PRODUKSI ANTIBODI MONOKLONAL MENGGUNAKAN KONJUGAT FUMONISIN B1-OVALBUMIN SEBAGAI ANTIGEN UNTUK DETEKSI FUMONISIN SECARA IMUNOASAI
ROMSYAH MARYAM
,
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi yang berjudul:
PRODUKSI ANTIBODI MONOKLONAL MENGGUNAKAN KONJUGAT FUMONISIN B1-OVALBUMIN SEBAGAI ANTIGEN UNTUK DETEKSI FUMONISIN SECARA IMUNOASAI adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
Bogor, Agustus 2007
Romsyah Maryam NRP F 226014011/IPN
SUMMARY ROMSYAH MARYAM. Production of Monoclonal Antibodies using Fumonisin B1-Ovalbumin Conjugate as the Antigen for the Detection of Fumonisin by Immunoassay. Under supervision of ANTON APRIYANTONO as the chairman, RIZAL SYARIEF, FRANSISKA R. ZAKARIA and LIES PAREDE as the advisory committee members. Fumonisins are mycotoxins produced by Fusarium spp. mainly F. verticillioides and F. proliferatum which are commonly found in grains such as corn, rice dan wheat. Fumonisin B1 (FB1) the most abundant and most toxic, is classified as a possible carcinogen for humans (Group 2B) and one of the five important mycotoxins in the world. The toxicity of FB1 for humans and animals, as well as its economic impact have been reported worldwide. In order to minimize the risks of FB1 contamination some countries have set the maximum levels of fumonisin in foods and feeds. Although there is no report on mycotoxicoses related to FB1 contamination in Indonesia, some findings indicated high concentration of fumonisin contamination in agricultural products could affect the national income. Analytical methods play crucial roles in the detection of fumonisin contamination in foods and feeds. Immunoassay is one of the most reliable, rapid, sensitive, specific, and economical method. This assay based on polyclonal or monoclonal antibodies. The objective of this study was to produce monoclonal antibodies (MAb) against FB1 and to generate direct competitive enzyme-linked immunosorbent assay (dc-ELISA) for fumonisin analysis. This study includes several activities: (1) Synthesis of fumonisin B1-Ovalbumin antigen (FB1-Ova) and the enzyme conjugate fumonisin B1-horseraddish peroxidase (FB1-HRP), (2) Production and characterization of monoclonal antibodies against FB1, (3) Optimization and validation of the dc-ELISA, (4) Application of dc-ELISA for the detection of fumonisin in foods or feeds. FB1 used for the synthesis of FB1-Ova and FB1-HRP was isolated from F. verticillioides and F. nygamai culture in corn which produced FB1 1.54 g/kg and 0.87 g/kg, respectively. The average of protein concentration of the antigen produced from the conjugation of FB1 and Ova via glutaraldehyde reaction was 0.0933 ± 0.0178 mg/ml (n=5). The antigen was proven to be immunogenic to BALB/c mice and could be used for the antibody sreening using indirect competitive ELISA (ic-ELISA). The reaction of FB1 and HRP resulted in the formation of FB1-HRP enzyme conjugate which could be used as a label in the analysis of FB1 by dc-ELISA. Monoclonal antibodies were produced by fusion of the splenic lymphocytes from the FB1-Ova immunized BALB/c mice with Sp2/0-Ag 14 myeloma cells using polyethylene glycol (PEG 4000). Antibodies produced by the hybridoma cells were screened, and eight clones of the hybridomas with high antibody titers were selected for cell cloning. The highest antibody-producing hybridoma (2B2F6) was clonned by limited dilution. The secreted antibodies from subclone 2B1F6F7 belonged to the immunoglobulin G1 (IgG1) subclass. The concentration of the antibodies from the supernatant and the ascitic fluids after precipitation with ammonium sulphate and purification using HiTrap Protein A HP were 2.81 mg/ml and 1.62 mg/ml, respectively.
The optimum condition for the dc-ELISA to detect 50 ng/ml FB1 required an antibody dilution of 1:10,000 and a FB1-HRP enzyme conjugate dilution of 1:400. The antibodies gave a specific reaction to FB1 with cross reactivity against fumonisin B2 (FB2) of 49%. The method sensitivity was 0,5 ng/ml with IC50 of 2,9 ng/ml. The dcELISA of spiked corn samples (40 ng FB1/g) showed good precision (SD=1.5%) and accuracy (SD=7.7%) with FB1 recovery ranging from 88.2 to 103.1%. FB1 standards in the concentration range of 1-50 ng/ml gave a linear response (R2= 0.9949) with regression equation Y= 7.1862 Ln(x) + 68.35. However, the linearity was reduced by the corn matrices (R2= 0.9841) at the same concentration range of FB1 standards. The ELISA method developed in this research had a good agreement with high performance liquid chromatographic method (HPLC) which indicated by the analytical results of FB1 in corn detected by the two methods (R2 = 0.9898). Analysis of commercial broiler dan layer feeds (n=10) using dc-ELISA revealed the presence of FB1 in the feeds ranging between 46.1 – 482.8 ng/g for the broiler feeds and 20.7 – 85.5 ng/g for the layer feeds. These levels were lower compared to the FB1 levels in poultry feeds in general. During storage at ambient temperature for six weeks, the concentration of FB1 in commercial chicken feeds gradually increased. This indicated that the production of FB1 by Fusarium spp. continued during the storage. However, the concentration of FB1 in both broiler and layer feeds were still low to cause mycotoxicoses in poultry. Direct competitive ELISA (dc-ELISA) is the most common immunoassay method used for the analysis of mycotoxins such as fumonisin. The dc-ELISA developed in this study using monoclonal antibodies showed a good performance when applied for the analysis of FB1 contaminated foods and feeds. The method is suitable for laboratories in the developing countries such as Indonesia in terms of support for food safety programs and global trade.
Keywords: monoclonal antibody, fumonisin B1-ovalbumin conjugate, fumonisin detection, immunoassay
RINGKASAN ROMSYAH MARYAM. Produksi Antibodi Monoklonal Menggunakan Konjugat Fumonisin B1-Ovalbumin Sebagai Antigen untuk Deteksi Fumonisin Secara Imunoasai. Di bawah bimbingan ANTON APRIYANTONO sebagai ketua komisi pembimbing, RIZAL SYARIEF, FRANSISKA R. ZAKARIA dan LIES PAREDE sebagai anggota. Fumonisin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Fusarium spp. terutama F. verticillioides dan F. proliferatum yang banyak dijumpai pada komoditas pertanian seperti jagung, beras dan gandum. Fumonisin B 1 (FB1) merupakan jenis fumonisin yang paling banyak ditemui di alam dan paling toksik, diklasifikasikan sebagai senyawa karsinogen (Grup 2B). FB1 termasuk dalam lima mikotoksin penting yang menjadi perhatian dunia. Toksisitas FB1 pada manusia dan hewan, serta dampak ekonomi yang disebabkan mikotoksin ini telah banyak dilaporkan. Oleh karenanya, untuk mengurangi risiko yang disebabkan karena kontaminasi FB1 beberapa negara telah menetapkan batas maksimum kandungan fumonisin ini dalam bahan pangan dan pakan. Meskipun di Indonesia belum ada laporan mengenai mikotoksikosis yang disebabkan oleh fumonisin dan belum ada laporan mengenai kerugian ekonomi, namun dari beberapa laporan yang mengindikasikan kontaminasi FB1 pada bahan pangan dan pakan yang cukup tinggi dapat mempengaruhi perekonomian nasional. Metode analisis memegang peranan penting dalam mendeteksi kontaminasi fumonisin pada bahan pangan dan pakan. Imunoasai adalah salah satu metode yang paling dapat diandalkan karena dengan metode ini proses analisis dapat dilakukan secara cepat dan mudah dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, serta ekonomis. Teknik ini menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal. Tujuan dari penelitian ini yaitu memproduksi antibodi monoklonal (AbMk) spesifik terhadap FB1 dan mengembangkan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) kompetitif langsung untuk analisis fumonisin. Penelitian ini terdiri dari beberapa kegiatan: (1) Sintesis antigen fumonisin B1-ovalbumin (FB1-Ova) dan konjugat enzim fumonisin B1horse raddish peroxidase (FB1-HRP), (2) Produksi dan karakterisasi antibodi monoklonal spesifik terhadap FB1, (3) Optimisasi dan validasi ELISA kompetitif langsung, (4) Aplikasi ELISA kompetitif langsung untuk mendeteksi fumonisin pada bahan pangan atau pakan. FB1 yang digunakan untuk sintesis antigen FB1-Ova dan FB1-HRP diisolasi dari biakan kapang F. moniliforme dan F. nygamai pada media jagung yang masingmasing menghasilkan FB1 1,54 g/kg dan 0,87 g/kg. Rataan konsentrasi protein dari antigen yang dihasilkan dari konjugasi FB1 dengan Ova melalui reaksi dengan glutaraldehida yaitu 0,0933 ± 0,00178 mg/ml (n=5). FB1-Ova yang terbentuk dari reaksi tersebut bersifat imunogenik, terlihat dengan adanya respon antibodi pada mencit BALB/c yang diimunisasi dengan antigen tersebut, dan dapat digunakan sebagai pereaksi untuk pengujian antibodi secara ELISA kompetitif tidak langsung. Reaksi antara FB1 dan enzim horseraddish peroxidase (HRP) menghasilkan FB1-HRP enzim konjugat yang dapat digunakan sebagai label pada analisis FB1 secara ELISA kompetitif langsung. Antibodi monoklonal dihasilkan melalui fusi sel limfosit mencit yang diimunisasi FB1-Ova dengan sel mieloma Sp2/0-Ag14 menggunakan polietilen glikol (PEG 4000). Antibodi yang dihasilkan oleh hibridoma diskrining, dan delapan klon
