAR PUSTAKA Abdussakir.2011.
Pembelajaran
Geometrid
dan
Teori
Van
Hiele.
Tersedia
di:
http://abdussakir.wordpress.com/2009/01/25/pembelajaran-geometri-dan teori van-hiele/ [20 Februari 2013]. Mega Teguh Budiato. 2002. Bentuk Kesalahan Dalam Menyelesaikan Permasalahan Geometri.Pusat Penelitian IKIP Surabaya. Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. 1986. “Characterizing the van Hiele Levels of Development in Geometry.”Journal for Research in Mathematics Education. Vol.17.1: 31- 48. Crowley, Mary L. 1987. "The van Hiele Model of the Development of Geometric Thought".Learning and TeachingGeometry, K-12,Yearbook of the National Council of Teachers.
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
189
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Departemen Pendidikan Nasional.2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata
Pelajaran
Matematika. Jakarta: Depdiknas. Endang Mulyana. 2003. Masalah Ketidaktepatan Istilah dan Simbol dalam Geometri SLTA Kelas 1 dalam file.upi.edu/…ENDANG_MULYANA/…/Psikologi_geometri. (diakses pada 1 Maret 2013 pukul 12:23). Hoffer, Allan. 1981. Geometry is More Than Proof.NCTM Journal. Vol. 74. 1. Januari 1981. NCTM. Holmes, Emma E. 1995. New Directions in Elementary School Mathematics, Interactive Teaching and Learning.Engglewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Siregih Sehatta. 2002. “Profil Miskonsepsi Siswa SD Tentang Bangun Datar.” Forum Kependidikan. Vol.23. (19-47).
190
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMP DENGAN PENDEKATAN SAINS DALAM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 Imam Sujadi, Bambang Sugiarto, Dwi Maryono Dosen Pendidikan Matematika FKIP UNS Abstrak Pada periode 2010 sampai 2035, Indonesia dianugrahi “Bonus Demografi”, yaitu jumlah penduduk usia produktif mencapai sekitar 70% populasi. Jika usia produktif tersebut diisi oleh SDM berkualitas, bonus demografi tersebut akan menjadikan Bangkitnya Generasi Emas Indonesia tahun 2045. Bila tidak, bukan tidak mungkin yang akan terjadi nanti justru sebaliknya yaitu bencana demografi.Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pembelajaran matematika kelas VII SMP dengan pendekatan sains/pendekatan ilmiah (scientific approach), yang dapat meningkatkan kemampuan pikir tindak efektif dan kreatif. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini perangkat pembelajaran matematika dengan pendekatan sains yang berupa prototipe model (berisi sintaks) beserta perangkat pembelajaran berupa silabus, RPP, LKS, dan instrument penilaian. Pengembangan perangkat dilakukan menggunakan model pengembangan 4D(model Thiagarajan) yang dimodifikasi terdiri dari tiga tahap, yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), dan pengembangan (develop) melalui uji terbatas. Hasil penelitian ini adalah berupa model pembelajaran matematika dengan pendekatan sains/pendekatan ilmiah dan perangkat pembelajaran berupa silabus, RPP, LKS, dan instrumen penilaian yang memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif. Kata kunci: Bonus demografi, Pembelajaran Inovatif, Penilaian Otentik.
