Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012
POSTER PRODUKSI DAN PEMURNIAN ENZIM GLUKOSA OKSIDASE DARI ASPERGILLUS NIGER ISOLAT LOKAL (IPBCC.08.610) PRODUCTION AND PURIFICATION OF GLUCOSE OXIDASE FROM ASPERGILLUS NIGER ISOLATE (IPBCC.08.610) Popi Asri Kurniatin1 , Laksmi Ambarsari1,2, , Restu Prianti Putri1 1 Departemen Biokimia FMIPA IPB 2 Corresponding author:
[email protected] Abstrak. Glukosa oksidase (GOD) merupakan enzim yang mengkatalisis oksidasi ß-D-glukosa menjadi glukonolakton dan hidrogen peroksida, dengan molekul oksigen sebagai akseptor elektronnya. Glukosa oksidase diproduksi oleh banyak mikroorganisme seperti Penicillium notatum, Penicillium chrysosporium, Aspergillus niger, dan Botrytis cinerea. A. niger diketahui dapat menghasilkan enzim glukosa oksidase yang lebih stabil dibandingkan fungi lain. Penelitian ini bertujuan menentukan waktu inkubasi optimum untuk produksi glukosa oksidase dari isolat A. niger (IPBCC.08.610), serta menentukan aktivitas spesifik dari ekstrak kasar dan fraksi amonium sulfat enzim tersebut. Melalui data tersebut dapat diketahui fraksi terbaik enzim glukosa oksidase yang dapat digunakan dalam aplikasi enzymatic fuel cell. Produksi glukosa oksidase di dalam media dilakukan dengan kecepatan aerasi 200 rpm, suhu 30 oC dengan lima variasi waktu, yaitu 48 jam, 72 jam, 96 jam, 120 jam, dan 144 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa glukosa oksidase pada isolat A.niger (IPBCC.08.610) lebih banyak diproduksi dalam bentuk enzim intraseluler daripada enzim ekstraseluler. Waktu inkubasi optimum untuk produksi glukosa oksidase ialah 72 jam dengan aktivitas spesifik enzim mencapai 2156.67 unit/mg. Nilai aktivitas spesifik enzim semakin meningkat setelah dilakukan pemurnian dengan amonium sulfat 80%, yaitu menjadi sebesar 25369.46 unit/mg. Proses pemurnian tersebut berhasil meningkatkan kemurnian enzim sampai 12 kali, dengan rendemen sebesar 23.21%. Kata Kunci: Glukosa oksidase, Aspergillus niger, waktu inkubasi optimum, ammonium sulfat Abstract. Glucose oxidase (GOD) is an enzyme that catalyzes the oxidation of ßD-glucose to gluconolacton and hydrogen peroxide, with oxygen molecule as an electron acceptor. Glucose oxidase may be produced by Penicillium notatum, Penicillium chrysosporium, Aspergillus niger, dan Botrytis cinerea. A. niger produce more stable glucose oxidase than Penicillium sp. The aims of this research were to determine the optimum incubation time for the production of glucose oxidase from A. Niger isolate (IPBCC.08.610) and measure the specific activity of crude extracts and ammonium sulphate fraction of the enzyme. The data showed the best glucose oxidase fraction which can be used in enzymatic fuel D - 26
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012
cell applications. Glucose oxidase was produced in the medium with 200 rpm aeration, 30 °C temperature, and five time variations, ie 48 hours, 72 hours, 96 hours, 120 hours, and 144 hours. The results showed that glucose oxidase in isolate A. niger (IPBCC.08.610) was expressed more intracellular enzyme than extracellular enzyme. Optimum incubation time for glucose oxidase production is 72 hours with a specific activity of the enzyme reached 1568.20 units/mg. Specific activity of the enzyme increased after purification using 80% ammonium sulphate to 12409.64 units/mg. Purification was successful for increasing the purity of the enzyme up to 8 fold, with a yield of 23.21%. Keyword: Glucose oxidase, Aspergillus niger, optimum incubation time, ammonium sulphate PENDAHULUAN Glukosa oksidase (GOD) adalah enzim yang mengkatalisis oksidasi ß-D-glukosa menjadi glukonolakton dan hidrogen peroksida, dengan molekul oksigen sebagai akseptor elektron (Sabir et al. 2007). Dalam aplikasi farmasi, glukosa oksidase biasa digunakan sebagai biosensor untuk penentuan kadar glukosa darah. Dalam bidang industri makanan, enzim ini sering dimanfaatkan untuk menghilangkan glukosa dan oksigen dalam pengolahan suatu produk. Glukosa oksidase juga berperan menghilangkan beberapa bakteri patogen pada makanan, seperti Salmonella infantis, Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Campylobacter jejuni, dan Listeria monocytogens (Bankar et al. 2009). Saat ini glukosa oksidase banyak dikembangkan dalam sistem enzymatic fuel cell (Bhatti & Saleem 2009). Enzymatic fuel cell (EFC) adalah sistem elektrokimia yang bekerja dengan mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik. Sistem ini menggunakan enzim sebagai katalisnya sehingga dapat menghasilkan efisiensi tinggi dan emisi polutan yang rendah (Neto et al. 2011; Steele 2001). Saat ini pengembangan EFC banyak ditujukan untuk penggunaan aplikasi khusus seperti perangkat implan, sensor, penghantaran obat, keping mikro, dan cadangan listrik portabel (Kim et al. 2006). Lee et al. (2011) menyatakan bahwa daya yang dapat dihasilkan oleh glukosa oksidase dalam sistem fuel cell mencapai 190 µW/cm2. Angka ini cukup tinggi dibandingkan daya yang dihasilkan oleh enzim lain, misalnya glukosa dehidrogenase yang hanya menghasilkan 9.3 µW/cm2 (Desriani et al.
