PRODUKTIVITAS DAN KARAKTERISTIK DAGING KERBAU DENGAN PEMBERIAN PAKAN YANG MENGANDUNG ASAM LEMAK TERPROTEKSI
YURLENI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Produktivitas dan Karakteristik Daging Kerbau dengan Pemberian Pakan yang Mengandung Asam Lemak Terproteksi” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Yurleni NIM D 161090061
RINGKASAN YURLENI. Produktivitas dan Karakteristik Daging Kerbau dengan Pemberian Pakan yang Mengandung Asam Lemak Terproteksi. Dibimbing oleh RUDY PRIYANTO, RH EDDIE GURNADI dan KOMANG GEDE WIRYAWAN. Daging kerbau yang dijual dipasar tradisional umumnya berasal dari ternak yang dipotong pada umur tua, sehingga daging yang dihasilkan menjadi keras dan liat, warna daging lebih gelap dan baunya lebih tajam. Daging seperti ini kurang disukai oleh konsumen. Kualitas daging kerbau dapat ditingkatkan dengan cara penggemukan. Penggemukan pada kerbau selain meningkatkan laju pertumbuhan, juga menghasilkan karkas dan daging dengan kualitas yang lebih baik. Pakan penggemukan berasal dari hijauan dan konsentrat dan dapat ditambahkan pakan suplemen. Salah satu sumber pakan suplemen adalah minyak ikan. Minyak ikan kaya kandungan asam-asam lemak tak jenuh rantai panjang yaitu asam lemak omega-3 seperti EPA (Eicosapentaenoic acid, C20:5(n-3)) dan DHA (Docosahexaenoic acid, C22:6(n-3)). EPA dan DHA mempunyai fungsi spesifik dan sangat berperan dalam pertumbuhan, mencegah berbagai penyakit seperti penyakit jantung, kanker dan inflamasi serta berpengaruh positif terhadap metabolisme tubuh termasuk perkembangan otak dan retina mata. Pada pencernaan rumen, baik lemak jenuh maupun tidak jenuh mengalami proses fermentasi dan hidrogenasi oleh mikrob rumen yang merubah semua asamasam lemak menjadi asam-asam lemak jenuh. Hal ini mengakibatkan tingginya kandungan asam lemak jenuh pada daging ruminansia. Asam-asam lemak tidak jenuh yang tinggi dari minyak ikan dapat dilindungi dari pencernaan rumen melalui proses kimiawi yang disebut saponifikasi untuk membentuk garam karboksilat sehingga menyebabkan asam-asam lemak tidak jenuh yang terlindungi pada pakan dapat tersimpan dalam daging. Penelitian ini bertujuan mengkaji produktivitas dan karakteristik karkas seta sifat-sifat daging kerbau rawa dan sapi PO yang digemukan dengan pemberian pakan konsentrat yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan Lemuru dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK), yang kaya kandungan asam-asam lemak tak jenuh rantai panjang (Polyunsaturated fatty acids). Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan : 1) Penelitian in vitro yang bertujuan mengukur hasil fermentasi pada cairan rumen kerbau rawa dan sapi PO yang diberi tiga perlakuan pakan yang berbeda yaitu hijauan+konsentrat sebagai kontrol (K0), K0+CGKK (K1) dan K0+minyak ikan (K2). 2) Penelitian penggemukan yang bertujuan mengukur respon ternak kerbau rawa dan sapi PO yang diberi pakan konsentrat+hijauan (Non CGKK) dan pakan hijauan+ konsentrat+CGKK (CGKK) pada konsumsi dan kecernaan zat-zat makanan, performa pertumbuhan dan konversi pakan, hasil fermentasi pakan serta profile mikrob dalam rumen. 3) Penelitian karakteristik karkas dan sifat-sifat daging yang bertujuan untuk mengukur karakteristik karkas dan sifat daging, pada kerbau rawa dan sapi PO yang digemukan dengan pemberian pakan konsentrat tanpa atau dengan suplementasi CGKK.
Hasil penelitian in vitro menunjukkan bahwa suplementasi asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk CGKK tidak mengganggu aktifitas fermentasi dalam rumen dan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Suplementasi asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemurur dalam bentuk CGKK pada penggemukan kerbau dan sapi dapat meningkatkan konsumsi pakan, konsentrasi dan proporsi VFA rumen. Ternak kerbau yang diberi pakan konsentrat mengandung CGKK menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi secara nyata dibanding sapi PO, hal ini disebabkan oleh konsumsi zat-zat makanan yang lebih tinggi, walaupun kecernaan dan konversi pakan sama antara kerbau dan sapi. Kerbau secara nyata mempunyai persentase karkas yang lebih rendah dan tulang yang lebih ringan dibanding sapi, walaupun kerbau dan sapi mempunyai berat lemak, daging dan bobot karkas yang sama. Persentase karkas yang lebih rendah pada kerbau disebabkan karena tingginya proporsi komponen non karkas, khususnya kepala, jeroan hijau dan jeroan merah. Kerbau memiliki sebaran otot daging yang sama, kecuali pada otot striploin dan silverside yang tinggi pada sapi. Daging kerbau secara signifikan lebih empuk dan warnanya lebih merah. Suplementasi asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk CGKK pada pakan konsentrat ternak kerbau yang digemukkan memberikan respon yang lebih baik dibanding sapi PO dalam hal peningkatan potongon otot striploin, profil asam-asam lemak pada daging, khususnya penurunan asam-asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SFA), peningkatan asamasam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid/UFA) dan asam-asam lemak tak jenuh yang mempunyai satu ikatan rangkap (monounsaturated fatty acid/MUFA), serta meningkatkan rasio UFA/SFA. Suplementasi asam lemak terproteksi dalam bentuk CGKK menghasilkan daging yang berbau ikan lebih kuat. Suplementasi CGKK pada pakan penggemukkan dapat meningkatkan kandungan EPA dan DHA pada daging dan dapat digunakan sebagai sumber pangan fungsional yang mengandung zat bioaktif yang sangat penting untuk kesehatan.
SUMMARY YURLENI. The Productivity and characteristics of meat from buffalo fed ration containing protected fatty acid. Supervised by RUDY PRIYANTO, RH EDDIE GURNADI and KOMANG GEDE WIRYAWAN. Buffalo meat sold in traditional market generally comes from aged draft animals. The meat is usually characterised by tough, dark in color and strong odor, and therefore less preferred by consumers. The quality of buffalo meat may be improved through fattening program. In the fattening program, buffalo may exhibit a considerable increase in the growth rate, also it produces better qualities of carcass and meat. Buffalo feed comes from forage and concentrate in which feed supplements can be added. One of the feed supplement is fish oil since it is rich in unsaturated fatty acids i.e. omega-3 fatty acids such as EPA (Eicosapentaenoic acid, C20:5(n-3)) and DHA (Docosahexaenoic acid, C22:6(5-3)). EPA and DHA have a specific function and play an important role in growth, prevent various diseases such as heart disease, cancer and inflammation, and positively affect the body metabolism including the brain and retina development. In rumen digestion, both saturated and unsaturated fats undergo a process of fermentation and hydrogenation by rumen microbes which change them into saturated fatty acids. This can results in a high saturated fatty acid content of the ruminant meat. The high unsaturated fatty acids of the fish oil could be protected from rumen digestion through a chemical process known as saponification to form a dry carboxylate salt mixture (DCM). This allows the proctected unsaturated fatty acids of the feed to be stored in the meat. This research aimed to examine the productivity and characteristics of the carcass and meat of buffalo and cattle fattened on concentrate based ration containing protected Lemuru fish oil in the form of dry carboxylate salt mixture (DCM), which was rich in polyunsaturated fatty acids. The study was divided into three activities : 1) The in vitro study with the aim of examining the fermentation products from rumen fluid from buffalo and PO cattle given three different rations, which were K0 (forage+concentrate), K1 (K0+DCM) and K2 (K0+ fish oil). 2) The buffalo and cattle fattening study with the aims of examining the effects of swamp buffalo and PO cattle given rations withaout DCM supplementation (forage+concentrate) and DCM supplementation (forage+concentrate+DCM) on feed consumption, feed and nutrient digestibilities, growth performance, feed conversion, rumen digestion and rumen microbial profiles. 3) The characterization of carcass and meat studies with the aims of examining the carcass productivity and meat properties of swamp buffalo and PO cattle fattened on rations with and withaout DCM supplementation. The in vitro results showed that the supplementation of protected Lemuru fish oil in the form of DCM could protect the fatty acids from biohydrogenation in the rumen, although it could not increase the activity of rumen fermentation. The supplementation of protected Lemuru fish oil in to the ration of fattening buffaloes and cattle could increase feed consumption, concentration and proportion of VFA, and microbial population in the rumen. On concentrate based ration fattening, buffalo showed significantly (P<0.05) higher growth rate than PO cattle, because the buffaloes had significantly (P<0.05) higher dry matter
consumption, eventhough they had simillar feed conversion and nutrient digestibilities. Buffaloes had significantly (P<0.05) lower dressing percentage and bone weight compared to those of cattle, despite they had similar carcass meat and fat weights. The lower carcass dressing of buffalo was due to the higher proportion of non carcass component, particularly head, tail and viscera. Buffalo had similar meat weight distribution, except Striploin and Silverside which were superior in cattle. The meat from buffalo was significantly (P<0.05) more tender and darker in color. Supplementing Lemuru fish oil in the from of DCM on fattening ration, the buffalo showed better response than PO cattle in improving meat fatty acids profile, especially the decreased saturated fatty acids (SFA), increased unsaturated fatty acids (UFA) and monounsaturated fatty acids (MUFA), and therefore the increased UFA/SFA ratio. The supplementation of protected Lemuru fish oil in the form of DCM could produce slightly stronger meat odor. The supplementation of protected Lemuru fish oil in the form of DCM on fattening ration could increase EPA and DHA contents of the meat which could be used as functional food.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRODUKTIVITAS DAN KARAKTERISTIK DAGING KERBAU DENGAN PEMBERIAN PAKAN YANG MENGANDUNG ASAM LEMAK TERPROTEKSI
YURLENI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof Dr Ir Toto Toharmat MSc 2. Dr. Ir. Heni Nuraini MSi
Penguji pada Ujian Terbuka:1. Dr Ir Riwantoro MM 2. Dr. Chalid Talib MSc
Judul Disertasi
:
Nama NIM
: :
Produktivitas dan Karakteristik Daging Kerbau dengan Pemberian Pakan yang Mengandung Asam Lemak Terproteksi Yurleni D 161090061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Rudy Priyanto Ketua
Almarhum
Prof Dr R Eddie Gurnadi, MSc Anggota
Prof Dr Ir Komang Gede Wiryawan Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof Dr Ir Muladno, MSA
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 10 Juni 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 ini ialah Produktivitas dan Karakteristik Daging Kerbau dengan Pemberian Pakan yang Mengandung Asam Lemak Terproteksi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rudy Priyanto, Prof (Em) Dr R Eddie Gurnadi (alm) dan Bapak Prof Dr Ir Komang Gede Wiryawan selaku pembimbing yang telah memberi arahan, bimbingan, saran dan perhatian dalam menyelesaikan disertasi ini. Tak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada penguji luar komisi pada ujian tertutup yaitu Bapak Prof Dr Ir Toto Toharmat MSc dan Ibu Dr Ir Heny Nuraini MSi atas masukan dan sarannya guna penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Depdiknas yang telah memberikan beasiswa Program Pascasarjana dan dana hibah bersaing untuk membantu penelitian, Pimpinan dan Staf Sekolah Pascasarjana, Program Studi Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor atas pelayanan yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan. Terima kasih kepada Dekan Fakultas Peternakan dan Rektor Universitas Jambi atas kesempatan yang diberikan serta Pemerintah Daerah Propinsi Jambi atas bantuan dana penelitian guna kelancaran pelaksanaan penelitian ini. Terima kasih yang sebesarbesarnya juga penulis sampaikan kepada anak-anakku sekaligus rekan dalam penelitian yaitu Rully, Putri, Lusi, wiwik, Delvi, Devi dan Gita atas semangat dan kerjasamanya sehingga penelitian berjalan dengan sukses dan lancar dan tak lupa juga kepada Ujang, Bapak Karta, Bapak Bramada, Bapak Cucu, Bapak Eko, dan Dudi yang telah banyak membantu dari awal hingga akhir penelitian. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada suami dan anakanakku, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Karya Ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian ini akan dipublikasikan pada Jurnal Veteriner FKH Universitas Udayana volume 14 No 3 Edisi September 2013 dengan judul “The effect of protected lemuru fish oil on rumen microbes and its fermentation in buffaloes and cattle” dan akan diseminarkan pada The Fourth International Conference on Sustainable Animal Agricultural for Developing/Countries (SAADC 2013) 27-31 July 2013, di Lanzhou University, China, dengan Judul “Fatty acids profile of buffaloes and cattle meat fed ration supplemented with protected fish oil” dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Julii 2013
Yurleni
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Keluaran yang Diharapkan Manfaat Penelitian
1 2 3 3
2
EFEKTIVITAS PEMBERIAN PAKAN YANG MENGANDUNG ASAM LEMAK TERPROTEKSI TERHADAP FERMENTASI RUMEN SECARA IN VITRO Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan dan Saran
5 6 10 13
PENGARUH PEMBERIAN PAKAN YANG MENGANDUNG ASAM LEMAK TERPROTEKSI TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN EFEKTIVITAS PENCERNAAN DALAM RUMEN PADA TERNAK KERBAU DAN SAPI Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan dan Saran
15 16 20 31
PENINGKATAN KARAKTERISTIK KARKAS DAN SIFAT-SIFAT DAGING KERBAU DAN SAPI DENGAN PEMBERIAN PAKAN MENGANDUNG ASAM LEMAK TERPROTEKSI Pendahuluan Metode Penelitian Hasil dan Pembahasan Simpulan dan Saran
33 34 44 63
5
PEMBAHASAN UMUM
64
6
DAFTAR PUSTAKA
68
3
4
LAMPIRAN
78
RIWAYAT HIDUP
98
DAFTAR TABEL 2.1 2.2 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 4.1 4.2 4.3 4.4
4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5.1
Komposisi dan kandungan nutrisi pakan penelitian Rataan hasil fermentasi pakan secara in vitro berdasarkan pakan perlakuan dan jenis cairan rumen ternak Komposisi dan kandungan nutrisi pakan yang digunakan dalam penelitian Rataan konsumsi zat-zat makanan pakan berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan kecernaan zat-zat makanan pakan berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan harian dan konversi pakan berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan nilai karakteristik fermentasi dalam rumen berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan VFA individual dan produksi gas metan (CH4) berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan populasi mikrob yang terdapat dalam rumen berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan karakteristik karkas berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan berat komponen non karkas berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Ratan komponen bobot setengah karkas berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan potongan komersial karkas bagian depan (forquarter) dari bobot setengah karkas berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan potongan komersial karkas bagian belakang (hindquarter) dari bobot setengah karkas berdasarkan perlakuan pakan dan ternak Rataan sifat fisik daging berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan sifat kimia daging berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan SFA, MUFA, PUFA, UFA, rasio PUFA/SFA EPA, DHA dan kolesterol daging berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Rataan hasil uji mutu hedonik daging berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Analisis ekonomi pendapatan usaha pemeliharaan ternak kerbau dan sapi yang diberi pakan dengan suplementasi CGKK dan ranpa suplementasi CGKK berdasarkan pertambahan bobot badan
6 10 17 20 22 23 25 28 30 44 46 47 48
49 51 53 54 59
93
DAFTAR GAMBAR 3.1 3.2 3.3 3.4 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11
Pengaruh interaksi terhadap konsumsi lemak Pengaruh interaksi terhadap VFA total Pengaruh interaksi terhadap produksi asetat dalam rumen Pengaruh interaksi terhadap gas metan Tahapan proses pemotongan ternak Potongan komersial karkas dan bagian-bagiannya Pengaruh interaksi terhadap otot striploin Jaringan ikat pada daging kerbau Jaringan ikat pada daging sapi Pengaruh interaksi terhadap SFA Pengaruh interaksi terhadap UFA Pengaruh interaksi terhadap MUFA Pengaruh interaksi terhadap rasio UFA/SFA Pengaruh interaksi terhadap kolesterol daging Hasil analisa komponen volatil daging kerbau dan sapi tanpa suplementasi CGKK 4.12 Hasil analisa komponen volatil daging kerbau dan sapi dengan suplementasi CGKK
21 25 28 29 36 37 50 51 51 55 55 55 55 57 61 62
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Hasil analisa kandungan asam-asam lemak minyak ikan lemuru Uji efektivitas proteksi dalam rumen secara invitro Karakteristik fermentasi dalam rumen secara invivo Persentase VFA individual berdasarkan VFA total Populasi mikrob yang terdapat dalam rumen Konsumsi pakan ternak Kecernaan zat-zat makanan Bobot badan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan Karakteristik karkas dan kualitas karkas Komponen non karkas Komponen karkas Rataan potongan komersial karkas Sifat fisik daging Sifat kimia daging Uji mutu hedonik daging Kandungan asam-asam lemak daging Komponen volatile daging berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Grafik hubungan antara waktu retensi dan luas area puncak dari komponen volatile sapi non CGKK Grafik hubungan antara waktu retensi dan luas area puncak dari komponen volatile sapi CGKK Grafik hubungan antara waktu retensi dan luas area puncak dari komponen volatile kerbau non CGKK Grafik hubungan antara waktu retensi dan luas area puncak dari komponen volatile kerbau CGKK
78 78 79 79 81 82 83 84 84 85 87 88 88 89 90 90 92 93 95 96 97
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani asal ternak terus mengalami peningkatan setiap tahun. Hal ini disebabkan oleh pertambahan jumlah pendududuk dan kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat. Akibatnya ketersediaan produk hewani terutama daging harus diimbangi dengan produksi ternak. Produksi ternak dapat ditingkatkan dengan dua cara, pertama adalah dengan meningkatkan populasi ternak per unit lahan. Kedua adalah dengan meningkatkan pertambahan bobot badan per unit ternak (Wiryawan 1994). Metode yang umum digunakan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan per unit ternak adalah dengan penggemukan. Penggemukan pada ternak kerbau rawa/kerbau lumpur belum banyak dilakukan, seperti pada sapi. Padahal, ternak kerbau tersebar hampir diseluruh wilayah di Indonesia dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap habitat hidupnya. Pada awalnya kerbau rawa/kerbau lumpur dipelihara di daerah pertanian dan berperan sebagai ternak kerja, dengan pemberian pakan seadanya. Akibatnya pertumbuhan ternak menjadi lambat. Seiring dengan intensifikasi dan mekanisasi dibidang pertanian maka peran ternak kerbau rawa/kerbau lumpur sebagai ternak kerja tergeser oleh penggunaan mesin-mesin pertanian (Cruz 2010).Untuk itu ternak kerbau perlu diperbaiki potensi genetiknya sebagai ternak penghasil daging. Pakan penggemukan terdiri dari hijauan dan konsentrat dan dapat juga diberikan pakan tambahan (pakan suplemen). Di dalam rumen semua zat-zat makanan mengalami proses fermentasi dan hidrogenasi. Mikroorganisme dalam rumen juga menghidrogenasi asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh. Sehingga daging yang dihasilkan mengandung asam lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi, dan dianggap sebagai salah satu faktor yang berperan meningkatkan penyakit kardiovaskular, kegemukan, hipertensi dan kanker pada manusia (Moreira et al. 2003; Padre et al. 2007). Untuk mengurangi resiko penyakit tersebut dan menghasilkan daging sehat dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, maka perlu ditambahkan pakan suplemen. Pakan suplemen sebagai sumber energi dan sebagai sumber asam-asam lemak tak jenuh yang tinggi salah satunya adalah minyak ikan. Minyak ikan lemuru (Sardinella longiceps) merupakan hasil samping pembuatan tepung ikan, dan pengalengan ikan (Rusmana et al. 2008; Mohana et al. 2012). Minyak ikan lemuru sangat potensial di Indonesia. Minyak ikan merupakan sumber energi pada pakan ternak. Selain itu, minyak ikan mengandung asam-asam lemak tak jenuh rantai panjang (n-3 PUFA/polyunsaturated fatty acids) yang tinggi yaitu 31.4%, terutama EPA (Eicosapentaenoic acid, C20:5(n-3)) yaitu 17.6% dan DHA (Docosahexaenoic acid, C22:6(5-3)) (Saldanha et al. 2007; Chakraborty et al. 2010), dan Asam linolenat, yang juga merupakan prekursor EPA dan DHA (Cunnane dan Griffin 2002). Asam-asam lemak ini mempunyai fungsi spesifik dan sangat penting untuk pertumbuhan, pemeliharaan struktur membran, sintesis fosfolipid dan pembentukan prostaglandin yang sangat penting pada regulasi metabolisme seluler (Riis 1983; Estiasih 2009). Beberapa hasil penelitian suplementasi EPA
2
dan DHA dalam pakan, pada ternak kuda dan domba dapat menurunkan peradangan dan meningkatkan fungsi reproduksi (Ashes 1992; King et al. 2008). Asam lemak PUFA tidak dapat disintesis di dalam tubuh. Oleh karena itu harus diberikan secara eksternal dalam pakan. Perlindungan terhadap asam-asam lemak tersebut dibutuhkan untuk mencegah n-3 PUFA mengalami perubahan dalam rumen, sehingga memungkinkan penggabunganya dalam jaringan tubuh ternak (Jones et al. 2005). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa, sifat lemak pada ternak ruminansia dapat dipengaruhi dengan pemberian lemak yang tidak mengalami proses fermentasi dan hidrogenasi dalam rumen yaitu dengan mekanisme rumen by pass. Teknologi garam karboksilat adalah suatu teknologi perlindungan lemak menggunakan proses kimiawi untuk melindungi asam lemak yang berasal dari minyak ikan. Garam karboksilat yang dihasilkan dicampur dengan onggok dan dikeringkan, sehingga menjadi campuran garam kerboksilat kering (CGKK). Lemak dan asam-asam lemak yang berasal dari pakan dapat disimpan dalam otot dan jaringan tubuh lainnya. Lemak tersimpan dalam bentuk trigliserid dan fosfolipid struktural. Selama proses pemasakan daging, degradasi lipid terjadi, degradasi membentuk banyak senyawa volatil. Salah satu jalur utama aroma volatil saat memasak daging adalah oksidasi termal yang diinduksi dari rantai asil dari lipid. Mottram (1998) menyatakan bahwa oksidasi asam lemak tak jenuh merupakan reaksi utama yang bertanggung jawab atas terjadinya degradasi lemak, yang diawali dengan terbentuknya radikal bebas. Terbentuknya radikal bebas mengakibatkan timbulnya peroksida-peroksida yang bila mengalami dekomposisi akan menghasilkan zat-zat kimia yang berkontribusi langsung terhadap flavour daging seperti aldehid, alkohol tidak jenuh, keton, lakton dan furan serta hidrokarbon aromatik (Mottram 1998; Marques-Ruiz et al. 2008). Atas dasar pemikiran di atas, maka dilakukan penelitian untuk mengkaji pengaruh suplementasi pakan yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK) terhadap produktivitas, efektivitas fermentasi, karakteristik karkas dan sifat daging kerbau rawa/kerbau lumpur dibandingkan dengan sapi peranakan ongole (PO) yang digemukkan di feedlot. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji performa pertumbuhan ternak kerbau rawa dan sapi PO yang digemukkan di feedlot dengan pemberian pakan yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk CGKK. 2. Mengkaji efektivitas pencernaan dalam rumen pada ternak kerbau rawa dan sapi PO yang digemukkan di feedlot dengan pemberian pakan yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk CGKK. 3. Mengkaji karakteristik karkas dan daging kerbau rawa dan sapi PO yang digemukkan di feedlot dengan pemberian pakan yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk CGKK. 4. Untuk menghasilkan daging sehat yang mengandung asam-asam lemak tak jenuh rantai panjang yang tinggi sebagai pangan fungsional (Functional food).
3
Keluaran yang Diharapkan 1. Peningkatan performans pertumbuhan ternak kerbau rawa dan sapi PO. 2. Peningkatan karakteristik karkas dan sifat-sifat daging kerbau rawa dan sapi PO. 3. Sebagai sumber pangan fungsional (functional food)/daging sehat. 4. Peningkatan citarasa daging kerbau yang disukai oleh konsumen. 5. Penggunaan teknologi perlindungan lemak pakan. Manfaat Penelitian 1. Melalui hasil penelitian ini diharapkan, terjadi peningkatan pertambahan bobot badan ternak kerbau rawa dan sapi PO yang digemukkan, sehingga dapat mengurangi jumlah pemotongan ternak dan terjadi peningkatan populasi ternak. 2. Penggemukan ternak kerbau rawa dan sapi PO dengan suplementasi pakan yang mengandung asam lemak terproteksi menghasilkan daging sehat atau pangan fungsional (functional food) yang mengandung asam-asam lemak tak jenuh tinggi serta kandungan kolesterol rendah.
4
2 EFEKTIVITAS PEMBERIAN PAKAN YANG MENGANDUNG ASAM LEMAK TERPROTEKSI TERHADAP FERMENTASI RUMEN SECARA IN VITRO ABSTRAK Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh pemberian pakan yang mengandung asam-asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk CGKK pada proses fermentasi dan kecernaanya dalam rumen secara in vitro. Cairan rumen berasal dari ternak kerbau dan sapi yang diperoleh dari RPH. Substrat yang digunakan adalah campuran hijauan dan konsentrat (35:65 BK/BK) dengan perlakuan pakan sebagai berikut: K0 (kontrol) yaitu konsentrat + hijauan, K1 yaitu K0 + CGKK dan K2 yaitu K0 + minyak ikan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 3x2. Faktor pertama adalah perlakuan pakan dan faktor kedua adalah jenis cairan rumen, masing-masing terdiri dari 3 ulangan. Data yang diperoleh di analisis menggunakan sidik ragam dan uji lanjut Least Square Means. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi terhadap VFA total rumen, pH rumen, NH3 rumen, KCBK dan KCBO. NH3 pada cairan rumen ternak kerbau lebih rendah dibandingan NH3 pada cairan rumen sapi. Suplementasi CGKK meningkatkan KCBK dan KCBO dalam rumen. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk campuran garam karboksilat kering tidak mengganggu aktivitas fermentasi rumen. Kata kunci : minyak ikan, in vitro, proteksi asam lemak, sapi, kerbau.
THE EFFECT OF RATION CONTAINING PROTECTED FATTY ACIDS ON IN VITRO RUMEN FERMENTATION ABSTRACT This experiment was aimed to investigate the effect of ration containing protected fatty acids on in vitro rumen fermentation. The protected fatty acid’s was in the form of dried carboxylate salt mixture (DCM). The data were analyzed using a completely randomized design with 2x2 factorial models; feeding trial (non CGKK, with CGKK and with fish oil) as the first factor and rumen liquor as second factor (the origin of buffaloes and cattle). The results showed that no interaction was found between the two factors on all parameters. The supplementation with DCM had significantly higher dry matter and organic matter digestibilities. Rumen NH3 of buffalo was lower compared to those of cattle. It is concluded that DCM supplementation does not disturb rumen fermentation. Keywords: fish oil, in vitro, protection, cattle, buffalo
5
PENDAHULUAN Pemeliharaan ternak kerbau mempunyai beberapa keunggulan diantaranya adalah pada kondisi pakan kurang baik kerbau masih dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Ini disebabkan oleh kemampuan ternak kerbau dalam mencerna pakan berserat kasar lebih efisien karena waktu retensi pakan lebih lama. Lamanya proses pencernaan dalam rumen kerbau mengakibatkan gerakan makanan dalam saluran pencernaan menjadi lamban sehingga makanan dapat diolah lebih lama dan penyerapan zat gizinya lebih banyak (Wanapat 2001). Jumlah bakteri dan protozoa rumen pemecah selulosa lebih banyak dibanding dengan sapi. Perbedaan proporsi dan jumlah mikrob dalam rumen tersebut juga mempengaruhi proses dan produk akhir dari fermentasi.Walaupun kerbau mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mencerna pakan berserat, tetapi masih memerlukan pakan konsentrat dan pakan tambahan agar dapat berproduksi secara optimal. Salah satu pakan tambahan sebagai sumber energi adalah minyak ikan. Minyak ikan selain sebagai sumber energi juga kaya akan kandungan asam lemak tak jenuh rantai panjang terutama asam lemak omega-3. Penambahan minyak ikan dalam pakan dapat mengubah profil asam lemak pada jaringan tubuh ternak yang sangat penting untuk kesehatan manusia. Tetapi pencernaan lemak dalam rumen dapat menurunkan keuntungan pemberian asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam minyak ikan seperti yang diharapkan. Karena semua zat-zat makanan yang masuk ke dalam rumen mengalami proses fermentasi dan hidrogenasi oleh mikroba untuk menghasilkan asam-asam lemak mudah terbang (Volatile Fatty Acids/VFA’s). Selain itu penambahan lemak dalam pakan dapat memberikan efek negatif yaitu menghambat aktifitas mikrob rumen dan menurunkan kecernaan serat, karena lemak melapisi partikel pakan sehingga mencegah pelekatan bakteri. Padahal lemak diharapkan dapat meningkatkan energi pakan tanpa harus tergantung pada produksi VFA (Parakkasi 1999; Bauman et al. 2003). Untuk melindungi asam-asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan dan efek negatif dari pemberian lemak maka dilakukan proteksi terhadap asam-asam lemak tersebut agar tidak mengalami perubahan dalam rumen dan memungkinkan penggabunganya dalam jaringan tubuh ternak. Minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk garam karboksilat merupakan hasil dari suatu proses kimiawi dari minyak ikan untuk melindungi asam-asam lemak essensial yang dibutuhkan oleh tubuh. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK) pada proses fermentasi dan kecernaanya dalam rumen secara in vitro. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kemampuan suplementasi CGKK dalam melindungi asam-asam lemak dari degradasi dan fermentasi dalam rumen secara in vitro.
6
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2011. Penelitian in vitro di lakukan di laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Cairan rumen diambil dari RPH PT. Elders, Institut Pertanian Bogor. Materi Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan rumen kerbau rawa dan sapi peranakan ongole (PO), minyak ikan, campuran garam karboksilat kering (CGKK), hijauan dan konsentrat. Percobaan ini menggunakan 3 (tiga) perlakuan pakan dan 2 (dua) jenis cairan rumen, masing-masing terdiri dari 3 ulangan. Substrat yang digunakan adalah campuran hijauan dan konsentrat (35:65 dalam bentuk bahan kering/BK) dengan perlakuan pakan sebagai berikut: K0 (Kontrol) : konsentrat + hijauan K1 : K0 + hijauan + CGKK K2 : K0 + minyak ikan Hijauan terdiri atas campuran rumput gajah dan rumput lapang. Konsentrat terdiri atas onggok 38%, dedak 25%, jagung 24%, bungkil kedele 8%, vitamin + mineral 1%, DCP 2,15%, CaCO3 1,15%, methionin 0,3%, NaCl 0,4%. Rumput dan konsentrat digiling sehingga menjadi tepung. Hasil analisis proksimat pakan disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Komposisi dan kandungan nutrisi pakan penelitian Kandungan nutrisi (%) Bahan kering Abu Lemak kasar Protein kasar Serat kasar BETN* TDN**
K0 33.33 7.42 2.25 13.65 35.80 40.87 57.79
Perlakuan pakan K1 33.58 7.25 2.91 13.82 35.93 40.09 58.87
K2 33.89 7.45 2.40 14.03 35.80 39.32 52.92
Hasil Analisa Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB Bogor *Berdasarkan perhitungan **TDN (Hartadi et al. 1980) = 92.64 – 3.338 (SK) – 6.945 (LK) – 0.762(BETN) + 1.115 (PK) + 0.031(SK)2-0.133(LK)2+0.036(SK)(BETN)+0.207(LK)(BETN)+0.100(LK) (PK) -0.022(LK)2(PK).
