PRODUKSI ETANOL DARI HIDROLISAT FRAKSI SELULOSA TONGKOL JAGUNG OLEH Saccharomyces cerevisiae
Oleh : HENDRO SUBEKTI F34102014
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRODUKSI ETANOL DARI HIDROLISAT FRAKSI SELULOSA TONGKOL JAGUNG OLEH Saccharomyces cerevisiae
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : HENDRO SUBEKTI F34102014
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PRODUKSI ETANOL DARI HIDROLISAT FRAKSI SELULOSA TONGKOL JAGUNG OLEH Saccharomyces cerevisiae
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: HENDRO SUBEKTI F34102014
Dilahirkan di Pekalongan, 12 April 1984
Tanggal lulus : 17 November 2006 Disetujui, Bogor, Desember 2006
Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi Dosen Pembimbing
Hendro Subekti. F34102014. Produksi Etanol dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol Jagung oleh Saccharomyces cerevisiae. Di bawah bimbingan Titi Candra Sunarti. RINGKASAN Jagung merupakan hasil pertanian yang sudah banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri maupun pangan. Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 12.523.894 ton (Anonima, 2006). Namun pemanfaatan jagung terbatas pada bijinya saja, sedangkan bagian-bagian lain seperti tongkol dan kulit (kelobot) belum dimanfaatkan secara optimal. Tongkol jagung merupakan salah satu limbah lignoselulosik yang mengandung 40 persen selulosa (Irawadi, 1990). Selulosa dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme. Kapang Trichoderma viride menghasilkan enzim selulolitik yang dapat mengkonversi selulosa menjadi gula-gula sederhana bagi pertumbuhannya. Selulosa juga berpotensi untuk dijadikan bahan baku dalam memproduksi etanol melalui biokonversi oleh mikroorganisme seperti Saccharomyces cerevisiae. Salah satu kendala dalam memproduksi etanol dari bahan lignoselulosik adalah perlakuan pendahuluan yang mahal seperti delignifikasi, pemisahan selulosa dari bahan lain dan hidrolisis. Tujuan penelitian ini adalah menentukan keterkaitan penggunaan jenis substrat pada fermentasi etanol terhadap parameter fermentasi seperti pembentukan CO2, biomassa, kadar etanol, total asam dan pH serta menentukan keterkaitan konsumsi substrat terhadap produk atau biomassa pada masing-masing substrat. Pada penelitian ini, proses delignifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan NaOCl 1 persen, sedangkan pemisahan selulosa dari komponen lain seperti hemiselulosa menggunakan pelarut alkali yaitu NaOH 15 persen. Proses hidrolisis fraksi selulosa dilakukan dengan hidrolisis asam dan enzim. Pada hidrolisis asam digunakan HCl 1,5 persen selama 3 jam pada suhu 121°C, sedangkan hidrolisis enzim dilakukan dengan menumbuhkan kapang selulolitik Trichoderma viride ke substrat selulosa dalam bentuk kultivasi media padat. Fermentasi etanol dilakukan terhadap substrat hidrolisat asam dan enzim dengan pembanding sirup glukosa, pada konsentrasi substrat 10 persen dan lama fermentasi 60 jam. Selama fermentasi, dilakukan pengukuran laju pembentukan CO2. Pada awal dan akhir fermentasi dilakukan analisa total gula, gula pereduksi, pH, biomassa, total asam dan kadar ethanol. Selain itu, juga dilakukan perhitungan parameter kinetika fermentasi (Yx/s, Yp/s, and ds/s) pada akhir fermentasi. Pada hidrolisis asam, dihasilkan total gula 1,72 persen sedangkan hidrolisis enzim 3,39 persen. Berdasarkan hasil pengukuran laju pembentukan CO2, laju fermentasi pada semua substrat mengalami peningkatan yang lambat pada 6 jam pertama. Pada jam berikutnya laju fermentasi meningkat lebih cepat kemudian menurun sampai akhirnya berhenti. Rata-rata laju fermentasi berlangsung lebih tinggi pada rentang waktu fermentasi antara jam ke-18 sampai 30 kemudian mengalami penurunan pada jam berikutnya. Peningkatan biomassa terbesar terjadi
ii
pada fermentasi sirup hidrolisat enzim yaitu 1,2 g/l sedangkan yang terkecil terjadi pada sirup glukosa yaitu 0,3 g/l. Selama fermentasi terjadi penurunan pH. Penurunan pH sirup hidrolisat enzim lebih kecil daripada sirup hidrolisat asam meskipun total asam yang terbentuk jauh lebih besar yaitu 0,3 persen yang mengalami penurunan dari 4,8 menjadi 3,41 sedangkan sirup hidrolisat asam yaitu dari 4,8 menjadi 2,59 dengan total asam 0,14 persen. Berdasarkan hasil analisa total gula dan gula pereduksi, diketahui bahwa konsumsi substrat tertinggi terjadi pada fermentasi sirup hidrolisat enzim sedangkan konsumsi substrat terendah terjadi pada fermentasi sirup glukosa. Kadar etanol tertinggi diperoleh dari fermentasi sirup hidrolisat enzim yaitu 14,22 g/l lebih tinggi dari fermentasi sirup glukosa yaitu 8,52 g/l sedangkan kadar terendah diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup hidrolisat asam yaitu 2,42 g/l. Yield biomassa (Yx/s) terbesar diperoleh dari fermentasi sirup hidrolisat asam dengan nilai 0,017 sedangkan (Yx/s) terkecil sirup glukosa dengan nilai 0,008. Yield produk (Yp/s) terbesar diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup glukosa dengan nilai 0,224 sedangkan (Yp/s) terkecil diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup hidrolisat asam dengan nilai 0,042. Efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) tertinggi diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup hidrolisat enzim sebesar 92,08 persen, sedangkan (ds/s) terkecil diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup glukosa yaitu 38,12 persen.
iii
Hendro Subekti. F34102014. Ethanol Production from Cellulose Fraction Hydrolyzate of Corncob by Saccharomyces cerevisiae. Supervised by Titi Candra Sunarti. SUMMARY Corn is a crop which is widely used to meet both food and industrial needs. Corn production in Indonesia on 2005 is 12,523,894 ton (Anonima, 2006). Generally, the use of this crop is not maximal yet. It is limited on the use of corn seeds, but corncob and corn stover is not used optimally yet. Corncob is one of lignocellulotic waste material containing 40 percent of cellulose (Irawadi, 1990). Cellulose can be used as a carbon source in growth process of microorganism. Trichoderma viride produces cellulotic enzyme which has capability to convert cellulose into simple sugars. Cellulose is also potential to be used as a main substrate on ethanol production through bioconversion process by microorganism such Saccharomyces cerevisiae. The obstacle on producing ethanol through that process is costly in the preliminary treatment, such as delignification, cellulose separation from other material, and hydrolysis process. The objectives of this research are to determine the correlation of using variety substrates for ethanol fermentation process toward the fermentation parameters, such as CO2 formation, biomass, ethanol concentration, total acids and pH. Also to determine the correlation of substrate consumption to the product or biomass formation for each substrate. On this research, delignification process was conducted by using a percent NaOCl solution. While, cellulose separation from other components, like hemicellulose, using alkali solution that is 15 percents NaOH. The hydrolysis of cellulose fraction was conducted through acid and enzymatic hydrolysis. Acid hydrolysis was conducted by the treatment of 1.5 percent HCl for 3 hours of autoclaving on 121oC and 1 kg/m2 of pressure. Enzymatic hydrolysis was conducted by using Trichoderma viride. This microorganism was grown on the cellulose substrate in solid-stated cultivation. Ethanol fermentation were conducted on submerged cultivation of acid and enzymatic hydrolyzates, and technical glucose fermentations for 60 hours and the CO2 formation rate was measured. Total sugar, reducing sugar, pH, Δbiomass, total acid, ethanol concentration were determined on the initial and final of fermentation stages. Fermentation yields parameters (Yx/s, Yp/s, and ds/s) were determined on the final of fermentation stages. The result showed that acid hydrolysis and enzymatic hydrolysis of cellulose produced hydrolyzates contained 1.72 and 3.39 percent of total sugar, respectively. Based on the formation rate of CO2, fermentation rate in all substrates increased slowly on the first 6 hours. On the next hours, fermentation rate increased faster and then decreased until constant. The average rate of fermentation was higher during 18-30 hours and then decreased. The highest biomass was gained from the fermentation of enzymatic hydrolyzate that is 1.2 g/l. While, the lowest one was from the syrup of technical glucose that is 0.3 g/l. During fermentation process, the pH was changed and tend to from decrease. The
iv
declining of pH enzymatic hydrolyzate was smaller than acid hydrolyzate thought total acid which has been formed was higher that is 0.3 percent. The pH of enzymatic hydrolyzate was dropped from pH 4.8 to pH 3.41. While, the acid hydrolyzate was dropped from pH 4.8 to pH 2.59 with 0.14 percent of total acid. Total sugar and reducing sugar analysis showed that the highest substrate consumption was on the fermentation of enzymatic hydrolyzate, while the lowest one was on technical glucose. The higher ethanol concentration could be gained from the fermentation of enzymatic hydrolyzate that is 14.22 g/l. while ethanol concentration of technical glucose fermentation was 8.52 g/l. The lowest ethanol concentration was on the fermentation of acid hydrolyzate that is 2.42 g/l. The higher biomass yield (Yx/s) was resulted from fermentation of acid hydrolyzate that is 0.017. While the lowest one is 0.008 on the fermentation of technical glucose. The higher product yield (Yp/s) was resulted from fermentation of technical glucose that is 0.224 while the lowest one was 0.042 on the fermentation of acid hydrolyzate. The higher of the use of substrate efficiency (ds/s) was 92.08 percent that was found on the fermentation of enzymatic hydrolyzate, while the lowest one was found on the fermentation of technical glucose that is 38.12 percent.
v
SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarbenarnya bahwa skripsi dengan judul “ Produksi Etanol dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol Jagung Oleh Saccharomyces cerevisiae” adalah hasil karya asli saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Desember 2006 Yang membuat pernyataan,
Hendro Subekti F34102014
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 12 April 1984 dari ayah bernama Kasmuri dan ibu bernama Ruliyah. Penulis merupakan anak terakhir dari enam bersaudara. Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1990 di Sekolah Dasar Negeri Legokclile I dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1996 sampai 1999 penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Bojong, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Kajen dari tahun 1999 sampai 2002. Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikannya pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Penulis melakukan praktek lapang di Pabrik Gula Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah. Penulis mengakhiri masa studi di IPB setelah menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Produksi Etanol dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol Jagung Oleh Saccharomyces cerevisiae”.