PENDAHULUAN Bangsa Indonesia pada periode 2010 sampai 2035, dianugrahi “Bonus Demografi” sebagai konsekwensi keberhasilan program Keluarga Berencan berupa perubahan struktur umur penduduk, yaitu adanya peningkatan jumlah penduduk yang berada dalam usia produktif. Sementara di sisi lain jumlah penduduk yang ada dalam usia non-produktif mengalami penurunan. Bonus demografi ini sesungguhnya suatu kesempatan yang sangat langka, karena dalam 10 hingga 30 tahun ke depan, Indonesia akan memasuki demographic window (jendela demografi), dengan jumlah penduduk usia produktif mencapai sekitar 70% populasi. Jendela demografi tersebut akan menjadi bonus demografi bila penduduk usia produktif tersebut berkualitas. Bila tidak, bukan tidak mungkin yang akan terjadi nanti justru sebaliknya yaitu bencana demografi. Kekhawatiran akan terjadinya bencana demografi bukanlah sesuatu yang berlebihan. Apa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia saat ini mengindikasikan masyarakat yang kurang berkualitas, intelektualitas dan budaya masyarakat Indonesia justru masih terbelakang. Tumpuan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik adalah ada pada anak-anak dan para remaja saat ini karena merekalah yang akan memimpin dan mengelola bangsa ini di masa yang akan datang. Tugas yang harus diemban sekarang sebagai orang dewasa, khususnya para pendidik, pewarta, dan pemuka agama serta orang-orang yang masih didengar dan diakui integritasnya oleh masyarakat, ialah memandu anak-anak dan para remaja, termasuk mereka Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
191
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
yang baru memasuki usia dewasa muda, ke arah yang diidamkan, menuju kehidupan bangsa yang cerdas. Oleh karena itu, perlu disiapkan akses seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa untuk memasuki dunia pendidikan, Pemerintah sedang mengimplementasikan kurikulum 2013 sebagai pengembangan dari KTSP. Dalam naskah kurikulum 2013 dinyatakan bahwa proses pembelajaran yang semula terfokus pada kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, pada kurikulum 2013 proses pembelajaran tersebut dilengkapi menggunakan pendekatan sains / pendekatan ilmiah (scientific approach), mengamati,
yaitu proses pembelajaran yang diarahkan agar siswa melakukan kegiatan menanya,
mencoba,
mengolah,
menyajikan,
menyimpulkan,
dan
mencipta(Depdikbud : 2013). Guru merupakan ujung tombak yang berperan utama dalam mencetak sumber daya manusia yang berbobot yang mampu bersaing pada zamannya melalui proses pembelajaran yang bermutu. Perubahan kurikulum tidak akan punya makna yang signifikan untuk peningkatan mutu pendidikan tanpa peran Guru dalam pengimplementasian kurikulum tersebut. Guru senantiasa dituntut untuk dapat merespon perubahan kurikulum
dengan memahami
landasan filosofis kenapa kurikulum tersebut berubah. Agar pelaksanaan kurikulum baru tersebut sesuai dengan landasan filosofis tentang perubahan kurikulum tersebut, maka guru dituntut mampu menggunakan model, pendekatan, metoda maupun strategi yang tepat untuk keberhasilan pembelajaran berdasar kurikulum baru tersebut. Untuk itu dibutuhkan Guru yang mempunyai kompetensi khususnya kompetensi pedagogis dan kompetensi profesional yang baik agar mampu mengembangkan diri dalam menghadapi perubahan kurikulum yang di lapangan. Berdasarkan data kondisi pendidikan di Kota Surakarta saat ini, kualitas guru SMP di Kota Surakarta jika dilihat dari tingkat pendidikan, ternyata masih terdapat 15,78% yang belum berpendidikan S1. Kualitas guru SMP di Kota Surakarta jika dilihat dari status sertifikasi, ternyata baru terdapat 30,56% yang sudah tersertifikasi sampai tahun 2011 (Dinas Dikpora, 2012). Berdasar pengalaman peneliti selama membimbing guru-guru pada kegiatan Sertifikasi Guru melalui PLPG ditemukan banyak guru matematika SMP yang masih kesulitan dalam mengembangkan perangkat dan melakukan proses pembelajaran melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Padahal pada kurikulum 2013 selain proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi
tersebut
Guru
diharapkan
melakukan
pembelajaran
dengan
pendekatan
sains/pendekatan ilmiah. Agar pembelajaran mata pelajaran matematika di SMP yang mengacu pada Kurikulum 2013 dapat berjalan dengan baik, maka Guru-guru matematika SMP perlu mempunyai bekal pengetahuan terkait dengan bagaimana mengembangkan model pembelajaran matematika menggunakan pendekatan sains dan bagaimana mengimplementasikan model tersebut di dalam kelas. Untuk itu penelitian ini perlu dilakukan untuk membantu guru matematika SMP di Kota
192
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Surakarta agar mempunyai kesiapan dalam mengimplementasikan kurikulum 2013. Untuk itu tujuan penelitian ini adalah mengembangkan pembelajaran matematika dengan pendekatan sains yang berkualitas baik pada materi pokok segiempat dan segitiga bagi siswa kelas VII SMP, sertra mendeskripsikan kesulitan Guru ketika mengembangkan perangkat pembelajaran tersebut.