dari sel hibrid dengan titer antibodi yang tinggi diseleksi untuk kloning sel. Hibridoma yang menghasilkan antibodi tertinggi (2B2F6) diklon melalui pengenceran terbatas. Antibodi yang disekresikan oleh subklon 2B2F6F7 termasuk dalam subkelas imunoglobulin G1 (IgG1). Konsentrasi antibodi dari supernatan dan cairan asites setelah pengendapan dengan ammonium sulfat dan pemurnian melalui kolom HiTrap Protein A HP masing-masing 2,81 mg/ml dan 1,62 mg/ml. Kondisi optimum ELISA tak langsung untuk mendeteksi 50 ng/ml FB1 memerlukan pengenceran antibodi 1:10.000 dan konjugat enzim FB1-HRP 1:400. Antibodi tersebut memberikan reaksi yang spesifik terhadap FB1 dengan reaksi silang terhadap fumonisin B2 (FB2) sebesar 49%. Sensitivitas metode ini yaitu 0,5 ng/ml dengan IC50 2,9 ng/ml. Analisis sampel jagung yang diberi standar FB1 (40 ng/g) secara ELISA kompetitif langsung menunjukkan presisi (SD=1,5%) dan akurasi (SD=7,7%) yang baik dengan rekoveri berkisar antara 88,2-103,1%. FB1 standar pada kisaran konsentrasi 1-50 ng/ml menunjukkan garis linear (R2=0,9949) dengan persamaan regresi Y=7,1862 Ln(x) + 68,35. Namun, linearitas menurun dengan adanya matriks jagung (R2= 0,9841) pada kisaran konsentrasi standar FB1 yang sama. Perbandingan analisis FB1 dalam jagung (n=10) secara ELISA kompetitif langsung dengan metode KCKT menunjukkan korelasi yang baik di antara kedua metode tersedbut (R2=0,9898). Analisis pakan ayam komersial (n=10) secara ELISA kompetitif langsung menunjukkan adanya kontaminasi FB1 pada kisaran 46,1–482,8 ng/g untuk pakan ayam pedaging dan 20,7–85,5 ng/g untuk pakan ayam petelur. Konsentrasi tersebut lebih rendih dibandingkan dengan konsentrasi FB1 pada pakan ayam pada umumnya. Perlakuan penyimpanan kedua jenis pakan pakan tersebut pada temperatur kamar selama enam minggu menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi FB1. Hal ini menunjukkan bahwa produksi FB1 oleh Fusarium spp. terus berlangsung selama penyimpanan. ELISA kompetitif langsung adalah metode imunoasai yang paling banyak digunakan untuk analisis mikotoksin termasuk fumonisin. Metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan pada penelitian ini dengan menggunakan antibodi monoklonal menunjukkan performan yang baik ketika diaplikasikan untuk menganalisis bahan pangan dan pakan yang terkontaminasi FB1. Metode ini sesuai untuk digunakan pada laboratorium-laboratorium di negara berkembang seperti Indonesia guna mendukung program keamanan pangan dan perdagangan global.
Kata kunci: antibodi monoklonal, konjugat fumonisin B1-ovalbumin, deteksi, fumonisin, imunoasai
©Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak Cipta Dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari IPB, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetakan, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
PRODUKSI ANTIBODI MONOKLONAL MENGGUNAKAN KONJUGAT FUMONISIN B1-OVALBUMIN SEBAGAI ANTIGEN UNTUK DETEKSI FUMONISIN SECARA IMUNOASAI
ROMSYAH MARYAM
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. drh. Agustin Indrawati, M.Biomed 2. Dr. Tri Budhi Murdiati, MSc.
Judul Disertasi
: Produksi antibodi monoklonal menggunakan konjugat fumonisin B1-ovalbumin sebagai antigen untuk deteksi fumonisin secara imunoasai
Nama Mahasiswa : Romsyah Maryam Nomor Pokok
: F226014011
Progam Studi
: Ilmu Pangan
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Anton Apriyantono, MS Ketua
Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS Anggota
Prof.Dr. Ir.Fransiska R. Zakaria, MSc Anggota
Drh. Lies Parede, MSc, PhD Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS NIP. 130 516 873 Tanggal ujian: 2 Juli 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Chairil Anwar Notodiputro, MS NIP. 130 891 386 Tanggal lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang berkat rahmat, serta taufik dan hidayahNya penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi berjudul “Produksi Antibodi Monoklonal Menggunakan Konjugat Fumonisin B1Ovalbumin Sebagai Antigen untuk Deteksi Fumonisin Secara Imunoasai” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tulus serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr. Ir. Anton Apriyantono, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing atas segala bimbingan dan arahannya selama pendidikan dan penyelesaian studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS., Ibu Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc., serta Ibu Drh. Lies Parede, MSc.PhD selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini. Terima kasih kepada Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS selaku penguji luar komisi yang bersedia menguji pada ujian tertutup, serta Dr. drh. Agustin Indrawati, M.Biomed dan Dr. Tri Budhi Murdiati, MSc. selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka Program Studi Doktor di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor dan Pembantu Rektor IPB, Dekan Sekolah Pasca Sarjana, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pangan IPB untuk kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S3 di IPB. Kepada Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner (BBALITVET), Ketua Kelti Toksikologi dan Virologi, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas, serta dukungan moril bagi penulis untuk melaksanakan penelitian hingga selesainya masa studi. Terima kasih kepada Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian atas bantuan beasiswa melalui Proyek PAATP. Terima kasih disertai rasa hormat penulis sampaikan kepada Ibunda tercinta dan Ayahanda (almarhum) atas segala do’a restu, serta dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Kepada Kakak dan adik tercinta, terima kasih atas segala cinta kasih dan dorongan semangat yang diberikan selama ini. Terima kasih kepada Prof. DR. drh. Sjamsul Bahri, MS., drh. Indraningsih, DR. R. Widiastuti, Sri Rachmawati, MSc, drh. Adin Priadi, Dra. Helmy Hamid, MSc. Dra. Masniari,MS., drh. Andriani, MSi. atas segala saran dan dorongan semangatnya, dan Zakiah Muhajan, SS,M.Hum dan seluruh staf perpustakaan BBALITVET dan IPB yang telah membantu penelusuran literatur untuk penulisan disertasi ini. Terima kasih kepada Siti Djuariah dan rekan-rekan di lab. Toksikologi,Virologi dan Bioteknologi BBALITVET atas segala bantuannya selama masa penelitian. Kepada Tati Ariyanti terima kasih atas kesediaannya menjadi proof reader pada penulisan disertasi ini. Kepada rekan-rekan program studi IPN Mbak Mar, Rahma, Ria, Rifda,Yuyun, Bu Asriani dan Mbak Susi, terima kasih untuk persahabatan yang tulus dan kerjasama yang baik selama ini. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian hingga selesainya penulisan ini. Menyadari akan segala kekurangan yang terdapat pada penulisan disertasi ini, dimohon saran dan masukannya untuk perbaikan. Semoga disertasi ini bermanfaat khususnya bagi perkembangan IPTEK dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, Agustus 2007 Romsyah Maryam
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Juni 1964 di Bogor sebagai putri ke enam dari pasangan Bapak Madhari dan Ibu Rosmah. Penulis menempuh pendidikan sarjana pada Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan di Bogor dan lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1997 penulis mendapat beasiswa AusAID untuk mengikuti pendidikan program master di School of Medicine Queensland University, Australia dan lulus pada tahun 1999. Selanjutnya, penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi Progam Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 dengan beasiswa PAATP Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Sejak tahun 1983 penulis bekerja sebagai teknisi di Kelti Toksikologi dan tahun 1991 mendapat promosi menjadi staf peneliti di Kelti yang sama pada Balai Besar Penelitian Veteriner hingga saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu bidang toksikologi, khususnya penelitian penanggulangan masalah mikotoksin dan pengembangan metode deteksi. Sealin melaksanakan penelitian, penulis juga menjadi anggota Perhimpunan Mikologi Kedokteran Indonesia dan Ikatan Sarjana Wanita Indonesia. Selama masa pendidikan program S3 telah dipublikasi 2 karya ilmiah yang berjudul “ Metode deteksi mikotoksin” dan Produksi fumonisin oleh kapang Fusarium moniliforme dan Fusarium nygamai pada medium jagung” pada jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia tahun 2006. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi yang disusun oleh penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
x
PENDAHULUAN ............................................................................................
1
Latar Belakang .......................................................................................
1
Perumusan Masalah ...............................................................................
3
Tujuan Penelitian ...................................................................................
4
Manfaat Penelitian .................................................................................
5
Hipotesis ................................................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
6
Fumonisin ...........................................................................................
6
Kapang Penghasil Fumonisin ........................................................
6
Sifat Kimia Fisika .........................................................................