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Produksi Etanol dari Hidrolisat Fraksi Selulosa Tongkol Jagung Oleh Saccharomyces cerevisiae” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih tak terhingga penulis tujukan kepada : 1. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi yang telah banyak memberikan bimbingan dan petunjuk. 2. Ir. Andes Ismayana, MT dan Prayoga Suryadarma, STP, MT selaku dosen penguji dalam ujian skripsi. 3. Bapak dan Ibu yang dengan penuh kasih sayang dan kesabaran memberikan bantuan moril dan materil untuk penyelesaian masa studi penulis. 4. Para laboran Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah banyak membantu. 5. Teman-teman seperjuangan (Ferry, Sita, Juari) yang telah memberikan masukan dan semangat kepada penulis. 6. Teman-teman Ar-rohman (Ipul, Farik, Dede, Arim, Makki, Parmadi, Rohmat, Farhan, Faslur dan sebagainya) yang telah memberikan masukan dan semangat kepada penulis. 7. Semua pihak yang telah membantu terselenggaranya penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi sempurnanya skripsi ini. Bogor, Desember 2006
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ........................................................................... 1 B. TUJUAN ................................................................................................ 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3 A. TANAMAN JAGUNG .......................................................................... 3 B. SELULOSA............................................................................................ 6 C. DELIGNIFIKASI LIMBAH LIGNOSELULOSA ................................ 7 D. PEMISAHAN (EKSTRAKSI) HEMISELULOSA ............................... 8 E. HIDROLISIS ASAM ............................................................................. 9 F. HIDROLISIS ENZIM............................................................................. 12 G. FERMENTASI ETANOL ...................................................................... 13 III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 17 A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................ 17 B. METODE PENELITIAN ....................................................................... 18 1. Tahapan Penelitian ............................................................................ 18 a. Karakterisasi Substrat ................................................................... 18 b. Penentuan Keterkaitan Jenis Substrat Terhadap Parameter Fermentasi .................................................................................... 20 c. Penentuan Keterkaitan Konsumsi Substrat dengan Produk atau Biomassa ...................................................................................... 21 2. Prosedur Penelitian ........................................................................... 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 24 A. KARAKTERISTIK SUBSTRAT ......................................................... 24 1. Karakteristik Tongkol Jagung ............................................................24
ix
2. Karakteristik Bahan Hasil Delignifikasi .............................................24 3. Karakteristik Bahan Hasil Pemisahan Fraksi Selulosa .......................25 4. Karakteristik Hidrolisat ......................................................................26 B. KETERKAITAN JENIS SUBSTRAT TERHADAP PARAMETER FERMENTASI...............................................................28 1. Laju Pembentukan CO2 ..................................................................... 29 2. Biomassa ............................................................................................ 33 3. Kadar etanol ....................................................................................... 34 4. Total Asam dan pH ........................................................................... 34 C. KETERKAITAN KONSUMSI SUBSTRAT DENGAN PRODUK ATAU BIOMASSA ................................................................................36 V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. .38 A. KESIMPULAN ...................................................................................... .38 B. SARAN ...................................................................................................38 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 40 LAMPIRAN ....................................................................................................... 44
x
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Tanaman jagung (Zea mays L) ............................................................ 3 Gambar 2. Pohon industri jagung ......................................................................... 4 Gambar 3. Rumus bangun selulosa (Achmadi, 1989) .......................................... 6 Gambar 4. Skema reaksi terbentuknya HMF dari selulosa pada saat hidrolisis asam (Ulbricht et al., 1984) ................................................ 10 Gambar 5. Mekanisme reaksi hidrolisis selulosa oleh asam (Humprey, 1979) .... 11 Gambar 6. Mekanisme reksi hidrolisis selulosa secara enzimatis (Enari, 1983) .. 13 Gambar 7. Skema fermentasi glukosa menjadi alkohol (Embden MeyerhofParnas Pathway) (Paturau, 1969) ......................................................... 16 Gambar 8. Tahapan penelitian ............................................................................. 18 Gambar 9. Skema pengukuran laju pembentukan CO2......................................... 20 Gambar 10. Diagram alir proses fermentasi etanol ............................................. . 23 Gambar 11. Neraca massa ..................................................................................... 27 Gambar 12. Grafik laju rata-rata pembentukan CO2 selama fermentasi sirup glukosa, hidrolisat asam, dan hidrolisat enzim ....................... 30 Gambar 13. Grafik total asam dan pH cairan fermentasi ...................................... 35
xi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Karakteristik dan komposisi tongkol jagung .......................................... 5 Tabel 2. Hasil analisis proksimat tongkol jagung manis ...................................... 24 Tabel 3. Komposisi kimia tongkol jagung sebelum dan setelah delignifikasi ...... 25 Tabel 4. Komposisi kimia tongkol jagung setelah delignifikasi dan setelah separasi selulosa ...................................................................................... 25 Tabel 5. Hasil analisis total gula dan gula pereduksi ............................................ 26 Tabel 6. Hasil analisis total biomassa, kadar etanol, total asam dan pH pada akhir fermentasi jam ke-60 ...................................................................... 33 Tabel 7. Perbandingan parameter akhir fermentasi jam ke-60 ............................. 36
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur analisis kimia tongkol jagung ............................................ 44 Lampiran 2. Prosedur hidrolisis fraksi selulosa tongkol jagung ........................... 47 Lampiran 3. Prosedur analisis parameter fermentasi ............................................ 49 Lampiran 4. Diagram alir penelitian proses produksi etanol dari hidrolisat fraksi selulosa tongkol jagung. ......................................................... 52 Lampiran 5. Perhitungan kadar etanol .................................................................. 53 Lampiran 6. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 selama fermentasi .......... 54 Lampiran 7. Hasil analisis total gula, gula pereduksi, biomassa, total asam dan pH akhir fermentasi ................................................................... 55 Lampiran 8. Kromatogram etanol hasil fermentasi............................................... 56
xiii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai negara pertanian banyak memproduksi hasil pertanian untuk tujuan komersial sebagai bahan baku industri. Kegiatan ini menghasilkan banyak limbah yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Diantara bahan limbah yang jumlahnya besar adalah limbah lignoselulosik seperti tongkol jagung, sekam, jerami dan sebagainya. Jagung merupakan hasil pertanian yang sudah banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri maupun pangan. Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2004 mencapai 11.225.243 ton dan meningkat 12.523.894 ton pada tahun 2005 (Anonima, 2006). Menurut Irawadi (1990), buah jagung terdiri dari 30 persen limbah berupa tongkol. Potensi tongkol jagung di Indonesia sebesar 30 persen yaitu 3,757 juta ton pada tahun 2005. Jumlah ini adalah potensi yang besar dan harus dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat meningkatkan nilai tambah limbah tersebut serta tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Tongkol jagung merupakan bagian dari buah jagung yang telah diambil bijinya. Menurut Irawadi (1990) tongkol jagung mengandung 40 persen selulosa, 36 persen hemiselulosa, 16 persen lignin dan 8 persen zat-zat lain. Sebagian dari limbah tongkol jagung umumnya dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan bahan bakar. Garrote et., al (2002) sudah melakukan penelitian pemanfaatan tongkol jagung untuk produksi bahan pemanis seperti xilooligosakarida yaitu dengan memanfaatkan fraksi hemiselulosa (xilan). Richana (2002) juga memanfaatkan xilan yang dihasilkan dari ekstraksi tongkol jagung sebagai media tumbuh mikroorganisme untuk produksi xilanase. Selain xilan, ekstraksi ini juga menghasilkan hasil samping berupa fraksi selulosa. Fraksi selulosa sebagai komponen terbesar dari tongkol jagung dan merupakan hasil samping ekstraksi hemiselulosa, belum dimanfaatkan lebih lanjut. Fraksi selulosa tongkol jagung sebenarnya dapat dijadikan salah satu bahan baku alternatif sebagai sumber karbon untuk memproduksi etanol, yaitu
2
dengan jalan menghidrolisis baik secara asam maupun enzimatis menjadi gula-gula sederhana terutama heksosa (glukosa dan manosa). Etanol diproduksi dengan memfermentasikan suatu bahan menggunakan mikroorganisme yang dapat mengkonversi bahan tersebut menjadi alkohol. Salah satu mikroorganisme yang biasa digunakan untuk memproduksi etanol adalah Saccharomyces cerevisiae. Pada umumya kesulitan produksi alkohol dari bahan lignoselulosik seperti tongkol jagung adalah adanya perlakuan awal yang mahal seperti penghilangan lignin, pemisahan komponen dan hidrolisis sebelum fermentasi. Dengan menggunakan perlakuan hidrolisis yang tepat, glukosa dapat diperoleh dengan tingkat konversi yang lebih tinggi. Dengan demikian proses konversi bahan lignoselulosik menjadi jauh lebih ekonomis (Tsao et al., 1978). Melihat kondisi bahan baku yang potensial dan pemanfaatan fraksi selulosa dari tongkol jagung yang kurang optimal serta adanya metode hidrolisis yang berbeda, maka diperlukan penelitian mengenai produksi etanol dari hidrolisat fraksi selulosa tongkol jagung. B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menentukan keterkaitan penggunaan jenis substrat pada fermentasi etanol terhadap parameter fermentasi seperti pembentukan CO2, biomassa, kadar etanol, total asam dan pH. 2. Menentukan keterkaitan konsumsi substrat terhadap pembentukan produk atau biomassa pada masing-masing substrat.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN JAGUNG Tanaman jagung (Zea mays L.) termasuk dalam famili rumput-rumputan (Gramineae). Tanaman ini di Indonesia sudah dikenal sejak 400 tahun lalu, yang pertama kali dibawa oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Jagung merupakan tanaman penting kedua setelah padi yang sebagian besar ditanam di pulau Jawa, terutama di Jawa Timur.
Gambar 1. Tanaman jagung (Zea mays L) Klasifikasi tanaman jagung (Zea mays L) Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Graminales
Suku
: Graminaeae
Marga
: Zea
Jenis
: Zea mays L.
Deskripsi : Tanaman jagung (Zea mays L) merupakan tanaman berumpun, tegak, tinggi ±1,5 m. Batang bulat masif, tidak bercabang, pangkal batang berakar, berwarna kuning atau jingga. Daun tunggal, berpelepah, bulat panjang, ujung
4
runcing, tepi rata, panjang 35-100 cm, lebar 3-12 cm, berwarna hijau. Bunga majemuk, berumah satu, bunga jantan dan betina berbentuk bulir, bunga terletak di ujung batang dan di ketiak daun, benang sari ungu, bakal buah berbentuk bulat telur, berwarna putih. Buah berbentuk tongkol, panjang 8-20 cm, hijau kekuningan (Anonimb, 2006). Jagung mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi beragam macam produk. Produk turunan potensial yang bisa dihasilkan dari komoditas jagung disajikan pada Gambar 2.
Daun
Pakan Kompos
Kulit / kelobot
Pakan Kompos Industri rokok Grit
Tanaman Jagung
Buah Jagung
Batang
Jagung pipilan
Pakan Kompos
Tepung
Pakan Pangan Bahan Baku Industri
Pati
Pakan Pangan Bahan Baku Industri
Lembaga
Minyak
Kulit ari
Bahan Baku Industri
Tongkol
Pakan Pulp Kompos Bahan bakar
Rambut
Kompos
Pakan Pulp Kertas Bahan bakar
Gambar 2. Pohon industri jagung (Anonim, 2005)
5
Garrote et al., (2002), menyatakan bahwa limbah buah jagung yaitu tongkol jagung dapat dimanfaatkan juga sebagai bahan baku industri dengan proses biomass refining berdasarkan separasi fraksi-fraksi kimianya. Menurut Irawadi (1990) tongkol jagung mengandung selulosa 40 persen (b.k), hemiselulosa 36 persen (b.k), lignin 16 persen (b.k) dan zat-zat lainnya 8 persen (b.k). Dengan komposisi kimia seperti ini maka tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi, bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroorganisme (Tabel 1). Selulosa adalah homopolisakarida dengan glukosa sebagai monomernya dan juga merupakan molekul organik yang terdapat pada tumbuhan, sedangkan hemiselulosa merupakan heteropolimer kompleks yang memiliki kandungan utama xilosa dan juga sejumlah arabinosa, manosa, glukosa dan galaktosa (Burchardt dan Ingram, 1992). Fengel dan Wegener (1995) menyebutkan bahwa selain arabinosa, manosa dan glukosa,
beberapa
hemiselulosa juga mengandung galaktosa dan senyawa tambahan yaitu asam uronat. Lignin merupakan bahan organik bukan karbohidrat yang berbentuk amorf dan tersusun atas satuan-satuan fenol (Chang et al., 1981). Salah satu mikroorganisme yang mampu memanfaatkan selulosa untuk pertumbuhannya adalah kapang Trichoderma viride. Kapang ini menghasilkan enzim selulotik yang sangat efisien, terutama enzim yang mampu mengkatalisis reaksi hidrolisis kristal selulosa (Kosaric et al., 1983). Menurut Novianti (2004), tongkol jagung dari varietas yang berbeda mempunyai kandungan komponen kimia yang berbeda-beda pula. Tabel 1. Karakteristik dan komposisi tongkol jagung Kandungan
(%)
Moisture 9,6 Selulosa 41 Hemiselulosa 36 Xilan 30 Lignin 6 Pektin 3 Pati 0,014 Sumber: Johnson (1991)
Jumlah Nutrisi Protein, N x 6.25 Lemak, eter, dll Serat kasar Abu Ekstrak Nitrogen bebas Neutral detergent fiber Total nutrien dapat dicerna
(%) 2,5 0,5 32 1,5 53,5 83 42
6
B. SELULOSA Selulosa adalah polimer glukosa yang membentuk rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa berasosiasi dengan polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple, 1993). Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut sebagai lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa dan lignin dihasilkan dari proses fotosintesis. Pada saat yang sama, komponen-komponen utama penyusun tanaman
ini
diuraikan
oleh
aktifitas
mikroorganisme.
Beberapa
mikroorganisme mampu menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri dan fungi (Enari, 1983). Rantai selulosa terdiri dari satuan glukosa anhidrida yang saling berikatan melalui atom karbon pertama dan keempat. Ikatan yang terjadi adalah ikatan ß-1,4-glikosidik. Rumus bangun selulosa ditunjukkan pada Gambar 3.
CH2OH H O
CH2OH
O OH O
H OH
H H
O
O OH O
H
H
OH
O n
Gambar 3. Rumus bangun selulosa (Achmadi, 1989) Secara alamiah molekul-molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibrilfibril yang terdiri dari beberapa molekul selulosa yang dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Fibril-fibril ini membentuk struktur kristal yang dibungkus oleh lignin. Komposisi kimia dan struktur yang demikian membuat kebanyakan bahan yang mengandung selulosa bersifat kuat dan keras. Sifat kuat dan keras yang dimiliki oleh sebagian besar bahan berselulosa membuat
7
bahan tersebut tahan terhadap peruraian secara enzimatik. Secara alamiah peruraian selulosa berlangsung sangat lambat (Fan et al., 1982). Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomi yang lebih tinggi seperti glukosa, etanol dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis secara asam/basa (Ariestaningtyas, 1991). C. DELIGNIFIKASI LIMBAH LIGNOSELULOSA Limbah lignoselulosik merupakan bahan yang mengandung lignin, hemiselulosa dan selulosa. Fungsi lignin adalah mengikat sel-sel tanaman satu dengan lainnya dan sebagai pengisi dinding sel sehingga dinding sel tanaman menjadi keras, teguh dan kaku (Dellweg, 1983). Ingram dan Doran (1995) menyatakan bahwa selulosa dan hemiselulosa tidak dapat dikonversi secara langsung karena berasosiasi dengan lignin. Menurut Fridia (1989), proses delignifikasi merupakan perlakuan pendahuluan terhadap bahan baku sehingga mempermudah pelepasan hemiselulosa. Proses ini berfungsi untuk membersihkan lignin. Berbagai perlakuan pendahuluan atau delignifikasi dapat dilakukan seperti fisik (penggilingan, pemanasan dengan uap, radiasi atau pemanasan dengan udara kering) dan kimia (pelarut, larutan pengembang, gas SO2). Foody et al., (1999) menyatakan bahwa perlakuan pendahuluan dapat dilakukan dengan mengkombinasikan antara perlakuan fisik dan kimia. Perlakuan fisik seperti penggilingan, tekanan, pengepresan dan sebagainya sedangkan kimia seperti penggunaan panas, pelarut dan asam. Hidrolisis bahan lignoselulosik dapat dilakukan dengan asam atau enzim. Perlakuan awal terhadap substrat lignoselulosik diperlukan agar substrat mudah bereaksi dengan asam atau enzim. Perlakuan awal yang efisien harus dapat membebaskan struktur kristal selulosa dengan memperluas daerah amorf serta membebaskan dari lapisan lignin. Menurut Casey (1952) bahan yang telah dikenai proses delignifikasi selain mengalami penyusutan kandungan ligninnya, juga mengalami penyusutan kandungan selulosa dan hemiselulosa.