METODE PENELITIAN Menurut Arends (1997), istilah model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi atau prosedur tertentu. Ciri-ciri tersebut adalah (1) rasional teoritik yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah laku mengajar dan belajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat dicapai. Joyce, Weil, with Shower (1992) menyatakan, suatu model pembelajaran dapat dianalisis sesuai dengan empat konsep inti operasional model yang mencirikan, yaitu: (1) sintaksis (urutan aktivitas mengajar dan belajar), (2) sistem sosial (peran dan hubungan siswa dan guru), (3) prinsip reaksi (cara guru memandang dan merespons siswa terhadap apa yang dilakukan), dan (4) sistem pendukung (persyaratan dan dukungan apa yang diperlukan diluar fasilitas teknis lazimnya). Selain konsep inti operasional model ada komponen lain, yaitu: (5) tujuan dan asumsi, dan (6) dampak pembelajaran dan dampak pengiring pembelajaran (Joyce, Weil, with Shower, 1992; Joyce and Weil, 1996). Menurut kedua pendapat di atas, ada beberapa kesamaan ciri. Ciri (3) menurut Arend, sama dengan ciri (1) menurut Joyce, Weil, with Shower; ciri (4) menurut Arend, sama dengan ciri (4) menurut Joyce, Weil, with Shower; dan ciri (2) menurut Arend, sama dengan ciri (5) dan (6) menurut Joyce, Weil, with Shower. Empat ciri menurut Arend dan Joyce, Weil, with Shower tersebut akan membedakan suatu model pembelajaran dengan model pembelajaran yang lain. Untuk itu model yang akan dikembangkan peneliti mempunyai ciri sebagai berikut ini, (1) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai). Untuk dapat menetapkan tujuan pembelajaran yang akan dicapai peneliti telah mengkaji kurikulum 2013 matematika SMP, khususnya terkait dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Lulusan. Adapun ciri selanjutnya adalah (2) sintaksis (urutan aktivitas mengajar dan belajar). Untuk dapat menyusun sintaksis dengan baik peneliti telah mengakji pustaka terkait pendekatan sain terkait dengan langkah-langkah pendekatan ketrampilan proses, (Suryosubroto,2002).
Menurut
Suryobroto,
pendekatan
sains
hanya
cocok
untuk
membelajarkan IPA. Terkait dengan hal tersebut perlu dikembangkan bagaimana pendekatan sains digunakan dalam pembelajaran matematika. Ciri yang selanjutnya (3) sistem pendukung (persyaratan dan dukungan apa yang diperlukan diluar fasilitas teknis lazimnya). Untuk itu
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
193
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Peneliti akan mengembangkan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan Kompetensi Inti dan Kompetensi Lulusan, dan ciri terakhir (4) dampak pembelajaran dan dampak pengiring pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Richey dan Nelson (1996) mengidentifikasikan bahwa penelitian pengembangan (Developmental research) berorientasi pada pengembangan produk dimana proses pengembangannya dideskripsikan seteliti mungkin dan produk akhirnya dievaluasi. Van den Akker (1999) menyebutnya sebagai penelitian formatif dimana aktivitas penelitiannya dilaksanakan dalam proses berulang (cyclic) dan ditujukan pada pengoptimalisasian kualitas implementasi produk di situasi tertentu. Di dalam pembelajaran matematika, penelitian pengembangan ini diterapkan dalam aktivitas berulang dari pendesainan dan pengujian terhadap produk material pembelajaran matematika (Gravemeijer, 1999). Twelker (Mudhoffir, 1990) menyatakan bahwa pengembangan sistem pembelajaran adalah suatu cara yang sistematis dalam mengidentifikasi, mengembangkan dan mengevaluasi seperangkat materi, dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa model yang dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan suatu model pembelajaran, seperti model Kemp, model Dick & Carey, dan model Thiagarajan Semmel & Semmel. Thiagarajan, et.al., (1974) memperkenalkan model mengembangkan sistem pembelajaran yang disebut “Model 4-D” melalui empat tahap,yaitu: (1) tahap pendefinisian (define), (2) tahap perancangan (design),(3) tahap pengembangan (develop), dan (4) tahap penyebaran(dessiminate). Sumber data dalam penelitian ini adalah Guru matematika SMP yang mengajar di kelas VII, siswa SMP kelas VII, dan anggota MGMP matematika kota surakarta, serta Dosen pendidikan matematika prodi pendidikan matematika FKIP UNS. Dosen prodi pendidikan matematika FKIP UNS dan Guru matematika kelas VII SMPN 1, Guru matematika kelas VII SMPN 4, Guru matematika SMP Al-azhar Syifa Budi Surakarta merupakan sumber data yang dibutuhkan untuk mengembangkan model pembelajaran dengan pendekatan sains, serta perangkat pembelajaran
HASIL PENELITIAN Hasil Pengembangan Model Pembelajaran matematika dengan Pendekatan Sains Pengembangan Model Pembelajaran matematika dengan Pendekatan Sains mengikuti fasefase pengembangan seiring dengan pengembangan perangkat pembelajaran. Deskripsi tahap pendefinisian (Define), atau yang dilakukan pada tahap pendefinisian, yaitu: analisis awal-akhir, analisis siswa, analisis materi, analisis tugas, dan spesifikasi tujuan pembelajaran. Kegiatan ini dilakukan di SMP Negeri 4 Surakarta. Berdasarkan telaah terhadap kurikulum yang dipergunakan, ketersediaan alat dan sumber pembelajaran, dan pendekatan pembelajaran yang dilakukan di kelas VII Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Surakarta, diperoleh hasil sebagai berikut.
