1
PENGARUH LAMA HIDROLISIS DAN DOSIS ENZIM AMILASE DARI ASPERGILLUS NIGER TERHADAP KADAR GLUKOSA HASIL HIDROLISIS PATI BONGGOL PISANG KEPOK MERAH
KARYA TULIS ILMIAH
OLEH FITRIA ASTUTIK NIM. 08.007
AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA MALANG AGUSTUS 2011
2
PENGARUH LAMA HIDROLISIS DAN DOSIS ENZIM AMILASE DARI ASPERGILLUS NIGER TERHADAP KADAR GLUKOSA HASIL HIDROLISIS PATI BONGGOL PISANG KEPOK MERAH
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan kepada Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program D III bidang Analis Farmasi dan Makanan
OLEH FITRIA ASTUTIK NIM. 08.007
AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA MALANG AGUSTUS 2011
3
Bacalah dengan (menyebut) Nama Tuhan-mu yang Menciptakan Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah Bacalah, dan Tuhan-mulah yang Maha Pemurah Yang Mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam Dia Mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. Al ’Alaq: 1-5)
Ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orangtua atas segala pengorbanan dan kasih sayang yang tiada henti tercurah sampai saat ini kepada penulis kepada kedua adikku kepada teman-teman yang turut membantu Dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terimakasih untuk semuanya yang namanya tidak bisa disebutkan
4
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan industri makanan dan minuman di Indonesia melaju pesat, banyak produsen yang berusaha membuat produknya menjadi lebih baik. Perkembangan industri tersebut juga diikuti dengan peningkatan kebutuhan akan bahan tambahan pangan. Salah satu bahan tambahan pangan yang mengalami peningkatan permintaan adalah sirup glukosa. Sirup glukosa atau biasa disebut gula cair digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan industri farmasi. Beberapa industri yang menggunakan sirup glukosa adalah industri permen, minuman ringan, jeli, sirup, biskuit, dan lain-lain. Industri lebih memilih menggunakan sirup glukosa karena sirup glukosa tidak mengkristal seperti sukrosa apabila dilakukan pemasakan pada suhu tinggi dan sirup glukosa dapat memperbaiki tekstur pada produk makanan. Bahan baku pembuatan sirup glukosa ada beberapa macam, antara lain tepung maizena, beras, tapioka, kentang, akar-akaran dan sagu. Bahan baku yang paling sering digunakan adalah tepung tapioka, padahal masih banyak sumber pati dari tanaman lain yang masih belum banyak dimanfaatkan salah satunya adalah bonggol pisang. Pisang merupakan salah satu tanaman yang memiliki banyak manfaat, semua bagiannya mulai dari akar hingga daun dapat digunakan. Bonggol pisang adalah salah satu bagian pisang yang belum banyak dimanfaatkan. Bonggol
5
pisang memiliki banyak kandungan karbohidrat, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengganti makanan. Komposisi dari bongkol pisang adalah 76% pati, 20% air, sisanya adalah protein dan vitamin (Yuanita dkk, 2008). Kandungan pati bonggol pisang tersebut sangat berpotensi sebagai sumber bahan baku pembuatan sirup glukosa. Pemilihan bahan baku bonggol pisang merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai ekonomisnya, selain itu bonggol pisang mudah didapat dan tidak mengenal musim. Proses pembuatan sirup glukosa yang banyak digunakan adalah secara hidrolisis enzimatis. Pemilihan metode hidrolisis enzimatis bertujuan untuk mendapatkan hasil yang lebih bagus. Hidrolisis pati menjadi gula sederhana dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai substrat fermentasi untuk membuat produkproduk seperti glukosa, wine dan bioetanol. Hidrolisis pati umbi-umbian dapat dilakukan menggunakan aktivitas enzim amilase dari Aspergillus niger. Hidrolisis pati bonggol pisang menjadi sirup glukosa dilakukan dengan metode hidrolisis enzimatis menggunakan aktivitas enzim amilase Aspergillus niger. Menurut I Made Sukasa tahun 1996 kondisi optimum produksi enzim amilase dilakukan selama 2 hari pada pH 6 dan suhu ruang (35-37ºC), dengan demikian dilakukan produksi enzim amilase dari Aspergillus niger berdasarkan penelitian tersebut. Enzim amilase dari Aspergillus niger kemudian ditanam pada larutan pati bonggol pisang untuk proses hidrolisis pati. Glukosa yang dihasilkan dianalisa kadarnya menggunakan metode Somogyi-Nelson. Proses hidrolisis pati terhadap kadar glukosa yang dihasilkan dipengaruhi oleh konsentrasi enzim, lama hidrolisis, pH, suhu, dan konsentrasi substrat. Variabel yang diteliti untuk
6
mengetahui kadar glukosa yang dihasilkan pada hirolisis pati adalah dosis enzim (10%, 15%, dan 20% ), dan lama hidrolisis (24 jam, 48 jam, dan 72 jam). Hidrolisis dilakukan pada kondisi optimum yaitu kadar suspensi pati adalah 7%, pH 4,5, dan temperatur 37ºC (Lindawati, dkk. 2007). Berdasarkan uraian diatas, lama hidrolisis dan dosis enzim amilase dari Aspergillus niger memiliki pengaruh terhadap kadar glukosa yang terbentuk hasil hidrolisis pati sehingga penelitian “Pengaruh Lama Hidrolisis dan Dosis Enzim Amilase dari Aspergillus niger terhadap Kadar Glukosa Hasil Hidrolisis Pati Bonggol Pisang Kepok merah” merupakan penelitian yang menarik untuk dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.2.1 Bagaimana pengaruh variasi dosis enzim amilase dari Aspergillus niger 10%, 15%, dan 20% terhadap kadar glukosa pada hidrolisis pati bonggol pisang kepok merah? 1.2.2 Bagaimana pengaruh variasi lama hidrolisis 24 jam, 48 jam, dan 72 jam terhadap kadar glukosa pada hidrolisis pati bonggol pisang kepok merah?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.3.1 Mengetahui pengaruh variasi dosis enzim amilase dari Aspergillus niger 10%, 15%, dan 20% terhadap kadar glukosa pada hidrolisis pati bonggol pisang kepok merah
7
1.3.2
Mengetahui pengaruh variasi lama hidrolisis 24 jam, 48 jam, dan 72 jam terhadap kadar glukosa pada hidrolisis pati bonggol pisang kepok merah
1.4 Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1 Mengetahui pengaruh dosis enzim amilase dari Aspergillus niger dan lama hidrolisis terhadap hidrolisis pati menjadi glukosa 1.4.2 Sebagai bahan rujukan untuk karya tulis selanjutnya yang meneliti tentang pengaruh lama hidrolisis dan dosis enzim amilase dari Aspergillus niger terhadap kadar glukosa hasil hidrolisis pati bonggol pisang kepok merah
1.5 Asumsi Penelitian Asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.5.1 Enzim amilase dari Aspergillus niger digunakan untuk hidrolisa pati bonggol pisang menjadi sirup glukosa
1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah pengaruh lama hidrolisa dan dosis enzim amilase terhadap kadar glukosa pada hidrolisis pati bonggol pisang kepok merah menggunakan metode Samogyi Nelson. Adapun keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukan analisis kinerja enzim terhadap enzim yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus niger. Proses hidrolisis pati dilakukan pada kondisi kadar suspensi pati 7%, pH
8
4,5temperatur 37ºC. Glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis pati bonggol pisang dianalisa kadarnya menggunakan metode Samogyi Nelson.