8
D. PEMISAHAN (EKSTRAKSI) HEMISELULOSA Ekstraksi adalah metode yang digunakan untuk mengeluarkan suatu komponen campuran dari zat padat atau zat cair dengan bantuan zat cair pelarut. Menurut Hespell (1998) ekstraksi hemiselulosa dapat menggunakan beberapa pelarut seperti NaOH, NH4OH dan KOH. Di antara ketiga pelarut tersebut, yang paling baik digunakan adalah NaOH. Adapun keuntungannya yaitu xilan yang dihasilkan relatif bersih dari pengotor, mempunyai warna relatif lebih putih dibandingkan dengan pelarut-pelarut lainnya dan mudah larut dalam air (Anggraini, 2003 dan Widyani, 2002). Hemiselulosa memiliki sifat-sifat yaitu tidak tahan terhadap perlakuan panas, strukturnya amorf dan mudah dimasuki pelarut, dapat diekstraksi menggunakan alkali dan ikatannya lemah sehingga mudah dihidrolisis. Berbeda dengan selulosa yang merupakan homopolisakarida, hemiselulosa merupakan heteropolisakarida (Fengel dan Wegener, 1995). Ada tiga jenis selulosa yaitu α-selulosa, ß-selulosa dan γ-selulosa. Alfa selulosa adalah bagian yang tidak larut dalam alkali, ß-selulosa adalah bagian yang larut dalam alkali dan kemudian dapat mengendap jika ditambahkan asam, sedangkan γ-selulosa adalah bagian yang larut dalam alkali dan tetap larut walaupun ditambahkan asam (Fengel dan Wegener, 1995). Selama ekstraksi hemiselulosa, sebagian selulosa ada yang larut terutama ß dan γselulosa. Perlakuan
pendahuluan
terhadap
bahan
baku
umumnya
dapat
menggunakan beberapa cara yaitu dengan pengecilan ukuran bahan, pengeringan atau pelayuan dan fermentasi oleh mikroorganisme. Pengecilan ukuran bertujuan untuk memperluas permukaan bahan. Sabel dan Warren (1994) mengatakan bahwa kehalusan serbuk yang sesuai dapat menyebabkan ekstraksi berlangsung dengan sempurna dan dalam waktu yang singkat. Namun waktu ekstraksi yang terlalu singkat akan memberikan hasil yang rendah, sebab tidak semua bahan yang diharapkan dapat terekstraksi. Semakin lama waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan semakin besar sehingga hasilnya juga bertambah sampai larutan mencapai titik jenuh.
9
E. HIDROLISIS ASAM Menurut Grethlein (1978), konversi selulosa menjadi glukosa dapat dilakukan dengan menggunakan hidrolisis secara asam. Hidrolisis asam dapat dilakukan dengan menggunakan asam pekat H2SO4 72 persen atau HCl 42 persen pada suhu ruang. Selain itu juga dapat dilakukan dengan larutan asam 1 persen pada suhu 100°C sampai 120°C selama 3 jam atau lebih. Menurut Kosaric et al., (1983) hidrolisis asam dapat dikategorikan melalui dua pendekatan umum, yaitu hidrolisis asam konsentrasi tinggi pada suhu rendah dan hidrolisis asam konsentrasi rendah pada suhu tinggi. Namun karena harga asam kuat cukup mahal, hidrolisis selulosa dengan asam konsentrasi tinggi jarang diterapkan secara komersial. Pemilihan antara dua cara tersebut pada umumnya didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu laju hidrolisis, tingkat degradasi, produk dan biaya total proses produksi. Hidrolisis asam konsentrasi tinggi akan lebih ekonomis jika asam dapat diperoleh kembali (recovery). Akan tetapi, asam kuat bersifat korosif, sehingga memerlukan biaya tambahan untuk perawatan alat-alat produksi (Kosaric et al., 1983). Asam yang biasa digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah asam sulfat, asam klorida, atau asam fosfat. Menurut Tsao et al., (1978), hidrolisis asam biasanya dilakukan dalam dua tahap untuk meminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan. Kedua tahap tersebut adalah (1) tahap yang melibatkan asam encer, yaitu 1 persen H2SO4 pada 80-120°C selama 30-240 menit dan (2) tahap yang menggunakan asam lebih keras, yaitu 5-20 persen H2SO4 dan suhu lebih tinggi mendekati 180°C. Tujuan tahap pertama adalah untuk mengekstrak fraksi hemiselulosa khususnya pentosa, sedangkan tahap kedua dilakukan untuk menghidrolisis selulosa membentuk glukosa. Dengan cara tersebut diusahakan suatu kondisi optimum untuk memaksimalkan hasil glukosa dan meminimumkan hasil samping yang tidak diinginkan. Asam adalah katalis non spesifik yang dapat menyerang baik selulosa maupun lignin. Selulosa adalah makromolekul dengan kristalinitas yang sangat kuat, sehingga hanya asam kuat yang dapat menghidrolisis selulosa pada tingkat konversi yang tinggi. Sebagai katalis non spesifik yang sangat
10
reaktif, asam kuat juga menyebabkan degradasi glukosa hasil hidrolisis. (Tsao et al., 1978). Dunlop (1948) juga menambahkan bahwa hidrolisis asam terhadap bahan lignoselulosik pada suhu dan tekanan tinggi xilosa akan terdegradasi menjadi furfural. Lignin akan terdegradasi menjadi satuan-satuan fenol (Lapierre et al., 1983). Menurut Somaatmadja (1973), hidrolisis asam akan menyebabkan terjadinya perubahan warna sirup menjadi kekuningkuningan. Hal ini disebabkan terbentuknya 5(hidroksi metil) furfural. Ulbricht et al., (1984) juga menjelaskan bahwa pada hidrolisis selulosa dengan asam untuk menghasilkan gula, 5-hidroksimetil-2-2 furfuraldehida atau disebut juga hidroksimetilfurfural (HMF) akan terbentuk dari penguraian glukosa pada suasana asam, HMF ini akan terus bereaksi membentuk asam-asam organik seperti asam levulinat dan asam format pada suasana asam dan suhu tinggi. Skema rekasi terbentuknya HMF dari selulosa pada saat hidrolisis asam disajikan pada Gambar 4. Pada umumnya komponen terlarut yang terdapat pada hasil hidrolisis asam adalah xilosa, glukosa, selobiosa, furfuraldehid, hidroksimetilfurfural dan asam-asam organik seperti asam format, asam levulinat serta asam asetat (Tsao et al., 1978). Mekanisme hidrolisis selulosa secara asam dilukiskan pada Gambar 5. Selulosa (C6H10O5)n +
H 2O
Glukosa (C6H12O6) -
3 H2 O
HMF (C6H6O3) + Asam levulinat (C5H8O3)
2 H2O Asam format (HCOOH)
Gambar 4. Skema reaksi terbentuknya HMF dari selulosa pada saat hidrolisis asam (Ulbricht et al., 1984).
11
Somaatmadja (1973), melakukan penelitian proses netralisasi sirup invert dengan menggunakan asam khlorida sebagai katalis dan larutan Na2CO3 sebagai bahan penetral. Hasil netralisasi dengan larutan ini menghasilkan garam NaCl dalam jumlah yang relatif rendah. Oleh karena itu biasanya dibiarkan dalam larutan karena tidak banyak mempengaruhi rasa sirup yang dihasilkan. Netralisasi yang menggunakan Na2CO3
sebagai bahan penetral
menghasilkan garam NaCl yang tetap larut dalam sirup dan menghasilkan H2CO3 yang selanjutnya terurai menjadi H2O dan CO2. Gas CO2 yang dihasilkan harus segera diuapkan untuk mencegah terbentuknya busa pada permukaan sirup. Penambahan Na2CO3 pada proses netralisasi diatur agar pH tidak melebihi 5,0 karena netralisasi di atas pH 5,0 menghasilkan sirup yang berwarna kuning kecoklatan. Pembentukan warna ini disebabkan oleh terbentuknya senyawa hidroksi metil furfural (Somaatmadja, 1973). Proses hidrolisis selulosa secara asam dibagi menjadi lima tahap yaitu pencampuran
selulosa
dan
asam,
hidrolisis,
netralisasi,
pemucatan,
penyaringan dan pemekatan.
CH2OH
CH2OH
CH2OH
H3O+
+
OH
OH OH
CH2OH
OH
OH OH
OH
H+
OH
CH2OH CH2OH
CH2OH
H2O
OH2
OH OH
H+
OH OH
+
OH OH
OH OH
OH
H2O CH2OH
H3O+
+
OH
OH OH OH
Gambar 5. Mekanisme reaksi hidrolisis selulosa oleh asam (Humprey, 1979)
12
F. HIDROLISIS ENZIM Enzim adalah katalis sangat spesifik yang membantu terjadinya reaksireaksi kimia dalam sistem biologis. Selulase adalah enzim yang dapat mengkatalis terjadinya reaksi hidrolisis selulosa menjadi glukosa. Keuntungan hidrolisis enzim dibandingkan hidrolisis asam adalah kondisi reaksi lebih ringan dan tidak terjadi reaksi samping yang berarti. Hidrolisis selulosa dengan enzim merupakan metode yang sangat menarik dan obyek banyak penelitian dalam hal pemanfaatan limbah lignoselulosik (Gong dan Tsao, 1979). Selulase adalah enzim yang diproduksi oleh banyak mikroorganisme. Trichoderma viride adalah kapang yang diisolasi dari tanah yang aktif dalam proses amonifikasi dan dekomposisi selulosa (Pelczar dan Reid, 1974). Mikroorganisme selulolitik mampu menghasilkan selulase kompleks, yaitu suatu campuran beberapa jenis selulase yang berbeda. Selulase kompleks mampu menghidrolisis kristal selulosa menjadi gula-gula terlarut secara efisien (Gong dan Tsao, 1979). Tiga enzim utama yang terdapat dalam selulase kompleks adalah endoglukanase, eksoglukanase, dan selobiase (β-glukosidase). Endoglukanase menghidrolisis ikatan 1,4-ß-glikosidik secara acak pada daerah amorf selulosa mengasilkan
glukosa,
selobiosa
dan
selodekstrin.
Eksoglukanase
menghidrolisis selodekstrin dengan memutus unit selobiosa dari ujung rantai polimer, sedangkan selobiase menghidrolisis selobiosa dan selo-oligosakarida menjadi glukosa (Jeewon, 1997). Mekanisme hidrolisis secara enzimatis dilukiskan pada Gambar 6. Sumarjono (1986) mengatakan bahwa ekstrak selulase dari Trichoderma viride mencapai aktifitas tertinggi pada 50°C dan pH 4,6. Dengan substrat jerami 1 persen dan perlakuan awal delignifikasi I dengan otoklaf dalam larutan NaOH 1 persen serta delignifikasi II metode Alkalin-H2O2, ekstrak selulase dari Trichoderma viride menghasilkan konversi sebesar 12 persen setelah hidrolisis 5 hari.
