PROFIL DARAH PUTIH dan KOLESTEROL AYAM PEDAGING yang DIBERI RANSUM MENGANDUNG TEPUNG DAUN SAMBILOTO (Andrographis Paniculata Nees)
AGUS TRIYANTO
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya berjudul “Profil Darah Putih dan Kolesterol Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees)” merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbing para komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2006 Agus Triyanto D.051030081
ABSTRAK AGUS TRIYANTO. Profil Darah Putih dan Kolesterol Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Dibimbing oleh Iman Rahayu dan Nahrowi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dalam ransum terhadap kandungan kolesterol dan darah putih ayam pedaging. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan materi 160 ekor anak ayam yang dibagi dalam 5 perlakuan (P0 = ransum basal/RB; P 1 = RB + 0.2% tepung daun sambiloto; P2 = RB + 0.4% tepung daun sambiloto ; P3 = RB + 0.6% tepung daun sambiloto; P4 = RB + 0.8% tepung daun sambiloto), 4 ulangan dan masing-masing ulangan perlakuan terdiri dari 8 ekor ayam. Peubah yang diamati adalah jumlah leukosit, persentase heterofil, limfosit, kandungan kolesterol total daging dada, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL) darah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, konversi ransum, mortalitas, indeks prestasi dan lemak abdomen. Data yang diperoleh dianalisa dengan Program Minitab Statistical Software Release 13.30. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada pengaruh perlakuan terhadap kandungan darah putih yang diamati. Kandungan kolesterol total daging dada pada P3 sangat nyata (P<0.01) palin g rendah, sedangkan HDL dan LDL darah nyata (P<0.05) lebih baik dari pada kontrol. Performa pada perlakuan P 3 menunjukkan respon yang cukup baik diantara perlakuan. Lemak abdomen sampai level 0.6% penambahan tepung daun sambiloto masih cukup rendah yaitu sebesar 0.63% dari berat badan. Kata kunci : Sambiloto (Andrographis paniculata Nees), kolesterol, leukosit, broiler
ABSTRACT AGUS TRIYANTO. Leucocytes and Cholesterol Profiles of Broilers Fed Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Leaves Meal in the Diet. Under the supervision of Iman Rahayu and Nahrowi. The experiment was carried out to studi the effect of addin g sambiloto (Andrographis paniculata Nees) leaves meal in the diets on leucocytes and cholesterol profiles of broilers. A completely randomized design used in this research with 160 day old chicken that devided into 5 treatment P 0 = basal diet/BD; P1 = BD + 0.2 % sambiloto meal; P2 = BD + 0.4 % sambiloto meal; P3 = BD + 0.6 % sambiloto meal and P4 = BD + 0.8 % sambiloto meal. Each treatment had 4 replications with 8 chicks per replication. The variables observed were leucocytes total, heterophile percentage, limfocyte percentage, total cholesterol, feed consumption, weight gain, feed convertion, mortality, production indeks and abdominal fat. The data analysed by Program Minitab Statistical Software Release 13.30. The results showed that treatments had no effect on the leucocytes profile. Total cholesterol was significantly lowest (P<0.01) in P 3, however HDL and LDL of blood were significantly (P<0.05) better than those of the control. Performances of P3 was better than which in the all treatments. Key words : Sambiloto (Andrographis paniculata Nees), cholesterol, leucocytes, broiler.
Hak cipta milik Agus Triyanto, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
PROFIL DARAH PUTIH dan KOLESTEROL AYAM PEDAGING yang DIBERI RANSUM MENGANDUNG DAUN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Nees)
AGUS TRIYANTO
Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister sains pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
Nama NRP
: Profil Darah Putih dan Kolesterol Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) : Agus Triyanto : D. 051030081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Iman Rahayu HS, M.S Ketua
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nahro wi, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 26 Agustus 1964 dari ayah H. Ishak Puradiharja dan Hj. Sintaroh. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Tahun 1983 penulis lulus SMA Negeri II Purwokerto, tahun yang sama lulus seleksi masuk ke Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan dan lulus tahun 1988. Tahun 1992-2001 penulis bekerja di Sekolah Pertanian Pembangunan Negeri Padang Mengatas sebagai staf pengajar. Tahun 2001 sampai sekarang penulis bekerja sebagai tenaga teknis di Balai Besar Diklat Agribisnis Peternakan dan Kesehatan Hewan Cinagara Bogor Departemen Pertanian. Tahun 2003 terdaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana IPB di Program Studi Ilmu Ternak Fakultas Peternakan IPB.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2005 ini adalah darah putih dan kolesterol, dengan judul Profil Darah Putih dan Kolesterol Ayam Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Iman Rahayu Hidayati Soesanto , MS dan Bapak Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberi masukan dan saran kepada penulis. Disamping itu terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman dekat yang telah banyak membantu penulis terutama dorongan moril yang tidak dapat penulis lupakan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada yang terhormat Bapak, Ibu, Bapak (alm) dan Ibu Mertua atas kasih dan sayangnya, khusus kepad a istri tercinta Maryati dan Ananda tersayang Dena Heriyanto, Agung Huda Heriyanto dan si kembar Aida Gusti Yanila, Aisya Gusti Yanila dan Adik serta seluruh keluarga, atas segala doa dan segala kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2006 Agus Triyanto
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
viii
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................... Tujuan ................................................................................................ Manfaat ..............................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
3
Sambiloto (Andrographis Paniculata Nees) ...................................... Klasifikasi ................................................................................. Morfologi .................................................................................. Kandungan Kimia dan Khasiat Sambiloto ................................ Beberapa Penelitian Tentang Sambiloto ................................... Lemak Abdomen ................................................................................ Kolesterol ........................................................................................... Biosintesis Kolesterol ......................................................................... Darah .................................................................................................. Leukosit ..................................................................................... Heterofil .................................................................................... Limfosit ..................................................................................... Rasio Heterofil/Limfosit ...........................................................
3 3 3 5 7 7 8 10 12 12 15 16 17
MATERI DAN METODE PENELITIAN ..................................................
18
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ Materi Penelitian ................................................................................ Metode Penelitian ...............................................................................
18 18 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
24
Leukosit, Persentase Heterofil dan Limfosit ...................................... Leukosit ..................................................................................... Heterofil .................................................................................... Limfosit ..................................................................................... Rasio Heterofil/Limfosit ........................................................... Kandungan Ko lesterol Daging Dada, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL) Serum Darah ................. Performa Ayam Pedaging .................................................................. Konsumsi Ransum .................................................................... Pertambahan Berat Badan ......................................................... Konversi Ransum ......................................................................
24 24 25 27 28 30 32 33 35 36
Mortalitas .................................................................................. Indeks Produksi ......................................................................... Lemak Abdomen .......................................................................
38 39 40
KESIMPULAN ...........................................................................................
42
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
43
LAMPIRAN ................................................................................................
49
DAFTAR TABEL Halaman 1. Perbandingan jumlah leukosit berdasarkan umur ayam .....................
14
2. Kandungan nutrisi tepung daun sambiloto (Andrographis Paniculata Nees) ..................................................................................................
19
3. Kandungan nutrisi ransum penelitian .................................................
20
4. Rataan jumlah leukosit, persentase heterofil (H), limfosit (L) dan rasio H/L ayam pedaging penelitian ...................................................
24
5. Rataan kandungan kolesterol total daging dada, HDL dan LDL serum darah ayam pedaging penelitian ..............................................
30
6. Rataan konsumsi ransum total, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam pedaging penelitian ........................................
33
7. Indeks Produksi ayam pedaging penelitian ........................................
39
8. Rataan persentase lemak abdomen ayam pedaging penelitian ............
40
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tanaman sambiloto (Andrographis Paniculata Nees) .............................
4
2. Biosintesis kolesterol ...............................................................................
11
3. Heterofil ayam ..........................................................................................
15
4. Limfosit ayam ...........................................................................................
17
5. Jumlah leukosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu ..........
25
6. Persentase heterofil ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu ....
26
7. Persentase limfosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu .....
27
8. Rasio heterofil/limfosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu .......................................................................................................
29
9. Konsumsi ransum mingguan ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu .......................................................................................................
34
10. Pertambahan berat badan mingguan ayam pedaging pen elitian sampai umur 5 minggu ...........................................................................................
36
11. Konversi ransum mingguan ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu ......................................................................................................
38
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Perhitungan Jumlah Leukosit ...................................................................
50
2. Diferensiasi Leukosit ................................................................................
51
3. Pengukuran kadar kolesterol ....................................................................
52
4. Hasil sidik ragam ......................................................................................
53
5. Gambar – gambar .....................................................................................
64
PENDAHULUAN Latar Belakang Sejalan dengan meningkatnya populasi ternak, maka produksi sektor peternakan juga diharapkan meningkat. Tingkat konsumsi yang terus meningkat maka akan terjadi impor daging untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk mengurangi impor daging maka perlu dilakukan beberapa usaha. Ayam pedaging adalah salah satu ternak unggas yang relatif cepat menghasilkan daging, menjanjikan profit yang besar dan mempunyai pangsa pasar yang baik. Banyak usaha yang telah dilakukan oleh para pengusaha industri perunggasan dalam rangka meningkatkan produktivitas ayam pedaging. Salah satu usaha yang dilakukan adalah penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan. Penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pakan dapat menyebabkan menipisnya dinding usus halus, akibat terbunuhnya bakteri pathogen sehingga meningkatkan ketersediaan gizi ransum, berat badan yang dihasilkan lebih tinggi sehingga konversi ransum yang dihasilkan lebih rendah atau lebih efisien (Sinurat et al. 2001). Antibiotik dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas, sebagai growth promotor, mencegah berbagai penyakit serta menyembuhkan penyakit yang menyerang unggas. Akan tetapi penggunaan antibiotik ini sangat beresiko karena meninggalkan residu pada karkas dan resistensi bakteri patogen, sehingga kurang aman dan bahkan dapat membahayakan kesehatan manusia sebagai konsumen (Lee et al. 2001). Permasalahan lain dalam usaha pengembangan peternakan ayam pedaging adalah tingginya kandungan lemak abdomen dan kolesterol ayam pedaging. Akhir-akhir ini konsumen terutama golongan menengah ke atas semakin sadar akan kesehatan dirinya dari produk-produk hewani yang tidak aman untuk dikonsumsi termasuk didalamnya adalah daging ayam broiler. Untuk itu perlu upaya mencari alternatif bahan yang dapat menurunkan kandungan lemak dan kolesterol serta tidak menimbulkan residu yang membahayakan bagi konsumen. Tanaman herba sambiloto (Andrographis paniculata Nees) berpotensi untuk dipakai mengingat bahan zat aktif yang dimilikinya mampu meningkatkan nafsu
2
makan, bersifat bakteriostatik, menyembuhkan beberapa penyakit serta dapat meningkatkan pembentukan kekebalan tubuh terhadap infeksi atau penyakit (Prapanza dan Marianto 2003). Nugroho et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian ekstrak sambiloto dosis 160 mg/100 gram berat badan selama 8 minggu menurunkan kadar kolesterol total, Low Density Lipoprotein (LDL) dan menaikkan High Density Lipoprotein (HDL) secara bermakna pada tikus putih. Tanaman sambiloto mempunyai khasiat sebagai obat penyakit gula, darah tinggi, gigitan ular, menyembuhkan penyakit thipus dan demam (Heyne 1987). Penelitian lain bahwa tanaman sambiloto sangat efektif untuk pemulihan kesehatan setelah sakit, penambah nafsu makan, gatal – gatal, gangguan saluran pernafasan dan pencernaan dan cukup aman serta tidak toksik untuk ramuan tradisional (Rahmawati dan Hastiono 1999). Namun penggunaan tepung daun sambiloto sebagai feed additive pada ayam pedaging masih sangat terbatas informasinya khususnya mengenai dampak pemberiannya pada kandungan kolesterol dan profil darah ayam yang mengkonsumsinya, sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Tesis ini menguraikan mengenai pengaruh pemberian tepung daun sambiloto terhadap kandungan kolesterol, profil darah putih serta performa ayam pedaging. Tujuan 1. Mencari level terbaik mengenai penggunaan tepung daun sambiloto sebagai feed additive dilihat dari performa ayam pedaging. 2. Mempelajari kandungan kolesterol dan profil darah putih ayam pedaging yang diberi ransum mengandung tepung daun sambiloto. Manfaat Manfaat penelitian adalah memberikan informasi terbaik mengenai penggunaan tepung daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees) sebagai imbuhan pakan pada ransum ayam pedaging.
TINJAUAN PUSTAKA Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Klasifikasi Sambiloto banyak dijumpai hampir di seluruh kepulauan Nusantara. Sambiloto dikenal dengan beberapa nama daerah, seperti ki-oray atau ki peurat (Jawa Barat), bidara, takilo, sambiloto (Jawa Tengah dan Jawa Timur), pepaitan atau ampadu (Sumatera), (Yusron et al. 2003). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sambiloto tergolong tanaman herba yang tumbuh di berbagai habitat seperti pinggiran sawah, kebun atau hutan. Secara taksonomi sambiloto dapat diklasifikasikan sabagai berikut : Divisi
: Spermathophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas
: Dicotyledoneae
Sub kelas : Gamopetalae Ordo
: Personales
Famili
: Acanthaceae
Sub famili : Acanthoidae Genus
: Andrographis
Spesies
: Andrographis paniculata Nees
Morfologi Tanaman Sambiloto tumbuh liar di tempat terbuka, seperti di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau pekarangan. Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 m d i atas permukaan laut (dpl). Tinggi tanaman 5090 cm, bentuk batang disertai banyak cabang berbentuk segi empat (kwadran gularis) dengan nodus yang membesar, daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan bersilang, pangkal runcing, ujung meruncing, tepi rata, permukaan atas hijau tua, bagian bawah hijau muda, panjang 2-8 cm, lebar 1-3 cm. Bunga tumbuh diujung tangkai, yang tersusun dalam rangkaian berbentuk tandan dan melengkung ke bawah, kecil-kecil, warnanya putih bernoda ungu. Buah kapsul
4
berbentuk jorong (bulat panjang), panjang sekitar 1.5 cm, lebar 0.5 cm, pangkal dan ujung tajam, bila masak akan pecah membujur menjadi 4 keping biji gepeng, kecil-kecil, warnanya coklat muda.(IPTEK 2002 ; Muhlisah 1999).