2010). Glukosa oksidase juga memiliki spesifitas tinggi terhadap glukosa (Ahmad et al. 2007). Hal ini sangat menguntungkan karena glukosa merupakan substrat yang jumlahnya melimpah serta aman untuk digunakan. Glukosa oksidase diproduksi oleh banyak mikroorganisme seperti Penicillium notatum, Penicillium chrysosporium, Aspergillus niger, dan Botrytis cinerea. Penapisan terhadap beberapa jenis fungi memperlihatkan bahwa A. niger merupakan sumber glukosa oksidase yang paling baik (Khurshid et al. 2011). Aspergillus niger menghasilkan glukosa oksidase yang bersifat lebih stabil dibandingkan hasil produksi Penicillium sp. Saat ini kebutuhan terhadap glukosa oksidase semakin meningkat sehubungan dengan pemanfaatannya dalam EFC dan aplikasi lain. Pemanfaatan glukosa oksidase yang berasal dari isolat lokal A. niger sebagai katalis dalam EFC belum dilakukan, padahal iklim tropis dengan tingkat kelembaban tinggi di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan A. niger. Oleh karena itu diperlukan eksplorasi terhadap isolat lokal A. niger yang dapat menghasilkan glukosa oksidase dalam jumlah yang tinggi dan memiliki aktivitas spesifik tinggi. Pada penelitian ini dilakukan penentuan waktu inkubasi optimum untuk produksi glukosa oksidase dari isolat lokal Aspergillus niger (IPBCC.08.610) serta penentuan aktivitas spesifik ekstrak kasar enzim dan ekstrak enzim hasil pemurnian
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah mortar, kertas saring, neraca analitik OHAUS
D - 27
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012 GA 200, autoklaf TOMY High Pressure Steam Sterilzer ES-315, inkubator bergoyang, waterbath, pH meter, vortex, magnetic stirrer, spektrofotometer UV-Vis, Beckman High Speed Centrifuge, ultrasentrifus, dan peralatan laboratorium yang biasa digunakan di laboratorium analitik. Bahan yang digunakan ialah isolat lokal Aspergillus niger (IPBCC.08.610) koleksi Departemen Biologi IPB yang merupakan hasil isolasi dari tanah di daerah Tarakan, Kalimantan Timur. Media pertumbuhan terdiri atas 0.04% (NH4)2 HPO4, 0.02% KH2 PO4, 0.02% MgSO4.7H2O, 1% pepton, dan 7% sukrosa. Media produksi terdiri atas 0.4% (NH4)2HPO4, 0.2% KH2PO4, 0.2% MgSO4.7H2O, 40% CaCO3, 33% sukrosa, dan
0.35% glukosa. Bahan untuk isolasi glukosa oksidase ialah glassbead dan bufer fosfat 0.1 M pH 6.0. Penentuan waktu awal, aktivitas enzim glukosa oksidase, analisis kadar protein, serta pemurnian enzim glukosa oksidase menggunakan bufer fosfat sitrat 0.1 M pH 4.5, larutan glukosa 1 M, o-dianisidin 0.31 mM, enzim peroksidase 60 U/mL, larutan standar Bovine Serum Albumin (BSA), reagen Lowry A (2% Na2CO3 dalam NaOH 0.1 N), reagen Lowry B (0.5% CuSO4 dalam 1% NaK tartrat), reagen Folin Cioucalteau yang telah diencerkan dua kali, dan amonium sulfat 80% (561 g/L).