13
Endo-glukanase Selulosa amorf
Ekso-glukanase
Selulosa rantai pendek
Selobiosa Beta-glukosidase
Glukosa
Gambar 6. Mekanisme reksi hidrolisis selulosa secara enzimatis (Enari, 1983). G. FERMENTASI ETANOL Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik karbohidrat, protein, lemak atau lainnya, melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai enzim dan dihasilkan oleh mikroba spesifik (Prescott dan Dunn, 1981). Etil alkohol (CH3CH2OH) atau etanol sering disebut sebagai alkohol untuk menunjukkan sumber bahan baku yang digunakan atau tujuan umum penggunaannya. Grain alcohols adalah etanol yang dibuat dari biji-bijian seperti jagung, gandum atau beras, sedangkan Industrial alcohols adalah etanol yang dipakai untuk tujuan-tujuan industri (Prescott dan Dunn, 1981). Khamir yang sering digunakan pada proses fermentasi etanol secara industri adalah Saccharomyces cerevisiae, S. uvarum, Schizosaccharomyces sp. dan Kluyveromyces sp. Lachke (2002) menyatakan bahwa sejumlah besar bakteri juga mampu membentuk etanol sebagai produk utama, misalnya Clostridium dan Bacillus (B. macerans). Khamir mampu mengkonsumsi berbagai substrat gula, tergantung spesies yang digunakan. Secara umum, mikroorganisme ini dapat tumbuh dan memfermentasi etanol secara efisien pada pH 3,5-6,0 dan suhu 28-35°C. Walaupun laju awal produksi etanol meningkat pada suhu lebih tinggi, produktifitas keseluruhan menurun karena efek penghambatan etanol
14
meningkat (Ratledge, 1991). Menurut Paturau (1969), fermentasi etanol memakan waktu 30-72 jam. Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan bahwa suhu optimum untuk fermentasi antara 25-30°C dan kadar gula antara 10-18 persen. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi, aktivitas khamir dapat terhambat dan waktu fermentasi menjadi lebih lama serta tidak semua gula dapat difermentasi. Saccharomyces cerevisiae adalah salah satu spesies khamir yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat tinggi. Mikroba ini biasanya dikenal dengan baker’s yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Produk metabolik utama adalah etanol, CO2 dan air, sedangkan beberapa produk lain dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik. Saccharomyces cerevisiae memerlukan suhu 30°C dan pH 4,0-4,5 agar dapat tumbuh dengan baik. Selama proses fermentasi akan timbul panas. Bila tidak dilakukan pendinginan suhu akan terus meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura, 1983). Di samping kondisi lingkungan seperti suhu dan pH, kebutuhan nutrien dan kofaktor juga memegang peranan penting bagi kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan pada proses fermentasi oleh khamir karena oksigen merupakan komponen yang diperlukan dalam biosintesis beberapa asam lemak tidak jenuh. Biasanya diberikan tekanan oksigen 0,050,10 mmHg. Lebih besar dari nilai tersebut, konversi akan cenderung ke arah pertumbuhan sel (Kosaric et al., 1983). Kebutuhan relatif nutrien sebanding dengan komponen utama sel khamir, yaitu mencakup karbon, oksigen, nitrogen dan hidrogen. Pada jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium juga harus tersedia untuk sintesis komponen-komponen minor. Beberapa mineral (Mn, Co, Cu dan Zn) dan faktor pertumbuhan organik (asam amino, asam nukleat dan vitamin) diperlukan dalam jumlah kecil. Substrat yang digunakan untuk memproduksi etanol dalam jumlah besar biasanya mengandung nutrien yang diperlukan untuk pertumbuhan khamir. Dalam beberapa hal, mungkin diperlukan tambahan nutrien dan biasanya ditambahkan dalam bentuk
15
komponen tunggal seperti garam amonium dan potasium fosfat atau dari sumber murah seperti corn steep liquor (Kosaric et al., 1983). Pada
permulaan
proses,
khamir
memerlukan
oksigen
untuk
pertumbuhannya, oleh karena itu perlu diberikan oksigen. Sesudah terjadi akumulasi CO2 dan reaksi berubah menjadi anaerob, alkohol akan menghalangi fermentasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15 persen volume dan biasanya maksimum 13 persen volume. Konsentrasi alkohol akan menghambat fermentasi tergantung pada suhu dan jenis khamir yang digunakan (Prescott dan Dunn, 1981). Pada kondisi anaerobik, khamir memetabolisme glukosa menjadi etanol sebagian besar melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas. Skema fermentasi glukosa menjadi alkohol jalur (Embden Meyerhof-Parnas) disajikan pada Gambar 7. Secara ringkas pembentukan etanol dari glukosa sebagai berikut. C6H12O6
2C2H5OH
(glukosa)
(etanol)
+
2CO2
: H = -31,2 kkal
(karbondioksida)
Setiap mol glukosa terfermentasi menghasilkan dua mol etanol, CO2 dan ATP. Oleh karena itu, secara teoritis setiap g glukosa memberikan 0,51 g etanol. Pada kenyataannya etanol biasanya tidak melebihi 90-95 persen dari hasil teoritis. Hal ini dikarenakan sebagian nutrisi digunakan untuk sintesa biomassa dan memelihara reaksi. Reaksi samping juga dapat terjadi, yaitu terbentuknya gliserol dan suksinat yang dapat mengkonsumsi 4-5 persen substrat (Oura, 1983).
16
ATP
ADP
Glukosa
Fruktosa-6-P
Glukosa-6-P
ATP ADP Fruktosa-1,6-di-P
Dihidroksiaseton fosfat Gliseraldehida-3-P
NADH +H+
NAD+ NADH +H+
NAD+ Gliserofosfat +H2O
Fosfat anorganik
1,3-Difosfogliserat
ADP ATP
3-Fosfogliserat
Gliserol 2-Fosfogliserat H2O ADP
Asam Fosfoenol piruvat
ATP Asam piruvat CO2 NADH +H+ NAD+
Asetaldehida
Etil alkohol
Keterangan : ATP
= Adenin trifosfat
ADP
= Adenin difosfat
NAD
= Nikotinamida adenin dinukleotida
NADP
= Nikotinamida adenin dinukleotida fosfat
NADH
= Nikotinamida adenin dinukleotida tereduksi
Gambar 7. Skema fermentasi glukosa menjadi alkohol (Embden MeyerhofParnas Pathway) (Paturau, 1969).
17
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tongkol jagung manis varietas Hawaii yang diperoleh dari daerah Leuwiliang sedangkan mikroorganisme yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae yang diperoleh dari laboratorium Mikrobiologi Pangan FATETA-IPB Bogor dan kapang Trichoderma viride yang berasal dari Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika, Bogor. b. Bahan Kimia 1. Bahan kimia untuk isolasi selulosa : NaOH 15 persen dan NaOCl 1 persen 2. Bahan kimia /nutrien untuk pertumbuhan : PDA, PDB, pepton, pupuk NPK dan ZA. 3. Bahan kimia untuk analisa : H2SO4 pekat, fenol 5 persen, NaOH 0,1 N, indikator fenolftalein, larutan DNS dan sebagainya. 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: fermentor skala 300 ml (Erlenmeyer 300 ml dan leher angsa), Shaker (inkubator goyang), gelas piala 2000 ml, gelas ukur dan sebagainya.
18
B. METODE PENELITIAN 1. Tahapan Penelitian Mulai Karakterisasi Substrat
Penentuan keterkaitan jenis substrat terhadap parameter pembentukan CO2, biomassa, kadar etanol, total asam dan pH
Penentuan keterkaitan konsumsi substrat dengan produk atau biomassa (Yx/s, Yp/s, ds/s) Selesai Gambar 8. Tahapan penelitian a. Karakterisasi Substrat Pada tahap ini dilakukan persiapan bahan yang meliputi pembuatan tepung tongkol jagung, karakterisasi bahan baku, karakterisasi bahan hasil delignifikasi, karakterisasi bahan hasil pemisahan fraksi selulosa, dan karakterisasi hidrolisat, selain itu juga dilakukan perhitungan neraca massa untuk mengetahui jumlah fraksi selulosa yang dapat diperoleh dari tongkol jagung. 1) Karakterisasi Tongkol Jagung Pada tahap ini dilakukan pengecilan ukuran tongkol jagung dengan ukuran 40 mesh. Selain itu juga dilakukan analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar protein, kadar lignin, kadar selulosa dan kadar hemiselulosa. Prosedur analisis proksimat bahan baku dapat dilihat pada Lampiran 1.
19
2) Karakterisasi Bahan Hasil Delignifikasi Pada tahap ini dilakukan delignifikasi dengan NaOCl 1 persen selama 5 jam pada 28 °C (Anggraini, 2003). Pada tahap ini juga dilakukan analisis bahan hasil delignifikasi yang meliputi kandungan lignin, hemiselulosa dan selulosa. Pengukuran kandungan lignin dilakukan dengan metode (AOAC, 1984) sedangkan hemiselulosa dan selulosa dianalisa dengan metode Van Soest (Apriyantono et al., 1989). Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1. 3) Karakterisasi Bahan Hasil Pemisahan Fraksi Selulosa Pada tahap ini dilakukan pemisahan antara selulosa dan hemiselulosa dengan perendaman dalam NaOH 15 persen selama 24 jam pada 28 °C. Analisis bahan hasil pemisahan fraksi selulosa meliputi
kandungan
hemiselulosa
dan
selulosa.
Pengukuran
kandungan hemiselulosa dan selulosa dilakukan dengan metode Van Soest (Apriyantono et al., 1989). Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1. 4) Karakterisasi Hidrolisat Pada tahap ini dilakukan hidrolisis terhadap fraksi selulosa secara asam dan enzimatis. Metode hidrolisis asam yang digunakan adalah modifikasi metode hidrolisis asam oleh Anonim (1986) sedangkan hidrolisis enzimatis dilakukan dengan menumbuhkan mikroba penghasil selulase (Trichoderma viride) secara langsung pada media
selulosa
yaitu
dengan
memodifikasi
media
Andreoti
(Ariestaningtyas, 1991). Prosedur hidrolisis dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada tahap ini juga dilakukan pengukuran konsentrasi total gula dan gula pereduksi hasil hidrolisis. Selain itu dilakukan proses penyiapan substrat untuk fermentasi yaitu pembuatan sirup dengan konsentrasi kurang lebih 10 persen dengan cara pemekatan. Analisis total gula ditetapkan berdasarkan metode fenol sulfat (Dubois et al., 1956) sedangkan gula pereduksi menggunakan metode
20
DNS (Miller, 1959). Prosedur penetapan total gula dan gula pereduksi disajikan dalam Lampiran 3. b. Penentuan Keterkaitan Jenis Substrat Terhadap Parameter Fermentasi (Pembentukan CO2, Biomassa, Kadar Etanol, Total Asam dan pH) Pada tahap ini dilakukan proses fermentasi menggunakan tiga jenis substrat dengan tiga kali ulangan yaitu : A = Substrat glukosa B = Substrat sirup hidrolisis asam C = Substrat sirup hidrolisis enzim Analisa yang dilakukan meliputi pembentukan CO2, biomassa, kadar etanol, total asam dan pH. 1. Pembentukan CO2 Laju pembentukan CO2, selama fermentasi diukur dengan mengeplotkan jumlah CO2 yang terukur terhadap waktu. Pengukuran dilakukan setiap 6 jam sampai akhir fermentasi jam ke-60. Laju pembentukan CO2 diukur dengan cara labu fermentor ditutup dengan sumbat yang terhubung dengan leher angsa. Leher angsa dihubungkan dengan saluran gas ke dalam gelas ukur berskala yang diletakkan dalam air, gas CO2 yang terbentuk akan menekan air sehingga dapat dibaca dengan skala yang terdapat pada gelas ukur. Skema pengukuran laju pembentukan CO2 dapat dilihat pada Gambar 9. Gas CO2 Leher angsa Sumbat
Gelas ukur Saluran keluar gas CO2 Air
Shaker
Substrat
Gambar 9. Skema pengukuran laju pembentukan CO2
21
2. Biomassa Pengukuran biomassa dilakukan dengan menentukan bobot berdasarkan bobot kering pada awal dan akhir fermentasi. Prosedur pengukuran biomassa dapat dilihat pada Lampiran 3. 3. Kadar Etanol Pengukuran kadar etanol dilakukan dengan menggunakan Gas Chromatografi. Prosedur pengukuran kadar etanol dapat dilihat pada Lampiran 3. 4. Total asam dan pH Total asam diukur untuk menentukan jumlah total asam yang terbentuk selama fermentasi. Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir fermentasi. Pengukuran total asam ditentukan dengan cara titrasi dan dinyatakan dalam persen asam laktat (Rinaldy, 1987). Prosedur pengukuran total asam disajikan pada Lampiran 3. Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui perubahan pH selama fermentasi, pengukuran dilakukan dengan menggunakan pH meter. c. Penentuan Keterkaitan Konsumsi Substrat dengan Produk atau Biomassa Pada tahap ini dilakukan penentuan keterkaitan konsumsi substrat baik terhadap pembentukan produk maupun biomassa pada masingmasing substrat, yaitu dengan menentukan yield baik terhadap produk (Yp/s) dan yield biomassa (Yx/s) selain itu juga dilakukan penentuan efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s). 2. Prosedur Penelitian Metode fermentasi didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rinaldy (1987). Penyegaran kultur dilakukan dengan menumbuhkannya pada media padat PDA (Potatoe Dextrose Agar). Khamir Saccharomyces cerevisiae diinokulasikan secara aseptis dengan jarum ose, tabung reaksi ditutup dengan kapas dan dimasukkan dalam inkubator selama 2 hari pada
22
30°C sebelum diinokulasikan pada media cair PDB (Potatoe Dextrose Broth). Sebelum fermentasi dilakukan, terlebih dahulu dilakukan penyiapan inokulum (starter) dengan media cair PDB (Potatoe Dextrose Broth). Sebanyak 10 ml media cair disterilisasi terlebih dahulu, kemudian ± 3 jarum ose hasil biakan khamir diinokulasikan secara aseptis dan ditumbuhkan secara aerobik selama 24 jam menggunakan inkubator goyang pada 30°C atau suhu kamar. Substrat fermentasi yaitu sirup glukosa sebanyak 100 ml dimasukkan dalam fermentor (labu Erlenmeyar 300 ml), kemudian ditambahkan pupuk NPK dan ZA masing-masing sebanyak 0,04 g dan 0,15 g, pH cairan substrat diatur 4,8 menggunakan Ca(OH)2 kemudian dipasteurisasi pada suhu 85°C selama 5 menit setelah itu didinginkan hingga 30°C. Starter sebanyak 10 persen volume substrat ditambahkan. Fermentasi berlangsung pada kondisi anaerob. Labu ditutup dengan sumbat dan leher angsa yang dihubungkan dengan saluran pada gelas ukur dalam air untuk mengukur laju gas CO2 yang dihasilkan dari proses fermentasi. Proses fermentasi dilakukan pada inkubator goyang pada suhu ruang. Hasil fermentasi kemudian dianalisa dengan terlebih dahulu dipasteurisasi pada suhu 65°C untuk menginaktifkan mikroorganisme. Diagram alir proses fermentasi etanol disajikan pada Gambar 10.