Sebelum dilakukan percobaan in vitro terlebih dahulu dilakukan pembuatan garam karboksilat. Bahan yang digunakan untuk pembuatan garam karboksilat adalah minyak ikan lemuru sebagai bahan dasar sumber asam lemak, asam klorida (HCl), kalium hidroksida (KOH), kalsium klorida (CaCl2) dan aquades. Minyak ikan lemuru diperoleh dari Desa Muncar Banyuwangi, Jawa Timur. Selama penyimpanan minyak ikan ditambahkan butylated hydroksitoluen (BHT) untuk melindungi minyak dari ketengikan oksidatif. Kandungan asam lemak utama dalam minyak ikan ditentukan menggunakan kromatografi gas dengan detektor ionisasi nyala atau gas liquid chromatography flame ionized
7
detector (GLCFID). Adapun cara pembutan garam karboksilat diuraikan dibawah ini. Pembuatan campuran garam karboksilat kering (CGKK) Pengolahan minyak ikan lemuru bertujuan untuk memudahkan pencampuran dengan bahan lain dalam konsentrat dan melindungi asam-asam lemak poli tak jenuh terutama asam lemak omega-3. Proses pembuatan CGKK dimulai dengan mencampur minyak ikan dengan asam klorida (HCl). Campuran selanjutnya ditambah aquades dan dipanaskan pada suhu 600C selama 30 menit. Asam lemak bebas atau asam karboksilat yang dihasilkan dari hidrolisis asam minyak ikan ditambah dengan larutan KOH terlebih dahulu dan diaduk kemudian ditambahkan dengan CaCl2. Kemudian disimpan pada suhu ruang sehingga garam karboksilat terbentuk kepermukaan (Hwang dan Liang 2001). Air yang berada dibagian bawah dibuang, lalu garam karboksilat yang dihasilkan dicampur dengan onggok dengan perbandingan 1 : 5 w/w. Campuran onggok dengan garam karboksilat (COGK) dikeringkan dalam oven pada suhu 32°C. Hasil pengeringan campuran onggok dengan garam karboksilat merupakan campuran garam karboksilat kering (CGKK) dengan kadar air 15% yang selanjutnya dapat dicampur dengan konsentrat. Prosedur Analisis Pengambilan cairan rumen : Cairan rumen berasal dari ternak kerbau dan sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH). Isi rumen diperas dan disaring menggunakan kain kasa sebanyak empat rangkap untuk mendapatkan cairan rumen. Cairan rumen dimasukkan ke dalam termos hangat yang telah diisi terlebih dahulu dengan air panas, sehingga mencapai suhu 39oC, kemudian dibawa ke laboratorium. Proses fermentasi secara in vitro Pencernaan fermentatif (anaerob) di rumen, dilakukan dengan metode Tilley and Terry (1966). Sampel yang telah disiapkan ditimbang sebanyak 0.5 gram dan dimasukkan ke dalam tabung fermentor berkapasitas 100 ml, di tambahkan 40 ml larutan Mc Dougall. Kemudian Tabung di masukan ke dalam shaker bath dengan suhu 39oC, dan ditambahkan cairan rumen sebanyak 10 ml, lalu tabung di kocok sambil di alirkan gas CO2 selama 30 detik dengan pH 6,5 – 6,9 dan kemudian tabung di tutup dengan karet berfentilasi, dan di fermentasi selama 4 jam. Setelah 4 jam, tutup karet tabung fermentor dibuka dan diteteskan 2-3 tetes HgCl2 untuk membunuh mikroba. Selanjutnya tabung fermentor di sentrifuse dengan kecepatan 4.000 rpm selama 10 menit. Substrat akan terpisah menjadi dua bagian yaitu endapan di bagian bawah dan supernatant yang bening berada di bagian atas. Supernatan diambil untuk analisis NH3 dan VFA. Pengukuran konsentrasi N-Amonia (N-NH3) Kadar N-NH3 ditentukan dengan metoda mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedure 1966). Sebanyak 1 ml supernatan diletakkan sebelah kiri sekat cawan Conway dan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh ditempatkan pada sekat
8
sebelah kanan. Posisi cawan diletakkan sedemikian rupa sehingga keduanya tidak bercampur sebalum cawan ditutup rapat. Pada cawan kecil dibagian tengah diisi dengan asam borat berindikator Methil red dan brom kresol green sebanyak 1 ml. Kemudian cawan Conway ditutup rapat dengan tutup bervaselin lalu digoyang dengan perlahan hingga supernatan tercampur dengan larutan Na2CO3 lalu dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Amonia yang terikat dengan asam borat dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai warna berubah kemerah-merahan. Volume titran dicatat dan kadar N-NH3 dihitung dengan rumus : N-NH3 = (ml titrasi x N H2SO4 x 1000) mM Pengukuran konsentrasi volatile fatty acid (VFA) total Kadar VFA total ditentukan dengan metode destilasi uap (General Laboratory Procedure 1966). Sebanyak 5 ml supernatant dimasukkan ke dalam tabung destilasi yang dipanaskan dengan uap air. Tabung segera ditutup rapat setelah ditambahkan 1 ml H2SO4 15%. Uap air panas akan mendesak VFA mendekati tabung destilasi yang terkondensasi dan ditampung dengan erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N sampai mencapai volume sekitar 300 ml. Selanjutnya ditambahkan indikator penophtalein sebanyak dua tetes dan dititrasi dengan HCl 0.5 N. Titrasi berakhir pada saat titik awal perubahan warna dari merah menjadi bening. Sebagai blanko, dilakukan juga titrasi terhadap 5 ml NaOH 0.5 N. Produksi VFA total di hitung : ( a – b ) ml x N HCl x 1000 / 5ml mM VFA total = gr sample x BK sampel dimana : a = volume HCl blanko b = volume HCl sampel Pengukuran kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO) Pencernaan hidrolitik (aerob) di pasca rumen (Metode Tilley and Terry 1966). Prosedurnya sama seperti pencernaan fermentatif di rumen namun fermentasi dilanjutkan selama 48 jam. Setelah 48 jam tutup karet tabung fermentor dibuka kemudian teteskan 2 -3 tetes HgCl2 untuk membunuh mikroba. Tabung fermentor disentrifuse dengan kecepatan 4.000 rpm selama 10 menit. Substrat akan terpisah menjadi endapan di bagian bawah dan supernatan yang bening berada di bagian atas. Supernatan dibuang dan endapan di tambahkan 50 ml larutan pepsin-HCl 0.2% dan di inkubasi kembali selama 48 jam tanpa tutup karet. Sisa pencernaan di saring dengan kertas saring whatman no 41 ( yang sudah diketahui bobotnya ) dengan bantuan pompa vacum. Endapan yang ada di kertas saring di masukan ke dalam cawan porselen, setelah itu dimasukkan ke dalam oven 105⁰C selama 24 jam. Setelah 24 jam, cawan porselen+kertas saring+residu dikeluarkan, dimasukkan kedalam eksikator dan ditimbang untuk mengetahui kadar bahan keringnya. Selanjutnya bahan dalam cawan di pijarkan atau di abukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450–600oC, kemudian ditimbang untuk mengetahui kadar bahan organiknya. Sebagai blanko di pakai residu asal fermentasi tanpa bahan pakan. Koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO) dihitung:
9
Bahan kering/BK sampel (g) - (BK residu (g) - BK blanko (g) % KCBK=
x 100% BK sampel
Bahan organik/BO sampel (g) - (BO residu (g) - BO blanko (g) % KCBO= x 100% BO sampel Pengukuran pH Pengukuran pH dilakukan pada setiap akhir masa inkubasi dengan menggunakan pH meter. Analisis Data Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 3x2. Faktor pertama adalah perlakuan pakan yaitu pakan kontrol, pakan yang disuplementasi CGKK, dan pakan yang disuplementasi minyak ikan. Faktor kedua adalah jenis cairan rumen yaitu cairan rumen kerbau dan cairan rumen sapi. Masing-masing perlakuan terdiri atas 3 ulangan. Dengan model matematis sebagai berikut (Steel dan Torrie 1995) Yijk = µ + τi + βj + (τβ)ij + E(ij)k Keterangan : Yijk = Respon pengaruh perlakuan pakan ke-i,jenis ternak ke-j dan ulangan ke-k µ = Rataan umum τi = Pengaruh perlakuan pakan βj = Pengaruh jenis cairan rumen ternak (τβ)ij = Pengaruh interaksi perlakuan pakan dan jenis cairan rumen E(ij)k = Pengaruh galat percobaan Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Anova). Apabila terdapat pengaruh terhadap peubah yang diamati dilanjutkan dengan uji Least Square Means (Sas User’s Guide 1985)
10
HASIL DAN PEMBAHASAN In vitro merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menentukan fermentabilitas dan degradasi bahan pakan dalam cairan rumen. Cara ini sebagai tiruan proses pencernaan ternak ruminansia. Fermentabilitas ditunjukkan oleh konsentrasi amonia (NH3) dan konsentrasi asam lemak terbang (Volatile Fatty Acid/VFA) total. Degradasi juga dapat diukur dengan cara in vitro dan biasanya dinyatakan dalam persentase degradasi bahan kering (McDonald et al. 2002). Keunggulan metode in vitro diantaranya waktu yang dibutuhkan lebih singkat dan pelaksanaanya lebih mudah dibandingkan dengan metode lain seperti in vivo dan in situ. Pengaruh perlakuan terhadap efektivitas pencernaan pakan dalam rumen dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Rataan hasil fermentasi pakan secara in vitro berdasarkan pakan perlakuan dan jenis cairan rumen ternak Perlakuan
Pakan Non CGKK CGKK Minyak Ikan Jenis cairan rumen Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis cairan rumen (JCR) P x JCR SEM
VFA (mM)
pH
Peubah NH3 (mM)
KCBK (%)
KCBO (%)
136.51 153.53 128.37
6.64 6.64 6.65
4.52 4.32 5.11
53.91 56.82 52.09
57.04 60.0 54.86
136.79 142.15
6.66 6.63
6.38 2.92
54.84 53.70
57.86 56.77
TN TN TN 25.45
TN TN TN 0.04
TN * TN 1.19
* TN TN 2.87
* TN TN 2.94
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = tidak berbeda nyata, VFA = Volatil fatty acid, KCBK = Kecernaan bahan kering, KCBO = Kecernaan bahan organik
Profil VFA Rumen Fermentasi dalam rumen menghasilkan asam-asam lemak terbang atau volatile fatty acids (VFA’s) sebagai produk utama penyediaan energi dan karbon untuk pertumbuhan dan mempertahankan kelangsungan hidup mikrob. Jumlah VFA yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh kecernaan serta kualitas ransum yang difermentasi (Kamra 2005). Konsentrasi total VFA cairan rumen in vitro sebagai akibat perlakuan pakan berkisar antara 128.37-153.53 mM. Sedangkan sebagai akibat perlakuan jenis cairan rumen berkisar 136.79-142.15 mM (Tabel 3.2). Nilai ini masih dalam kisaran konsentrasi VFA normal yang terdapat dalam rumen ternak yaitu 80-160 mM untuk menunjang pertumbuhan optimal mikrob rumen (McDonald et al. 2002). Dari tabel terlihat bahwa pengaruh interaksi, pengaruh perlakuan pakan dan pengaruh jenis cairan rumen tidak berbeda nyata terhadap konsentrasi total VFA cairan rumen. Pemberian pakan CGKK dan minyak ikan sebanyak 4.5%
11
dalam ransum menghasilkan pengaruh yang sama dengan pemberian pakan tanpa CGKK dan minyak ikan. Hal ini berarti bahwa pemberian CGKK dan minyak ikan yang mengandung lemak tinggi tidak berdampak negatif terhadap proses fermentasi dan aktivitas mikrob rumen. Pemberian minyak ikan tanpa diolah dan yang diolah juga belum menyebabkan peningkatan energi ransum, sehingga produksi VFA belum meningkat. Hasil penelitian yang di laporkan oleh Joseph (2007), pada ternak domba yang mendapat tambahan minyak ikan yang telah diolah dalam ransumnya berbentuk sabun kalsium sebanyak 10% menyebabkan peningkan produksi VFA total. Sumber energi utama yang berasal dari pakan dan mudah difermentasi dalam rumen untuk menghasilkan VFA bagi pertumbuhan mikrob rumen adalah karbohidrat. Pada penelitian ini jumlah pakan hijauan dan konsentrat yang digunakan sebagai substrat pada ketiga perlakuan pakan adalah sama sehingga energi yang dihasilkan dalam bentuk VFA adalah sama, baik dalam rumen kerbau maupun sapi. Dalam rumen, karbohidrat hampir sepenuhnya difermentasi menjadi VFA. Mikrob rumen menghidrolisis selulosa menjadi monosakarida yang kemudian membentuk VFA. VFA mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber energi bagi ternak dan sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein mikrob. Konsentrasi VFA rumen menggambarkan keseimbangan antara kecepatan produksi dan kecepatan pengeluaran untuk masing-masing VFA sebagai proses interkonversi. Kecepatan penyerapan VFA dipengruhi oleh konsentrasi, tekanan osmotik dan pH rumen (Black and Kennedy 1984). pH Rumen pH cairan rumen berperan sangat penting dalam mengatur beberapa proses dalam rumen untuk menghasilkan asam lemak atsiri atau volatile fatty acid dan mendukung pertumbuhan mikrob rumen. Pengaruh perlakuan pakan terhadap pH cairan rumen berkisar antara 6.64-6.65. Sedangkan pengaruh jenis cairan rumen berkisar 6.63-6.66. Konsentrasi ini masih dalam kisaran pH optimum untuk pertumbuhan bakteri rumen yaitu 6.0-6.9 pada temperatur 39οC (Kamra 2005). Salah satu sifat negatif dari penambahan lemak dalam ransum ruminan adalah lemak dan minyak dapat menurunkan kecernaan dalam rumen. Dari Tabel 3.2 dapat dilihat bahwa pengaruh interaksi, pengaruh perlakuan pakan dan pengaruh jenis cairan rumen terhadap konsentrasi pH rumen tidak berbeda nyata. Tidak berbedanya nilai pH akibat perlakuan mengidentifikasikan bahwa pemberian minyak ikan tanpa diolah dan yang diolah tidak mengganggu keseimbangan lingkungan rumen, sehingga proses fermentasi masih berjalan dengan baik. Tidak berbedanya pH cairan rumen akibat perlakuan pakan dan jenis cairan rumen sejalan dengan produksi VFA yang juga tidak berbeda. Hasil ini tidak berbeda dengan penelitian Wajizah (2012), pada uji ketahanan amida, bahwa minyak ikan lemuru yang terproteksi dalam rumen menggunakan cairan rumen sapi secara in vitro, walaupun cenderung menurun dengan lamanya waktu inkubasi tetapi masih dalam kisaran pH optimum. pH rumen yang optimal diperlukan untuk proses sellulolisis, proteolisis dan deaminasi. Jika pH turun <6.0 maka pencernaan serat menurun secara drastis. Penurunan nilai pH berkorelasi dengan meningkatnya N mikrob serta meningkatnya konsentrasi VFA total dan parsial (Alltech 2012).
12
N-NH3 Rumen Kisaran produksi ammonia pada penelitian akibat perlakuan pakan yaitu 4.32–5.11 mM. Sedangkan akibat pengaruh jenis cairan rumen adalah 2.92-6.38 mM (Tabel 3.2). Kadar N-NH3 yang mendukung pertumbuhan mikrob dalam rumen adalah 4-14 mM, dan apabila nilai N-NH3 kurang dari 4 mM maka proses fermentasi akan terganggu (Preston dan Leng 1987; McDonald et al. 2002). Pengaruh interaksi dan pengaruh perlakuan pakan terhadap produksi N-NH3 tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa penambahan lemak pada pakan dalam bentuk minyak ikan maupun CGKK tidak memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan mikrob, sehingga proses deaminasi asam amino dan fermentasi pakan hijauan dapat berlangsung secara optimal Proses fermentasi secara in vitro menggunakan cairan rumen kerbau menurunkan (P<0.05) produksi N-NH3 dibandingkan dengan menggunakan cairan rumen sapi. Penurunan produksi N-NH3 pada cairan rumen kerbau belum memberikan dampak negatif terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik, hal ini terlihat pada persentase kecernaan bahan kering dan bahan organik pada kedua jenis cairan rumen masih berada pada kisaran 50-60%. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Rataan kecernaan bahan kering dalam cairan rumen in vitro sebagai akibat perlakuan pakan berturut-turut pada pakan tanpa suplementasi, suplementasi CGKK dan suplementasi minyak ikan adalah 53.91%, 56.82% dan 52.09%. Sedangkan sebagai akibat pengaruh jenis cairan rumen kerbau dan sapi adalah 53.70% dan 54.85% (Tabel 3.2). Pengaruh interaksi dan pengaruh jenis cairan rumen tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering pakan. Rataan kecernaan bahan organik sebagai akibat perlakuan pakan berturutturut pada pakan tanpa suplementasi, suplementasi CGKK dan suplementasi minyak ikan adalah 57.04%, 60.00% dan 54.86%. Sedangkan sebagai akibat pengaruh jenis cairan rumen kerbau dan sapi adalah 56.77% dan 57.86%. Pengaruh interaksi dan pengaruh jenis cairan rumen tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan organik pakan. Suplementasi CGKK dalam pakan ternak meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik dalam rumen dibandingkan dengan kecernaan bahan kering dan bahan organik pada ternak yang diberi pakan tanpa suplementasi dan minyak ikan. Peningkatan kecernaan bahan kering sejalan dengan peningkatan kecernaan bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan lemak yang terproteksi dalam bentuk CGKK dapat melindungi lemak dari sistem pencernaan dalam rumen sehingga dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan. Joseph (2007) melaporkan bahwa penambahan lemak dalam bentuk sabun kalsium baik taraf 5% maupun 10% dalam pakan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Menurut Parakkasi (1995) bahwa, penambahan lemak dalam ransum ternak ruminansia dapat meningkatkan konsumsi, tapi bila berlebihan dapat berakibat negatif dan mengganggu pencernaan.
13
SIMPULAN Pemberian pakan yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk campuran garam karboksilat kering tidak mengganggu aktivitas fermentasi dan pertumbuhan mikrob dalam rumen serta meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik.
14
3 PENGARUH PEMBERIAN PAKAN YANG MENGANDUNG ASAM LEMAK TERPROTEKSI TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN EFEKTIVITAS PENCERNAAN DALAM RUMEN PADA TERNAK KERBAU DAN SAPI ABSTRAK Penelitian bertujuan mengkaji pengaruh pemberian pakan yang mengandung asam-asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK) terhadap produktivitas dan efektivitas pencernaan pakan dalam rumen pada ternak kerbau rawa dan sapi PO yang digemukkan di feedlot. Enam ekor kerbau rawa jantan dengan bobot badan 218.66±16.28 dan delapan ekor sapi PO jantan dengan bobot badan 217.37±15.44, pada I1 umur 1.5 – 2 tahun digunakan dalam penelitian. Penggemukan dilaksanakan selama 2.5 bulan. Selama penggemukan ternak diberi hijauan dan konsentrat dengan rasio 35:65% BK. Suplementasi CGKK yang ditambahkan sebanyak 45 g/kg konsentrat. Setelah digemukkan ternak dipotong dan diambil cairan rumennya untuk dianalisis. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 2x2. Faktor pertama adalah perlakuan pakan yaitu non CGKK (hijauan+konsentrat) dan suplementasi CGKK (hijauan+ konsentrat+CGKK). Faktor kedua adalah jenis ternak (kerbau rawa dan sapi PO). Data yang diperoleh di analisis menggunakan sidik ragam dan uji lanjut Least Square Means (LSM). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan pakan dengan jenis ternak terhadap konsumsi lemak, VFA total, produksi asetat dan gas methan. Suplementasi CGKK meningkatkan konsumsi BK, PK, SK, VFA total, asetat, propionat, normal butirat dan produksi metan pada sapi. Konsumsi zat-zat makanan pakan, bobot badan akhir, PBBH, VFA total dan individual dan bakteri proteolitik, meningkat dan sebaliknya pH rumen, protozoa dan produksi gas methan lebih rendah pada ternak kerbau dibandingkan dengan sapi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi CGKK meningkatkan konsumsi zat-zat makanan dan efektivitas pencernaan dalam rumen pada ternak kerbau. Kata kunci : minyak ikan, CGKK, proteksi asam lemak, sapi, kerbau.
THE EFFECT OF RATION CONTAINING PROTECTED FATTY ACIDS ON PRODUCTIVITY AND DEGRADATION EFFECTIVENESS IN RUMEN OF BUFFALOES AND CATTLE
ABSTRACT The objective of this experiment was to examine the effect of protected fatty acid’s on productivity and degradation effectiveness in the rumen of swamp buffalo and PO cattle fattened in feedlot. The protected fatty acid’s was in the form of dried carboxylate salt mixture (DCM). Six male buffaloes and eight male cattle on I1 aged between 1.5-2 years old with initial live weight of 218.66±16.28
15
kg and 217.37±15.44 kg, respectively were used in this study. They were fettened in feedlot using 35% forage and 65% concentrate diet for 2.5 months. DCM was given in the form of concentrate mixture, 45 g DCM/kg concentrate. The feeding treatments consisted of ration without suplementation (forage+concentrate) and CGKK suplementation (forage+concentrate+DCM). At the end of feeding trial, the animals were slaughtered and the rumen liquor were collected to analyze rumen microbes and its fermentation. The data were analyzed using a completely randomized design with 2x2 factorial models; feeding trial (with and without supplement CGKK) as the first factor and animals as second factor (buffaloes and cattle). The results showed that there were interaction between the two factors on fat consumption, total VFA, asetat production and methane gas. The supplementation of DCM increase feed consumption, concentration and proportion of VFA and methane gas on cattle. The buffaloes had significantly higher feed consumption, growth, total and partial VFA, proteolytic bacteria but had lower rumen pH, protozoa population and methane gas compared to those of cattle. It is concluded that DCM supplementation can increase the effectivity of protected fatty acids, concentration and proportion of VFA, rumen microbial population as well as feed consumption on buffalo. Keywords: fish oil, DCM, protection fatty acids, cattle, buffalo
PENDAHULUAN Dibandingkan dengan sapi, kerbau mempunyai kemampuan 2-3% lebih tinggi dalam memanfaatkan pakan berkualitas rendah dengan kandungan serat kasar tinggi dan protein yang rendah sehingga pada kondisi pakan yang kurang baik, kerbau masih dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik (Bartocci et al. 1997; Terramoccia et al. 2000; Agarwal et al. 2009; Sarwar et al. 2005). Hal ini disebabkan oleh lamanya proses pencernaan dalam rumen akibat lambannya gerakan makanan dalam saluran pencernaan sehingga penyerapan zat gizinya lebih banyak. Perbedaan proporsi dan jumlah mikrob dalam rumen kerbau yang lebih banyak, juga mempengaruhi proses dan produk akhir dari fermentasi (Wanapat 2001). Tetapi, hasil penelitian Singh et al. (1990); Qureshi et al. (2002); Sahoo et al. (2004); Wynn et al. (2009), menyatakan bahwa, rata-rata pertumbuhan kerbau lebih lambat dibanding sapi. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan pakan yang tidak teratur dan kualitas pakan yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan ternak kerbau.. Produktivitas ternak kerbau sebagai penghasil daging dapat ditingkatkan dengan cara penggemukan. Penggemukan ternak kerbau belum banyak dilakukan seperti pada sapi. Jika ternak digemukkan terlebih dahulu sebelum dipotong maka akan didapat pertambahan bobot badan yang signifikan. Akibatnya jumlah ternak yang dipotong, impor ternak dan daging berkurang. Pakan penggemukan terdiri dari hijauan dan konsentrat dan dapat ditambahkan pakan suplemen. Salah satu pakan suplemen yang tinggi kandungan energinya adalah minyak ikan. Minyak ikan juga mengandung asam-asam lemak tak jenuh yang tinggi, terutama asam lemak omega-3 yaitu EPA (Eicosapentaenoic acid, C20:5(n-3)) dan DHA (Docosahexaenoic acid, C22:6(5-3 (Rusmana et al. 2008; Saldanha et al.
16
2007). Asam lemak omega-3 merupakan senyawa bioaktif dan mempunyai efek fisiologis yang menguntungkan kesehatan ternak (Estiasih 2009). Penambahan lemak yang tinggi dalam pakan dapat menghambat aktifitas mikrob rumen dan menurunkan kecernaan serat, karena lemak melapisi partikel pakan sehingga mencegah pelekatan bakteri. Padahal lemak diharapkan dapat meningkatkan energi pakan tanpa harus tergantung pada produksi VFA (Parakkasi 1999; Bauman et al. 2003). Untuk melindungi zat-zat makanan yang terkandung dalam minyak ikan, terutama asam-asam lemak tak jenuh, maka dilakukan proteksi terhadap asam-asam lemak tersebut agar tidak mengalami perubahan dalam rumen dan memungkinkan penggabunganya dalam jaringan tubuh ternak. Minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk campuran garam karboksilat merupakan hasil proses hirolisis dari minyak ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suplementasi pakan yang mengandung asam lemak terproteksi dalam bentuk garam karboksilat kering (CGKK) terhadap performa pertumbuhan ternak dan efektivitas pencernaan dalam rumen pada ternak kerbau rawa dan sapi PO yang digemukkan di feedlot.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – Desember 2011. Penggemukan dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok A Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Analisa pakan dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Analisa karakterisasi fermentasi rumen dan mikrobiologi rumen dilakukan di Laboratorium Terpadu Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Mikrobiologi Balitnak Padjajaran Bogor. Pemotongan ternak dilakukan di Rumah Potong Hewan PT. Elders, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan empat belas ekor ternak ruminansia yang terdiri dari enam ekor kerbau rawa dan delapan ekor sapi PO, berjenis kelamin jantan. Bobot badan kerbau adalah 218.66 ±16.28 kg dan sapi adalah 217.37±15.44 kg pada I1 (berdasarkan umur fisiologis) yaitu umur 1.5-2 tahun. Pemeliharaan ternak berlangsung selama 75 hari. Ternak dipelihara dalam kandang individu yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum. Pakan disediakan tiga kali sehari yaitu pagi, siang dan sore hari. Pakan yang diberikan terdiri atas hijauan dan konsentrat dengan rasio 35%: 65% berdasarkan bahan kering. Hijauan berupa campuran rumput lapang dan rumput gajah dengan rasio 50:50% diberikan dalam bentuk segar. Konsentrat terdiri dari konsentrat komersil (onggok 38%, dedak 25%, jagung 24%, bungkil kedele 8%, vitamin dan mineral 1%, DCP 2.15%, CaCO3 1.15%, methionin 0.3%, NaCl 0.4%) yang dicampur dengan kulit ari kedelai dengan perbandingan 1:2. Perlakuan pakan penelitian adalah sebagai berikut: non CGKK (hijauan+konsentrat) dan suplementasi CGKK (hijauan+konsentrat+CGKK). Hasil analisis proksimat perlakuan pakan dapat dilihat pada Tabel 3.1.
17
Tabel 3.1
Komposisi penelitian
dan kandungan nutrisi pakan yang digunakan dalam
Kandungan nutrisi (%) Bahan kering Abu Lemak kasar Protein kasar Serat kasar BETN* TDN**
Non CGKK 33.33 7.42 2.25 13.65 35.80 40.87 57.79
Perlakuan pakan CGKK 33.58 7.25 2.91 13.82 35.93 40.09 58.87
*Berdasarkan perhitungan, **TDN (Hartadi et al. 1980) = 92.64 – 3.338 (SK) – 6.945 (LK) – 0.762(BETN) + 1.115 (PK) +0.031 (SK)2-0.133(LK)2+0.036(SK)(BETN)+0.207(LK)(BETN)+0.100(LK)(PK) 0.022(LK)2(PK)
Suplementasi minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK) ditambahkan ke dalam konsentrat sebanyak 45 g/kg konsentrat. Minyak ikan berasal dari desa Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur. Selama penyimpanan minyak ikan ditambahkan butylated hydroksitoluen (BHT) untuk melindungi minyak dari ketengikan oksidatif. Kandungan asam lemak utama dalam minyak ikan (Lampiran 1) ditentukan menggunakan kromatografi gas dengan detektor ionisasi nyala atau gas liquid chromatography flame ionized detector (GLCFID). Bahan yang digunakan untuk pembuatan garam karboksilat adalah minyak ikan lemuru (sebagai sumber asam lemak), asam klorida (HCl), kalium hidroksida (KOH), CaCl2 dan aquades. Proses pembuatanya adalah sama dengan yang dilakukan pada Bab 3 hal 24. Sebelum dilakukan penggemukan terlebih dahulu ternak mendapat perlakuan adaptasi terhadap pakan dan kondisi lingkungan percobaan selama satu bulan serta pemberian obat cacing dan antibiotik. Untuk mengurangi stress panas pada ternak dilakukan penyemprotan sebanyak tiga kali yaitu pada pukul 11.00 Wib, 13.00 Wib dan 15.00 Wib atau pada suhu diatas 25οC. Setelah penggemukan selesai ternak dipotong. Pada waktu pemotongan, saluran pencernaan dikeluarkan dan isi rumen diperas dengan menggunakan kain kasa sebanyak empat rangkap untuk mendapatkan cairan rumen. Cairan rumen dimasukkan ke dalam termos hangat yang telah diisi terlebih dahulu dengan air panas, sehingga mencapai suhu Sampel cairan rumen yang diperoleh 39oC, kemudian dibawa ke laboratorium. dari pemotongan ternak selanjutnya siap untuk dianalisa. Sebagian cairan rumen yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung fermentor kemudian di sentrifuse dengan kecepatan 4.000 rpm selama 10 menit. Substrat akan terpisah menjadi dua bagian yaitu endapan di bagian bawah dan supernatan yang bening berada di bagian atas. Supernatan diambil untuk analisis NH3 dan VFA total dan individual. Peubah yang diukur meliputi : 1). Konsumsi pakan. Konsumsi pakan dihitung berdasarkan jumlah pakan segar yang disediakan dikurangi sisa pakan dikalikan dengan bahan kering pakan. 2). Pertambahan bobot badan harian. Pertambahan bobot badan harian dihitung berdasarkan selisih antara bobot badan akhir dikurangi dengan bobot badan awal dibagi dengan jumlah hari(kg/ekor/hari).