8
Biosintesis Fumonisin....................................................................
9
Jenis-jenis Fumonisin ....................................................................
10
Kontaminasi pada pangan/ dan pakan ...........................................
13
Metode analisis fumonisin.............................................................
16
Imunoasai ...........................................................................................
19
Peran sistem imun dan antibodi ....................................................
20
Prinsip Imunoasai .........................................................................
22
Antigen .........................................................................................
23
Antibodi .......................................................................................
24
Produksi Antibodi oleh Sel Limfosit B ........................................
25
Produksi Antibodi Monoklonal ....................................................
29
Imunisasi ................................................................................
29
Produksi dan kultur hibridoma ...............................................
30
Skrining antibodi ....................................................................
33
Karakterisasi dan purifikasi antibodi ......................................
33
Visualisasi Imunoasai .................................................................... 34 Aplikasi Antibodi Monoklonal ...................................................... 36
iii
Halaman
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) ............................. 36 Disain dan Konfigurasi ELISA ...................................................... 37 ELISA kompetitif langsung ..................................................... 37 ELISA kompetitif tak langsung ............................................... 38 ELISA penangkap antibodi ...................................................... 40 ELISA sandwich antibodi ganda .............................................. 40 Aplikasi ELISA untuk deteki fumonisin ........................................ 40 Daftar Pustaka ..................................................................................... 42 PRODUKSI DAN ISOLASI FUMONISIN B1 DARI BIAKAN KAPANG FUSARIUM VERTICILLIOIDES DAN FUSARIUM NYGAMAI PADA MEDIUM JAGUNG Abstrak ..................................................................................................
51
Abstract .................................................................................................. 51 Pendahuluan ........................................................................................... 52 Materi dan Metode ................................................................................
53
Hasil dan Pembahasan ........................................................................... 56 Kesimpulan ............................................................................................ 62 Daftar Pustaka ........................................................................................ 62
SINTESIS ANTIGEN FUMONISIN B1-OVALBUMIN DAN FUMONISIN B1-HORSERADDISH PEROXIDASE ENZIM KONJUGAT Abstrak .................................................................................................. 65 Abstract .................................................................................................. 66 Pendahuluan ........................................................................................... 66 Materi dan Metode ................................................................................
68
Hasil dan Pembahasan ........................................................................... 73 Kesimpulan ............................................................................................ 82 Daftar Pustaka ........................................................................................ 83
iv
Halaman PRODUKSI DAN KARAKTERISASI ANTIBODI MONOKLONAL TERHADAP FUMONSIN Abstrak ..................................................................................................
86
Abstract .................................................................................................. 86 Pendahuluan ........................................................................................... 87 Materi dan Metode ................................................................................
88
Hasil dan Pembahasan ........................................................................... 96 Kesimpulan ........................................................................................... 107 Daftar Pustaka ....................................................................................... 108 STANDARDISASI DAN APLIKASI METODE ELISA BERBASIS ANTIBODIMONOKLONAL UNTUK DETEKSI FUMONISIN PADA PANGAN DAN PAKAN Abstrak .................................................................................................. 110 Abstract ................................................................................................. 111 Pendahuluan .......................................................................................... 111 Materi dan Metode ............................................................................... 112 Hasil dan Pembahasan .......................................................................... 115 Kesimpulan .......................................................................................... 123 Daftar Pustaka ...................................................................................... 123
PEMBAHASAN UMUM Produksi dan Isolasi Fumonisin ............................................................ 127 Sintesis antigen FB1-Ova dan FB1-HRP enzim konjugat ..................... 128 Produksi hibridoma melalui fusi menggunakan polietilen glikol ......... 129 Produksi dan karakterisasi antibodi monoklonal .................................. 130 Standardisasi dan aplikasi ELISA berbasis antibodi monoklonal untuk untuk deteksi fumonisin pada bahan pangan dan pakan .............. 130 Daftar Pustaka ........................................................................................ 131
v
Halaman
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .......................................................................................... 134 Saran ..................................................................................................... 135 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 137 LAMPIRAN ..................................................................................................... 150
vi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Spesies Fusarium spp. penghasil fumonisin dan pengelompokannya…….
7
2
Jenis-jenis fumonsin dan gugus fungsinya ……………………………..... 10
3
Kontaminasi fumonisin pada berbagai jenis komoditas pertanian yang digunakan sebagai bahan pangan maupun pakan di Indonesia .......... 15
4
Perbedaan sifat antara sistem imun no spesifik dan spesifik ...................... 21
5
Perbedaaan sifat antara antibodi poliklonal dan monoklonal ..................... 29
6
Galur-galur mieloma dan limfoblastoid yang dapat digunakan untuk produksi hibridoma .................................................................................... 31
7
Perlakuan pada produksi fumonisin dengan menggunakan media jagung . 55
8
Jadual imunisasi mencit BALB/c untuk pembuatan antiserum ................
9
Komposisi gel elektroforesis yang digunakan untuk konfirmasi
70
pembentukan antigen FB1-Ova dan FB1-HRP enzim konjugat..................
72
10
Pengukuran protein dari antigen FB1-Ova dengan spektrofotometer .......
78
11
Pengukuran protein dari FB1-HRP enzim konjugat dengan spektrofotometer................................................................................ .......
81
12
Program imunisasi mencit BALB/c dangan FB1-Ova secara intra vena ..
90
13
Respon antibodi yang terdeteksi pada serum mencit yang diimunisasi Dengan FB1-Ova pada pengenceran 1:5.000 ............................................
14
97
Pengukuran protein dari antibodi dalam supernatan setelah pemurnian melalui kolom HiTrap Protein A HP dengan spektrofotometer .............. 102
15
Pengukuran protein dari antibodi dalam cairan asites mencit setelah pemurnian melalui kolom HiTrap Protein A HP pada spektrofotometer ...................................................................................... 103
16
Rekoveri FB1 pada sampel jagung yang dideteksi menggunakan metode ELISA kompetitif langsung berbasis antibodi monoklonal ......... 116
17
Analisis FB1 pada jagung dengan ELISA kompetitif langsung dan KCKT ....................................................................................................... 126
18 Konsentrasi FB1 dalam pakan ayam pedaging selama penyimpanan …… 121 19
Konsentrasi FB1 dalam pakan ayam petelur selama penyimpanan .......... 121
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kontaminasi kapang Fusarium spp. pada jagung hibrida lokal, morfologi F. verticillioides dan F. nygamai koleksi Bbalitvet Culture Collection (BCC) ...........................................................................
8
2. Struktur dasar fumonisin (Rheeder et al. 2002) .........................................
8
3 Bosintesis fumonisin (Abbas et a.l 1996) ...................................................
9
4 Struktur kimia fumonisin B1 (EHC 2000) ..................................................
10
5 Perbandingan struktur fumonisin dan sfingosin .........................................
12
6 Struktur dasar imunoglobulin (Ig) ..............................................................
25
7 Kinetika respons antibodi: Pembentukan IgM sebagai respon primer dan pembentukan IgG pada respon sekunder ..................................................
26
8 Antigen dengan berbagai epitop ...............................................................
26
9 Produksi antibodi poliklonal oleh sel B ....................................................
27
10 Produksi antibodi monoklonal oleh sel B ................................................
28
11 Struktur kimia polietilen glikol (PEG) ......................................................
32
12 Sistem seleksi dengan medium HAT ........................................................
33
13 Tahapan pada ELISA kompetitif langsung (Rittenberg 1990) ..................
38
14 Tahapan pada ELISA kompetitif tidak langsung (Rittenberg 1990)..........
39
15 Kontaminasi alami kapang Fusarium spp. pada jagung lokal ...................
54
16 Pertumbuhan kapang F. moniliforme dan F. nygamai pada media PDA setelah inkubasi 7 hari pada suhu 25oC dan 37oC .....................................
57
17 Pertumbuhan kapang F. moniliforme dan F. nygamai pada media jagung setelah inkubasi 7 hari ...............................................................................
57
18 Pola produksi FB1 oleh F. Moniliforme dan F. nygamai pada media jagung dengan suhu penyimpanan 25oC dan 37oC ...................................
59
19 Konsentrasi FB1 pada tiap fraksi ekstrak biakan F. verticillioides ............
60
20 Fumonisin B1 pada ekstrak biakan F. moniliforme setelah pemurnian melalui XAD-2 dan deteksi dengan HPLC ...............................................
61
21 Reaksi pada sintesis antigen FB1-Ova melalui jalur glutaraldehida .........
75
viii
Halaman
22
Konfigurasi antigen FB1-Ova, antiserum, goat anti-mouse IgG-HRP enzim konjugat pada dot blot immunoassay dan ELISA tidak langsung ............. 76
23
Konfirmasi hasil sintesis antigen FB1-Ova ............................................... 77
24
Konfirmasi pembentukan FB1-HRP dan ELISA kompetitif langsung ...... 79
25
Konfigurasi antibodi/antiserum, antigen, FB1-HRP enzim konjugat pada ELISA kompetitif langsung ..............................................................
26
80
Konfirmasi pembentukan FB1-Ova dan FB1-HRP dengan SDS-PAGE ...............................................................................................
27
82
Pertumbuhan sel mieloma Sp2/0-Ag14 pada fasa logaritmik dalam medium RPMI mengandung 10% FBS ....................................................