23
Substrat 10%
Penambahan nutrien/pupuk 0,04 g NPK dan 0,15 g ZA Pada 100 ml sirup
Kultur khamir pada PDA, inkubasi 48 jam, aerobik, suhu kamar Inokulasi pada PDB, 24 jam, aerobik, suhu kamar
Pengaturan pH = 4,8 Pasteurisasi 85 °C, 5 menit
Starter Saccharomyces cerevisiae
Inokulasi dengan starter (10 % volume substrat)
Fermentasi (kondisi anaerobik, suhu kamar) Pasteurisasi 65 °C, 5 menit
Analisa produk
Gambar 10. Diagram alir proses fermentasi etanol
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK SUBSTRAT 1. Karakteristik Tongkol Jagung Karakterisasi bahan baku (analisis proksimat) tongkol jagung meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat kasar serta analisis kandungan dan komposisi serat seperti lignin, hemiselulosa dan selulosa. Hasil analisis proksimat tongkol jagung sebagai bahan baku utama penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil analisis proksimat tongkol jagung manis Komponen (% b.b) Air 7,04 Abu 1,67 Lemak 4,68 Protein 1,82 Serat kasar 40,65 Karbohidrat by difference: 44,14 Keterangan : % b.b = presentase berdasarkan berat basah % b.k = presentase berdasarkan berat basah
(% b.k) 1,80 5,03 1,96 43,73 47,48
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil analisis komposisi kimia tongkol jagung berbeda dengan hasil analisis kimia yang dilakukan oleh Widyani (2002) yang menyatakan bahwa kadar air tongkol jagung 6,43 persen, kadar abu 1,86 persen dan kadar serat 25,43 persen. Perbedaan komposisi kimia tongkol jagung ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbedaan varietas, tempat tumbuh, kelembaban dan cuaca saat pemanenan. 2. Karakteristik Bahan Hasil Delignifikasi Kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin dalam tongkol jagung sebelum maupun setelah proses delignifikasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.
25
Tabel 3. Komposisi kimia tongkol jagung sebelum dan setelah delignifikasi Sebelum Delignifikasi Setelah Delignifikasi Komponen (% b.k) (% b.k) Selulosa 60,04 41,88 Hemiselulosa 18,17 30,18 Lignin
16,14
15,2
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat kadar lignin sebelum delignifikasi sebesar 16,14 persen sedangkan setelah delignifikasi sebesar 15,2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa proses delignifikasi tidak dapat menghilangkan lignin secara keseluruhan. Jumlah lignin yang hilang selama delignifikasi masih sangat kecil jika dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Widyani (2002) yaitu sebesar 13,68 persen. 3. Karakteristik Bahan Hasil Pemisahan fraksi Selulosa Hasil
analisa
komposisi
selulosa
dan
hemiselulosa
setelah
delignifikasi dan setelah separasi selulosa dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi kimia tongkol jagung setelah delignifikasi dan setelah separasi selulosa Setelah Setelah Komponen Delignifikasi Separasi Selulosa (% b.k) (% b.k) Selulosa 41,88 52,53 Hemiselulosa 30,18 16,83
Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa selulosa yang terbentuk setelah separasi lebih besar dibandingkan sebelum separasi (setelah delignifikasi). Kadar selulosa setelah separasi adalah sebesar 52,53 persen. Kenaikan kadar selulosa setelah separasi terjadi karena hemiselulosa dan mungkin juga lignin larut dalam larutan NaOH akibatnya ampas/selulosa yang tidak terlarut menjadi lebih murni/bersih dari komponen yang lain (hemiselulosa dan lignin). Pada penelitian ini juga dilakukan perhitungan neraca massa untuk mengetahui berapa besar fraksi selulosa yang diperoleh dari tongkol
26
jagung. Neraca massa dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11. Berdasarkan neraca massa pada Gambar 11, dapat dihitung bahwa fraksi selulosa yang dapat diperoleh dari tongkol jagung adalah sebesar 41,3 persen. Jumlah fraksi selulosa yang dihasilkan pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan Irawadi (1990) yang menyatakan bahwa tongkol jagung terdiri dari 40 persen selulosa, 16 persen lignin, 36 persen hemiselulosa dan 8 persen bahan lainnya. 4. Karakteristik Hidrolisat Hasil analisis total gula dan total gula pereduksi disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis total gula dan gula pereduksi Gula pereduksi Hidrolisis setelah pemekatan %b/v Hidrolisis asam 61,44 Hidrolisis enzim
72,20
Total gula setelah hidrolisis %b/v 1,72 3,39
Berdasarkan Tabel 5, hasil perhitungan total gula pada sirup hidrolisat enzim didapatkan konsentrasi gula sebesar 3,39 persen sedangkan konsentrasi gula yang dihasilkan dari hidrolisis asam yaitu 1,72 persen. Pada hidrolisis enzim konsentrasi gula lebih besar karena selulase yang dihasilkan oleh mikroba merupakan selulase komplek yang terdiri dari endoglukanase, eksoglukanase dan selobiase (β-glukosidase), sehingga selulosa tongkol jagung tersebut dapat dihidrolisis dengan sempurna. Selain itu, hidrolisis secara enzimatis bersifat spesifik dan tidak terjadi degradasi produk sehingga konsentrasi gula yang dihasilkan akan lebih tinggi jika dibanding hidrolisis asam pada suhu tinggi. Mekanisme hidrolisis enzimatis oleh selulase kompleks dapat dilihat pada Gambar 6. Setelah dipekatkan sampai 10 persen, sirup hidrolisat enzim juga mempunyai kadar gula pereduksi yang lebih besar jika dibandingkan dengan sirup hidrolisat asam yaitu sebesar 7,220 persen sedangkan untuk sirup hidrolisat asam 6,144 persen. Perbedaan ini dikarenakan pada
27
hidrolisis enzim, selulase kompleks mampu menghidrolisis selulosa menjadi gula pereduksi (glukosa) dengan tingkat konversi yang tinggi. Selulase bersifat spesifik sehingga tidak menghidrolisis komponen yang lain seperti hemiselulosa dan lignin. Pada hidrolisis secara asam, komponen lain seperti hemiselulosa dan lignin yang masih terdapat pada fraksi selulosa juga ikut terhidrolisis membentuk gula-gula non pereduksi. Asam bersifat tidak spesifik dan memotong secara acak ikatan glikosidik sehingga akan menghasilkan gula yang tidak seragam (monosakarida, disakarida atau oligosakarida). Hal ini sesuai dengan pernyataan Olsson dan Hahn-Hägerdal (1996), bahwa perlakuan asam pada suhu tinggi terhadap bahan lignoselulosik akan menyebabkan pembentukan dan pelepasan komponennya. Hidrolisis selulosa akan menghasilkan glukosa sedangkan hemiselulosa akan menghasilkan xilosa, manosa, asam asetat, galaktosa dan glukosa.
Bubuk tongkol jagung 40 mesh (1000 g, k.a. 7,04%)
Perendaman dalam NaOCl 1% sebanyak 10 l (11165 g) selama 5 jam pada suhu 280C
Air (16000 g)
Pencucian Penyaringan
Air + Lignin (25426 g)
Bubuk tongkol jagung terdelignifikasi (1739 g)
Pengeringan pada suhu 500C selama 48 jam
Bubuk tongkol jagung terdelignifikasi kering (906 g, k.a 7,89%)
Perendaman dalam NaOH 15% ( 3l = 3185 g) selama 24 jam pada suhu 280C
A
Air ( 833 g)
28
A Filtrat (2702 g)
Penyaringan
Ampas (1389 g) Air (16000 g)
Air+NaOH (16815 g)
Pencucian
Bubuk fraksi selulosa tongkol jagung (574 g)
Pengeringan pada suhu 500C selama 48 jam
Air (182 g)
Bubuk fraksi selulosa tongkol jagung kering (392 g, k.a 2,11%)
Gambar 11. Neraca massa B. KETERKAITAN FERMENTASI
JENIS
SUBSTRAT
TERHADAP
PARAMETER
Etanol dapat diproduksi dari selulosa dengan cara melakukan hidrolisis sehingga dihasilkan gula-gula sederhana yang dapat dikonversi oleh mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme yang biasa digunakan dalam fermentasi etanol adalah Saccharomyces cerevisiae. Ratledge
(1991),
menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisisae adalah mikroorganisme yang paling banyak digunakan dalam fermentasi heksosa (glukosa dan manosa). Saccharomyces cerevisisae dapat memproduksi etanol dari glukosa dan manosa jika konsentrasi gulanya tinggi dan pada kondisi anaerob. Pada kondisi anaerob, metabolisme glukosa menjadi etanol melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas yang merupakan reaksi-reaksi fosforilasi dan defosforilasi dengan ATP dan ADP sebagai donor dan aseptor fosfat, rekasi pemecahan C6 menjadi 2 molekul C3 yang terfosforilasi, reaksi oksidasireduksi, dan reaksi dekarboksilasi.
29
Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-6-P kemudian menjadi fruktosa1,6-di-P dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-1,6-di-P kemudian dipecah menjadi 2 molekul C3 yang terfosforilasi yaitu dihidroksiaseton fosfat dan gliseraldehida-3-P. Dihidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi gliserofosfat kemudian menjadi gliserol yang merupakan metabolit sekunder. Gliseraldehida-3-P tereduksi membentuk asam 1,3-di-fosfogliserat kemudian mengalami defosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat dengan melepaskan fosfat dengan aseptor fosfat ADP membentuk ATP. 3-P-asam gliserat selanjutnya membentuk 2-P-asam gliserat kemudian menjadi asam fosfoenol piruvat dengan melepaskan H2O. Asam fosfoenol piruvat kemudian terdefosforilasi menjadi asam piruvat dengan menghasilkan ATP. Dengan reaksi dekarboksilasi asam piruvat akan membentuk asetaldehid dan CO2 yang kemudian akan mengalami reaksi oksidasi menjadi etanol. Selama proses fermentasi akan dihasilkan metabolit primer yaitu etanol, CO2, dan air dalam jumlah besar selain itu juga dihasilkan ATP yang merupakan energi dalam bentuk panas sedangkan komponen lainnya dalam jumlah yang kecil. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran laju pembentukan CO2 untuk mengetahui laju fermentasi yang terjadi. Produktifitas etanol selama proses fermentasi tergantung dari komposisi substrat yang digunakan dan adanya zat/bahan inhibitor serta kondisi lingkungan seperti pH dan suhu. Dalam penelitian ini, sirup hidrolisat selulosa dijadikan sumber karbon sedangkan sumber nutrien yang lain seperti
nitrogen, posfor, dan
kalium diperoleh dengan penambahan pupuk NPK dan ZA. 1. Laju Pembentukan CO2 Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 selama fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa, hidrolisat asam dan hidrolisat enzim disajikan pada Gambar 12.