18
3). Konversi pakan. Konversi pakan diperoleh berdasarkan jumlah konsumsi bahan kering pakan dibagi dengan kenaikan bobot badan persatuan waktu. 4). Bobot badan akhir. Bobot badan akhir adalah hasil penimbangan ternak diakhir penelitian. 5). Kecernaan zat-zat makanan menggunakan metode koleksi total (Harris, 1970). Koleksi total pada feses dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut. Setiap hari selama satu minggu, konsumsi pakan, feses dan urin yang dikeluarkan diukur. Sampel feses dan urin diambil sebanyak 10% dari total harian. Kemudian sampel dikomposit dan dianalisis kandungan zat-zat makananya dengan analisis proksimat. Kecernaan zat makanan dihitung sebagai berikut: Zat makanan yang dikonsumsi – zat makanan dalam feses Kecernaan = x100% Zat makanan yang dikonsumsi 6). pH. Pengukuran terhadap pH dilakukan sesaat setelah pengambilan sampel cairan rumen yang telah dibawa ke laboratorium menggunakan pH meter yang sudah dikalibrasi. 7). Konsentrasi N-NH3. Cara pengukuran konsentrasi N-NH3 yang dilakukan sama dengan pada Bab 3 hal 24. 8). Konsentrasi VFA total. Cara pengukuran konsentrasi VFA total yang dilakukan sama dengan pada Bab 3 hal 25. 9). Konsentrasi VFA individual/parsial. Superntan diambil sebanyak 2 ml dan dimasukkan kedalam tabung sampel yang tertutup. Kedalam tabung tersebut ditambahkan 30 mg 5-sulphosalicylic acid (C6H3(OH)SO3H H2O) lalu dikocok. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit dan disaring dengan milipore hingga diperoleh cairan jernih. sebanyak 1 µl cairan jernih diinjeksikan ke gas kromatografi (AOAC 2005). Sebelum injeksi sampel, terlebih dahulu diinjeksikan larutan VFA standar. Perhitungan konsentrasi asam lemak dilakukan dengan rumus: Tinggi sampel Tinggi internal standar dalam standar C= x konsentrasi standar Tinggi standar Tinggi internal standar dalam sampel 10). Produksi methan rumen. Pengukuran gas methan yang dihasilkan oleh rumen dapat dihitung dari hasil analisis VFA parsial. Dengan rumus sebagai berikut: CH4(mM) = 0.5 asetat – 0.25 propionat + 0.5 butirat (Orskov&Ryle 1990). 11). Populasi bakteri. Penghitungan menurut Ogimoto dan Imai (1981). Prinsip perhitunganya adalah cairan rumen diencerkan secara serial kemudian dibiakkan (dikultur) di dalam tabung Hungate selama 7 hari pada pH 7 dengan kondisi an aerob pada suhu 39οC. Bahan-bahan yang digunakan untuk media total bakteri (dalam 100 ml media) adalah: 16.5 ml larutan A, 16.5 ml larutan B, 16.5 ml cairan rumen steril, 0.1 g pepton, 0.1 g ekstraksi ragi, 0.02 g L-cystein, 0.5 g NaHCO3, 0.1 ml resazurin 0.1%, 50 ml H2O dan substrat yang terdiri dari 0.1 g glukosa, 0.1 g selobiosa, 0.1 g pati, dan 0.1 g xylosa. Laruran A terbuat dari campuran (per liter): 3.0 g KH2PO4, 6.0 g NaCl, 3.0 g (NH4)2SO4, 0.3 g CaCl2 dan 0.3 g MgSO4. Larutan B adalah (per liter): 3.0 K2HPO4. Untuk media bakteri amilolitik substrat diganti dengan 0.5 g pati dan untuk selulolitik diganti dengan 0.2 g selobiosa. Bahan-bahan media tersebut dicampurkan atau diletakkan dalam botol yang dapat disterilisasi dengan autoklave. Campuran tersebut dipanaskan perlahan-lahan sambil
19
dialirkan gas CO2 sampai terjadi perubahan warna dari merah ke coklat muda, lalu segera didinginkan dengan meletakkan botol tersebut pada air es atau air dingin. Selama pemanasan gas CO2 selalu dihembuskan kedalam media tersebut. Setelah itu media ditumbuhkan ke tabung Hungate masingmasing sebanyak 7 ml. tabung sebelumnya diisi dengan agar sebanyak 0.075 gram (1.5% dari bobot media), kemudian tabung ditutup, lalu disterilisasikan dalam autoclave pada suhu 121οC dan 15 psi. untuk inokulasi, media tersebut sebelumnya diletakkan dalam penangas air suhu 47οC, yaitu suhu dimana agar belum memadat dan untuk waktu yang singkat tidak mematikan mikroba. Untuk mengkultur setiap contoh cairan rumen dibutuhkan enam buah tabung Hungate. Keenam tabung diberi nomor nol sampai dengan lima. Dengan menggunakan spoit steril yang berukuran satu millimeter, selanjutnya dilakukan inokulasi dan pengenceran secara serial dengan cara sebagai berikut: 0.07 ml cairan rumen contoh dimasukkan ke dalam tabung nomor nol lalu dikocok sampai homogen kemudian diambil 0.07 ml dan dimasukkan dalam tabung nomor satu kemudian dikocok dan setelah homogen diambil 0.07 ml dan dimasukkan dalam tabung nomor dua. Demikian seterusnya sampai tabung nomor lima. Setelah selesai semua kemudian media dipadatkan menggunakan air es atau air dingin sambil diletakkan mendatar dan diputar, sehingga media memadat secara merata didinding tabung kultur bagian dalam. Setelah itu seluruh tabung diletakkan dalam inkubator dengan suhu 39°C selama tujuh hari. Setelah tujuh hari dilakukan penghitungan koloni pada tabung nomor dua sampai empat. Bila pada tabung nomor empat terdapat n koloni, maka jumlah bakteri dari cairan rumen tersebut adalah (n/0.07)(108) bakteri/ml cairan rumen. Jumlah bakteri yang dilaporkan merupakan nilai rataan dari perhitungan pada tabung nomor dua sampai nomor empat. 12). Populasi protozoa. Jumlah protozoa total dihitung menggunakan hemositometer (Ogimoto dan Imai 1981). Sebanyak 0.5 ml cairan rumen dimasukkan kedalam larutan MFS (Methylgreen Formalin-Salin). Kemudian diteteskan pada hemositometer dengan ketebalan 0.2 mm dan jumlah protozoa dapat dilihat dibawah mikroskop dengan luasan kotak terkecil 0.0625 (jumlah kotaknya 16x16 buah) dengan pembesaran 400 kali. Analisis Data Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor pertama adalah perlakuan pakan yaitu tanpa suplementasi (hijauan+konsentrat) dan suplementasi CGKK (hijauan+konsentrat+CGKK). Faktor kedua adalah jenis ternak yaitu kerbau dengan 3 ulangan dan sapi dengan 3 ulangan. Dengan model matematis sebagai berikut (Steel dan Torrie 1995) Yijk = µ + τi + βj + (τβ)ij + E(ij)k Keterangan : Yijk = Respon pengaruh perlakuan pakan ke-i,jenis ternak ke-j dan ulangan ke-k µ = Rataan umum τi = Pengaruh perlakuan pakan βj = Pengaruh jenis ternak (τβ)I = Pengaruh interaksi perlakuan pakan dan jenis ternak E(ij)k = Pengaruh galat percobaan
20
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Anova). Apabila terdapat pengaruh terhadap peubah yang diamati dilanjutkan dengan uji Least Square Means (Sas User’s Guide 1985).
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Faktor yang sangat penting mempengaruhi produktivitas ternak adalah konsumsi pakan. Rataan konsumsi zat-zat makanan pakan selama penggemukan disajikan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Rataan konsumsi zat-zat makanan pakan berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan Pakan Non CGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak (JT) P x JT SEM
Bahan kering
Konsumsi (g/ekor/hari) Lemak Protein Serat kasar
5695.17 5824.46
129.35 170.16
778.58 805.53
2029.28 2084.53
2333.62 2340.23
5276.25 6243.38
137.60 161.90
725.89 858.22
1879.51 2234.31
2143.63 2530.22
** ** TN 75.15
** ** * 1.86
** ** TN 10.11
** ** TN 30.69
TN ** TN 28.13
BETN
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = Tidak beda nyata, * Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata, BETN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen
Pengaruh interaksi antara perlakuan pakan dengan jenis ternak, berbeda nyata (P<0.05) terhadap konsumsi lemak pakan dan dapat dilihat pada Gambar 3.1. Pada gambar terlihat bahwa ternak kerbau dan sapi memiliki respon yang berbeda terhadap konsumsi lemak akibat perbedaan perlakuan pakan. Konsumsi lemak pada ternak kerbau meningkat daripada sapi sebesar 14.18% (dengan suplementasi CGKK) dan 15.16% (non CGKK). Peningkatan konsumsi lemak pada ternak yang disuplementasi CGKK pada ternak kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yaitu sebesar 23.88% dan pada sapi sebesar 24.12%.
Konsumsi lemak (g)
21
183.85a
200 139.95b 150
156.47c
118.73d
100
kerbau
50
sapi
0 NCGKK CGKK Perlakuan pakan
Gambar 3.1 Pengaruh interaksi terhadap konsumsi lemak Tingginya konsumsi lemak pada ternak kerbau yang disuplementasi CGKK disebabkan oleh konsumsi bahan kering pakan yang tinggi. Tingginya konsumsi bahan kering pada ternak kerbau dipengaruhi oleh kapasitas daya tampung rumen yang lebih besar (berat rumen 8.95 kg) dibandingkan dengan ternak sapi (berat rumen 7.08 kg). Orskov (2007), menyatakan bahwa kerbau mempunyai volume rumen relatif lebih tinggi terhadap bobot badan, hal ini disebabkan, agar ternak kerbau mampu bertahan hidup (survive) dengan makan hijauan yang berkualitas rendah. Selain dipengaruhi konsumsi, juga dipengaruhi oleh garam karboksilat yang dapat meningkatkan nafsu makan. Sedangkan pada ternak sapi yang disuplementasi CGKK kapasitas daya tampung rumennya terbatas walaupun nafsu makan meningkat. Suplementasi CGKK meningkatkan (P<0.01) konsumsi zat-zat makanan pakan kecuali pada BETN. Konsumsi bahan kering, protein, dan serat kasar pakan lebih tinggi pada ternak yang disuplementasi CGKK (5.82; 0.81; 2.08 kg/ekor/hari) daripada tanpa suplementasi CGKK (5.70; 078; 2.03 kg/ekor/hari). Hal ini menunjukkan bahwa suplementasi CGKK mampu meningkatkan nafsu makan pada ternak. Peningkatan nafsu makan pada ternak disebabkan oleh rasa dan bau CGKK yang disukai oleh ternak. Minyak ikan yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan suplemen CGKK telah mengalami proses saponifikasi. Lemak yang terdapat dalam minyak ikan berupa gliserida dihidrolisa dalam larutan alkali membentuk garam-garam logam alkali dari asam lemak (Supadmi dan Sipahutar 2012). Garam karboksilat yang dihasilkan dari proses saponifikasi dicampur dengan onggok sehingga dapat meningkatkan palatabilitas minyak ikan. Meningkatnya palatabilitas suplemen CGKK berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan. Indikator pakan yang mempunyai palatabilitas yang tinggi terlihat dari banyaknya pakan yang dikonsumsi oleh ternak (Parakkasi 1999). Selain itu pemberian minyak ikan yang mengandung lemak tinggi tidak mengganggu proses pencernaan dalam rumen. Kandungan lemak pada pakan yang disuplementasi CGKK masih dibawah 3%. Menurut Scott dan Ashes (1993), kadar lemak pakan diatas 3% dapat menimbulkan gangguan pencernaan, penurunan kosumsi dan kecernaan selulosa. Konsumsi zat-zat makanan pakan pada ternak kerbau lebih tinggi (P<0.01) dibandingkan dengan ternak sapi. Konsumsi bahan kering, lemak, protein, serat kasar, dan BETN pada ternak kerbau adalah 6.24; 0.16; 0.86; 2.23; 2.53 kg/ekor/hari, lebih tinggi dibanding pada ternak sapi yaitu 5.28; 0.14; 0.73; 1.88;
22
2.14 kg/ekor/hari. Tingginya konsumsi pakan kerbau digambarkan dengan persentase pertambahan bobot badan dan ukuran metabolik tubuh yang tinggi (Lapitan et al. 2008). Ukuran metabolik tubuh, jelas terlihat pada daya tampung rumen yang lebih besar dan kemampuanya dalam mencerna serat yang lebih baik pada kerbau dibanding sapi. Ternak kerbau memiliki berat jeroan hijau yang nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan ternak sapi yaitu 13.11 kg vs 11.06 kg (Tabel 5.2). Suhubdy (2007), menyatakan bahwa walaupun ternak kerbau dan sapi memiliki kesamaan pada saluran pencernaan tetapi kapasitas daya tampung rumen dan feeding behaviournya berbeda. Hasil penelitian ini sejalan dengan Lapitan et al. (2008), pada ternak kerbau persilangan dan sapi Brahman yang diberi pakan hijauan dan konsentrat berkualitas baik, menghasilkan konsumsi bahan kering dan zat-zat makanan yang lebih tinggi pada kerbau dibanding sapi, hal ini disebabkan karena kerbau lebih cepat beradaptasi terhadap pakan berkualitas baik daripada sapi. Kecernaan Zat-zat Makanan Kecernaan zat-zat makanan pada ternak berhubungan erat dengan kemampuan mikrob rumen dalam melakukan proses fermentasi dalam rumen. Rataan kecernaan zat-zat makanan pakan disajikan pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Rataan kecernaan zat-zat makanan pakan berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan Pakan Non CGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak (JT) P x JT SEM
Bahan kering
Kecernaan (%) Lemak Protein Serat kasar
BETN
62.11 69.42
66.12 67.85
66.93 66.08
67.21 66.33
56.51 52.34
69.92 62.13
65.53 68.45
65.08 67.93
66.33 67.20
53.58 55.27
TN TN TN 6.18
TN TN TN 5.33
TN TN TN 5.48
TN TN TN 4.50
TN TN TN 6.84
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = Tidak beda nyata, * Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata, BETN = Bahan ekstrak tanpa nitrogen
Pengaruh interaksi, pengaruh perlakuan pakan dan pengaruh jenis ternak terhadap kecernaan zat-zat makanan pakan,tidak berbeda nyata. Pada ternak kerbau yang diberi pakan konsentrat tinggi menghasilkan kecernaan zat-zat makanan pakan tidak berbeda dengan sapi, walaupun konsumsi pakannya lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa penyerapan zat-zat makanan pakan antara ternak kerbau dan sapi adalah sama. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa, ternak kerbau lebih baik dalam memanfaatkan nutrisi pakan apabila diberi pakan yang berkualitas rendah dengan kandungan selulosa yang tinggi dibanding sapi (Grant et al. 1974; Katiyar & Bisth 1988) karena mikrob rumen kerbau mempunyai
23
aktivitas bakteri fibrolitik yang tinggi (Kennedy et al. 1992; Wanapat et al. 2000). Tetapi apabila diberi pakan dengan kualitas yang lebih baik dan sama dengan sapi, menghasilkan kecernaan bahan kering dan zat-zat makanan pakan yang sama dengan sapi (Lapitan et al. 2008). Pertumbuhan dan Konversi Pakan Konsumsi dan kecernaan pakan sangat mempengaruhi pertumbuhan ternak. konsumsi yang banyak dan daya cerna yang tinggi akan menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi. Rataan konversi pakan dan pertambahan bobot badan disajikan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4 Rataan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan harian dan konversi pakan berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan Pakan Non CGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak (JT) P x JT SEM
BBAk (kg)
Peubah PBBH (kg/hr)
Konversi
298.17 307.21
1.01 1.10
5.64 5.33
289.87 315.50
0.95 1.16
5.57 5.40
TN * TN 17.05
TN * TN 0.08
TN TN TN 0.43
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM =Standard error of means, TN = Tidak beda nyata, * Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata, BBAk = Bobot badan akhir, PBBH = Pertambahan bobot badan
Pengaruh interaksi dan pengaruh suplementasi CGKK terhadap bobot badan akhir, pertambahan bobot badan harian dan konversi pakan, tidak berbeda nyata. Pertambahan bobot badan harian pada ternak kerbau lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan sapi yaitu sebesar 1.16 kg/ekor/hari dan sapi sebesar 0.95 kg/ekor/hari. Pertambahan bobot badan harian yang tinggi pada ternak kerbau sejalan dengan konsumsi pakan. Kemampuan mikrob rumen kerbau dalam merobah zat-zat makanan dalam pakan menjadi energi yang mudah dicerna dan kemudian dimanfaatkan oleh tubuh untuk pertumbuhan pada ternak kerbau lebih efisien daripada sapi walaupun konversi dan kecernaan pakan tidak berbeda. Kerbau yang digemukkan dengan pemberian pakan berkualitas akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding sapi (Bernardes 2007). Selama ini kerbau dianggap memiliki pertumbuhan yang lebih lambat karena umumnya penggemukan yang dilakukan oleh masyarakat tanpa pemberian pakan konsentrat sehingga hasil yang dicapai kurang optimal. Lapitan et al. (2008) melaporkan bahwa pada ternak kerbau persilangan dan sapi Brahman yang di beri pakan dengan kualitas yang sama di padang penggembalaan menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi pada kerbau yaitu 493.9 g/hari dibanding pada sapi yaitu 362.5 g/hari. Pertambahan berat badan kerbau dan sapi
24
(bos indicus) yang dipelihara di Brazil dengan kondisi manajemen yang sama menghasilkan pertambahan bobot badan sedikit lebih tinggi pada kerbau dibanding dengan sapi yaitu 1.14 kg/hari dan 1.03 kg/hari. Hasil ini berbeda dengan penelitian Spanghero et al. (2004) yang menghasilkan pertambahan bobot badan pada kerbau mediterania Italia lebih rendah dibanding pada sapi Simmental Italia (0.93vs1.04 kg/hari) pada pemberian pakan yang sama. Perbedaan hasil penelitian ini berkaitan dengan konsumsi pakan. Konsumsi pakan pada ternak kerbau vs sapi adalah 5.26 vs 7.33 kgBK/hari (Lapitan et al. 2008),dan 5.41 vs 6.04 kgBK/hari (Spanghero et al. 2004), Bobot badan akhir pada ternak kerbau lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan sapi. Perbedaan bobot badan akhir ini disebabkan karena pertambahan bobot badan harian ternak kerbau lebih tinggi dibandingkan sapi dengan bobot badan awal yang sama. Hal ini sejalan dengan konsumsi pakan pada kerbau yang lebih banyak karena daya tampung rumen yang lebih besar. Sistim pemeliharaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak. Menurut Chasnidel et al (2004), di Australia kerbau muda dengan berat 203 kg yang dipelihara secara intensif dengan konsumsi protein sebanyak 698 g/hr selama 6 bulan pertambahan berat badanya dapat mencapai 1.1 kg/hari. Ternak kerbau dengan bobot badan awal 218.67 kg, mampu mengkonsumsi 6.24 kg bahan kering, 3.63 kg TDN dan 858 g protein sedangkan sapi dengan bobot badan awal 217.38 kg, mengkonsumsi 5.28 kg bahan kering, 3.07 kg TDN, dan 726 g protein lebih rendah dari kerbau. Menurut Kearl (1982), ternak dengan bobot badan ± 200 kg dengan pbb 1 kg/hari membutuhkan 4.8 kg bahan kering, 4.6 kg TDN dan 682 g protein untuk hidup pokok dan pertumbuhannya. Hasil penelitian yang di dapat, ternyata kebutuhan bahan kering untuk hidup pokok sudah terpenuhi dan berlebih, kelebihan ini digunakan untuk pertumbuhan. Pada ternak kerbau konsumsi bahan kering dan nutrisi pakan lebih tinggi daripada sapi, sehingga dihasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dibanding pada sapi dan bobot badan akhir yang dihasilkan juga tinggi dengan bobot badan awal yang relatif sama. Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan dan ini dapat menggambarkan tingkat efisiensi pemanfaatan pakan. Semakin rendah konversi pakan semakin efisien penggunaan pakan tersebut, karena semakin sedikit jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pakan, jenis ternak dan interaksinya terhadap konversi pakan. Hasil penelitian Spanghero et al. (2004), pada sapi simmental dibandingan dengan kerbau lokal dengan pemberian pakan yang sama pada fase penggemukan menghasilkan efisiensi pakan yang sama atau tidak berbeda yaitu 4.7 vs 4.8. Untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan terlebih dahulu kebutuhan hidup pokok diketahui. Kearl (1982) merekomendasikan kebutuhan energi untuk hidup pokok adalah BB (kg)0.75 x 523 KJ, sehingga untuk bobot badan ternak kerbau dan sapi dengan kisaran bobot badan awal 235 kg kebutuhan energinya 31.39 MJ/hari untuk menambah bobot badan 1 kg/hari diperlukan tambahan energi 17.86 MJ, sehingga kebutuhan metabolis energi (ME) diperkirakan 49.59 MJ/hari (atau 1.58 x maintenance).
25
Profil Pencernaan dalam Rumen Pengaruh perlakuan pakan dan jenis ternak terhadap konsentrasi pH, NH3, dan VFA total rumen dapat dilihat pada Tabel 3.5. Pada tabel terlihat bahwa pengaruh interaksi antara perlakuan pakan dan jenis ternak terhadap VFA total cairan rumen sangat berbeda nyata (P<0.01). Perlakuan pakan dan jenis ternak berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap pH cairan rumen. Pengaruh interaksi terhadap VFA total disajikan pada Gambar 3.2. Tabel 3.5 Rataan nilai karakteristik fermentasi dalam rumen berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan pH Pakan Non CGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak (JT) P x JT SEM
Peubah NH3 (mM) VFA total (mM)
6.38 6.24
10.69 10.27
118.67 142.23
6.74 5.88
12.20 8.77
105.46 155.44
* ** TN 0.11
TN TN TN 3.51
** ** ** 6.53
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering,SEM = Standar error means, VFA = Volatile fatty acid,TN= Tidak berbeda nyata, * Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata
Rataan VFA total rumen (mM)
Pada Gambar 3.2, terlihat bahwa ternak kerbau dan sapi memiliki respon yang berbeda dengan perlakuan pakan terhadap VFA total. VFA total pada ternak kerbau yang disuplementasi CGKK dengan non CGKK tidak berbeda nyata (4.49%). Sedangkan pada sapi, perbedaanya sangat nyata yaitu 31.88%. Perbedaan pengaruh pakan antara ternak kerbau dengan sapi yang disuplementasi CGKK terhadap VFA total lebih rendah yaitu 21.11% dibandingkan dengan peningkatan pada non CGKK yaitu 43.73%. 200 151.87a 150 100
159.01a 125.45b
85.46c kerbau sapi
50 0 NCGKK CGKK perlakuan pakan
Gambar 3.2 Pengaruh interaksi terhadap produksi VFA total
26
VFA total yang dihasilkan dalam rumen sapi akibat suplementasi CGKK meningkat lebih tinggi dari tanpa suplementasi CGKK dibandingkan dengan kerbau. Hal ini disebabkan oleh kemampuan adaptasi mikrob rumen sapi yang lebih baik terhadap pakan CGKK, tetapi konsumsi pakannya lebih rendah dari ternak kerbau sehingga belum menghasilkan bobot badan yang lebih baik dari ternak kerbau. Produksi VFA total yang lebih tinggi pada perlakuan suplementasi CGKK menguntungkan bagi hewan semang karena asam-asam lemak volatile dapat langsung dimanfaatkan sebagai sumber energi. Penambahan garam karboksilat dalam pakan juga mempengaruhi meningkatnya nafsu makan pada sapi sehingga konsumsi pakan sapi yang disuplementasi CGKK lebih tinggi, dan ini menyebabkan VFA yang dihasilkan juga lebih tinggi dari sapi tanpa suplementasi CGKK. Rahmadi (2003) dan Wajizah (2012), melaporkan bahwa pada pakan yang dilindungi dengan formaldehid dan amida terhadap kecernaan dalam rumen menyebabkan konsentrasi VFA total tidak berbeda nyata. Perbedaan pengaruh antara ternak kerbau dan sapi tanpa suplementasi yang lebih besar dibandingkan dengan ternak kerbau dan sapi yang disuplementasi CGKK terhadap VFA total, lebih disebabkan oleh konsumsi dan kecernaan zat-zat makanan pada kerbau yang lebih tinggi. Kapasitas daya tampung rumen kerbau lebih besar dibanding sapi (8.94 kg vs 7.08 kg) dan pemberian konsentrat yang tinggi (65%) dari bahan kering pakan pada kerbau responsnya lebih baik daripada sapi karena kerbau biasanya hanya diberi pakan hijauan. Konsumsi pakan hijauan selama bertahun-tahun menyebabkan adaptasi yang tinggi terhadap pakan berkualitas rendah dan berserat kasar tinggi. Hal ini menyebabkan kemampuan yang unik pada fermentasi serat dan protein pada rumen kerbau. Jika sapi dan kerbau dipelihara pada kondisi yang sama, kerbau akan memanfaatkan pakan lebih efisien dibanding sapi dengan daya cerna pakan 2-3% lebih tinggi per unit (Wanapat dan Rowlinson, 2007). Konsumsi pakan yang tinggi pada kerbau menyebabkan proses fermentasi rumen yang lebih aktif dan mengakibatkan peningkatan produksi VFA total. Jumlah VFA yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh kecernaan serta kualitas ransum yang difermentasi (Kamra, 2005). Produksi VFA yang tinggi pada kerbau, sejalan dengan pertambahan bobot badan (Pbb). Pada kerbau yang disuplementasi CGKK, pbbnya adalah 1.22 kg/hari dan tanpa suplementasi CGKK adalah 1.10 kg/hari lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang disuplementasi CGKK yaitu 0.99 kg/hari dan sapi tanpa suplementasi 0.93 kg/hari. Selain dipengaruhi oleh konsumsi pakan, peningkatan konsentrasi VFA total juga dipengaruhi oleh populasi protozoa rumen. Populasi protozoa rumen ditemukan lebih rendah pada ternak yang disuplementasi CGKK dibanding tanpa suplementasi CGKK dan pada kerbau lebih rendah dibanding sapi. Protozoa merupakan predator bagi sebagian bakteri untuk memenuhi kebutuhan proteinnya. Penurunan populasi protozoa pada rumen memberi kesempatan pada beberapa bakteri berkembang untuk menghasilkan produk VFA yang lebih banyak, selain itu juga mengurangi kompetisi zat makanan antara bakteri dan protozoa. Kisaran konsentrasi VFA total penelitian adalah 105.49-155.44 mM dan nilai ini masih berada pada kisaran VFA normal yang terdapat dalam rumen, yaitu 80-160 mM (McDonald et al. 2002). Suplementasi CGKK nyata menurunkan pH rumen ternak (P<0,05). Rendahnya pH rumen pada ternak yang disuplementasi CGKK sejalan dengan
27
peningkatan VFA total dan individual (asetat, propionate dan isobutirat), konsumsi dan kecernaan zat-zat makanan pakan. Peningkatan konsentrasi VFA total menggambarkan bahwa minyak ikan terproteksi tidak menyebabkan gangguan pada fermentasi rumen. Mikrob rumen yang lebih aktif dalam merombak zat-zat makanan dalam pakan manjadi asam lemak yang mudah dicerna menyebabkan pH rumen menjadi turun. Penurunan nilai pH berkorelasi dengan meningkatnya konsentrasi VFA total dan parsial (Alltech, 2012). Hasil ini sejalan dengan penelitian Rachmadi (2003); Joseph (2007), dan Wajizah (2012) bahwa terjadi penurunan pH rumen pada ternak yang diberi pakan yang dilindungi dengan formaldehid, sabun kalsium, dan amida. Konsentrasi pH rumen kerbau nyata lebih rendah (P<0.01) daripada pH rumen sapi. Hal ini sejalan dengan meningkatnya VFA total dan individual, konsumsi dan kecernaan zat-zat makanan pakan. Konsumsi zat-zat makanan pakan yang lebih banyak pada kerbau menyebabkan proses fermentasi dalam rumen lebih aktif untuk menghasikan energi. Akibatnya, terjadi peningkatan konsentrasi VFA pada rumen. Peningkatan konsentrasi VFA menyebabkan turunnya pH rumen. Selain itu, Aktivitas mengunyah pada kerbau yang lebih lama dan laju pergerakan pakan dalam rumen, menyebabkan pH rumen pada kerbau lebih rendah daripada sapi (Pirmohammadi et al. 2007). Kisaran pH rumen penelitian adalah 5.88-6.74. Nilai ini berada pada kisaran pH optimum rumen untuk pertumbuhan dan aktivitas mikrob rumen, yaitu 6.0–6.9 (Kamra 2005). Pengaruh perlakuan pakan terhadap konsentrasi N-NH3 pada ternak kerbau dan sapi tidak berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas bakteri proteolitik sebagai pendegradasi protein untuk menghasilkan N dalam rumen tidak terpengaruh oleh suplementasi CGKK sehingga pertumbuhan mikrob tidak terganggu. Konsentrasi NH3 penelitian adalah 8.77-12.20 mM dan nilai ini masih berada pada kisaran optimum NH3 rumen. Kisaran optimum NH3 rumen untuk kelangsungan hidup mikrob rumen yaitu pada sapi 8-21 mM dan pada kerbau 7.117.7 mM (Wanapat dan Rowlinson 2007). Degradasi protein yang tinggi dalam rumen akan merugikan ternak karena kelebihan ammonia akan diserap oleh dinding rumen dan di ekskresikan melalui urin. VFA Individual Rumen Fermentasi mikrob pada bahan pakan menghasilkan sejumlah produk akhir, produk utamanya adalah VFA. VFA total terdiri dari asetat, propionat, dan butirat. Keseimbangan konsentrasi VFA rumen menggambarkan laju produksi dan penyerapan untuk masing-masing VFA individual yang dikenal dengan interkonversi. Konsentrasi VFA individual dan produksi gas metan dalam rumen disajikan pada Tabel 3.6. Interaksi pakan perlakuan dengan jenis ternak berpengaruh nyata terhadap produksi asetat dan gas methan dalam rumen (P<0.01). Pada Gambar 3.3 memperlihatkan pengaruh interaksi suplementasi pakan dengan jenis ternak terhadap produksi asetat dalam rumen. Pengaruh interaksi terhadap produksi asetat dalam rumen sejalan dengan produksi VFA total rumen. Ternak kerbau dan sapi memiliki respon yang berbeda terhadap perlakuan pakan. Produksi asetat pada ternak kerbau yang disuplementasi CGKK dengan non CGKK tidak berbeda nyata (2.52%). Sedangkan pada sapi, perbedaanya sangat nyata yaitu 29.63%. Perbedaan pengaruh pakan antara ternak kerbau dengan sapi
28
yang disuplementasi CGKK terhadap produksi asetat lebih rendah yaitu 19.16% dibandingkan dengan non CGKK meningkat sebesar 44.54%. Tabel 3.6 Rataan VFA individual dan produksi gas metan (CH4) berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan Pakan Non CGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) JenisTernak (JT) P x JT SEM
C2
C3
iC4
VFA individual (mM) nC4 iC5 nC5 CH4
68.91 78.15
27.51 36.35
1.88 1.88
15.90 20.87
2.66 2.59
1.79 2.39
36.47 41.36
2.55 2.20
59.52 87.54
24.14 39.72
1.60 2.16
16.94 19.83
1.72 3.52
1.52 2.66
32.99 44.84
2.52 2.23
* ** ** 6.32
** ** TN 3.07
TN * TN 0.44
* TN TN 3.28
TN ** TN 0.79
TN * TN 0.58
* ** ** 2.90
TN TN TN 0.33
C2:C3
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = Tidak berbeda nyata, * berbeda nyata, VFA = Volatile fatty acids, C2= Asetat, C3= Propionat, iC4= Iso butirat, nC4= Butirat, iC5= Iso valerat, nC5= Valerat, CH4= Gas methan
Produksi asetat (mM)
Respon peningkatan produksi asetat lebih tinggi pada ternak sapi yang disuplementasi CGKK terhadap non CGKK dibandingkan dengan ternak kerbau. Hal ini disebabkan adaptasi rumen sapi terhadap pemberian pakan yang berkualitas baik lebih tinggi dibanding dengan kerbau.
100
88.66a
86.43a
80 60
69.87b 49.17c
40
kerbau
20
sapi
0 NCGKK CGKK Perlakuan pakan
Gambar 3.3. Pengaruh interaksi terhadap produksi asetat dalam rumen Pengaruh interkasi terhadap produksi gas methan dalam rumen berbeda sangat nyata (P<0.01). Pengaruh interaksi antara pakan perlakuan dengan jenis ternak terhadap produksi gas methan dapat dilihat pada Gambar 3.4. Pada gambar terlihat bahwa ternak kerbau dan sapi memiliki respon yang berbeda dengan pemberian pakan terhadap produksi gas methan. Produksi gas methan yang dihasilkan sejalan dengan produksi asetat. Pada ternak kerbau yang disuplementasi CGKK pengaruhnya tidak berbeda dengan non CGKK tetapi
29
Produksi CH4 (mM)
terjadi sedikit penurunan yaitu sebesar 3.89%. Pada ternak sapi antara non CGKK dengan yang disuplementasi CGKK terjadi peningkatan sebesar 29.79%. Antara ternak kerbau dan sapi yang disuplementasi CGKK terjadi peningkatan produksi gas methan yang lebih rendah yaitu 11.79% dibandingkan non CGKK yaitu 40.48%. Produksi gas methan pada kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang beri pakan suplementasi CGKK dan non CGKK, hal ini dipengaruhi oleh produksi asetat yang tinggi pada kerbau dibandingkan dengan sapi. Suplementasi CGKK menurunkan produksi gas methan sebesar 3.89% pada ternak kerbau. Hal ini sesuai dengan penelitian Thalib et al. (2010), bahwa pemberian/suplementasi asam-asam lemak tak jenuh rantai panjang (PUFA) dalam pakan dapat menurunkan produksi gas methan pada ternak. Penurunan produksi gas methan pada ternak kerbau yang disuplementasi CGKK mengidentifikasikan bahwa produksi VFA total yang berasal dari asetat dan propionate pada proses fermentasi rumen lebih efisien dimana ion hidrogen (H2) yang digunakan oleh mikrob rumen untuk sintesis propionate lebih banyak dari sintesis methan. Boadi et al. (2004) melaporkan bahwa rendahnya produksi gas methan disebabkan oleh VFA yang dihasilkan terutama pada konsentrasi asetat yang rendah dan propionate yang tinggi. Tepapi sebaliknya yang terjadi pada ternak sapi, suplementasi CGKK meningkatkan produksi gas methan sebesar 29.79%. Produksi gas methan yang dihasilkan oleh ternak kerbau dan sapi tanpa suplementasi dan yang disuplementasi berkisar antara 27.22-45.73 mM. Kisaran produksi gas methan hasil penelitian ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Puastuti et al. (2012) dan Kardaya et al. (2012) yaitu 36-70.3 mM pada ternak domba yang diberi pakan protein yang tidak tercerna dan 32.96-51.59 mM pada sapi bali yang diberi pakan urea lepas lamban dalam ransum jerami padi. 50
45.73a
43.95a 38.77b
40 30
27.22c
20
kerbau
10
sapi
0 NCGKK CGKK Perlakuan pakan
Gambar 3.4 Pengaruh interaksi terhadap produksi gas metan Suplementasi CGKK dalam pakan juga meningkatkan propionat dan butirat dalam rumen ternak (P<0.05). Asetat, propionate dan butirat merupakan komponen utama dari VFA individual yang merupakan sumber energi yang langsung digunakan oleh mikrob pada proses fermentasi rumen. Tetapi peningkatan produksi VFA individual ini belum menyebabkan peningkatan pertambahan bobot badan yang nyata antara ternak yang disuplementasi dengan ternak non CGKK.
