257
PRODUKSI SOLASODIN DALAM KULTUR KALUS Solanum khasianum CLARKE DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK KHAMIR Oleh: Norma arif 1) ABSTRACT One of the methods to enchance the secondary metabolite content in plant tissue culture is elicitors. The study on solasodin produce in callus culture of Solanum khasianum CLARKE was conducted by supplying Sacharomyces cerevisise H as elicitors. Callus were induced on MurashigeSkoog solid medium with addition of 2 mg L-1 2,4- dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D) and 1 mg L-1 (6-furfurylaminopurin (kinetin). The callus cultures were sub cultured there times, and then treated each with 0; 0,25; 0,5 and 1%. 0f yeast extract. Solasodin content was measured at 1 and 2- months after elicitors using HPLC (high Pressure Liquid chromatography). The results showed that the addition of yeast extract 0,25% the growth actives and its solasodin synthesis occurred in the same period of callus growth. The highest fresh 4,77 g of each bottle and dry weight of callus 0,436 g of each bottle and yield of produced solasodin 0,011% of each bottle of dry weigh callus and solasodin content 0,2500 mg/g.DW were obtained on the treatment of yeast extract 0,25%. Key words: Solasodin.Callus culture, Solanum khasianum Clarke, Sacharomyces cerevisise H.
PENDAHULUAN Penyediaan bahan baku kontrasepsi di Indonesia hampir seluruhnya berasal dari import, dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut perlu di cari jenis tanaman yang tumbuh di Indonesia yang berpotensi sebagai sumber bahan obat kontrasepsi. Hal ini mengingat bahwa di Indonesia kaya akan sumber daya tanaman obat, sehingga mempunyai peluang untuk memperoleh bahan obat kontrasepsi yang berasal dari tanaman. Secara konvensional metabolit sekunder sebagai bahan obat kontrasepsi dapat diperoleh dengan cara mengekstraksi langsung dari organ tumbuhan. Namun cara tersebut memerlukan budidaya tanaman dalam skala besar, di samping itu, proses ekstraksi, isolasi, dan pemurniannya mahal. Selain itu, bila harus dibuat secara sintesis, harganya akan mahal karena struktur aktifnya sangat kompleks. (Balandrin dan Klocke, 1988). Beberapa jenis tanaman yang ada di Indonesia telah diteliti mempunyai sifat anti fertilitas adalah tanaman terung-terungan diantaranya terung KB (Solanum khasianum Clarke). Tanaman ini mengandung
senyawa alkaloid dalam bentuk glikosida yaitu solasodin (Purwaningsi dan Soeradi, 1995). Untuk memperoleh solasodin dalam jumlah yang banyak secara konvensional tidaklah mudah sebab solasodin yang dihasilkan tanaman sangat sedikit dan pada jaringan yang spesifik yaitu pada buah sehingga diperlukan penanaman dalam skala luas. Untuk memenuhi kebutuhan solasodin dimasa yang akan datang maka perlu upaya lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut yaitu melalui kultur kalus. Kultur kalus merupakan salah satu tipe kultur sel yang dapat digunakan untuk menghasilkan metabolit sekunder. Meskipun pada beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kultur kalus tanaman dapat menghasilkan metabolit sekunder dengan jumlah yang sama bahkan lebih tinggi dari tanaman induknya (Kurz dan Constabel, 1991), tetapi menurut Heble (1996) dan Gerats et al., 1991) kandungan metabolit sekunder dalam kultur kalus relatif rendah, sehingga diperlukan metode kultur kalus yang dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder. Salah satu metode pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kandungan metabolit sekunder dalam kultur kalus adalah
AGRIPLUS, Volume 21Universitas Nomor Haluoleo, : 03 September ) Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Kendari.