Gambar 1. Tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Sambiloto tumbuh pada ketinggian 1-700 m dpl. Curah hujan setahun 2000-3000 mm/tahun. Bulan basah (di atas 100 mm/bulan) : 5-7 bulan. Bulan kering (di bawah 60 mm/bulan) : 4-7 bulan, suhu udara 25-32 oC, kedalaman air tanah 200-300 cm dari permukaan tanah, keasaman (pH) : 5.5-6.5, kelembaban sedang, penyinaran sedang, tekstur berpasir, drainase baik dan kesuburan sedang (Prapanza dan Marianto 2003). Sambiloto dapat diperbanyak secara generatif maupun vegetatif. Perbanyakan yang sering dilakukan adalah secara generatif karena bibit yang dihasilkan lebih banyak, pelaksanaannya sederhana dan mudah. Kekurangan perbanyakan secara generatif adalah memerlukan waktu lebih lama dan pertumbuhan bibit cenderung tidak seragam, sedangkan perbanyakan secara vegetatif, bibit yang diperoleh lebih seragam dan sifatnya sama dengan tanaman induk. Kekurangan perb anyakan secara vegetatif adalah dibutuhkan tanaman induk yang lebih banyak dan sering gagal bila penanganan kurang baik (Winarto 2003).
5
Kandungan Kimia dan Khasiat Sambiloto Menurut Winarto (2003) daun dan cabang sambiloto mengandung lactone yang terdiri dari deoxy-andrographolide, andrographolide (zat pahit) neoandrographolide, 14 deoxy-11, 12 didehydro andrographolide dan homo andrographolide.
Flavonoid
dari
akar
mengandung
polymethoxyflavone,
andrographin, panicolin, mono-o-methilwithin, apigenin -7, 4 dimethil ether, alkane, ketose, aldehyde, kalium, kalsium, natrium, asam kersik dan damar. Sambiloto dengan rasa pahit diduga mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Syamsuhidayat dan Robinson 1991). Flavonoid merupakan pigmen – pigmen yang tersebar luas dalam bentuk senyawa glikon dan aglikon yang larut dalam air. Salah satu fungsi flavonoid adalah hormon pertumbuhan dan inhibitor enzim dengan membentuk kompleks dengan protein. Sebagian besar flavonoid dan isoflavonoid di dalam tanaman tidak beracun bagi hewan dan beberapa diantaranya dapat berfungsi sebagai antidiare. Flavonoid memiliki sejumlah gugus hidroksil yang merupakan senyawa polar seperti etanol, metanol, aseton dan air. Flavonoid dapat menghambat parasit dengan bertindak sebagai inhibitor enzim. Mekanisme penghambatan yaitu dengan cara menghambat produksi energi dan sistesis asam-asam nukleat atau protein, melalui mekanisme tersebut pertumbuhan dan perkembangan parasit kemungkinan dapat ditekan (Rohimah 1997). Menurut Robinson (1991) flavonoid merupakan senyawa dengan inti C6 -C3-C6 artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (C 3). Flavonoid terdapat dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga. Fungsi flavonoid dalam tumbuhan yang mengandungnya adalah pengaturan pertumbuhan, fotosintesa dan anti mikroba. Saponin diperoleh dari beberapa tumbuhan, termasuk sambiloto dan digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan. Steroid saponin merupakan prekursor penting bagi obat golongan steroid dan termasuk sebagai agen anti inflamasi, sedangkan derivat triterpenoid yaitu triterpene. Saponin berfungsi sebagai anti inflamasi dan analgesik (Robinson 1991).
6
Tanin merupakan senyawa polifenol yang tersebar luas pada berbagai tumbuhan. Tanin terbagi dua yaitu tanin terhidrolisis dan tanin yang terkondensasi. Tanin yang terhidrolisis terbentuk reaksi asam fenolat dengan gula sederhana. Tanin terkondensasi terbentuk akibat kondensasi flavonoid yang merupakan polimer dari katekin dan epi katekin (Harborne 1987). Winarto (2003), menyatakan bahwa tumbuhan sambiloto bersifat menurunkan panas, antidemam, antibiotik, antibakteri, antipiretik, antiradang, antibengkak, antidiare, antitumor dan hepatoprotektor (perlindungan sel hati). Pemberian residu (ekstraksi yang tidak larut dalam air) dalam sambiloto secara oral pada mencit 2 kali sehari selama 2 hari dengan dosis 0.1; 0.5 dan 1 mg setiap 25 gram berat badan menyebabkan aktivitas fagositosis makin meningkat (imunostimulant) (Nuratmi et al. 1986). Menurut Prapanza dan Marianto (2003), Andrographolide adalah komponen utama dalam sambiloto yang memiliki multiefek farmakologis. Zat aktif ini terasa pahit sehingga mampu meningkatkan nafsu makan karena dapat merangsang sekresi kelenjar saliva dan meningkatkan produksi antibodi sehingga kekebalan tubuh meningkat. Kadar zat aktif (andrographolide) 2.5 – 4.6 % dari bobot kering (Santa 1996). Kandungan andrographolide didalamnya mampu meningkatkan fungsi sistem pertahanan tubuh seperti produksi sel darah putih yang menyerang bakteri dan benda asing lainnya, mampu memicu produksi interferon yang merupakan protein spesifik (sitokin) yang dibuat oleh sel sebagai respon adanya benda asing termasuk bakteri. Andrographolide selain tidak bersifat toksik pada manusia juga tidak mempunyai efek samping seperti agen kemoterapi konvensional yang lain. Ekstrak sambiloto terbukti mampu meningkatkan pertahanan tubuh terhadap infeksi Staphylococcus aureus, itu ditandai dengan meningkatnya neotrofil, limfosit, dan perbaikan jaringan paru -paru, hati, dan ginjal pada mencit (Iptek 2002). Ekstrak sambiloto dan zat aktif androghopolid dapat menstimulasi kekebalan terhadap antigen baik yang spesifik maupun non spesifik. Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan jumlah sel-sel limfosit dalam peredaran darah, sedangkan kekebalan non spesifik ditandai dengan adanya
7
peningkatan jumlah sel heterofil, eosinofil dan basofil (Mills dan Bone 2000). Menurut Syamsuhidayat dan Robinson. (1991) herba sambiloto (Andrographis paniculata Nees) berkhasiat sebagai obat demam, diabetes, penyakit kulit, radang telinga dan masuk angin. Beberapa penelitian tentang sambiloto Tipakorn (2002) menyatakan bahwa pemberian tepung sambiloto dengan level 0.1-0.4 % tidak berpengaruh terhadap bobot badan dan konversi ransum ayam pedaging tetapi berpengaruh menurunkan mortalitas dibandingkan kontrol. Semakin tinggi level sambiloto yang digunakan, semakin rendah mortalitas ayam pedaging. Pemberian tepung sambiloto level 0.2 dan 0.4 % pada penelitian ini mampu mengurangi infeksi dari bakteri terhadap organ dalam. Supritianto (1998), pemberian Sambiloto dosis 800 mg/kg bb, menunjukkan efek perlindungan terhadap organ hati itik dari kerusakan akibat aflatoxin dan memberikan efek positif terhadap hati itik Tegal, yakni warna hati dan ukuran hati itik normal, tidak terlihat adanya pembentukan nodul. Ekstrak sambiloto mampu meningkatkan fungsi pertahanan tubuh, ditandai dengan meningkatnya neotrofil dan limfosit (Iptek 2002). Sugiyarto dalam Winarto (2003), menyatakan pemberian rebusan daun sambiloto 40 % b/v sebanyak 20 %/kg bb menurunkan kadar glukosa darah tikus putih. Nuratmi et al. (1996) menyatakan infus daun sambiloto dosis 0.3 gram/kg bb secara oral mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah kelinci. Nugroho dan Nafrialdi (2001) menyatakan pemberian ekstrak sambiloto dosis 160 mg/100 g bb selama 8 minggu menurunkan kadar kolesterol total, LDL dan menaikkan HDL secara bermakna pada tikus putih. Nuratmi et al. (1996) menyatakan bahwa infus daun sambiloto 15.4 mg/100 gr bb secara oral dapat meningkatkan efek antiimflamasi (anti radang) pada tikus putih. Lemak Abdomen Kelebihan energi terjadi jika masukan melebihi yang dibutuhkan. Kelebihan energi tersebut menjadi salah satu penyebab terjadinya akumulasi lemak/kelebihan lemak tubuh. Kelebihan lemak tubuh tersebut disimpan pada
8
jaringan adiposa dalam bentuk cadangan lemak. Piliang dan Djojosoebagio (1990) menyatakan bahwa jaringan adiposa merupakan jaringan yang berperan sebagai reservoir dalam penyimpanan lemak. Salah satu tempat penyimpanan lemak adalah rongga perut (abdomen). Prosentase lemak abdomen sangat dipengaruhi oleh kandungan serat makanan. Kubena et al. (1974), menyatakan lemak rongga tubuh terdir i dari lemak dinding abdomen, lemak rongga dada dan lemak alat pencernaan. Lemak abdomen adalah lemak yang berada di sekeliling gizzard dan yang terdapat diantara otot perut dan usus. Lemak abdomen ayam bisa meningkat jika diberikan ransum dengan lemak dan energi tingkat tinggi (North dan Bell 1990). Sebaliknya persentase berat lemak abdomen dapat diturunkan dengan meningkatkan kandungan serat kasar dalam ransumnya. Persentase lemak abdomen antara 1.40-2.60 % dari berat hidup (Leeson dan Summer 1980). Kolesterol Kolestrol merupakan subtansi lemak khas hasil metabolisme yang banyak ditemukan di dalam darah serta cairan empedu (Frandson 1992). Selain itu juga terdapat pada hati, daging, otak dan kuning telur, serta terdapat pada usus, ginja l, lemak hewan, darah, jaringan urat syaraf dan kortilis adrenal (Harper et al. 1979) Kolestrol banyak terdapat dalam makanan yang berasal dari hewan seperti daging, hati, otak dan kuning telur (Mayes 1999). Menurut Frandson (1992), jumlah kolesterol dalam darah tergantung pada sebagian besar makanan, umur dan jenis kelamin, juga dapat dipengaruhi oleh konsumsi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Kolesterol dibutuhkan tubuh sebagai salah satu komponen permukaan sel dan membran intraseluler. Peranan lain dari kolesterol adalah sebagai prekursor dari asam empedu yang disintesis di dalam hati yang berfungsi untuk menyerap trigliserida dan vitamin larut lemak dari makanan. Kolesterol juga berfungsi sebagai prekursor dari beberapa hormon steroid seperti estrogen dan testosteron.
9
Dalam keadaan normal kolesterol merupakan senyawa esensial yang diperlukan tubuh untuk membentuk membran sel, struktur insulin otak, sistem syarat pusat dan vitamin D (Martin et al. 1984). Kolesterol juga berperan dalam pengangkutan asam lemak melalui dinding usus ke limpa dan merupakan bahan baku untuk pembentukan hormon yang dihasilkan oleh Cortek adrenal, testis (testosteron) dan ovarium (estrogen dan progesteron). Frandson (1992) menyatakan bahwa kadar kolesterol yang tinggi dalam darah merupakan predisposisi terhadap atherosclerosis, suatu keadaan dimana kolesterol dan lipida masuk ke dinding pembuluh darah bagian dalam, ditandai oleh penumpukan (deposisi) esterkolestrol dan lipida di dalam jaringan penyambung dinding arteri. Mayes (1999) mengatakan bahwa atherosclerosis ini berkaitan erat dengan makanan yang tinggi kadar kolesterol serta lemak jenuhnya. Harper (1983) melaporkan bahwa penyakit – penyakit kardiovaskuler tertentu seperti Atherosclerosis atau pengerasan dari urat – urat nadi sebagian dianggap diakibatkan oleh kadar kolesterol yang tinggi di dalam darah. Kadar kolesterol dalam darah dianggap aman jika tidak melebihi 225 mg/dl ( Piliang dan Djojosoebagyo 1990). Menurut Mayes (1999), kolesterol di dalam plasma darah terdapat dalam empat golongan lipoprotein yaitu (1). Khylomikron, merupakan lipoprotein mempunyai densitas rendah berfungsi mentransfer triglisenida dan sebagian kolesterol, (2). Very low density lipoprotein (VLDL) berfungsi sebagai pembawa trigelisenida dari jaringan tubuh ke jaringan adiposa untuk disimpan, (3). Low density lipoprotein (LDL) berfungsi mengangkut kolesterol dari hati dan lumen usus kecil ke jaringan tubuh, (4). High density lipoprotein (HDL) berfungsi mengangkut fo sfolipid dan kolesterol ester dari jaringan perifer kembali ke hati untuk diubah menjadi asam empedu. Mayes (1999) menambahkan diantara keempat lipoprotein tersebut yang paling berperan dalam pengangkutan kolesterol adalah HDL dan LDL. HDL berperan dalam pengangkutan kolesterol dari jaringan – jaringan permukaan kembali ke dalam hati, selanjutnya dikeluarkan melalui usus, sedangkan LDL bertugas membawa kolesterol dari hati ke jaringan otot. Semakin
10
meningkat LDL, semakin banyak tumpukan kolesterol di dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan athero sclerosis. Wirahadikusuma (1985) menyatakan kandungan HDL tinggi maka akan bermanfaat dalam menurunkan resiko penyakit jantung koroner dan mencegah terjadinya atherosclerosis. Lehninger (1997) menerangkan apabila kandungan HDL meningkat maka kolesterol akan menurun. Biosintesis Kolesterol Kolesterol disintesa dalam tubuh, terutama oleh sel-sel hati, usus, dan kelenjar adrenal, meskipun seluruh sel-sel mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sterol, di dalam darah kolesterol terdapat bersamaan dengan trigliserida, fosfolipida, dan apropotemi untuk diubah menjadi lipoprotein (Piliang dan Djojosoebagyo 1990). Kolesterol dalam tubuh berupa kolestrol eksogen dan endogen di mana kolesterol eksogen berasal dari makanan (25 %) dan sebalikny a kolestrol endogen dibentuk oleh sel-sel tubuh (75 %) terutama di dalam hati (Girindra 1988). Sebagian besar kolesterol tubuh manusia berasal dari sintesis hati (kirakira 1 g/hari), sedangkan sekitar 0.3 g/hari dari makanan (Mayes 1999). Muhtadi et al. (1993) melaporkan bahwa kolesterol yang terdapat dalam makanan memegang peranan penting karena (1). Merupakan sterol utama di dalam tubuh manusia (2). Komponen membran sel dan (3). Membran intra seluler, jika jumlah kolesterol dari makanan kurang, maka sintesis kolesterol di dalam hati dan usus meningkat untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan organ lain. Sebaliknya jika jumlah kolesterol di dalam makanan meningkat maka sintesis kolesterol di dalam hati dan usus menurun. Biosintesis kolesterol dapat dibagi men jadi 5 tahap, yaitu (1) Sintesis mevalonat, suatu senyawa 6 karbon dari asetil Ko-A terbentuk akibat reaksi kondensasi dan reduksi yang berlangsung di dalam mitokondria, (2) Unit isopremoid dibentuk dari mevalonat melalui pelepasan CO2 pada reaksi fosforilasi oleh ATP, (3) Enam unit isoprenoid mengadakan kondenasi untuk membentuk senyawa antara skualena, (4) Skualena mengadakan siklisasi untuk menghasilkan senyawa steroid induk yaitu lanosterol yang berlangsung di dalam retikulum endoplasma, (5) Kolesterol dibentuk di dalam membran retikuli,
11
endoplasma dari lanosterol setelah melewati beberapa tahap, termasuk pelepasan 3 gugus metil ( Mayes 1999). Biosintesis
kolesterol secara skematis seperti
tampak pada Gambar 2.