30
Propionat, isobutirat, isovalerat dan valerat dalam rumen kerbau lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dalam rumen sapi. Propionat, butirat dan valerat adalah sumber energi yang dapat langsung digunakan oleh ternak kerbau untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Tingginya produksi VFA individual ini pada ternak kerbau sejalan dengan laju pertumbuhan yang digambarkan dengan pertambahan bobot badan harian yang lebih tinggi pada kerbau. Konsentrasi asam propionat umumnya lebih tinggi daripada asam-asam lemak lainnya setelah asam asetat karena propionat merupakan sumber energi utama bagi ternak pedaging melalui proses glukoneogenesis (Yost et al., 1977). Peningkatan produksi VFA individual terutama propionat diharapkan dapat menekan produksi methan. Hal ini karena baik produksi methan maupun propionat merupakan dua jalur metabolisme yang sama-sama memerlukan hidrogen/H2 dalam sistem rumen (Thalib et al. 2010). Mikrob Rumen Mikrob rumen secara garis besar dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu kelompok bakteri, protozoa dan fungi. Kelompok bakteri rumen yang terpenting adalah bakteri selulolitik, proteolitik, dan amlilolitik. Bakteri selulolitik adalah bakteri pencerna selulosa, bakteri proteolitik adalah bakteri pencerna protein, dan bakteri amilolitik adalah bakteri pencerna amilum (pati). Rataan perlakuan pakan dengan jenis ternak terhadap profil mikrob rumen disajikan pada Tabel 3.7. Tabel 3.7 Rataan populasi mikrob yang terdapat dalam rumen berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan
Pakan Non CGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak (JT) P x JT SEM
Bakteri total
Mikrob rumen (sel/ml (log 10)) Bakteri Bakteri Bakteri Protozoa proteolitik amilolitik selulolitik
9.38 9.49
8.99 9.25
8.96 9.41
9.11 9.09
4.89 4.98
9.23 9.64
8.77 9.47
8.89 9.84
8.88 9.33
5.19 4.68
TN TN TN 0.71
TN * TN 0.52
TN TN TN 0.60
TN TN TN 0.64
TN * TN 0.28
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = Tidak berbeda nyata, * Berbeda nyata
Pengaruh interaksi dan pengaruh perlakuan pakan terhadap populasi bakteri total, jenis bakteri dan protozoa dalam rumen, tidak berbeda. Bakteri proteolitik yang terdapat dalam rumen kerbau lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dalam rumen sapi. Peningkatan ini disebabkan oleh jenis pakan yang diberikan. Pakan yang diberikan pada penelitian adalah 65% konsentrat dan 35% hijauan. Pemberian pakan konsentrat yang mengandung protein tinggi menyebabkan jenis mikrob rumen yang berkembang, berbeda. Selain itu konsumsi pakan yang lebih
31
banyak pada kerbau menyebabkan konsumsi protein pakan juga lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut maka jenis bakteri yang lebih berkembang pada rumen kerbau adalah jenis bakteri proteolitik. Protein akan didegradasi oleh enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri proteolitik menjadi peptida dan asam-asam amino. Kamra, (2005), melaporkan bahwa ternak yang diberi pakan konsentrat, bakteri yang berkembang adalah bakteri pemecah protein dan karbohidrat, yaitu bakteri Prevotella ruminicola dan Ruminococcus albus. Bakteri P, ruminicola merupakan produsen propionat dan suksinat dalam sistem rumen dan hal ini dapat menjelaskan terjadinya peningkatan produksi propionate pada suplementasi CGKK dan pada kerbau. Menurut Wora-anu et al. (2000), pada kondisi pakan yang sama, bakteri selulolitik, proteolitik, dan amilolitik dalam rumen kerbau lumpur secara nyata lebih banyak dibandingkan dalam rumen sapi. Kelompok mikroorganisme lainnya dalam rumen adalah protozoa. Fungsi utama protozoa dalam rumen adalah sebagai faktor keseimbangan pada fermentasi rumen. Populasi protozoa lebih sedikit jumlahnya pada rumen kerbau dibanding sapi (P<0.05). Jumlah protozoa pada rumen kerbau yang didapat dari hasil penelitian ini sejalan dengan Wanapat dan Rowlinson (2007) bahwa populasi protozoa pada rumen kerbau lebih rendah daripada sapi yang diberi pakan yang sama. Penurunan populasi protozoa menyebabkan perkembangan populasi bakteri yang terdapat dalam rumen kerbau lebih tinggi. Dengan menurunnya populasi protozoa pada rumen memberi kesempatan bakteri untuk menghasilkan produk VFA yang lebih banyak. Selain itu, kondisi ini dapat mengurangi kompetisi zatzat makanan yang dimakan. Penurunan populasi protozoa menyebabkan peningkatan populasi bakteri secara nyata dalam rumen, hal ini sejalan dengan peningkatan produksi propionat dan penurunan produksi asetat serta penurunan produksi gas methan pada ternak kerbau yang disuplementasi CGKK. Peningkatan konsentrasi asetat, propionat, butirat, dan valerat diduga dirangsang oleh berkembangnya bakteri pemecah protein, yaitu bakteri Prevotella ruminicola, Ruminococcus amylophilus dan Clostridium bifermentans (Kamra 2005).
SIMPULAN Suplementasi asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk campuran garam karboksilat kering dalam pakan konsentrat meningkatkan konsumsi pakan dan tidak menggangu proses fermentasi rumen, hal ini terlihat dari peningkatan konsentrasi VFA total dan individual rumen serta menurunkan produksi gas metan pada ternak kerbau tetapi belum menghasilkan pertambahan bobot badan yang nyata. Ternak kerbau yang digemukkan dengan kualitas pakan yang baik menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi daripada sapi.
SARAN Untuk mengurangi peningkatan produksi gas methan pada ternak sapi yang diberi pakan mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru perlu penelitian lebih lanjut dengan penambahan atau substitusi pakan yang berfungsi sebagai inhibitor produksi gas methan.
32
4 PENINGKATAN KARAKTERISTIK KARKAS DAN SIFAT-SIFAT
DAGING KERBAU DAN SAPI DENGAN PEMBERIAN PAKAN YANG MENGANDUNG ASAM LEMAK TERPROTEKSI
ABSTRAK Penelitian bertujuan mengkaji pengaruh pemberian pakan yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK) terhadap karakteristik karkas dan sifat-sifat daging kerbau rawa dan sapi PO yang digemukkan di feedlot. Enam ekor kerbau rawa jantan dengan bobot potong 315.50±6.96 dan delapan ekor sapi PO jantan dengan bobot potong 289.88±6.03. Umur I1 yaitu 1.5-2 tahun digunakan dalam penelitian. Penggemukan dilaksanakan selama 2.5 bulan. Setelah digemukkan ternak dipotong dan dianalisis karkas dan dagingnya. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 2x2. Faktor pertama adalah perlakuan pakan yaitu Non CGKK (hijauan+konsentrat) dan suplementasi CGKK (hijauan+ konsentrat+CGKK). Faktor kedua adalah jenis ternak (kerbau dan sapi). Data yang diperoleh di analisis menggunakan sidik ragam dan uji lanjut Least Square Means. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan pakan dengan tenis ternak terhadap potongan otot striploin, kandungan asam lemak SFA, UFA, MUFA, rasio UFA/SFA dan kolesterol daging. Suplementasi CGKK meningkatkan berat komponen non karkas terutama pada kulit dan kaki, PUFA, EPA dan DHA. Pada ternak kerbau terlihat bahwa persentase karkas, luas urat daging mata rusuk, warna lemak daging, berat ekor, berat dan persentase tulang, potongan otot tenderloin dan silverside, keempukan dan kadar protein daging lebih rendah tetapi warna daging, berat komponen non karkas terutama berat kepala, jeroan hijau, jeroan merah meningkat dibandingkan dengan sapi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi CGKK pada ternak kerbau meningkatkan profil asam-asam lemak terutama pada penurunan asam lemak jenuh dan peningkatan asam-asam lemak tak jenuh termasuk EPA dan DHA serta menghasilkan daging yang mempunyai bau ikan yang lebih kuat. Kata kunci : karkas, karakteristik daging, asam lemak, kerbau, sapi, CGKK.
INCREASING CHARACTERISTICS OF BUFFALO AND CATTLE MEAT AND CARCASS FED RATION CONTAINING PROTECTED FATTY ACIDS
ABSTRACT An experiment was carried out to investigate the effect of ration containing protected fatty acids on meat and carcass quality of young swamp buffaloes. The protected fatty acids was in the form of dried carboxylate salt mixture (DCM). The experiment were assigned to 2x2 factorial model with two feeding treatment (with and without supplemented DCM) and two animals types (buffaloes and
33
cattle). The animals were slaughtered at 289,88 ±6.03 kg for buffaloes and 315.50±6.96 kg for cattle. The results showed that interaction was found between the two factors on striploin, meat cholesterol, SFA, MUFA, UFA and ratio of UFA/SFA. DCM supplementation increased total non carcass component, odour of meat, PUFA, EPA and DHA. The buffalo had significantly higher meat colour score and total non carcass component and lower carcass percentage, loin eye area, bone, tenderloin, silverside, fat colour score, tenderness and meat protein. It is concluded that DCM supplementation in the ration of buffalo can improve the quality of meat, especially the content of unsaturated fatty acids of EPA and DHA and could produce slightly stronger meat odor. Keywords: carcass, meat characteristic, fatty acid, buffalo, cattle, DCM.
PENDAHULUAN Daging kerbau yang dijual dipasar tradisional umumnya berasal dari ternak yang dipotong pada umur tua, ternak yang dipekerjakan dan ternak afkir. Sehingga daging yang dihasilkan mempunyai kualitas yang rendah, yaitu daging menjadi keras dan liat, warna daging lebih gelap dan baunya lebih tajam. Akibatnya daging kerbau kurang disukai oleh konsumen. Daging kerbau dapat ditingkatkan kualitasnya seperti daging sapi dengan cara digemukkan. Penggemukan pada kerbau selain meningkatkan performa pertumbuhan juga memperbaiki kualitas karkas dan sifat-sifat daging. Pakan penggemukan terdiri dari hijauan dan konsentrat dan dapat ditambahkan pakan suplemen. Salah satu pakan suplemen yang tinggi kandungan energinya adalah minyak ikan. Minyak ikan juga mengandungan asam-asam lemak tak jenuh rantai panjang yang tinggi (PUFA/polyunsaturated fatty acid) terutama asam lemak omega-3 yaitu EPA (Eicosapentaenoic acid, C20:5(n-3)) dan DHA (Docosahexaenoic acid, C22:6(5-3 (Rusmana et al. 2008; Saldanha et al. 2007). Asam lemak omega-3 merupakan senyawa bioaktif dan mempunyai efek fisiologis yang menguntungkan kesehatan manusia (Estiasih 2009). Pemberian asam lemak ini dapat memperbaiki kandungan asam lemak tak jenuh rantai ganda dalam jaringan tubuh ternak. EPA dan DHA mempunyai peran yang sangat penting bagi kesehatan, terutama dalam pemeliharaan dan perkembangan janin serta kemampuan belajar anak. EPA terutama berperan untuk memperlancar aliran darah, berfungsi sebagai penghasil prostaglandin E3 dan menghambat perbanyakan platelet sehingga aliran darah lancar. Selain itu asam-asam lemak ini juga mempunyai fungsi spesifik dan sangat berperan dalam pertumbuhan, mencegah berbagai penyakit seperti penyakit jantung, kanker dan inflamasi serta berpengaruh positif terhadap metabolisme tubuh termasuk perkembangan otak dan retina (Riis 1983; King et al. 2008;Estiasih 2009). Pemberian asam lemak pada ternak ruminansia, dalam rumen akan mengalami biohidrogenasi oleh mikroorganisme rumen sehingga penyerapan didominasi oleh asam lemak jenuh. Biohidrogenasi asam lemak dalam rumen dapat diatasi dengan pemberian lemak yang tinggi asam lemak tidak jenuh yang dilapisi dengan suatu material yang tidak dapat dimetabolisme oleh
34
mikroorganisme rumen, tetapi dapat dicerna dalam usus halus. Untuk melindungi asam-asam lemak yang terkandung dalam minyak ikan dilakukan proses hidrolisis pada minyak ikan sehingga menghasilkan garam karboksilat. Tetapi kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi dalam daging dapat menyebabkan bau pada daging lebih tajam karena asam lemak tidak jenuh mudah mengalami otooksidasi (Muika et al. 2005). Oksidasi asam lemak tidak jenuh merupakan reaksi utama yang bertanggung jawab atas terjadinya degradasi lemak, yang diawali dengan terbentuknya radikal bebas. Terbentuknya radikal bebas mengakibatkan timbulnya peroksida-peroksida yang bila mengalami dekomposisi akan menghasilkan zat-zat kimia (Marquez-Ruiz et al. 2008; Rukmiasih et al. 2010) yang berbau khas. Atas dasar pemikiran diatas maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh suplementasi pakan yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK) terhadap karakteristik karkas dan sifat-sifat daging kerbau dan sapi yang dihasilkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh pemberian CGKK terhadap peningkatan karakteristik karkas dan sifatsifat daging terutama sebagai pangan fungsional (functional food) yang mengandung senyawa bioaktif yang menguntungkan bagi kesehatan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni – September 2011. Penggemukan di laksanakan di laboratorium Lapang Blok A Fakultas Peternakan, analisa pakan dan kimia daging dilakukan di laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), analisa sifat fisik daging dan potongan komersial dilakukan di Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, analisa kandungan asamasam lemak di laboratorium Kimia Terpadu dan pemotongan ternak dilakukan di Rumah Potong Hewan PT. Elders, Institut Pertanian Bogor. Analisa flavor dilakukan di Laboratorium Balai Induk Padi, Sukamandi Cikampek. Bahan dan Alat Ternak yang digunakan dalam penelitian terdiri dari kerbau rawa sebanyak enam ekor dan sapi PO sebanyak delapan ekor, berjenis kelamin jantan. Penggemukan dilaksanakan selama 2.5 bulan. Metode penggemukan yang dilakukan sama seperti yang tertera pada Bab 3 hal halaman 16-17. Setelah penggemukan selesai, maka semua ternak ditimbang untuk mendapatkan bobot potong. Bobot potong ternak kerbau adalah 315.50±6.96 dan pada sapi adalah 289.88±6.03. kemudian semua ternak dipotong dengan tujuan untuk mengevaluasi karkas dan daging. Penyembelihan pada ternak dilakukan dengan cara dipingsankan menggunakan alat cash knocker yang dipukulkan tepat dipertengahan dahi di antara kedua kelopak mata. Penyembelihan dilakukan dengan memotong bagian leher dekat tulang rahang bawah, sehingga vena jugularis, oesophagus dan trachea terpotong sempurna. Penusukan jantung dilakukan untuk mengeluarkan darah secara sempurna (sticking) dan ujung oesophagus diikat (rodding the
35
weasand) untuk mencegah cairan rumen keluar mengotori karkas. Setelah ternak benar-benar mati, kaki belakang sebelah kanan diikat dan digantung pada rel penggantung (roller dan shackling chain), kemudian didorong ke tempat pengulitan (skinning). Kaki depan dan belakang dilepaskan pada sendi Carpometacarpal dan sendi Tarso-metatarsal, keempat kaki tersebut ditimbang sebagai bobot kaki depan dan belakang (legging). Penggantungan dilakukan pada tendon achilles.Kepala dilepas dari tubuh pada sendi occipito-atlantis (heading). Kepala ditimbang sebagai bobot kepala. Pengulitan (skinning) dilakukan dengan membuat irisan dari anus sampai leher melewati bagian perut dan dada, juga dari arah kaki belakang dan kaki depan menuju irisan tadi. Kulit dilepas dari arah ventral perut dan dada ke arah dorsal dan punggung, selanjutnya ditimbang sebagai bobot kulit. Pengeluaran isi rongga perut dan dada dilakukan dengan menyayat dinding abdomen sampai dada. Sebelumnya, rectum di lepas dan diikat untuk mencegah feses keluar, mengotori karkas dan mengurangi penyusutan. Pada saat ini ekor dipisahkan dari tubuh dan ditimbang. Selanjutnya organ kelamin dikeluarkan, yang dilanjutkan dengan pengeluaran lemak abdomen dan isi perut (eviscerasi) yang terdiri dari: lambung (rumen, retikulum, omasum dan abomasum), usus, limpa dan ginjal. Untuk memudahkan pengeluaran tenggorokan, paru-paru, jantung, hati dan empedu, rongga dada dibuka dengan gergaji listrik kecil tepat pada bagian ventral pada tulang dada (sternum). Karkas segar kemudian dibelah simetris (splitting) dengan menggunakan gergaji listrik besar (power saw) merek Kent Master sepanjang tulang belakang dari sacral (Ossa vertebrae sacralis) sampai leher (Ossa vertebrae cervicalis). Belahan karkas dibersihkan dengan menyemprotkan air untuk menghilangkan sisa-sisa darah dan kotoran lainnya. Selanjutnya karkas diberi label dan ditimbang sebagai bobot karkas segar/panas sebelah kiri dan kanan. Karkas disimpan dalam chilling room pada suhu 2-5oC selama ±24 jam dengan kelembaban 85-95% dengan kecepatan pergerakan angin sekitar 0.2 m/detik. Tahapan proses pemotongan sapi di PT. Elderss Institut Pertanian Bogor dapat dilihat pada Gambar 4.1. Setelah penyembelihan, eviscerasi dan pembelahan karkas selanjutnya dilakukan deboning Karkas. Sebelum dilakukan pembentukan potongan komersial karkas (wholesale cuts), masing-masing separuh karkas ditimbang sebagai bobot karkas dingin/layu. Selama pembentukan potongan komersial karkas dilakukan pemisahan tulang dari daging dan lemak (deboning). Potongan komersial karkas utuh (wholesale cuts) mengacu pada prosedur Australian Meat and Livestock Corporation (1991). Seperempat bagian depan (forequarter) meliputi chuck, blade, cuberoll, brisket dan shin. Seperempat bagian belakang (hindquarter) meliputi striploin atau sirloin, tenderloin, rump, silverside, topside, knuckle, flank dan shank. Semua potongan komersial karkas utuh kemudian ditimbang dengan timbangan listrik merek Ishida MTx – 150 W dan dicatat sebagai bobot potongan komersial karkas utuh.
36
Sapi Digiring
Sembelih
Stunning Gun
I
Bleeding Gantung dan rolling Eviscerasi
Lepas Kepala-Kaki-Kulit Belah Karkas
Karkas Hangat Timbang Chilling Room, 2-5oC Karkas Dingin Timbang Deboning TULANG (Timbang) DAGING+LEMAK Fat Trim + Tetelan (Timbang) WHOLESALE CUTS (Timbang) Gambar 4.1 Tahapan proses pemotongan ternak Batas antara seperempat bagian karkas depan dengan bagian belakang adalah pada ruas tulang rusuk 12 dan 13. Peta lokasi potongan komersial karkas di rumah potong hewan PT. Elders Institut Pertanian Bogor dapat dilihat pada Gambar 4.2. Pengukuran karkas dilakukan terhadap belahan karkas kiri. Sebelum dilakukan pemisahan daging dari karkas dingin, terlebih dahulu dilakukan pengukuran tebal lemak subkutan yang menutupi urat daging mata rusuk (loin eye area). Pengukuran tebal lemak dilakukan pada posisi ¾ dari medial ke arah lateral dengan menggunakan mistar plastik transparan.
37
A C B
J
F G
I
H E
K L M
D
Gambar 4.2 Potongan komersial karkas dan bagian-bagiannya Forequarter : Hindquarter A. Chuck F. Striploin (Sirloin) B. Blade (Clod) G. Tenderloin C. Cuberoll H. Flank D. Brisket I. Rump E. Shin J. Silverside Peubah yang Diamati Meliputi :
K. Topside L. Knuckle (Inside)
M.Shank
I. Kualitas Karkas Terdiri Atas: Bobot Karkas Panas Bobot karkas panas atau segar adalah hasil penimbangan karkas sebelum dimasukkan ke dalam chilling room. Persentase Karkas Persentase karkas panas adalah perhitungan berdasarkan perbandingan bobot karkas panas dengan bobot potong dikalikan 100 persen. Bobot Komponen Karkas Bobot komponen karkas adalah bobot dari masing-masing komponen utama karkas setelah dipisahkan. Komponen karkas terdiri dari daging, lemak dan tulang. Persentase Komponen Karkas Persentase komponen karkas adalah hasil perhitungan berdasarkan perbandingan bobot dari masing-masing komponen karkas (daging, trim lemak dan tulang) dengan bobot karkas dingin dikali dengan 100 persen. Bobot Potongan Komersial Bobot potongan komersial karkas atau wholesale cuts adalah bobot dari masing-masing potongan seperti: chuck, blade, cuberoll, brisket dan shin yang terdapat pada belahan seperempat karkas bagian depan (forequarter) dan striploin, tenderloin, rump, silverside, topside, knuckle, flank dan shank yang terdapat pada belahan seperempat karkas bagian belakang (hindquarter). Tebal Lemak Punggung Tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk diukur pada potongan antara rusuk ke 12-13. Tebal lemak punggung adalah hasil pengukuran tebal lemak subkutan yang menutup otot longissimus dorsi, pada posisi tepat ¾ bagian irisan melintang otot longissimus dorsi sesuai petunjuk Murphey et al., (1960).
38
Luas Urat Daging Mata rusuk Pengukuran luas urat daging mata rusuk dilakukan dengan melukis batas luas penampang melintang otot Longissimus dorsi menggunakan spidol permanen pada plastik transparan yang ditempel pada permukaan irisan otot. Perhitungan luas dilakukan dengan menempelkan luas lukisan tadi pada plastik grid. Satuan dari plastik grid adalah 1 inci2 tiap 10 titik. Jumlah titik yang tercakup oleh bidang penampang melintang tersebut dijadikan ukuran luas urat daging mata rusuk dalam inchi2. Warna Daging dan Warna Lemak Warna daging dan lemak diukur berdasarkan skor. Penentuan skor tersebut dilakukan dengan menggunakan meat colour card (untuk warna daging) dan fat colour card (untuk warna lemak). Sampel daging disiapkan, kemudian sampel daging dan lemak tersebut diberi skor yang dilihat dari alat meat colour card (untuk warna daging) dan fat colour card (untuk warna lemak). Skala warna daging dikelompokkan menjadi tujuh kategori yaitu skala warna 1= adalah pucat pink, 2= adalah pink, 3= adalah merah muda, 4= adalah merah cerah, 5= adalah merah, 6= adalah merah tua dan 7= adalah merah tua gelap. Skala warna lemak daging dikelompokkan menjadi tujuh kategori yaitu skala warna 1= adalah putih pucat, 2= adalah putih, 3= adalah putih gelap, 4= adalah putih agak kekuningkuningan, 5= adalah kuning pucat, 6= adalah kuning muda dan 7= adalah kuning. 2. Komponen Non Karkas Komponen non karkas adalah hasil sampingan dari pemotongan ternak yang masih mempunyai nilai ekonomis seperti kepala, ekor, kulit, kaki bagian bawah, jeroan hijau (usus dan rumen) dan jeroan merah (hati, limpa, jantung dan paru-paru). Untuk mengetahui sifat-sifat daging, sampel daging yang digunakan berasal dari otot longissimus dorsi pada tulang rusuk antara 12 dan13. Sampel ini kemudian disimpan dalam freezer untuk analisa lebih lanjut. 3. Sifat-sifat Daging, Meliputi: a). Analisa Sifat Fisik Daging, Terdiri Dari: Nilai pH (AOAC 2005) Nilai pH diukur setelah daging dilayukan selama 24 jam pasca proses pemotongan. Alat yang digunakan yaitu pH meter merk corning. Tahap awal yang dilakukan yaitu pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan buffer pH 7 dan 4 kemudian pH meter ditusukkan kedalam sampel daging dan nilai pH yang tertera pada layar display dibaca dan dicatat. Proses pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali untuk setiap sampel daging. Jika pengukuran nilai pH dilakukan pada sampel daging yang berbeda, maka sebelumnya ujung pH meter dibasuh terlebih dahulu dengan menggunakan aquades lalu dikeringkan dengan lap yang bersih. Daya Mengikat Air (DMA) Pengukuran dilakukan dengan metode tekan menurut Hamm (Swatland, 1984). Sampel daging sebanyak 0.3 gr diletakkan diantara dua kertas saring Whatman-1 dan dijepit dengan alat Pressure guage merk Chattllon bertekanan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Luas daerah basah adalah luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan dan diperoleh dari selisih luas lingkaran luar dan dalam pada kertas saring. Pengukuran lingkaran tersebut dilakukan dengan
39
menggunakan planimeter merk Hruden. Bobot air bebas yang terlepas karena proses penekanan dapat dihitung berdasarkan rumus dibawah ini: Mg H2O % Air bebas
100%
Daya Mengikat Air = Kadar air total (%) – Kadar air bebas (%) Keempukan (kgf/cm2). Sampel daging seberat 150 gr dimasukkan kedalam air rebusan, sebelum itu termometer bimetal ditancapkan hingga menembus bagian dalam sampel daging, kemudian direbus hingga thermometer bimetal menunjukkan angka 800C, sampel diangkat dan didinginkan. Setelah itu sampel daging dicetak dengan alat pencetak daging (Corer) yang berdiameter 1.27 cm. Potongan-potongan daging tersebut diukur keempukanya dengan menggunakan alat berskala (kgf/cm2) Warner Blatzer. Nilai keempukan dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu nilai keempukan pada kisaran 0-3 adalah empuk, > 3-6 adalah sedang, >6 adalah a lot. Susut Masak Sampel terlebih dahulu ditimbang sebelum dilakukan perebusan dan ditancapkan thermometer bimetal hingga menembus bagian dalam daging. Direbus hingga suhu dalam daging 800C lalu diangkat. Sampel tersebut didinginkan sampai mencapai berat konstan, setelah itu ditimbang sebagai berat akhir sampel yang konstan. % susut masak
100%
b). Nilai Nutrisi Daging, Terdiri Dari: Kadar Air (AOAC 2005) Kadar air diukur dengan metode Gravimetri secara pemanasan langsung, yaitu menghitung banyaknya air yang hilang dengan pemanasan ± 1050C menggunakan oven selama 4-6 jam. Terlebih dahulu dikeringkan kira-kira 1 jam dalam alat pengering pada suhu 1050C dan didinginkan dalam eksikator, lalu ditimbang x gram. Sejumlah daging ditimbang dengan teliti ± 5 gram dalam botol timbang sebagai (y) gram. Botol timbang dan sampel yang berada didalamnya dimasukkan dalam alat pengering selama 4-6 jam pada suhu 1050C. Kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Pekerjaan ini diulang sampai tiga kali, sampai berat konstan (z) gram. Kadar air ditentukan dengan rumus berikut: – – Kadar air 100% – Kadar Protein Kasar (AOAC 2005) Kadar protein kasar dapat dihitung dengan menggunakan metode Kjeldahl yang secara garis besar terbagi 3 tahap, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Jumlah protein didapat sebagai jumlah nitrogen dalam bahan yang tertitrasi dikalikan dengan factor konversi protein (6.25). Ditimbang ± 1 gram sampel daging dan 1 gram campuran selen dengan kertas saring lalu dimasukkan dalam labu kjeldahl kering yang telah terisi batu didih. Ditambahkan 25 ml H2SO4 pekat mutu teknis dan dilakukan destruksi dengan peningkatan suhu bertahap didalam ruang asam hingga larutan jernih dan berwarna kuning kehijauan, kemudian didinginkan. Larutan yang terbentuk dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan
40
diimpitkan. Dipipet 10 ml larutan dan dimasukkan kedalam alat destilasi, ditambahkan NaOH 0.3 N dan indicator fenol ftalein (PP) hingga warna larutan menjadi merah muda. Destilat dicampur dengan Erlenmeyer berisi 25 ml H2SO4 0,3 N. Proses penyulingan ini diteruskan hingga semua analat tertangkap oleh H2SO4 yang ada didalam Erlenmeyer atau bila 2/3 dari cairan dalam labu penyuling telah menyerap. Hasil sulingan diambil dan kelebihan H2SO4 dititar kembali dengan menggunakan larutan NaOH 0.3 N. Proses titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna dari ungu menjadi hijau yang menandakan titik akhir titrasi. Setelah itu volume NaOH dicatat sebagai (z) ml dan dibandingkan dengan titar blanko (y) ml. Penentuan kadar protein dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut : % protein kasar
100%
Kadar Lemak (AOAC 2005) Kadar lemak ditetapkan dengan metode soxhlet dimana lemak diekstraksi dengan pelarut nonpolar yang cocok dengan suhu sedikit diatas didih pengekstrak (60-80°C). Lemak daging yang terukur yaitu lemak terekstrak oleh pelarut lemak non polar dan telah dipisahkan dari pelarutnya melalui epavorasi. Ditimbang ± 1 gram daging (x), dimasukkan dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring dan ditutup dengan kapas yang bebas lemak (hulls). Hulls dimasukkan dalam soxhlet yang telah terhubung dengan labu lemak kering yang telah ditimbang berat kosongnya (a) gram. Ditambahkan heksan sebagai pengekstrak dan dipanaskan dengan alat FATEX-S yang diukur suhunya pada 60°C, proses ekstraksi dilakukan sampai larutan didalam soxhlet sebening heksan murni atau selama ± 2 jam. Heksan (pengekstrak) dipisahkan dengan cara destilasi dan evaporasi. Labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang hingga diperoleh berat konstan (b) gram. Kadar lemak kasar dapat dihitung dengan rumus berikut: –
100%
c). Kolesterol Daging Sebanyak ± 5 g daging yang sudah dicincang dimasukkan kedalam tabung dan ditambahkan 10 ml diethyl eter diekstraksi selama 5 menit, sesudah itu diuapkan pada suhu kamar sampai kering. Daging yang sudah diekstrak dibuang dan kolesterol yang terlarut dalam ether tersebut ditambah 1 ml phosphate buffer saline pH 7.2 kemudian dikocok dan disentifus selama 15 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Setelah itu supernatan dituang kedalam tabung evendorf dan siap untuk dianalisa kolesterolnya menggunakan metode CHOD-PAP yang dibuat oleh Human (KIT Human LOT H116). d). Analisis Komposisi Asam-asam Lemak Bahan yang digunakan berasal dari otot longissimus dorsi. Analisis komposisi asam-asam lemak dari masing-masing sampel yang telah diekstrak akan dilakukan menurut prosedur laboratorium sebagaimana telah disusun oleh AOAC (2005) maupun IUPAC (1988). Prosedur analisis dilakukan dengan bantuan instrument kromatografi gas (GC) dari tipe GC-9AM Shimadzu dan tipe Hewlett Packard (HP) 6890 series. Sebelum dapat disuntikkan kedalam GC, sampel lemak terlebih dahulu diesterifikasi atau dimetilasi. Identifikasi asam-asam
41
lemak setiap sampel dilakukan dengan membandingkan nilai Relative Retention Time (RRT) dari sampel terhadap nilai RRT dari standar. Waktu retensi standar asam-asam lemak yang dipakai adalah standar asam lemak 74 dan 84. Prosedur ekstraksi lemak dari sampel daging kerbau yang hendak dianalisis komposisi asam-asam lemaknya adalah sebagai berikut : Sampel seberat 3 gram dimasukkan kedalam gelas Erlenmeyer yang berisi 12 mg asam margarat (C17:0) sebagai standar internal (SI). Kemudian ditambahkan 20 ml larutan methanol 2:1 dan campuran dikocok selama kurang lebih satu jam. Setelah itu disaring kedalam tabung dan penyaringan dilakukan sebanyak 2 kali. Filtrate hasil ekstraksi ditambahakan dengan NaCl 0.088%, kemudian di forteks dan akan membentuk dua lapisan. Lapisan bagian atas diambil dengan pipet isap. Lapisan bagian bawah yang tertinggal disaring kedalam tabung reaksi bertutup. Penyaringan dilakukan dengan menggunakan kertas saring yang dibubuhi Na2SO4 anhidrasi. Hasil penyaringan kemudian dipekaatkan dengan gas N2 sampai pelarutnya habis. Lemak yang telah diekstraksi selanjutnya dimetilasi dengan prosedur sebagai berikut : 1. Kedalam lemak yang sudah dipekatkan ditambahkan 1 ml heksan, kemudian diforteks. Selanjutnya ditambahkan 1.5 ml larutan NaOH-metanol 0.5 N. 2. Setelah didinginkan, kedalam larutan ditambahkan lagi 2 ml BF3-metanol, lalu diforteks. Hembuskan beberapa saat dengan N2. 3. Selanjutnya dipanaskan lagi dalam penangas air bersuhu 800C selama 25 menit. Setelah didinginkan ditambahkan dengan 1.5 ml heksan dan 3 ml NaCl jenuh dan diforteks. Diamkan sampai terbentuk dua lapisan. Ambil lapisan atas dengan pipet, dan masukkan kedalam vial yang telah berisi Na2SO4 anhidrasi. Hembus dengan N2, sampel siap disuntik ke alat GC. 4. Sampel lemak akan disuntikkan kedalam alat GC tipe HP 6890 series, yang diatur temperature inletnya pada 2250C, oven temperature 1740C, temperature “front dent” 2500C, total flow “front inlent” 20, air flow 200 dan flow H2 40. Hasil pengukuran GC akan menghasilkan beberapa komponen yaitu waktu retensi, area dan konsentrasi. Dengan menggunakan waktu retensi standar internal, waktu retensi dan area asam-asam lemak yang lain akan dapat ditentukan. 5. Kadar kosentrasi komponen-komponen asam lemak akan dihitung dengan terlebih dahulu mengukur nilai Response Faktor (RF) dari masing-masing komponen, dengan persamaan sebagai berikut :