194
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
1) Prosespembelajaran matematika di SMP Negeri 4 Surakarta pada tahun pelajaran 2013/2014 berpedoman pada Kurikulum 2013 untuk siswa kelas VII, sedangkan untuk siswa kelas VIII dan kelas IX masih menggunakan KTSP 2006. Sebagai sekolah yang digunakan untuk sekolah sasaran pembelajaran matematika di kelas VII menggunakan kurikulum 2013, guru matematika kelas VII sudah mencoba menggunakan pendekatan pembelajaran, buku guru, dan buku siswa sesuai dengan yang dianjurkan pemerintah dalam implementasi kurikulum 2013. Namun demikian guru dalam pembelajaran yang dilakukan belum mengacu pada silabus yang telah dikembangkan oleh pemerintah. Buku siswa hanya digunakan untuk pemberian tugas/pengembangan latihan soal pada materi yang diajarkannya. Sedangkan evaluasi hasil belajar matematika yang dilakukan oleh guru penekanannya lebih dominan pada tujuan kognitif, yaitu: penguasaan substansi materi ajar tanpa memperhatikan sikap dan ketrampilan yang harus dikuasai. 2) Sumber pembelajaran yang dipergunakan sebagai buku pegangan guru dan siswa adalah buku siswa dari kementrian pendidikan dan kebudayaan dan buku lain dari penerbit Erlangga. Buku terbitan Erlangga tersebut mengikuti urutan materi di KTSP, namun isinya masih dominan contoh soal dan soal-soal latihan, kurang memberikan ilustrasi dan argumen yang melibatkan proses kognitif siswa untuk mempelajarinya. 3) Pendekatan pembelajaran matematika yang dilakukan oleh guru masih menggunakan pola pembelajaran langsung, yaitu: menjelaskan konsep atau prosedur matematika disertai tanyajawab, kemudian memberikan contoh soal dan soal latihan. Akibatnya proses pembelajaran lebih banyak didominasi oleh guru, sehingga siswa cenderung hanya mendengarkan dan mencatat apa yang disampaikan oleh guru. Siswa kurang diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya sendiri. Guru belum mengembangkan langkah-langkah pembelajaran
dengan
pendekatan
sains,
seperti
kegiatan
mengamati,
menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasikan informasi, dan mengomunikasikan hasil. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilaksanakan selama ini, belum sesuai dengan tuntutan pembelajaran yang dimaksudkan pada Kurikulum 2013 Berdasar analisis awal akhir tersebut maka untuk mencoba menjalankan pembelajaran matematika pada salahg satu materi pokok kelas VII yaitu materi segiempat dan segitiga maka perlu dilakukan proses pembelajaran matematika yang melibatkan siswa untuk dapat menerapkan pendekatan sains. Dengan pengalaman belajar menerapkan metode ilmiah yaitu melakukan kegiatan mengamati masalah dengan seksama, kemudian berdasar hasil pengamatan tersebut siswa mau menanya pada dirinya atau pada sumber lain bagaimana hasil pengamatan yang dialami, kemudian aktif mengumpulkan informasi terkait masalah yang diamati dengan melakukan kegiatan menalar, kemudian siswa mengasosiasikan informasi yang sudah dikumpulkan, berani mencoba dan berani mengomunikasikan apa yang sudah diperoleh maka siswa akan memiliki sikap logis, analitik dan teliti dalam memecahkan masalah, dan sikap ini
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
195
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
akan menghasilkan kemampuan pikir tindak efektif. Disamping itu dengan proses ilmiah tersebut siawa akan memiliki sikap kritis dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah, dan sikap ini akan menghasilkan kemampuan pikir kreatif. Untuk itu model
pembelajaran matematika
dengan pendekatan sains mempunyai
sintaks dengan fase-fase sebagai berikut ini: (1) Orientasikan siswa kepada masalah/projek, (2) mengorganisasi peserta didik untuk mengamati masalah/projek, (3) membimbing peserta didik untuk menanya terkait informasi yang telah dikumpulkan, (4) membimbing peserta didik untuk menalar dengan mengasosiasikan informasi yang telah dikumpulkan, (5) mengembangakan kemapuan peserta untuk berani mencoba melakukan suatu eksperimen dari hasil menalar, (6) mengembangkan dan mengomunikasikan hasil karya individu/kelompok, dan (7) menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Deskripsi hasil pelaksanaan uji-coba Perangkat (1) Deskripsi hasil penilaian pakar dan praktisi pendidikan matematika a. Deskripsi hasil validasi instrumen Uji-validasi setiap instrumen ditinjau dari tiga aspek, yaitu: aspek petunjuk, aspek bahasa, dan aspek isi. Hasil uji-validasi yang dilakukan terhadap setiap instrumen pengembangan perangkat pembelajaran adalah sebagai berikut. Tabel 1. Hasil Validasi Instrumen No. 1. 2.