98
28
Proses fusi antara sel mieloma dengan sel limfosit .................................
99
29
Klon-klon dari sel hibridoma yang tumbuh 6 minggu setelah fusi ..........
99
30
Proses kloning dari sel hibridoma dan kultur sel dari klon 2B1F6 dalam medium RPMI mengandung 10% FBS ......................................... 100
31
Grafik pertumbuhan sel hibridoma klon 2B1F6 yang dikultur kembali dalam medium RPMI setelah penyimpanan dalam nitrogen cair selama satu bulan ................................................................................................. 101
32
Pola grafik fraksinasi imunoglobulin G (IgG) dari supernatan pada kolom HiTrap Protein A HP ...................................................................
33
Pola grafik fraksinasi imunoglobulin G1 (IgGi) dari cairan asites pada kolom HiTrap Protein A HP ..........................................................
34
102
104
Uji sub kelas imunoglobulin (Ig) yang disekresikan sel hibridoma subklon 2B1F6F7 pada supernatan dengan ELISA penangkap menggunakan kit identifikasi subkelas imunoglobulin (Sigma) .............
35
105
Konfigurasi ELISA pada pengujian subkelas imunoglubulin dari Antibodi monoklonal (AbMk) yang dihasilkan oleh sel hibridoma subklon 2B1F6F7 ...................................................................................................
36
105
Analisis imunoglobulin dalam supernatan dan asites mencit setelah purifikasi melalui kolom HiTrap Protein A HP .....................................
106
ix
Halaman
37
Performan standar FB1 dan FB2 yang dideteksi secara ELISA kompetitif lansung menggunakan antibodi monoklonal (supernatan) dari subklon 2B1F6F7 .............................................................................. 118
38
Pola grafik ELISA kompetitif langsung dan linearitas FB1 menggunakan antibodi monoklonal (supernatan) dari klon 2B1F6 ...
39
118
Kurva kalibrasi standar FB1 dalam matriks jagung pada pengujian FB1 secara ELISA kompetitif langsung ................................................. 119
40
Korelasi metode ELISA kompetitif langsung dengan menggunakan AbMk dari klon 2B1F6 dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) .................................................................................................
41
120
Pengaruh penyimapanan terhadap konsentrasi FB1 pada pakan yang disimpan selama 42 hari (6 minggu) ............................................
122
x
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Pembuatan pereaksi ................................................................................... 150 2 Medium dan pereaksi yang digunakan untuk pembiakan sel .................... 153 3 Prosedur ELISA tidak langsung untuk uji antibodi pada serum, supernatan atau cairan asites ........................................................................................ 154 4 Prosedur ELISA kompetitif langsung untuk mendeteksi fumonisin.......... 155 5 Titer antibodi serum (antiserum) dari mencit yang diimunisasi dengan antigen FB1-Ova ........................................................................................ 156 6 Pengujian antibodi yang disekresikan oleh sel hibridoma ........................
157
7 Pengujian antibodi yang dihailkan oleh subklon 2B1F6F7 dalam supernatan dan cairan asites .....................................................................
158
8 Penentuan kondisi optimum antigen, antibodi dan enzim konjugat untuk pengujian antibodi secara ELISA tidak langsung ....................................
159
9 Skrining antibodi dari kultur sel hibridoma .............................................
160
10 Uji linieritas, sensitivitas dan IC50 secara ELISA kompetiti langsung ....
162
11 Analisis FB1 dalam pakan ayam pedaging secara ELISA kompetitif langsung ....................................................................................................
163
12 Analisis FB1 dalam pakan ayam petelur secara\ ELISA kompetitif langsung .. ................................................................................................... 164 13 Analisis varian (ANOVA) perlakuan penyimpanan pakan ayam pedaging dan petelur .................................................................................................. 165
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kondisi iklim di Indonesia dengan suhu, kelembaban, dan curah hujan yang tinggi sangat kondusif bagi pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Kontaminasi mikotoksin seringkali dijumpai pada bahan pangan dan pakan terutama yang berasal dari produk pertanian. Hal ini perlu mendapat perhatian karena selain berbahaya bagi
kesehatan manusia dan hewan, kontaminasi
mikotoksin juga menurunkan kualitas dan kuantitas produk pertanian sehingga berdampak bagi perekonomian. Fumonisin merupakan salah satu mikotoksin yang ditemukan di sebagian besar negara-negara di dunia, terutama di negara beriklim tropis dan subtropis. Fumonisin dihasilkan oleh kapang Fusarium spp. terutama F. verticillioides (= F. moniliforme) dan F. proliferatum. Fumonisin semakin menjadi perhatian dunia dan termasuk lima mikotoksin penting yang dijadikan persyaratan mutu produk pertanian dan hasil olahannya pada perdagangan dunia. Fumonisin B1 (FB1) adalah jenis fumonisin yang paling toksik dan banyak ditemukan di alam. IARC (1993) mengklasifikasikan FB1 sebagai karsinogen golongan 2B, yaitu senyawa yang mungkin dapat menyebabkan kanker pada manusia. Berbagai penyakit seperti kanker esofagus dan kerusakan ginjal dilaporkan berkaitan erat dengan konsumsi bahan pangan yang terkontaminasi FB1. FB1 ditemukan pada berbagai komoditi pertanian, seperti jagung, beras, gandum, sorgum, dan hasil olahannya.
Selain itu, FB1 juga ditemukan pada
komoditi lainnya seperti tanaman obat dan teh hitam. Kontaminasi FB1 pada pakan ternak menimbulkan sindroma yang disebut ”leukoencephalomalacia” (LEM) pada kuda, pembengkakan paru-paru pada babi, kanker hati dan ginjal pada tikus, serta imunosupresi pada ayam. Selain itu juga menyebabkan adanya residu pada daging, hati dan ginjal (Smith & Thakur 1996), serta susu (Spotti et al. 2001). Pada umumnya konsentrasi FB1 yang terdeteksi pada jagung di atas 300 mg/kg (EMAN 2003). Di negara tempat terjadinya kasus kanker esofagus seperti
2
Afrika Selatan konsentrasi FB1 tertinggi 118 mg/kg pada jagung, sedangkan di Cina berkisar antara 0,5-16 mg/kg. Ali et al. (1998) mendeteksi FB1 pada jagung asal Jawa Tengah pada kisaran konsentrasi 0,02-2,44 mg/kg. Sedangkan Yamashita et al. (1995) melaporkan bahwa kontaminasi FB1 pada jagung di provinsi yang sama berkisaran antara 0,05-1,8 mg/kg. Sementara itu, rataan FB1 pada jagung yang digunakan sebagai bahan baku pakan di Jawa Barat sebesar 12,9 mg/kg (Maryam et al. 2000b). FB1 stabil terhadap panas dan tidak rusak selama proses produksi, oleh karena itu pemaparannya pada manusia cukup tinggi. Menurut laporan EHC (2000) pemaparan FB1 di Kanada berkisar antara 0,017-0,089 µg/kg BB/hari, USA 0,08 µg/kg BB/hari, Eropa 0,006-7,1 µg/kg BB/hari, dan tertinggi di Afrika Selatan yaitu 14-440 µg/kg BB/hari. Berdasarkan data tersebut pada pertemuan Joint FAO/WHO Expert committe on Food Additives (JECFA) tahun 2001 ditentukan batas konsumsi FB1 yaitu 2 µg/kg BB/hari. Selain efeknya pada kesehatan manusia dan hewan, kontaminasi fumonisin berdampak terhadap perekonomian suatu negara. Kerugian ekonomi yang dialami Amerika mencapai US $40 juta, sedangkan kerugian yang lebih besar dilaporkan di alami Cina, Argentina, dan negara-negara di Afrika. Hal ini disebabkan karena semakin ketatnya standar yang diterapkan oleh negara-negara di dunia (Wu 2006). Meskipun di Indonesia belum ada laporan mengenai kerugian ekonomi dan mikotoksikosis pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh fumonisin, namun data penelitian yang mengindikasikan adanya kontaminasi FB1 pada produk pertanian dengan konsentrasi yang tinggi akan berdampak terhadap perekonomian nasional. Untuk mengetahui adanya kontaminasi fumonisin pada suatu komoditi dibutuhkan metode analisis yang dapat diandalkan. Metode analisis memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas produk pertanian dan hasil olahannya. Analisis fumonisin umumnya menggunakan metode khromatografi, seperti khromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau khromatografi gas / cair spektroskopi massa (GC/LC-MS) yang
membutuhkan peralatan dan pereaksi
yang mahal, serta waktu analisis yang lama. Metode lain seperti biosensor, imunosensor, imunohistokimia, polymerase chain reaction (PCR) atau PCR-
3
ELISA juga telah dikembangkan untuk deteksi fumonisin dan kapang Fusarium spp. penghasil fumonisin, namun metode-metode tersebut masih jarang digunakan karena membutuhkan ketrampilan yang tinggi. Di antara metode analisis, imunoasai merupakan metode yang paling mudah diaplikasikan, cepat, sensitif, spesifik dan tidak membutuhkan pereaksi atau peralatan yang mahal (Chu 1996). Salah satu metode imunoasai yang banyak dikembangkan yaitu enzyme-linked immunoassay (ELISA) dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal.