Laju Pembentukan CO 2 (ml)
30
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Glukosa Hidrolisat asam Hidrolisat enzim
0
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
Lama Fermentasi (jam ke-)
Gambar 12. Grafik laju rata-rata pembentukan CO2 selama fermentasi sirup glukosa, hidrolisat asam, dan hidrolisat enzim. Berdasarkan Gambar 12, dapat dilihat bahwa selama fermentasi terjadi peningkatan dan penurunan laju pembentukan CO2 yang berbedabeda. Pada enam jam pertama laju pembentukan CO2 lebih lambat jika dibanding dengan enam jam berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal fermentasi kondisi proses belum sepenuhnya anaerob. Pada awal fermentasi masih terdapat oksigen, sehingga khamir cenderung melakukan asimilasi sel dan proses fermentasi belum sepenuhnya terjadi akibatnya produk metabolit yang dihasilkan (etanol dan CO2) masih sangat rendah. Sesuai dengan pernyataan Oura (1983), bahwa khamir bersifat fakultatif anaerobik. Pada kondisi oksigen bebas tidak ada sama sekali atau ada dalam jumlah sedikit, terjadi konversi sumber karbon menjadi etanol dan CO2 lebih banyak. Sebaliknya, bila oksigen bebas terdapat dalam jumlah mencukupi, konversi akan menuju ke arah asimilasi sel dengan pembentukan produk metabolit dan produk antara ditekan rendah. Pada
Gambar
12,
dapat
dilihat
terjadinya
penurunan
laju
pembentukan CO2, yang berarti terjadi penurunan laju fermentasi. Penurunan laju fermentasi ini diduga karena adanya akumulasi produk metabolit yaitu etanol dan asam yang kemudian menghambat laju fermentasi. Etanol dapat menghambat proses fermentasi dengan mekanisme penghambatan oleh produk sedangkan asam dapat menurunkan pH lingkungan akibatnya khamir tidak dapat tumbuh dan bahkan akan mati
31
pada kondisi pH yang sangat rendah. Clark dan Mackie (1984) juga menyatakan bahwa khamir sangat peka terhadap sifat penghambatan etanol, konsentrasi etanol 1-2 persen (b/v) cukup menghambat pertumbuhan dan pada konsentrasi etanol 10 persen (b/v) laju pertumbuhan hampir berhenti sama sekali. Frazier dan Westhoff (1978) menambahkan bahwa pH akan mempengaruhi kecepatan fermentasi, pH optimum untuk pertumbuhan khamir adalah 4,0-4,5, untuk menurunkan pH dapat digunakan asam sulfat sedangkan untuk menaikkan pH dapat digunakan natrium benzoat. Pada fermentasi sirup glukosa, setelah jam ke-24 penurunan laju fermentasi berlangsung cepat sampai jam ke-30 kemudian mengalami penurunan yang lambat dan akhirnya berhenti pada jam ke-60. Hal ini menunjukkan bahwa pada fermentasi substrat sirup glukosa metabolisme masih berlangsung sampai jam ke-60 sehingga laju fermentasi pada sirup glukosa masih berlangsung sampai jam ke-60 sehingga masih terjadi konversi etanol, sedangkan untuk fermentasi sirup hidrolisat asam dan enzim laju pembentukan CO2 berhenti pada jam ke-42. Pada Gambar 12, terlihat bahwa pada fermentasi sirup hidrolisat enzim laju pembentukan CO2 setelah jam ke-6 berlangsung lebih tinggi dibanding laju pembentukan CO2 pada fermentasi sirup glukosa dan sirup hidrolisat asam. Kondisi ini menunjukkan bahwa laju fermentasi pada sirup hidrolisat enzim lebih tinggi dibandingkan dengan fermentasi dari sirup glukosa maupun sirup hidrolisat asam. Tingginya laju pembentukan CO2 ini dapat disebabkan oleh jumlah gula pereduksi yang lebih besar. Selain itu dapat juga disebabkan terdapatnya nutrien yang berasal dari media pada saat hidrolisat enzim oleh Trichoderma viride. Nutrien yang lebih kompleks tersebut
dimanfaatkan
oleh
khamir
untuk
pertumbuhan
sehingga
menghasilkan biomassa lebih banyak yang dapat diukur pada akhir fermentasi. Semakin banyak biomassa yang terbentuk maka laju pembentukan CO2 akan lebih tinggi karena sel-sel khamir melakukan metabolisme baik siklus TCA maupun jalur Embden Meyerhof-Parnas yang menghasilkan metabolit berupa gas CO2 dan etanol. Pada sirup glukosa meskipun komponen gulanya adalah gula pereduksi akan tetapi karena
32
nutrien untuk pertumbuhannya terbatas maka biomassa yang terbentuk lebih sedikit sehingga laju pembentukkan CO2 dan fermentasi lebih rendah. Pada fermentasi dengan substrat sirup hidrolisat asam, laju pembentukan CO2 sedikit lebih lambat dibanding sirup glukosa. Laju fermentasi yang lebih lambat ini kemungkinan disebabkan adanya bahanbahan hasil degradasi produk hidrolisat asam yang dapat menghambat proses fermentasi. Asam merupakan bahan kimia yang bersifat korosif, hidrolisis secara asam akan menghasilkan bahan-bahan inhibitor yang dapat menghambat proses fermentasi. Berbeda dengan hidrolisis secara asam, hidrolisis enzimatis lebih menguntungkan karena reaksinya lebih ringan dan tidak menghasilkan bahan inhibitor. Kondisi ini didukung oleh pernyataan Taherzadeh (1999) dan Ulbricht et al., (1984) yang menyatakan bahwa selama hidrolisis asam, tidak hanya menghasilkan gula tetapi juga komponen inhibitor seperti furfural, 5-hidroksimetil furfural (HMF), asam karboksilat dan komponen fenol. Boyer et al., (1992) juga menyatakan bahwa lag phase yang berlangsung lama diduga karena adanya proses adaptasi dan sintesis enzim atau koenzim baru oleh mikroorganisme untuk menguraikan furfural. Pada Gambar 12, juga dapat dilihat bahwa rata-rata laju fermentasi untuk semua substrat diukur dari laju pembentukan CO2, berlangsung lebih tinggi pada kisaran rentang waktu fermentasi antara 18 sampai 30 jam yang kemudian mengalami penurunan pada jam berikutnya sampai akhirnya berhenti. Laju pembentukan CO2 pada fermentasi substrat hidrolisat asam dan enzim berhenti lebih awal dibanding laju pembentukan CO2 pada substrat glukosa. Laju pembentukan CO2 yang berhenti lebih awal pada fermentasi substrat hidrolisat asam diduga disebabkan adanya peningkatan konsentrasi bahan-bahan inhibitor seperti furfural dan HMF hasil hidrolisis yang terdapat pada media seiring dengan konsumsi gula, sedangkan pada fermentasi substrat hidrolisat enzim, penurunan laju yang cepat diduga disebabkan oleh akumulasi produk metabolit (etanol) yang besar dan keterbatasan substrat (gula). Hal ini dapat dilihat dari hasil analisa kadar etanol dan substrat uang tersisa pada akhir fermentasi.
33
2. Biomassa Hasil analisis substrat pada akhir fermentasi yang meliputi biomassa, total asam, pH dan kadar etanol disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis total biomassa, kadar etanol, total asam dan pH pada akhir fermentasi jam ke-60. Jam Sirup Hidrolisat Hidrolisat Parameter keglukosa asam enzim ΔTotal biomassa (g/l) 0,30 0,95 1,20 pH 2,18 2,59 3,41 t=60 Δ Total asam (%) 0,17 0,14 0,30 Konsentrasi etanol (g/l) 8,52 2,42 14,22 Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa pembentukan biomassa selama
fermentasi
berbeda-beda
untuk
masing-masing
substrat.
Pembentukan biomassa paling banyak terjadi pada fermentasi dengan substrat sirup hidrolisat enzim yaitu 1,20 g/l, biomassa pada substrat sirup glukosa yaitu 0,30 g/l sedangkan biomassa pada substrat sirup hidrolisat asam yaitu 0,95 g/l. Perbedaan jumlah biomassa yang dihasilkan selama fermentasi tergantung kondisi substrat yang digunakan. Fermentasi dengan substrat hidrolisat enzim menghasilkan biomasa lebih banyak. Hal ini disebabkan pada hidrolisis enzimatis tidak dihasilkan bahan-bahan inhibitor yang dapat menghambat pertumbuhan khamir, selain itu gula yang dihasilkan merupakan glukosa yang dengan mudah dapat dikonversi oleh khamir. Adanya nutrien yang kompleks dan buffer sitrat pH 4,8 hasil kultivasi oleh Trichoderma viride pada hidrolisat enzim juga menyebabkan khamir dapat tumbuh dengan optimal. Pada fermentasi substrat glukosa komersial, meskipun komponen gulanya mudah dikonversi oleh khamir akan tetapi biomassa yang dihasilkan kecil yaitu 0,30 g/l. Hal ini kemungkinan disebabkan karena keterbatasan nutrien sehingga khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal. Pada fermentasi substrat hidrolisat asam menghasilkan biomassa sebesar 0,95 g/l lebih besar dari substrat glukosa. Besarnya biomassa ini kemungkinan disebabkan karena adanya patikel kapur hasil penetralan yang ikut terukur. Pada hidrolisis asam kemungkinan dihasilkan bahan inhibitor
34
seperti furfural dan HMF sangat besar. Bahan-bahan ini akan menghambat pertumbuhan khamir sehingga jumlah khamir yang dihasilkan seharusnya lebih kecil dari substrat glukosa maupun hidrolisat enzim. 3. Kadar Etanol Berdasarkan Tabel 6, konsentrasi etanol yang dihasilkan pada fermentasi substrat hidrolisat enzim, asam dan glukosa berturut-turut 14,22 g/l, 2,42 g/l dan 8,52 g/l. Besarnya konsentrasi etanol pada sirup hidrolisat enzim terjadi karena biomassa yang terbentuk pada saat fermentasi juga banyak sehingga kemampuan khamir untuk melakukan konversi substrat menjadi etanol juga tinggi. Pada fermentasi substrat hidrolisat asam, biomassa
yang
dihasilkan
lebih
banyak
dibandingkan
fermentasi
menggunakan substrat glukosa akan tetapi menghasilkan konsentrasi etanol yang lebih kecil. Kondisi ini kemungkinan disebabkan adanya bahan inhibitor seperti HMF dan furfural yang meningkat konsentrasinya seiring konsumsi substrat. Selain adanya inhibitor, biomassa yang terukur belum tentu biomassa akan tetapi kapur hasil penetralan yang ikut terukur sehingga kemungkinan jumlah biomassa yang sebenarnya lebih kecil, akibatnya konversi gula oleh biomassa menjadi etanol kecil. Adanya proses penghambatan dapat dilihat dari laju pembentukan CO2 yang kecil dan berhenti lebih awal. Laju pembentukan CO2 ini menunjukkan metabolisme sel khamir yang berhenti lebih awal karena adanya penghambatan oleh bahan inhibitor.
Berbeda dengan fermentasi substrat glukosa, pada
fermentasi substrat glukosa laju pembentukan CO2 berlangsung terus sampai jam ke-60, sehingga metabolisme sel khamir berlangsung terus sampai jam ke-60 dan kadar etanol yang dihasilkan lebih tinggi. 4. Total Asam dan pH Total asam dan pH yang dihasilkan oleh cairan fermentasi berbeda untuk setiap substrat. Fermentasi dengan substrat glukosa menghasilkan total asam sebesar 0,17 persen sedangkan fermentasi substrat hidrolisat asam dan enzim masing-masing 0,14 persen dan 0,30 persen. Total asam
35
menunjukkan seluruh asam yang terdapat pada cairan fermentasi. Terdapatnya asam selama fermentasi dikarenakan pada saat fermentasi etanol, konversi gula dilakukan melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas dimana gula diubah menjadi etanol melalui produk-produk seperti asam piruvat, asetaldehid. Selain itu juga terbentuk asam-asam organik seperti asam laktat, asam asetat dan gliserol yang merupakan hasil samping dari fermentasi etanol. Pada penelitian ini, pH cairan fermentasi juga bervariasi. pH cairan fermentasi dari substrat glukosa, hidrolisat asam dan hidrolisat enzim masing-masing 2,18, 2,59 dan 3,41. Pada awal fermentasi, pH yang digunakan adalah 4,8 karena pada pH ini khamir dapat tumbuh dengan optimal. Penurunan pH selama fermentasi disebabkan terbentuknya asam. pH yang kecil menyebabkan khamir tidak dapat tumbuh dengan optimal (terjadi proses penghambatan) bahkan bisa menyebabkan kematian sehingga proses fermentasi berhenti. Secara lebih jelas hubungan antara total asam dan pH dari masing-masing substrat dapat dilihat pada Gambar 13.
4 3,5
pH
0,9
Total Asam (%)
0,7
2,5
0,6
2
0,5
1,5
0,4 0,3
1
Total Asam (%)
0,8
3
pH
1
0,2
0,5
0,1
0
0 Hidrolisat asam
Hidrolisat enzim
Glukosa teknis
Gambar 13. Grafik total asam dan pH cairan fermentasi. Pada Gambar 13, dapat dilihat bahwa pada fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa dan sirup hidrolisat asam, semakin tinggi total asam yang terbentuk maka pH semakin kecil. Fermentasi sirup glukosa dan sirup hidrolisat asam menghasilkan total asam 0,17 persen dan 0,14 persen dan menyebabkan penurunan pH menjadi 2,18 dan 2,59.
36
Total asam yang terbentuk pada fermentasi sirup hidrolisat asam lebih kecil daripada fermentasi pada sirup glukosa dan sirup hidrolisat enzim. Hal ini disebabkan karena pada fermentasi substrat hidrolisat asam, metabolisme melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas terhambat oleh adanya furfural dan HMF, sehingga konversi glukosa menjadi etanol dan asam-asam organik juga lebih kecil. Pada fermentasi sirup hidrolisat enzim, meskipun konsentrasi asam yang terbentuk tinggi yaitu 0,30 persen tetapi pH cairan masih tinggi yaitu 3,41. Kondisi ini dikarenakan selain tidak terdapat inhibitor seperti HMF dan furfural, biomassa yang lebih banyak menyebabkan metabolisme glukosa melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas oleh sel khmair juga lebih tinggi sehingga dihasilkan konsentrasi etanol dan asam-asam organik yang lebih tinggi. Pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat enzim, penambahan asam tidak menurunkan pH menjadi jauh lebih kecil. Hal ini dikarenakan media tersebut mengandung buffer sitrat pH 4,8 yang dipakai pada saat hidrolisis enzimatis menggunakan Trichoderma viride. C. KETERKAITAN KONSUMSI SUBSTRAT DENGAN PRODUK ATAU BIOMASSA Berdasarkan hubungan waktu fermentasi dengan konsentrasi etanol, total gula dan biomassa yang diperoleh dapat dibuat perbandingan parameternya. Perbandingan parameter hasil fermentasi untuk masing-masing substrat dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan parameter akhir fermentasi jam ke-60 Δ Biomasa Total gula Etanol ds/s Sirup Yx/s Yp/s (g/l) residu (g/l) (g/l) (%) Glukosa 0,30 61,88 8,52 0,008 0,224 38,12 Hidrolisat asam 0,95 43,02 2,42 0,017 0,042 56,98 Hidrolisat enzim 1,20 7,92 14,22 0,013 0,154 92,08 Berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat perbandingan parameter akhir fermentasi yaitu jam ke-60. Untuk kadar biomassa, kandungan biomassa terbesar diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat hidrolisat enzim
37
sebesar 1,20 g/l sedangkan biomassa paling sedikit diperoleh dari proses fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa sebesar 0,30 g/l. Untuk konsentrasi etanol, kandungan terbesar diperoleh dari proses fermentasi menggunakan substrat hidrolisat enzim sebesar 14,22 g/l sedangkan konsentrasi terkecil diperoleh dari proses fermentasi menggunakan substrat hidrolisat asam sebesar 2,42 g/l. Sementara untuk konsentrasi gula residu paling banyak terdapat pada proses fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa sebesar 61,88 g/l dan konsentrasi gula paling sedikit diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat hidrolisat enzim sebesar 7,92 g/l. Frazier dan Westhoff (1978) menyatakan bahwa gula untuk fermentasi etanol
antara 10-18 persen. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi, aktivitas
khamir dapat terhambat dan waktu fermentasi menjadi lebih lama serta tidak semua gula dapat difermentasi. Yield biomassa (Yx/s) adalah rendemen biomassa yang terbentuk per substrat yang dikonsumsi. (Yx/s) terbesar diperoleh pada fermentasi menggunakan hidrolisat asam sebesar 0,017, (Yx/s) terkecil diperoleh pada fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa sebesar 0,008 sedangkan (Yx/s) untuk fermentasi substrat hidrolisat enzim sebesar 0,013. Besarnya (Yx/s) untuk substrat hidrolisat asam diduga karena ikut terukurnya endapan kapur hasil penetralan pada saat pengukuran total biomassa. Yield produk (Yp/s) adalah rendemen produk yang terbentuk per substrat yang dikonsumsi. (Yp/s) terbesar diperoleh pada fermentasi menggunakan sirup glukosa yaitu 0,224, (Yp/s) terkecil diperoleh pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat asam dengan nilai 0,042 sedangkan untuk substrat hidrolisat enzim (Yp/s) sebesar 0,154. Efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) tertinggi diperoleh dari fermentasi menggunkan substrat sirup hidrolisat enzim sebesar 92,08 persen sedangkan (ds/s) paling kecil diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat sirup glukosa yaitu 38,12 persen. Efisiensi pemanfaatan substrat ini bisa dipengaruhi oleh komposisi substrat yang digunakan selain itu juga dipengaruhi variabelvariabel seperti pH, suhu, oksigen dan konsentrasi etanol.