1.7 Definisi Istilah Beberapa istilah dalam karya tulis ini adalah : 1.7.1 Hidrolisa enzimatis adalah reaksi hidrolisa pati menjadi gula sederhana dilakukan dengan menggunakan enzim 1.7.2 Sirup glukosa adalah cairan kental dan jernih dengan komponen utama glukosa, diperoleh dengan cara kimia maupun enzimatik 1.7.4 Enzim amilase adalah enzim yang berfungsi memecah pati atau glikogen 1.7.5 Enzim α-amilase adalah endoenzim yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian dalam molekul 1.7.6 Enzim β-amilase adalah eksoenzim yang menghidrolisis unit-unit gula dari ujung molekul pati. 1.7.7 Enzim Glukoamilase adalah eksoenzim yang memutus satuan glukosa berturut-turut dari ujung tak mereduksi rantai substrat. 1.7.8 Aspergillus niger adalah kapang yang menghasilkan enzim amilase yang berperan dalam mengurai pati menjadi gula sederhana. 1.7.9 Amilosa adalah fraksi dari pati yang larut dalam air panas 1.7.10 Amilopektin adalah fraksi dari pati yang tidak larut dalam air panas
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang Pisang memiliki nama latin Musa paradisiaca dari genus Musa, famili Musaceae adalah tumbuhan berbatang lunak. Merupakan tanaman tropis yang banyak dijumpai di Asia Tenggara. Tanaman pisang biasanya memiliki tinggi 2-8 meter dengan daun yang panjangnya mencapai 3,5 meter (Agoes, 2010). Kedudukan tanaman pisang dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Lies, 2005). Divisi
: Spermatophyta (tanaman biji)
Sub divisi
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas
: Monocotyledonae (biji berkeping satu)
Ordo
: Scitaminae
Famili
: Musaceae
Sub famili
: Muscoideae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa paradisiaca Linn
Tanaman pisang merupakan salah satu tanaman yang memiliki banyak manfaat, semua bagiannya mulai dari daun hingga akar dapat digunakan. Masyarakat Indonesia menggunakan buah pisang sebagai panganan yang dioalah atau dikonsumsi langsung. Nilai gizi buah pisang cukup tinggi sebagai sumber karbohidrat, vitamin, dan mineral. Kandungan karbohidratnya terutama zat tepung
10
atau pati (starch) dan macam-macam gula. Kandungan gula dalam pisang terdiri atas senyawa-senyawa seperti dextrosa 4,6%, levulosa 3,6%, dan sukrosa 2%. Ketiga jenis gula tersebut mudah dicerna oleh tubuh manusia baik tua maupun muda bahkan bayi (Hieronymus, 1996). Bagian lain dari tanaman pisang yang dapat dimanfaatkan adalah bonggol pisang. Bonggol pisang adalah batang pendek tanaman pisang berada dibawah tanah diselimuti akar serabut. Dari mata tunas yang ada pada bonggol akan tumbuh tanaman pisang baru (Dalimartha, 2003). Bonggol pisang merupakan salah satu bagian pisang yang memiliki kandungan pati. Pati dari bonggol pisang menyerupai pati tepung sagu dan tepung tapioka. Bonggol pisang memiliki komposisi yang terdiri dari 76% pati, 20% air (Yuanita dkk, 2008).
2.2 Pati Pati (starch) adalah karbohidrat penyimpan energi pada tanaman. Pati terdapat sebagai butiran kecil dengan berbagai ukuran dan bentuk yang khas untuk setiap spesies tumbuhan. Butir pati dapat ditunjukkan dengan mikroskop cahaya biasa dan cahaya terpolarisasi dan dengan difraksi sinar-X terlihat mempunyai struktur kristal yang sangat beraturan (Deman, 1997). Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang (Rahmayanti, 2010)
11
Pati merupakan golongan polisakarida yaitu terdiri lebih dari delapan satuan monosakarida
diperoleh dari hidrolisis (Fessenden, 1990). Hidrolisis
parsial pada pati menghasilkan maltosa dan hidrolisis selengkapnya akan memberikan D-glukosa (Hart, 1983). Pati terdiri dari dua fraksi yaitu fraksi terlarut amilosa dan fraksi tidak terlarut amilopektin, kedua fraksi tersebut dapat dipisahkan dengan air panas. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1989).
2.2.1 Amilosa Amilosa mempunyai kemampuan untuk membentuk gel setelah pati tergelatinisasi dan membentuk pasta. Sifat ini umum terjadi pada pati yang mengandung amilosa (Estiasih, 2005). Amilosa menyusun 20% pati, unit-unit glukosa (50-300) membentuk rantai lurus yang berikatan menurut 1,4(Hart, 1983). Apabila suatu pati mengandung amilosa dengan kadar kurang dari 6%, maka amilum akan berbentuk seperti malam atau selai (Sirait, 2007).
Gambar 2.1 Struktur Amilosa
Hidrolisis lengkap amilosa menghasilkan hanya D-glukosa dan hidrolisis parsial menghasilkan maltosa sebagai satu-satunya disakarida (Fessenden, 1990).
12
2.2.2 Amilopektin Amilopektin merupakan molekul paling dominan dalam pati. Sifat amilopektin berbeda dengan amilosa karena mempunyai banyak percabangan, seperti retrogradasi lambat dan pasta yang terbentuk tidak dapat membentuk gel tetapi bersifat lengket (kohesif) dan elastis (gummy texture) (Estiasih, 2005). Amilopektin merupakan polisakarida yang lebih besar dari pada amilosa, mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih permolekul. Hidrolisis lengkap amilopektin
hanya menghasilkan D-glukosa, namun hidrolisis tak lengkap
menghasilkan suatu campuran disakarida maltosa dan isomaltosa, yang kedua ini berasal dari percabangan-1,6 (Fessenden, 1990).
Gambar 2.2 Struktur Amilopektin
Setiap molekul amilopektin memiliki 300-500 unit glukosa, rantai dengan ikatan 1,4 hanya terdapat rata-rata sepanjang 25-30 unit glukosa. Rantairantai demikian mempunyai percabangan melalui ikatan 1,6. Karena strukturnya yang banyak bercabang, butir pati mengembang dan membentuk larutan koloid dalam air (Hart, 1983).
13
2.3 Enzim Enzim adalah protein yang mempunyai sifat katalitik, sifat ini menyebabkan enzim berguna dalam telaah analitik. Beberapa enzim hanya terdiri atas protein, tetapi kebanyakan enzim mengandung komponen non protein tambahan seperti karbohidrat, lipid, logam, fosfat, atau beberapa bagian organik yang lain (Deman, 1997). Enzim adalah protein yang disintesis dalam sel tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Produksi enzim dari mikroba lebih dianjurkan, karena enzim mikroba sangat tahan panas dan optimum pH-nya lebih lebar (Deman, 1997).
2.3.1 Enzim amilase Enzim amilase merupakan enzim yang diproduksi secara ekstraseluler oleh Aspergillus niger. Enzim ini bersifat growth associated yang berarti bahwa enzim ini diproduksi seiring dengan pertumbuhan sel atau dapat dikatakan seiring dengan pertambahan biomassa. Dalam perkembangannya diketahui bahwa metabolisme enzim amilase membutuhkan pasokan oksigen yang mencukupi (Krishna, 2010). Amilase adalah enzim golongan glikosida hidrolase yang paling penting. Enzim pengurai pati ini dapat dipilah ke dalam dua kelompok yaitu enzim pengawacabangan yang secara khas menghidrolisis ikatan 1,6 antara rantai-rantai, dan enzim yang memutuskan ikatan 1,4 antara satuan glukosa pada rantai lurus. Golongan terakhir terdiri atas endoenzim yang memutus ikatan-ikatan pada titik acak sepanjang rantai dan eksoenzim yang memutus ikatan pada titik khusus dekat ujung rantai (Deman, 1997).