Penggunaan antibodi poliklonal tidak
spesifik karena dapat bereaksi positif dengan senyawa yang memiliki struktur mirip fumonisin sehingga menyebabkan kesalahan dalam pengukuran dan kurang sensitif. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dikembangkan teknik ELISA dengan menggunakan antibodi monoklonal. Produksi antibodi monoklonal untuk deteksi fumonisin dikembangkan dengan menggunakan imunogen FB1-KLH (Barna-Vetro et al. 2000), fumonisin B1-cholera toxin (FB1-CT) dan anti-idiotipe. Namun, untuk proses konjugasi dengan KLH dibutuhkan FB1 yang banyak (>700 molar). Konjugasi FB1 dengan CT menghasilkan titer antibodi dengan sensitivitas yang rendah sehingga perlu ditingkatkan melalui kompleks avidin dan streptavidin (Yeung & Newsome, 1995), begitu pula dengan FB1-BSA (Azcona-Olivera et al. 1992a). Oleh karenanya diperlukan suatu protein pembawa yang dapat berkonjugasi dengan FB1 secara mudah, aman dan ekonomis. Ovalbumin (Ova) dapat dijadikan sebagai protein pembawa untuk membuat antigen.. Sejauh ini, FB1-Ova umumnya digunakan sebagai antigen pelapis pada pelat ELISA (Azcona-Olivera et al. 1992) sehingga dapat diasumsikan bahwa FB1-Ova dapat menstimulasi respon imun untuk memproduksi antibodi. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada penelitian ini digunakan FB1-Ova sebagai antigen untuk menghasilkan antibodi monoklonal melalui produksi sel hibridoma.
Perumusan Masalah Teknik deteksi yang cepat, sensitif dan spesifik mempunyai peranan penting dalam mencegah dan mengurangi efek fumonisin terhadap kesehatan manusia dan hewan, serta kerugian ekonomi. Imunoasai merupakan teknik deteksi
4
yang memenuhi kriteria tersebut. Dengan deteksi cepat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan oleh adanya fumonisin pada bahan pangan dan pakan dapat dimonitor sehingga mutu dan keamanannya dapat terjaga. Pengembangan imunoasai untuk deteksi fumonisin dapat dilakukan dengan menggunakan antibodi poliklonal maupun monoklonal, namun ditinjau dari spesifitas dan sensitivitasnya antibodi monoklonal lebih baik daripada antibodi poliklonal. Untuk menghasilkan antibodi monoklonal dibutuhkan imunogen. Oleh karena fumonisin merupakan senyawa dengan bobot molekul rendah, maka dibutuhkan suatu protein pembawa untuk menjadikannya senyawa imunogenik yang dapat menstimulasi pembentukan antibodi. Protein pembawa yang sering digunakan adalah KLH dan CT. Meskipun kedua protein tersebut memberikan respon antibodi yang baik, namun KLH sulit diperoleh dan harganya mahal sedangkan CT bersifat toksik dan berbahaya. Ovalbumin (Ova) mempunyai prospek yang baik untuk digunakan sebagai protein pembawa alternatif karena dapat dikonjugasikan dengan FB1 secara mudah, ekonomis dan aman.
Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini yaitu produksi antibodi monoklonal dengan menggunakan FB1-Ova sebagai imunogen untuk mendeteksi fumonisin pada bahan pangan atau pakan secara ELISA. Untuk deteksi fumonisin secara ELISA tak langsung dibutuhkan antibodi spesifik dan FB1-HRP enzim konjugat, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah: (1) Sintesis antigen FB1-Ova dan FB1-HRP enzim konjugat, (2) Produksi antibodi monoklonal menggunakan FB1-Ova sebagai antigen, (3) Penentuan kondisi
optimum
dan
standardisasi
ELISA
kompetitif
langsung
yang
dikembangkan untuk mendeteksi fumonisin melalui pengukuran presisi, akurasi, sensitivitas, spesifitas, linieritas, pengaruh matriks sampel dan perbandingan dengan metode KCKT.
5
Manfaat Penelitian Diharapkan metode imunoasai yang dikembangkan pada penelitian ini dapat diaplikasikan untuk deteksi kontaminasi fumonisin pada bahan pangan dan pakan. Hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh laboratoriumlaboratorium pengujian, para peneliti, produsen pangan dan pakan.
Hipotesis FB1-Ova dapat digunakan sebagai antigen untuk memproduksi sel hibridoma penghasil antibodi monoklonal yang digunakan sebagai pereaksi imunoasai (ELISA) untuk mendeteksi fumonisin.
TINJAUAN PUSTAKA
Fumonisin
Fumonisin adalah kelompok mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Fusarium spp. yang pertama kali diisolasi oleh Gelderbloom et al. pada tahun 1988 dari biakan F. verticillioides (F.moniliforme).
Kontaminasi fumonisin
tersebar luas di berbagai negara di dunia, terutama negara beriklim tropis dan sub tropis. Fumonisin terdiri dari 4 kelompok utama, yaitu grup A, B, C, dan P. Grup B paling banyak ditemukan di alam dan paling beracun dibandingkan kelompok lainnya (Rheeder et al. 2002).
Kapang Penghasil Fumonisin Fumonisin umumnya dihasilkan oleh kapang Fusarium spp. terutama F. verticillioides dan F. proliferatum. Selain Fusarium spp. kapang lainnya seperti Alternaria alternata juga dilaporkan dapat memproduksi fumonisin selama proses metabolismenya (Abbas & Riley 1996, Mirocha et al. 1996). Fusarium spp. merupakan kapang tidak sempurna yang hidup sebagai saprofit atau parasit terhadap inangnya. Sebagai saprofit, spora kapang ini dapat bertahan di dalam tanah selama bertahun-tahun (soil born pathogen), membentuk konidia berwarna putih, kuning, orange, atau merah sebagai ciri dari masingmasing spesiesnya (Pitt dan Hocking, 1997). Infeksi Fusarium spp. biasanya dimulai sejak masa tanam (field fungi) dan menghasilkan fumonisin serta mikotoksin fusarium lainnya. Produksi fumonisin ini terus berlanjut hingga masa penyimpanan terutama jika manajemen pada pra-panen dan pasca-panen kurang baik. Sebagai contoh, pengendalian kapang dan proses pengeringan yang kurang memadai merupakan faktor utama penyebab kontaminasi fumonisin. Infeksi F. verticillioides menyebabkan busuk batang dan tongkol pada jagung (Kommedahl & Windells 1989, De Leon & Pandey 1989, Desjardin & Plattner 2000). Rheeder et al. (2002) melaporkan bahwa di alam terdapat 15 spesies Fusarium spp. yang dapat menghasilkan fumonisin yang dibagi ke dalam empat kelompok (Tabel 1). Pada tabel tersebut
7
terlihat bahwa F. verticillioides, F. proliferatum, dan F. nygamai menghasilkan empat kelompok utama fumonisin, yaitu grup A, B, C, dan P.
Tabel 1 Spesies Fusarium spp. penghasil fumonisin dan pengelompokannya Kelompok
Fusarium spp. F. verticolloides
Fumonisin yang dihasilkan FA1-3, FB1-5, iso-FB1, FAK1, FBK1, FC1,4, FP1-3, PH1a-b
Liseola
F. sacchari
FB1
F. fujikoroi
FB1
F. proliferatum
FA1-3, FB1-5, FAK1, FBK1, FC1, FP1-3, PH1a-b
F. subglutinans
FB1
F. thapsinum
FB1-3
F. anthophilum
FB1-2
F. globosum
FB1-3
F. nygamai
FA1-3, FB1-5, FAK1, FBK1, FC1, FP1, PH1a-b
Dlaminia
F. dlamini
FB1
F. napiforme
FB1
F. pseudonygamai
FB1-2
F. andiyazi
FB1
F. oxysporum
FA1,3-4, N-asetil- FC1, iso-FC1, N-asetil-isoPC1, OH-FC1, N-asetil-OH-FC1
Elogans F. oxysporum var.
FB1-j
redulens
Arthrosporiella
F. polyphialidicum
FB1
Sumber: Rheeder et al. 2002
Spesies kapang Fusarium yang sering ditemukan di Indonesia adalah F. verticillioides yang berpotensi menghasilkan fumonisin (Miller et al. 1993, 1996, Dharmaputera et al. 1996, Ali et al. 1998, Trisiwi 1996). Kapang F. verticillioides dan F. nygamai yang diisolasi dari jagung asal Jawa Barat dan dibiakan pada medium jagung dapat menghasilkan fumonisin B1 masing-masing sebesar 12,80 g/kg dan 1,11 g/kg (Maryam 2000a). Hal ini menunjukkan bahwa kedua kapang
8
tersebut merupakan kapang yang sangat potensil sebagai penghasil FB1, sehingga baik untuk digunakan untuk produksi FB1. Kontaminasi kapang Fusarium spp. pada jagung hibrida lokal, morfologi kapang F. verticillioides dan F. nygamai terlihat pada Gambar 1.
F. verticillioides
F. nygamai
Gambar 1 Kontaminasi kapang Fusarium spp. pada jagung lokal, morfologi F. verticillioides dan F. nygamai dari BBALITVET Culture Collection (BCC) Sifat Kimia Fisika Fumonisin merupakan senyawa yang memiliki struktur kimia serupa dengan sfingosin, yaitu senyawa yang berperan penting dalam proses metabolisme sel. Karena kemiripan struktur keduanya, sintesis fumonisin dianalogikan melalui jalur yang sama dengan sfingosin. Struktur inti dari senyawa fumonisin terlihat pada Gambar 2. Senyawa-senyawa fumonisin bersifat polar, sehingga mudah larut dalam air dan pelarut organik polar seperti metanol dan campuran asetonitril-air (EHC 2000).