Jenis Instrumen Lembar validasi silabus Lembar validasi rencana pelaksanaan pembelajaran
Aspek Penilaian
Ket.
Petunjuk
Bahasa
Isi
V
V
V
LD
V
V
V
LD
3.
Lembar validasi lembar kegiatan siswa
V
V
V
LD
4.
Lembar validasi instrumen penilaian
V
V
V
LD
V
V
V
LD
V
V
V
LD
5.
6.
Lembar observasi kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran Lembar observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran
Keterangan:
V adalah penilaian pakar dan praktisi menyatakan instrument valid untuk setiap indikator aspek penilaian.
LD adalah kesimpulan penilaian dari semua pakar dan praktisi bahwa instrumen yang dikembangkan Layak Dipergunakan.
LDP adalah kesimpulan penilaian dari beberapa validator bahwa instrumen yang dikembangkan Layak Dipergunakan dengan Perbaikan (revisi kecil).
196
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Berdasarkan hasil penilaian validator pada Tabel 1, disimpulkan bahwa: (1) Lembar validasi silabus; (2) Lembar validasi rencana pelaksanaan pembelajaran; (3) Lembar validasi lembar kegiatan siswa; (4) Lembar validasi instrument penilaian; (5) Lembar observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika; (6) Lembar observasi kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran matematika layak dipergunakan. (2) Kepraktisan perangkat pembelajaran matematika Kepraktisan perangkat pembelajaran matematika ditunjukkan oleh kemampuan guru mengelola pembelajaran matematika, diuji cobakan selama dua kali. Kemampuan guru mengelola pembelajaran matematika untuk setiap aspek yang teramati setelah uji coba yang kedua adalah sebagai berikut. Tabel 2. Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran Menurut Hasil Pelaksanaan Uji-Coba Hasil Pengamatan Pengamat No.
Aspek yang diamati
Rata- Kategori
1
2
3
4
5
6
4
4
4
4
4
4
4,00
S. Baik
4
3
3
3
4
4
3,50
S. Baik
3
3
3
3
3
3
3,00
Baik
4
3
3
4
3
4
3,50
Baik
3
3
3
3
3
3
3,00
Baik
3
2
3
3
2
3
2,67
C. Baik
3
3
3
3
3
3
3,00
Baik
Rata
Kegiatan Pendahuluan Kemampuan memotivasi siswa dengan menguraikan pentingnya mempelajari materi I
Kemampuan memberi apersepsi Kemampuan menyampaikan tujuan Kemampuan menjelaskan langkah-langkah kegiatan pembelajaran Kegiatan Inti Kemampuan memfasilitasi siswa untuk siswa bisa melakukan proses
II
mengamati Kemampuan memfasilitasi siswa untuk siswa bisa melakukan proses menanya Kemampuan memfasilitasi siswa untuk siswa bisa
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
197
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
melakukan proses mengumpulkan informasi Kemampuan memfasilitasi siswa untuk siswa bisa
3
3
3
3
4
3
3,17
Baik
4
3
4
4
3
4
3,67
S. Baik
3
2
3
2
3
3
2,67
C. Baik
3
3
3
3
3
3
3,00
Baik
3
3
3
3
3
3
3,00
Baik
3
3
2
2
3
3
2,67
C. Baik
3
2
2
3
3
3
2,67
C. Baik
3
3
3
3
3
3
3,00
Baik
3
3
2
3
3
2
2,67
C. Baik
Siswa antusias.