Asetil ko-A Asetoasetil ko-A
HMG ko-A ( 3-hidroksi-3 methilglutanil ko-A)
Mevalonat
Skualena Kolesterol
Gambar 2. Biosintesis kolesterol (Mayes 1999)
Lanosterol
12
Ismadi (1993) menjelaskan bahwa semua kolesterol dari ransum digabungkan ke dalam misel-misel yang dibentuk dari unsur-unsur amfipatik yang ada dalam empedu. Misel mengandung asam empedu terkonjugasi dan fosfolipid di samping kolesterol. Emulsifikasi diperlukan karena kelarutan kolesterol rendah dalam medium berair di rongga usus. Tiap kolesterol yang di esterkan dihidrolisis di dalam ronga usus oleh enzim yang disekresikan oleh getah pankreas yaitu esterase kolesterol. Hidrolisis ester kolesterol oleh esterase kolesterol terjadi pada atau di dalam misel. Kolesterol diabsorbsi melalui difusi dari misel ke dalam sel mukosa kemudian diubah menjadi ester kolesterol. Absorbsi kolesterol sebagian besar terjadi di jejenum. Selanjutnya ester kolesterol bergabung dengan kolesterol yang tidak diesterkan ka dalam partikel-partikel lipid protein besar yang lepas ke dalam limpa (kilo mikron). Kilo mikron mengangkut kolesterol dan lemak ransum dari limpa ke dalam plasma lewat duktus torasikus, akhirnya tersimpan di hati. Kolesterol yang dilepas dari hati ke dalam usus berupa asam empedu bersama sel mukosa yang mengelupas akan dikeluarkan dari tubuh bersama feses. Kolesterol dalam tubuh dapat dikeluarkan dengan dua jalan yaitu melalui perubahan menjadi asam empedu dan sterol netral yang dikeluarkan melalui feses (Mayes 1999). Lebih lanjut Muhtadi et al. (1993) menjelaskan bahwa jalur utama pembuangan olesterol dari tubuh adalah melalui konversi oleh hati menjadi asam empedu yaitu asam kholat dan chenodeoxy cholic yang berkaitan dengan glisin atau taurin membentuk garam empedu, kemudian diekskresi di dalam empedu ke dalam duodenum. Sebagian besar asam empedu direabsorpsi oleh hati melalui sirkulasi dan selanjutnya diekskresi kembali ke dalam empedu. Asam empedu yang tidak diserap didegradasi oleh mikroba usus besar dan diek skresi ke dalam feses. Darah Darah terdiri dari sel-sel yang terendam dalam cairan yang disebut plasma (Frandson 1992). Menurut Nielsen (1997) volume darah total pada burung sebesar 5-10 % dari berat badannya, dan menurut Swensen (1984) sebanyak 8 % dari
13
berat bnnya. Variasi volume darah dalam tubuh tergantung pada umur, nutrisi, kesehatan ternak, aktivitas tubuh, jenis kelamin dan faktor lingkungan. Komposisi sel-sel darah merupakan salah satu cara untuk melihat adanya penyakit ataupun stress pada hewan. Menurut Post et al. (2002) peubah sel darah merupakan ukuran yang berguna pada penelitian kesehatan dan kesejahteraan hewan. Pemeriksaan darah merupakan salah satu metode untuk menetapkan suatu diagnosis penyakit yang dapat memberi gambaran tentang keadaan patologis dan fisiologis. Kelainan-kelainan dalam darah atau organ-organ pembentuk tubuh ternak dapat diketahui melalui pemeriksaan darah ini (Guyton 1986). Frandson (1992) menyatakan bahwa darah pada hewan merupakan medium transportasi. Beberapa fungsi darah yaitu: (1) membawa nutrien dari saluran pencernaan ke seluruh jaringan, (2) membawa produk akhir metabolisme dari sel ke organ pengeluaran, (3) membawa O2 dari paru -paru ke jaringan, (4) membawa CO2 dari jaringan ke paru-paru dan (5) mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan tubuh terhadap penyakit. Menurut Sturkie dan Grimminger (1976), darah terdiri atas cairan (plasma), garam-garam, zat-zat kimia dan butiran sel-sel darah. Sel-sel tersebut terdiri atas eritrosit (sel darah merah) dan leukosit (sel darah putih). Leukosit Leukosit atau sel darah putih mempunyai nukleus dan memiliki kemampuan gerak independen. Kebanyakan sel-sel darah putih di dalam aliran darah bersifat non fungsional karena hanya diangkut ke jaringan dan di lokasi ketika dibutuhkan (Frandson 1992). Leukosit dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu granulosit dan agranulosit. Granulosit mengandung granula dalam sitoplasmanya yang terdiri atas heterofil, eosinofil dan basofil. Agranulosit tidak mempunyai granula pada sitoplasmanya yang terdiri dari atas monosit dan limfosit. Fungsi leukosit yaitu menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis dan membentuk antibodi (kekebalan). Leukosit merupakan unit sistem pertahanan tubuh (Guyton 1986). Jumlah leukosit yaitu heterofil atau limfosit
14
akan meningkat pada penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Pengamatan leukosit adalah sebagai cara yang bermanfaat untuk mendiagnosis kondisi atau status kekebalan ternak yang bersangkutan. Respon pertahanan atau kekebalan tubuh yang tertekan disebabkan oleh rusaknya jaringan-jaringan tubuh yang berfungsi untuk membentuk atau mendewasakan sel-sel yang berperanan dalam respon kekebalan misalnya timus, bursa fabrisius, sumsum tulang, limpa dan jaringan lainnya (Unandar 2003) karena pada jaringan -jaringan tersebut dibentuk sistem pertahanan tubuh yaitu leukosit. Jumlah leukosit jauh di bawah eritrosit dan bervariasi yang tergantung pada jenis hewannya. Menurut Tizzard (1987), variasi jumlah leukosit yang tinggi dipengaruhi oleh genetik, hormon, status nutrisi yang bervariasi antara individu ternak. Fluktuasi jumlah leukosit pada setiap individu cukup besar pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya stress, aktivitas fisiologis, gizi dan umur. Menurut Sturkie dan Grimminger (1976) faktor – faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit adalah jenis kelamin, umur, pakan, lingkungan, efek hormon, obat-obatan dan sinar-X. Jumlah total leukosit berpengaruh nyata pada unggas dengan adanya peradangan (nephritis) dibandingkan dengan unggas tanpa gejala klinis dan luka. Perbandingan jumlah leukosit normal ayam dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan jumlah leukosit berdasarkan umur ayam Leukosit ( x 103 /mm3)
Limfosit (%)
Heterofil (%)
2 – 21 minggu
29.4
66.0
20.9
Jantan dewasa
19.8
59.1
27.2
Betina dewasa
19.8
64.6
22.8
Betina White Leghorn
29.4
64.0
25.8
Jantan White Leghorn
16.6
13.1
2.5
Semua umur
30.4
73.3
15.1
Umur
Sumber : Sturkie (1976)
15
Heterofil Heterofil
atau
neutrofil
adalah
leukosit
granulosit
yang bersifat
polimorfonuklear-pseudoesinofilik. Pada unggas disebut heterofil dan dibentuk di sumsum merah (Swenson 1977), sedangkan pada manusia dan mamalia disebut neutrofil. Heterofil pada ayam biasany a
berbentuk
bulat
dengan
diameter
10-15 µ m, granula sitoplasmanya berbentuk batang pipih seperti jarum dan ditengahnya terletak nukleus bersegmen (Sturkie 1976).
Gambar 3. Heterofil ayam Fungsi utama heterofil adalah menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis (Tizzard 1987). Heterofil mencari, memakan dan membunuh bakteri serta dinamakan garis pertahanan tubuh pertama terhadap infeksi bakteri (Ganong 1995). Menurut Swenson (1977), heterofil menunjukkan aktivitas amuboid dan aktif dalam memfagosit untuk mempertahankan tubuh dari infeksi bahan asing dengan menyerang bakteri dan partikel kecil lainnya. Heterofil akan muncul dalam jumlah besar pada saat peradangan. Jumlah heterofil dapat digunakan untuk menduga adanya stres pada burung atau unggas. Stres dan penyakit dapat mempengaruhi jumlah heterofil dan limfosit (Sturkie dan Grimminger 1976) Heterofil dibentuk dalam sunsum tulang. Fungsi utama dari heterofil adalah pertahanan tubuh terhadap bahan asing. Heterofil menghancurkan bahan asing melalui proses fagositosis. Apabila partikel asing terkurung dalam sitoplasma heterofil, maka partikel tersebut akan menempatkan diri dalam ruang yang disebut fagosom. Penghancuran terjadi apabila enzim hidrolitik dalam
16
lisosom dilepaskan dan bersatu dengan fagosom membentuk fagolisosom. Enzimenzim tersebut antara lain enzim preteolitik, mieloperoksidase, ribonuklease, dan fosfolipase (Tizzard 1987). Heterofil mempunyai aktivitas amuboid dan bersifat fagositosis untuk mempertahankan tubuh melawan in feksi atau benda asing seperti bakteri, virus, dan partikel kecil lain. Invasi bakteri, virus dan parasit yang terjadi di jaringan akan mengakibatkan heterofil bergerak ke daerah invasi dengan diapedesis dan gerakan amuboid. Sel-sel heterofil sewaktu memasuki jaringan sudah merupakan sel-sel dewasa/matang sehingga dapat segera memulai fagositosis. Sebuah sel heterofil dapat memfagositosis 5 – 20 bakteri. Sel heterofil mempunyai sejumlah besar enzim lisosom yang berisi enzim preteolitik untuk mencerna bakteri dan bahanbahan protein asing (Guyton 1986). Limfosit Limfosit bersifat motil, dapat berubah bentuk dan ukuran serta mampu menerobos jaringan atau organ lunak karena menyediakan zat kebal untuk pertahanan tubuh (Dellman dan Brown 1989). Limfosit adalah jumlah terbanyak dalam darah putih pada hampir semua spesies hewan domestik (Swensen 1984). Limfosit merupakan leukosit agranulosit. Sifat limfosit mampu menerobos jaringan atau organ tubuh lunak, karena menyediakan zat kebal untuk pertahanan tubuh (Dellman dan Brown 1989). Menurut Guyton (1986), kekebalan berperantara sel (cell mediated immunity) didapat melalui pembentukan sel limfosit yang teraktivasi dalam jumlah besar yang secara khusus dibuat untuk menghancurkan benda asing. Leukosit agranulosit adalah yang paling banyak ditemukan di dalam darah unggas, mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi (Sturkie dan Grimminger 1976). Ganong (1995) menyatakan bahwa sejumlah limfosit dibentuk dalam sumsum tulang setelah individu dilahirkan, tetapi kebanyakan dibentuk dalam kelenjar limfa, timus dan limpa. Limfosit merupakan unsur kunci sistem kekebalan. Dua bentuk limfosit yang aktif dapat dikenali sebagai limfosit T yang
17
menghasilkan sel T, berasal dari timus dan limfosit B yang menghasilkan sel B, berasal dari bursa (Dellman dan Brown 1989). Ganong (1995) menyatakan bahwa pada bangsa burung, prekursor yang ditemukan banyak pada bursa fabrisius dan struktur limfoid dekat kloaka; ditransformasi ke limfosit yang bertanggung jawab bagi immunitas humoral (limfosit B).
Gambar 4. Limfosit ayam Rasio Heterofil/Limfosit Gross dan Siegel (1983) menyatakan bahwa rasio heterofil/limfosit merupakan sebuah ukuran yang tepat untuk menunjukkan tingkat cekaman yang dialami ayam pada lingkungan. Rasio heterofil/limfosit darah ayam normal 0.17 (Sturkie dan Grimminger 1976) dan berkisar antara 0.45 – 0.5 (Swensen 1984). Cekaman dapat menyebabkan involusi jaringan - jaringan limpoid (timus, limpa dan bursa fabrisius), sehingga terjadi penurunan jumlah sirkulasi jumlah limfosit dan peningkatan jumlah heterofil (Siegel 1980). Peningkatan jumlah heterofil menyebabkan ayam kebal terhadap infeksi, tetapi tidak terhadap virus (Zulkifli dan Siegel 1995). Respon ayam terhadap gangguan lingkungan pada saat pindah kandang diperlihatkan oleh peningkatan rasio heterofil/limfosit (Maxwell 1993). Gross et al. (1984) menunjukkan bahwa respon ayam terhadap gangguan sosial yang berupa pemindahan ayam jantan ke dalam kelompok baru mengakibatkan kenaikan rasio heterofil/limfosit.