Standar internal (SI) yang dipergunakan adalah asam margarat (C17:0), dengan hasil penetapan RF, maka kosentrasi dari setiap komponen asam lemak akan dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
42
e). Analisis Komponen Volatil Ekstraksi Komponen Volatil. Ekstraksi komponen volatile daging kerbau akan dilakukan dengan menggunakan alat destilasi dan ekstraksi sesuai teknik Stimultaneus Distillation Extraction (SDE) Likens-Nickerson. Penggunaan alat destilasi ini dilakukan dengan pertimbangan hasil percobaan Hustiany (2001). Adapun prosedur dan teknik metode SDE Likens-Nickerson adalah sebagai berikut: sampel yang sudah digiling halus ditimbang sebanyak 100 gr dimasukkan kedalam labu destilasi. Kemudian ditambahkan 500 ml aquades dan standar internal 1.4-diklorobenzena sebanyak 0.5 ml (0.1 gr dalam 100 ml dietil eter). Lalu sampel ditempatkan pada alat SDE Likens-Nickerson, lalu dipanaskan pada suhu 1000C dan diekstraksi dengan pelarut dietil eter sebanyak 30 ml yang dipanaskan dalam penangas air pada suhu 400C selama 1 jam terhitung sejak air mendidih. Ekstrak yang diperoleh lalu dipekatkan dengan kolom vigreux hingga mencapai volume sekitar 2 ml. ekstrak dimasukkan dalam tabung vial dan ditambah Na2SO4 anhidrat untuk mengikat air. Sampel disimpan didalam freezer sebelum disuntik kedalam Gas Chromatograph-Mass Spektrometer (GC-MS) untuk mendapatkan konponen-komponen volatile yang ada pada daging kerbau. Pada saat akan disuntik ke GC-MS, ekstrak dipekatkan kembali dengan gas N2 sampai volume sekitar 0.5 ml. Identifikasi Komponen Volatil. Identifikasi Komponen Volatil daging kerbau dilkakukan sebagai tahapan lanjutan dari sampel yang diperoleh dari hasil ekstraksi komponen volatile. Identifikasi ini akan dilakukan dengan menggunakan alat GC-MS tipe Agilent 7890A. spesifikasi dan kondisi GC-MS yang digunakan sebagai berikut : Tipe Kolom Detector Gas pembawa Teknik ijeksi Volume injeksi Waktu sampling Suhu awal Laju kenaikan suhu Suhu akhir Suhu injector Suhu interfase Kondisi MS Kisaran massa Energy Interval waktu Voltase detektor
: Agilent 7890A : Kolom kapiler DB-5 dengan panjang kolom 60 m, diameter dalam 0,25 mm dan tebal lapisan 0,25µm : Mass Spectrometer (MS) : Helium dengan tekanan 40,40 kPa : Split : 1 µl : 0,5 menit : 400C, ditahan selama 5 menit : 30C/menit : 2000C, selama 20 menit : 2000C : 2300c : 33 - 400 : 70 ev : 0,5 detik : 1,10 kV
Beberapa upaya yang akan dilakukan untuk mengidentifikasi komponen volatile pada sampel penelitian yaitu : Interpretasi spectra massa, dilakukan dengan membandingkan spectra massa suatu senyawa dengan spectra massa standar yang terdapat pada mass spectra library koleksi NIST (National Institute Standadt and Technologi), yaitu NIST 12 dan NIST 62 yang memiliki koleksi pola spectra massa lebih dari 62 000 pola. Pustaka spectra massa ini sudah berbentuk program software yang dapat dibaca software yang dapat dibaca dengan bantuan computer. Interpretasi spectra massa juga
43
dapat dilakukan secara manual, yaitu dengan membandingkan pola spectra massa suatu senyawa pada sampel dengan pola spectra massa senyawa tersebut yang terdapat pada jurnal atau buku yang sesuai. Penentuan Linear R Retention Index (LRI), setiap peak (puncak) yang terdeteksi pada detector dan dicatat oleh integrator mempunyaai waktu retensi masingmasing. Untuk program temperature gradient, maka digunakan perhitungan LRI. Nilai LRI merupakan hubungan antara waktu retensi standar n-alkana standar (C5-C26) yang disuntikkan pada kondisi yang sama dengan kondisi penyuntikan sampel. Perhitungan LRI tersebut akan dilakukan dengan persamaan sebagai berikut : {
}
Dimana: LRIx Tx tn
= index retensi linier komponen x = waktu retensi komponen x (menit) = waktu retensi alkana standar, dengan n buah atom karbon, yang muncul sebelum komponen x (menit) tn + 1 = waktu retensi alkana standar, dengan n+1 buah atom karbon yang muncul sesudah komponen x (menit) n = jumlah atom karbon alkana standar yang muncul sebelum komponen x Hasil perhitungan LRI suatu komponen akan dibandingkan dengan nilai LRI yang terdapat pada pustaka dengan kolom GC-MS yang digunakan, dipakai dengan fase diam yang sama. Kuantifikasi Komponen Volatil. Kosentrasi komponen volatile masing-masing peak akan dihitung dengan persamaan :
Jumlah standar yang akan ditambahkan adalah 1 ml dari larutan standar internal 0.1 gram standar internal /100 ml pelarut atau 0.1% . sehingga jumlah yang ditambahkan adalah 0.001 gram atau 1 mg. Komponen-komponen volatile yang diperoleh dari hasil analisis, selanjutnya akan dibandingkan dengan data sekunder atau literature yang ada untuk mengetahui lebih lanjut komponen-komponen volatile apa saja yang berperan utama sebagai penyebab flavor pada daging kerbau. Analisis Data Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial. Faktor pertama adalah perlakuan pakan yaitu tanpa suplementasi (hijauan+konsentrat) dan suplementasi CGKK (hijauan+konsentrat+CGKK). Faktor kedua adalah jenis ternak yaitu kerbau dengan 3 ulangan dan sapi dengan 3 ulangan. Dengan model matematis sebagai berikut (Steel dan Torrie 1995): Yijk = µ + τi + βj + (τβ)ij + E(ij)k
44
Keterangan : Yijk = Respon pengaruh perlakuan pakan ke-i,jenis ternak ke-j dan ulangan ke-k µ = Rataan umum τi = Pengaruh perlakuan pakan βj = Pengaruh jenis ternak (τβ)i = Pengaruh interaksi perlakuan pakan dan jenis ternak E(ij)k = Pengaruh galat percobaan Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (Anova). Apabila terdapat pengaruh terhadap peubah yang diamati dilanjutkan dengan uji Least Square Means (SAS User’s Guide: statistics 1985).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Karkas Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau tipe ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan ternak dan jumlah lemak intramuskuler atau marbling dalam otot (Soeparno 2011). Pengaruh perlakuan terhadap karakteristik karkas dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Rataan karakteristik karkas berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan
Pakan Non CGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak (JT) P x JT SEM
Peubah Karkas Karkas TLP Luas udamaru (kg) (%) (mm) (cm2)
Warna Warna daging lemak
147.27 150.44
49.43 49.15
1.19 0.65
57.88 49.83
4.83 4.88
2.25 2.38
151.13 146.58
52.09 46.49
0.60 1.25
78.49 29.21
3.88 5.83
2.63 2.00
TN TN TN 12.19
TN * TN 2.39
TN TN TN 0.80
TN * TN 22.95
TN * TN 0.58
TN * TN 0.42
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = Tidak beda nyata, *Berbeda nyata, TLP = Tebal lemak punggung, Udamaru = Urat daging mata rusuk
Pada tabel terlihat bahwa, tidak terdapat pengaruh interaksi dan pengaruh perlakuan pakan terhadap karakteristik karkas. Persentase karkas pada kerbau lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan sapi. Hal ini disebabkan oleh bobot total komponen non karkas pada kerbau lebih tinggi, terutama pada kepala, jeroan hijau dan jeroan merah (Tabel 5.2). Konsumsi zat-zat makanan yang tinggi pada kerbau menyebabkan pertambahan bobot badan harian dan bobot badan akhir
45
yang tinggi pada kerbau tidak diikuti dengan pertumbuhan komponen karkas. Menurut Kuswandi (2007), persentase karkas dan porsi otot dalam karkas pada kerbau lebih rendah dibanding sapi-sapi lokal (Madura, Ongole, Bali dan Grati) hal ini diduga karena perut yang besar, tulang lebar, kulit tebal dan kepala yang mempunyai tanduk lebih besar. Hasil penelitian Spanghero et al. (2004), pada bobot dan persentase karkas sapi Simmental dan kerbau lokal dengan pemberian pakan yang sama terhadap bobot potong, tidak berbeda nyata (bobot potong 322 kg vs 308 kg; bobot karkas 171.1 kg vs 162 kg; persentase karkas 53.2% vs 52.6%). Selain dipengaruhi oleh komponen non karkas persentase karkas yang rendah pada ternak kerbau diduga dipengaruhi oleh perkawinan inbreeding antara ternak kerbau yang tinggi sehingga mempengaruhi kemunduran dalam produksi (Bahri dan Talib 2008). Komposisi karkas dapat diprediksi menggunakan kombinasi antara bobot karkas, tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk. Dilihat dari luas urat daging mata rusuk pada ternak kerbau lebih kecil (P<0.05) dibandingkan dengan sapi. Rendahnya luas urat daging mata rusuk menggambarkan rendahnya persentase karkas pada kerbau. Besarnya proporsi daging karkas dapat ditentukan dari luas urat daging mata rusuk, yaitu makin luas urat daging mata rusuk berarti makin besar proporsi urat daging pada karkas. Hasil ini sejalan dengan penelitian Irurueta et al. (2008), pada kerbau luas urat daging mata rusuk lebih rendah yaitu 50.92 cm2 dibandingkan dengan sapi persilangan Brangus x Angus, Fleckvieh x Angus dan Limousin x Angus (62.16, 76.90 dan 74.82 cm2). Berat karkas sapi 151.13 kg dengan tebal lemak punggung 0.53 mm dan luas urat daging mata rusuk 78.49 mm dibandingkan dengan berat karkas kerbau 146.58 kg dengan tebal lemak punggung 1.34 mm dan luas urat daging mata rusuk 29.21mm dapat dikatakan bahwa karakteristik karkas pada ternak sapi lebih baik daripada kerbau. Sedangkan tebal lemak punggung berkisar antara 0.37-1.56, hasil ini lebih rendah dengan hasil penelitian Prado et al. (2008) pada sapi persilangan bos taurus x bos indicus dan bos taurus x bos taurus dimana tebal lemak punggung (mm) 2.6-3.8, perbedaan ini diduga bahwa ternak yng digunakan pada penelitian masih dalam masa pertumbuhan otot. Warna lemak pada daging kerbau dan sapi berada pada kisaran intensitas warna putih. Tetapi intensitas warna pada lemak kerbau lebih rendah (P<0.05) dibandingkan dengan sapi. Intensitas warna pada daging kerbau lebih putih terang sedangkan intensitas warna lemak pada daging sapi mendekati kearah putih kekuningan. Lemak kerbau berwarna lebih putih dan warna lemak daging sapi agak lebih kuning. Perbedaan ini disebabkan oleh konsentrasi pigmen karotenoid yang larut dalam lemak (Soeparno 2011) selain itu juga disebabkan oleh lemak intramuskuler (marbling) pada kerbau lebih sedikit yaitu 2-3% sedangkan pada sapi 3-4% (Miskiyah 2006). Intensitas warna pada daging kerbau lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan intensitas warna pada daging sapi. Warna daging kerbau adalah merah cerah mendekati merah tua sedangkan intensitas warna pada daging sapi adalah merah muda mendekati merah cerah. Hasil ini sejalan dengan penilaian atribut warna secara sensori menggunakan panelis, menghasilkan warna daging kerbau yang lebih gelap dibandingkan dengan warna daging sapi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ternak kerbau yang dipelihara secara intensif dan dipotong pada umur muda mempunyai warna lebih merah dibandingkan dengan
46
warna daging sapi. Matassino et al. (1984) dan Gigli et al. (1993) menyatakan bahwa warna daging kerbau lebih merah/terang dibandingkan dengan warna daging sapi Italian Friesian dan Romagnola pada umur potong 18 bulan. Selanjutnya Gigli et al. (1993) memperlihatkan bahwa warna daging kerbau umur 18 bulan lebih terang dari pada warna daging sapi umur 18 bulan. Perbedaan spesies antara kerbau dan sapi menyebabkan konsentrasi mioglobin berbeda, karna warna daging dipengaruhi oleh kandungan mioglobin. Kandungan mioglobin pada daging bervariasi yaitu 2.7-9.4 mg/g tergantung umur ternak. Pada ternak yang lebih tua warna daging lebih gelap karena kandungan mioglobin daging lebih tinggi. Daging kerbau yang dijual di pasar tradisional warna daging lebih gelap daripada sapi, hal ini disebabkan karena dipengaruh umur pada saat pemotongan (Spanghero et al. 2004; Anjaneyulu et al. 2007).. Kommponen Non Karkas Peningkatan bobot hidup tidak hanya diikuti oleh peningkatan bobot karkas tetapi juga diikuti oleh peningkatan berat komponen non karkas. Berat komponen non karkas pada kedua jenis ternak berdasarkan perlakuan pakan dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Rataan berat komponen non karkas berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan Kepala Pakan NCGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak P x JT SEM
Ekor Kulit
Peubah (kg) Kaki Jeroan Jeroan hijau merah
FRP
Total
16.29 17.57
0.72 27.67 28.38 0.70 33.67 34.37
11.79 12.37
11.66 10.96 12.78 10.91
107.48 122.35
15.75 18.11
0.92 30.00 30.92 0.50 31.33 31.84
11.06 13.11
10.80 9.39 13.64 12.47
108.83 121.00
TN * TN 1.91
TN ** TN 0.10
TN ** TN 0.75
** TN TN 3.12
** TN TN 3.16
TN ** TN 1.06
TN TN TN 2.82
* * TN 9.58
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, NCGKK = Non campuran garam karboksilat kering,SEM = Standard error of means, P=Pakan, JT= Jenis ternak, TN = Tidak beda nyata, *Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata, P=Pakan, JT=Jenis ternak, FRP= Fat rongga perut
Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa interaksi pakan perlakuan dengan jenis ternak terhadap berat total dan komponen masing-masing non karkas tidak berpengaruh nyata. Suplementasi CGKK berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap berat total komponen non karkas dan sangat nyata (P<0.01) terhadap berat kulit dan kaki. Meningkatnya berat total komponen non karkas pada ternak yang disuplementasi CGKK dipengaruhi oleh peningkatan pada berat kulit dan kaki. Hal ini sejalan dengan peningkatan konsumsi dan VFA yang dihasilkan sebagai sumber energi pada ternak yang disuplementasi CGKK, tetapi peningkatan berat komponen non karkas ini tidak signifikan meningkatkan pertambahan bobot badan ternak.
47
Berat total komponen non karkas, kepala, jeroan hijau dan jeroan merah lebih tinggi (P<0.05) pada kerbau dibandingkan dengan sapi. Berat total komponen non karkas pada kerbau dipengaruhi oleh berat kepala, jeroan hijau dan jeroan merah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Spanghero et al. (2007) pada ternak kerbau Italian Mediterranean dan sapi Italian Simmental yang digemukkan pada umur 7-10 bulan dengan pemberian pakan yang sama menghasilkan proporsi kulit, kepada dan saluran pencernaan total terhadap berat karkas lebih berat pada ternak kerbau daripada sapi. Berat jeroan hijau menggambarkan volume isi rumen, hal ini berhubungan dengan konsumsi pakan dan kemampuan mencerna pakan berkualitas rendah dengan kandungan serat kasar tinggi pada ternak kerbau (Sarwar et al. 2009). Semakin besar volume rumen semakin banyak pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak dan ini sejalan dengan tingginya konsumsi pakan pada ternak kerbau. Berat jeroan merah menggambarkan aktivitas pada organ dalam yang lebih aktif untuk menyangga proses dan pemanfaatan zat-zat makanan yang berasal dari pakan berkualitas rendah menjadi energi untuk hidup pokok, pertumbuhan dan reproduksi (Spanghero et al. 2007 dan Sarwar et al. 2009). Tingginya berat non karkas pada ternak kerbau menyebabkan persentase karkas lebih rendah dibanding dengan sapi. Komponen Karkas Pada pertumbuhan ternak, tiga jaringan utama yang mengalami pertumbuhan adalah tulang, otot dan lemak. Komponen karkas ini sebagai tolok ukur untuk kepentingan komersial. Tulang sebagai penyusun kerangka tubuh memiliki fungsi sebagai bingkai dasar membentuk tubuh (frame), tumbuh lebih awal, namun memiliki laju pertumbuhan lebih lambat kemudian diikuti oleh otot dan terakhir yang bertumbuh adalah jaringan lemak. Kecepatan pertumbuhan masing-masing komponen karkas berbeda, sampai mencapai dewasa tubuh. Rataan komponen bobot setengah karkas pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Rataan komponen bobot setengah karkas berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak+) Perlakuan Peubah Daging % Tulang % Lemak % Rasio (kg) (kg) (kg) D:T Pakan Non CGKK 49.77 67.38 18.77 25.43 5.35 7.18 2.68 CGKK 50.76 68.44 18.42 25.03 4.88 6.52 2.77 Jenis Ternak Sapi 49.79 67.23 19.62 26.59 4.67 6.18 2.55 Kerbau 50.75 68.59 17.57 23.87 5.55 7.54 2.89 Pengaruh Pakan (P) TN TN TN TN TN TN TN Jenis Ternak (JT) TN TN * * TN TN TN P x JT TN TN TN TN TN TN TN SEM 2.26 1.57 1.20 0.29 Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = Tidak beda nyata, *Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata. +) Data dikoreksi berdasarkan bobot setengah karkas
48
Pada Tabel 4.3, terlihat bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi dan pengaruh perlakuan pakan terhadap komponen karkas. Berat dan persentase tulang antara kerbau dengan sapi berbeda. Berat dan persentase tulang kerbau lebih rendah (P<0.05) daripada sapi. Rendahnya berat tulang pada kerbau disebabkan oleh berat karkas pada kerbau lebih rendah hal ini disebabkan oleh persentase karkas pada kerbau lebih rendah, walaupun berat karkas tidak berbeda nyata. Hal ini menggambarkan bahwa pertumbuhan tulang pada kerbau lebih lambat dan masih terus bertumbuh pada saat belum mencapai dewasa tubuh dibandingkan dengan ternak sapi pada umur yang sama. Potongan Komersial Karkas Bobot setiap potongan komersial sangat beragam dan dipengaruhi oleh bobot karkasnya. Bobot karkas yang semakin tinggi akan menghasilkan bobot potongan komersial yang semakin tinggi pula. Keragaman pada setiap bobot potongan komersial karkas disebabkan karena perbedaan letak setiap potongan komersil karkas tersebut dan distribusi perdagingan pada ternak yang bervariasi hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti spesies, bangsa, umur, nutrisi, jenis kelamin, aktivitas ternak dan tata laksana pemeliharaan. Potongan komersil karkas di Indonesia mengacu pada standar potongan komersial yang diterapkan Australia. Karkas yang diperoleh dibagi menjadi seperempat bagian pemotongan tepat setelah rusuk ke 13. Potongan komersial karkas kerbau masih menggunakan acuan potongan komersial pada karkas sapi. Potongan komersial sapi diperoleh dari seperempat bagian karkas depan (forequarter) terdiri dari chuck, brisket, blade, cuberol, dan shin. Seperempat bagian karkas belakang (hindquarter) meliputi striploin, tenderloin, flank, rump, silverside, topside, knuckle dan shank. Rataan potongan komersial karkas bagian depan (forequarter) dari bobot setengah karkas dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Rataan potongan komersial karkas bagian depan (forquarter) dari bobot setengah karkas berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak+) Perlakuan Chuck Pakan Non CGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak (JT) P x JT SEM
Blade
Peubah (kg) Cuberoll
Brisket
Shin
11.58 12.07
10.45 9.77
2.23 2.63
4.52 4.85
2.57 2.66
11.67 11.98
9.68 10.54
2.32 2.53
4.66 4.7
2.47 2.75
TN TN TN 1.12
TN TN TN 1.19
TN TN TN 0.39
TN TN TN 1.08
TN TN TN 0.61
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = Tidak beda nyata, *Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata. +) Data dikoreksi berdasarkan bobot setengah karkas
49
Pengaruh interaksi, pengaruh perlakuan pakan, dan pengaruh jenis ternak terhadap potongan komersial karkas bagian depan, tidak berbeda nyata. Hal ini menggambarkan bahwa distribusi potongan karkas dari kedua jenis ternak (kerbau dan sapi) pada saat belum mencapai dewasa tubuh adalah relatif sama. Bobot badan awal kedua jenis ternak adalah sama, walaupun pertambahan bobot badan pada kerbau lebih tinggi tetapi distribusi potongan karkasnya adalah sama. Hal ini terbukti dari berat karkas tidak berbeda nyata sehingga menghasilkan distribusi potongan karkas bagian depan yang juga tidak berbeda. Menurut beberapa peneliti bahwa pengaruh bangsa pada distribusi potongan karkas tidak terlalu berpengaruh, kecuali bila dibandingkan dengan dua tipe bangsa yang ekstrim perbedaanya (Priyanto and Johnson 2011). Rataan potongan komersial karkas bagian belakang (hindquarter) dari bobot setengah karkas dapat dilihat pada Tabel 4.5. Dari Tabel terlihat bahwa, pengaruh interaksi antara perlakuan pakan dengan jenis ternak terhadap otot striploin berbeda sangat nyata (P<0.01). Tabel 4.5 Rataan potongan komersial karkas bagian belakang (hindquarter) dari bobot setengah karkas berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak+) Perlakuan
Pakan NCGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak P x JT SEM
Tender loin
Strip loin
Peubah (kg) Top Silver Rump Flank Knuc Shank side side kle
2.91 2.84
4.23 4.22
8.27 8.04
9.39 9.70
4.81 4.47 5.05 5.08
5.31 5.32
2.49 2.23
3.35 2.40
4.55 3.90
9.09 7.23
10.42 8.66
4.83 4.49 5.04 5.07
5.21 5.41
2.23 2.50
TN ** TN 0.30
TN * ** 0.47
TN TN TN 1.88
TN * TN 1.22
TN TN TN 0.67
TN TN TN 0.66
TN TN TN 2.50
TN TN TN 1.14
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = Tidak beda nyata, *Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata, P=Pakan, JT=Jenis ternak. +) Data dikoreksi berdasarkan bobot setengah karkas
Perbedaan distribusi potongan karkas antara ternak kerbau dan sapi yang diberi perlakuan pakan adalah pada otot bagian belakang dan pengaruh interaksinya dapat dilihat pada Gambar 4.3. Pada gambar terlihat bahwa, respon ternak kerbau dan sapi yang diberi perlakuan pakan terhadap berat potongan karkas otot striploin, berbeda. Pada ternak kerbau yang diberi pakan tanpa suplementasi CGKK (non CGKK) lebih rendah otot striploinnya dibandingkan dengan sapi sebesar 42.46%. Tetapi pada ternak kerbau yang diberi pakan dengan suplementasi CGKK lebih tinggi sebesar 21.02% dibandingkan dengan sapi. Pengaruh suplementasi CGKK terhadap non CGKK pada ternak kerbau meningkat cukup tinggi yaitu sebesar 34.39% dan berbanding terbalik dengan sapi. Pada ternak sapi yang disuplementasi CGKK terhadap non CGKK
50
mengalami penurunan sebesar 30.73%. Hal ini berarti bahwa respon pemberian suplementasi CGKK lebih baik pada ternak kerbau terhadap distribusi potongan karkas bagian belakang terutama pada otot striploin
Potongan komersial striploin (kg)
6
5.37a
5 4
4.71b
3.72c
3.09d
3 2
kerbau sapi
1 0
NCGKK CGKK Perlakuan pakan Gambar 4.3 Pengaruh interaksi terhadap otot striploin Berat potongan komersial otot tenderloin dan silverside pada ternak kerbau lebih rendah (P<0.05) daripada sapi dan tidak ada interaksinya seperti pada otot striploin. Perbedaan jenis ternak menyebabkan distribusi potongan karkas berbeda. Berat potongan karkas bagian belakang yaitu potongan striploin dan silverside menyebabkan berat karkas sapi lebih tinggi dari pada kerbau. Pada kerbau dapat dikatakan bahwa, potongan komersial yang mempunyai nilai ekonomi tinggi lebih cepat pertumbuhannya terutama pada otot striploin. Perbedaan ini disebabkan oleh umur dewasa secara fisiologis pada ternak kerbau lebih lambat dibandingan dengan sapi PO. Dilihat dari arah tumbuh kembang pada ternak bagian tubuh yang paling lambat bertumbuh adalah bagian pinggang (loin) sedang yang paling awal bertumbuh adalah tungkai kaki dan kepala (cranium). Kecepatan pertumbuhan otot pada sapi PO lebih cepat dibandingkan dengan kerbau rawa. Hasil penelitian ini sejalan dengan Spanghero et al. (2004), antara kerbau dan sapi. Berat otot pada bagian hindquarter kerbau lebih rendah (39.41 kg atau 49.3%) daripada sapi (42.69 kg atau 50.8%). Sifat-sifat Daging Sifat-sifat daging dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia daging. Sifat fisik daging terdiri dari pH, keempukan, susut masak dan daya mengikat air. Rataan sifat fisik daging perlakuan disajikan pada Tabel 4.6. Sifat fisik daging adalah salah satu parameter utama untuk melihat kualitas daging.Sifat fisik daging tidak dipengaruhi oleh interaksi, pengaruh perlakuan pakan dan pengaruh jenis ternak kecuali pada keempukan daging. Jenis ternak mempengaruhi keempukan daging (P<0.05). Daging kerbau memiliki nilai shearforce yaitu 3.27 kg/cm2, lebih rendah daripada daging sapi yaitu 8.90 kg/cm2. Hal ini berarti bahwa daging kerbau lebih empuk dibandingkan dengan daging sapi. Keempukan daging dipengaruhi oleh jumlah jaringan ikat yang terdapat pada daging. Jumlah jaringan ikat yang terdapat pada daging kerbau
51
lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah jaringan ikat yang terdapat pada daging sapi. Nilai keempukan dengan pengujian daya putus Warner-Bratzler Shear menjadi indikasi kealotan miofibrilar dengan standart keempukan 1-2 kg/cm2 tergolong sangat empuk, 3-5 kg/cm2 tergolong empuk dan >5 kg/cm2 tergolong keras (Wheeler et al. 2003). Tabel 4.6 Rataan sifat fisik daging berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan pH Pakan NCGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak (T) P x JT SEM
Peubah Keempukan(kg/cm2) Susut masak (%) DMA (%)
5.34 5.44
5.95 6.21
49.00 48.96
23.46 20.17
5.45 5.34
8.90 3.27
50.62 47.33
21.12 22.50
TN TN TN 0.16
TN * TN 1.55
TN TN TN 5.03
TN TN TN 5.66
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = Tidak beda nyata, *Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata
Pengamatan secara mikroanatomi pada jaringan ikat otot longissimus dorsi kerbau dan sapi dengan pewarnaan Masson Trichrome dapat dilihat pada Gambar 4.4 dan 4.5.
Gambar 4.4 Jaringan ikat pada daging kerbau
Gambar 4.5 Jaringan ikat pada daging sapi
52
Pada gambar terlihat bahwa jarak antar fasikulus dan persentase kolagen pada ternak kerbau dan sapi berbeda. Jarak antar fasikulus (31.86) dan persentase kolagen (0.43%) pada daging kerbau lebih rendah dibandingkan dengan jarak antar fasikulus (52.00) dan persentase kolagen (0.57%) pada daging sapi dalam perimisium. Kedua parameter tersebut dapat dijadikan indikasi keempukan daging, karena semakin besar jarak antar fasikulus dan jaringan ikat dalam perimisium maka daging yang dihasilkan akan semakin keras (Aberle et al. 2001). Hal ini menjelaskan mengapa daging kerbau lebih empuk dibandingkan dengan daging sapi yang dipotong pada umur muda. Nilai pH daging penelitian berkisar antara 5.34-5.45. Nilai ini sesuai dengan batas titik pH isoelektrik yang menandakan proses rigormortis telah selesai yaitu pada kisaran 5.4-5.8. Tidak berbedanya pH daging antara kedua jenis ternak disebabkan oleh pada proses pemotongan yang sama dan pada saat pemotongan ternak tidak mengalami stress, sehingga cadangan glikogen setelah ternak mati tersedia dan proses rigormortis sempurna. Hasil ini sesuai dengan penelitian Spanghero et al. (2004), pada pH daging kerbau (5.47) dan sapi (5.43) setelah pemotongan 24 jam. Persentase susut masak penelitian yaitu 47.33-50.62%. Persentase susut masak berhubungan erat dengan daya mengikat air. Jika daya mengikat air rendah maka susut masak akan tinggi. Shanks et al. (2002) menyatakan bahwa daging dengan daya mengikat air rendah akan mengeluarkan banyak air ketika daging dimasak akibat kerusakan membrane seluler dan degradasi protein. Semakin tinggi nilai susut masak, berarti massa yang hilang selama pemasakan juga semakin besar, yang berarti bahwa kemampuan protein dalam mengikat massa otot lainnya juga semakin lemah. Besarnya persentase susut masak pada ternak kerbau dan sapi juga dipengaruhi oleh umur yang relative masih muda, sehingga kandungan kolagen dalam daging masih relative rendah bila dibandingkan dengan ternak tua. Walaupun tidak berbeda tetapi persentase penyusutannya pada ternak sapi lebih tinggi dibandingkan dengan kerbau dan dalam industri daging penyusutan daging sangat penting dan mempunyai nilai ekonomis tinggi karena berhubungan dengan proses pemasakan pada daing. Hasil penelitian Spanghero et al. (2004), pada ternak kerbau dan sapi yang diberi pakan sama, susut masaknya tidak berbeda yaitu 32.7% vs 33.0%. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan, perbedaan ini mungkin disebabkan oleh pemberian pakan dan umur pada saat dipotong yang berbeda. Sifat kimia daging meliputi kadar air, protein dan lemak daging. Komposisi kimia sangat menentukan nilai nutrisi atau kualitas daging. Adegoke & Falade (2005) dan Soeparno (2011), menyatakan bahwa komposisi kimia otot mamalia terdiri atas air (65-80%), protein (16-22%), lemak (1.5-13%), abu (1.0%) dan karbohidrat (0.5-1.5%). Rataan sifat kimia daging penelitian disajikan pada Tabel 4.7. Dari tabel terlihat bahwa pengaruh interksi, pengaruh perlakuan pakan dan pengaruh jenis ternak terhadap sifat kimia daging tidak berbeda nyata, kecuali pada kadar protein daging. Daging merupakan salah satu sumber protein utama yang dapat dijadikan sebagai sumber asam-asam amino esensial. Tipe dan bangsa ternak dapat mempengaruhi laju akumulasi protein dan lemak daging (Soeparno 2011). Ternak tipe dewasa besar biasanya mempunyai batas-batas pertumbuhan protein harian yang lebih besar dan telah menimbun lebih banyak protein pada
53
setiap periode pertumbuhan hingga mencapai dewasa dari pada tipe dewasa yang lebih kecil (Byers et al. 1986), sehingga tipe besar lebih banyak menghasilkan daging lean yang relatif tanpa lemak, dan secara fisiologis tampak lebih muda pada saat dipotong pada umur dewasa (Byers et al. 1988). Tabel 4.7 Rataan sifat kimia daging berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan Peubah Kadar air (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Pakan NCGKK 74.20 19.72 0.56 CGKK 74.20 19.92 0.82 Jenis Ternak Sapi 73.78 21.04 0.90 Kerbau 74.61 18.60 0.48 Pengaruh Pakan (P) TN TN TN Jenis Ternak (JT) TN ** TN P x JT TN TN TN SEM 1.02 0.37 0.37 Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering, SEM = Standard error of means, TN = Tidak berbeda nyata, *Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata
Kadar protein daging kerbau lebih rendah (P<0.01) dibandingkan dengan protein daging sapi. Perbedaan kadar protein daging ini disebabkan oleh perbedaan bangsa dan tipe dewasa ternak (Soeparno. 2011). Perbedaan kandungan protein daging dapat disebabkan oleh faktor umur potong. Sapi PO dipotong pada umur yang sudah melampaui umur dewasa sehingga pertumbuhan protein sudah mencapai tingkat yang konstan. Hasil ini sejalan dengan Spanghero et al. (2004), yang menyatakan bahwa kandungan protein daging kerbau Italian Mediterranean sedikit lebih rendah yaitu 20.85% dibandingkan dengan protein daging sapi Italian Simmental yaitu 21.67%. Anjaneyulu et al. (2007), melaporkan bahwa kadar protein daging kerbau adalah 20.4%. Walaupun kadar protein daging yang dihasilkan oleh kedua jenis ternak berbeda tetapi masih berada pada kisaran protein normal daging yaitu 16-22% (Soeparno 2011). Kadar air daging yang disuplementasi dan tanpa suplementasi adalah sama yaitu 74.20%. Kadar air daging kerbau dan sapi adalah 74.61% dan 73.98.%. Kadar air daging relatif sama. Kadar air daging berhubungan dengan kadar lemak daging, semakin tinggi kadar lemak maka kadar air daging semakin rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak daging tidak berbeda pada semua perlakuan sehingga menyebabkan kadar air daging juga tidak berbeda. Tidak berbedanya kadar air daging juga dipengaruhi oleh umur, bobot badan dan pemberian pakan yang relatif sama. Menurut Anjaneyulu et al. (2007) dan Soeparno (2011), bahwa kadar air daging dipengaruhi oleh umur, bangsa, dan kandungan lemak intramuskuler. Kadar air daging hasil penelitian sejalan dengan hasil penelitian Spanghero et al. (2004), bahwa kadar air daging kerbau dan sapi adalah 75.4% dan 74.5%. Kadar air daging menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan daging.