R4
R1
CH3
OH
R7 R2
CH3
R3
R5
R6
Gambar 2 Struktur dasar fumonisin (Rheeder et al. 2002)
9
Biosintesis Fumonisin Biosintesis fumonisin terjadi melalui proses kondensasi heksadekanoilkoenzim A (palmitat KoA, C16) dengan serin atau alanin.
Karena adanya
kemiripan struktur yang dimiliki fumonisin dan sfingosine, biosintesis fumonisin pada tanaman terjadi melalui proses yang sama dengan sfingolipid yang terbentuk melalui proses kondensasi heksadekanoil-koenzim A (palmitat, C16) dengan serin atau alanin menghasilkan 1-hidroksi-2D-amino-3-okso oktadekana. Reduksi gugus keton menghasilkan dihidrosfinganin dan sfinganin yang merupakan analog fumonisin. Kemudian gugus amino terasetilasi dan membentuk ikatan rangkap pada karbon yang mengikat gugus hidroksil (Gambar 3).
CoASH + CO2
O
O CH3 (CH2)16 C S CoA
+
CH3 (CH2)16
HO C CH CH3 NH2 Alanine Alanin
Palmitoil-KoA CoA Stearoyl +
1 deoxy 3 ketosphinganine 1-deoksi-3-ketosfinganin 2[H]
NADPH+ H + NADP
H OH CH3 (CH2)14 C C CH CH CH3 NH2 1 deoxysphingosine 1-deoksisfingosin
OH CH CH3 C CH3 (CH2)16 NH2 1 deoxysphinganine
1-deoksisfinganin
H2O CH3 (CH2)14
OH OH C CH2 CH CH CH3 NH2 O
CoA PTAC CoA PTAC
CoASH
O C CH NH2
CoASH
CH3
2 tahap metilasi methylation steps S-2 adenosilmetionin
S adenosylmethionine and2 2tahap hydroxylation steps hidroksilasi
AP2
hidroksilasi hydroxylation
AP1
PTCA OH O
CH3 PTCA
OH
Fumonisin B1
Gambar 3 Biosintesis Fumonisin (Abbas et al. 1996)
OH
NH2
10
Jenis-jenis fumonisin Hingga saat ini telah diketahui 28 jenis fumonisin yang terbagi dalam 4 kelompok utama, yaitu fumonisin group A, B, C dan P (Rheeder et al. 2002). Tabel 2 menunjukkan jenis-jenis fumonisin yang telah diketahui dengan gugus fungsinya. Setiap jenis fumonisin memiliki gugus fungsi dan aktivitas biologis yang berbeda. Fumonisin grup B terdiri dari fumonisin B1 (FB1), B2 (FB2), B3 (FB3), dan B4 (FB4) yang memiliki gugus amina dan paling banyak ditemukan di alam.
Fumonisin B1 FB1 merupakan senyawa diester dari propana-1,2,3-asam trikarboksilat dengan gugus 2-amino-12,16-dimetil-3,5,10,14,15-pentahidroksi ikosana dimana gugus hidroksil pada C14 dan C15 teresterifikasi oleh gugus terminal dari asam karboksilat.
FB1 mempunyai bobot molekul 721 dengan rumus molekul
C34H59NO15 (Gambar 4). Di antara grup B, FB1 adalah senyawa yang paling beracun dan dikenal dengan nama makrofusin. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil pada FB1 lebih banyak dari grup B lainnya.
O
CH 3
COOH O CCH 2 CHCH 2 COOH
O
OH
OH
CH 3 OH CCH 2 CHCH 2 COOH O COOH
NH 2
Gambar 4 Struktur kimia fumonisin B1 (EHC 2000) FB1 merupakan serbuk higroskopik, mudah larut dalam air, campuran metanol-air atau asetonitril-air. Kelarutannya dalam pelarut polar ini disebabkan oleh adanya 4 gugus karboksil bebas, gugus hidroksil dan gugus amino. Dua gugus hidroksil teresterifikasi menjadi asam propane-1,2,3-trikarboksilat. FB1 dan FB2 stabil dalam metanol pada penyimpanan –18oC, namun mudah terdegradasi pada suhu 25oC atau lebih. Penyimpanan yang lebih lama pada suhu 25oC dapat dilakukan dalam asetonitril-air (1:1) (EHC 2000).
11
Tabel 2 Jenis-jenis fumonisin dan gugus fungsinya Jenis Fumonisin
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
FA1
TCA
TCA
OH
OH
H
NHCOCH3
CH3
FA2
TCA
TCA
H
OH
H
NHCOCH3
CH3
FA3
TCA
TCA
OH
H
H
NHCOCH3
CH3
PHFA3a
TCA
OH
OH
H
H
NHCOCH3
CH3
PHFA3b
OH
TCA
OH
H
H
NHCOCH3
CH3
H FA1
OH
OH
OH
H
H
NHCOCH3
CH3
FAK1
=O
TCA
OH
OH
H
NHCOCH3
CH3
FK1
=O
TCA
OH
OH
H
NH2
CH3
FB1
TCA
TCA
OH
OH
H
NH2
CH3
Iso-FB1
TCA
TCA
OH
H
OH
NH2
CH3
PHFB1a
TCA
OH
OH
OH
H
NH2
CH3
PHFB1b
OH
TCA
OH
OH
H
NH2
CH3
HFB1
OH
OH
OH
OH
H
NH2
CH3
FB2
TCA
TCA
H
OH
H
NH2
CH3
FB3
TCA
TCA
OH
H
H
NH2
CH3
FB4
TCA
TCA
H
H
H
NH2
CH3
FB5
Belum diketahui secara pasti
FC1
TCA
TCA
OH
OH
H
NH2
CH3
N-asetil-FC1
TCA
TCA
OH
OH
H
NHCOCH3
CH3
Iso-FC1
TCA
TCA
OH
H
OH
NH2
H
N-asetil-iso-FC1
TCA
TCA
OH
H
OH
NHCOCH3
H
OH-FC1
TCA
TCA
OH
OH
OH
NH2
H
N-asetil-OH-FC1
TCA
TCA
OH
OH
OH
NHCOCH3
H
FC3
TCA
TCA
OH
H
H
NH2
H
FC4
TCA
TCA
H
H
H
NH2
H
FP1
TCA
TCA
OH
OH
H
3HP
CH3
FP2
TCA
TCA
H
OH
H
3HP
CH3
FP3
TCA
TCA
OH
H
H
3HP
CH3
Sumber: Rheeder et al. (2002) TCA: asam trikarbalilat; 3HP: 3-hidroksi piridinum
12
Toksisitas Fumonisin B1 Informasi mengenai toksikokinetik FB1 pada hewan masih sangat terbatas dan belum jelas. Pada tubuh hewan penyerapan FB1 sangat rendah, namun distribusi dan elminasinya pada beberapa spesies sangat cepat seperti pada ayam petelur, babi, sapi, tikus dan primata (EHC 2000). Toksisitas fumonisin disebabkan oleh struktur kimianya yang menyerupai sfingosin, yaitu enzim yang berperanan penting dalam proses metabolisme sel. Gambar 5 memperlihatkan persamaan struktur inti antara fumonisin dan sfingosin. OH OH NH2
Sfingosin Sphingosine
O
CH3
COOH O CCH2CHCH2COOH
O
R1 CH3 CCH2CHCH2COOH O COOH
R2
OH NHR3
Fumonisin
Gambar 5 Perbandingan Struktur Fumonisin dan Sfingosin
Karena kemiripan struktur tersebut, fumonisin berkompetisi dengan sfingosin dan mempengaruhi pembentukan sfingolipid melalui penghambatan kerja sfinganin-N-asiltransferase (seramid sintase). Sfingolipid merupakan senyawa pemberi sinyal yang dapat dikenali oleh sel-sel imun dan tempat menempelnya mikroba penyebab penyakit dan racun-racun mikroba (Schroeder et al. 1994, Merril et al. 1997b). Dengan terhambatnya pembentukan sfingolipid menakibatkan terjadinya penurunan kekebalan terhadap penyakit infeksius dan penimbunan sfingosin yang mengakibatkan berbagai penyakit diantaranya kanker esofagus dan radang ginjal pada manusia seperti di Afrika Selatan dan Cina (Marasas 1995, Zhang et al.