Penentuan waktu produksi optimum (Jafari et al. 2007) Penentuan waktu produksi optimum dilakukan untuk mengetahui waktu inkubasi optimum Aspergillus niger yang dapat menghasilkan enzim glukosa oksidase dengan aktivitas yang tinggi. Tahap produksi biomassa dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong. Media pertumbuhan disiapkan sebanyak 100 mL di dalam labu erlenmeyer 250 mL. Media diatur pada pH 5.5, kemudian disterilisasi. Isolat A. niger (IPBCC.08.610) diinokulasi dalam media tersebut kemudian diinkubasi selama 24 jam dengan kecepatan 200 rpm dan suhu 30 oC. Sebanyak lima buah labu Erlenmeyer disiapkan, selanjutnya masing-masing diisi dengan 200 mL media produksi. Media diatur pada pH 5.5. Suspensi spora dari isolat lokal Aspergillus niger yang berumur 24 jam dtumbuhkan dalam lima labu Erlenmeyer tersebut masing-masing sebanyak 10 mL. Kultur tersebut kemudian diinkubasi dengan kecepatan aerasi 200 rpm suhu 30oC dengan lima variasi waktu, yaitu 48 jam, 72 jam, 96 jam, 120 jam, dan 144 jam. Hal ini dilakukan untuk mengetahui waktu produksi yang paling optimum. Setelah inkubasi dilakukan, biomassa dipisahkan dari media pertumbuhan dengan cara penyaringan menggunakan kertas saring. Supernatan bebas sel disimpan sebagai ekstrak kasar enzim glukosa oksidase ekstraseluler. Berat basah biomassa yang dihasilkan ditimbang, kemudian rendemen biomassa masing-masing fraksi dihitung .
Isolasi enzim glukosa oksidase intraseluler dari Aspergillus niger (Firman & Aryantha 2003) Biomassa hasil penyaringan digerus sampai halus menggunakan glassbead dengan perbandingan 1:1. Sel yang telah lisis ditambahkan dengan bufer natrium fosfat 0.1 M pH 6.0 hingga larut semuanya. Sel yang telah ditambahkan bufer tersebut kemudian disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 20 menit sebanyak dua kali. Supernatan yang dihasilkan merupakan enzim kasar glukosa oksidase intraseluler.
METODE PENELITIAN
Pemurnian enzim glukosa oksidase dengan amonium sulfat (Sherbeny et al. 2005) Pemurnian enzim glukosa oksidase dengan amonium sulfat dilakukan pada fraksi glukosa oksidase yang memiliki aktivitas spesifik paling tinggi. Pemurnian dilakukan dengan penambahan amonium sulfat 80%. Amonium sulfat ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Larutan didiamkan selama 24 jam pada suhu 4 oC, kemudian disentrifus pada kecepatan 12000 rpm selama 15 menit. Fraksi yang terendapkan dilarutkan dalam bufer fosfat sitrat 0.1 M pH 4.5. Hasil pemurnian ini selanjutnya diukur kadar protein serta aktivitasnya. Analisis kadar protein (Lowry et al. 1951) Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Lowry, dan kurva standar menggunakan larutan Bovine serum albumine (BSA). Absorbansinya dibaca pada panjang gelombang 700 nm. Pengukuran kadar protein enzim glukosa oksidase dilakukan dengan metode yang sama untuk setiap fraksi.
D - 28
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012 Pengukuran laju awal dan aktivitas enzim glukosa oksidase (Kelley & Reddy 1986) Laju awal reaksi enzim glukosa oksidase ditentukan dengan mengukur aktivitas enzim glukosa oksidase hasil inkubasi 72 jam. Pengukuran aktivitas dilakukan dengan menggunakan assay enzim. Dua buah tabung disiapkan untuk campuran assay glukosa oksidase. Tabung pertama berisi 1.5 mL bufer fosfat sitrat 0.1 M pH 4.5, 0.3 mL larutan glukosa 1 M, dan 0.1 mL larutan glukosa oksidase. Tabung kedua berisi 1 mL odianisidin 0.31 mM dan 0.1 mL horseradish peroksidase. Masing-masing tabung diinkubasi selama 5 menit pada suhu 30 oC, kemudian dicampurkan. Pengukuran dilakukan setelah campuran diinkubasi terlebih dahulu selama 5 menit. Nilai absorbansi pada panjang gelombang 460 nm diukur dan dilihat setiap satu menit, hingga nilainya konstan. Laju awal ditentukan saat laju linear maksimum tercapai. Waktu tercapainya laju awal digunakan sebagai waktu pengukuran untuk fraksi enzim lainnya. Aktivitas glukosa oksidase ialah nilai mikromol substrat yang dioksidasi oleh enzim glukosa oksidase. Nilai aktivitas glukosa oksidase dihitung sebagai nilai absorbansi per waktu (ΔA/Δt) dibagi dengan nilai absorbansi setimbang (As), kemudian dikalikan dengan mol substrat. Sedangkan penentuan aktivitas spesifik suatu enzim, dilakukan berdasarkan nilai aktivitas serta kadar protein enzim tersebut. Jumlah unit enzim dibagi dengan miligram protein ialah nilai aktivitas spesifik enzim. Akt. (unit/mL) = A / t x µmol substrat x fp As Keterangan: Fp = Faktor pengenceran As = ialah nilai absorbansi saat seluruh substrat telah dikatalisis oleh enzim, sehingga nilai absorbansi tidak meningkat lagi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen Biomassa Aspergillus niger (IPBCC.08.610) Proses pembentukan biomassa suatu mikroorganisme dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis isolat yang digunakan, laju pertumbuhan, substrat, kelembapan, suhu, pH lingkungan, penambahan surfaktan serta polimer, gaya geser, aerasi, dan agitasi (El-Enshasy 1998).