54
Rataan hasil penelitian pada kadar lemak daging kerbau dan sapi adalah 0.48% dan 0.90%, antara suplementasi CGKK dan tanpa suplementasi CGKK pada ternak kadar lemaknya adalah 0.82% dan 0.56%. Kadar lemak daging ini sangat rendah dan tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan oleh umur ternak yang masih muda yaitu umur 2-2.5 tahun atau pada umur fisiologis I1. Ternak yang masih muda belum mengalami pertumbuhan lemak secara maksimal. Jaringan tubuh yang berkembang pada ternak muda adalah jaringan tulang dan otot. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan pada tulang. Tulang pada ternak kerbau dan sapi masih dalam masa pertumbuhan belum mencapai pertumbuhan maksimum. Sehingga deposit/lemak yang tersimpan dalam tubuh masih sedikit. Kisaran kadar lemak yang normal yaitu 1.5-13% (Soeparno 2011). Kadar lemak hasil penelitian masih sangat rendah. Hasil penelitian ini berbeda dari hasil penelitian Anjaneyulu et al. (2007), yaitu 1.5%. Kandungan Asam-asam Lemak Daging Daging dianggap salah satu faktor yang berperan dalam meningkatnya penyakit kardiovaskular pada manusia, obesitas, hipertensi dan kanker karena mengandung lemak jenuh dan kolesterol. Kandungan asam lemak dibedakan berdasarkan ada tidaknya ikatan rangkap. Asam lemak yang tidak mempunyai ikatan rangkap dikenal dengan asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA), sedangkan yang mempunyai ikatan rangkap dikenal dengan asam lemak tak jenuh/Unsaturated fatty acids (UFA). Asam lemak tak jenuh dapat dibedakan lagi berdasarkan jumlah ikatan rangkap yang dimiliki, yaitu mono aunsaturated fatty acids (MUFA) adalah asam lemak tak jenuh yang mempunyai satu ikatan rangkap, sedangkan polyunsaturated fatty acids (PUFA) adalah asam lemak tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap lebih dari satu. Rataan total kandungan SFA, UFA, MUFA, PUFA, EPA, DHA, rasio PUFA/SFA dan kolesterol daging dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Rataan SFA, UFA, MUFA, PUFA, rasio UFA/SFA, EPA, DHA dan kolesterol daging berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan
Pakan NCGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak P x JT SEM
SFA %
UFA %
MUFA %
Peubah PUFA UFA/ % SFA
42.14 36.39
22.17 29.05
19.61 25.64
2.56 3.41
0.53 0.79
0.06 0.35
0.02 0.07
30.95 39.52
39.46 39.37
25.42 25.80
22.68 22.57
2.74 3.23
0.65 0.67
0.18 0.22
0.05 0.04
25.80 44.67
** TN * 2.13
** TN * 2.37
** TN * 2.19
* TN TN 0.64
** TN ** 0.05
* TN TN 0.12
* TN TN 0.02
* ** * 0.05
EPA DHA % %
Kolesterol mg/100g
Keterangan: TN = tidak berbeda nyata, SEM=Standard error of means,* Berbeda nyata, ** Berbeda sangat nyata, P = Pakan, JT = Jenis ternak, PxJT= Interaksi perlakuan pakan dengan jenis ternak, SFA=Saturated Fatty Acids, MUFA=Mono Unsaturated Fatty Acids, PUFA=Poly Unsaturated Fatty Acids, UFA=unsaturated fatty acids EPA=Eicosapentaenoic acid. DHA= Docosaheksaenoic acid
55
50 40
43.64b 40.63bc 38.29ac 35.09a
30 20
kerbau
10
sapi
0
UFA daging (%)
SFA daging (%)
Dari tabel terlihat bahwa pengaruh interaksi pakan perlakuan dengan jenis ternak terhadap saturated fatty acid (SFA) atau asam lemak jenuh, unsaturated fatty acid (UFA) atau asam lemak tak jenuh, mono unsaturated fatty acid (MUFA) atau asam lemak tak jenuh yang mempunyai satu ikatan rangkap dan rasio UFA/SFA pada daging berbeda sangat nyata (P<0.01). Pengaruh interaksi terhadap SFA,UFA, MUFA dan rasio UFA/SFA dapat dilihat pada Gambar 4.6, 4.7, 4.8 dan 4.9 Ternak kerbau dan sapi memiliki respon yang berbeda pada perlakuan pakan terhadap SFA, UFA, MUFA dan rasio UFA/SFA daging.
NCGKK CGKK Perlakuan pakan Gambar 4.6 Pengaruh interaksi terhadap SFA
35 30 25 20 15 10 5 0
30,96a 23.7b 20.63b
27.13ab
kerbau sapi NCGKK
CGKK
Perlakuan pakan Gambar 4.7 Pengaruh interaksi terhadap UFA
MUFA daging (%)
Rasio UFA/SFA
27,28a 1 30 0,88a c 24ac 25 0,71c 21,36bc 0.8 0,58d 20 17,68b 0.6 0,47b 15 0.4 kerbau kerbau 10 sapi sapi Gambar 5.10 Gambar 55.9 Pengaruh interaksi terhadap MUFA 0.2 interaksi terhadap rasio UFA/SFA 0 0 CGKK NCGKK CGKK Gambar 5.9 Pengaruh interaksi GambarNCGKK 5.10 Pengaruh
interaksi
Perlakuan pakan
Gambar 4.8 Pengaruh interaksi terhadap MUFA
Perlakuan pakan Gambar 4.9 Pengaruh interaksi terhadap UFA/SFA
Ternak kerbau yang disuplementasi CGKK mengalami penurunan kandungan SFA yang lebih tinggi yaitu 19.59% dibandingan dengan sapi yang disuplementasi CGKK yaitu sebesar 5.76%. Antara ternak kerbau dan sapi yang disuplementasi maupun non CGKK interaksinya tidak berbeda nyata. Hal ini memperlihatkan bahwa pengaruh pemberian minyak ikan lemuru terproteksi atau asam lemak terproteksi dalam rumen kerbau lebih responsif menurunkan SFA dibandingkan dalam rumen sapi. Asam lemak jenuh utama yaitu miristat (C14:0), palmitat (C16:0) dan stearat (C18:0), merupakan jumlah yang terbanyak dalam jaringan lemak sapi dan kerbau (Soeparno 2011). Pada ternak sapi yang disuplementasi CGKK, tingginya kandungan asam lemak jenuh
56
dipengaruhi oleh kandungan asam lemak miristat dan palmitat dibandingkan dengan ternak kerbau yang disuplementasi CGKK (miristat 2.60 vs 1.36% dan palmitat 19.04 vs 14.58%). Perbedaan ini selain dipengaruhi oleh pakan juga dipengaruhi oleh bangsa yang berbeda. Seperti yang dilaporkan oleh Salvatori et al. (2003) dan Juarez et al. (2008), bahwa bangsa ternak mempengaruhi komposisi asam-asam lemak dalam jaringan adipose. Asam palmitat yang terakumulasi dalam jaringan adiposa kerbau lebih rendah, oleat dan stearat lebih tinggi dibanding sapi (Spanghero et al. 2004; Rule et al. 2002; Prado et al. 2008). Kandungan asam lemak jenuh yang tinggi dalam tubuh mudah teroksidasi dan menyebabkan peningkatan radikal bebas (Echarte et al. 2001). Mekanisme terbentuknya radikal lemak peroxyl dimulai dari oksidasi asam lemak jenuh yang bereaksi dengan kolesterol membentuk radikal kolesterol peroxyl sebagai prekursor pada beberapa hasil oksidasi kolesterol/cholesterol oxidation products (COP) (Oshima 2002). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa COP dari hasil oksidasi kolesterol menyebabkan pengaruh biologi seperti cytoxicity, mutagenicity, angiotoxicity, atherogenicity, carcinogenesis dan kerusakan sel membran (Schroepfer 2000), juga berhubungan dengan penyakit saraf seperti penyakit Parkinson’s dan Alzeimer’s (Hino et al. 1998; Imao et al. 1998). Pada Gambar 4.7, 4.8 dan 4.9 terlihat bahwa pola pengaruh interaksi perlakuan pakan pada ternak kerbau dan sapi adalah sama terhadap persentase UFA, MUFA dan rasio UFA/SFA. Peningkatan kandungan UFA pada ternak kerbau yang disuplementasi CGKK yaitu 33.37%, lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang disuplementasi CGKK yaitu 12.64%. Peningkatan persentase UFA pada ternak kerbau yang disuplementasi CGKK dipengaruhi oleh peningkatan MUFA yaitu sebesar 35.19% lebih tinggi daripada sapi yaitu sebesar 11% dan hal ini sejalan dengan penurunan SFA daging. Pengaruh interaksi ini menggambarkan bahwa minyak ikan terproteksi/lemak terproteksi dalam rumen by pass pada kerbau lebih responsive artinya lebih banyak yang diserap dan dideposit dalam daging dibandingkan pada sapi. Terjadinya peningkatan pada asam lemak UFA disebabkan kandungan asam lemak UFA pada minyak ikan yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan CGKK cukup tinggi. Asam lemak UFA terutama PUFA merupakan asam lemak yang sangat penting karena termasuk asam lemak esensial yaitu berasal dari makanan dan tidak dapat disintesis dalam tubuh (Piliang dan Djojosoebagio, 2002). Selain penurunan asam lemak SFA dan peningkatan asam-asam lemak UFA, rasio UFA/SFA sangat penting karena berperan penting terhadap kesehatan. Peningkatan rasio UFA/SFA pada ternak kerbau yang disuplementasi yaitu 46.59% lebih tinggi dibanding dengan sapi yaitu yaitu 18.31% terhadap non CGKK. Rataan rasio UFA/SFA hasil penelitian lebih tinggi yaitu 0.47-0.88 dari yang direkomendasikan oleh The English Health Department (HMSO, 1994) yaitu 0.40. Rasio UFA/SFA nyata menjaga kesehatan karena tidak menyebabkan resiko penyakit jantung walaupun rasio optimal masih dalam perdebatan (Hu, 2001). Asam lemak tidak jenuh dapat digolongkan menjadi 3 famili yaitu asam linolenat (omega-3), linoleat (omega-6) dan oleat (omega-9). Diantara asam lemak family omega-3 yang penting dan berkaitan dengan gizi dan kesehatan
57
adalah EPA dan DHA. Komposisi dan konsentrasi asam lemak tak jenuh dengan jumlah karbon 18 atau lebih dalam daging dan susu dapat dimodifikasi oleh asam lemak esensial dalam ransum (Baer 2001). Pengaruh suplementasi CGKK meningkatkan (P<0.05) kandungan asam lemak EPA dan DHA.Tingginya kandungan EPA dan DHA dalam daging disebabkan karena minyak ikan kaya kandungan EPA dan DHA. Selain itu dapat berasal dari sintesis asam lemak dari elongasi dan desaturasi dari asam lemak linolenat. Mekanisme pembentukan kedua asam lemak tersebut belum diketahui secara pasti. Menurut Manyamu et al. (2003), sejumlah mikroba rumen dapat mensintesis asam lemak rantai cabang. Connor (1996), menyatakan bahwa asam lemak omega-3 adalah komponen yang penting dalam membrane sel terutama dalam otak dan retina. Newton (1996), menyatakan bahwa rekomendasi dari WHO/FAO untuk konsumsi lemak (sebagai % total energi) sebesar 15-30% dengan kandungan PUFA 3-7% dan rasio n-6:n-3=5:1. Biosintesis kolesterol diawali dengan kondensasi tiga kelmpok asetil yang membentuk mevelonate. Decarboxilation dari mevelonate akan menghasilkan isoprene, kemudian enam isoprene akam membentuk scualene yang akhirnya akan dirobah menjadi kolesterol. Kolesterol dapat dirobah menjadi bermacam-macam steroid. Retikulum endoplasma merupakan bagian sel yang berperan penting dalam pembentukan dan perubahan kolesterol menjadi steroid yang lain. Sebagian besar kolesterol dalam tubuh dibentuk di hati. Pada Tabel 4.10 kolesterol daging dipengaruhi oleh interaksi pakan perlakuan dengan jenis ternak (P<0.05) dan seberapa besar pengaruhnya dapat dilihat pada Gambar 4.10.
Kolesterol daging (mg/100g)
60
52,59a
50 40 30
36,75b 25,16c
26,44c
20
kerbau sapi
10 0 NCGKK CGKK Perlakuan pakan
Gambar 4.10 Pengaruh interaksi terhadap kolesterol daging Respon ternak kerbau dan sapi berbeda terhadap kandungan kolesterol daging sebagai akibat suplementasi CGKK. Kandungan kolesterol pada daging kerbau yang disuplementasi CGKK meningkat lebih tinggi yaitu 30.12% dibandingkan dengan sapi yang disuplementasi CGKK yaitu 4.84% terhadap non CGKK. Sedangkan pada ternak kerbau dan sapi yang disuplementasi CGKK meningkat lebih tinggi sebesar 49.72% dibandingkan dengan non CGKK sebesar 34.54%. Peningkatan kolesterol pada kerbau antara yang disuplementasi CGKK dengan non CGKK berbeda sangat nyata, sedangkan pada sapi peningkatannya tidak berbeda nyata. Peningkatan kandungan
58
kolesterol daging kerbau yang disuplementasi CGKK disebabkan oleh tingginya kandungan asetat dalam rumen sapi yang disuplementasi CGKK yaitu sebesar 19%. Asam asetat merupakan prekursor utama pada biosintesis kolesterol. Dari 27 atom karbon C yang membentuk kolesterol, 15 atom C nya berasal dari metil dan 12 atom C nya berasal dari gugus molekul asetat (Kaneko 1980). Kolesterol mempunyai peranan yang sangat penting karena kolesterol merupakan zat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh kita terutama untuk membentuk dinding sel-sel dalam tubuh. Kolesterol juga merupakan bahan dasar pembentukan hormon-hormon steroid. Testosteron adalah suatu steroid. Kolesterol dapat dirobah menjadi prognelenone, yang selanjutnya dapat dibentuk menjadi progesteron. Progesteron merupakan prekursor untuk hormon testosteron dan estradiol (Campbell & Farell 2009). Pertumbuhan ternak diatur oleh hormone baik secara langsung maupun tidak langsung. Hormone yang mempunyai pengaruh langsung terhadap pertumbuhan antara lain somatotropin, tiroksin, androgen, estrogen dan glukokortikoid. Kandungan kolesterol yang tinggi dalam tubuh akan meningkatkan sekresi hormon testosteron dan hal ini juga menyebabkan sekresi hormone androgen ikut naik. Tingginya hormone androgen dalam tubuh menyebabkan pertumbuhan yang lebih cepat pada ternak jantan terutama setelah munculnya sifat-sifat kelamin sekunder (Soeparno 2011). Hal ini terbukti dari peningkatan bobot badan pada ternak kerbau (1.16 kg/hari) lebih tinggi dari sapi (0.95 kg/hari) dan ternak kerbau yang disuplementai CGKK (1.22 kg/hari) lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang disuplementasi CGKK (0.98 kg/hari). Kandungan kolesterol pada daging kerbau dan sapi penelitian adalah 25.16 – 52.59 mg/100g. Kandungan kolesterol daging hasil penelitian masih berada dalam kisaran kolesterol normal dalam daging yang direkomendasikan untuk kesehatan yaitu ≤ 50 mg/100 g (Prado et al. 2008) . Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Rule et al. (2002); Prado et al. (2008) pada kandungan kolesterol otot longissimus dorsi bison dan sapi pedaging yang sama-sama dipelihara di feedlot (43.8-54.1 mg/100g dan 52.3-52.7 mg/100g), sapi persilangan Bos indicus, Bos taurusxindicus dan Bos taurusxtaurus adalah 48.4 vs 48.9 vs 52.9 mg/100g. Sifat Sensori Daging Sapi dan Kerbau Flavour daging berasal dari jaringan yang tidak berlemak maupun yang berlemak. Jaringan yang tidak berlemak bertanggungjawab terhadap flavour daging sedangkan jaringan yang berlemak mengandung senyawa volatil yang memberikan flavour khas dari spesies ternak yang bersangkutan (Shahidi, 1998). Favour juga merupakan atribut dari makanan atau minuman yang dihasilkan dari ransangan terhadap indra pada saat makanan masuk kedalam saluran makanan dan pernafasan, terutama untuk atribut rasa dan bau (Winarno 2002). Pengukuran terhadap flavor dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: dengan penilaian sensori yang dilakukan menggunakan panelis dan menganalisis komponen valatil nya. Penilaian sensori yang dilakukan terhadap daging sapi dan kerbau mentah adalah uji mutu hedonik dengan metode skalar yang meliputi penilaian terhadap bau, tekstur dan warna. Rataan hasil uji skalar terhadap daging mentah sapi dan kerbau disajikan pada Tabel 4.9.
59
Bau sangat berperan dalam mempengaruhi pemilihan dan kesukaan konsumen akan makanan, sehingga tidak mengherankan jika baunya kurang enak konsumen tidak akan memilih produk makanan tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara perlakuan pakan dengan jenis ternak terhadap bau. Jenis ternak tidak berpengaruh nyata terhadap bau. Suplementasi CGKK berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap bau. Hal ini kemungkinan diakibatkan pemberian pakan yang disuplementasi CGKK yang berbahan dasar minyak ikan lemuru pada ternak memiliki bau yang kuat, sehingga daging yang dihasilkan memiliki bau khas minyak ikan. Hal ini berbeda dengan pernyataan Bratzler (1971) bahwa bau daging yang dimasak lebih kuat dibandingkan daging mentah. Hal itu dipengaruhi oleh metode pemasakan, jenis daging dan perlakuan daging sebelum dimasak. Selain itu juga daging mentah memiliki flavor yang kurang disukai, karena beraroma sangat lemah dan berasa seperti darah. Komponen volatil yang sangat berpengaruh besarterhadap bau amis yang kuat pada pemberian suplemen CGKK adalah jumlah komponen asam lemak karboksilat yang lebih banyak disbanding tanpa suplementasi. Tabel 4.9 Rataan hasil uji mutu hedonik daging berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak Perlakuan Pakan NCGKK CGKK Jenis Ternak Sapi Kerbau Pengaruh Pakan (P) Jenis Ternak (JT) P x JT SEM
Bau
Peubah Tekstur
Warna
2.83 6.00
4.60 7.16
5.33 4.66
4.25 4.00
3.25 7.57
2.60 8.25
* TN TN 1.27
TN TN TN 1.33
TN * TN 0.37
Keterangan : Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Skala bau : 0,0-3,0 = bau khas ikan lemah, 3,1-6,0 = bau khas ikan agak kuat, 6,1-9,0 = bau khas ikan kuat, 9,112,0 = bau khas ikan sangat kuat. Skala tekstur : 0,0-3,0 = halus, 3,1-6,0 = agak kasar, 6,1-9,0 = kasar, 9,1-12,0 = sangat kasar. Skala warna : 0,0-3,0 = merah terang, 3,1-6,0 = merah agak gelap, 6,1-9,0 = merah gelap, 9,1-12,0 = merah sangat gelap
Tekstur merupakan karakteristik daging segar yang sulit diukur secara objektif. Tekstur otot dapat dibagi menjadi dua kategori, tekstur kasar dengan ikatan-ikatan serabut yang besar, dan tekstur halus dengan ikatan serabut yang kecil (Soeparno, 2011). Sifat ini diukur oleh konsumen secara visual dan diraba. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi perlakuan pakan dengan jenis ternak, perlakuan pakan, dan jenis ternak tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tekstur. Tekstur daging terutama serabut otot dipengaruhi oleh spesies dan bangsa ternak, umur dan pakan (Soeparno 2011).
60
Warna makanan merupakan refleksi cahaya pada permukaan makanan yang ditangkap oleh indera penglihatan dan ditransmisi dalam sistem syaraf. Warna sangat mempengaruhi terhadap daya terima pangan, karena umumnya penerimaan bahan yang pertama kali dilirik adalah warna. Warna yang menarik akan meningkatkan penerimaan produk. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi perlakuan pakan dengan jenis ternak terhadap warna. Suplementasi CGKK tidak berpengaruh nyata terhadap warna. Jenis ternak memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap warna. Warna pada daging kerbau memiliki skor yang tinggi. Skoring warna pada daging kerbau dan sapi masih berada pada kisaran 3.1-6.0 yang berarti bahwa daging berwarna merah gelap. Tetapi pada daging kerbau mendekati kewarna merah yang lebih gelap dibandingkan dengan warna daging sapi. Hal ini diakibatkan kadar mioglobin pada daging kerbau lebih banyak dibandingkan daging sapi, sehingga warna merah pada daging kerbau lebih pekat dibandingkan daging sapi. Hasil ini sejalan dengan pengujian warna menggunakan scoring colour, bahwa daging kerbau berada pada angka scoring 5 dan daging sapi pada skoring 3 artinya warna pada daging kerbau lebih merah sedangkan warna merah pada daging sapi lebih pucat. Daging kerbau yang digemukkan menghasilkan warna daging yang disukai oleh konsumen sesuai dengan Soeparno (2011), bahwa warna daging segar yang diinginkan oleh kebanyakan konsumen adalah merah terang (Soeparno 2011). Komponen Volatil Daging Kerbau dan Sapi Flavor daging berasal dari jaringan yang tidak berlemak dan jaringan yang berlemak. Jaringan yang tidak berlemak bertanggung jawab terhadap flavor daging sedangkan jaringan yang berlemak mengandung senyawa volatile yang memberikan flavor khas dari spesies ternak yang bersangkutan (Shahidi 1998). Analisa komponen volatil daging kerbau dan sapi adalah secara deskriptif. Data komponen volatil daging sapi dan kerbau dapat dilihat pada Gambar 4.11 dan 4.12. Jumlah komponen total yang teridentifikasi dari daging sapi tanpa suplementasi CGKK adalah 42 komponen. Komponen yang terdiidentifikasi dalam jumlah yang banyak terdiri dari amina dengan jumlah 11 jenis yaitu Di(pent-4-enyl)amine, sec-Butylamine, 1,3-Propanediamine, Isobutylamine, 1Heptadecanamine (4), 3,3'-Iminobispropylamine, 1-Dodecanamine, 2Butenamide, N,2,3-trimethyl; alkohol dengan jumlah 5 jenis yaitu 2-Nonen-1-ol (2), 2,3-Butanediol (1), Cyclobutanol (1), 1-Octen-3-ol (1); aldehid dengan jumlah 5 jenis yaitu hexanal, nonanal, 2-undecenal, 2-tridecenal, (E)-, dan 2,4decadienal, (E)- dan 13 komponen lainnya.
Jumlah
61
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
16
11
5
10 6 4
3
5
6 4
4 2
5
2
4 1
2
kerbau
2 0
0
sapi
Komponen Gambar 4.11 Hasil analisa komponen volatil daging kerbau dan sapi tanpa suplementasi CGKK Jumlah komponen total yang teridentifikasi dari daging kerbau tanpa perlakuan CGKK adalah 50 komponen. Komponen yang terdiidentifikasi dalam jumlah yang banyak terdiri dari amina dengan jumlah 5 jenis yaitu 1Hexamine, Ethanamine, N-methyl-, 1-Octadecanamine, N-methyl-,2Butanamine, (S)-, 1,4-Butanediamine, N-(3-aminopropyl)-; alkohol dengan total 6 jenis yaitu 2-Hexanol, 3-methyl-, Ethanol, 2-(vinyloxy)-, 2,3-Butanediol, 1-Octen-3-ol, Cyclobutanol, 2-Nonen-1-o; aldehid dengan total 6 jenis yaitu Benzaldehyde (2), Hexanal, Nonanal, 2,4-Decadienal, (E,E)- (2) ; asam amino dengan total 4 jenis, asam karboksilat dengan total 4 jenis yaitu Butanoic acid, Hexanoic acid, Propanoic acid, 2-hydroxy-, Butanedioic acid, dan 18 komponen lainnya. Daging kerbau tanpa perlakuan CGKK memiliki komponen amida, alkohol, asam amino, keton, aldehid dan asam karboksilat lebih banyak dibandingkan dengan daging sapi. Jumlah komponen volatile total yang teridentifikasi dari daging sapi yang disuplementasi CGKK adalah 42 komponen terdiri dari alkohol dengan total 7 jenis yaitu Ethanol, 2-(vinyloxy)-, 2-Hexanol, 3-methyl-, 2-Octanol, (S)-, 1-Butanol, 3-(1-ethoxyethoxy)-2-methyl, Cyclobutanol, 1-Octen-3-ol, 2Nonen-1-ol; keton yaitu 2-Butanone dan 2-Butanone, 3-hydroxy-; asam amino yaitu dl-Cysteine, Glycine, N-acetyl-, Alanine; asam karboksilat dengan total 3 jenis yaitu Butanoic acid, Propanoic acid, 2-hydroxy-, Oleic Acid, dan 13 komponen lainnya. Jumlah komponen volatile total yang teridentifikasi dari daging kerbau yang disuplementasi CGKK adalah 51 komponen. Terdiri dari alkohol dengan total 8 komponen yaitu 2-Hexanol, 3-methyl-, Ethanol, 2-(vinyloxy)-, 1Pentanol, 4-Methoxy-4-methyl-2-pentanol, Cyclobutanol, 1-Octen-3-ol, Cyclohexanol, 2-(methylaminomethyl)-, trans-, 2-Nonen-1-ol; ester dengan total 6 komponen yang terdiri dari Formic acid, 1-methylpropyl ester,
62
Propanoic acid, 3-methoxy-, methyl ester, Acetic acid, methoxy-, ethyl ester, 3,7-Dimethyl-6-nonen-1-ol acetate, 10-Undecenoic acid, propyl ester, Oxalic acid, allyl dodecyl ester; asam karboksilat dengan total 4 komponen yang terdiri dari Hexanoic acid, Butanedioic acid, Butanoic acid, Propanoic acid, 2hydroxy-, dan 17 komponen lainnya.
14
13
12 Jumlah
10 8 6 4 2
9 8 7
7
6
6
5
5 4 3 2
33
3
2 1
2 11 0
0
2
kerbau sapi
Komponen Gambar 4.12 Hasil analisa komponen volatil daging kerbau dan sapi yang disuplementasi CGKK Hasil analisis komponen volatil menunjukkan bahwa secara keseluruhan jenis maupun jumlah komponen volatil pada daging kerbau lebih banyak daripada daging sapi. Flavor yang paling menentukan bau khas daging sapi hasil penelitian adalah amina, alkohol dan aldehid. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Suryaningsih (2005), bahwa flavor yang paling menentukan khas daging sapi adalah octadecanoic acid dan methyl ester. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh pemberian pakan yang berbeda. Pada daging kerbau selain ketiga komponen amina, alkohol dan aldehid yang menentukan flavor khas daging kerbau adalah amida, keton, asam amino, asam karboksilat, dan ester. Alkohol memiliki nilai ambang bau yang tinggi dan berperan kecil terhadap flavor daging (Mottram, 1991). Selain alkohol, senyawa aldehid juga lebih banyak ditemukan pada daging kerbau tanpa perlakuan CGKK. Senyawa-senyawa aldehid selain berkontribusi terhadap flavor yang diinginkan juga berasal dari produk degradasi stecker serta terbentuk dari degradasi lipid, yang kemudian dapat pula bereaksi dengan prekursor-prekursor yang dihasilkan dari reaksi maillard. Salah satu jalur utama aroma volatil saat memasak daging adalah oksidasi termal diinduksi dari rantai asil dari lipid. Macleod (1998) menyatakan bahwa dekomposisi lemak terdiri dari reaksi oksidasi dan degradasi pada asam lemak tak jenuh dan asam-asam lemak jenuh. Reaksi ini
63
diawali dengan terbentuknya radikal bebas. Terbentuknya radikal bebas mengakibatkan timbulnya peroksida-peroksida yang bila mengalami dekomposisi akan menghasilkan zat-zat kimia yang berkontribusi terhadap flavor daging seperti aldehid, alkohol, keton, lakton, dan furan serta hidrokarbon aromatik. Komponen volatil flavor yang paling menentukan khas bau daging secara keseluruhan dari reaksi oksidasi dan degradasi lemak adalah alkohol, aldehid, hidrokarbon, furan, ester, alkil benzen dan keton. Menurut Patterson (1974), faktor yang mempengaruhi flavor termasuk spesies, jenis kelamin, umur, lemak dan makanannya. Pada kerbau dan sapi yang disuplementasi CGKK baunya minyak ikan lebih tajam karena mengandung komponen volatile asam karboksilat (terutama dari jenis butanoic acid, Hexanoic acid dan propanoic acid, 2-hydroxy-) dan aldehid ((E)Heksa-2-enal, Decatrienal). Beberapa senyawa yang terdeteksi dalam minyak ikam yang menyebabkan bau ikan adalah senywa aldehid, benzene, dan asam karboksilat (Estiasih 2009). Turunan karboksilat yang bercabang metil seperti ester dan amida memiliki nilai ambang bau yang tinggi. Hal ini menyebabkan daging kerbau umumnya memiliki bau yang lebih tajam dibandingkan daging sapi. Bau tersebut menjadi kendala bagi sebagian konsumen dalam memilih daging kerbau.
SIMPULAN Pemberian pakan yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK) terhadap karakteristik karkas dan sifat-sifat daging pada ternak kerbau berpengaruh lebih baik daripada ternak sapi. Walaupun persentase karkas pada kerbau lebih rendah dibandingkan dengan sapi tetapi bobot potongan komersial karkas pada otot striploin kerbau yang disuplementasi meningkat lebih tinggi. Suplementasi CGKK pada ternak kerbau menyebabkan penurunan asam lemak SFA dan peningkatan asam lemak UFA, MUFA dan rasio UFA/SFA. Sedangkan kandungan kolesterol daging kerbau masih dalam batas yang dianjurkan untuk kesehatan. Suplementasi CGKK meningkatkan kandungan asam lemak omega-3 yaitu EPA, DHA dan daging memiliki bau ikan yang lebih kuat. Ternak kerbau yang diberi pakan dengan kualitas yang sama dengan sapi dan dipotong pada umur muda mempunyai daging yang lebih empuk.
SARAN Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penyimpanan daging yang mengandung asam-asam lemak tak jenuh yang tinggi agar tidak mengalami penurunan kualitas daging.