13
1997). Penyakit pada hewan yang ditimbulkan oleh fumonisin diantaranya leukoencephalomalacia (LEM) pada kuda (Uhlinger 1997), pembengkakan paruparu pada babi (porcine pulmonary edema, PPE) (Smith et al. 1999), kanker hati pada tikus (Gelderblom 1996b), dan penurunan sistem kekebalan pada ayam (Merril et al. 1997b; Martinova et al. 1998; Eriksen & Alexander, 1998). Oleh karena itu peningkatan rasio sfinganin / sfingosin (Sa/So) dalam serum dan jaringan dapat dijadikan sebagai bioindikator mikotoksikosis yang disebabkan oleh FB1 (Tang et al. 2005). Toksisitas FB1 dapat terjadi karena adanya pemaparan dosis tunggal maupun atau dengan pemaparan berulang karena adanya kontaminasi pada bahan pangan/pakan. Dosis tunggal FB1 1,25 mg/kg yang diberikan secara intra vena pada tikus jantan (Sprague-Dowley) menunjukkan adanya lesi yang parah pada ginjal, peningkatan proliferasi sel esofagus, dan peningkatan mitosis baik pada esofagus maupun pada hati (Lim et al. 1996). Pada pemaparan berulang, kerusakan pada organ hati (hepatotoksik) dan ginjal (nefrotoksik) terlihat pada tikus yang diberi FB1 50 mg/kg bobot badan selama lebih dari 11 hari (Gelderblom et al. 1994). Sementara itu, efek imunosupresi terlihat pada ayam pedaging yang diberi ransum dari biakan F. verticillioides (MRC 826) mengandung FB1 30-300 mg/kg, dimana terjadi penurunan bobot limpa dan bursa, serta meningkatnya parameter-parameter hematologi (Espada et al. 1997). Pada babi, efek imunosupresi juga terjadi setelah pemberian ransum terdiri dari biakan kapang yang sama dengan konsentrasi FB1 sebanyak
1
mg/kg,
dimana
terlihat
penurunan
kemampuan
eliminasi
Pseudomonas aeruginosa dan penghambatan fungsi sel-sel makrofag pada intravaskuler paru-paru (Rotter et al. 1996, Smith et al. 1996). Penghambatan fungsi sel-sel makrofag ini dapat meningkatkan kepekaan terhadap penyakit mikrobial (Smith et al. 1996c).
Kontaminasi Fumonisin pada Bahan Pangan dan Pakan Kontaminasi FB1 banyak dijumpai pada jagung (Gutema et al. 2000, Hennigen et al. 2000, Shephard et al. 2000), beras (Desjardin et al. 2000, Abbas et al. 2002), gandum (Bakker et al. 2003) dan serealia lain (Barna-Vetro et al.
14
2000), serta hasil olahannya (Sugita-Konishi et al. 2006). Selain itu, FB1 juga ditemukan pada tanaman obat, teh hitam (Martins et al. 2001), dan bir yang dihasilkan dari fermentasi gandum terkontaminasi FB1 (Torres et al. 1998). Kontaminasi FB1 juga terdapat pada pakan (Labuda et al., 2005). Sebagai akibat dari pemberian pakan yang terkontaminasi fumonisin ditemukan adanya residu pada produk peternakan seperti susu (Spotti et al. 2001) dan daging, hati dan ginjal (Smith & Thakur 1996). Umumnya residu FB1 pada produk peternakan rendah, namun hasil hidrolisisnya yaitu HFB1 memiliki toksisitas yang lebih tinggi sehingga perlu diwaspadai pengaruhnya terhadap kesehatan (Maragos et al. 1996). Kontaminasi fumonisin pada jagung dan produk olahannya
telah
dilaporkan di berbagai negara di dunia. Di USA, konsentrasi FB1 pada produk pangan asal jagung (corn-based products) berkisar antara 0,075-5,916 mg/kg (Castelo et al. 1998), Amerika Latin 0,07-38,5 mg/kg, dan Amerika Utara 0,004330 mg/kg. Sedangkan di Asia kontaminasi FB1 berkisar 0,01-153 mg/kg dan Eropa 0,007-250 mg/kg (EHC 2000). Di Australia, cemaran fumonisin pada jagung berkisar antara 1–40 mg/kg dan hasil olahannya 0,85-5,8 (Maryam 1999), sedangkan jagung dari kasus ELEM di New South Wales konserntrasi FB1 mencapai 164 mg/kg (Bryden et al. 1995). Diperkirakan pemaparan FB1 di USA 0,08 µg/kg BB/hari, Kanada berkisar antara 0,017-0,089 µg/kg BB/hari, Eropa 0,006-7,1 µg/kg BB/hari, dan yang tertinggi di Afrika Selatan yaitu 14-440 µg/kg BB/hari (EHC 2000). Di Indonesia meskipun belum ada laporan mengenai mikotoksikosis pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh fumonisin, namun Ali et al. (1998) telah berhasil mengisolasi kapang F. verticillioides dan mendeteksi FB1 pada jagung asal Yogyakarta, Purworejo, dan Surakarta dengan konsentrasi FB1 0,0162,44 mg/kg. Demikian pula Yamashita et al. (1995) telah mendeteksi FB1 pada jagung dari Jawa Tengah dengan kisaran konsentrasi 0,05-1,8 mg/kg. Secara umum, kontaminasi fumonisin pada berbagai bahan pangan dan pakan di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa FB1 tertinggi ditemukan pada jagung asal Jawa Barat (54,54 g/kg) yang digunakan sebagai bahan dasar untuk pakan ayam dengan indikasi adanya pertumbuhan kapang
15
Fusarium sp. berwarna merah muda keunguan (Maryam et al. 2000). Sedangkan konsentrasi tertinggi FB1 pada jagung yang digunakan sebagai bahan dasar pangan sebesar 2,97 g/kg (Ali et al. 1998).
Tabel 3 Kontaminasi Fumonisin pada berbagai komoditas pertanian yang digunakan sebagai bahan pangan maupun pakan di Indonesia Jenis sampel (N) Jagung (8)*
Asal sampel Jatim
Jumlah & % positif 8 (100 %)
Rataan konsentrasi Pustaka dan kisaran (mg/kg) 514,25 (64-1672) Maryam et al., 2000
Bekatul (5)
Jatim
5 (100 %)
700,4 (288-1467)
Idem
Konsentrat (4)
Jatim
4 (100 %)
637,5 (372-1055)
Idem
Pakan (19)
Jatim
19 (100 %)
631,5 (22-1816)
Idem
Jagung (12)*
Jatim
7 (58,3 %)
(50-1800)
Idem
Jagung (11)**
Bandung,
8 (73 %)
11540 (470-35000)
Maryam,
Jabar
2000b
Dedak (1)
Idem
1
11200
Idem
Pakan jadi
Idem
1
6450
Idem
Jagung (6)**
Cianjur,
6 (100 %)
8150 (240-24220)
Idem
Jabar Dedak (2)
Idem
2 (100 %)
6830 (4300-9370)
Idem
Pakan jadi (3)
Idem
3 (100 %)
11240 (1070-30160)
Idem
Jagung (7)**
Sukabumi,
7 (100 %)
28380 (1240-54540)
Idem
8 (100 %)
3540 (2120-5750)
Idem
Jabar Jagung (8)
Bogor, Jabar
Dedak (2)
Idem
2 (100 %)
9560 (7720-11390)
Idem
Pakan jadi (1)
Idem
1 (100%)
16530
Idem
Jagung (16)*
Jateng
16(100 %)
895 (tertinggi 2970)
Ali, et al. 1998
Sumber: Bahri dan Maryam (2003) * Jagung sebagai bahan pangan tanpa indikasi adanya cemaran Fusarium sp. ** Jagung sebagai bahan pakan dengan indikasi adanya cemaran Fusarium sp.
16
Kontaminasi fumonisin seringkali ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin (Johansson dan Whitaker, 2006; Abbas et al. 2002, Li et al. 2001, Maryam et al. 2000) dan mikotoksin lain seperti okratoksin, zearalenon, dan deoksinivalenol (Sugita-Konishi et al. 2006, Park et al. 2002). Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena adanya beberapa mikotoksin secara bersamaan dalam suatu komoditi dapat saling bersinergi sehingga memperkuat efek toksik.
Metode Analisis Fumonisin
Metode analisis mempunyai peranan yang penting untuk mengetahui secara kualitatif dan kuantitatif adanya kontaminasi fumonisin dalam bahan pangan dan pakan, serta membantu diagnosis penyakit yang ditimbulkannya. Secara umum metode analisis meliputi ekstraksi dan deteksi dengan menggunakan instrumen atau peralatan tertentu.
Ekstraksi Karena tingkat polaritasnya yang tinggi, ekstraksi fumonisin umumnya dilakukan dengan menggunakan campuran metanol-air atau asetonitril-air terutama untuk analisis secara khromatografi. Gutema et al. (2000) dan Desjardin et al. (2000) menggunakan campuran pelarut asetonitril-air (1:1) untuk mengekstrak fumonisin dari jagung yang diikuti pemurnian melalui kolom solid phase extraction (SPE) C18. Sedangkan Shephard et al. (2000), Martins et al. (2001), dan Sugita-Konishi et al. (2006) menggunakan campuran methanol-air (3:1) yang diikuti dengan pemurnian melalui kolom SPE penukar anion kuat (SAX).
Deteksi Deteksi fumonisin umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik khromatografi seperti kromatografi lapis tipis (KLT), khromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT)
dan khromatografi
gas/cair
yang
dihubungkan
dengan
spektroskopi massa (GC/LC-MS). Selain untuk analisis kuantitatif LC-MS dapat juga digunakan untuk konfirmasi atau identifikasi fumonisin (Musser et al. 2002).