Isolat Aspergillus niger (IPBCC.08.610) ditumbuhkan dalam media yang mengandung sukrosa, glukosa, pepton, serta kalsium karbonat. Kalsium karbonat (CaCO3) yang ditambahkan berperan sebagai penginduksi sintesis glukosa oksidase (Bankar et al. 2009). Penambahan CaCO3 ke dalam media fermentasi akan menjaga pH media pada pH 5.5 yang merupakan titik produksi optimum glukosa oksidase. CaCO3 juga dapat mengubah jalur metabolik A. niger dari glikolisis menjadi jalur pentosa fosfat, sehingga dapat meningkatkan jumlah glukosa oksidase (Simpson 2005). Produksi glukosa oksidase dilakukan pada suhu 30oC dengan lima variasi waktu, yaitu 48 jam, 72 jam, 96 jam, 120 jam, dan 144 jam. Media fermentasi A. niger digoyang pada kecepatan aerasi 200 rpm untuk menyediakan kebutuhan oksigen. Oksigen digunakan untuk melakukan reaksi enzimatis dan respirasi yang diperlukan untuk pertumbuhan A.niger sehingga dapat menghasilkan biomassa yang lebih banyak. Pemanenan biomassa A. niger pada media cair yang digoyang dilakukan melalui suatu penyaringan, sebab miselium tidak berada diatas permukaan seperti biomassa pada media tanpa digoyang (Gandjar et al. 2006). Penyaringan dilakukan menggunakan kertas saring, kemudian bobotnya ditimbang untuk mengetahui pertumbuhan A. niger tersebut. Biomassa yang dihasilkan oleh A. niger berupa sel bulat berukuran cukup besar sehingga diukur berdasarkan bobotnya. Selain dengan mengukur berat kering massa sel, penentuan pertumbuhan fungi juga dapat dilakukan dengan menentukan kadar total nitrogen massa sel, kadar total asam nukleat massa sel, maupun dengan mengukur optical density dari medium pertumbuhan (Gandjar et al. 2006). Berdasarkan pengukuran, bobot biomassa yang dihasilkan semakin meningkat seiring penambahan waktu inkubasi. Peningkatan biomassa sel A.niger mengikuti kurva pertumbuhan diauxic. Kurva pertumbuhan diauxic menunjukkan terjadinya dua fase pertumbuhan dengan laju berbeda pada media pertumbuhan suatu mikroorganisme. Hal ini disebabkan penggunaan dua jenis sumber karbon (Lee & Lee 1996). Gambar 1 menunjukkan bahwa rendemen biomassa sel meningkat cukup signifikan dari 32.6810 g/L pada waktu inkubasi 48 jam menjadi 78.1585 g/L setelah 72 jam. Keadaan ini memperlihatkan terjadinya fase pertumbuhan pertama, yaitu saat sel
D - 29
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012 menggunakan sumber karbon yang lebih sederhana, yaitu glukosa. Nilai rendemen biomassa hanya meningkat menjadi 83.2255 g/L pada waktu inkubasi 96 jam. Hal ini menunjukkan bahwa glukosa sebagai sumber karbon utama A.niger telah habis digunakan. Mikroorganisme tersebut selanjutnya memasuki fase lag untuk persiapan penggunaan sukrosa yang merupakan sumber karbon lainnya. Pada fase lag laju pertumbuhan cenderung konstan (Lee & Lee 1996).
Rendemen biomassa…
150 100 50 0
0
24
48 72ke-96 Jam
Berdasarkan penentuan laju awal reaksi enzim glukosa oksidase, diketahui bahwa laju awal reaksi enzim glukosa oksidase adalah sebesar 0.04 /menit, dan laju linear tertinggi tercapai pada waktu 2.5 menit (vo). Penentuan aktivitas enzim selanjutkan dilakukan pengukuran pada menit ke 2.5. Inkubasi dilakukan pada suhu 30 oC. Berdasarkan hasil pengamatan, ekstrak kasar enzim glukosa oksidase intraseluler menunjukkan aktivitas spesifik yang jauh lebih tinggi dibandingkan ekstrak kasar enzim glukosa oksidase ekstraseluler (Gambar 2). Pada waktu inkubasi yang sama, misalnya 72 jam, enzim glukosa oksidase intraseluler memiliki aktivitas spesifik sebesar 1568.30 unit/mg, sementara ekstrak kasar glukosa oksidase ektraseluler hanya memiliki aktivitas spesifik sebesar 21.70 unit/mg.