64
5 PEMBAHASAN UMUM Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan telah mencanangkan program percepatan pencapaian swasembada daging sapi (P2SDS) tahun 2014 dan kerbau termasuk di dalam komoditas untuk mendukung swasembada tersebut, tetapi program ini telah tiga kali mengalami revisi. Tidak tercapainya target PSDS pada tahun 2010 disebabkan oleh peningkatan populasi sapi lebih rendah dibandingkan peningkatan jumlah ternak yang dipotong. Pemerintah menetapkan program P2SDS 2010 melalui tujuh langkah operasional yakni 1. Optimalisasi akseptor dan kelahiran melalui IB dan kawin alam. 2. Pengembangan RPH dan pengendalian pemotongan betina produktif 3. Perbaikan mutu dan penyediaan bibit 4. Penanganan gangguan reproduksi dan kesehatan hewan 5. Intensifikasi kawin alam 6. Pengembangan pakan lokal 7. Pengembangan SDM dan kelembagaan. Populasi sapi potong pada tahun 1991 sampai 2009 meningkat 15.36% (0.85% per tahun) yaitu dari 10.67 juta ekor menjadi 12.60 juta ekor termasuk didalamnya populasi kerbau sebanyak 2.3 juta ekor (Ditjennak 2005 dan BPS 2010); namun peningkatan jumlah ternak yang dipotong pada periode tersebut lebih tinggi yaitu mencapai 37.51% (2.08% per tahun), dari 1.28 juta ekor menjadi 2.04 juta ekor. Kontribusi daging kerbau dari jumlah populasi sebanyak 2.3 juta ekor menghasilkan daging sebesar 46 ribu ton atau 2.12% terhadap kebutuhan daging nasional (Ditjennak 2008). Keadaan tersebut memberi gambaran bahwa, permintaan daging belum dapat diimbangi oleh pertumbuhan suplai dan produksi daging dalam negeri. Kondisi ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi petani untuk mengembangkan usahatani ternak. Ada dua cara untuk mengembangkan usahatani ternak, pertama adalah dengan meningkatkan populasi ternak per unit lahan dan yang kedua adalah dengan meningkatkan pertambahan bobot badan per unit ternak (Wiryawan 1994). Untuk meningkatkan pertambahan bobot badan per unit ternak dapat dilakukan dengan penggemukan. Penggemukan pada ternak selain meningkatkan pertambahan bobot badan, juga dapat meningkatkan kualitas karkas dan daging (Priyanto dan Johnson 2011). Tetapi harus diperhatikan pula manipulasi terhadap priode waktu penggemukan yang juga berpengaruh terhadap biaya. Salah satu cara untuk mendapatkan laju pertumbuhan yang tinggi dan feed cost/gain yang efisien adalah dengan menerapkan phenomena pertumbuhan kompensasi (compensatory growth) pada ternak bakalan yang digemukkan. Dari hasil penelitian penggemukan pada ternak kerbau dan sapi jantan umur 1.5-2 tahun (umur I1) dengan pemberian pakan konsentrat tinggi (67%) menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi pada ternak kerbau yaitu 1.16 kg/ekor/hari dibandingkan dengan sapi yaitu 0.95 kg/ekor/hari. Sedangkan jika ternak kerbau dipelihara secara tradisional menghasilkan pertambahan bobot badan 0.37 kg/ekor/hari pada kerbau jantan dan 0.30 kg/ekor/hari pada betina (Zulbardi et al. 1982, 1998). Penggemukan yang dilakukan pada ternak kerbau jantan dibandingkan dengan pemeliharaan secara tradisional dapat meningkatkan laju pertumbuhan sebesar 0.79 kg (68.10%) dari
65
0.37 kg/ekor/hari menjadi 1.16 kg/ekor/hari. Apabila diasumsikan bahwa pemotongan ternak kerbau berasal dari 50% kerbau betina dan 50% berasal dari kerbau jantan maka diperoleh peningkatan produksi daging asal ternak kerbau jantan yang digemukkan adalah 15 663 ton (68.10% x 46 000 x 50%). Total produksi daging yang dihasilkan adalah 61 663 ton (46 000 ton + 15 663 ton) daging. Terjadi peningkatan sumbangan daging yang berasal dari ternak kerbau sebesar 25.40% atau terjadi peningkatan dari 2.12% menjadi 2.66%. Bobot badan awal ternak kerbau dan sapi sebelum digemukkan adalah 218.66 kg pada kerbau dan 217.37 kg pada sapi, kemudian digemukkan selama 75 hari menghasilkan bobot potong sebesar 315.50 kg pada kerbau dan 289.87 pada sapi. Walaupun persentase karkas yang didapat dari hasil penelitian pada ternak kerbau lebih rendah yaitu 46.49% dibandingkan dengan sapi yaitu 52.09%. Apabila ternak kerbau tidak digemukkan maka berat karkas yang dihasilkan adalah 101.66 kg (46.49% x 218.66 kg) pada kerbau dan 113.23 kg (52.09% x 217.37 kg) pada sapi, sedangkan jika ternak digemukkan dengan pakan konsentrat tinggi selama 76 hari akan menghasilkan peningkatan terhadap produksi karkas yaitu 146.58 kg (46.49% x 315.50 kg) pada kerbau dan 151.13 kg (52.09% x 289.87 kg) pada sapi. Peningkatan produksi karkas pada ternak kerbau yang digemukkan adalah sebesar 30.82% (146.58 kg – 101.66 kg/146 kg) x 100% dan pada sapi sebesar 25.06% (151.13 kg – 113.25 kg) x 100%. Pemotongan pada ternak pada tahun 2009 adalah 2.04 juta ekor (Dirjennak 2010). Jika diasumsikan pemotongan pada ternak kerbau 1/10 dari ternak sapi maka pemotongan ternak dapat dihindari sebesar 62 526 ekor (0.1 x 2.04 juta ekor x 30.65%) dari kerbau dan 460 102 ekor (0.9 x 2.04 juta ekor x 25.06%) dari sapi jadi total keseluruhan adalah 522 628 ekor atau sekitar 25.62%. Basuki (1999), menyatakan bahwa, dalam konstelasi pembangunan nasional, usaha penggemukan mempunyai peranan strategis yaitu: pada pemotongan ternak lokal, terutama pada betina produktif dapat dicegah, sehingga populasi ternak potong di Indonesia diharapkan dapat stabil bahkan dapat meningkat. Jumlah tenaga kerja yang dapat diserap dalam kegiatan agribisnis penggemukan dari hulu sampai hilir cukup besar, sehingga usaha penggemukan memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Penggemukan pada ternak selain meningkatkan pertambahan bobot badan, juga meningkatkan kualitas daging. Ternak kerbau yang digemukkan dan dipotong pada umur I1 menghasilkan daging yang lebih empuk dan mempunyai susut masak yang lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi. Jika dikembangkan akan memberikan dampak yang baik bagi industri daging di tanah air, terutama restoran dan hotel-hotel dan juga berdampak positif terhadap pengembangkan ternak kerbau di Indonesia. Penggemukan ternak kerbau dengan pemberian pakan yang mengandung asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk CGKK menghasilkan daging yang mengandung zat bioaktif sebagai sumber pangan fungsional yang berpengaruh positif terhadap kesehatan.
66
Aspek Ekonomi Ransum Menguntungkan atau tidaknya suatu usaha peternakan terutama penggemukan dapat dilihat dengan menghitung aspek ekonominya. Analisis ekonomi pada ternak hidup berdasarkan harga beli bakalan, harga jual ternak dan biaya pakan selama pemeliharaan, sedangkan jika dipotong berdasarkan harga jual karkas dan harga dari potongan komersial karkas (Adkinson et al. 1993). Pada Tabel 5.1 dapat dilihat besarnya pendapatan usaha ternak yang diperoleh berdasarkan penjualan ternak hidup antara ternak kerbau dan sapi yang diberi pakan suplemen dan tanpa pemberian pakan suplemen. Asumsi biaya pemeliharaan dan harga pembelian dan penjualan didasarkan harga yang terjadi pada tahun 2011. Dari hasil analisis ekonomi terlihat bahwa pendapatan ternak kerbau yang digemukkan lebih tinggi dari ternak sapi dan ternak kerbau yang disuplementasi CGKK lebih tinggi dari ternak sapi yang diberi pakan dengan suplementasi CGKK. Hal ini berhubungan erat dengan pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan oleh ternak kerbau yang lebih tinggi dari sapi. Walaupun konsumsi pakan kerbau lebih tinggi dari sapi tetapi kemampuan ternak kerbau merubah pakan menjadi daging juga lebih tinggi sehingga diperoleh keuntungan yang optimal. Pemberian suplementasi CGKK memberikan nilai ekonomis yang lebih baik bagi pakan penggemukani. Tabel 5.1 Analisis ekonomi pendapatan usaha pemeliharaan ternak kerbau dan sapi yang diberi pakan dengan suplementasi CGKK dan tanpa suplementasi CGKK berdasarkan pertambahan bobot badan Parameter Non CGKK Biaya (Rp/hari) : Hijauan Konsentrat komersial Kulit ari kedelai CGKK Biaya total (Rp/hari) PBB (kg/ekor/hari) Harga jual (/kg bobot hidup) Penerimaan (Rp/hari) Pendapatan (ekor/hari) Pendapatan selama penggemukan (76 hr)
Sapi CGKK
2 781 4 184 3 138 0 10 104 0.93 26 000 24 204 14 100 1 071 613
2 854 4 019 3 014 2 700 12 587 0.98 26 000 25 410 12 814 973 897
Keterangan: CGKK = Campuran garam karboksilat kering
Non CGKK
Kerbau CGKK
3 217 5 035 3 777 0 12 029 1.10 24 000 26 316 14 286 1 085 767
3 235 4 887 3 666 2 700 14 488 1.22 24 000 29 368 14 881 1 130 944
67
KESIMPULAN Penggemukkan pada ternak kerbau dapat dilakukan untuk meningkatkan performa pertumbuhan dengan menghasilkan pertambahan bobot badan yang relatif lebih tinggi dari ternak sapi. Dilihat dari pertambahan bobot badan yang dihasilkan terjadi peningkatan kontribusi daging kerbau terhadap kebutuhan daging nasional, selain itu juga dapat mengurangi jumlah pemotongan ternak untuk menjaga kelangsungan populasi ternak terutama pada betina produktif. Penggemukan pada ternak kerbau yang disuplementasi dengan pakan yang mengandung asam-asam lemak terproteksi yang berasal dari minyak ikan lemuru dalam bentuk CGKK tidak mengganggu proses fermentasi rumen dan menghasilkan peningkatan terhadap karakteristik daging dan pendapatan. Kerbau yang diberi pakan dengan suplementasi asam lemak terproteksi menghasilkan daging yang lebih empuk dan mengandung asam-asam lemak jenuh (Saturated fatty acid’s/SFA) yang rendah, dan kandungan asam-asam lemak tak jenuh (Saturated fatty acid’s/ UFA) yang tinggi serta peningkatan rasio UFA/SFA sehingga dapat digunakan sebagai sumber pangan fungsional.
SARAN Pemerintah harus mengawasi secara ketat proses pemotongan ternak kerbau dan sapi di Rumah Potong Hewan sehingga ternak yang dipotong sudah terlebih dahulu digemukkan untuk mengurangi jumlah pemotongan ternak dan menghindari pemotongan pada ternak betina produktif. Persentase karkas kerbau dapat ditingkatkan dengan cara melakukan dehorning atau pemotongan tanduk pada ternak dan memberi pakan yang berkualitas baik mulai dari anak sampai dewasa.
68
6 DAFTAR PUSTAKA Aberle ED, Forrest JC, Gerrand DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science. Fourth Ed. Amerika. Kendal/Hunt Publishing Company. Adegoke GO, Falade KO. 2005. Quality of meat. J. Food Agric. Environ. 3:8790. Agarwal N, Kamra DN, Chatterjee PN, Kumar R, Chaudhary IC. 2009. In vitro methanogenesis, microbial profile and fermentation of green forages with buffalo rumen liquor as influenced by 2-bromoethanesulphonic acid. Asian-aust. J Anim. Sci. 21:818-823. Alltech. 2012. Asidosis. [Terhubung berkala].www.alltech.com/animal_nutrition/beef cattle/challenges/beef cattle acidosis. Diunduh 05/02/2012. Anjaneyulu ASR, Senger SS, lakshmanan V, Joshi DC. 1985. Meat quality of male buffalo calves maintained on different levels of protein. Buffalo Bull, 4: 45-50. Anjaneyulu ASR, Lakshmanan V, Sharma N, Kondaiah N. 1990. Buffalo meat production and meat quality. Ind. Food Packer, 44: 21-31. Anjaneyulu ASR, Thomas R, Kondaiah N. 2007. Buffalo meat production and meat quality. J. Food. Technol, 2: 104-114. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analitycal Chemist International. 18th ed. Assoc. Off. Anal. Chem. Arlington. APEDA. 2005. Export statistics for agro and food products India 2004-2005. Processed Food Products Export Development Authority, New Delhi. Appropedia. 1981. The water buffalo new prospects for an under utilized animal 5. BOSTID IIIp. Aus-meat. 1994. Aus-Meat for Indonesia Workshop. Work Book No.1. Australian Meat and Livestock Corporation. Perth Western Australia. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia Agustus 2011, Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Rilis Hasil Akhir Pendataan Sapi Potong,Sapi Perah, dan Kerbau 2011. Kementrian pertanian, Jakarta. Baer RJ. 2001. Composition and properties of milk and butter from cows fed fish oil. J. Dairy Sci. 84:345-353. Bahri S, Talib C. 2008. Strategi pengembangan perbibitan ternak kerbau. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Jambi 22-23 Juni 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal 1-11. Bailey ME. 1998. Maillard reaction and meat flavor development. Di dalam Shahidi F. Editor. Flavor of Meat, Meat Products and Seafoods. London: Blackie Academic & Professional. Hlm 267-289. Bamualim A, Zulbardi M, Talib C. 2009. Peran dan Ketersediaan Teknologi Pengembangan Kerbau di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Tana Toraja 24-26 Oktober 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal 1-10.
69
Bartocci S, Amici A, Verna M, Terramoccia S, and Martillotti F. 1997. Solid and fluid passage rate in buffalo, cattle and sheep fed diets with different forage to concentrate ration. Livest. Prod. Sci.52: 201-208. Basuki P. 1999. Optimalisasa penggemukan ternak di feedlot dengan memanfaatkan pertumbuhan kompensasi (compensatory growth) pada ternak sapi [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Bauman DE, Perfield JW, de Veth MJ, Lock AL. 2003. New perspectives on livid digestion and metabolism in ruminants. Proc Cornell Nutr Conf pp. 175-189. [Terhubung berkala] http://www,ansci.cornell.edu/bauman/conference cnc bauman et al.pdf. Diunduh 13/11/2006.
proceedings/articles/2003
Beaur J. 1993. The potential for dietary polyunsaturated fatty acid in domestic animals. Aus Vet J 71:342-345. Berg RT, Butterfield RM. 1976. New Concepts of Cattle Growth. Sydney University Press Sydney. Bernardes O. 2007. Buffalo breeding in Brazil. Ital. J. Anim. Sci. 2:162-167. Black JL, Kenney PA. 1984. Factors affecting diet selection by sheep. II. Height and densityof pasture. Austral. J. Agric. Res. 35:565. Boadi D, Benchaar C, Chiquette J, Masse D. 2004. Mitigation strategies to reduce enteric methane emissions from dairy cows: update review. Can. J. Anim. Sci. 84: 319-335. http://dx.doi.org/10.4141/A03-109. Boran G, Karacam H, Boran M. 2006. Change in the quality of fish oils due to storage temperature and time. J Food Chemistry. 98: 693-698. Bowker WAT, Dumday RG, Frisch JE, Swan RA, Tulloh NM. 1978. A Course Manual Beef Cattle Management and Economic. A.A.U.C.S. Canberra, Australia. Bratzler LJ. 1971. Palatability Factors and Evaluation. Dalam : J. F. Price dan B. S. Schweigert (Ed.). The Science of Meat and Meat Product. 2nd Edition. W.H. Freeeman and Company, San Francisco. Byers FM, Cross HR, Schelling GT. 1988. Integrated nutrition, genetics and growth management programs for lean beef production Pada: Designing Food. Animal Product Option in The Market Place. National Research Council. National Academy Press, Washington, D.C. Hal:283291. Byers FM, Schelling GT, Cross HR, Greene LW. 1986. Growth regulation in steers with respect to mature size and carcass endpoints. J. Anim. Sci. 63(Suppl.1):144 Campbell MK, Farrell SO. 2009. Biochemistry. Ed ke-6. Singapore: Thomson Asia Pte Ltd. Chasnidel Y, Pirsaraei, MY Elahi, AT Yansari, D Khademi. 2004. Effect of three levels of dietary fiber on feedlot and crcass characteristics of iranian male buffalo calves. Prc. 7th World Buffalo Congress. Philippines, 20-23 October 2004. International Buffalo Production Federation (Rome). FAO. Philippines Soc. Anim. Sci. JICA, ILRI.2: 449-452. Connor WE. 1996. The decisive of diet on the progression and reversibility of coronary heart disease. Am. J Clin. Nutr. 64:253-254.
70
Cruz LC. 2010. Transforming Swamp Buffaloes to Producers of Milk and Meat Through Crossbreeding and Backcrossing. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau. Brebes, 11-13 November 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal 11-12. Cunnane SC, Griffin BA. 2002. Nutrition and metabolism of lipid. Di dalam: Gibney MJ, Vorster HH, Kok FJ, editor. Introduction to Human Nutrition. Oxford: Blackwell Sci. Ltd. pp. 81-115. [Dirjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2008. Statistik Peternakan 2008. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian RI. Diwyanto K, Handiwirawan E. 2006. Strategi Pengembangan Ternak Kerbau: Aspek Penjaringan dan Distribusi. Prosiding lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Dwiponggo A. 1982. Beberapa Aspek Biologi Ikan Lemuru, Sardinella longiceps. Spp. Di dalam: Prosiding Seminar Perikanan Lemuru. Banyuwangi, 18-21 Januari 1982. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm.205-216. Echarte M, Zulet MA, Astiasaran I. 2001. Oxidation process affecting fatty acids and cholesterol in fried and roasted salmon. J. Agric and food chemistry. 49:5662-5667. Enser M, Hallett KG, Hewett B, Pursey GA, Wood JD. 1996. Fatty acid content and composition of English beef, lamb and pork at retail. Meat Sci. 42: 443-456. Estiasih T. 2009. Minyak Ikan: Teknologi dan Penerapannya untuk Pangan dan Kesehatan. Graha Ilmu, Yogyakarta. FAOSTAT. 2006. Food and Agriculture Organization of The United Nation. http://faostat.fao.org. [GLP] General Laboratory Procedures. 1966. Department of Dairy Science. University of Wisconsin. Madison. Grant RJ, Van Soest PJ, McDowell RE, Perez CB. 1974. Intake, digestibility and metabolic loss of Napier grass by cattle and buffaloes when fed wilted, chopped and whole. Journal of Animal Science. 39:423-434. Gigli S, Ferrara L, Failla S, Napolitano F, Di Luccia A, Manniti F, Martoccia L, Zehender G, Mormile M. 1993. Caratteristiche qualitative della carcassa e della came di vitelloni podolici, bufalini, frisoni e romanognoli alimentati con due diversi livelli nutritivi. Agric. Ric. 144. 29-50. Grun IU, Ahn J, Clarke AD, Lorenzen L. 2006. Reducing oxidation of meat. Food. Tech. 1:36-43. Harris LE. 1970. Nutrition Research Techniques for Domestic and Wild Animals. Vol. 1 Logan, Utah. United States of America. Hlm 53015303. Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman A, Kearl LC, Harris LE. 1980. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station, Utah.
71
Haryanto B, Thalib A. 2009. Emisi metana dari fermentasi enteric: kontribusinya secara nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada ternak. Wartazoa. Vol. 19. 4: 157-165 Health HB. 1978. Flavor Technology: Profile, Products, Applications. AVI Publishing., Co. Inc. Connecticut. Hino T, Kawanishi S, Yasui H, Oka S, Sakurai H. 1998. HTHQ (1-O-hexyl2,3,5-trimethylhydroquinone), an anti-lipid peroxidative compound: its chemical and biochemical characterization. Biochemical and Biophysical Acta. 1425:47-60. HMSO (England). 1994. Department of Health . Nutritional aspects of cardiovascular disease: HMSO. Pp.37-46 Hu FB. 2001. The balance between ω-6 and ω-3 fatty acids and the risk of coronary heart disease. J. Nutr. 17:741-742. Hustiany R. 2001. Identifikasi dan Karakterisasi Komponen Off-Odor pada Daging Itik. [Tesis]. Bogor, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hwang LS, Liang JH. 2001. Fractionation of urea-pretreated squid visceral oil ethyl esters. JAOCS 78:473-476. Imao K, Wang H, Komatsu M, Hiramatsu M. 1998. Free radical scavenging activity of fermented papaya preparation and its effect on lipid peroxide level and superoxides desmutase activity in iron-induced epileptic foci of rats. Biochemistry and Moleculer Biology International. 45:11-23. Iruruete M, Cadoppi A, Langman L, Grigioni G, Carduza F. 2008. Effect of aging on the characteristics of meat from water buffalo grown in the Delta del Prana region of Argentina. Meat Science. 79: 529-533. IUPAC [International Union of Pure and Applied Chemistry]. 1988. Standart Methods for the Analisys of Oils, Fats and Derivatives. Blackweil Scientific, Oxford. Jones DF, Weiss WP, Palmquist DL. 2005. Dietary fish oil for dairy cows: 1. Effect on milk fatty acid production and composition. Research and Reviews: Dairy special circular 163-99. [Terhubung berkala] http://ohioline.osu.edu/sc163/sc163-16.hmtl. Diunduh 13/06/2005. Joseph G. 2007. Suplementasi Sabun Kalsium Dalam Pakan Ternak Sebagai Sumber Energi Alternatif Untuk Meningkatkan Produksi Daling Yang Berkualitas [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Juarez M et al. 2008. Estimation of factors influencing fatty acid profiles in light lambs. Meat. Sci. 79:203-210. Kamra DN. 2005. Rumen microbial ecosystem. J. Current science. 89(1):124135. Kardaya D, Sudrajat D, Dihansih E. 2012. Efficacy of dietary urea-impregnated zeolite in improving rumen fermentation characteristics of local lamb. Med. Pet. 35: 207-213. Katiyar RC, Bisth GS. 1988. Nutrient utilization in Murrah buffalo and Hariana cattle: a comparative study with oat-hay-based rations. Proceedings of the Second World Buffalo Congress, Vol. 2, pp.189-193. New Delhi, India.
72
Kearl LC. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station, Utah. Kennedy PM, Boniface AN, Liang ZJ, Muller D, Murray RM. 1992. Intake and digestion in swamp buffaloes and cattle. 2. The comparative response to urea supplements in animals fed tropical grasses. Journal of Agricultural Science (Cambridge). 119:243-254. King SS, AbuGhazaleh AA, Webel SK, Jones KL. 2008. Circulating fatty acid profiles in response to three levels of dietary omega-3 fatty acid supplementation in horses. J. Anim Sci. 86:1114-1123. Kuswandi. 2007. Peluang pengembangan ternak kerbau berbasis pakan limbah pertanian. Wartazoa. 17(3):137-146. Lapitan RM, Del Barrio AN, Katsube O, Ban-Tokuda T, Orden EA, Robles AY, Cruz LC, Kanai Y, Fujihara T. 2008. Comparison of fattening performance in Brahman grade cattle (Bos indicus) and crossbred water buffalo (Bubalus bubalis) fed on highroughage diet. J Anim Sci. 79:7682. Lawrie RA. 1991. Meat Science. Pergamon Press Oxford, New York, Seoul, Tokyo. Leekagul B, McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Sukaharnbat C, Bangkok. Macleod G. 1998. The flavor of beef. Di dalam: Shahidi F, editor. Flavor of Meat and Meat Products. edisi ke-2. London-Weinheim-New YorkTokyo-Melbourne-Madras: Blackie Academic and Professional. Hlm: 27-55. Manyamu GJ, Sibada S, Chakoma IC, Mutisi C, Ndiweni P. 2003. The intake and palatability of four different types of napier grass (Pennisetum purpurium) silage fed to sheep. J. Anim. Sci. 16:823-829. Marai IFM, Haeeb AAM. 2010. Buffalo’s biological function as affected by heat stress-A review. Livestock Science. 127:89-109. Marquez-Ruiz G, Garcia-Martines MC, Holgado F. 2008. Change and effects of dietary oxidized lipids in the gastrointestinal tract. Lipids insights 2: 11-19. Matassino D, Girolami A, Romunno L, Gambacorta E. 1984. Studio comparativo fra bufali e bovini alimentati con fieno e mangime concebtrato composite:XVII. Variazino nelle caratteristiche mioreologiche dagli 8.5 ai 15 mesi di eta. Prod. Anim. 3: 111-123. McDonald P, Edward RA, Greenhagh JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. Ed ke-6. Gosport: Ashford Colour Pr. Mirwandhono RE. 2003. Berbagai Usaha Memintas Rumenkan Asam Lemak Tak Jenuh [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Miskiyah, Usmiati S. 2006. Potongan komersial karkas kerbau: Studi kasus di PT. Kariyana Gita Utama-Sukabumi. Prosiding. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal:336-242.
73
Mohana CO, Ravishankara CN, Lalitha KV, Srinivasa Gopal TK. 2012. Effect of chitosan edible coating on the quality of double filleted Indian oil sardine (Sardinella longiceps) during chilled storage. J. Food Hydrocolloids. 26: 167-174. Moreira FB, Souza NE, Matsushita M, Prado IN, Nascimento WG. 2003. Evaluation of carcass characteristics and meat chemical composition of Bos indicus x Bos Taurus crossbreed steers finished in pasture systems. Braz. Arch. Biol. Tech, 46:609-616. Mottram DS. 1998. The Chemistry of Meat Flavour. Di dalam: Shahidi F, editor Flavor of Meat and Meat Products. edisi ke-2. LondonWeinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras: Blackie Academic and Professional. Hlm: 9-10. Muika B, Lendl B, Molina-D’iaz A, Ayora-Ca’nada MJ. 2005. Direct monitoring of lipid oxidation in edible oils by fourier transform Raman spectroscopy. Chem. Phys. Lipids 134:173-182. Murphey DK, Hallet, Tayler WE, Pierce JC. 1960. Estimating yields of retail cuts from beef carcasess. J. Anim. Sci., 19:1241. Nesimi A, Aksu MU, Kaya MK. 2003. The influence of marination with different salt concentrations on the tenderness, water holding capacity and bound water content of beef. J. Vet. Anim. Sci. 27:1207-1211. Newton IS. 1996. Food enrichment with long-chain n-3 PUFA. INFORM 7:169-171. NHMRC. 2006. Nutrient Reference Values For Australia and New Zealand Including Recommended Dietary Intakes. National Health and Medical Research Council. Commonwealth Department of Health and Ageing, Canberra. Ogimoto K, Imai S. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Science. Societes Press, Tokyo. Ogujanovic A. 1974. Meat and Meat Production. In: W. R. Cockrill (Ed). The Husbandry and Health of the Domestic Buffalo. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Roma. Orskov ER. 2007. Some physical, physiological and biochemical adaptations of ruminant livestock including buffaloes to different feeds and climates. Ital. J. Anim. Sci. 6:223-226. Orskov ER, Ryle M. 1990. Energy Nutrition in Ruminant. Elseiver Appl. Sci. London, pp. 24. Oshima T. 2002. Formation and content of cholesterol oxidation productsin seafood and seafood products. In Guardiola F, Dutta P, codony R, and Savage GP (Eds). Cholesterol and phytosterol oxidation products in foods and biological samples: analysis, occurrence and biological effects (pp. 187-203). New York: AOAC Press. Padre RG, Aricetti JA, Gomes STM, Goes RHTB, Moreira FB, Prado IN, Visentainer JV, Souva NE, Matsatfushita. 2007. Analysis of fatty acids in longissimus muscle of steers of different genetic breeds finished in pasture system. Livest. Sci. 110:57-63. Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
74
Pirmohammadi R, Yansari AT, Hamidi BA, Manafiazar GH. 2007. Effect of different fibrous and non-fiber carbohydrate levels on nutrients digestibility of total mixed ration using in vivo in buffalo. Ital J Anim Sci. 6:476-479. Petterson RLS. 1974. The Flavor of Meat. Di dalam Meat Procceding of twenty first easter in Agriculture Science. University of Nottingham, Butterworths, London. Pilliang WG, Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume 1. Bogor. IPB Press. Prado IN, Aricetti JA, Rotta PP, Prado RM, Perotto D, Visentainer JV, Matsushita M. 2008. Carcass characteristics, chemical composition and fatty acid profile of the longissimus dorsi muscle of bulls (Bos Taurus indicus vs. Bos Taurus Taurus) finished in pasture systems. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 10: 1449-1457. Preston TR, Leng RA. 1987. Matching ruminant production system with available resources in the tropics and sub-tropics. Armidale: Penambul Books. Priyanto R, Johnson ER. 2011. Muscle growth and distribution in fattening steer of different breeds. Jurnal Media peternakan. 34: 19-22. Puastuti W, Mathius IW. 2012. Ruminal fermentation response and nitrogen retentation from sheep fed rumen undegradable protein. JITV. 17: 62-72. Qureshi MS, Habib G, Samad HA, Siddiqui MM, Ahmad N, Syed M. 2002. Reproduction-nutrition relationship in dairy buffaloes: effect of intake of protein, energy and blood metabolites levels. Asian-Aust. J. Anim Sci. 15:330-339. Rahmadi D. 2003. Pemberian Bungkil Inti Sawit dan Konsentrat Yang Dilindungi Formaldehida Untuk Meningkatkan Kandungan Asam Lemak Poli Tak Jenuh Daging Domba [Disertasi]. Bogor, Institut Pertanian Bogor. Riis PM. 1983. Dynamic Biochemistry Of Animal Production. Department of Animal Physiology, The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhagen, Denmark. Elsevier. Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo Rosyidi D, Gurnadi E, Priyanto R, Suryahadi. (2010). Kualitas daging kancil. Media Peternakan. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan. Vol. 33. 2: 95-102. Rukmiasih, Hardjosworo PS, Piliang WG, Hermanianto J, Apriantono A. 2010. Penampilan, kualitas kimia, dan off-odor daging itik (Anas plathyrynchos) yang diberi pakan mengandung beluntas (Pluchea indica L. Less). Media Peternakan. 33: 68-75. Rule DC, Boughton KS, Shellito SM, Maiorano. 2002. Comparison of muscle fatty acid profiles and cholesterol concentrations of bison, beef cattle, elk and chicken. J. Anim. Sci. 80:1202-1211. Rusmana D. 2008. Minyak Ikan Lemuru Sebagai Imunomodulator dan Penambahan Vitamin E Untuk Meningkatkan Kekebalan Tubuh Ayam Broiler.[Disertasi]. Bogor, Institut Pertanian Bogor. Rusmana D, Piliang WG, Setiyono A, Budijanto S. 2008. Minyak ikan lemuru dan suplementasi vitamin E dalam ransum ayam broiler sebagai imunomodulator. J. Animal Production. hlm. 110-116.
75
Saldanha T, Benassi MT, Bragagnolo N. 2008. Fatty contents evolution and cholesterol oxides formation in Brazilian sardines (Sardinella brasiliensis) as a result of frozen storage followed by grilling. Food Science and Technology. 41: 1301-1309. Salvatori G, Pantaleo C, Di Cesare C, Maiorano G, Filetti F, Oriani G. 2003. Fatty acid composition and cholesterol content of muscles as related to genotype and vitamin E treatment in crossbreed lambs. Meat. Sci. 67:4555. Sarwar M, Khan MA, Iqbal Z. 2002. Feed resources for livestock in Pakistan: Status Paper. Intl. J. Agric. Biol. 4:186-192. Sarwar M, Khan MA, Nisa M. 2005. Chemical composition and feeding value of urea treated corncobs ensiled with additives for sheep. Aust J Agric. Res. 65:685-690. Sarwar et al. 2009. Nutritional management for buffalo production. Asian-Aust. J. Anim.Sci. 22(7): 1060-1068 Sas User’r. 1985. Guige: Statistics. Ed. Joyner SP. Sas Institute Inc. Schroepfer GJ. 2000. Oxysterols: Modulators of cholesterol metabolism and other processes. Physiological Review. 80: 361-554. Scollan N, Hocquette J, Nuernberg K, Dannenberger D, Richardson I, Moloney A. 2006. Innovations in beef production systems that enhance the nutritional and health value of beef lipids and their relationship with meat quality. A review. Meat Sci. 74: 17-33. Scott TW, Ashes JR. 1993. Dietary lipids for ruminants: Protection utilization and effects on remodeling of skeletal muscle phospholipids. Aust. J. Agric. Res. 44: 495-508. Seman DL, McKenzie-Parnell. 1989. The Nutritive Value of Meat as a Food. Editor:Purchas RW, Butler-Hogg BW and Davies HS. Meat Production and Processing. New Zealand Society of Animal Production (Inc): 19. Shahidi F. 1998. Flavor of Meat, Meat Product and Seafood. Blackie Academic & Professional, London-New York-Tokyo-Madras. Shanks BC, Wuff DM, Maddock RJ. 2002. Technical note: the effect of freezing on warner bratzler shear force value of longissimus steaks across several postmortem aging periods. J. Anim. Sci. 80:2122-2125. Simopoulos AP. 2002. Omega-3 fatty acids in wild plant, nut and seeds. Asia Pac J. Clin. Nutr. 11:163-173. Singh, Mehra UB, Usha R. 1990. Utilization of ammoniated wheat straw given in feed blocks and supplemented with varying quantities of fish meal and oil extracted rice bran. Anim. Feed Sci. Technol. 29:129-134. Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Spanghero M, Luisa G, Valusso R, Piasentier E. 2004. In vivo performance, slaughtering traits and meat quality of bovine (Italian Simmental and Buffalo Italian Mediterranean bulls). Livest Product Sci. 91:129-141 Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik.Sumantri B, Penerjemah. Jakarta: Gramedia. Terjemahan dari: Principle and Procedures of Statistics.