1
2011, ISSN 0854-0128
257
258
memberikan perlakuan elisitasi. Elisitasi adalah metode untuk menginduksi secara simultan pembentukan fhytoaleksin, metabolit sekunder konstituatif atau metabolit sekunder lain yang secara normal tidak terakumulasi (Barz, et al., 1990). Elisitor yang diinjeksikan secara lansung ke dalam sel, bereaksi dengan membran plasma sel membentuk ikatan kompleks dengan protein dinding sel yang mengakibatkan terjadinya perubahan konformasi kemudian memicu aktivitas gen yang berperan dalam sistem pertahanan diri dan biosintesis metabolit sekunder (Taiz dan Zeiger, 2002). Ekstrak khamir Saccharomyces cerevisiae merupakan elisitor biotik yang dapat meningkatkan metabolit sekunder. Saccharomyces cerevisiae tergolong cendawan berupa khamir yang mempunyai potensi kemampuan yang tinggi sebagai inmonostimulan (Hag et al., 2000). Hasil penelitian Ibrahim, et al. (2009) pada kultur kalus Hyoscyanus muticus penambahan ekstrak khamir (yeast extract) dari Saccharomyces cerevisiae 0,2 g L-1 meningkatkan alkaloid sebesar 789,66 µg g.BK-1. Demikian pula hasil penelitian Funk et al. (1997) menunjukkan bahwa fraksi karbohidrat dari ekstrak ragi Saccharomyces cerevisiae juga dapat menginduksi sintesis gliseolin sampai 200 µg BK-1 dalam kultur sel Glycine max dan meningkatkan biosintesis barberin hingga 4 kali lipat pada kultur Thalictrum rugosum. Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh penambahan ekstrak khamir Saccharomyces cerevisiae pada kultur kalus Solanum khasianum mampu menghasilkan solasodin maka dilakukan penelitian ini. METODE PENELITIAN Penelitian di lakukan di Laboratorium kultur jaringan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Penelitian di mulai bulan April 2009 sampai Okrober 2009 termasuk persiapan sumber eksplan yang digunakan dalam percobaan. Benih Solanum khasianum, diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO) Bogor. Benih-benih solanum khasianum sebelum dikecambahkan
disterilkan terlebih dahulu dengan bahan bahan seperti bactomycin 2 g L-1, dan bethadine. Untuk eksplan daun diperoleh dari hasil perkecambahan benih pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh secara in vitro. Hasil dari perkecambahan tersebut berupa planlet yang telah memiliki 2-3 helai daun (telah mengalami periode kultur) maka daun planlet tersebut dijadikan eksplan. Media untuk induksi kalus adalah media MS yaitu gelas piala volume 1 liter diisi sepertiganya dengan akuades, kemudian masingmasing stok dipipet sesuai dengan komposisi darimedia Murashige dan Skoog (MS, 1962), dan Zat pengatur tumbuh dengan kosentrasi 2 mg L-1 asam 2,4-diklorofenoksi asetat dan 1 mg L-1 kinetin ditambahkan dalam larutan, sambil diaduk sampai larut sempurna. Kemudian sukrosa 30 g L-1 ditambahkan dalam gelas piala dan diaduk hingga larut sempurna. Setelah itu akuades dimasukkan hingga ¾ bagian. Keasaman media diukur dengan pH meter pada kisaran 5,6-5,8 dengan menambahkan tetes demi tetes HCl 1 N (jika pH terlalu tinggi) atau NaOH (jika pH terlalu rendah). Larutan diaduk dengan magnetic stirer sampai diperoleh pH yang diharapkan. Setelah itu agar sebanyak 6 g L-1 dan akuades ditambahkan sampai volume akhir tercapai. Media dimasak hingga mendidih, kemudian dituangkan ke dalam botol-botol kultur steril 20 ml pada saat panas, lalu botol kultur ditutup dengan aluminium foil dan diberi label. Media disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121oC, tekanan 1,5 atm, selama 15 menit. Pembuatannya sama dengan media MS seperti pada media induksi kalus dan ditambahkan ekstrak khamir sesuai perlakuan. Metode penelitian Kalus yang mempunyai pertumbuhan yang seragam dengan berat ± 2 g dari hasil perbanyakan yang telah berumur 2 bulan ditanam pada media produksi sesuai perkaluan. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan yaitu konsentrasi Ekstrak khamir (0, 0,25, 0,5 dan 1%) dan diulang sebanyak 3 kali. Botol kultur disimpan di rak dalam ruangan dengan suhu 250C ±2 dan diberi penyinaran lampu TLD 80 watt, dengan periode
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128
259
terang 16 jam dan gelap 8 jam. Pemgamatan dilakukan setiap bulan hingga umur kalus dua bulan. Pertumbuhan kalus berdasarkan bobot basah dan bobot kering kalus dan untuk menganalisis kadar solasodin kalus menggunakan kromatografi cairan tekanan tinggi (HPLC) menurut prosedur Indrayanto, et al. (1996). Uji statistik terhadap bobot basah, bobot kering, kadar dan produksi solasodin dari hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95%. Jika terlihat ada
perbedaan nyata, analisis dilanjutkan dengan uji BNT dengan tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan dan perkembangan kalus Kalus Solanum khasianum yang dielisitasi dengan ekstrak khamir menunjukkan respons seperti yang disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1.