2000
120 144
1568.1239.1538.1184. 1019. 2 1 18 98 1500 05 1000
Rendemen biomassa kembali meningkat pada waktu inkubasi 120 jam menjadi 134.423 g/L, dan merupakan nilai rendemen biomassa paling tinggi yang dihasilkan oleh isolat A. niger (IPBCC.08.610). Nilai tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil rendemen biomassa yang diproduksi oleh isolat lain, misalnya isolat A. niger PTTC 5012 yang hanya memiliki nilai rendemen biomassa tertinggi sebesar 11,7 g/L (Jafari et al. 2007). Setelah inkubasi 120 jam jumlah nutrien mulai berkurang dan senyawa toksik mulai terakumulasi sehingga laju pertumbuhan sel mulai menurun. Sel kemudian lisis dan mengalami kematian, sehingga pada waktu inkubasi 144 jam rendemen biomassa sel berkurang menjadi 123.278 g/L. Glukosa Oksidase Intraseluler dan Ekstraseluler Glukosa oksidase yang dihasilkan oleh Aspergillus niger dapat berupa enzim ekstraseluler maupun enzim intraseluler (Simpson 2005). Enzim intraseluler bekerja di dalam sel, sementara enzim ekstraseluler ialah enzim yang disekresikan ke luar sel dan berdifusi di dalam media (Teal & Wymer 2001). Pengetahuan mengenai aktivitas spesifik enzim glukosa oksidase dapat menunjukkan apakah enzim tersebut banyak diproduksi sebagai enzim ekstraseluler atau intraseluler.
Akt. Spesifik (unit/mg)
Gambar 1 Rendemen biomassa Aspergillus niger.
500
intra 35.67 39.14 sel… 30.2821.721.97
0
48 72 Jam 96 120 ke- 144 Gambar 2 Aktivitas spesifik enzim glukosa Oksidase Ekstrak kasar enzim glukosa oksidase ekstraseluler memiliki aktivitas spesifik tertinggi pada enzim hasil inkubasi 144 jam, yaitu sebesar 39.14 unit/mg. Hasil ini berada jauh di bawah aktivitas spesifik glukosa oksidase intraseluler yang memiliki nilai aktivitas spesifik sedikitnya mencapai 1019.05 unit/mg, yaitu enzim hasil inkubasi 48 jam. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa glukosa oksidase pada isolat A. niger (IPBCC.08.610) lebih banyak diproduksi sebagai enzim intraseluler. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sabir et al. (2007) bahwa glukosa oksidase pada Aspergillus sp. merupakan enzim intraseluler, berbeda dengan glukosa oksidase pada Penicillium sp. yang banyak ditemukan dalam bentuk enzim ektraseluler. Waktu Inkubasi Produksi Optimum Enzim Glukosa Oksidase Waktu inkubasi optimum produksi enzim glukosa oksidase bergantung pada karakter khas masing-masing isolat, media produksi, nutrisi, dan kondisi fisiologis produksi
D - 30
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012
200
0
5000
Aktivitas (unit/mL)
Rendemen Biomassa…
(Sabir et al. 2007). Penentuan waktu inkubasi optimum produksi enzim glukosa oksidase dari isolat Aspergillus niger (IPBCC.08.610) dilihat berdasarkan nilai aktivitas enzim yang paling tinggi diantara semua fraksi. Penentuan waktu inkubasi optimum dilakukan terhadap enzim intraseluler, karena glukosa oksidase pada isolat A. niger (IPBCC.08.610) lebih banyak diproduksi sebagai enzim intraseluler.