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan bulan September sampai dengan November 2005, di Balai Besar Diklat Agribisnis Peternakan dan Kesehatan Hewan (BBDAPK) Cinagara, Bogor. Analisis pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan (Fapet) IPB Bogor dan Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Cimanggu Bogor. Analisis darah dilakukan di Laboratorium Histologi dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor. Analisis kolesterol karkas (daging dada) dan serum darah dilakukan di Balai Besar Teknologi Pascapanen Cimanggu Bogor. Materi Penelitian Ternak Percobaan Materi penelitian yang digunakan adalah ayam pedaging umur sehari (DOC) Strain Hubbard sebanyak 160 ekor, yang di bagi ke dalam lima perlakuan pakan dimana setiap perlakuan terdiri dari empat ulangan dan setiap ulangan terdiri dari delapan ekor. Kandang dan Perlengkapan Kandang yang digunakan adalah kandang litter sebanyak 20 unit dengan ukuran 1 x 1 x 1 meter, dengan alas sekam padi setebal ±10 cm dan ditutup koran sampai satu minggu agar anak ayam (DOC) tidak memakan sekam. Setiap unit kandang diberi no mor perlakuan dan nomor ulangan serta dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum, perlengkapan kandang terdiri dari lampu yang berfungsi sebagai penerangan sekaligus sebagai pemanas, tempat pakan dan air minum, timbangan, ember. Pemanas yang digunakan bola lampu pijar berdaya 75 watt yang dipasang pada setiap unit kandang dengan ketinggian diatur dan disesuaikan dengan cara melihat kondisi ayam tersebut. Apabila ayam terlihat bergerombol di bawah lampu menandakan panasnya kurang, sehingga lampu diturunkan, begitu juga jika ayam berpencar terlalu jauh dari lampu menandakan ayam kepanasan sehingga lampu harus dinaikan dan apabila ayam menyebar
19
merata menandakan panas yang dibutuhkan ayam cukup. Dinding kandang di tutup dengan plastik sampai umur dua minggu agar ayam tidak kedinginan dan menghindari hembusan angin. Ransum Penelitian Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal tanpa antibiotik, dengan kandungan protein 21%, kadar air 13%, lemak 6%, abu 6.5%, phospor 0.7%, calcium dan serat kasar 4%. Semua ransum perlakuan menggunakan bahan pakan yang sama, hanya berbeda pada konsentrasi penambahan tepung daun sambiloto. Bahan ransum yang digunakan terdiri dari jagung, dedak, tepung ikan, bungkil kedelai, bungkil kelapa, tepung daging dan tulang, pollard, bungkil kacang tanah, vitamin, calcium, phosphate, dan premix. Daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees) kering d iperoleh dari Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Cimanggu Bogor. Tepung daun sambiloto dibuat dengan cara digiling menggunakan cutter grinder. Ransum perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut : Perlakuan 0 (P 0) : Ransum Basal (tanpa penambahan tepung daun sambiloto), Perlakuan 1 (P 1) : Ransum basal + 0.2 % tepung daun sambiloto , Perlakuan 2 (P 2) : Ransum Basal + 0.4 % tepung daun sambiloto, Perlakuan 3 (P 3 ) : Ransum Basal + 0.6 % tepung daun sambiloto, Perlakuan 4 (P 4) : Ransum Basal + 0.8 % tepung daun sambiloto Tabel 2. Kandungan nutrisi tepung daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Kandungan Nurisi Jumlah 89.04 Bahan kering (%) Protein kasar (%) 8.24 18.98 Serat kasar (%) Lemak kasar (%) 0.78 43.72 Beta- N (%) 17.32 Abu (%) Calsium (%) 3.84 0.28 Phosphor (%) 2 287.82 Energi Metabolis (kkal/kg) 0.86 Andrografolida (%) * Hasil analisa :
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2005) * Balai Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Cimanggu - Bogor (2005)
20
Tabel 3. Kandungan nutrisi ransum penelitian Kandungan Nurisi
Jumlah
Bahan kering (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Beta- N (%) Abu (%) Calsium (%) Phosphor (%) NaCl (%) Energi Metabolis (kkall/kg)
85.40 22.09 3.57 5.96 47.48 5.90 1.84 1.72 0.19 2 889.70
Hasil analisa : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2005)
Metode Penelitian Pelaksanaan Penelitian Sebelum penelitian dilaksanakan kandang dan perlengkapannya terlebih dahulu
dibersihkan,
dikapur
dan
disucihamakan
dengan
menggunakan
disinfektan. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah penyimpangan hasil penelitian akibat kemungkinan adanya gangguan penyakit. Hal ini dilakukan satu minggu sebelum ayam datang. Anak- anak ayam (DOC) yang baru datang di timbang dan diberi nomor (tag) pada bagian sayap, kemudian DOC ditempatkan pada masing-masing kelompok secara acak. Lampu dinyalakan terus selama 3 minggu pertama dan selanjutnya hanya dinyalakan pada malam hari. Ransum dan air minum diberikan secara cukup setiap hari dengan menimbang jumlah pakan yang diberikan dan sisa ransum juga ditimbang untuk mengetahui konsumsi ransum yang dihabiskan. Penimbangan sisa ransum dilakukan setiap seminggu sekali. Obat-obatan secara khusus tidak ada, namun untuk mencegah terjadinya stres diberi obat yaitu Vitastres. Pemberian vitastres dilakukan pada saat anak ayam (DOC) baru datang, setelah penimbangan dan setelah vaksinasi. Untuk mencegah penyakit ND (Newcastle Desease) ayam di vaksin dua kali yaitu pada umur 3 hari melalui tetes mata dan umur 21 hari melalui air minum. Vaksin ND yang digunakan adalah vaksin ND lasota.
21
Penimbangan berat badan ayam dilakukan setiap seminggu sekali selama berlangsung penelitian (35 hari). Penimbangan bobot badan dilakukan secara individu. Pengambilan darah selama penelitian dilaksanakan pada minggu 1, 3 dan 5. Darah diambil dari vena axillaris yang terletak dibawah sayap dan dibuat preparatulas darah tipis, untuk mengetahui jumlah sel darah putih (leukosit). Pada akhir minggu ke-5 (umur 35 hari) setelah penimbangan, dua ekor ayam per ulangan dipilih secara acak dan dipotong untuk pengambilan sampel darah. Selanjutnya darah tersebut disentrifus untuk memisahkan antara serum dan darah, kemudian serum dianalisa kadar kolesterolnya. Sebelum ayam dipotong, ayam dipuasakan terlebih dahulu selama 12 jam, selanjutnya setelah dipotong direndam dalam air panas dengan suhu 50-60 0C selama 1-2 menit, dilanjutkan dengan pembersihan bulu serta pemotongan kepala dan kaki. Karkas, hati, jantung, ampela, usus dan lemak abdomen ditimbang untuk diambil datanya. Bagian karkas yang diambil adalah bagian daging dada untuk dianalisa kandungan kolesterolnya. Peubah yang diamati : 1. Konsumsi ransum (g/ekor/minggu) Konsumsi ransum setiap kelompok ulangan dihitung setiap minggu berdasarkan selisih ransum yang diberikan dengan sisa ransum. 2. Pertambahan bobot badan (g/ekor/minggu) Pertambahan bobot badan dihitung setiap minggu berdasarkan bobot akhir dikurangi bobot badan awal setiap minggu selama penelitian. 3. Konversi ransum Koversi ransum dihitung berdasarkan perbandingan antara rataan konsumsi ransum dengan rataan pertambahan berat badan setiap minggu. 4. Persentase mortalitas Persentase mortalitas dihitung berdasarkan perbandingan jumlah ayam mati dengan jumlah ayam total (pada saat datang) x 100 %.
22
5. Indeks Prestasi Indeks prestasi diperoleh dari : Persentase ayam hidup x rataan bobot badan akhir Konversi pakan x lama pemeliharaan
x 10
Keterangan : = 120 121 – 140 141 – 160 161 – 180 181 – 200 = 200
: : : : : :
Prestasi sangat jelek Prestasi jelek Prestasi cukup Prestasi baik Prestasi sangat baik Prestasi Istimewa (North dan Bell 1990)
6. Persentase lemak abdomen Persentase lemak abdomen dihitung berdasarkan perbandingan berat lemak abdomen dengan berat hidup x 100 % 7. Kandungan total kolestero l, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL). Pengukuran kadar kolesterol daging dilakukan berdasarkan metode Lieberman Burchard ( Kleiner dan Dotti 1962 ) 8. Jumlah leukosit (10 3/mm3) Pengambilan darah dilakukan dengan pipet leukosit darah dicampur dengan larutan pengencer modifikasi nees dan echer. Kemudian dengan menggunakan hemasitometer (kamar hitung), banyaknya leukosit dihitung dibawah mikroskop. Jumlah leukosit/mm3 darah = 20 x 10/4 x b butir. (Sastradipraja et al. 1989) Keterangan : 20
: Faktor pengenceran
10/4
: Volume kamar hitung ( hemasito meter )
b
: Hasil perhitungan jumlah leukosit di dalam kamar hitung.
9. Persentase heterofil Persentase heterofil didapat dari butir heterofil dib agi dengan leukosit dikali 100 %.
23
10. Persentase limfosit Persentase limfosit didapat dari butir limfosit dibagi dengan leukosit dikali 100% 11. Rasio heterofil/limfosit Rasio heterofil/limfosit didapat dari perbandingan jumlah heterofil dengan limfosit. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas lima macam perlakuan dan empat ulangan. Model matematisnya adalah sebagai berikut: Yij = µ + αi + εij Yij : nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan ransum ke-i µ : nilai rata-rata sesungguhnya αi : pengaruh perlakuan ransum ke-i εij : pengaruh galat dari satuan percobaan ke-j yang mendapat perlakuan ransum ke-i Analisis Data Analisis data dengan menggunakan sidik ragam (Analisis of Variance) jika hasilnya terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan‘s Multiple Range Test menurut Steel dan Torrie (1991). Data diolah dengan menggunakan komputer program Minitab Statistical Software Release 13.30
HASIL DAN PEMBAHASAN Leukosit, P ersentase Heterofil dan Limfosit Hasil pengamatan terhadap jumlah leukosit, persentase heterofil, limfosit dan rasio heterofil/limfosit ayam pedaging penelitian umur 5 minggu disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan jumlah leukosit, persentase heterofil (H), limfosit (L) dan rasio H/L ayam pedaging penelitian Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Leukosit (103 /mm3 ) 16.90 16.15 11.42 10.73 7.77 Heterofil (%) 27.75 24.33 31.75 37.67 36.25 Limfosit (%) 71.90 64.00 67.58 61.42 62.67 Rasio H/L 0.39 0.38 0.47 0.61 0.58 Keterangan : P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal + 0.2 % tepung daun sambiloto), P 2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto), P3 (Ransum basal + 0.6 % tepung daun sambiloto), P4 (Ransum basal + 0.8 % tepung daun sambiloto) Peubah
Leukosit Jumlah leukosit ayam pedaging tidak menunjukkan hasil yang signifikan diantara perlakuan . Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung daun sambiloto dalam ransum tidak meningkatkan jumlah leukosit ayam pedaging, kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti cekaman yang dialami ayam pada saat penimbangan berat badan, stress pada saat pengambilan sampel darah dan udara panas. Menurut Sturkie dan Grimminger (1976) faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit adalah jenis kelamin, umur, pakan, lingkungan dan obat-obatan. Rataan jumlah leukosit pada ayam penelitian (Tabel 4) berada dibawah kisaran normal. Sturkie (1976) melaporkan jumlah leukosit normal pada ayam umur 2-21 minggu sebesar 29.400/mm3, Swensen (1977) sebesar 20.00030.000/mm3. Penambahan 0.2 -0.8 % tepung daun sambiloto dalam ransum belum memperlihatkan respon imun pada ayam berdasarkan jumlah leukosit yang dihasilkan. Kondisi ayam yang demikian disebut imunosupresan. Menurut Deng (1978) pemberian sambiloto diduga berkaitan erat dengan fungsi sambiloto
25
sebagai imunosupresan. Unandar (2003) menyatakan ayam tidak memberikan respon yang optimal terhadap rangsangan sesuatu yang bersifat imunogenik, yang dalam hal ini adalah feed additive ransum. Feed additive yang dimaksud adalah tepung daun sambiloto. Pada minggu ke tiga rata-rata jumlah leukosit naik untuk semua perlakuan (P 0, P 1, P 2, P3 dan P4). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tepung daun sambiloto yang mengandung zat aktif serta perlakuan vaksin yang bersifat merangsang tanggap kebal dalam tubuh ayam sehingga meningkatkan jumlah leukosit. Meningkatnya rangsangan produksi leukosit merupakan proses timbulnya
kekebalan.