14
Amilase merupakan merupakan enzim yang berfungsi memecah pati atau glikogen. Amilase dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan enzim yaitu αamilase, β-amilase dan glukoamilase (Estiasih, 2005) 2.3.1.1 Enzim α-amilase Enzim α-amilase disebut juga dengan 1,4–α-D-glukan glukanohidrolase atau glukogenase. Enzim ini bekerja memutus ikatan α-1,4 glikosida pada amilum secara acak terutama pada rantai yang panjang. sehingga menghasilkan maltotriosa dan maltosa dari polimer amilosa pada amilum, dan menghasilkan glukosa dan sedikit dekstrin dari polimer amilopektin penyusun amilum. Karena sifatnya yang dapat memutus ikatan glikosida secara acak, enzim ini bekerja lebih cepat dibanding amilase lainnya terutama β-amilase (Sianturi, 2008). 2.3.1.2 Enzim β-amilase Enzim β-amilase disebut juga 1,4–α-D-glukan maltohidrolase ataupun sakarogen amilase. Enzim ini dijumpai pada kelompok tumbuhan, bakteri dan fungi. Bekerja menghidrolisis amilum dari bagian ujung non reduksi dan menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosida pada tahap kedua hidrolisis amilum sehingga terbentuk molekul maltosa yang disusun oleh dua unit glukosa pada saat yang sama setelah α-amilase bekerja. Selama proses pematangan buah β-amilase bekerja memecah amilum menjadi gula sehingga buah yang matang terasa manis (Sianturi, 2008). 2.3.1.3 Enzim Glukoamilase Enzim ini adalah eksoenzim yang memutus satuan glukosa berturut-turut dari ujung tak mereduksi rantai substrat. Produk yang terbentuk glukosa saja dan ini membedakannya dari α- dan β-amilase. Disamping menghidrolisis ikatan α-1,4
15
enzim ini dapat juga menyerang α-1,6 pada titik percabangan, walaupun dengan laju yang lebih rendah. Ini berarti bahwa pati dapat diuraikan sempurna menjadi glukosa. Enzim ini terdapat dalam bakteri dan jamur yang dipakai secara industri pada produksi sirup jagung dan glukosa (Deman, 1989).
2.3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sebagai berikut : 2.3.2.1 Pengaruh suhu Suhu bepengaruh besar terhadap aktivitas enzim. Semua enzim bekerja dalam rentang suhu tertentu pada tiap jenis organisma. Peningkatan suhu eksternal secara umum akan meningkatkan kecepatan reaksi kimia enzim, tetapi kenaikan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya denaturasi enzim yaitu kerusakan struktur protein enzim, terutama kerusakan pada ikatan ion dan ikatan hidrogennya. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan reaksi yang dikatalis oleh enzim tersebut. Denaturasi enzim di atas suhu optimum akan menyebabkan terjadinya kematian pada sel organisma, tetapi beberapa organisma mampu bertahan hidup dan tetap aktif pada suhu yang sangat tinggi, dimana organisma lain sudah tidak mampu lagi hidup seperti bakteri dan alga yang ditemukan pada sumber-sumber air panas di taman Nasional Yellow Stone Amerika, suhu optimum untuk hidupnya sebesar 70ºC (Sianturi, 2008). Suhu rendah mendekati titik beku tidak merusak enzim, namun enzim tidak dapat bekerja. Dengan kenaikan suhu lingkungan, enzim mulai bekerja sebagian dan mencapai suhu maksimum pada suhu tertentu. Bila suhu
16
ditingkatkan terus, jumlah enzim yang aktif akan berkurang karena mengalami denaturasi. Kecepatan reaksi enzimatik mencapai puncaknya pada suhu optimum. Enzim dalam tubuh manusia mempunyai suhu optimum sekitar 370C. Sebagian besar enzim menjadi tidak aktif pada pemanasan sampai ±60ºC, karena terjadi denaturasi (Soewoto, 2001). 2.3.2.2 Pengaruh pH Enzim bekerja pada kisaran pH tertentu. Jika dilakukan pengukuran aktifitas enzim pada beberapa macam pH yang berlainan, sebagian besar enzim di dalam tubuh akan menunjukkan aktivitas maksimum antara pH optimum. Pada pH yang jauh di luar pH optimum, enzim akan terdenaturasi. Selain itu pada keadaan ini baik enzim maupun substrat dapat mengalami perubahan muatan listrik yang mengakibatkan enzim tidak dapat berikatan dengan substrat (Soewoto, 2001). 2.3.2.3 Pengaruh konsentrasi enzim Peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi enzimatik. Dapat dikatakan bahwa reaksi enzimatik berbanding lurus dengan konsentrasi enzim. Makin besar konsentrasi enzim makin cepat (Soewoto, 2001). Penggunaan enzim sebagai katalis bertujuan untuk mempermudah perubahan suatu senyawa menjadi senyawa yang lain. Akan tetapi penggunaan enzim tidak boleh sembarangan, karena akan sangat mempengaruhi pengukuran analit yang diperiksa. Sehingga penggunaan enzim sebagai biokatalis harus dalam jumlah yang optimum, supaya reaksi berjalan baik dan memberikan informasi yang tepat tentang jumlah analit yang diperiksa (Sadikin, 2002).
17
2.4 Hidrolisa Pati Secara Enzimatis Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa dan glukosa (Rahmayanti, 2010). Menurut Hart (1983), reaksi hidrolisa yang terjadi pada pati adalah :
[ C12 H 20 O10 ] n nHO → 2
nC12 H 22 O11 nH 2O → 2 nC 6 H12 O 6
Pati
maltosa
glukosa
(polisakarida)
(disakarida)
(monosakarida)
Amilosa sebagai polimer dari glukosa yang merupakan rantai lurus dan secara kuantitatif dapat dihidrolisis menghasilkan maltosa sedangkan amilopektin terhidrolisis sebagian. (Hidayat, 2006). Reaksi hidrolisa pati menjadi maltosa dilakukan dengan menggunakan enzim α-amylase merupakan salah satu contoh reaksi enzimatis komersial yang penting pada saat ini (Agus dkk, 2008). Hidrolisa pati secara enzimatis lebih dipilih karena memiliki beberapa kelebihan, yaitu bahan baku mudah didapat, proses lebih sederhana dibandingkan dengan menggunakan asam, peralatan tidak rumit sehingga operasi tidak butuh tenaga banyak, dan dihasilkan sirup glukosa yang lebih jernih dan bersih. Proses hidrolisa pati secara enzimatis memiliki kekurangan karena prosesnya membutuhkan enzim banyak, dan enzim yang dipakai masih import serta harganya relatif mahal (Fatimah, 2008). Chaplin dan Bucke (1990) menyatakan bahwa ada tiga tahap konversi pati menjadi glukosa yaitu gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi. Tahap gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari granula pati, tahap
18
likuifikasi yaitu proses hidrilosis pati parsial pati yang ditandai dengan menurunnya viskositas dan sakarifikasi yaitu proses lebih lanjut dari hidrolisis menghasilkan glukosa (Melani, 2006).
2.4.1 Gelatinisasi Gelatinisasi pati adalah rusaknya keteraturan molekul dalam granula pati yang ditunjukkan oleh perubahan sifat irrefersibel seperti pengembungan granula, lelehan kristal, kehilangan sifat birefringent, dan pelarutan pati. Awal gelatinisasi dan kisaran suhu terjadinya gelatinisasi dipengaruhi oleh konsentrasi pati, metode pengamatan, jenis granula, dan keheterogenan granula (Estiasih, 2005).
2.4.2 Likuifikasi Tahap likuifikasi secara enzimatik merupakan proses hidrolisa pati menjadi dekstrin oleh enzim pada suhu diatas suhu gelatinisasi dan pH optimum aktivitas enzim, selama waktu yang telah ditentukan untuk setiap jenis enzim. Proses liquifikasi selesai ditandai dengan parameter dimana larutan menjadi lebih encer seperti sup (Rahmayanti, 2010).