3
3
3
3
3
4
3,17
Baik
Guru antusias.
3
3
3
3
4
4
3,33
Baik
melakukan proses mengasosiasi Kemampuan memfasilitasi siswa untuk siswa bisa melakukan proses mengomunikasikan Kemampuan memimpin diskusi kelas/menguasai kelas. Kemampuan menghargai berbagai pendapat siswa. Kemampuan mengajukan dan menjawab pertanyaan. Kegiatan Penutup Kemampuan menegaskan hal-hal penting/inti sari yang berkaitan dengan III
pembelajaran. Kemampuan menyampaikan tindak lanjut berikutnya /memberikan PR kepada siswa/menutup pelajaran. Kesesuaian dengan RPP Kegiatan pembelajaran
IV
sesuai dengan alokasi waktu. Tahapan pembelajaran sesuai dengan RPP. Susasana Kelas
V
Keterangan: C adalah cukup 198
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
Berdasarkan Tabel 2, diperoleh semua aspek memenuhi kriteria kepraktisan, yaitu: minimal cukup baik. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran matematika memenuhi kriteria kepraktisan. (3) Keefektifan perangkat pembelajaran matematika Perangkat pembelajaran matematika dikatakan memenuhi kriteria keefektifan, apabila indikator: aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika, ketuntasan belajar siswa secara klasikal, dan respons siswa terhadap perangkat pembelajaran matematika memenuhi kriteria yang ditetapkan. Data hasil observasi terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika oleh 6 orang pengamat persentase waktu yang dipergunakan siswa untuk masing-masing indikator aktivitasnya pada suatu pertemuan adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Persentase Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran matematika Menurut Hasil Pelaksanaan Uji-Coba Persentase Aktivitas dalam No.
Interval
Pembelajaran oleh pengamat
Kategori Pengamatan I
II
III
IV
V
VI
Rata -rata
Toleransi PWI
Aktivitas dalam tugas (on-task) Aktivitas siswa yang berkaitan dengan Kemampuan Pikir Tindak Efektif Mengamati 1.
cermat
dengan apa
yang 10,0
8,33 10,83 8,33 10,83 10,00
9,72
yang 5,83 5,83 8,33 12,5 6,67 5,83
7,50
disampaikan Guru dalam
0
5% ≤ PWI ≤ 15%
pembelajaran Merespons penjelasan guru baik secara tertulis atau secara 2.
menanya belum
lisan
melalui
aspek
dipahami
5% ≤ PWI ≤ 15%
kemudian mau mencoba mengumpulkan informasi. Memperhatikan umpan 3.
balik yang disampaikan
8,33 9,17 6,67 6,67 7,50 6,67
7,50
oleh guru.
0% ≤ PWI ≤ 10%
Aktivitas siswa yang berkaitan dengan Kemampuan Pikir Kreatif 4.
Menerapkan pengetahuan 10,8 13,3 10,8 10,0 10,8 matematika (fakta,
3
3
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
3
0
3
12,50 11,39
10% ≤ PWI ≤ 20% 199
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
konsep, operasi, dan prinsip) yang dimilikinya baik melalui pertanyaan, memberi saran, menanggapi/memberi komentar baik sebelum, sedang, atau setelah menyelesaikan masalah kontekstual dalam pembelajaran. Menerapkan kemampuan mengomunikasikan hasil. 5.
Secara operasional aktivitas yang perlu diperhatikan oleh
8,33
10,8 3
7,50 8,33 9,17 8,33
8,75
5% ≤ PWI ≤ 15%
peneliti dalam pembelajaran, yaitu: Siswa melakukan kegiatan mengasosiasikan masalah kontekstual dan cara yang 6.
akan
dipergunakannya 43,3 40,0 40,0 42,5 42,4
untuk
menyelesaikan
3
0
0
0
0
41,67 41,65
35% ≤ PWI ≤ 45%
masalah kontekstual baik secara individu maupun secara kelompok. Siswa 7.
menyelesaikan
masalah kontekstual sesuai dengan
waktu
yang
5,83 5,00 7,50 5,83 5,83 7,50
6,25
4,17 3,33 5,00 3,33 2,50 3,33
3,61
3% ≤ PWI ≤ 13%
diberikan. Siswa mengomunikasikan hasil penyelesaian masalah 8.