Tabel 1 Tekstur, warna kalus , bobot basah dan bobot kering kalus pada berbagai konsentrasi ekstrak khamir pada umur 1 dan 2 bulan Tekstur Warna kalus kalus
Perlakuan Kontrol (E0) Ekstrakkhamir0,25% Ekstrak khamir0.5 % Ekstrak khamir 1 %
kmp kmp kmp kmp
Pc Kc Kc kc
Bobot basah kalus (g botol-1) 1 bulan 2 bulan 3.879 c 4.376 c 4.113 a 4.771 a 3.999 b 4.506 b 3.756 d 4.002 d
Bobot kering kalus (g botol-1) 1 bulan 2 bulan 0.377 bc 0.403 b 0.409 a 0 .435 a 0.388 b 0.427 a 0.367 c 0.399 b
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%. Kmp : kompak, Pc : putih kecoklatan, Kc ; kuning kecoklatan
Pertumbuhan kalus setelah pemberian ekstrak khamir menunjukkan adanya peningkatan bobot basah dan bobot kering kalus tiap bulan (Tabel1). Secara statistik penambahan ekstrak khamir berpengaruh terhadap bobot basah dan bobot kering pada umur kalus 1 dan 2 bulan. Perlakuan ekstrak khamir 0,25% menghasilkan bobot basah tertinggi masingmasing yaitu 4,11 g botol-1 dan 4,77 g botol-1 dan berbeda nyata pada semua perlakuan, perlakuan ekstrak khamir 1% menghasilkan bobot basah kalus terendah masing-masing yaitu 0,3756 g botol-1 dan 4,00 g botol-1. Pertumbuhan kalus selain ditentukan dengan bobot basah kalus juga sangat ditentukan oleh bobot kering kalus selama inkubasi. Pada umur 1 dan 2 bulan secara statistik penambahan ekstrak khamir berpengaruh terhadap bobot kering kalus. Pada umur kalus 1 dan 2 bulan perlakuan ekstrak khamir 0,25% menghasilkan bobot kering tertinggi 0,409 g/botol dan 0,435 g botol-1 berbeda nyata pada semua perlakuan,
perlakuan ekstrak khamir 1% menghasilkan bobot kering kalus terendah masing-masing yaitu 0,367 g botol-1 dan 0,399 g botol-1. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan ekstrak khamir 0,25% pada media kalus umur 2 bulan dapat meningkatkan bobot basah dan bobot kering kalus maksimum. Sedangkan bobot basah dan bobot kering kalus terendah diperoleh pada perlakuan ekstrak khamir 1%. Berdasarkan hasil tersebut dapat diduga bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak khamir yang ditambahkan ke dalam media menyebabkan pertumbuhan kalus semakin rendah. Hal ini diduga ekstrak khamir dengan konsentrasi 0,25% pada media kalus menyebabkan sel-sel kalus aktif membelah sehingga kalus lebih banyak membentuk metabolit primer selama pertumbuhan, dengan meningkatnya metabolit primer dapat membentuk prekursor untuk sintesis mentabolit sekunder. Sedangkan pada konsentrasi ekstrak khamir yang tinggi menyebabkan media osmotikum, sehingga
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128
260
metabolit primer yang dihasilkan lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan sel dari pada disimpan di dalam sel. Ekstrak khamir mengandung asam-asam amino sebagai sumber nitrogen sangat diperlukan dalam pertumbuhan sel jaringan tanaman, karena merupakan komponen asam nukleat dan beberapa substansi penting lainnya yang dibutuhkan untuk pembentukan protoplasma dan berfungsi memperbaiki pertumbuhan sel (Fukomoto et al., 1997; Purwianingsih dan Hamdiyati, 2009). Pertumbuhan sel terjadi karena adanya proses pembelahan dan pembesaran sel–sel baru yang
A. Perlakuan kontrol (SE0) C. Konsentrasi ek. Khamir 0. 5 % (E2)
terjadi pada jaringan meristem yang menyebabkan tanaman mengalami pertumbuhan yang pesat dan menghasilkan metabolit primer yang tinggi pula (Gardner et al., 1991). Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa kalus hasil elisitasi dengan ekstrak khamir berwarna lebih coklat dibanding dengan kalus yang tidak dielisitasi. Pada umur kalus 2 bulan warna dalam satu kalus tidak sama ada yang agak putih, kuning muda dan coklat. Semakin lama kalus ditanam pada media kultur perlakuan warna kalus makin coklat dan muncul kalus muda berwarna bening dengn tekstur kompak.