76
Suhubdy. 2007. Strategi penyediaan pakan untuk pengembangan usaha ternak kerbau. Wartazoa 17(1):1-11. Supadmi dan Sipahutar YH. 2012. Pengantar Praktek Kimia Organik. STP Press, Jakarta. Suryaningsih E. 2005. Pengaruh Jenis Daging, Penambahan Anti Denaturan, dan Natrium Tripolifosfat Pada Nikumi Terhadap Karakteristik Daging Olahan. [Disertasi]. IPB, Bogor. Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall. Inc. Englewood Cliffs. New Jersey. Tasse AM. 2010. Tampilan Asam Lemak Dalam Susu Sapi Hasil Pemberian Ransum Mengandung Campuran Garam Karboksilat atau Metil Ester Kering. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Terramoccia S, Bartocci S, Amici A, Martilotti F. 2000. Protein and proteinfree dry matter rumen degradability in buffalo, cattle and sheep fed diets with different forage to concentrate rations. Livest Prod Sci. 65:185-195. Thalib A, Widiawati Y, Haryanto B. 2010. Penggunaan complete rumen modifier (CRM) pada ternak domba yang diberi hijauan pakan berserat tinggi. JITV. 2:97-104. Tiley JMA, Terry RA. 1966. A two stage technique for the in vitro digestion of forage crop. Journal of British Grassland 18 : 104 – 111. Tyrell MH. 1990. Evaluation of natural flavor development with the assistance of modern technologies. J Food Technol. 44: 68. Vieseth E, Shackelford SD, Wheeler TL, Koohmaraie M. 2001. Effect of postmortem storage on µ-calpain and m-calpain in ovine skeletal muscle. J Anim. Sci. 79:1502-1508. Wajizah S. 2012. Ketahanan Amida Dalam Sistim Rumen dan Efektivitasnya Memodifikasi Komposisi Asam Lemak Pada Tikus Sebagai Hewan Model Pascarumen. [Disertasi]. Pascasarjana IPB, Bogor. Wanapat M, Ngarmasang A, Kokhuntot S, Wachiparakom C, Rowlinson P. 2000. A comparative study on the ruminal microbial population of cattle and swamp buffalo raised under traditional village condition in the northeast of Thailand. Asian-Australian Journal of Animal Sciences. 13: 918-921. Wanapat M. 2001. Swamp Buffalo Rumen Ecology and Its Manipulation. Proceeding Buffalo. Workshop Desember 2001. Juni 2008. Wanapat M, Rowlinson P. 2007. Nutrition and feeding of swamp buffalo: feed resources and rumen approach. Ital, J Anim Sci 6: 67-73. Wasserman AE. 1979. Symposium of meat flavor, chemical Basis for Meat Flavor: A Review. J Food Sci, 446. Winarno FG. 2002. Flavor Bagi Industri Pangan. M-Bio Press, Bogor. Wiryawan IKG. 1994. Microbial Control of Lactic Acidosis in Grain-fed Sheep [Disertasi}. Department of Animal Science Faculty of Agricultural and Natural Resource Sciences. The University of Adelaide, South Australia.
Wood JD, Richardson RI, Nute GR, Fisher AV, Campo MM, Kasapidou E, Sheard PR, Enser M. 2003. Effects of fatty acids on meat quality: a review. Meat Sci. 66:21-32.
77
Wora-anu S, Wanapat M, Wachirapakhorn C, Nontaso N. 2000. Effect of roughage to concentrate ratio on ruminal ecology and voluntary feed intake in cattle and swamp buffaloes fed on urea-treated rice straw. Asian-Aust J Anim Sci 13 (Suppl). Wynn PC, Warriach HM, Morgan A, McGill DM, Hanif M, Sarwar M, Iqbal A, Sheehy PA, Bush RD. 2009. Perinatal nutrition of the calf and its consequences for lifelong productivity. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 22:756-764. Yost WM, Young JW, Schmidt SP, McGilliard AD. 1977. Gluconeogenesis in ruminants: propionic acid production from a high-grain diet fed to cattle. J Nutr 107: 2036-2043. Yurleni. 2010. Produktivitas Ternak Kerbau di Propinsi Jambi. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Brebes, 11-13 November 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Zulbardi M, Kusumaningrum DA. 2005. Penampilan Produksi Ternak Kerbau Lumpur di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Pros. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 12-13 September. Puslitbang Peternakan, Bogor.
78
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil analisa kandungan asam-asam lemak minyak ikan lemuru. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Kandungan Asam-asam lemak Asam laurat Asam miristat Asam pentadekanoat Asam palmitat Asam palmitoleat Asam heptadekanoat Asam cis-10-heptadekanoat Asam stearat Asam oleat Asam linoleat Asam arachidat Asam linolenat Asam cis 11,14-eikosadienoat Asam behenat Asam cis 8,11,14-eikosatrienoat Asam arachidonat Asam cis 5,8,11,14,17-eikosapentaenoat Asam nervonat Asam cis 4,7,10,13,16,19-dokosaheksaenoat
Hasil (% w/w) 0.08 11.17 0.48 17.94 14.26 0.44 1.13 3.03 4.89 1.01 0.21 0.59 0.08 0.12 0.24 4.04 16.16 0.22 12.79
Lampiran 2 Uji efektivitas proteksi dalam rumen secara in vitro Kecernaan bahan kering Source DF Ternak 1 Pakan 2 Interaksi 2 Error 12 Corrected Total 17 Kecernaan bahan organic Source DF Ternak 1 Pakan 2 Interaksi 2 Error 12 Corrected Total 17
Sum Squares 5.848200000 68.08143333 9.56303333 98.6651333 182.1578000
Sum Squares 5.32467222 81.22414444 8.25167778 103.6900667 198.4905611
Mean Squares 5.84820000 34.04071667 4.78151667 8.2220944
Mean Squares 5.32467222 40.61207222 4.12583889 8.6408389
F Value 0.71 4.14 0.58
F Value 0.62 4.70 0.48
Pr > F 0.4155 0.0429* 0.5740
Pr > F 0.4477 0.0311* 0.6316
79
NH3 Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 2 2 12 17
Sum Squares 53.59920672 2.06054633 1.20830078 17.12916067 73.99721450
Mean Squares 53.59920672 1.03027317 0.60415039 1.42743006
F Value 37.55 0.72 0.42
Pr > F <.0001* 0.5058 0.6643
VFA total Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 2 2 12 17
Sum Squares 129.245683 1977.238685 933.058584 7773.97467 10813.51762
Mean Squares F Value 129.245683 0.20 988.619343 1.53 466.529292 0.72 647.83122
Pr > F 0.6631 0.2567 0.5066
pH Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 2 2 12 17
Sum Squares 0.00533889 0.00043333 0.00147778 0.02220000 0.02945000
Mean Squares 0.00533889 0.00021667 0.00073889 0.00185000
Pr > F 0.1151 0.8905 0.6793
F Value 2.89 0.12 0.40
Lampiran 3 Karakteristik fermentasi dalam rumen secara in vivo pH Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
NH3 Source
DF
Sum Squares
1 1 1 10 13
40.1801 0.6072 3.9682 123.0548 167.4530
Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
Sum Squares 2.5777 0.0605 0.0345 0.1185 2.7800
Mean Squares 2.5777 0.0605 0.0345 0.0118
Mean Squares 40.1801 0.6072 3.9682 12.3055
F Value 217.45 5.11 2.92
Pr > F < 0.0001* 0.0473* 0.1185
F Value
Pr > F
3.27 0.05 0.32
0.1009 0.8287 0.5826
80
VFA total Standard LSMEAN ternak pakan vfa LSMEAN Error Pr > |t| Number kerbau cgkk 159.013333 3.767983 <.0001 1 kerbau ncgkk 151.870000 3.767983 <.0001 2 sapi cgkk 125.452500 3.263169 <.0001 3 sapi ncgkk 85.465000 3.263169 <.0001 4 i/j 1 2 3 4 1 0.2097 <.0001 <.0001 2 0.2097 0.0003 <.0001 3 <.0001 0.0003 <.0001 4 <.0001 <.0001 <.0001 Lampiran 4 Persentase VFA individual berdasarkan VFA total Asetat (C2) asetat Standard LSMEAN ternak pakan LSMEAN Error Pr > |t| Number kerbau cgkk 86.4266667 3.6481497 <.0001 1 kerbau ncgkk 88.6566667 3.6481497 <.0001 2 sapi cgkk 69.8675000 3.1593903 <.0001 3 sapi ncgkk 49.1725000 3.1593903 <.0001 4 i/j 1 2 3 4 1 0.6747 0.0064 <.0001 2 0.6747 0.0030 <.0001 3 0.0064 0.0030 0.0009 4 <.0001 <.0001 0.0009 Propionat (C3) Source
DF
Sum Squares
Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
1 1 1 10 13
831.7050000 267.9782881 9.6097167 94.054483 1223.931600
Iso butirat (iC4) Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 1.07040536 0.00013393 0.58693393 1.89277500 3.55989286
Mean Squares 831.7050000 267.9782881 9.6097167 9.4054483
F Value
Pr > F
88.43 28.49 1.02
<.0001** 0.0003** 0.3359
Mean Squares 1.07040536 0.00013393 0.58693393 0.18927750
F Value 5.66 0.00 3.10
Pr > F 0.0387* 0.9793 0.1087
81
Butirat (nC4) Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 28.68533571 84.68880000 17.82308571 107.5271500 252.1916357
Mean Squares 28.68533571 84.68880000 17.82308571 10.75271500
F Value 2.67 7.88 1.66
Isovalerat (iC5) Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 11.10342917 0.01430060 0.50052917 6.38324167 17.98755500
Mean Squares 11.10342917 0.01430060 0.50052917 0.63832416
F Value 17.39 0.02 0.78
Pr > F 0.0019* 0.8840 0.3967
F Value 13.37 3.68 0.47
Pr > F 0.0044 0.0839 0.5082
F Value 1.15 0.08 0.04
Pr > F 0.3088 0.7784 0.8400
Valerat (nC5) Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 4.42975238 1.22060952 0.15603810 3.31346667 9.27583571
Mean Squares 4.42975238 1.22060952 0.15603810 0.33134666
Lampiran 5 Populasi mikrob yang terdapat dalam rumen Total bakteri Source DF Sum Squares Mean Squares Ternak 1 0.58033680 0.58033680 Pakan 1 0.04218254 0.04218254 Interaksi 1 0.02167814 0.02167814 Error 10 5.04798474 0.50479847 Corrected Total 13 5.68469274 Bakteri proteolitik Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total Bakteri amilolitik Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13 DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 1.68395097 0.22449170 0.39895816 2.72256254 5.13023913
Mean Squares 1.68395097 0.22449170 0.39895816 0.27225625
Sum Squares 1.18728504 0.71357546 0.14828520 3.65982640 5.82180337
Mean Squares 1.18728504 0.71357546 0.14828520 0.36598264
F Value 6.19 0.82 1.47
F Value 3.24 1.95 0.41
Pr > F 0.1335 0.0186* 0.2269
Pr > F 0.0322* 0.3852 0.2539
Pr > F 0.1019 0.1928 0.5387
82
Bakteri selulolitik Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 0.67417425 0.00201354 0.31860981 4.03819232 5.04705707
Mean Squares 0.67417425 0.00201354 0.31860981 0.40381923
Protozoa Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 0.90954840 0.03125811 0.39152784 0.80358976 2.17699847
Mean Squares F Value 0.90954840 11.32 0.03125811 0.39 0.39152784 4.87 0.08035898
Lampiran 6 Konsumsi pakan ternak Konsumsi bahan kering Source DF Sum Squares Ternak 1 3206865.439 Pakan 1 57305.967 Interaksi 1 211.801 Error 10 56475.134 Corrected Total 13 3323072.762
Mean Squares 3206865.439 57305.967 211.801 5647.5134
F Value 1.67 0.00 0.79
F Value 567.84 10.15 0.04
Pr > F 0.2254 0.9451 0.3953
Pr > F 0.0072* 0.5468 0.0518
Pr > F <.0001 0.0097 0.8503
Konsumsi lemak kasar ternak pakan Lkons LSMEAN StandartError Pr > |t| Number kerbau cgkk 183.848189 1.074772 <.0001 1 kerbau noncgkk 139.952863 1.074772 <.0001 2 sapi cgkk 156.468129 0.930780 <.0001 3 sapi noncgkk 118.738062 0.930780 <.0001 4 i/j 1 2 3 4 1 <.0001 <.0001 <.0001 2 <.0001 <.0001 <.0001 3 <.0001 <.0001 <.0001 4 <.0001 <.0001 <.0001 onsumsi protein kasar Source DF Ternak 1 Pakan 1 Interaksi 1 Error 10 Corrected Total 13
Sum Squares 60036.8200 2490.3122 0.9076 1022.4503 63616.2574
Mean Squares 60036.8200 2490.3122 0.9076 102.2450
F Value 587.19 24.36 0.01
Pr > F <.0001 0.0006 0.9268
83
Konsumsi serat kasar Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 431597.1520 10467.9505
F Value 458.10 11.11 0.00
Pr > F <.0001 0.0076 0.9989
Mean Squares 512399.2940 150.0029 268.1067 791.6012
F Value 647.29 0.19 0.34
Pr > F <.0001 0.6726 0.5735
Mean Squares 1487816.11 349048.89 432075.41 465862.52
F Value 3.19 0.75 0.93
Pr > F 0.1042 0.4070 0.3582
Sum Squares Mean Squares F Value 1969.568041 1969.568041 7.91 3117.646213 3117.646213 12.53 3.966544 3.966544 0.02 2488.75 248.88 7612.53
Pr > F 0.0184 0.0054 0.9020
9421.5607 451703.3382
Konsumsi bahan ekstrak tanpa nitrogen Source DF Sum Squares Ternak 1 512399.2940 Pakan 1 150.0029 Interaksi 1 268.1067 Error 10 7916.0123 Corrected Total 13 520800.6177 Lampiran 7 Kecernaan zat-zat makanan Kecernaan bahan kering Source DF Sum Squares Ternak 1 1487816.11 Pakan 1 349048.89 Interaksi 1 432075.41 Error 10 4658625.26 Corrected Total 13 6830570.446 Kecernaan lemak kasar Source DF Ternak 1 Pakan 1 Interaksi 1 Error 10 Corrected Total 13 Kecernaan protein kasar Source DF Ternak 1 Pakan 1 Interaksi 1 Error 10 Corrected Total 13 Kecernaan serat kasar Source DF Ternak 1 Pakan 1 Interaksi 1 Error 10 Corrected Total 13
Sum Squares 57225.98082 600.51410 3543.45869 67289.0442 128319.8673
Mean Squares 431597.1520 10467.9505 0.0019 942.1560
Mean Squares 57225.98082 600.51410 3543.45869 6728.9044
Sum Squares Mean Squares 360450.3010 360450.3010 2767.4709 2767.4709 30.2973 30.2973 57901.1066 5790.1106 421291.9185
F Value 8.50 0.09 0.53
F Value 62.25 0.48 0.01
Pr > F 0.0154 0.7713 0.4847
Pr > F <.0.001 0.5051 0.9438
84
Kecernaan bahan ekstrak tanpa nitrogen Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares Mean Squares 211295.7686 211295.7686 36274.8824 36274.8824 39039.5699 39039.5699 239239.8209 23923.9820 516443.1380
F Value 8.83 1.52 1.63
Pr > F 0.0140 0.2464 0.2303
Lampiran 8 Bobot badan akhir, pertambahan bobot badan dan konversi pakan Pertambahan bobot badan harian Source DF Sum Squares Ternak 1 0.14584821 Pakan 1 0.02600060 Interaksi 1 0.00537202 Error 10 0.06660833 Corrected Total 13 0.24103571 Konversi pakan Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total Bobot badan akhir Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 0.09667202 0.33571488 0.11160060 1.82624167 2.32309286
Sum Squares 2251.339286 280.291667 296.005952 2906.08333 5661.714286
Mean Squares F Value 0.14584821 21.90 0.02600060 3.90 0.00537202 0.81 0.00666083
Mean Squares 0.09667202 0.33571488 0.11160060 0.18262416
Mean Squares 2251.339286 280.291667 296.005952 290.608333
Lampiran 9 Karakteristik karkas dan kualitas karkas Bobot karkas Source DF Sum Squares Mean Squares Ternak 1 70.72023810 70.72023810 Pakan 1 34.38095238 34.38095238 Interaksi 1 24.38095238 24.38095238 Error 10 1486.541667 148.6541667 Corrected Total 13 1608.803571 Persentase karkas Source DF Sum Squares Mean Squares Ternak 1 107.5360006 107.5360006 Pakan 1 0.2712054 0.2712054 Interaksi 1 0.8874054 0.8874054 Error 10 57.3253083 5.73253083 Corrected Total 13 165.9009714
F Value 0.53 1.84 0.61
F Value 7.75 0.96 1.02
F Value 0.48 0.23 0.16
F Value 18.76 0.05 0.15
Pr > F 0.0009 0.0764 0.3903
Pr > F 0.4836 0.2050 0.4525
Pr > F 0.0193 0.3492 0.3367
Pr > F 0.5061 0.6409 0.6904
Pr > F 0.0015 0.8322 0.7022
85
Luas Udamaru Source Bobot potong Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 1 9 13
Sum Squares 358.909063 4692.086612 202.678150 144.360372 4739.48100 11147.86952
Mean Squares 358.909063 4692.086612 202.678150 144.360372 526.60900
F Value 0.68 8.91 0.38 0.27
Pr > F 0.4304 0.0153 0.5504 0.6132
Warna daging Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 13.14880952 0.00595238 0.29166667 3.41666667 16.85714286
Mean Squares 13.14880952 0.00595238 0.29166667 0.34166667
F Value 38.48 0.02 0.85
Pr > F 0.0001 0.8976 0.3773
Warna lemak Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 1.33928571 0.05357143 0.05357143 1.75000000 3.21428571
Mean Squares 1.33928571 0.05357143 0.05357143 0.17500000
F Value 7.65 0.31 0.31
Tebal lemak punggung Source DF Ternak 1 Pakan 1 Interaksi 1 Error 10 Corrected Total 13
Sum Squares 1.44115238 1.02773571 0.02333571 6.38728333 8.85623571
Lampiran 10 Kompoen non karkas Kepala Source DF Sum Squares Ternak 1 19122752.38 Pakan 1 5544466.67 Interaksi 1 2041609.52 Error 10 36362666.67 Corrected Total 13 62248235.71
Mean Squares 1.44115238 1.02773571 0.02333571 0.63872833
Mean Squares 19122752.38 5544466.67 2041609.52 3636266.66
Pr > F 0.0199 0.5922 0.5922
F Value 2.26 1.61 0.04
Pr > F 0.1640 0.2334 0.8522
F Value 5.26 1.52 0.56
Pr > F 0.0448 0.2451 0.4709
86
Ekor Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 581038.0952 1259.5238 38402.3810 109016.6667 732571.4286
Mean Squares 581038.0952 1259.5238 38402.3810 10901.66667
F Value 53.30 0.12 3.52
Pr > F <.0001 0.7410 0.0900
Jeroan hijau Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 14355905.36 1105814.88 1658072.02 5609308.33 22391742.86
Mean Squares 14355905.36 1105814.88 1658072.02 560930.833
F Value 25.59 1.97 2.96
Pr > F 0.0005 0.1906 0.1163
Kulit Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 6095238.1 123428571.4 13714285.7 97333333.3 231428571.4
Mean Squares 6095238.1 123428571.4 13714285.7 9733333.33
F Value 0.63 12.68 1.41
Pr > F 0.4471 0.0052 0.2627
Kaki Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 2912466.7 122641259.5 15204116.7 100209016.7 231244000.0
Mean Squares 2912466.7 122641259.5 15204116.7 10020901.67
F Value 0.29 12.24 1.52
Pr > F 0.6016 0.0057 0.2462
Jeroan Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 27564300.60 4272048.21 713705.36 11324708.33 44487921.43
Mean Squares 27564300.60 4272048.21 713705.36 1132470.833
F Value 24.34 3.77 0.63
Pr > F 0.0006 0.0808 0.4457
Fat rongga perut Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 32542402.38 7466.67 6034438.10 79720216.7 118368485.7
Mean Squares 32542402.38 7466.67 6034438.10 7972021.67
F Value 4.08 0.00 0.76
Pr > F 0.0709 0.9762 0.4047
87
Total komponen non karkas Source DF Sum Squares Ternak 1 507593335.7 Pakan 1 758200059.5 Interaksi 1 52037202.4 Error 10 917223633 Corrected Total 13 2193999886 Lampiran 11 Komponen karkas Daging Source DF Sum Squares Karkas 1 2119622.4 Ternak 1 1831865.121 Pakan 1 116777.967 Interaksi 1 9465755.407 Error 9 250943704.3 Corrected Total 13 262250787.5
Mean Squares 507593335.7 758200059.5 52037202.4 91722363.3
F Value 5.53 8.27 0.57
Pr > F 0.0405 0.0165 0.4687
Mean Squares 2119622.4 1831865.121 116777.967 9465755.407 27882634
F Value 0.49 0.07 0.00 0.38
Pr > F <.0001 0.7925 0.9470 0.5528
Tulang Source Karkas Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 1 9 13
Sum Squares 225146.50 13826973.39 360436.30 354678.86 22371830.49 36824533.03
Mean Squares 225146.50 13826973.39 360436.30 354678.86 2485758.9
F Value 0.09 6.18 0.16 0.16
Lemak Source karkas Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 1 9 13
Sum Squares 157792.876 844268.708 1890035.875 828.415 23729974.43 26492959.37
Mean Squares 157792.876 844268.708 1890035.875 828.415 2636663.8
F Value 0.17 0.36 0.80 0.00
Pr > F 0.0022 0.5641 0.3931 0.9855
Rasio daging:tulang Source karkas Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 1 9 13
Sum Squares 0.51430000 0.20580000 0.00105000 0.00482143 1.46035000 1.67280000
Mean Squares 0.51430000 0.20580000 0.00105000 0.00482143 0.16226110
F Value 4.89 1.41 0.01 0.03
Pr > F 0.0543 0.2626 0.9341 0.8594
Pr > F 0.7692 0.0322 0.6966 0.6989
88
Lampiran 12 Rataan potongan komersil karkas Striploin Standard LSMEAN ternak pakan trp LSMEAN Error Pr > |t| Number KERBAU CGKK 4.71000000 0.27338871 <.0001 1 KERBAU NCGKK 3.08666667 0.27338871 <.0001 2 SAPI CGKK 3.72500000 0.23676157 <.0001 3 SAPI NCGKK 5.36750000 0.23676157 <.0001 4 Dependent Variable: trp i/j 1 2 3 4 1 0.0018 0.0214 0.0991 2 0.0018 0.1080 <.0001 3 0.0214 0.1080 0.0006 4 0.0991 <.0001 0.0006 Tenderloin Source DF Sum Squares Mean Squares F Value Pr > F Karkas 1 0.00572886 0.00572886 0.06 0.8174 Ternak 1 2.95990945 2.95990945 29.20 0.0004 Pakan 1 0.01538495 0.01538495 0.15 0.7059 Interaksi 1 0.01016034 0.01016034 0.10 0.7588 Error 9 0.91242114 0.10138013 Corrected Total 13 4.09652143 Silverside Source Karkas Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 1 9 13
Sum Squares 9.50959185 6.34742176 0.04049171 0.04506977 5.40789148 25.92528571
Lampiran 13 Sifat-sifat fisik daging Keempukan daging Source DF Sum Squares Ternak 1 108.7072595 Pakan 1 0.2407714 Interaksi 1 0.1050000 Error 10 23.9396833 Corrected Total 13 132.9535429 Susut Masak daging Source DF Ternak 1 Pakan 1 Interaksi 1 Error 10 Corrected Total 13
Sum Squares 37.14880952 0.00595238 5.72023810 253.4166667 296.3571429
Mean Squares 9.50959185 6.34742176 0.04049171 0.04506977 0.60087683
F Value 15.83 10.56 0.07 0.08
Pr > F 0.0032 0.0100 0.8010 0.7904
Mean Squares 108.7072595 0.2407714 0.1050000 2.3939683
F Value 45.41 0.10 0.04
Pr > F <.0001 0.7577 0.8383
Mean Squares 37.14880952 0.00595238 5.72023810 25.3416667
F Value 1.47 0.00 0.23
Pr > F 0.2538 0.9881 0.6449
89
Daya mengikat air daging Source DF Ternak 1 Pakan 1 Interaksi 1 Error 10 Corrected Total 13
Sum Squares 6.48214286 37.14880952 3.72023810 320.0833333 364.8571429
Mean Squares 6.48214286 37.14880952 3.72023810 32.0083333
F Value 0.20 1.16 0.12
Pr > F 0.6623 0.3066 0.7402
pH daging Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
Sum Squares 0.04534286 0.02933571 0.00173571 0.24295000 0.32209286
Mean Squares 0.04534286 0.02933571 0.00173571 0.02429500
F Value 1.87 1.21 0.07
Pr > F 0.2018 0.2976 0.7947
Mean Squares 2.37381488 0.00001488 0.10550060 1.04275417
F Value 2.28 0.00 0.10
Pr > F 0.1623 0.9971 0.7570
DF 1 1 1 10 13
Lampiran 14. Sifat kimia daging Kadar air Source DF Sum Squares Ternak 1 2.37381488 Pakan 1 0.00001488 Interaksi 1 0.10550060 Error 10 10.42754167 Corrected Total 13 12.90943571 Kadar lemak Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 0.61443810 0.22440238 0.00028810 1.38221667 2.22837143
Mean Squares 0.61443810 0.22440238 0.00028810 0.13822167
F Value 4.45 1.62 0.00
Pr > F 0.0612 0.2314 0.9645
Kadar protein Source Ternak Pakan Interaksi Error Corrected Total
DF 1 1 1 10 13
Sum Squares 20.51005952 0.13943810 0.58103810 1.40541667 22.56794286
Mean Squares 20.51005952 0.13943810 0.58103810 0.14054167
F Value 145.94 0.99 4.13
Pr > F <.0001 0.3427 0.0694
90
Lampiran 15 Uji mutu hedonik daging Analisis Ragam Bau Daging Sapi dan Kerbau Mentah Source DF Sum Squares Mean Squares Ternak 1 0,32142857 0,32142857 Pakan 1 22,32142857 22,32142857 Interaksi 1 0,89285714 0,89285714 Galat 6 11,75000000 1,95833333 Total 9 36,90000000 Analisis Ragam Tekstur Daging Sapi dan Kerbau Mentah Source DF Sum Squares Mean Squares Ternak 1 35,81202186 35,81202186 Pakan 1 0,13989071 0,13989071 Interaksi 1 7,35300546 7,35300546 Galat 7 57,4666667 8,2095238 Total 10 114,0000000 Analisis Ragam Warna Daging Sapi dan Kerbau Mentah Source DF Sum Squares Mean Squares Ternak Pakan Interaksi Galat Total
1 1 1 5 8
55,84615385 0,05128205 0,46153846 13,33333333 84,88888889
55,84615385 0,05128205 0,46153846 2,66666667
F Value 0,16 11,04 0,46
Pr>F 0,6994 0,0149 0,5247
F Value 4,36 0,02 0,90
Pr>F 0,0751 0,8998 0,3755
F Value
Pr>F
20,94 0,02 0,17
0,0060 0,8951 0,6946
Lampiran 16. Kandungan asam-asam lemak daging Saturated fatty acid (SFA) Standard LSMEAN ternak pakan SFA LSMEAN Error Pr > |t| Number kerbau cgkk 35.0900000 1.2298068 <.0001 1 kerbau noncgkk 43.6433333 1.2298068 <.0001 2 sapi cgkk 38.2925000 1.0650439 <.0001 3 sapi noncgkk 40.6300000 1.0650439 <.0001 4 Dependent Variable: SFA i/j 1 2 3 4 1 0.0006 0.0773 0.0067 2 0.0006 0.0082 0.0937 3 0.0773 0.0082 0.1517 4 0.0067 0.0937 0.1517 Monounsaturated fatty acid (MUFA) Standard LSMEAN ternak pakan MUFA LSMEAN Error Pr > |t| Number kerbau cgkk 27.2800000 1.2628902 <.0001 1 kerbau noncgkk 17.8600000 1.2628902 <.0001 2 sapi cgkk 24.0025000 1.0936950 <.0001 3 sapi noncgkk 21.3625000 1.0936950 <.0001 4
91
i/j 1 2 3 4
Dependent Variable: MUFA 1 2 3 4 0.0004 0.0782 0.0053 0.0004 0.0043 0.0624 0.0782 0.0043 0.1187 0.0053 0.0624 0.1187
Unsaturated fatty acid (UFA) ternak pakan UFA LSMEAN Error Pr > |t| Number kerbau cgkk 30.9600000 1.3676238 <.0001 1 kerbau noncgkk 20.6366667 1.3676238 <.0001 2 sapi cgkk 27.1325000 1.1843969 <.0001 3 sapi noncgkk 23.7050000 1.1843969 <.0001 4 Dependent Variable: UFA i/j 1 2 3 4 1 0.0003 0.0605 0.0025 2 0.0003 0.0049 0.1207 3 0.0605 0.0049 0.0679 4 0.0025 0.1207 0.0679 Rasio unsaturated fatty acid/saturated fatty acis Standard LSMEAN ternak pakan US LSMEAN Error Pr > |t| Number kerbau cgkk 0.88000000 0.02825479 <.0001 1 kerbau noncgkk 0.47000000 0.02825479 <.0001 2 sapi cgkk 0.70750000 0.02446937 <.0001 3 sapi noncgkk 0.58250000 0.02446937 <.0001 4 Dependent Variable: US i/j 1 2 3 4 1 <.0001 0.0010 <.0001 2 <.0001 <.0001 0.0131 3 0.0010 <.0001 0.0048 4 <.0001 0.0131 0.0048
92
Lampiran 17. Komponen volatil daging berdasarkan perlakuan pakan dan jenis ternak. Komponen Amina Amida Alkohol Keton Asam Amino Aldehid Furan Aril Halida Senyawa Hidrokarbon Pirolidinon Piperidinon Piperidin Vitamin Heksahidrotetrazin Pirolidin Pirazol Ester Tiol Dioksolan Asam Karboksilat Eter Triazol Pterin Purin Tiazol Epoksida Karbohidrat Pirimidin Senyawa Karbon Organik Alkil Benzena Isoxazolidin Total
Sapi Non CGKK CGKK 11 5 3 1 5 7 2 2 2 3 5 7 2 1 1 1 2 2 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 3 2 2 1 1 42 42
Kerbau Non CGKK CGKK 5 6 4 2 6 8 4 3 4 3 6 5 1 1 1 1 1 1 3 6 1 1 2 2 4 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 50 51
Keterangan : Hasil analisis menggunakan alat GC-MS tipe Agilent 7890A Lab. Flavour di BBPTP
93
Lampiran 18. Grafik hubungan antara waktu retensi dan luas area puncak dari komponen volatil daging sapi non CGKK
94
Lampiran 19 Grafik hubungan antara waktu retensi dan luas area puncak dari komponen volatil daging sapi CGKK
95
96
Lampiran 20 Grafik hubungan antara waktu retensi dan luas area puncak dari komponen volatil daging kerbau non CGKK
Lampiran 21 Grafik hubungan antara waktu retensi dan titik puncak dari
97
komponen volatil daging kerbau CGKK
RIWAYAT HIDUP
98
Penulis dilahirkan di Jambi pada tanggal 13 Juni 1968 sebagai anak kedua dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak Baharudin Syam (alm) dan Ibu Suniarti (alm). Sekolah menengah pertama ditempuh pada SMPN Tempino Kabupaten Muaro Jambi dan lulus tahun 1983 dan sekolah menengah atas ditempuh pada SMAN 3 Kota Jambi, lulus pada tahun 1986. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi, lulus pada tahun 1991. Tahun 1993 diterima menjadi staf pengajar Fakultas Peternakan Universitas Jambi dan pada tahun 1997, penulis melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Ternak Fakultas Peternakan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkanya pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi sajak tahun 1993.