sesuai dengan alokasi waktu yang telah
0% ≤ PWI ≤ 7%
ditetapkan. Aktivitas luar tugas (off-task) Melakukan kegiatan lain 9.
di luar pembelajaran. Misalnya tidak
200
3,33 4,17 3,33 4,58 4,17 4,17 3,96
0% ≤ PWI ≤ 5%
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
memperhatikan penjelasan guru, atau melakukan aktivitas yang tidak berkaitan dengan kegiatan pembelajaran (ngantuk, tidur, ngobrol, melamun, dsb.) Keterangan: PWI adalah prosentase waktu ideal, dan Batas toleransi yang dipergunakan adalah 5% Berdasarkan Tabel 3, diperoleh bahwa rata-rata persentase aktivitas siswa memenuhi kriteria interval persentase waktu ideal yang ditetapkan. Karena itu, disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran matematika memenuhi kriteria keefektifan menurut indikator aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika. Berdasar hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah menghasilkan perangkat pembelajaran matematika (Silabus, RPP, Instrumen Penilaian Proses dan Hasil Belajar) materi segiempat dan segitiga bagi siswa SMP kelas VII menggunakan pendekatan sains/pendekatan ilmiah (scientific approach) yang baik yaitu telah memenuhi kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan.
Kesulitan yang dihadapi Guru dalam mengembangkan perangkat Pembelajaran dengan Pendekatan Sains. Kurikulum 2013 mengembangkan dua modus proses pembelajaran yaitu proses pembelajaran langsung dan proses pembelajaran tidak langsung. Proses pembelajaran langsung adalah proses pendidikan di mana peserta didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran. Dalam pembelajaran langsung tersebut peserta didik melakukan kegiatan belajar mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan mengkomunikasikan apa yang sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis. Proses pembelajaran langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung atau yang disebut dengan instructional effect. Pembelajaran tidak langsung adalah proses pendidikan yang terjadi selama proses pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus. Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap. Berbeda dengan pengetahuan tentang nilai dan sikap yang dilakukan dalam proses pembelajaran langsung oleh mata pelajaran tertentu, pengembangan sikap sebagai proses pengembangan moral dan perilaku dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan dalam setiap kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat. Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
201
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Baik pembelajaran langsung maupun pembelajaran tidak langsung terjadi secara terintegrasi dan tidak terpisah. Pembelajaran langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-3 dan KI-4. Keduanya, dikembangkan secara bersamaan dalam suatu proses pembelajaran dan menjadi wahana untuk mengembangkan KD pada KI-1 dan KI-2. Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pembelajaran yang menyangkut KD yang dikembangkan dari KI-1 dan KI-2. Proses pembelajaran tersebut terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu: (1) mengamati; (2) menanya; (3) mengumpulkan informasi; (4) mengasosiasi; dan (5) mengkomunikasikan. Dalam mengembangkan perangkat pembelajaran yang berupa RPP, silabus sudah disediakan oleh pemerintah, sehingga RPP yang akan dikembangkan berdasar pada silabus yang sudah ada. RPP memuat komponen: Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar dan Indikator, Tujuan Pembelajaran, Materi Pembelajaran (rincian dari Materi Pokok), Metode Pembelajaran (Rincian dari Kegiatan Pembelajaran), Media, Alat, dan Sumber Pembelajaran, Langkahlangkah Kegiatan Pembelajaran, Penilaian (yang meliputi Jenis/teknik penilaian, Bentuk instrumen dan instrument, Pedoman penskoran). Untuk menentukan kompetensi inti guru tidak mengalamin kesulitan karena kompetensi inti sudah termuat dalam kurikulum. Pada penyusunan RPP Guru kesulitan dam mengembangkan KD dan Indikator. Kesulitan dalam menentukan KD teridentifikasi ketika guru akan menuliskan KD untuk KI 1 dan KI 2. Sedangkan KD untuk KI 3 dan KI 4 sudah tersedia di Silabus. Untuk menentukan indicator terkait dengan semua KI, guru merasa kesulitan terkait dengan hal tersebut Karena di silabus belum terumuskan indicator untuk tiap KD. Akibat dari ini guru kesulitan menuliskan tujuan pembelajaran untuk setiap KD. Dengan tujuan pembelajaran yang kurang jelas maka hal ini akan mempengaruhi dalam penyusunan materi pembelajaran, rincian dari kegiatan pembelajaran. Rincian kegiatan pembelajaran matematika pada kegiatan inti pembelajaran banyak disebabkan karena guru kurang memahami makna operasional dari kegiatan inti yang meliputi kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Kesulitan guru dalam menentukan rincian dari tujuan pembelajaran maka hal ini akan berdampak pada penilaian yang akan dilakukan. Guru kurang memahamin prinsip penilaian proses dan produk pembelajaran yang dilakukan.