B. Konsentrasi ek. Khamir 0.25 % (E1) D. Konsentrasi ek. Khamir 1 % (E3)
Gambar 1. Warna kalus pada Media dasar MS dengan Penambahan berbagai Konsentrasi Ekstrak khamir pada umur 2 bulan. 5mm
Perubahan warna dari coklat muda ke coklat tua disebabkan oleh perbedaan perlakuan dan usia kalus yang dikulturkan semakin tua. Kondisi warna kalus yang bervariasi menurut Hendaryono dan Wijaya (1994) warna kalus bisa disebabkan oleh adanya pigmentasi, pengaruh cahaya dan bagian tanaman yang dijadikan sebagai sumber eksplan. Pengaruh ekstrak khamir terhadap produksi solasodin Elisitasi dengan menggunakan ekstrak khamir setelah kalus berumur1 bulan, dilakukan analisis kadar solasodin dengan menggunakan
HPLC belum menunjukkan adanya senyawa solasodin pada semua perlakuan (data tidak ditampilkan). Hal ini diduga pada umur kalus 1 bulan belum terjadi kontak antara sel-sel kalus dengan komponen ekstrak khamir. Sehingga selsel kalus belum merespons elisitor eksrtrak khamir untuk menginduksi solasodin. Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian Yoshikawa dan Sugimoto (1993) bahwa elisitor menginisiasi aktivitas fisiologi pada sel tumbuhan melalui interaksi reseptor pada membran plama sel tumbuhan.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128
261
Tabel 2 Pengaruh ekstrak khamir terhadap kandungan dan produksi solasodin pada kalus Solanum khasianum Clarke pada umur kalus 2 bulan bobot kering kalus (g botol-1)
Perlakuan Kontrol (E0) Ekstrak khamir 0.25 % Ekstrak khamir 0.5 % Ekstrak khamir 1 %
0.3997 b 0.4359 a 0.4275 a 0.4039 b
Kadar solasodin dalam 1g sampel (mg g.BK-1) 0,0000 0,2500 0,2200 0,1900
d a b c
Produksi solasodin *)% 0.000 d 0.0109 a 0.0094 b 0.0077 c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%. *)%. Solasodin dalam 1 g sampel x bobot kering Analisis setelah ditransformasi ke kalus.
Berdasarkan Tabel 2 umur kalus 2 bulan secara statistik berpengaruh nyata pada semua perlakuan. Kadar solasodin dan produksi solasodin tertinggi diperoleh pada parlakuan ekstrak khamir dengan konsentrasi 0,25% yaitu 0.2500 mg g.BK-1 dengan produksi solasodin yaitu 0,0109% dari setiap botol bobot kering kalus yang dipanen dan perlakuan ekstrak khamir 1% menghasilkan kadar dan produksi solasodin terendah. Sedangkan perlakuan kontrol belum menghasilkan kadar solasodin. Hal ini diduga disebabkan pada perlakuan kontrol tidak dielisitasi dengan ekstrak kamir. Ketidakmampuan sel memproduksi metabolit sekunder dapat disebabkan oleh salah satu factor antara lain: (1) kandungan tersebut terlalu kecil dibandingkan dengan komponen lain didalam ekstrak kalus tidak terdeteksi, dan (2) tingkat akumulasi metabolit sekunder mungkin dipengaruhi oleh keseragaman umur diantara sel dalam kultur dan mekanisme transport (Rhodes et al., 1990 dalam Darwati, 2007). Semakin tinggi konsentrasi ekstrak khamir yang ditambahkan dalam media menyebabkan pertumbuhan sel dan produksi solasodin semakin rendah, berarti terjadi penghambatan pertumbuhan sel yang sejalan dengan penghambatan terhadap pembentukan solasodin di dalam sel. Penambahan ekstrak khamir pada konsentrasi 0,25% menghasilkan produksi solasodin tertinggi dan menunjukkan pola pertumbuhan sel dan kadar solasodin yang sama yaitu solasodin dibentuk pada kalus yang aktif tumbuh. Pada tahap dimana terjadi aktivitas
pembelahan sel terjadi sangat aktif dengan pertumbuhan sel yang tinggi diikuti dengan pembentukan solasodin yang tinggi. berarti terjadi sisitem yang berkesinambungan yaitu pertama adalah sistem yang dapat mempertahankan aktivitas pertumbuhan sel yang tinggi untuk memproduksi massa sel semaksimal mungkin dan yang kedua adalah sistem yang dapat menjamin biotransformasi seluruh senyawa prekursor dan senyawa-senyawa perantara yang dibentuk dalam proses pertama untuk metabolit sekunder (Toruan et al., 1990). Sedangkan penambahan konsentrasi ekstrak khamir pada konsentrasi yang tinggi 0,5% dan 1% terjadi penurunan produksi solasodin. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Barz et al. (1990) terjadinya penurunan kandungan metabolit sekunder pada pemberian elisitor kemungkinan disebabkan pada konsentrasi elisitor yang tinggi seluruh reseptor yang mengenali komponen elisitor telah terisi jenuh dengan elisitor sehingga penambahan molekul elisitor yang diberikan tidak dapat mempengaruhi lagi peningkatan kadar solasodin. Tingginya produksi dan kadar solasodin yang dihasilkan pada perlakuan konsentrasi ekstrak khamir 0,25% diduga disebabkan oleh peningkatan sintesis dan aktivitas enzim UDPglucosesolasodin glucosytransferase atau UDPglucosediosgenin glucosytransferase yang berperan dalam mengkatalisis prekursor dalam biosintesis solasodin (Kalinowski et al., 2005). Meningkatnya produksi dan kadar solasodin dengan penambahan ekstrak khamir
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128
262
tidak terlepas dari peranan elisitor terhadap proses pembentukan metabolit sekunder dengan melalui mekanisme proses pertahanan tanaman yaitu tanaman dan elisitor sebagai pathogen berinteraksi melalui dinding sel, kemudian akan menghasilkan metabolit yang melepaskan sinyal sebagai elisitor endogen. Elisitor ini ditangkap oleh reseptor plasma membran, kemudian akan merubah potensial plasma membran yang mengaktivasi NADPH oksidase untuk merespon reaktiv oxygen spesies (ROS) yang akan menghasilkan anion superoksida dan H2O2 yang bertindak sebagai second messenger yang membawa sinyal ke inti sel sehingga menghasilkan gen pertahanan, meningkatkan respon biosintesis metabolit sekunder protease inhibitor dan protein prolin (Apostol et al., 1989; Ali et al., 2007). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa elisitor ekstrak khamir efektif dan berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus dan produksi solasodin dengan menghasilkan pertumbuhan kalus, kadar dan produksi solasodin tertinggi pada konsentrasi ekstrak khamir 0,25%. Saran Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa ekstrak khamir sangat potensi untuk memproduksi solasodin, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengkombinasikan berbagai jenis prekursor pada tumbuhan yang sama atau pada tumbuhan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA ALi, M.B., E. Han and K. Paek. 2007. Methyl Jasmonate and Salicylic Acid Induced Oxidattive Stress and Accumulation of Phenolics in Phanax gingseng Bioreactor Root Suspension Cultures, J. Molecules. (12):607-621.
.Aphostol, J. PF. Heinstein, and PS. Low. 1989. Rapid Stimulation of an Oxidative Burst During Elisitation of Cultured Plant Cells. J. Plant Physiol. 90: 109-116. Balandrin MF and JA. Klocke. 1988. Medicinal, aromatic and industrial material from Plants. In: Bajaj YPS (Editor). Biotecnology in Agriculture and Forestry. 4th ed. Berlin: Springer verlag. p. 75-95. Barz, W., W. Bless., G. Borger-Papendorf., W. Gunia., U.Makenborck., D.Meier., C.H. Otto., and E. Super. 1990 Phytoalexin as the part of induced defense reaction in plant: Their elitation, function and metabolis. In: Bioactive compound of plants (Ciba Foundation Symposium 154). Wiley. Hichester.p. 141-156. Darwati, Ireng, 2007, Kultur Kalus dan Kultur Akar Rambut Purwoceng (Pimpinella pruatjang Molk.) Untuk menghasilkan Metabolit Sekunder, Disertasi (Tidak dipublikasikan), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 162 halaman. Fukomoto,J.,T. Yamamoto., D.Tsuru and K. Tchikawa. 1998 Effect of nitrogen source. Proceedings of the international symposium on enzyme chemistry. Tokyo and Kyoto. Pergamon Press. Los Angeles. P. 479-482. Funk, C., K. Gugler and P. Bordelius. 1997. Increased Secondary Product Formation In Plant Cell Suspension Cultures After Treatmaent With A Yeast Carbohidrate Preparation (Elicitor). J. Phytochem. 26(2): 401-405. Gardner, F.P., R. B. Pearce, and R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Diterjemahkan ole Susilo, H. UI-Press. Jakarta. 428 hal. Gerats, A., H.Haring, E. Jacobsen, Koornneef, Puite, W.J. Stiekema, P.C. Struik, L. Visser, M. Valk and L.V.V. Doting. 1991. Biotechnological Innovation Crop
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128
263
Improvement. Boston: Heine Mann. p.27-32.