Adanya
androgopholid
dalam
sambiloto
sebagai
immunostimulan membantu tubuh ayam dalam mencegah infeksi mikroorganisme maupun benda asing ditandai dengan meningkatnya jumlah leukosit (Puri et al. 1993; Iptek 2002). Untuk lebih jelas jumlah leukosit pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5. Jumlah Leukosit (103/mm 3)
30 25 20
Po
15
P1
10
P2
5
P3 P4
0 1
3
5
Minggu
Gambar 5. Jumlah leukosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu Berdasarkan kisaran jumlah leukosit hasil penelitian secara keseluruhan berada di bawah kisaran normal, kemungkinan bahwa ayam penelitian mengalami stress panas karena lingkungan. Heterofil Persentase heterofil ayam pedagin g tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara perlakuan. Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah persentase heterofil terjadi fluktuasi diantara perlakuan. Berfluktuasinya persentase heterofil diduga
26
berkaitan
erat
dengan
fungsi
sambiloto
sebagai
imunosupresan
dan
imunostimulan. Mekanisme kerja dari herba sambiloto sebagai imunosupresan sangat terkait dengan keberadaan dari kelenjar adrenal. Hal ini dikarenakan sambiloto dapat merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropik hormon (ACTH) dari kelenjar pituitar i anterior yang berada didalam otak yang selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal bagian kortek untuk memproduksi kortisol. Kortisol yang dihasilkan ini selanjutnya akan bertindak sebagai imunosupresan. Akibat pelepasan kortisol sistem imun ayam akan ditekan. Penampakan hal tersebut terlihat dari penurunan persentase heterofil sebagai salah satu sistem kekebalan. Peningkatan fungsi heterofil dikarenakan fungsi sambiloto sebagai imunostimulan (Puri et al. 1993). Rataan persentase heterofil ayam penelitian berkisar antara 27.75-37.67%. Hasil ini lebih besar dari yang dilaporkan oleh Swensen (1977) kisaran normal persentase ayam sebesar 25-30 %. Sturkie dan Grimminger (1976) menyatakan bahwa efek pemberian obat-obatan akan meningkatkan jumlah heterofil. Dalam hal ini tanaman obat yang ditambahkan pada ransum pada penelitian ini yaitu tanaman sambiloto. Kanniapan et al. (1991); Nuratmi et al. (1996) menyatakan bahwa andrographolid bersifat sebagai antiimflamasi dan antibakteri sehingga rata-rata persentase heterofil melebihi normal. Rataan persentase heterofil ayam pedaging selama penelitian disajikan pada Gambar 6. 60
Po
Heterofil (%)
50
P1
40 30
P2
20
P3
10
P4
0 1
3
5
Minggu
Gambar 6. Persentase heterofil ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu
27
Gambar 6 terlihat bahwa rataan persentase heterofil cenderu ng meningkat sesuai dengan bertambahnya umur untuk setiap perlakuan. Peningkatan persentase heterofil diduga terkait dengan fungsi heterofil sebagai basis pertahanan tubuh pertama yang langsung bereaksi apabila terdapat bahan asing yang masuk kedalam tubuh (Tizzard 1987). Ganong (1995) menyatakan bahwa heterofil akan mencari, mencerna dan membunuh benda asing serta berperan
sebagai garis
pertahanan pertama. Puri et al. (1993) menyatakan bahwa peningkatan persentase heterofil dikarenakan fungsi sambiloto sebagai immunostimulan. Menurut Mills dan Bone (2000) androgopolide yang berfungsi sebagai immunostimulan akan membantu tanggap kebal tubuh ayam terhadap infeksi Emiria tenella yang terjadi pada dinding usus dengan cara meningkatkan mobilisasi sel heterofil dalam memfagosit parasit di dinding usus. Kisaran heterofil yang tinggi pada ayam penelitian ini dari kisaran normal mengindikasikan adanya upaya ayam tersebut untuk meningkatkan sistem kekebalan terhadap serangan penyakit atau benda asing sehingga dalam hal ini sambiloto berperan merangsang jumlah heterofil dalam jumlah banyak. Limfosit Persentase limfosit ayam pedaging tidak menunjukkan hasil yang signifikan diantara perlakuan. Artinya penambahan tepung daun sambiloto dengan level 0.2-0.8 % pada ransum tidak mempengaruhi persentase limfosit ayam
Limfosit (%)
penelitian. Rataan persentase limfosit disajikan pada Gambar 7. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Po P1 P2 P3 P4 1
3
5
Minggu
Gambar 7. Persentase limfosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu
28
Gambar 7. terlihat bahwa persentase limfosit pada minggu pertama melebihi kisaran normal. Kisaran limfosit yang lebih tinggi dari kisaran normal mengindikasikan adanya upaya ayam tersebut untuk meningkatkan sistem kekebalan terhadap serangan penyakit atau benda asing sehingga dalam hal ini tepung daun sambiloto berperan merangsang jumlah limfosit dalam jumlah banyak. Puri et al. (1993) menyatakan bahwa sambiloto dapat merangsang sistem kekebalan tubuh baik berupa respon kekebalan spesifik maupun non spesifik. Kekebalan spesifik ditandai dengan adanya peningkatan persentase limfosit dalam jumlah besar terutama limfosit B. Limfosit B akan menghasilkan antibodi yang merupakan plasma glikoprotein yang akan mengikat antigen dan merangsang proses fagositosis, sedangkan kekebalan non spesifik ditandai dengan adanya peningkatan
persentase
heterofil.
Tizzard
(1987)
unsur
utama
dalam
mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang salah satunya adalah limfosit. Disamping itu tingginya persentase limfosit dari normal kemungkinan disebabkan oleh cekaman yang diperoleh setelah vaksinasi dan setelah penimbangan berat badan. Pada minggu ke tiga dan ke lima persentase jumlah limfosit cenderung normal pada setiap perlakuan. Menurut Swensen (1977) rata-rata persentase limfosit ayam berkisar antara 55-60 %; Sturkie (1976) berkisar antara 60-69 %. Kisaran limfosit yang normal menunjukkan adanya upaya ayam tersebut untuk mempertahankan kekebalan tubuh terhadap serangan penyakit maupun benda asing. Rasio Heterofil/Limfosit Rasio heterofil/limfosit merupakan sebuah ukuran yang cepat untuk menunjukkan tingkat cekaman yang dialami ayam pada lingkungan (Gross dan Siegel 1983). Rataan rasio heterofil/limfosit pada penelitian berkisar antara 0.151.32 (Tabel 4) Hasil penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan rasio heterofil/limfosit yang dilaporkan Sugiarto (2003) yaitu berkisar 0.02-0.17 dan Rahayu (2000) sebesar 0.19-0.40. Menurut Sturkie dan Grimingger (1976) nilai
29
rasio heterofil/limfosit normal adalah 0.17 sedangkan Swensen (1977) sebesar 0.45-0.50. Lebih tingginya rasio dalam penelitian ini, kemungkinan karena pengaruh penambahan tepung daun sambiloto dalam ransum. Menurut Iptek (2002) ekstrak sambiloto mampu meningkatkan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan ditandai dengan meningkatnya netrofil dan limfosit pada tikus. Menurut Siegel (1980) sel darah putih merespon stres dengan meningkatkan jumlah heterofil untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit akibat bakteri. Gross (1962) menyatakan bahwa pertahanan melawan infeksi virus maupun bakteri lebih banyak melib atkan peran limfosit dan heterofil secara berturut-turut. Cekaman yang mengakibatkan kenaikan jumlah heterofil dan penurunan jumlah limfosit akan meningkatkan ketahanan terhadap infeksi bakteri tetapi tidak untuk infeksi virus begitu juga sebaliknya (Zulkifli dan Siegel 1995). Rataan rasio heterofil/limfosit ayam pedaging penelitian disajikan pada
Rasio heterofil/limfosit
Gambar 8. 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2
Po P1 P2 P3 P4
0 1
3
5
Minggu
Gambar 8. Rasio heterofil/limfosit ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu Pada penelitian ini perlakuan P3 (penambahan 0.6% tepung daun sambiloto) menunjukkan ayam menderita cekaman diantara perlakuan lain kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan.
30
Kandungan kolesterol daging dada, High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL) darah Hasil pemeriksaan terhadap kandungan kadar kolesterol pada daging dada ayam pedaging dan LDL yang diberi ransum perlakuan sambiloto sampai level P 3 menunjukkan bahwa nyata (P<0.01) menurun, sedangkan HDL nyata meningkat (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol (P 0). Kandungan kolesterol total daging dada, HDL dan LDL serum darah disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan kandungan kolesterol total daging dada, HDL dan LDL serum darah ayam pedaging Peubah Kolesterol Total (mg %) HDL ( mg/dl) LDL (mg/dl) Rasio HDL : LDL Keterangan :
P0 42.72 ± 0.84 A 69.63 ± 9.16 a 71.47 ± 20.97 a
P1 34.66 ± 0.60 B 106.30 ± 7.80 b 34.17 ± 3.72 b
Perlakuan P2 28.29 ± 0.78 C 102.15 ± 6.18 b 41.52 ± 3.37 b
P3 20.52 ± 0.70 D 97.11 ± 5.02 b 39.95 ± 8.29 b
P4 21.43 ± 0.76 D 93. 48 ± 10.04 b 63.57 ± 20.71 a
0.97
3.10
2.41
2.26
1.47
P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal + 0.2 % tepung daun sambiloto), P 2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto), P3 (Ransum basal + 0.6 % tepung daun sambiloto), P4 (Ransum basal + 0.8 % tepung daun sambiloto). S uperscrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0.01). Superscrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05)
Pengaruh perlakuan tepung daun sambiloto terhadap kandungan kolesterol total daging dada menunjukkan hasil yang signifikan (P<0.01) diantara perlakuan (Tabel 5). Nugroho et al. (2001) melaporkan bahwa pemberian ekstrak sambiloto dosis 160 mg/100g bb (berat badan) selama 8 minggu menurunkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) dan menaikan kolesterol HDL (High Density Lipoprotein ) secara bermakna pada tikus putih. Kandungan kolesterol daging dada ayam pedaging umur lima minggu akibat penambahan tepung daun sambiloto nyata mengalami penurunan. Rataan penurunan kandungan kolesterol daging dada ayam pedaging selama penelitian cukup tajam. Hal ini terlihat antara perlakuan 0% (P 0) dengan 0.2% (P 1) sebesar 18.87 %, antara 0% (P 0) dengan 0.4% (P 2) sebesar 32.78 %, antara 0% (P 0) dengan 0.6% (P 3) sebesar 51.96 %, antara 0% (P 0) dengan 0.8% (P 4) sebesar
31
49.84 % sangat berbeda (P<0.01), demikian juga antara perlakuan 0.2% (P 1) dengan 0.4% (P 2) sebesar 18.38 %, antara 0.2% (P 1) dengan 0.6% (P 3) sebesar 40.80 %, antara 0.2% (P 1) dengan 0.8% (P 4) sebesar 38.17 % dan penambahan 0.4% (P 2) dengan 0.6% (P 3) sebesar 26.89 %, antara 0.4% (P 2) dengan 0.8% (P 4) sebesar 24.25 % terlihat perbedaan yang nyata, sedangkan antara penambahan 0.6% (P 3) dengan 0.8% (P 4) tidak terlihat perbedaan yang nyata. Kandungan kolesterol total terendah terjadi pada pada penambahan 0.6% (P 3) sebesar 20.52 ± 0.70 mg% (Tabel 5). Proses penurunan kolesterol pada penelitian ini dapat diduga terjadi akibat pengaruh tepung daun sambiloto yang mengandung zat aktif andrographolide yang menghambat efek fisiologis dalam tubuh dalam menghambat sintesa cairan empedu, sehingga sekresi cairan empedu menurun. Akibat menurunnya sekresi cairan empedu, maka kecernaan lemak kasar dan absorbsi lemak juga menurun sehingga komponen lemak dan kolesterol menjadi berkurang. Dalam mekanisme ini kolesterol berperan sebagai prekusor pembentukan asam empedu. Mills dan Bone (2000) menyatakan bahwa sambiloto berperan dalam merangsang produksi empedu. Zat aktif sambiloto di dalam usus halus akan mengikat asam empedu dan lemak yang akan membentuk senyawa komplek yang susah untuk diserap usus dan akan dikeluarkan bersama feses. Peningkatan asam empedu akan meningkatkan ekskresi kolesterol sehingga kadar kolesterol pada jaringan menurun (de Roos dan Katan 2000). Mayes (1999) menyatakan bahwa 2/3 kolesterol disintesa di dalam tubuh sedangkan yang 1/3 berasal dari makanan yang di konsumsi. Menurut Piliang dan Djojosoebagio (1990), kadar kolesterol di dalam darah dianggap aman jika tidak melebihi 225 mg/dl. Berdasarkan Tabel 5 kandungan HDL hasil penelitian nyata mengalami peningkatan cukup tajam (P < 0.05) antara P0 dengan P1, P2, P 3 dan P4 berturutturut sebesar 52.66 %, 46.70 %, 39.47 % dan 34.25 %. Kandungan HDL paling tinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 106.30 ± 7.80 mg/dl, sedangkan kandungan LDL nyata mengalami penurunan (P < 0.05) antara P0 dengan P1, P2, P3 dan P 4 berturut-turut sebesar 52.19 %, 41.91 %, 44.10 %, 11.05 %. Kandungan LDL paling rendah terdapat pada perlakuan P1 sebesar 34.17 ± 3.72 mg/dl.
32
Rasio HDL-LDL perlakuan yang diberikan daun sambiloto memberikan respon yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol (P 0 ). Hal ini menggambarkan bahwa kekuatan peran dari HDL lebih besar daripada LDL di dalam proses pembentukan ko lesterol daging dada ayam pedaging. Lehninger (1997) menyatakan jika kandungan HDL meningkat maka kandungan kolesterol total akan menurun karena HDL akan mentransfer kolesterol dari jaringan otot menuju hati sedangkan peranan LDL merupakan kebalikan dari peranan HDL yaitu mentransfer kolesterol dari hati ke jaringan. Taraf penambahan tepung daun sambiloto dalam ransum memiliki tendensi meningkatkan HDL dan LDL yang diikuti dengan penurunan kandungan kolesterol. Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan transportasi kolesterol dari jaringan hati sehingga kandungan kolesterol pada daging dada menurun. Kandungan HDL yang tinggi akan bermanfaat dalam menurunkan resiko penyakit jantung koroner dan mencegah terjadinya atherosklerosis (Heslet 1977 dan Wirahadikusuma 1985). Rasio HDL dan LDL paling tinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 3.10. Menurut Alais dan Linden (1991) bahwa resiko atherosklerosis akan tinggi apabila rasio HDL dan LDL kurang dari 0.25. Peningkatan rasio HDL-LDL ini akan memberikan informasi mengenai peningkatan HDL serta kesehatan ayam pedaging yang dihasilkan sehingga aman bagi konsumen. Performa ayam pedaging Hasil pengamatan terhadap konsumsi ransum total, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam pedaging umur 5 minggu disajikan pada Tabel 6.
33
Tabel. 6 Rataan konsumsi ransum total, pertambahan berat badan dan konversi ransum ayam pedaging penelitian
1 449.06 ± 35.86
Pertambahan berat badan (gr/ekor/minggu) 281.09 ± 6.92
1.84 ± 0.04
1 444.69 ± 29.66 1 470.63 ± 39.95
279.79 ± 5.98 285.16 ± 7.08
1.84 ± 0.04 1.81± 0.04
Perlakuan
Konsumsi ransum total (gr/ekor)
Berat akhir (gr/ekor)
P0
2 662.19 ± 5.62
P1 P2
2 664.38 ± 1.25 2 664.41 ± 1.20
Konversi ransum
P3 2 652.19 ± 16.89 1 471.86 ± 59.92 285.22 ± 11.77 1.80 ± 0.06 P4 2 660.00 ± 6.52 1 433.75 ± 33.56 280.25 ± 9.24 1.85 ± 0.05 Keterangan : P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal + 0.2 % tepung daun sambiloto), P 2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto), P3 (Ransum basal + 0.6 % tepung daun sambiloto), P4 (Ransum basal + 0.8 % tepung daun sambiloto).