2.4.3 Sakarifikasi Tahap sakarifikasi adalah tahap pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana dengan penambahan enzim glukoamilase. Pada tahap ini dekstrin diubah menjadi glukosa Untuk memurnikan sirup glukosa yang dihasilkan dapat dengan proses absorbsi oleh arang aktif (Rahmayanti, 2010).
19
2.5 Aspergillus niger Aspergillus tersebar luas di alam. Aspergillus niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar dan dipak secara padat, bulat dan berwarna hitam, cokelat hitam atau ungu cokelat. Konidianya kasar dan mengandung pigmen. Kebanyakan galur dalam grup ini mempunyai sklerotia yang berwarna abu-abu sampai hitam. Beberapa galur digunakan dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan enzim(Srikandi, 1992). Kapang Aspergillus niger mempunyai kelebihan dalam menghasilkan enzim-enzim
pengurai
seperti
sellulase,
amylase,
pektinase,
katalase,
amiloglukosidase dan glukosaoksidase, sehingga produk fermentasi tersebut menghasilkan senyawa-senyawa sederhana seperti senyawa glukosa. Kapang ini tumbuh maksimum pada suhu 30ºC - 37ºC dan derajat keasaman untuk pertumbuhan adalah 2,8 – 5 tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH yang rendah (Harahap, 2010).
2.6 Sirup Glukosa Pembuatan sirup glukosa (Glucose syrup) pertama kali didirikan pada tahun 1811 oleh ilmuwan Jerman yaitu Gottlieb Sigismund Constantin Krichhoff. Bahan baku sirup glukosa ada beberapa macam, antara lain tepung Maizena, beras, kentang, tapioka, akar-akaran dan sagu. Dari total produksi dunia bahan baku utama adalah tepung tapioka. Glukosa dibuat dari pati melalui proses hidrolisis yang mengubah pati menjadi dextrin atau sirup glukosa tergantung dari derajat pemecahannya (Dziedzic, 1994).
20
Sirup glukosa atau lebih dikenal dengan gula cair adalah larutan gula yang dipekatkan yang diperoleh dari pati dan mempunyai DE(dextrose equivalent) 20 atau lebih. Jika produk DE-nya kurang dari 20, disebut maltodekstrin. DE atau derajat depolimerisasi dinyatakan dengan kesetaraan dekstrosa(glukosa) dan didefinisikan sebagai dekstrosa dan dihitung sebagai persentase dari bahan kering total (Deman,1989). Definisi sirup glukosa menurut SNI 01-2978-1992 adalah cairan kental dan jernih dengan komponen utama glukosa, diperoleh dari hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik. Glukosa atau D-glukosa merupakan monosakarida yeng terpenting biasa disebut gula darah, gula anggur, atau dekstrosa (Fessenden,1990). D-glukosa merupakan monosakarida paling penting dan berasal dari gula paling sederhana (Deman, 1997) Huruf D yang menjadi nama depan merupakan singkatan dari kata Dekstro. Biasanya huruf D ditulis untuk melambangkan nama gula sederhana. Monosakarida D-glukosa dapat dengan cepat dan mudah diserap oleh dinding usus kecil manusia (Winarno, 1989).
2.7 Spektrofotometri Spektrofotometri
merupakan
salah satu instrumen pada teknik
spektroskopik. Spektoskopik adalah teknik analisis fisiko kimia yang mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik (REM). Spektofotometri memakai monokromatoe celah yang tetap pada bidang fokal dan dilengkapi dengan detektor yang bersifat foto elektrik (Mulja,1995)
21
2.7.1 Spektrofotometri UV-VIS Spektrofotometri UV-VIS adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultra violet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai intrumen spektofotometer (Mulja, 1995). Panjang gelombang serapan maksimum dan minimum pada spektrum serapan yang diperoleh direkam (dalam nm), demikian juga kekuatan absorbansi (keterserapan) (atau kerapatan optik) pada maksima dan minima yang khas (Harborne, 1987). Secara garis besar konfigurasi dari suatu spektrofotometer UV-VIS terdiri dari Sumber radiasi, detektor, monokromator, amplifier, sampel, dan recorder (Kok, 1997). 2.7.1.1 Sumber radiasi (radiation source) Sumber radiasi berguna untuk memberikan radiasi dengan rentang panjang gelombang tertentu. Untuk daerah ultraviolet umumnya digunakan lampu hidrogen atau lampu deuterium, sedangkan untuk daerah sinar tampak umumnya digunakan lampu tungsten. 2.7.1.2 Monokromator (monochromator) Monokromator berfungsi untuk mengubah radiasi polikromatis yang dipancarkan oleh sumber radiasi menjadi radiasi monokromatis. Monokromator ini umumnya terdiri dari celah masuk (entrance slit), filter optik, prisma(prism) dan atau kisi (grating), dan celah keluar (exit slit). Celah masuk berfungsi untuk masuknya cahaya yang berasal dari sumber radiasi, filter optik berguna untuk menyerap warna komplementer agar sinar tampak yang diteruskan merupakan
22
sinar yang warnanya sesuai dengan warna filter optik yang dipakai, prisma dan atau kisi berfungsi untuk mendispersi radiasi supaya didapatkan resolusi yang baik dari radiasi tersebut, celah keluar berfungsi untuk keluarnya cahaya dari monokromator menuju tempat cuplikan. 2.7.1.3 Tempat cuplikan (sample compartment) Tempat
cuplikan
berfungsi
untuk
meletakkan
wadah
cuplikan
(sel/kuvet). Jadi cuplikan dimasukkan ke dalam sel/kuvet dan kuvet ini diletakkan pada sample compartment untuk diukur kadarnya. Ada dua macam bahan yang digunakan untuk membuat sel/kuvet, yaitu kuarsa dan gelas. Kuvet dari kuarsa dapat digunakan untuk pengukuran pada daerah ultraviolet dan sinar tampak, sedangkan kuvet dari gelas hanya dapat digunakan untuk pngukuran pada daerah sinar tampak karena gelas mengabsorpsi radiasi ultraviolet secara bermakna. 2.7.1.4 Detektor (Detector) Detector berfungsi untuk mengubah signal radiasi yang diterima menjadi signal elektronik. 2.7.1.5 Penguat (Amplifier) Amplifier berfungsi untuk menguatkan signal elektronik yang ditransfer oleh detektor. 2.7.1.6 Layar visual (visual display) / pencatat (recorder) Visual Display atau Recorder berfungsi untuk menampilkan hasil pengamatan.