0 48 72 Waktu 96 120 (Jam) 144
Rendemen Biomassa
Gambar 3 Hubungan antara aktivitas glukosa oksidase dengan biomassa sel A. niger. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa pada waktu inkubasi 48 jam, aktivitas glukosa oksidase intraseluler sebesar 743.9 g/mL. Aktivitas enzim glukosa oksidase semakin meningkat seiring penambahan waktu inkubasi. Pada glukosa oksidase intraseluler, peningkatan nilai aktivitas setara dengan peningkatan nilai rendemen biomassa A. niger (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa glukosa oksidase merupakan metabolit primer dari Aspergillus niger. Glukosa oksidase hasil inkubasi 72 jam dan 96 jam memiliki aktivitas paling tinggi, yaitu masingmasing sebesar 2219 g/mL dan 2490.6 g/mL. Tingginya nilai aktivitas glukosa oksidase hasil inkubasi 72 jam dan 96 jam menunjukkan bahwa glukosa oksidase banyak diproduksi oleh isolat A. niger (IPBCC.08.610) pada waktu inkubasi tersebut. Hal ini disebabkan pada waktu inkubasi 72 jam dan 96 jam A. niger mulai memanfaatkan sukrosa sebagai sumber karbonnya. Menurut Bankar et al. (2009) sukrosa merupakan substrat yang dapat memproduksi glukosa oksidase secara optimum. Waktu inkubasi optimum produksi enzim glukosa oksidase dari isolat A. niger (IPBCC.08.610) sama dengan waktu inkubasi produksi optimum yang dibutuhkan oleh isolat Aspergillus niger NCM 545 untuk menghasilkan glukosa oksidase (Bankar et al. 2009). Enzim glukosa oksidase yang masuk ke dalam tahap pemurnian pada
penelitian ini ialah enzim glukosa oksidase hasil inkubasi 72 jam, bukan enzim glukosa oksidase hasil inkubasi 96 jam. Hal ini dilakukan karena waktu produksi enzim glukosa oksidase yang dibutuhkan lebih singkat. Selain itu, hal ini dilakukan untuk menghindari penurunan aktivitas yang mungkin saja terjadi pada inkubasi 96 jam akibat berkurangnya jumlah nutrisi dan terjadinya akumulasi autotoksik di dalam media (Bodade et al. 2010). Aktivitas enzim berhubungan dengan jumlah protein di dalam fraksi tersebut (GAC 2003). Penentuan aktivitas spesifik enzim glukosa oksidase perlu dilakukan sebelum proses pemurnian dilakukan, sebab nilai aktivitas spesifik enzim glukosa oksidase dapat menunjukkan kemurnian enzim tersebut (Lehninger et al. 2004). Glukosa Oksidase Fraksi Amonium Sulfat Ekstrak kasar glukosa oksidase hasil inkubasi 72 jam yang memiliki aktivitas tinggi selanjutnya masuk ke dalam tahap pemurnian amonium sulfat. Tahap ini merupakan metode awal pemurnian enzim yang berfungsi meningkatkan konsentrasi protein enzim, mereduksi volume larutan enzim, dan memisahkan protein target dari sebagian kontaminan yang tidak dikehendaki (Yuningtyas 2008).
Tabel 2 Hasil pemurnian enzim glukosa oksidase dengan amonium sulfat Aktivitas Total Total Spesifik Rendem Tahapan Protein Aktivitas (unit/mg (%) (mg) (unit) protein) Ekstrak kasar 1.4150 2219 1568.20 100
Masing-masing protein membutuhkan konsentrasi garam yang berbeda agar dapat mengendap (Berg et al. 2002). Amonium sulfat yang digunakan untuk pemurnian enzim glukosa oksidase memiliki tingkat kejenuhan 80%, karena menurut Sherbeny et al. (2005) amonium sulfat dengan tingkat kejenuhan 80% efektif dalam meningkatkan kemurnian glukosa oksidase. Konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendapkan glukosa oksidase secara optimum sangat tinggi karena enzim ini banyak mengandung asam amino serin dan glisin. Keberadaan serin dan glisin menyebabkan protein di dalam enzim glukosa oksidase bersifat hidrofilik (Lehninger et al. 2004). Konsentrasi amonium sulfat yang dibutuhkan untuk mengendapkan
D - 31
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012 protein yang memiliki lebih banyak gugus hidrofilik lebih tinggi dibandingkan dengan protein yang memiliki gugus hidrofilik sedikit (UCL 2006). Total aktivitas dan total protein glukosa oksidase hasil pemurnian ditunjukkan oleh Tabel 1 . Total aktivitas ialah jumlah unit enzim yang terdapat di dalam satu mililiter enzim, sementara total protein ialah jumlah miligram protein di dalam satu milliliter enzim. Total aktivitas dan total protein enzim menurun seiring tahap pemurnian. Aktivitas enzim menurun karena terdapat beberapa substansi penting diluar gugus prostetik enzim yang hilang akibat pemurnian (Holme & Peck 1998). Total protein menurun karena beberapa protein yang tidak diinginkan atau non spesifik berhasil dihilangkan. Aktivitas spesifik glukosa oksidase hasil pengendapan amonium sulfat meningkat menjadi 12409.64 unit/mg. Hal ini menunjukkan proses pemurnian berjalan dengan baik karena jumlah kehilangan protein non spesifik tersebut lebih besar daripada penurunan aktivitas enzim. Rendemen glukosa oksidase pada tahap pemurnian amonium sulfat sebesar 23.21%. Nilai rendemen tersebut sangat rendah dibandingkan rendemen glukosa oksidase hasil penelitian Bhatti & Saleem (2009), yang mencapai 88%. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang homogennya penambahan amonium sulfat saat pemurnian. Tingkat kemurnian sementara itu meningkat menjadi 8 kali, lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Bhatti & Saleem (2009) yang hanya mencapai 2 kali.