38
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Limbah hasil pertanian seperti tongkol jagung dapat dijadikan bahan dasar produksi etanol melalui proses hidrolisis secara asam atau enzim komponen selulosa sebelum difermentasi oleh khamir. Kondisi parameter fermentasi tergantung dari jenis substrat dan komponen substrat yang digunakan. Fermentasi menggunakan substrat hidrolisat enzim dari kultivasi Trichoderma viride menghasilkan parameter biomassa, kadar etanol dan total asam paling besar masing-masing 1,2 g/l, 14,22 g/l dan 0,3 persen setelah fermentasi selama 60 jam dengan konsentrasi substrat kurang lebih 10 persen. Substrat hidrolisat asam menghasilkan kadar etanol dan total asam paling kecil yaitu 2,42 g/l dan 0,14 persen sedangkan substrat glukosa menghasilkan biomassa, kadar etanol dan total asam masing-masing 0,3 g/l, 8,52 g/l dan 0,17 persen. Yield biomassa terbesar (Yx/s) terjadi pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat asam dengan nilai 0,017 sedangkan pada hidrolisat enzim (Yx/s) sebesar 0,013 dan (Yx/s) terkecil terjadi pada fermentasi menggunakan substrat glukosa dengan nilai 0,008. Yield produk (Yp/s) terbesar terjadi pada fermentasi menggunakan substrat glukosa dengan nilai 0,224 sedangkan pada substrat hidrolisat enzim (Yp/s) sebesar 0,154 dan (Yp/s) terkecil diperoleh dari fermentasi menggunakan substrat hidrolisat asam dengan nilai 0,042. Efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) tertinggi terjadi pada fermentasi menggunakan substrat hidrolisat enzim sebesar 92,08 persen sedangkan substrat hidrolisat asam sebesar 56,98 persen dan (ds/s) paling kecil diperoleh dari fermentasi menggunakan sirup glukosa yaitu 38,12 persen. B. SARAN Perlu dicari metode yang tepat untuk perlakuan pendahuluan dan hidrolisis tongkol jagung, sehingga dapat diperoleh fraksi selulosa yang lebih murni dan konsentrasi gula yang tinggi serta produk inhibitor yang seminimal mungkin. Selain itu perlu dicoba fermentasi secara simultan antara hidrolisis
39
menggunakan enzim dan fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae pada substrat selulosa tongkol jagung. Penelitian juga dapat dilakukan dengan cara fermentasi kultur sinambung
dan
semi
sinambung
sehingga
dapat
mengurangi
efek
penghambatan yang ditimbulkan baik oleh produk maupun bahan inhibitor lainnya.
40
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, 1989. Kimia Kayu. Diktat PAU Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Anggraini, F. 2003. Kajian Ekstraksi dan Hidrolisis Xilan Dari Tongkol Jagung (Zea Mays L). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim. 1986. Pembuatan Glukosa dari Sumber Selulosa Jerami Padi. Laporan Penelitian. Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian. Fateta. IPB. Bogor. Anonim. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis htttp://www.litbang_deptan.go.id/special/komoditas/files/0104JAGUNG.pdf.
Jagung.
Anonima. 2006. http://www.bps.go.id. 28 Juli 2006. Anonimb. 2006. http://iptek.apjii.or.id/artikel/ttg_tanaman_obat/depkes/buku1/1295.pdf. 28 Juli 2006. AOAC. 1984. Official Methods Analysis The Association of Official Analytical Chemist. 14 th ed. AOAC. Inc. Arlinton. Virginia. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Yasin dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ariestaningtyas, Y. 1991. Pemanfaatan Tongkol Jagung untuk Produksi Enzim Selulase oleh Trichoderma viride. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian. Fateta IPB. Bogor. Boyer, L. J., K. Vega, K.T. Klasson, E.C. Clausen dan J.L. Gaddy. 1992. The effects of furfural on ethanol production by Saccharomyces cerevisiae. Biomass Bioeng.3 (1), 41-48. Burchardt, G dan L.O Ingram. 1992. Conversion of Xylan to Ethanol by Ethalogenic Strains of Escherichia coli and Klebsiella oxytoca. Appl. and Environ. Microbiol. 58:1128-1133. Casey, J. P. 1952. Pulp and Paper. Chemistry and Chemical Technology. Interscience Publiser. London. Chang, M. M., T.C. Chon dan G. T. Tsao. 1981. Structure Pretreatment and Hydrolysis Cellulose. Adv. Biochem. Eng. 20: 14-25. Clark, T. dan K.L Mackie. 1984. Fermentation inhibitors in wood hydrolysates derived from the softwood Pinus radiata. J. Chem. Biotechnol. 34B, 101110. Dellweg, H. 1983. Biomass, Microorganism for special Application Microbial Products I, Energy from Renewable Resources. Biotechnology Volume 3. Verlag Chemie. Florida.
41
Dubois M, K.A. Gilles, J.K. Hamilton, P.A. Rebers, F. Smith. 1956. Colorimetric method for determination of sugar and related substances. Analitical Chemists 28: 350-356. Dunlop, A. P. 1948. Furfural formation and behaviour. Ind. Eng. Chem. 40(2): 204-209. Enari, T. M. 1983. Microbial Cellulase. Di dalam W. M. Fogarty (ed.). Microbial Enzyme and Biotechnology Applied Science Publisher. New York. Fan, L. T., Y. H. Lee dan M. M. Gharpuray. 1982. The nature of lignocellulosics and their pretreatments for enzymatic hydrolysis. Adv. Biochem. Eng. 23: 158-187. Fengel, D. dan D. Wegener. 1995. Kimia Kayu, Reaksi Ultrastruktur: Terjemahan S. Hardjono. UGM Press. Yogyakarta. Foody, B., J. S. Tolan dan J. D. Bernstein. 1999. Pretreatment Process for Conversion of Cellulose to Fuel Ethanol. U.S. Pat. No. 6.090.595. Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. 4th ed. McGraw-Hill Book. Publishing. Co. Ltd. New York. Fridia, T. 1989. Pengaruh Cara Delignifikasi Terhadap Sakarifikasi Limbah Lignoselulosik. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Garrote, G, H. Dominguez dan J.C. Parajo. 2002. Autohydrolysis of Corncob: Study of Non-isothermal Operation for Xylooligosaccharide Production. J. of Food Eng. 52:211-218. Gong, C. S. dan G. T. Tsao. 1979. Cellulase and Biosynthesis Regulation. Di dalam D. Perlman (ed.). Annual Report on Fermentation Process. Academic Press. New York. Grethlein. 1978. Chemical Breakdown of Cellulosic Material. J.Appl.Chem. Biotechnol. 28:296-308. Hespell, B. 1998. Extraction and Characterization of Hemicellulose from Corn Fiber Produced by Corn Wet-Milling Processes. J. Agric. and Food Chem. 46 : 2615-2619. Holtzapple M.T. 1993. Cellulose. In: Encyclopedia of Food Science, Food Technology and Nutrition, 2: 2731-2738. Academic Press. London. Humprey, A. E. 1979. The Hydrolysis of Cellulosis Material of Useful Product. Di dalam. R. D. Brown (ed). Hidrolysis of Cellulosis of Cellulose. Mechanism of Enzimatic an Acid Catalitic. 181: 25. American Chemical Society. Washington DC. Ingram, L.O. dan J.B. Doran. 1995. Conversion of cellulosic materials to ethanol. FEMS Microbiology Reviews 16:235-241. Irawadi, T. T. 1990. Selulase. PAU – Biotek. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
42
Jeewon, L. 1997. Biological conversion of lignocellulosic biomass to ethanol−a review article. J. of Biotechnol. 56:1-24. Johnson, L.A. 1991. Corn : Production, Processing and Utilization. Di dalam K.J. Lorentz and K. Kulp (ed). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker, Inc., New York. Kosaric, H., A. Wieczorek, G. P. Cosentino, R. J. Magee dan J. E. Prenosil. 1983. Ethanol Fermentation. Di dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume 3. Verlag Chemie, Weinheim. Lapierre, C., C. Rolando dan B. Monties. 1983. Characterization of poplar lignins acidolysisproducts: capillary gas-liquid and liquid-liquid chromatography of monomeric compounds. Holzforschung 37, 189-198. Lachke, A. 2002. Biofuel from D-Xylose- the Second Most Abundant Sugar. Biochemical Sciences of National Chemical Laboratory, India. Miller, G.C .1959. Use of the Dinitrosalicylic Acid Reagent for the Determination of Reducing sugar. Analitical Chemists. 31:420-428. Noviati, F. 2004. Upaya Pemanfaatan Tongkol Jagung Sebagai Sumber Serat dalam Pelet Ransum Komplit Untuk Domba. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Olsson, L dan B. Hahn-Hagerdal. 1996. Fermentation of lignocellulosic hydrolysates for ethanol production. Enzyme Microb. Technol. 18:312-331. Oura, E. 1983. Reaction products of yeast fermentations. Di dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume III. Academic Press, New York. Paturau, J. M. 1969. By Product of the Cane Sugar Industry: An Introduction to their Industrial Utilization. Elsevier Scientific Publ. Co., Amsterdam. Pelczar, M. J. dan R. D. Reid. 1974. Microbiology. Mc. Graw Hill Book Co. New York. Prescott, S. C. dan C. G. Dunn. 1981. Industrial Microbiology. McGraw- Hill Book Co. Ltd., New York. Ratledge, C. 1991. Yeast physiology - a micro-synopsis. Bioprocess Engineering. 6:195-203. Richana, N. 2002. Produksi dan Prospek Enzim Xilanase dalam Pengembangan Bioindustri di Indonesia. www.indobiogen.co.id. Rinaldy, W. 1987. Pemanfaatan Onggok Singkong (Manihot esculenta Crantz) Sebagai Bahan Pembuatan Etanol. Skripsi. Fateta IPB. Bogor. Sabel, W dan J. D. F Warren. 1994. Theory and Practise of Hemicellulose Extraction. Tropical Product Institute. London. Somaatmadja, D. 1973. Sirup Pati Ubi Kayu. Balai Penelitian Kimia, Bogor.