23
2.8 Kerangka teori Pati adalah polimer D-glukosa dan ditemukan sebagai karbohidrat simpanan dalam tumbuhan. Pati terdiri atas dua polimer yang berlainan yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-1,4 glikosidik sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-1,6 glikosidik pada percabangannya. (Doradowati, 2006). Pati adalah media yang baik untuk pertumbuhan jamur Aspergillus niger. Sumber pati yang digunakan adalah pati bonggol pisang kepok, karena kandungan pati dalam bonggol pisang tergolong tinggi yaitu 76%. Pati bonggol pisang dibuat dengan cara menghaluskan bonggol pisang yang sudah bersih kemudian diperas dan air perasan diendapkan semalam. Hasil perasan akan membentuk 2 lapisan, lapisan yang yang berada dibawah merupakan lapisan pati. Lapisan yang terbentuk dipisahkan dengan cara disaring menggunakan kain. Residu atau pati yang tertinggal di kain dikeringkan dalam oven vacuum pada suhu 40°C selama ± 8 jam. Pati dapat dihidrolisis menjadi sirup glukosa menggunakan reaksi enzimatis. Jamur Aspergillus niger merupakan jamur yang berfungsi mengurai pati menjadi gula sederhana. Jamur Aspergillus niger dapat tumbuh baik pada suhu tinggi yaitu 35º37ºC (Fardiaz, 1992). pH optimum untuk pertumbuhannya pada rentang 2,8-6,0 (Whitehurst, 2002). Karena kondisi tumbuh Aspergillus niger itulah yang menjadikan alasan digunakan dalam pembuatan enzim amilase. Pembuatan enzim amilase diawali dengan pembuatan suspensi spora jamur Aspergillus niger yang
24
dilarutkan pada NaCl 0,9%. Suspensi spora jamur Aspergillus niger diukur absorbansinya hingga memiliki %T 25. Stater Aspergillus niger dibuat dalam media cair yaitu pati bonggol pisang kepok, KH2PO4, (NH4)2SO4, MgSO4.7H2O, CaCl2 dan Penambahan suspensi spora 5 ml tiap 40 ml stater. Media yang dipilih adalah media cair sehingga dapat memproduksi enzim amilase dari jamur Aspergillus niger. Komposisi media tersebut dipilih karena mengandung kation-kation yang berfungsi meningkatkan aktivitas enzim amilase Aspergillus niger (Anam, 2010). Inkubasi dalam pembuatan enzim amilase Aspergillus niger dilakukan berdasarkan kondisi optimum yaitu selama 2 hari pada pH 6 dan suhu ruang 37ºC. Enzim amilase dari Aspergillus niger kemudian ditanam pada suspensi pati bonggol pisang untuk proses hidrolisis pati menjadi sirup glukosa. Glukosa yang terbentuk diukur menggunakana metode Somogyi-Nelson. Variabel yang mempengaruhi proses hidrolisis pati menjadi glukosa adalah konsentrasi enzim, lama hidrolisis, pH, suhu, dan konsentrasi substrat. Variabel yang diteliti untuk menentukan kondisi optimum kinerja enzim amilase dari jamur Aspergillus niger adalah dosis enzim (10%, 15%, dan 20% ), lama hidrolisis (24 jam, 48 jam, dan 72 jam). Hidrolisis dilakukan pada kondisi optimum yaitu kadar suspensi pati adalah 7%, pH 4,5, dan temperatur 37ºC.
25
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat eksperimental, yang memiliki tujuan untuk mengetahui pengaruh dosis enzim amilase dari Aspergillus niger yang ditambahkan dan
lama hidrolisa terhadap kadar glukosa yang
dihasilkan dari hidrolisis pati bonggol pisang kepok merah. Perlakuan tersebut digunakan untuk mendapatkan kadar glukosa yang paling baik. Penelitian ini meliputi 4 tahapan. Pertama, tahap pra persiapan meliputi pembuatan tepung pati bonggol pisang dan pembiakan jamur Aspergillus niger. Kedua, tahap persiapan meliputi pembuatan enzim amilase dari Aspergillus niger. Ketiga, tahap pelaksanaan yaitu proses hidrolisis pati bonggol pisang kepok merah menjadi sirup glukosa menggunakan enzim amilase dari Aspergillus niger dengan dosis 10%, 15%, dan 20%. Lama hidrolisis yang digunakan 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Keempat, tahap penelitian yaitu penentuan kadar glukosa dengan
metode
Samogyi-Nelson yang dihasilkan dari masing-masing variabel.
3.2 Populasi dan sampel Populasi dan sampel penelitian ini adalah pati bonggol pisang kepok merah yang diperoleh dari Desa Sutojayan Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang.
26
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang pengaruh lama hidrolisis dan dosis enzim amilase terhadap kadar glukosa hasil hidrolisis pati bonggol pisang kepok merah dilakukan di Laboratorium Putra Indonesia Malang. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan pada bulan Februari sampai bulan April tahun 2011.
3.4 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat dan bahan yang digunakan untuk pengumpulan data. Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 3.4.1 Bahan 1. Bonggol pisang 2. Jamur Aspergillus niger 3. PDA 4. KH2PO4 5. (NH4)2SO4 6. MgSO4.7H2O 7. CaCl2 8. Reagen Samogyi-Nelson 9. NaOH 10. HCl 11. Glukosa anhidrat
27
3.4.2 Alat 1. Bola hisap 2. Glass ware 3. Neraca analitik 4. Oven vacuum 5. Penangas 6. Pengayakan 7. Penggilingan 8. Spektrofotometri Shimadzu UV Probe 1601
3.5 Definisi Operasional Variabel Klasifikasi variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya yaitu dosis enzim amilase Aspergillus niger 10%, 15%, 20% dan lama hidrolisa 24 jam, 48 jam, 72 jam dalam hidrólisis pati bonggol pisang menjadi sirup glukosa. Sedangkan variabel terikatnya yaitu kadar glukosa pada hidrolisis pati bonggol pisang oleh enzim amilase Aspergillus niger. Tabel 3.1 Definisi Operasional No. Variabel 1. Dosis enzim amilase dari Aspergillus niger 10%, 15%, dan 20% 2.
Lama hidrolisa pati bonggol pisang 24 jam, 48 jam, dan 72 jam
Definisi Hasil Pengamatan Jumlah Enzim Warna dan bau yang ditambahkan untuk proses hidrolisa pati bonggol pisang (v/v) Waktu Warna dan bau pemeraman yang dibutuhkan untuk mengubah pati menjadi glukosa
Skala Ukur Visual
Visual
28
3.
Kadar glukosa pada hidrolisis pati bonggol pisang oleh enzim amilase dari Aspergillus niger
Jumlah glukosa yang terbentuk hasil hidrolisis pati bonggol pisang
Jumlah glukosa yang terbentuk diukur menggunakan spektrofotometri metode Samogyinelson
Nominal
3.6 Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini melalui langkah kerja sebagai berikut : 3.6.1 Metode yang Digunakan Metode yang digunakan untuk pembuatan sirup glukosa dari bonggol pisang adalah metode hidrolisa enzimatis. Metode ini menggunakan enzim amilase Aspergillus niger yang diperoleh dari fermentasi bonggol pisang oleh jamur Aspergillus niger. Fermentasi dilakukan pada pH 6 dan suhu 37ºC selama 2 hari dengan konsentrasi suspensi spora Aspergillus niger 5 ml/40 ml. Enzim amilase Aspergillus niger yang telah dibuat digunakan untuk hidrolisis pati bonggol pisang. Proses pembuatan sirup glukosa menggunakan suhu 37ºC, kadar suspensi pati 7% dan pH 4,5 dengan variasi terhadap dosis enzim amilase dari Aspergillus niger yang ditambahkan dan waktu hidrolisis. Variasi dosis enzim amilase dari Aspergillus niger yang ditambahkan adalah 10%, 15%, dan 20% dan dilakukan analisa kadar glukosa pada 24 jam, 48 jam, dan 72 jam.