murni dibandingkan ekstrak kasar, dengan nilai rendemen 23.21%.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad A, Syaiful A, Firman AP, Patong AR. 2007. Imobilisasi enzim glukosa oksidase dari Penicillium sp-3 galur lokal. Indo. J. Chem. 7: 97 - 104. Anwar YAS. 2006. Produksi dan karakterisasi enzim tanin asil hidrolase dari Aspergillus niger. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Baker SE. 2006. Aspergillus niger genomics: Past, present and into the future. Medical Mycology 44: 17 - 21. Bankar SB, Bule MV, Singhal RS, Ananthanarayan L. 2009. Optimization of Aspergillus niger fermentation for the production of glucose oxidase. Food Bioprocess Technol 2: 344 - 352. Berg JM, Tymoczko JL, Sttyrer L. 2002. Biochemistry 5th Ed. USA: WH. Freeman & Company. Bergmeyer HU, Gawehn K, Grassl M. 1974. Methods of Enzymatic Analysis. New York: Academic Press Inc. Bhatti HN, Saleem N. 2009. Characterization of glucose oxidase from Penicillium notatum. Food Technol. Biotechnol 47: 331 - 335. Bodade RG, Chandarahas N, Khobragade, Arfeen S. 2010. Optimization of culture conditions for glucose oxidase production by a Penicillium chrysogenum SRT 19 strain. Eng. Life Sci. 10: 35–39.
KESIMPULAN Glukosa oksidase lebih banyak diproduksi dalam bentuk enzim intraseluler pada isolat Aspergillus niger (IPBCC.08.610). Produksi optimum enzim glukosa oksidase dari isolat lokal A. niger terjadi pada waktu inkubasi 72 jam hingga 96 jam, yang ditunjukkan oleh aktivitas tertinggi yaitu masing-masing sebesar 2219 unit/mL dan 2490 unit/mL. Ekstrak kasar glukosa oksidase hasil inkubasi 72 jam yang digunakan dalam tahap pemurnian memiliki aktivitas spesifik 1568.20 unit/mg dan meningkat menjadi 12409.64 unit/mg setelah dimunikan dengan amonium sulfat. Fraksi hasil pemurnian ini 8 kali lebih
Chaplin M. 2004. Concentration by precipitation. London South Bank University. [terhubung berkala]. http://www. lsbu. ac. uk/ biology/ enztech/ concentration. html. [29 Desember 2011]. Desriani, Hanashi T, Yamazaki T, Tsugawa W, Sode K. 2010. Enzyme fuel cell for cellulolytic sugar conversion employing FAD glucose dehydrogenase and carbon cloth electrode based on direct electron transfer principle. The Open Electrochemistry Journal 2: 6 - 10.
D - 32
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012 El-Enshasy H. 1998. Optimization of glucose oxidase production and excretion by recombinant Aspergillus niger. [disertasi]. Jerman: Universitas Braunschweig. [EPA] Environmental Protection Agency. 1997. Aspergillus niger final risk assessment. Biotechnology Program under the Toxic Substances Control Act (TSCA). [terhubung berkala]. http://www.epa.gov/biotech_rule/pubs/f ra/ fra006.htm [7 Maret 2011]. Firman P, Aryantha INP. 2003. Eksplorasi dan isolasi enzim glukosa oksidase dari fungi inperfekti (genus Penicillium dan Aspergillus) indigenus. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia; Bandung, 29 - 30 Agustus 2003. GAC [Gustavus Adolphus College]. 2003. Enzymes. Gustavus. [terhubung berkala]. http://homepages. gac. edu/ ~cellab/ chpts/ chpt5 /intro5. html. [18 Januari 2012]. Gandjar I, Samson RA, Tweel-Vermeulen K, Oetari A, Santoso I. 2000. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Gautam AK, Sharma S, Avasthi S, Bhadauria R. 2011. Diversity, pathogenicity and toxicology of A. niger: An important spoilage fungi. Res. J. Microbiol 6: 270 - 280. Goodsel D. 2006. Glucose oxidase. RCSB Protein Data Bank. [terhubung berkala]. http://www. pdb. org/ pdb/ 101/ motm. do? momID=77. [13 Desember 2011]. Holme DJ, Peck H. 1998. Analytical Biochemistry 3rd Ed. London: Perason Education. Jafari AR, Sarrafzadeh MH, Alemzadeh I, Vosoughi M. 2007. Effect of stirrer speed and aeration rate on the production of glucose oxidase by Aspergillus niger. J. Bio. Sci 7: 270 -275. Kelley RL, Reddy CA. 1986. Purification and characterization of glucose oxidase from ligninolytic cultures of