KESIMPULAN Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan
Pembelajaran Matematika dengan
pendekatan sains berikut perangkat pembelajaran yang sesuai untuk materi segiempat dan segitigsa . Berikut simpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Teori pengembangan yang digunakan untuk mengembangkan Model Pembelajaran Matematika dengan pendekatan sains adalah teori pengembangan dengan model yang digunakan menggunakan model 4-D (model Thiagarajan) yang dimodifikasi terdiri dari tiga
202
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Volume 1
tahap, yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), dan pengembangan (develop) melalui uji terbatas. Diperoleh Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Sains untuk meningkatkan Kemampuan Pikir Tindak Efektif dan Kreatif dengan sintaks: (a) Orientasikan siswa kepada masalah/projek, (b) mengorganisasi siswa untuk mengamati masalah/projek, (c) membimbing siswa untuk menanya terkait informasi yang telah dikumpulkan, (d) membimbing siswa untuk menalar dengan mengasosiasikan informasi yang telah dikumpulkan, (e) mengembangakan kemapuan siswa untuk berani mencoba melakukan
suatu
eksperimen
dari
hasil
menalar,
(f)
mengembangkan
dan
mengomunikasikan hasil karya individu/kelompok, (g) menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. yang valid, praktis, dan efektif. 2. Selain memperoleh model pembelajaran, penelitian ini juga menghasilkan perangkat pembelajaran yang baik yang sesuai dengan Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Sains untuk meningkatkan Kemampuan Pikir Tindak Efektif dan Kreatif untuk materi pokok segiempat dan segitiga siswa kelas VII SMP. Perangkat pembelajaran tersebut memenuhi kriteria valid dan hasil uji coba menunjukkan baik. Perangkat pembelajaran tersebut adalah Silabus, Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kegiatan Siswa (LKS). 3. Dalam pengembangan pembelajaran matematika di SMP dengan pendekatan sains, guru banyak yang mengalami kesulitan terkait dengan pengembangan perangkat pembelajaran yaitu RPP. Kesulitan yang dialami oleh Guru dalam mengembangkan RPP adalah ketika memilih KD, khususnya KD terkait dengan KI-1 dan KI-2. Kesulitan yang kedua adalah bagaimana menentukan indicator pada KD. Kesulitan menentukan indicator ini akan berdampak pada kesulitan dalam menentukan tujuan pembelajaran, dan menjabarkan dalam kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan sains. Kesulitan menentukan tujuan pembelajaran tentunya akan berdampak pada penentuan penilaian formatif pada KD tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard I. 1997.Clssroom Intruction and Management. New York: Mc Graw Hill Companies, Inc. Gravemeijer, K.P.E. 1999. Developmental Reseach: Fostering a Dialectic Relation Between Theory and Practice. Utrecht: Freudenthal Institute. Joyce, Bruce and Weil.1992. Models of Teaching(fourth Edition). Boston-Toronto-SydneySingapore : Allyn and Bacon Publishers. Van den Akker, Jan. 1999. Principles and methods of development research. In Jan van den Akker et al. (Ed.) Design Approaches and Tools in Education and Training pp. 1-14. Dordrecht: kluwer Academic Publishers
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2
203
Volume 1
Prosiding SNMPM Universitas Sebelas Maret 2013
Allen, L. (1973). An examination of the ability of third grade children from the Science Curriculum Improvement Study to identify experimental variables and to recognize change. Science Education, 57, 123-151. Depdikbud. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs. Imam Sujadi, 2013. Menyiapkan Sumber Daya Manusia Indonesia Berkualitas Melalui Penyempurnaan
Kurikulum.
Makalah.
Disampaikan
dalam
seminar
nasional
“Rekonstruksi Pendidikan dalam Kurikulum 2013 Guna Mencetak Tenaga Pendidik yang Kreatif dan Inovatif”, 5 Mei 2013 di STKIP PGRI Pacitan. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2013 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanRepublik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013 Tentang Standar Penilaian Pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik IndonesiaNomor 68 Tahun 2013 Tentang
Kerangka
Dasar
Dan
Struktur
Kurikulum
Sekolah
Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81a Tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum 2013 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistemPendidikanNasional
204
Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 2