3.6.2 Pembuatan Tepung Pati Bonggol Pisang 1) Bonggol pisang dibersihkan dan diambil bagian tengahnya yang berwarna putih, kemudian di potong-potong
29
2) Potongan bonggol pisang dihaluskan menggunakan blender dan diperas airnya 3) Hasil perasan diendapkan semalam, setelah terbentuk dua lapisan kemudian disaring menggunakan kain 4) Residu atau pati yang didapat dikeringkan pada oven vacuum pada suhu 40°C selama ± 8 jam
3.6.3 Pembiakan jamur Aspergillus niger 1) Media PDA disiapkan pada tabung reaksi untuk pembuatan media miring, kemudian disterilisasi pada suhu 121oC selama 30 menit 2) Setelah media PDA dingin dan mengeras digoreskan spora Aspergillus niger secara zig-zag, setelah itu diinkubasi selama 96 jam pada suhu 37ºC dan didapatkan biakan Aspergillus niger
3.6.4 Pembuatan suspensi jamur Aspergillus niger 1) Biakan Aspergillus niger yang telah dibuat dilarutkan menggunakan larutan NaCl 0,9% 2) Biakan Aspergillus niger dikerok menggunakan kawat ose, sebelum digunakan ujung kawat ose ke dalam alkohol 96%, kemudian dipanaskan sampai berwarna merah. 3)
Absorbansi
suspensi
jamur
Aspergillus
niger
diukur
menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelomabang 580 nm hingga memiliki %T 25
30
3.6.5 Pembuatan enzim amilase dari Aspergillus niger 1) Media yang yang disiapkan terdiri dari (NH4)2SO4 10,5 g, CaCl2 0,5 g, KH2PO4 10 g, dan MgSO4.7H2O 0,3 g (untuk tiap 1 liter media), kemudian dimasukkan semua bahan ke erlenmeyer dan ditambahkan aquadest sambil diaduk-aduk hingga larut. 2) Bubuk pati bonggol pisang ditambakan setelah semua bahan larut, 3 g bubuk patu untuk setiap 100 ml media 3) pH media diatur hingga 6 dengan cara ditambahkan HCl 0,2 N 4) Wadah ditutup dengan kapas, kemudian disterilisasi pada suhu 121ºC salama 30 menit 5) Media yang sudah disterilisasi diinokulasi dengan suspensi Aspergillus niger, yaitu 5 ml setiap 40 ml media dan diaduk merata secara aseptis dan diinkubasi selama 2 hari
3.6.6 Hidrolisa Pati Bonggol Pisang Menjadi Sirup Glukosa 1) Larutan tepung bonggol pisang dibuat sebanyak 4 erlenmenyer yang masingmasing berisi 150 ml dengan konsentrasi larutan pati 7% (b/v) 2) Enzim amilase dari Aspergillus niger ditambahkan sesuai perlakuan dosis 10%,15%, dan 20%(v/v), kemudian diinkubasi selama 24 jam, 48 jam dan 72 jam pada suhu 37ºC dan pH 4,5 dalam inkubator. 3) Pengambilan sampel dilakukan dengan dipipet 10 ml sampel pada masa hidrolisis 24 jam, 48 jam dan 72 jam , kemudian sampel dimasukkan dalam tangas air selama 15 menit untuk menginaktivasi enzim.
31
3.6.7 Penentuan kadar glukosa 11) Sampel dipipet 1 ml, masukkan ke dalam tabung reaksi (encerkan jika perlu), kemudian ditambahkan 0,5 ml Somogyi dan 0,5 ml Nelson dan kocok sampai homogen. 22) Tabung reaksi ditutup dengan kelereng kemudian panaskan dalam penangas air mendidih selama 20 menit dan dinginkan dalam air es selama lima menit. 33) Ditambahkan 1 ml arsen molibdat dan 7 ml aquades hingga volume total 10 ml kemudian kocok sampai semua gas CO2 keluar. 44) Larutan analisis bebas pengotor sebanyak ± 6 ml dimasukkan dalam kuvet, kemudian ukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada λ = 520 nm. 55) Ditunggu beberapa menit hingga nilai absorbansi tetap dan dijaga supaya absorbasi larutan analisis berada pada rentang 0,2 – 0,7. Encerkan larutan sampel apabila absorbansinya lebih dari 0,7. Tambah volume larutan sampel yang akan dianalisis apabila nilai absorbansinya kurang dari 0,2. 66) Konversikan nilai absorbansi menjadi nilai konsentrasi glukosa berdasarkan kurva baku glukosa.
3.6.8 Pembuatan kurva baku glukosa 11) Glukosa murni (anhidrat) sebanyak 200 mg dilarutkan dengan air bebas mineral hinga volumenya 1 liter. Larutan dikocok hingga homogen. 22) Dari larutan di atas dibuat larutan glukosa dengan berbagai konsentrasi 40 µg/ml, 60 µg/ml, 100 µg/ml, 140 µg/ml, dan 180 µg/ml.
32
2.9 Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh lama hidrolisis dan konsentrasi enzim amilase Aspergillus niger dilakukan analisa kadar glukosa menggunakan metode Samogyi-Nelson. Analisis dilakukan pada dosis enzim amilase 10%, 15%, 20% dan lama hidrolisa 24 jam, 48 jam, 72 jam. Nilai absorbansi yang didapat dikonversikan menjadi nilai glukosa berdasarkan kurva baku glukosa. Kurva baku glukosa merupakan kurva yang menghubungkan besar serapan (absorbansi) pada konsentrasi glukosa.
33
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Hasil Pembuatan Tepung Pati Bonggol Pisang Tepung pati bonggol pisang yang didapatkan dari 1 kg bonggol pisang basah ± 50 mg, dengan sifat sebagai berikut (Lihat pada lampiran 1) : Warna
: coklat tua
Bentuk
: butiran, kasar
Bau
: khas
4.2 Hasil Pengukuran Kadar Glukosa Konsentrasi glukosa ditentukan dengan metode Samogyi Nelson membutuhkan
kurva baku glukosa, yaitu kurva yang menghubungkan besar
serapan (absorbansi) pada konsentrasi glukosa tertentu. Perbandingan volume larutan glukosa 200 ppm (200 mg/L) dan volume aquadest untuk setiap konsentrasi larutan glukosa dapat dilihat pada tabel 4.1 Tabel 4.1 variasi konsentrasi glukosa standart pada pembuatan kurva baku glukosa Larutan Glukosa Aquadest Konsentrasi Glukosa (ml) (ml) (ppm) 0,4 1,6 40 0,6 1,4 60 1,0 1,0 100 1,4 0,6 140 1,8 0,2 180
34
Berdasarkan prosedur analisis glukosa dengan metode Samogyi Nelson pengukuran serapan pada pembuatan kurva baku glukosa dapat dilihat pada tabel 4.2 dan kurva standart pada gambar 4.1 Tabel 4.2 Data hasil pengukuran serapan pada pembuatan kurva baku glukosa dengan metode Samogyi Nelson No. Konsentrasi Glukosa (ppm) Absorbansi 1. 40 0,140 2. 60 0,180 3. 100 0,297 4. 140 0,394 5. 180 0,519
0.6
Absorbansi
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
50
100
150
200
Konsentrasi (mg/l)
Gambar 4.1 Kurva standart glukosa Y = 0,00281 x + 0,01184 r2 = 0,99696 Hasil pengukuran kadar glukosa metode Samogyi Nelson dari hidrolisis pati bonggol pisang kepok merah menggunakan enzim amilase, dapat dilihat pada tabel 4.3 dan gambar 4.2
35
Tabel 4.3 Konsentrasi glukosa terbentuk Konsentrasi Lama Hidrolisa AH Enzim 24 Jam 0,239 10% 48 Jam 0,291 72 Jam 0,317 24 Jam 0,327 15% 48 Jam 0,346 72 Jam 0,366 24 Jam 0,426 20% 48 Jam 0,439 72 Jam 0,468
[Glukosa] terbentuk (ppm) 80,937 99,605 108,874 112,268 119,100 126,367 147,559 152,302 162,746
350 300 250 24 Jam
200
48 Jam 150
72 Jam
100 50 0 Dosis 10%
Dosis 15%
Dosis 20%
Gambar 4.2 Kadar glukosa hidrolisa pati bonggol pisang
36
BAB V PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan Pembuatan Tepung Pati Bonggol Pisang Pembuatan tepung bonggol pisang diawali dengan pemilihan pohon pisang kepok. Pohon pisang yang digunakan berasal dari Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang. Berdasarkan pengalaman empiris bonggol pisang tua memiliki kandungan pati lebih tinggi dibandingkan dengan bonggol pisang muda, sehingga dalam penelitian ini digunakan bonggol pisang tua. Bonggol pisang tua diambil dari pohon pisang yang sudah tidak berbuah (Lihat Lampiran 2). Bonggol pisang kemudian dibersihkan dan dipotong kecil-kecil. Potongan bonggol pisang tersebut dimasukkan kedalam blender untuk dihaluskan. Slurry yang telah dibuat kemudian diperas airnya. Air perasan diendapkan semalam untuk mendapatkan patinya. Setelah diendapkan semalam akan terbentuk dua lapisan, lapisan yang berada dibawah merupakan pati bonggol yang akan digunakan untuk proses selanjutnya. Pati dipisahkan dengan cara disaring menggunakan kain saring kemudian dikeringkan mengunakan oven vacuum pada suhu ± 40o C selama ± 8 jam. Pengeringan dilakukan pada suhu 40°C menggunakan oven vacuum bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan dan mencegah terjadinya degradasi pati karena panas.