43
Sumarjono, E. 1986. Hidrolisa Polisakarida dari Jerami Padi Secara Enzimatis dan Kimia. Skripsi. Fateta-IPB. Bogor. Taherzadeh, M.J. 1999. Ethanol from lignocellulose: physiological effects of inhibitors and fermentation strategies. Di dalam N. Anneli (ed). Control of Fermentation of Lignocellulosic Hydrolysates. Departemen of Chemical Enginering II, Lund University, Sweden. Tsao, G. T., M. Ladisch, T. A. Hsu, B. Dale, C. Ladisch dan T. Chou. 1978. Fermentation Substrates From Cellulosic Materials: Production of Fermentable Sugars From Cellulosic Materials. Di dalam D. Perlman (ed). Annual Reports on Fermentation Processes Volume 2. Academic Press, New York. Ulbricht, R. J., J. Sharon, J. Thomas.. 1984. A review of 5-hydroxymethylfurfural (HMF) in parental solutions. Fundamental Appl. Toxicol. 4: 843-853. Widyani, I. G. A. 2002. Ekstraksi Xilan dari Tongkol Jagung dan Kulit Ari Kedelai. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
44
Lampiran 1. Prosedur analisis kimia tongkol jagung 1. Kadar Air (AOAC, 1984) Contoh sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 100-105oC sampai bobot konstan. Setelah itu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Bobot awal – bobot akhir Kadar air = --------------------------------------x 100 Bobot Contoh 2. Kadar Protein (Metode Kjeldahl) Sebanyak 0,1-0,5 g sampel dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml dan ditambahkan 1,9 g K2SO4, 40 mg HgO, 2 ml H2SO4, dan beberapa butir batu didih. Kemudian, dididihkan selama 60-90 menit sampai semua cairan jernih. Setelah itu didinginkan, ditambah sedikit H2O lewat dinding, dan didestilasi sampai diperoleh ± 15 ml destilat yang berwarna hijau. Destilasi dilakukan dengan meletakkan Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3, 2 tetes indicator (campuran 2 bagian metal merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2% dalam alkohol), dan ditambahkan 8-10 ml NaOH-Na2S2O3. Hasil destilasi diencerkan sampai ± 50 ml dan ditritasi dengan HCl 0,02 N. (ml HCl – ml blanko) x NHCl x 14,007 x 100 Kadar N = ---------------------------------------------------------------mg sampel Kadar Protein = % N x faktor konversi (6,25) 3. Kadar Abu (AOAC, 1984) Contoh sebanyak 3-5 g dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, kemudian diabukan dalam furnace pada suhu 6000C selama kurang lebih 4 jam atau sampai diperoleh abu berwarna putih. Setelah itu cawan didinginkan dalam desikator sampai suhu ruang dan ditimbang. Kadar Abu
Bobot abu (g) = ---------------------- x 100 Bobot contoh (g)
45
4. Kadar Lemak (Metode Ekstraksi Soxhlet) (AOAC, 1984) Sebanyak ± 5 g sampel yang telah ditepungkan dibungkus dengan kertas saring, dimasukkan ke dalam labu soxhlet, lalu ditambahkan heksan secukupnya dan direfluks selama 5-6 jam. Kemudian, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dan pelarut dipanaskan pada oven dengan suhu 1050C. setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Berat lemak (g) Kadar lemak = ----------------------- x 100 Berat sampel (g) 5. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1984) Contoh sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 ml kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N dan dididihkan selama kurang lebih 30 menit. Ditambahkan lagi 50 ml NaOH 1,25 N dan dididihkan selama 30 menit. Dalam keadaan panas disaring dengan kertas Whatman No.40 setelah diketahui bobot keringnya. Kertas saring yang digunakan dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 dan etanol 95 persen. Kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 100-1100C sampai bobotnya konstan. Kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar serat kasar (%) =
Bobot endapan kering (g) --------------------------------Bobot contoh (g)
x 100
6. Kadar Lignin (AOAC, 1984) Sample sebanyak 1 g ditimbang dalam Erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan H2SO4 20 ml. Selanjutnya didiamkan selama 2 jam dan dikocok perlahan-lahan. Sample kemudian ditambahkan aquades sebanyak 250 ml, dipanaskan dalam waterbath pada suhu 1000C selama 3 jam. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui bobotnya (A). Erlenmeyer dan corong dibilas dengan aquades sebanyak 3 kali. Kertas saring beserta residu diovenkan pada suhu 1050C selama 1-2 jam atau pada suhu 500C selama 24 jam. Kertas saring
46
didinginkan dan ditimbang bobotnya (B). Kertas saring dengan residu diabukan dengan muffle furnace pada suhu 6000C selama 3-4 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang (C). B–A–C Kadar lignin = -------------------- x 100 Bobot contoh 7. Kadar Hemiselulosa Metode Van Soest (Apriyantono et al., 1989) Sampel sebanyak a g dan b g masing-masing dimasukkan ke dalam gelas piala berukuran 500 ml. Sampel a g ditambahkan dengan 50 ml larutan NDS dan sampel b g ditambahkan dengan 50 ml larutan ADS lalu dipanaskan selama 1 jam di atas penangas listrik. Selanjutnya masingmasing sampel tersebut dicuci menggunakan aseton dan air panas serta disaring menggunakan pompa vakum dan gelas G-3 (c g dan d g). Sampel dalam gelas G-3 dikeringkan dengan menggunakan
oven, didinginkan
dengan eksikator dan ditimbang sebagai e g dan f g. e–c
f-d
Kadar NDF =
x 100 Kadar ADF = a Kadar hemiselulosa = kadar NDF - kadar ADF
x 100 b
8. Kadar Selulosa Metode Van Soest (Apriyantono et al., 1989) Residu ADF (f g) yang berada pada gelas G-3 diletakkan di atas nampan yang berisi air setinggi 1 cm kemudian ditambahkan H2SO4 72 persen setinggi ¾ bagian gelas G-3 dan dibiarkan selama 3 jam sambil diaduk-aduk. Selanjutnya sampel tersebut dicuci menggunakan aseton dan air panas serta disaring menggunakan pompa vakum dan gelas G-3. Sampel dalam gelas G-3 dikeringkan dengan menggunakan oven, didinginkan dengan eksikator dan ditimbang sebagai h g. h-f Kadar selulosa =
b
x 100
47
Lampiran 2. Prosedur hidrolisis fraksi selulosa tongkol jagung 1. Hidrolisis Asam Metode yang digunakan adalah modifikasi hidrolisat jerami padi yang dilakukan Anonim (1986). Selulosa hasil proses perlakuan awal dicampur dengan larutan HCl 1,5 persen pada perbandingan 1:20 (g/ml), kemudian diaduk. Campuran tersebut kemudian dihidrolisis dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121°C, tekanan 1 kg/m2 dan waktu 3 jam. Hasil hidrolisis kemudian dinetralkan dengan menggunakan Ca(OH)2 sampai pH berkisar 4,5-5,0. Setelah dinetralkan dilakukan pemucatan dengan menggunakan arang aktif kemudian disaring dan dipekatkan sampai konsentrasi sirup yang diinginkan. 2. Hidrolisis Enzim Hidrolisis selulosa secara enzimatis dilakukan dengan menumbuhkan mikroba penghasil selulase (Trichoderma viride) secara langsung pada media selulosa yaitu dengan memodifikasi media Andreoti (Ariestaningtyas, 1991). Langkahnya sebagai berikut : • Penyegaran Kultur Trichoderma viride disegarkan kembali supaya dapat memproduksi enzim secara optimal. Trichoderma viride digoreskan pada agar miring PDA (Potatoe Dextrose Agar) dan diinkubasi dalam inkubator pada suhu 28°C selama 7 hari. • Persiapan Media Media yang digunakan adalah modifikasi media Andreoti dengan sistem kultivasi media padat. Selain media Andreoti juga ditambahkan pepton sebanyak 2 persen. Media padat dibuat dengan perbandingan antara selulosa dan air (bufer sitrat pH 4,8) adalah 1 : 2. Media tersebut disterilisasi pada suhu 121°C selama 20 menit kemudian didinginkan lebih dahulu.
48
Komposisi media Andreoti Bahan Kimia
Komposisi (%)
(NH4)2SO4 0,14 KH2PO4 0,3 Urea 0,03 CaCl2 0,03 MgSO4 0,03 Selulosa tongkol jagung 500 g Stok mineral 1 ml Aquades 1000 ml Komposisi stok mineral : 495 ml air suling dilarutkan 5 ml HCl pekat, 2,5 g FeSO4.7H2O, 0,83 g ZnCl2 dan 1 g CoCl2 Spora biakan kapang Trichoderma viride yang sudah berumur 7 hari sebanyak satu agar miring disuspensikan dalam 10 ml air suling steril. Suspensi spora sebanyak 10 persen (v/v) diinokulasikan dalam media pertumbuhan yang telah disterilkan. Selanjutnya medium dan spora diinkubasi pada suhu 25°C selama sembilan hari. Sebelum dilakukan ekstraksi maka ditambahkan Tween 80 sebanyak 0,1 persen. Ekstraksi cairan fermentasi dilakukan pada hari kesembilan dengan jalan memisahkan filtrat dari biomassa dengan menggunakan penyaring dan sentrifuse. Filtrat yang dihasilkan kemudian disterilisasi, dipucatkan menggunakan arang aktif 2 persen, disaring dan dipekatkan hingga diperoleh konsentrasi gula yang diinginkan.
49
Lampiran 3. Prosedur analisis parameter fermentasi 1. pH Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter. 2. Penetapan Total Gula Metode Phenol H2SO4 (Dubois et al., 1956) Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai berikut : 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40 dan 60 µg glukosa masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan fenol 5 persen dan dikocok. Kemudian 5 ml asam sulfat pekat ditambahkan dengan cepat. Biarkan selama 10 menit, kocok lalu tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel. 3. Penetapan Total Gula Pereduksi Metode DNS (Miller, 1959) Prinsip metode ini dalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi asam 3, 5 – dinitrosolisilat (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panajang gelombang 550 nm. • Penyiapan Pereaksi DNS Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10,6 g asam 3,5 dinitrosalisilat dan 19,8 g NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K Tartrat, 7,6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50oC dan 8,3 g Na-Metebisulfit. Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkusar 5-6 ml. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N.
50
• Penentuan Kurva Standar Kurva standar dibuat dengan mengukur mengetahui nilai gula pereduksi pada glukosa pada selang 0,2 – 0,5 mg/l. Kemudian nilai gula pereduksi dicari dengan metode DNS. Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secara linier. • Penetapan Total Gula Pereduksi Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai berikut : 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang. Ukur absorbansi pada panjang gelombang 550 nm. 4. Total Biomassa Pengukuran biomassa dilakukan dengan penyaringan menggunakan kertas saring yang berpori kecil (Whatman No 42) Biomassa kemudian dikeringkan menggunakan oven dan ditimbang hingga bobotnya konstan. Total Biomassa = (Bobot kertas dan bahan - bobot kontrol) g/l 5. Total Asam Total asam ditentukan dengan cara titrasi dan dinyatakan dalam persen asam laktat (Rinaldy, 1987). Sebanyak 1 ml cairan dipipet ke dalam Erlenmeyer 50 ml, ditambahkan 9 ml air suling, kemudian dipanaskan untuk menghilangkan CO2 yang ada. Dititrasi dengan NaOH 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Total asam (%) =
ml titer x normalitas x 9 ml contoh
51
6. Kadar Etanol Pengukuran kadar etanol sampel dilakukan menggunakan GC (Gas Chromatography). Penentuan dilakukan dengan membandingkan waktu retensi sampel dengan waktu retensi standar etanol. Standar etanol yang diinjeksikan
dengan konsentrasi 99,8 persen (v/v). Kadar etanol yang
terdapat dalam sampel dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: Luas area sampel Kadar etanol =
x [standar] Luas area standar
Kondisi analisis pengukuran etanol dengan menggunakan GC adalah sebagai berikut: 1. Instrumen
: GC HP 6890 Series
2. Kolom
: HP- FFAP (Crosslinked FFAP)
3. Gas pembawa
: Helium
4. Detektor
: FID, 250°C
5. Suhu oven
: 60°C untuk 1 menit 60-210 °C untuk 5 menit 210 °C untuk 10 menit
6. Suhu injector
: 250°C
7. Volume injeksi
: 1μl
52
Lampiran 4. Diagram alir penelitian proses produksi etanol dari hidrolisat fraksi selulosa tongkol jagung. Tepung tongkol jagung ±40 mesh
Delignifikasi NaOCl 1 %, 5 jam, 28° C
Aquades
Pencucian
Lignin
Ekstraksi NaOH 15 %, 24 jam, 28° C
Penyaringan
selulosa
hemiselulosa
Hidrolisis asam
Hidrolisis enzim
Hidrolisat
Hidrolisat
Fermentasi
Fermentasi
Etanol
Etanol
53
Lampiran 5. Perhitungan kadar etanol Standar etanol yang digunakan = 99,8 persen (v/v) dengan bobot jenis = 0,79 kg/l = 780,52 g/l luas area etanol hasil kromatografi Kadar etanol =
x [ standar] Luas area sampel Sirup glukosa
Luas standar Luas sampel Konsentrasi etanol (%v/v) Konsentrasi etanol (g/l)
121475 1326,53 1,09 8,52
Sirup hidrolisat asam 121475 377,14 0,31 2,42
Sirup hidrolisat enzim 121475 2212,80 1,82 14,22
54
Lampiran 6. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 selama fermentasi Lama Fermentasi (6 jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 Lama Fermentasi (6 jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 Lama Fermentasi (6 jam) 0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60
Laju Pembentukan CO2 Selama Fermentasi Sirup Glukosa (ml) U1 U2 U3 Rata-rata 0 0 0 0,00 23 25 24 24,00 70 73 65 69,33 79 83 76 79,33 76 80 74 76,67 26 31 27 28,00 18 23 20 20,33 15 16 18 16,33 10 11 12 11,00 5 5 6 5,33 0 -2 4 0,67 Laju Pembentukan CO2 Selama Fermentasi Sirup hidrolisat asam (ml) U1 U2 U3 Rata-rata 0 0 0 0,00 6 7 6 6,33 12 52 52 38,67 18 89 88 65,00 24 120 109 84,33 30 68 72 56,67 36 12 18 22,00 0 0 0 0,00 0 0 0 0,00 0 0 0 0,00 0 0 0 0,00 Laju Pembentukan CO2 Selama Fermentasi Sirup Hidrolisat Enzim (ml) U1 U2 U3 Rata-rata 0 0 0 0,00 18 19 21 19,33 190 189 180 186,33 342 345 346 344,33 402 407 410 406,33 339 353 351 347,67 3 14 12 9,67 0 0 0 0,00 0 0 0 0,00 0 0 0 0,00 0 0 0 0,00
Lampiran 7. Hasil analisis total gula, gula pereduksi, biomassa, total asam dan pH akhir fermentasi Perlakuan AU1 AU2 AU3 Rata-rata A BU1 BU2 BU3 Rata-rata B CU1 CU2 CU3 Rata-rata C
Total Gula (g/l) 64,02 60,44 61,17 61,88 39,45 40,70 48,91 43,02 7,89 8,24 7,64 7,92
gula pereduksi (g/l) 42,51 38,95 42,73 41,40 37,03 33,27 39,79 36,70 1,16 1,16 1,14 1,15
Δ biomassa (g/l) 0,26 0,36 0,28 0,30 0,99 0,97 0,90 0,95 1,26 1,20 1,14 1,20
Δ Total asam (%) 0,18 0,14 0,18 0,17 0,14 0,14 0,14 0,14 0,32 0,27 0,32 0,30
pH 2,15 2,17 2,22 2,18 2,42 2,48 2,88 2,59 3,35 3,45 3,43 3,41
Keterangan : A = Sirup glukosa B = Sirup hidrolisat asam C = Sirup hidrolisat enzim U = Ulangan 55
56
Lampiran 8. Kromatogram etanol hasil fermentasi. Standar
Sirup Glukosa
57
Lampiran 8. Kromatogram etanol hasil fermentasi (lanjutan) Sirup Hidrolisat asam
Sirup Hidrolisat enzim