Phanerochaete chrysosporium. Journal of Bacteriology 166: 269 - 274. Khurshid S, Kashmiri MA, Quershi Z, Ahmad W. 2011. Optimization of glucose oxidase production by Aspergillus niger. African Journal of Biotechnology 10: 1674 - 1 678. Kim J, Jia H, Wang P. 2006. Challenges in biocatalysis for enzyme-based biofuel cells. Biotechnology Advances 24: 296 - 308. Koolman J, Roehm KH. 2005. Color Atlas of Biochemistry. New York: Thieme Stuttgart. Lee TK, Lee WS. 1996. Diauxic growth carbon in rice suspension cells grown on mixed carbon sources of acetate and glucose. Plant Physiol 110 : 465-470. Lee JY, Shin HY, Kang SW, Park C, Kim SW. 2011. Application of an enzymebased biofuel cell containing a bioelectrode modified with deoxyribonucleic acid-wrapped singlewalled carbon nanotubes to serum. Enzyme and Microbial Technology 48: 80 - 84. Lehninger AL, Nelson DL, Cox MM. 2004. Principles of Biochemistry. USA: W H Freeman & Co Publication. Lowry OH, Roserbrough NJ, farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the folin phenol reagent. J. Biol. Chem: 265 - 275. McDowall J. 2006. Glucose oxidase and biosensors. European Bioinformatics Institute. [terhubung berkala]. http://embl-ebi. org/ interpro/ potm/ 2006_5/ Page1. htm. [29 Desember 2011]. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. 2009. Biokimia Harper. Pendit BU, penerjemah. Jakarta: EGC. Nakamura S, Fujiki S. 1967. Comparative studies on the glucose oxidases of Aspergillus niger and Penicillium amagasakiense. J. Biochem 63: 51-58. Neto SA, Forti JC, Zucolotto V, Ciancaglini P, Andrade de AR. 2011. Development of nanostructured bioanodes containing dendrimers and dehydrogenases enzymes dor application in ethanol biofuel cells. Biosensors and
D - 33
Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa 2012 – ISBN : 978-979-028-550-7 Surabaya, 25 Pebruari 2012 Bioelectronics 26: 2922 - 2926.
[UCL] University College London. 2006. Ammonium sulphate fractionation. UCL. [terhubung berkala]. http://www. ucl. ac. uk/ ~ucbcdab/ enzpur/ amso4. htm. [15 Januari 2012].
Ogawa A, Ando F. 2009. Sucrose metabolism for the development of seminal root in maize seedlings. J. Plant Production: 9 - 16. Poedjiadi A, Supriyantini FMT. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.
Wilson K, Walker J. 2000. Principles and Techniques of Practical Biochemistry 5th Ed. UK: Cambridge University Press.
Sabir S, Bhatti HN, Zia MA, Sheikh MA. 2007. Enhanced Production of glucose oxidase using Penicillium notatum and rice polish. Biotechnol 45: 443 - 446.
Wirakartakusumah et al. 1987. Isolasi dan karakterisasi enzim dari Aspergillus niger serta pemanfaatan dalam pembangunan industri gula cair. [laporan penelitian].
Sherbeny El GA, Shindia AA, Sheriff† YMMM. 2005. Optimization of various factors affecting glucose oxidase activity produced by Aspergillus niger. Int. J. Agri. Biol 7: 953 - 958.
Wrolstad RE, Decker EA, Schwartz SJ. 2005. Handbook of Food Analytical Chemistry: Water, Proteins, Enzymes, Lipids, and Carbohydrates. New York: Wiley - Interscience.
Simpson C. 2005. Isolation, purification and characterization of a novel glucose oxidase from Penicillium canescens Tt42. [tesis]. Afrika: Rhodes University.
Yamaguchi M, Tahara Y, Nakano A, Taniyama T. 2007. Secretory and continuous expression of Aspergillus niger glucose oxidase gene in Pichia pastoris. Protein Expression and Purification 55: 273 - 278.
Steele BCH, Heinzel A. 2001. Material for fuel-cell technologies. Nature 414: 345 - 352.
Yuningtyas S. 2008. Isolasi dan karakterisasi ß-Galaktosidase bakteri asam laktat dari makanan hasil fermentasi. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Teal AR, Wymer PEO. 2001. Enzymes and their role in biotechnology. Biochemistry. [terhubung berkala]. http://www. biochemistry. org/ Portals/ 0/ Education/ Docs/ BASC03_full. pdf. [17 Januari 2012].
D - 34