Konsumsi Ransum Nilai konsumsi ransum sangat menentukan dalam analisis ekonomi pemeliharaan ayam potong. Ransum yang dikonsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan untuk hidup pokok, produksi dan pertumbuhan. Perlakuan penambahan tepung daun sambiloto dalam ransum ayam pedaging terhadap konsumsi ransum menunjukkan hasil yang tidak signifikan (Tabel 6). Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan tepung daun sambiloto tidak memperbaiki dan juga tidak menurunkan terhadap konsumsi ransum ayam penelitian. Hasil ini sama dengan penelitian Tipakorn (2002) bahwa penggunakan tepung daun sambiloto sebanyak 0.1-0.4 % ternyata tidak mempengaruhi konsumsi ransum ayam broiler. Selanjutnya dilaporkan oleh Wanti (2004), pemberian air rebusan daun dan batang sambiloto level 7.5-22.5 ml/ekor tidak menyebabkan peningkatan konsumsi ransum ayam petelur. Hal ini karena pada setiap ransum perlakuan mengandung nutrisi yang sama. Disamp ing hal tersebut walaupun sambiloto mengandung zat aktif yaitu androgopholid yang terasa pahit dan bau yang menyengat ternyata tidak mempengaruhi konsumsi ransum selama penelitian sehingga palatabilitas ransum tetap baik. Berbeda dengan hasil tersebut Nuratmi et al. (1996) khasiat tanaman sambiloto antara lain adalah meningkatkan nafsu makan dan memperbaiki saluran pencernaan. Zat pahit dari sambiloto yang
34
dikonsumsi akan merangsang sekresi kelenjar saliva (Prapanza dan
Marianto
2003). Meskipun tidak menunjukkan hasil yang signifikan, namun pada Tabel 6 terlihat bahwa ayam yang mendapat ransum yang mengandung tepung daun sambiloto 0.6 % (P 3) cenderung mengkonsumsi ransum lebih rendah yaitu sebesar 2 652.19 ± 16.89 gr/ekor atau sekitar 0.36 %, 0.46 %, 0.46 % dan 0.29 % dibandingkan berturut-turut dengan perlakuan P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal + 0.2 % tepung daun sambiloto), P2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto) dan P4 (Ransum basal + 0.8 % tepung daun sambiloto). Rataan konsumsi ransum mingguan disajikan pada Gambar 9. 1000 Konsumsi Ransum gr/ekor/minggu
P0 800
P1 P2
600
P3 400
P4
200 0 1
2
3
4
5
Umur (minggu)
Gambar 9. Konsumsi ransum mingguan ayam pedaging penelitin sampai umur 5 minggu Gambar 9 terlihat bahwa rataan konsumsi ransum meningkat dengan bertambahnya umur hingga minggu akhir penelitian. Peningkatan konsumsi ini diperlukan sejalan dengan bertambahnya ukuran tubuh ayam sesuai pendapat North dan Bell (1990), konsumsi pakan mingguan akan meningkat seiring dengan kenaikan bobot tubuh. Menurut Scott et al. (1982), bahwa sebagian besar pakan yang dikonsumsi ayam digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi pertumbuhan, jaringan tubuh dan melaksanakan aktivitas fisik.
35
Pada penelitian ini konsumsi ransum berkisar antara 2 652.19 – 2 664.41 gr/ekor. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Widjaya (2005) berkisar antara 2 767.62 – 2 842.41 gr/ekor, akan tetapi lebih tinggi dari yang dilaporkan National Research Council (1994) dimana konsumsi ransum pada minggu ke lima sebesar 2.576 gr/ekor. Perbedaan ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain Strain, lingkungan atau tempat pemeliharaan. Wahyu (1982) menyatakan banyaknya makanan yang dikonsumsi tergantung pada jenis ternaknya (strain), aktivitas, temperatur, lingkungan dan pertumbuhan maupun untuk mempertahankan produksi serta tingkat energi di dalam ransum. Pertambahan berat badan Pertambahan berat badan tidak menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata diantara perlakuan (Tabel 6). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan zat-zat makanan yang tidak berbeda antara kontrol dengan perlakuan (pemberian tepung daun sambiloto dalam ransumnya). Disamping itu bahan aktif yang ada pada sambiloto antara lain androgapholid yang tidak mempengaruhi proses metabolisme yang merugikan pada ternak. Hasil penelitian ini sama dengan yang dilaporkan Tipakorn (2002) bahwa pemberian tepung sambiloto dengan level 0.1% sampai 0.4 % tidak berpengaruh terhadap bobot badan. Hasil yang ditunjukkan pada rataan pertambahan berat badan perminggu terlihat meningkat seiring bertambahnya umur pemeliharaan. Menurut North and Bell (1990) peningkatan pertambahan berat badan tidak terjadi secara seragam. Setiap minggunya pertumbuhan ayam mengalami peningkatan hingga mencapai pertumbuhan maksimal setelah itu mengalami penurunan. Jull (1979) menyatakan bahwa peningkatan yang terjadi pada ukuran tubuh akan membawa serta meningkatnya organ tubuh dan jaringan struktural seperti tulang dan otot. Lebih jelas mengenai hasil ini dapat dilihat pada Gambar 10.
36
Pertambahan bobot badan (gr/ekor/minggu)
500 400
P0
300
P1 P2 P3 P4
200 100 0 1
2
3
4
5
Umur (minggu)
Gambar 10. Pertambahan berat badan mingguan ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu Konversi ransum Nilai konversi ransum semua perlakuan cukup baik (1.80 – 1.85) dan tidak menunjukkan hasil yang signifikan diantara perlakuan (Tabel 6). Nilai konversi ransum yang diperoleh pada penelitian ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Tipakorn (2002) melaporkan bahwa pemberian tepung sambiloto dengan berbagai level (0.1- 0.4 %) tidak berpengaruh terhadap konversi ransum. Secara statistik konversi ransum tidak berpengaruh nyata namun apabila ditinjau dari sudut ekonomi nilai konversi ransum P3 lebih baik dari yang lainnya, dimana pada perlakuan P0 (kontrol) nilai konversi ransum sebesar 1.84, sedangkan pada perlakuan P3 (penambahan tepung daun sambiloto 0.6 %) nilai konversi ransum sebesar 1.80, berarti ada selisih 0.04. Apabila harga ayam Rp.8.000,00/kg berarti ada nilai lebih sebesar Rp.320,00/ekor. Jika berat ayam 1.000 kg maka nilai lebih yang di dapat sebesar Rp.320.000,00. Hasil ini menunjukkan bahwa tanaman sambiloto dapat digunakan sebagai feed suplemen untuk meningkatkan efisiensi peningkatan ransum pada ayam pedaging. Menurut Tipakorn (2002) menyatakan zat aktif dalam sambiloto dapat menyebabkan menipisnya dinding usus, bersifat antibakterial yang dapat menghambat bakteri patogen dan dapat menghambat aktivitas enzim urease. Perkembangan bakteri patogen dan aktivitas enzim urease yang terhambat menyebabkan semakin sedikit protein atau asam amino yang dirombak menjadi produk amonia dan air, sehingga protein atau
37
asam-asam amino yang terdapat dalam pakan dapat dimanfaatkan lebih baik untuk pertumbuhan berat badan. Nilai konversi ransum pada penelitian ini (Tabel 6) lebih rendah dari yang dilaporkan Widjaya (2005) bahwa nilai konversi ransum ayam pedaging umur 5 minggu berkisar antara 1.81-2.24. Rendahnya nilai konversi ransum pada perlakuan P3 kemungkinan dikarenakan oleh produk metabolisme yang terdapat pada daun sambiloto, sehingga secara langsung produk metabolisme tersebut dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak untuk membentuk atau menambah ukuran jaringan baru, sehingga dapat memperbaiki angka konversi ransum. Rendahnya konversi ransum pada perlakuan P3 memberikan pengaruh positif yang ditandai dengan rendahnya jumlah konsumsi ransum dan tingginya pertambahan berat badan dibandingkan dengan kontrol (P 0) (Tabel 6). Semakin tinggi nilai konversi ransum menunjukkan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan persatuan berat. Demikian sebaliknya semakin rendah nilai konversi ransum semakin baik kualitas ransum. Anggorodi (1985) melaporkan bahwa konversi ransum merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran tentang tingkat efisiensi penggunaan ransum. Semakin rendah nilai konversi ransum, maka semakin tinggi tingkat efisiensi penggunaan ransumnya. Nilai efisiensi pakan yang besar merupakan tujuan utama dalam pemeliharaan ayam. Hal tersebut karena efisiensi pakan berhubungan dengan tingkat pertumbuhan ayam. Jull (1979) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi efisiensi penggunaan pakan. Ayam yang memiliki pertumbuhan yang cepat lebih efisien dalam menggunakan pakan daripada ayam pertumbuhan lambat (Esminger 1992). Untuk lebih jelas mengenai konversi ransum pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.
38
Konversi Ransum
3 2,5
P0
2
P1 P2 P3 P4
1,5 1 0,5 0 1
2
3
4
5
Umur (minggu)
Gambar 11. Konversi ransum mingguan ayam pedaging penelitian sampai umur 5 minggu Mortalitas Mortalitas adalah angka yang menunjukkan jumlah ayam yang mati selama
pemeliharaan. Mortalitas merupakan faktor yang harus diperhatikan
dalam suatu usaha peternakan ayam. Menurut North dan Bell (1990) faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian antara lain bobot badan, bangsa, tipe ayam, kebersihan lingkungan, sanitasi peralatan dan penyakit. Selama penelitian berlangsung tidak ada mortalitas (0 %). Hal ini kemungkinan karena kekebalan tubuh ayam pedaging meningkat selama penelitan. Tipakorn (2002) melaporkan bahwa pemberian tepung sambiloto dengan level 0.1–0.4 % berpengaruh menurunkan mortalitas dibanding kontrol. Semakin tinggi level sambiloto yang digunakan semakin rendah mortalitas ayam pedaging. Tanaman sambiloto dapat mengobati berbagai penyakit diantaranya penyakit saluran pencernaan dan pernafasan (Abeysekeres et al. 1990), antidiare yang disebabkan oleh bakteri (Gupta et al. 1990 ; Kanniapan et al. 1991). Selanjutnya Dairse dan Sulaeman (1997) menyatakan jamu – jamuan bersifat sebagai antibakteri yang mampu membunuh mikroorganisme patogen seperti Eschenchia coli, Streptococcus aureus dan Salmonella typhosa, sambiloto mampu meningkatkan immunostimulant (Nuratmi et al. 1996).
39
Indeks Produksi Salah satu cara yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam usaha ternak adalah dengan menghitung indeks produksi. Menurut Arifien (1997) tingkat keberhasilan usaha ternak tidak hanya dipengaruhi rendahnya nilai konversi ransum akan tetapi juga perlu dilihat indeks produksinya. Indeks produksi dipengaruhi oleh bobot badan akhir, persentase ayam yang hidup, lama pemeliharaan dan konversi ransum. Indeks produksi ayam pedaging dari lima macam ransum perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Indeks produksi ayam pedaging penelitian Perlakuan
Peubah P0 Persentase ayam hidup Rataan bobot badan akhir (gr /ekor) Konversi ransum
P1
P2
P3
P4
100
100
100
100
100
1 449.06
1 444.69
1 470.63
1 470.94
1 446.25
1.84
1.84
1.81
1.80
1.84
Lama pemeliharaan (hari)
35
35
35
35
35
Indeks produksi
225.00
224.33
228.36
228.41
224.57
Prestasi Keterangan :
Istimewa Istimewa Istimewa Istimewa Istimewa P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal + 0.2 % tepung daun sambiloto), P 2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto), P3 (Ransum basal + 0.6 % tepung daun sambiloto), P4 (Ransum basal + 0.8 % tepung daun sambiloto)
Dari Tabel 7 terlihat bahwa indeks produksi tertinggi dicapai pada pakan perlakuan P3 dan P2 yaitu 228.41 dan 228.36. Namun secara numerik terlihat bahwa nilai indek produksi diantara perlakuan tidak jauh berbeda. Menurut Ariefin (1997); Anisuzzaman dan Chowdhury (1995), standar indeks produksi ayam pedaging adalah 200, semakin tinggi indeks produksi maka semakin baik performa ayam pedaging tersebut.
40
Lemak Abdomen Lemak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi selera konsumen terhadap ayam pedaging. Salah satu sifat daging ayam broiler adalah kandungan lemaknya yang lebih tinggi dibandingkan dengan daging ayam kampung (Abubakar et al. 1998), dan umumnya masyarakat menyukai daging ayam dengan kandungan lemak yang rendah untuk menghindari kadar kolesterol tinggi. Salah satu dari beberapa bagian tubuh yang digunakan untuk menyimpan lemak pada ayam pedaging adalah bagian disekitar perut yang disebut lemak abdomen. Rataan persentase lemak abdomen ayam pedaging umur 5 minggu disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan persentase lemak abdomen ayam pedaging peneelitian Satuan
P0 ab
(%)
0.83 ± 0.21
Keterangan :
Perlakuan P2
P1 0.67 ± 0.08
b
0.67 ± 0.08
b
P3 0.63 ± 0.09
P4 b
0.93 ± 0.12 a
P0 (Ransum basal tanpa penambahan tepung daun sambiloto), P1 (Ransum basal + 0.2 % tepung daun sambiloto), P 2 (Ransum basal + 0.4 % tepung daun sambiloto), P3 (Ransum basal + 0.6 % tepung daun sambiloto), P4 (Ransum basal + 0.8 % tepung daun sambiloto). S uperscrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05)
Perlakuan tepung daun sambiloto secara nyata (P<0.05) mempengaruhi persentase berat lemak abdomen. Ayam yang diberi pakan mengandung sambiloto 0.8 % (P 4 ) mempunyai lemak abdomen yang nyata lebih tinggi dari perlakuan lainnya dan antara perlakuan P1, P2, dan P 3 tidak menyebabkan adanya perbedaan pada lemak abdomen. Rataan persentase berat lemak abdomen pada penelitan ini (0.63-0.93 %) lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Bilgili et al. (1992), dimana persentase lemak abdomen ayam pedaging berkisar antara 2.63.6% persentase lemak abdomen berkisar antara 1.40-2.60 % dari berat hidup (Leeson dan Summer 1980). Resnawati (2004) persentase lemak abdomen berkisar antara 1.50-2.11 %. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan strain dan kandungan nutrisi ransum. Mabray et al. (1980) bahwa tingkat energi dan asam amino dalam ransum nyata mempengaruhi lemak abdomen. Bertambahnya umur
41
ayam pedaging dan meningkatnya energi dalam ransum makin men ingkatkan lemak abdomen (Deaton dan Lott 1985). Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan lemak abdomen yang mendapat penambahan tepung daun sambiloto cenderung (P<0.05) mengalami penurunan dibandingkan kontrol (P 0). Rendahnya kandungan lemak abdomen yang diberi perlakuan tepung daun sambiloto ini diduga karena kandungan zat aktif yang dimilikinya dapat mengurangi sekresi dari kelenjar empedu yang menyebabkan penurunan absorbsi dari asam-asam lemak dalam tubuh. Padahal lemak tubuh ini berasal dari lemak yang diabsorbsi dari ransum (lemak eksogenous) dan lemak yang disintesis dalam tubuh (lemak endogenous). Penurunan lemak abdomen ini diduga karena adanya komponen zat aktif dari tepung daun sambiloto yaitu androgopholid yang larut air. Androgopholid ini diduga akan ikut terekskresi sebagai feses keluar tubuh sehingga deposisi lemak di dalam tubuh menurun. Menurut Luthfi et al. (1998) menyatakan kelebihan energi akan disimpan dalam bentuk lemak abdomen, lapisan bawah kulit dan jaringan daging. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung daun sambiloto dalam ransum mampu mempengaruhi pembentukan lemak abdomen ayam pedaging.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian tepung daun sambiloto tidak mempengaruhi profil darah putih (jumlah leukosit, persentase heterofil dan limfosit), dan performa (konsumsi ransum, pertambahan berat badan dan konversi ransum) ayam pedaging penelitian, sedangkan kandungan kolesterol total menurun, meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL) dan menurunkan Low Density Lipoprotein (LDL) dan lemak abdomen. Penambahan 0.6 % tepung daun sambiloto dalam ransum merupakan level terbaik terhadap kandungan kolesterol total, HDL dan LDL serta performa ayam pedaging penelitian. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pemberian tepung daun sambiloto terhadap ayam pedaging maupun ayam petelur dengan level di atas 0.8 %. (lebih tinggi).