37
4.2 Pembahasan Pembiakan Jamur Aspergillus niger Tahap pertama yang dilakukan adalah pembiakan ke-1 dari indukan jamur Aspergillus niger. Jamur dibiakkan pada media miring PDA dalam tabung reaksi, setiap tabung berisi 5 ml media PDA dan biakan dibuat sebanyak 7 tabung kemudian media disterilisasi. Menurut Maligan (2009) sterilisasi merupakan destruksi atau penghilangan mikrobia hidup. Objek yang terbebas dari kehidupan mikrobia dan kontaminan disebut steril, sehingga perlu dilakukan sterilisasi pada media yang akan digunakan. Metode sterilisasi yang digunakan adalah sterilisasi panas menggunakan autoklaf. Penggunaan autoklaf sesuai dengan sifat media cair, karena jika sterilisasi menggunakan oven pada suhu 150-200oC selama ±2 jam media akan hangus dan merusak komponen didalam media. Sterilisasi media dilakukan pada suhu 121oC selama 30 menit. Spora Aspergillus niger kemudian digoreskan pada media yang sudah disiapkan. Berdasarkan Harahap (2010) Inkubasi Aspergillus niger dilakukan pada suhu 37°C selama 3 hari. Pembiakan dilakukan sebanyak 7 tabung atau lebih banyak dari kebutuhan. Tujuannya adalah sebagai cadangan dari pembiakan ke-1 apabila terjadi kesalahan pada proses selanjutnya.
4.3 Pembahasan Pembuatan Enzim Amilase Aspergillus niger Biakan jamur Aspergillus niger yang telah dibuat kemudian ditanam ke dalam media cair untuk pembuatan enzim amilase. Pertama Aspergillus niger dibuat dalam bentuk suspensi spora untuk mempermudah perhitungan. Suspensi spora dapat mengendap jika dibiarkan terlalu lama sehingga jumlah yang diukur pada spekto tidah seragam. Larutan NaCl 0,9% digunakan dalam pembuatan
38
suspensi spora karena paling sesuai dengan kondisi sel spora. Supensi spora kemudian diukur %T hingga memiliki nilai %T 25. Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometri visible pada panjang gelombang 580 nm. Jika <%T 25 maka dilakukan penambahan larutan NaCl 0,9% begitu juga sebaliknya. Suspensi spora yang dihasilkan berwarna putih keruh. Setelah didapatkan %T 25 dapat dilakukan penanaman ke dalam media cair. Media cair dipilih karena digunakan untuk memproduksi enzim amilase dari jamur Aspergillus niger. Enzim amilase merupakan enzim yang berfungsi dalam hirolisa pati bonggol. Komposisi medium untuk Aspergillus niger harus mengadung sumber nitrogen, fosfor, sulfur dan unsur mikro seperti K+, Mg2+. Sejumlah pati ditambahkan untuk menginduksi terbentuknya enzim amilase. Ion kalsium ditambahkan sebagai koenzim bagi enzim amilase. Barton dkk (1972). Berdasarkan penjelasan diatas maka media yang digunakan terdiri dari tepung bonggol pisang, KH2PO4, (NH2)4SO4, MgSO4.7H2O, dan CaCl2 (Tiara, 2009). Sebelum penanaman dilakukan pengukuran pH media. Media diatur hingga pH 6 yang merupakan pH optimum Aspergillus niger (Whiterhurst, 2002) Apabila pH <6 maka ditambahkan NaOH, namun jika pH >6 dilakukan penambahan H2SO4. Media yang dihasilkan berwarna kuning jernih. Media yang sudah siap kemudian ditambahkan 5 ml suspensi spora setiap 50 ml media sesuai kondisi optimum. Rindang. (2009). Menurut Sukasa (1996) kondisi optimum produksi enzim amilase dilakukan selama 2 hari pada suhu 37°C, sehingga kondisi tersebut yang digunakan dalam pembuatan enzim amilase Aspergillus niger.
39
4.4 Pembahasan Hidrolisis Pati Bonggol Pisang Kepok Stater yang telah diinkubasi selama 2 hari siap digunakan untuk hidrolisa pati bonggol pisang. Sesuai perlakuan dibuat 150 ml larutan tepung pati bonggol pisang konsentrasi 7%. Dosis Aspergillus niger (v/v) yang ditambahkan 10%, 15%, dan 20% serta dibuat kontrol yang tidak ditambahkan enzim amilase. Kontrol digunakan sebagai pembanding antara hidrolisa pati menjadi glukosa secara alami dengan hidrolisa pati yang ditambahkan enzim amilase. Pengambilan dan pengecekan kadar glukosa dilakukan pada 24 jam, 48 jam dan 72 jam.
Gambar 4.1 Reaksi hidrolisa pati Sampel diambil ± 10 ml untuk pengecekan kadar glukosa dan dipanaskan dalam tangas air selama 10 menit untuk menghentikan proses hidrolisa pati. Setelah 1 x 24 jam terjadi perubahan warna pada larutan hidrolisa. Perubahan warna larutan hirolisa dari coklat kehitaman menjadi menjadi kuning kecoklatan. Perubahan warna yang terjadi menunjukan adanya proses degradasi pati. Perbedaan warna terlihat jelas sesuai dengan dosis enzim amilase yang
40
ditambahkan. Semakin tinggi konsentrasi enzim amilase semakin jernih larutan yang dihasilkan, sedangkan pada kontrol warna larutan tetap keruh (Lihat lampiran 3). Kadar glukosa kemudian diukur menggunakan metode Samogyi Nelson. Pengukuran kadar glukosa juga dilakukan pada 48 jam dan 72 jam.
4.5 Pembahasan Pengukuran Kadar Glukosa Kadar glukosa yang diperoleh berasal dari hasil degradasi pati oleh enzim amilase Aspergillus niger. Konsentrasi glukosa diukur menggunakan metode Samogyi Nelson. Prinsip kerja pengukuran kadar glukosa menggunakan metode Samogyi Nelson adalah jumlah pengurangan substrat yang terbentuk pada bagian aktivitas Aspergillus niger ditentukan dengan kombinasi reagen Somogyi dan reagen Nelson arsenmolibdat. Glukosa dapat mereduksi ion kupri menjadi kupro sehingga reaksi ini yang digunakan sebagai dasar didalam penentuan glukosa metode Samogyi Nelson. Reduksi ion kupri oleh glukosa (gula reduksi) akan membentuk endapan merah bata Cu2O dalam suasana basa dengan arsenomolibdat yang akan memberikan warna biru. Penambahan arsenmolibdat perlu dilakukan supaya pengukuran kadar glukosa dapat dilakukan dengan spekto UV/VIS karena Cu+ memiliki warna yang sangat kuat (merah) sehingga kurang sensitif yang mengakibatkan kesalahan pengukuran menjadi besar. Intensitas warna yang terbentuk berdasarkan konsentrasi glukosa. Absorbansi diukur pada panjang gelombang maksimal yaitu 520 nm.