Butterworth
Heble, M.R. 1996. Production Of Secondary Metabolit Through Tissue culture And Its Prospects For Commercial Use. In Islam A.S. (ed). Plant Tissue Culture . New Delhi: Sciene Publisher 10 (3): 1215. Hendaryono, D.P.S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif modern, Kanisius. Jogjakarta. 139. Halaman. Ibrahim, A., Ibrahim, Abd El Kawi, Mostafa, Nower, Ahmed, Abdel Motaal, Amira and Abd El Aal, Asma. 2009. Alkaloid Production And Organogenesis From Callus Of Hyoscyamus muticus L. In vitro. J.Applied Sci.Res 5 (1): 82-87. Indrayanto.G, 1991.,Pengaruh Fosfat, Kolesterol dan Beberapa Elisitor Terhadap Kandungan Hekogenin pada Kultur Agave amaniensis Seminar Kalus Nasional Metabolit Sekunder, Universitas Gajah Mada, Yokyakarta. Hal. 7-11. Kalinowski, M., J.P. Zimowski and Acedil, Czkowskic, Z.A. Wojciechowski. 2005. The Formation Of Sugar Chains Tritepenoid Saponins And Glycoalkaloids, Phytocem. Rev 4: 237257. Kurz,
W.G.W. dan F. Constabel. 1991. Production and Isolation of Secondary Metabolites. in Wetter L.R. Dan F Constabel (Ed). Plant Tissue Culture Methods. Translator: Widianto dan B. Mathilda. Bandung. Publisher ITB.
Murashige, T. 1974. Plant Propagation Through Tissue Culture. Ann. Rev. Plant Physiol. 25: p.135-166.
Purwaningsih, W. dan Y. Hamdiyati. 2008. Metode Elisitasi menggunakan Ragi Sacharomyces cereviceae H. untuk Meningkatkan Kandungan Bioaktif Kuinon Kalus Morinda citrifolia L. (Mengkudu). Prodi Biologi, Jurusan Pendidikan Biologi FP-MIPA Universitas Pendidikan Indonesia. 14 hlm. Pasqualli, G., O. J. M. Goddijn., A. De Wal., R. Verpoorte., R. A. Schrilperoot., J. H. C. Hoge., J. Memelink, 1992, Coordinated regulation of two indole alkaloid biosynthetic genes from Catharantus roseus by auksin and elicitors,. Plant Mol. Biol., 1 : 1121-1131. Taiz,
and Zeiger. 2002. Plant Physiology, Sinauer Associates, Inc. U.S.A.
Toruan, N., S. Soleh.,L. Winata., dan D. Sastradipradja. 1990. Pengaruh 2,4-D, Kolesterol dan Radiasi Co-60 Terhadap Pertimbuhan dan Kandungan Diosgenin dalan kultur jaringan Costus speciosus. Yoshikawa, M. and K. Sugimoto, 1993. A specific binding site on soybean membrane for a phytolexin elicitor released from fungal cell walls by β-1,3endoglucanase. Plant Cell Physiol. 34:1163-1173. Wetter, L.R., F. Constable. 1991. Plant tissue culture method. Section Prairie Regional Laboratory Saskatcon, Sakachewan, Canada. Edisi Kedua. Widianto B. Mathilda, Achmadi Sumidar (penerjemah). 1991. Metode kurtur jaringan tanaman, ITB. Bandung. P. 910. Wijayani, A. 2002. Pertumbuhan Kentang Pada Berbagai Intensitas Cahaya Dan Konsentrasi Benzil Amino Purin. Agrivet 5 (2): 98-104.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 03 September 2011, ISSN 0854-0128