DAFTAR PUSTAKA Abeysekers AM, De Silva KT, Ratnayake S. 1990. An Iridoid Glucoside from Andographis paniculata . Fitoterapi. 61: 473-474 Abubakar R, Dharsana, Nataamijaya RG. 1998. Preferensi dan Nilai Gizi Daging Ayam Hasil Persilangan (Pejantan Buras dengan Betina Ras) dengan Pemberian Jenis Pakan yang Berbeda. Bogor. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 1- 2 Desember 1998. hlm 779 – 785. Alais C, Linden G. 1991. Food Biochemistry. London. Ellis Horwood Ltd. Anggorodi R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Jakarta. Universitas Indonesia Press. Anisuzzaman M, Chowdhury SD. 1995. Use for Litter of Reasing Broiler. Brit Poult Sci. 365:541 – 545. Arifien M. 1997. Kiat Menekan Konversi Pakan pada Ayam Broiler. Edisi Januari. Poult Indones 203: 11 – 12. Billgili SF, Moran ET, Acar N. 1992. Strain Cross Response of Heavy Male Broilers to Dietary Lysine Infinisher Feed Live Perfo rmance and Further Processing Yield. Poult Sci : 71 : 850 - 858 Boehringer Mannhaem GMBH Diagnostik, 1987. Enzymatic Cholesterol High Performance CHOD – PAPKIT. France SA 38240. Bordwell CE, Erdman JW. 1988. Nutrient interaction . New York. Marcel Dekker. Brown BA. 1989. Haematology Principles and Procedurs. Ed ke-3. Philadelphia. Lea and Febiger. Dairse M, Sulaeman. 1997. Ekstraksi Komponen Kimia Daun Katuk asal Sulawesi Selatan Berbagai Metode serta Penelitian Daya Hambat terhadap Bakteri Uji. Warta Tumbuhan Obat Indonesia . 3 (3):37 – 38 Deaton JW, Lott BD. 1985. Age and Dietary Energy Effect on Broiler Abdominal Fat Deposition. Poult Sci. 64 : 2161 - 2164 Dellman HD, Brown EM. 1989. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-3 Jakarta. Iowa State University. Ames Iowa. Terjemahan. UI Press. Deng WL. 1978. Preliminary studies on the Pharmacology of the Andrograpis product Dihydroandrographolide Sodium Succinate. Newsletters of Chinese Herb Med 8: pp 26-28. http://www.altcancer.com/andcan.htm# 101. De Roos NM, Katan MB. 2000. Effect of Probiotik Bacteria on Diarrhea, Lipid Metabolism and Karsino Genesis. A Review of Paper Published Between 1988 dan 1998. Am J Clic Nutr. 71 (2) : 405–411. Effendi C. 1983. Pengaruh inokulasi ookista Eimeria tenella pada gambaran darah ayam petelur jantan.(Tesis). Bogor. Program Pas casarjana. Institut Pertanian Bogor.
44
Esminger ME. 1992. Poultry Science. Ed ke-3.United States of America. Interstate Publisher, Inc. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed. Ke-4 Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Ganong WF. 1983. Review of Medical Physiology. Ed ke 10. California. Lange Medical Publication. Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-14. Jakarta. Terjemahan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Girindra A. 1988. Biokimia I. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustak a Utama. Gross WB. 1962. Blood Culture, Blood Counts and Temperature Record in an Experimentally Produced Air Sac Disease an Uncomplicated Escherichia coli Infection of Chicken. Poult Sci. 41 : 691-700 Gross WB, Siegel HS. 1983. Evaluation of Heterofil/Limphocyte Ratio as a Measure of Stress Chickens. Avi Dis. 27:972-979 Gross WB, Dunnington EA, Siegel PB. 1984. Enviromental Effects on the will Being of Chickens from Lines Selected for Responses to Sosial Strife. Arch. Geflugelled. 48 : 3-7 Gupta S, Choudbury MA, Yadapa JNS, Tandon JS. 1990. Antidiarrheal Activity of Andrographis paniculata (Kal-megh) Against Escherichia coli Enterotoksin in Vivo Model. Lat. J. Crud Drug Race. Rice : Sevets and Zettlinger. V. 28 (4) : 273 – 283. Guyton AC. 1986. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-5. Jakarta. Terjemahan. EGC. Hallgreen BO. 1981 The Rule of Dietary Fibre in Food Dalam : Problem in Nutrition Research Today. Switzerland : Academic Press. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung. Institut Teknologi Bandung. Harianto. 1996. Manfaat Serat Makanan. Sadar Pangan dan Gizi 5 (2) : 4 – 5 Harper RP, Rodwell VW, Mayes PA. 1979. Review of Phisiological Chemistry. Ed ke-17. California : Lange Medical. Harper AE. 1983. Coronary Heart Desease an Epidemic Related to Diet. Am Clin Nutr 37 : 669 Hayse PL, Marion W. 1973. Eviscerated Yield, Component Part and Meat Skin and Bone Ratio in The Chicken Broiler. Poult sci : 52:718-721. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Jakarta. Yayasan Sarana Wana Jaya. Heslet L. 1977. Kolesterol. Jakarta . Terjemahan Penerbit Kesaint Blanc.
45
Hodges RD. 1977. Normal Avian Haematology. Comparative Clinical Haematology. Blackwel Scientific Pub. Oxford. Horigome BTE, Sakaguchi, Kishimoto C. 1992. Hypocholesterolemic Effect of Banana (Musa sapientum L Var Cavendishi) Pulp in the Rat Fed on A Cholesterol Containing Diet. Brit J Nutr. 68 : 231 – 244. Hundermer JK, Nabar SP, Shriver BJ, Forman LP. 1991. Deatary Source Low Blood Cholesterol in C 57 BL/6 Mice. J Nutr. 121 : 1360 -1365. IPTEK.. 2002. Ekstrak Sambiloto Tingkatkan Stamina. IPTEK Net. All Right Reserved. 7 November 2003. Ismadi M. 1993. Biokimia, Ed ke-4. Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Jilid 2. Gadjah Mada University Press. Jull MA. 1979. Poultry Husbandry. Ed ke-3. New Delhi. Mc Graw-Hill Book Company Inc. Kanniapan N, Mathuram LN, Natayama R. 1991. A study an Antipiretik Effect of Chiretta (Andrograpis paniculata ). Ind Vet. J. 68:314-316. Kleiner IS, Dotti LB. 1962. Laboratory Instruction in Biochemistry. Ed ke-6. New York. CV. Mosby Company. Kubena LF, Chen TC, DestonLW, Reece FN, 1974. Factors Influencing The Quality of Abdominal Fat in Broiler. 3. Dietary Energy Levels. Poult Sci. 53 : 974 – 978. Lee MH, Lee HJ, Ryu PD. 2001. Public Health Risks Chemical and Antibiotik Residues. Review Asian-Australasian. J Anim Sci 14 (3): 402 – 413. Leeson S, Summer JD. 1980. Production in Carcass Characteristics of the Broiler Chicken. Poult Sci. 59 : 786 – 798. Lehninger A. 1997. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta. Jilid I. Terjemahan. Penerbit Erlangga. Luthfi DM, Umiyati AM, Taufik M, Primahesti YU. 1998. Pengaruh Dedak Halus dalam Ransum Terhadap Kadar Kolesterol Darah dan Daging Ayam Hasil Persilangan Pejantan Kampung dengan Ras Petelur. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian. Mabray CJ, Walldroup PW. 1980. Influence of Dietary Energy and Amino Acid Level on Abdominal Fat Development in Broiler. Poult Sci. 59 : 19661967 Martin DW, Mayes PA, Rodwell VW. 1984. Biokimia. Ed. Ke-19. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran. Terjemahan dari Harpers Review of Biochemistry. Maxwell MH. 1993. Avian Blood Leucosyte Responses to Stress. Poult Sci. J. 49 (1): 39-43
46
Mayes PA. 1999. Sintesis Pengangkutan dan Ekskresi Kolesterol. Biokimia Harper (Harper’s Biochemistry). Edisi 22. alih bahasa dr. Andry Hartono. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 303-312. Melvin JS, William OR. 1993. Dukes Physiology of Domestic Animal. Ed ke-11. Cornel University Press. Mills S, Bone K. 2000. Priciples and Practise of Phytotheraphy Modern Herbal Medicine. Edenburg. London. New York. Sydney. Toronto. Churchil Livingstones. Muchtadi D, Sri Palupi N, Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Sumber, Fungsi dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia. Jilid II.Jakarta.. Pustaka Sinar Harapan. Hal 43-48. Muhlisah F. 1999. Tanaman Obat Keluarga. Jakarta. Penebar Swadaya. National Reseach Council. 1994 Nutrient Requirement of Poultry. Ed ke9.Washington DC. Academy Press. Nielsen KS. 1997. Animal Physiologi. Adaptation and Enviromental. Ed. Ke-5. New York. Cambridge University Press. Nugroho YA, Nafrialdi. 2001. Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Penurun Kadar Lipid Darah. Bogor. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Nuratmi B, Adjirni, Paramita DJ. 1996. Beberapa Penelitian Farmakologi Sambiloto. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. 3 : 23-24. Noble ER, Noble GA. 1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Ed ke-5. Yogyakarta. Terjemahan drh. Wardiarto. Gadjah Mada University Press. North MO, Bell D. 1990. Commercial Chicken Production New York. Hapman and Hall.
Ed ke-4. Manual.
Oluyemi JA, Robert FA. 1979. Poultry Production in Warm, Wet Climate. Hongkong. The Mac Millan Press. Ltd. Piliang WG, Djojosoebagio S. 1990. Fisiologi Nutrisi Vol I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Post J, Rebel MJ, Huurne HM. 2002. Automated Blood Cell Count : A sensitive and reliable method to study corticosterone-related stress in broilers. Poult Sci 82 : 591-595. Prapanza IEP, Marianto LA. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto: Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta. PT. Agro Media Pustaka. Puri A, Saxsena R, Saxena RKC, Srivasta V, Tandon JS. 1993. Immunostimulant Agent from Andrograpis paniculata . J. Nat. Prod. Jul. 56 (7) : 995 – 999.
47
Rahayu IHS. 2000. Comparatif Studies of the Responses of Red Jungle Fowl and Commercial Broiler to Nutritional Manipulations. Doctor of Philosophy. University Putra Malaysia. Rahmawati S, dan Hastiono S. 1999. Pemanfaatan Sanbiloto dalam Bidang Veteriner. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 21 (1) : 9-10 Resnawati H. 2004. Bobot Potongan Karkas dan Lemak Abdomen Ayam Ras Pedaging yang Diberi Ransum Mengandung Tepung Cacing Tanah (Lumbricus rubellus). Bogor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Departemen Pertanian. Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung. Institut Teknologi Bandung. Rohimah. 1997. Identifikasi Flavonoid yang Memiliki Antifungal dari Damar (Hopea mangarawan) dan Shorea leptosula . (Skripsi). Bogor. FMIPAInstitut Pertanian Bogor. Santa IGP. 1996. Studi Taksonomi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. 3 : 14-15. Sastradipradja D et al. 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner. Bogor. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Perguruan Tinggi. PAU. Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Scott ML, Nesheim MC, Young RJ. 1982. Nutrition of The Chickens. Ed ke-3. New York. ML Scott and Associates. Siegel HS. 1980. Physiological Stress in Birds. Bioscience 30(8):529-533. Sinurat AP et al 2001. Pengaruh Pemberian Bioaktif dalam Lidah Buaya Terhadap Penampilan Ayam Broiler. Bogor. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. 17 -18 September 2001.. Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta. Terjemahan. PT. Gramedia. Sturkie PD. 1976. Avian Physiology. Ed ke-3. New York. Spinger Verlag. Sturkie PD, Grimminger P. 1976. Blood : Physical Characteristic, Formed Elements, Hemoglobin and Coagulation . Ed-ke 3. Sturkie PD (Editor). Avian Physiology. New York. Springer Verlag. Sugiarto M. 2003. Performa dan Respon Fisiologis Ayam Pedaging pada Tingkat Kepadatan Kandang yang Berbeda. (Skripsi). Bogor. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Supritianto H. 1998. Penggunaan Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) untuk Mencegah Aflatoksikosis pada Itik. (Skripsi). Bogor. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
48
Swenson MJ. 1977. Physiology of Domestic Animals.Ed ke-9. Comstock Publishing Associates. Comell University Press, Itacha. Syamsuhidayat SS dan Robinson HJ. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia II. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Tipakorn N. 2002. Effects of Andrographis paniculata (Burm. F.) Nees on Performance, Mortality and Coccidiosis in Broiler Chickens. Doctoral Dissertation. Goerg-August-University, Gottingen, Gennany. http/webdoc.sub.gwdg.de/diss/2002/tipakorn/&prev [30 Agustus 2004]. Tizzard I. 1987. Immunologi Veteriner. Surabaya. Ed ke-3. Terjemah an. Airlangga University Press. Unandar T. 2003. Kegagalan Respon pada Ayam. Ciptapangan.com/ epbuletin/0106.htm.[2/12/2003].
pp4.
Http://www.