41
Reaksi : Cu2+
Cu+
Cu++ Mo+5
Cu+2 + Mo+3
Konsentrasi glukosa ditentukan dengan metode Samogyi Nelson membutuhkan
kurva baku glukosa, yaitu kurva yang menghubungkan besar
serapan (absorbansi) pada konsentrasi glukosa tertentu. Hasil pengukuran serapan pada pembuatan kurva baku glukosa didapatkan R2 = 0,99696 cukup medekati 1 (Lihat gambar 4.1), sehingga hukum beer masih berlaku. Masukkan 1 ml larutan glukosa untuk tiap konsentasi ke dalam tabung reaksi yang berbeda. Tambahkan 0.5 ml Samogyi dan 0.5 ml Nelson dikocok hingga homogen.. Tutup tabung reaksi kemudian dipanaskan selama 20 menit dalam penangas. Pemanasan bertujuan untuk memecah protein yang terkandung didalam Sampel. Sampel didinginkan hingga suhu ruang setelah itu ditambahkan 1 ml arsenmolibdat dan 7 ml aquadest. Fungsi dari penambahan aquadest adalah untuk mengencerkan sampel sehingga protein dapat larut dalam air serta dapat terkoagulasi oleh panas. Kocok larutan hingga semua CO2 keluar sehingga tidak mengganggu pengamatan pada spekto UV/VIS. Masukkan larutan analisis ke dalam kuvet, kemudian ukur absorbansinya pada λ = 520. Hasil dari pembuatan kurva baku dapat dilihat pada gambar 4.1 Pengukuran glukosa pada sample diperlakukan sama seperti pembuatan kurva baku glukosa, namun pada sample dilakukan pengenceran 1:1. Pengenceran dilakukan karena sample terlalu pekat. Hasil pengukuran kadar glukosa sampel dapat dilihat pada tabel 4.2.
42
Pada konsentrasi substrat yang tetap, dalam batas tertentu kecepatan suatu reaksi enzimatik meningkat secara linier sebanding dengan meningkatnya konsentrasi suatu enzim yang mengkatalisnya. Semakin banyak enzim (dalam batas tertentu), maka semakin banyak substrat yang terkonversi dan semakin tinggi aktivitas enzim (Sukandar, 2002). Menurut Berghmans (1981) dalam Doradowati (2006), apabila dosis enzim atau waktu hirolisa kurang, maka glukosa yang dihasilkan sangat rendah. Sebaliknya jika proses hidrolisa terlalu lama dapat mengakibatkan polimerisasi glukosa. Hal ini dibuktikan pada gambar 4.2 pada dosis enzim 10% dengan lama hidrolisa 24 jam, 48 jam, dan 72 jam menghasilkan kadar glukosa berturut 161,88 µg/ml,
199,22 µg/ml, dan 217,74 µg/ml.
Peningkatan kadar juga terjadi pada dosis enzim 15% dan 20%, semakin tinggi dosis enzim amilase yang diberikan dan semakin lama waktu hidrolisa semakin besar kadar glukosa yang dihasilkan. Kadar glukosa maksimum dihasilkan pada dosis enzim amilase Aspergillus niger 20% pada jam ke 72 yaitu 325,5 µg/ml. Proses hidrolisa pati menjadi sirup glukosa juga dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi substrat, dan pH (Syamsuriputra, 2007), namun pada penelitian ini tidak dilakukan pemantauan terhadap ketiganya. Sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
43
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 6.1.1 Hasil penelitian menunjukkan kadar glukosa paling baik dengan variasi lama hidrolisa 24, 48, dan 72 jam dicapai pada lama hidrolisa 72 jam. 6.1.2 Dosis enzim amilase Aspergillus niger dalam hidrolisis pati terhadap kadar glukosa yang dihasilkan berlangsung paling baik pada dosis enzim amilase 20%. 6.2 Saran Saran untuk penelitian ini adalah sebagai berikut : 6.2.1 Suhu pengeringan pati bonggol pisang harus dijaga pada ± 400C sehingga tidak terjadi degradasi pati 6.2.2 Melakukan identifikasi enzim yang dihasilkan dari Aspergillus niger 6.2.3 Hidrolisis pati bonggol pisang dilanjutkan lebih dari 72 jam untuk mengetahui apakah masih terjadi peningkatan produksi glukosa. 6.2.4 Pemantauan terhadap suhu, pH, dan konsentrasi substrat pada proses hidrolisis
44
DAFTAR RUJUKAN
Agoes, Azwar. 2010. Tanaman Obat Indonesia Buku 1. Jakarta : Salemba Medika Dalimartha, Setiawan. 2003. Atl’as Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3. Jakarta : Trubus Agriwidya Deman, John M. 1989. Kimia Makanan. Bandung : ITB. Deman, John M. 1997. Kimia Makanan. Bandung : ITB. Doradowati, Melani. 2006. Pengaruh Konsentrasi α-amylase Dan Lama Likufikasi Terhadap Sifat Fisiko Kimia Sirup Glukosa Dari Pati Sagu (Metroxylon sp.). Skripsi tidak diterbitkan. Malang : Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Estiasih, Teti. 2005. Kimia Teknilogi Dan Aplikasi Polisakrida Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Malang : Universitas Brawijaya Fatimah, Siti. 2008. Laporan Tugas Prarancangan Pabrik Sirup Glukosa dari Tepung Tapioka dan Air kapasitas 55.000 ton/ tahun, (Online), http://etd.eprints.ums.ac.id/1088/1/D500030077.pdf, diakses 7 Oktober 2010. Fessenden, Ralp J dan Fessenden, Joan. 1995. Kimia Organik Jilid 2. Jakarta : Erlangga Harahap, N. 2010. Uji Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik, Kadar In...., USU.
(Online)
Chapter
II,
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16340/4/Chapter%20II. pdf, diakses 29 Desember 2010) Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung : ITB
45
Hart, Harold. 1983. Kimia Organik. Jakarta : Erlangga. Hidayat, Nur. Dkk. 2006. Mikrobiologi industri. Yogyakarta : Andi. Menegristek, Deputi. 2000. Pisang (Musa spp). Jakarta : Kantor Deputi Menegristek
Bidang
pendayagunaan
Dan
pemasrakatan
Ilmu
pengetahuan Dan Teknologi Mulja, Muhammad, dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya : Airlangga University Press. Kok, Tjie. 1997. Spektrofotometri UV-VIS : Aplikasi Kuantitatif. (Online), (http://124.40.249.124/intranet/delayota%20ebooks%20Lainnya/delayota%20ebooks%20for%20Others/science/spektrofotometri.pdf, diakses 29 Desember 2010) Krishna, Adi. 2010. Pengaruh Konsentrasi Sel Terhadap Produksi Enzim Amilase Oleh Aspergillus niger. Program Studi Teknik Kimia-Fakultas Teknologi ndustri Institut Teknologi Bandung, (Online), http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdlharyopandu-31659 diakses 9 Desember 2010 Rahmayanti, Dian. 2010. Pemodelan dan Optomasi Hidrolisa Pati Menjadi Glukosa dengan Metode Artificial Neural Network-Genetic Algorithm (ANN-GA), (Online), http://eprints.undip.ac.id/18540/1/SKRIPSI.pdf, diakses 28 November 2010. Sadikin, Mohamad. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta : Widya Medika. Sianturi, Dessy Christina. 2008. Isolasi Bakteri dan Uji Aktivitas Amilase Termofil Kasar dari Sumber Air Panas Penen Sibirubiru Sumatra Utara, (Online), http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5808/1/09E00797.pdf, diakses 9 November 2010 Sirait, Midian. 2007. Penuntun Fitokimia Dalam Farmasi. Bandung : ITB
46
Soewoto, Hafiz. 2001. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Jakarta : Widya Medika. Winarno, F.G. 1989. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta : Gramedia.