Wahyu J. 1982. Ilmu Nutrisi Unggas. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Wanti AP. 2004 Performans Ayam Petelur Umur 33 – 40 Minggu yang Diberi Rebusan Daun dan Batang Sambiloto. (Skripsi). Bogor. Institut Pertanian Bogor. Winarto WP. 2003. Sambiloto, Budidaya dan Pemanfaatan untuk Obat. Jakarta. Seri. Agrisehat. Penebar Swadaya. Wirahadikusumah M. 1985. Biokimia: Metabolisme Karbohidrat dan lipid. Bandung. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Yusron M, Januwati M, Rini Pribadi E. 2003. Budidaya Pegagan, Lidah Buaya, Sambiloto dan Kumis Kucing. Bogor. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat-obatan. Zulkifli I, Siegel TB. 1995. Is There of Positive Side to Stress. Poult Sci. 51: 63-76
LAMPIRAN – LAMPIRAN
50
Lampiran 1. Perhitungan Jumlah Leukosit Perhitungan jumlah leukosit dilakukan dengan mengambil 4 kotak besar pada keempat ujung kamar hitung hemasitometer Neubauer (kotak W) masing-masing kotak berukuran 1 mm 2 dengan kedalaman 1/10 mm maka volume ruang hitung yang digunakan : 4 x 1 mm2 x 1/10 mm = 4/10 mm3. Apabila jumlah leukosit dalam ruang tersebut b butir maka 1 mm3 = 10/4 x b butir. Faktor pengencer darah berasal dari darah 0.5 dan larutan pengencer sampai batas 11 – 1 bagian yang tidak ikut tercampur (dibuang) maka pengencerannya 20x. Sehingga jumlah leukosit per mm3 darah = 20 x 10/4 x b butir = 50 x b butir (Sastradipradja et al. 1989).
Kamar hitung Hemasitometer Neubauer (kotak R untuk menghitung jumlah eritrosit dan kotak W untuk menghitung jumlah leukosit) (Sastradipraja et al. 1989)
51
Lampiran 2. Diferensiasi Leukosit Setetes darah ayam diteteskan pada gelas objek pertama dengan posisi mendatar. Gelas objek yang lainnya ditempatkan pada darah tadi dengan membentuk sedut 30 - 45 o, sehingga darah menyebar sepanjang garis kontak antara gelas objek. Selanjutnya, gelas objek di dorong ke arah depan dengan cepat hingga terbentuk usapan darah tipis di atas gelas objek. Ulasan darah tersebut dikeringkan di udara, kemudian difiksasi. Fiksasi dilakukan dengan menggunakan methanol. Supaya ulas darah lebih melekat pada gelas objek, gelas objek direndam dalam methanol selama 2 – 5 menit. Setelah dilakukan fiksasi, langsung dilakukan pewarnaan dengan menggunakan Giemsa 10 %. Gelas objek yang telah difiksasi direndam dalam larutan Giemsa selama 15 – 30 menit. Hasil rendaman dicuci dengan air sampai berwarna pink lalu dikeringkan di udara atau dengan tissue (Sastradipraja et al. 1989).
52
Lampiran 3. Pengukuran kadar kolesterol Pengukuran kadar kolesterol daging ayam dilakukan berdasarkan metode Lieberman Burchard (Kleiner dan Dotti 1962). Cara kerja : sebanyak 0,1 mg daging diaduk sampai homogen di dalam tabung reaksi bersama 10 ml alkohol eter dengan perbandingan 3 : 1, kemudian larutan homogen ini di sentrifuse, dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Setelah di sentrifuse, supernatan dipindahkan ke dalam gelas piala, serta dipanaskan sampai air kering. Ekstraknya dilarutkan dengan kloroform sedikit demi sedikit ke dalam tabung ukur sampai 5 ml, kemudian ditambahkan asam anhidrit sebanyak 2 ml dan 2 tetes asam sulfat dan simpan selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan penghitungan dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 420 µ m untuk mendapatkan nilai absorban sampel. Nilai kolesterol diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kolesterol (mg/100mg) =
Absorban sampel x 0.4 (konsentrasi standar) Berat sampel Absorban standar
x 100%
53
Lampiran 4. Hasil sidik ragam 1. Hasil sidik ragam jumlah leukosit ayam pedaging One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for Leksit Source DF SS MS Perlkuan 4 265.6 66.4 Error 15 374.9 25.0 Total 19 640.5
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 15.250 7.750 7.950 6.300 4.600
StDev 8.640 3.961 4.219 2.896 2.907
5.000
F 2.66
P 0.074
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+---(-------*--------) (--------*--------) (--------*--------) (--------*-------) (--------*--------) --+---------+---------+---------+---0.0 6.0 12.0 18.0
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for leukosit Source DF SS MS perlakua 4 706 177 Error 15 2777 185 Total 19 3484
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 21.45 29.15 18.20 15.10 11.80
StDev 15.79 18.33 15.87 7.68 5.44
13.61
F 0.95
P 0.461
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+---(--------*---------) (--------*---------) (---------*---------) (---------*---------) (---------*---------) --+---------+---------+---------+---0 15 30 45
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for leukosit Source DF SS MS perlakua 4 127.6 31.9 Error 15 261.9 17.5 Total 19 389.5 Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 14.000 11.550 8.100 10.800 6.900 4.178
StDev 4.246 5.021 5.889 2.221 2.107
F 1.83
P 0.176
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ------+---------+---------+---------+ (--------*--------) (--------*--------) (--------*--------) (--------*--------) (--------*--------) ------+---------+---------+---------+ 5.0 10.0 15.0 20.0
54
2. Hasil sidik ragam persentase jumlah heterofil ayam pedaging One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for Hetrfl Source DF SS MS Perlkuan 4 310 78 Error 15 3158 211 Total 19 3469
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 15.25 20.75 24.00 13.25 16.00
StDev 10.05 4.50 28.73 4.50 9.27
14.51
F 0.37
P 0.827
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+---(------------*------------) (------------*------------) (------------*------------) (------------*------------) (------------*------------) --+---------+---------+---------+---0 12 24 36
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for heterofi Source DF SS MS perlakua 4 926 232 Error 15 2581 172 Total 19 3508
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 35.25 34.25 27.25 43.00 46.50
StDev 17.02 10.31 9.60 16.99 9.15
13.12
F 1.35
P 0.299
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+---(---------*--------) (--------*--------) (--------*--------) (---------*--------) (--------*--------) --+---------+---------+---------+---15 30 45 60
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for heterofi Source DF SS MS perlakua 4 1193 298 Error 15 3868 258 Total 19 5061
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 32.75 48.00 44.00 56.75 46.25 16.06
StDev 17.50 9.90 11.86 21.06 17.35
F 1.16
P 0.369
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+----(---------*----------) (----------*----------) (---------*----------) (---------*----------) (----------*----------) -+---------+---------+---------+----16 32 48 64
55
3. Hasil sidik ragam persentase jumlah limfosit ayam pedaging One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for Limsit Source DF SS MS Perlkuan 4 382 96 Error 15 3186 212 Total 19 3569
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 84.75 76.25 75.50 85.75 83.50
StDev 10.05 4.57 28.44 5.80 9.88
14.57
F 0.45
P 0.771
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+----(------------*------------) (------------*-----------) (------------*------------) (-----------*------------) (------------*------------) -+---------+---------+---------+----60 72 84 96
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for limfosit Source DF SS MS perlakua 4 941 235 Error 15 2793 186 Total 19 3734
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 62.50 63.75 71.25 55.50 51.50
StDev 18.65 11.03 9.84 16.90 8.89
13.64
F 1.26
P 0.327
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ------+---------+---------+---------+ (---------*--------) (---------*--------) (---------*--------) (---------*---------) (--------*---------) ------+---------+---------+---------+ 45 60 75 90
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for limfosit Source DF SS MS perlakua 4 1072 268 Error 15 3973 265 Total 19 5045
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 65.75 52.00 56.00 43.00 53.00 16.27
StDev 17.75 9.90 11.86 21.02 18.13
F 1.01
P 0.432
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+-(----------*----------) (---------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) ----+---------+---------+---------+-32 48 64 80
56
4. Hasil sidik ragam kolesterol total, HDL dan LDL ayam pedaging One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for Kstrl Source DF SS MS Perlkuan 4 1393.768 348.442 Error 15 8.226 0.548 Total 19 1401.994
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 42.715 34.660 28.292 20.520 21.432
StDev 0.838 0.599 0.781 0.702 0.760
0.741
F 635.36
P 0.000
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+---(*) (-*) (*-) (*) (-*) --+---------+---------+---------+---21.0 28.0 35.0 42.0
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for LDL Source DF SS MS Perlkuan 4 4274 1069 Error 15 2887 192 Total 19 7161
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 71.47 34.17 41.52 39.95 63.57
StDev 20.97 3.72 3.37 8.29 20.71
13.87
F 5.55
P 0.006
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+----(-------*------) (------*------) (-------*------) (------*------) (-------*------) -+---------+---------+---------+----20 40 60 80
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for HDL Source DF SS MS Perlkuan 4 3285.4 821.3 Error 15 926.6 61.8 Total 19 4212.0
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 69.63 106.30 102.15 97.11 93.48 7.86
StDev 9.16 7.80 6.18 5.02 10.04
F 13.30
P 0.000
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----------+---------+---------+-----(----*-----) (-----*----) (----*-----) (-----*----) (----*-----) ----------+---------+---------+---75 90 105
57
5. Hasil sidik ragam konsumsi ransum ayam pedaging One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for Konsumsi Source DF SS MS Perlkuan 4 0.0000000 0.0000000 Error 15 0.0000000 0.0000000 Total 19 0.0000000
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev = * NOTE
Mean 105.000 105.000 105.000 105.000 105.000 0.000
F *
P *
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev StDev -+---------+---------+---------+----0.000 * 0.000 * 0.000 * 0.000 * 0.000 * -+---------+---------+---------+----105.000 105.012 105.024 105.036
* All values in column are identical.
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for konsumsi Source DF SS MS perlakua 4 0.0000000 0.0000000 Error 15 0.0000000 0.0000000 Total 19 0.0000000
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev = * NOTE
Mean 287.500 287.500 287.500 287.500 287.500
StDev 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.000
F *
P *
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+--------* * * * * -------+---------+---------+--------287.520 287.550 287.580
* All values in column are identical.
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for konsumsi Source DF SS MS perlakua 4 100.3 25.1 Error 15 248.0 16.5 Total 19 348.4
F 1.52
P 0.247
58
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 557.19 560.00 560.00 555.00 555.00
StDev 5.63 0.00 0.00 3.68 6.12
4.07
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+-(----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (---------*----------) (---------*----------) ----+---------+---------+---------+-552.0 556.0 560.0 564.0
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for konsumsi Source DF SS MS perlakua 4 750 187 Error 15 15489 1033 Total 19 16239
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 812.81 799.38 803.44 800.16 794.37
StDev 13.75 36.55 22.94 55.25 7.67
32.13
F 0.18
P 0.944
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ------+---------+---------+---------+ (-------------*-------------) (-------------*------------) (------------*-------------) (-------------*-------------) (-------------*------------) ------+---------+---------+---------+ 775 800 825 850
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for konsumsi Source DF SS MS perlakua 4 590 147 Error 15 10823 722 Total 19 11413
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 902.25 913.12 911.88 904.38 916.56 26.86
StDev 13.72 36.55 21.27 39.56 8.12
F 0.20
P 0.932
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+-(-------------*-------------) (--------------*-------------) (-------------*-------------) (-------------*--------------) (-------------*--------------) ----+---------+---------+---------+-880 900 920 940
59
6.
Hasil sidik ragam pertambahan berat badan ayam pedaging
60
7.
Hasil sidik ragam konversi ransum ayam pedaging
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for Konversi Source DF SS MS Perlkuan 4 0.0411 0.0103 Error 15 0.3491 0.0233 Total 19 0.3903
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 1.2000 1.2225 1.3275 1.2475 1.2850
StDev 0.1219 0.0785 0.1863 0.1497 0.1955
0.1526
F 0.44
P 0.777
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+----(----------*----------) (----------*---------) (----------*---------) (----------*----------) (----------*----------) -+---------+---------+---------+----1.05 1.20 1.35 1.50
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for konversi Source DF SS MS perlakua 4 0.00947 0.00237 Error 15 0.12755 0.00850 Total 19 0.13702
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 1.3600 1.3625 1.3325 1.3250 1.3050
StDev 0.0829 0.1333 0.0854 0.0404 0.0947
0.0922
F 0.28
P 0.887
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --------+---------+---------+-------(-------------*-------------) (-------------*-------------) (-------------*-------------) (-------------*-------------) (-------------*-------------) --------+---------+---------+-------1.260 1.330 1.400
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for konversi Source DF SS MS perlakua 4 0.02277 0.00569 Error 15 0.08013 0.00534 Total 19 0.10290
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 1.5625 1.5125 1.5500 1.5550 1.6175 0.0731
StDev 0.1153 0.0585 0.0476 0.0755 0.0450
F 1.07
P 0.408
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+----(--------*---------) (---------*---------) (---------*--------) (--------*---------) (---------*---------) -+---------+---------+---------+----1.440 1.520 1.600 1.680
61
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for konversi Source DF SS MS perlakua 4 0.1980 0.0495 Error 15 0.9714 0.0648 Total 19 1.1694
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 1.9075 2.0250 1.9825 1.9925 1.7475
StDev 0.1417 0.0603 0.1024 0.2085 0.4961
0.2545
F 0.76
P 0.565
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+----(----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) -+---------+---------+---------+----1.50 1.75 2.00 2.25
One-Way Analysis of Variance Analysis of Variance for konversi Source DF SS MS perlakua 4 0.2177 0.0544 Error 15 1.1474 0.0765 Total 19 1.3651
Level 0 1 2 3 4
N 4 4 4 4 4
Pooled StDev =
Mean 2.7475 2.7625 2.5275 2.5175 2.6550 0.2766
StDev 0.1984 0.3279 0.2553 0.1072 0.3987
F 0.71
P 0.597
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+---(-----------*-----------) (-----------*----------) (-----------*-----------) (-----------*----------) (-----------*-----------) --+---------+---------+---------+---2.25 2.50 2.75 3.00
62
8. Hasil sidik ragam lemak abdomen ayam pedaging
63
Lampiran 5. Gambar – gambar
Tepung daun sambiloto
1 1. Ransum Basal 2. Ransum Basal ditambah tepung daun sambiloto
2
64
Ayam broiler umur 35 hari
1 1. Karkas ayam kontrol 2. Karkas ayam perlakuan
2