17
Teknik khromatografi ini merupakan metode yang umum digunakan untuk mendeteksi fumonisin. Meskipun metode ini dapat memberikan hasil secara kualitatif dan kuantitatif dari tiap jenis fumonisin, namun membutuhkan pereaksi dan peralatan yang mahal, serta waktu analisis yang lama. Metode lain seperti biosensor (van der Gaag et al. 2003), imunosensor (Maragos & Thompson 1999), imunohistokimia (Buim et al. 1999), polymerase chain reaction (PCR)(Bluhm et al. 2002, Patino et al. 2004) atau PCR-ELISA (Grimm & Geisen 1998) telah dikembangkan untuk deteksi fumonisin dan kapang Fusarium spp. penghasil fumonisin, namun metode tersebut jarang digunakan karena membutuhkan ketrampilan dan pengalaman yang tinggi. Di antara metode analisis, imunoasai
merupakan metode yang paling
menguntungkan karena mudah diaplikasikan, cepat, sensitif, spesifik, dan tidak membutuhkan pereaksi atau peralatan yang mahal (Chu 1996). Salah satu metode imunoasai yang banyak dikembangkan yaitu enzyme-linked immunoassay (ELISA) dengan menggunakan antibodi poliloklonal atau monoklonal.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) KLT merupakan teknik kromatografi yang paling mudah diaplikasikan untuk mendeteksi fumonisin. Teknik ini umumnya digunakan untuk analisis kualitatif dan semi kuantitatif. Pemisahan pada KLT didasarkan pada distribusi komponen pada lempeng KLT dengan pelarut, yang diindikasikan dengan faktor hambatan (Rf). Lempeng KLT yang digunakan dapat berupa lempeng KLT fasa normal (Silika gel 60) atau fasa terbalik (C18). Untuk visualisasi, digunakan panisaldehida (Sydenham et al. 1990) jika menggunakan KLT fasa normal, atau fluoresamin untuk menambah fluoresensi pada pengamatan di bawah sinar ultra violet jika menggunakan lempeng KLT fasa terbalik (Shephard & Sewram 2004).
Khromatografi gas Deteksi fumonisin dengan kromatografi gas dilakukan menggunakan kolom fused-silica capillary yang melibatkan hidrolisis asam dari fumonisin untuk melepas ikatan esternya yang dilanjutkan dengan deteksi TCA yang diesterifikasi dengan isobutanol (Shephard 1998). Plattner dan Branham (1994)
18
mendeteksi fumonisin dengan melakukan isolasi inti fumonisin (aminopoliol) yang diperoleh melalui hidrolisis alkalis pada resin XAD-2, dan kemudian mengubahnya menjadi derivatif trimetilsilil untuk dianalisis dengan kromatografi gas. Metode ini tidak dapat digunakan untuk mendeteksi inti FB2 dan FB3 sebagai derivatif sililnya.
Khromatografi cair kinerj tinggi (KCKT) KCKT atau yang lebih dikenal dengan high performance liquid chromatography (HPLC) merupakan metode analisis yang berdasarkan pada perbedaan distribusi senyawa yang disebabkan oleh adanya interaksi senyawa pada fasa gerak (mobile phase) dan fasa diam (stationary phase). Deteksi fumonisin dengan KCKT meskipun dapat memberikan hasil yang sangat memuaskan,
namun teknik ini membutuhkan proses preparasi yang panjang
dengan pereaksi dan peralatan yang mahal. Karena fumonisin tidak memiliki serapan pada gelombang ultra violet, deteksinya dengan KCKT dilakukan melalui proses derivatisasi menggunakan fluorescamine (Shephard et al. 1990, Sydenham et al. 1990) atau o-ftaldialdehida (Hopmans & Murphy 1993) untuk meningkatkan daya fluoresensi pada detektor fluoresensi. Dengan menggunakan naftalen-2,3dikarboksaldehida dengan KCN sebagai bahan penderivatisasi sensitivitas dapat ditingkatkan hingga 50 pg (Shephard et al. 1990), namun reaksi menggunakan KCN tidak dianjurkan karena bersifat sangat toksik. Selain menggunakan detektor fluoresensi, deteksi fumonisin dapat juga dilakukan dengan menggunakan detektor ultraviolet (UV) melalui proses
derivatisasi yang melibatkan reaksi
amina primer sebelum dipisahkan dalam kolom. Derivat maleil yang terbentuk dideteksi dan dikuantifikasi pada detektor UV dengan limit deteksi 10 μg/kg. Metode ini kurang sensitif sehingga tidak dapat digunakan untuk analisis fumonisin pada sampel yang terkontaminasi fumonisin secara alami (Gelderblom et al. 1988).
Khromatografi cair-spektroskopi massa Pada umumnya, deteksi fumonisin dengan menggunakan KLT dan KCKT membutuhkan proses derivatisasi untuk meningkatkan sensitifitas. Dengan
19
menggunakan interface MS pada KCKT, deteksi fumonisin dapat dilakukan tanpa derivatisasi (Shephard 1998, Masayo et al. 2006). Selain untuk analisis kuantitatif, LC-MS juga digunakan untuk konfirmasi struktur fumonisin. Salah satu metode LC-MS yang digunakan untuk analisis fumonisin adalah fast atom bombardment (FAB-MS). Dengan menggunakan metode ini limit deteksi fumonisin pada jagung yang terkontaminasi secara alami melalui SAX clean up sekitar 100 ng/g (Plattner & Branham 1994). Korfmacher et al. (1991) membandingkan teknik thermospray (TS) dan electronspray (ES) untuk mendeteksi fumonisin. Berdasarkan studi tersebut terlihat bahwa ES-MS dapat mendeteksi FB1 hingga level nanogram dengan memberikan sinyal ion molekul dan fragmentasi yang sedikit. Sebaliknya, dengan TS-MS terbentuk fragmen yang banyak dan sensitifitasnya hanya mencapai level sub-mikrogram. Namun dengan menggunakan mode ion negatif dan campuran ammonium asetat-asetonitril sebagai fasa bergerak, limit deteksi TS-MS dapat diperkecil menjadi 2 ng (Thakur & Smith 1994). Metode ES-MS yang telah divalidasi mampu mendeteksi fumonisin hingga level nanogram dan juga dapat mengkonfirmasi identitas fumonisin yang terdeteksi dalam sampel yang dianalisis (Musser et al. 2002). Pada proses produksi pangan asal jagung, fumonisin bereaksi dengan komponen pangan seperti gula dan protein sehingga tidak dapat terdeteksi dengan metode KCKT. Dall’Asta et al. (2006) mengembangkan metode LC/ESI/MS/MS untuk mendeteksi fumonisin dalam produk pangan asal jagung seperti corn-flakes, tortilla chips dan corn chips.
Imunoasai Imunoasai yaitu teknik analisis dengan menggunakan pereaksi yang dihasilkan oleh sistem imun, yaitu antibodi.
Aplikasi imunoasai sangat luas
terutama di bidang kedokteran, baik untuk diagnosis maupun terapi suatu penyakit. Namun, selama dua dekade terakhir teknik imunoasai telah dikembangkan untuk analisis forensik, veteriner, cemaran pangan, dan produk pertanian (Rittenburg 1990, Grothaus et al. 2006). Dibandingkan dengan metode analisis lainnya, imunoasai memiliki kelebihan karena sangat ekonomis, mudah dan cepat dalam aplikasinya, serta
20
memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Metode imunoasai dikembangkan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal.
Peran Sistem Imun dan Produksi Antibodi Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan yang terdiri dari sel, molekul, dan jaringan yang berperan untuk melawan infeksi yang ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun terbagi atas sistem imun nonspesifik (natural/innate/native) dan spesifik (adaptive/acquired). Sistem imun nonspesifik merupakan sistem pertahanan tubuh terdepan yang dapat memberi respon secara langsung terhadap masuknya molekul asing atau mikroorganisme. Sedangkan sistem imun spesifik terbentuk karena proses adaptasi molekuler oleh sel-sel imun terhadap bahan asing yang masuk (Baratawidjaja 2004). Tabel 4 menunjukkan perbedaan sifat antara sistem imun nonspesifik dengan sistem imun spesifik. Di dalam tubuh terdapat tiga jenis sel yang berperan penting dalam sistem imun yaitu limfosit, sel plasma dan makrofag yang berasal dari sel progeni dalam sumsum tulang, bersirkulasi dalam darah dan masuk ke dalam organ ketika diperlukan. Limfosit memiliki kemampuan mengenali setiap antigen melalui permukaan reseptornya yang spesifik. Ada dua jenis limfosit, yaitu limfosit B yang dapat mensekresi antibodi spesifik dan limfosit T yang tidak menghasilkan antibodi namun dapat berproliferasi dan berdiferensiasi jika ada antigen dengan melepas senyawa yang disebut limfokin. Dalam hal ini, fungsi sel T adalah membantu sel B untuk mensintesis antibodi dengan mengatur respon imun. Sementara itu, peran makrofag sangat penting dalam sistem imun spesifik. Sel ini menelan antigen dan mentransfer materi antigen tersebut pada sel T sehingga terjadi aktivasi sel T yang kemudian diteruskan dengan aktivasi sel B (BarnaVetro 2002).
21
Tabel 4 Perbedaan sifat antara sistem imun nonspesifik dan spesifik Sistem imum nonspesifik Resistensi
Tidak
berubah
karena Membaik
infeksi Spesifitas
Efektif
Sistem imun spesifik dengan
infeksi
berulang (adanya memori). terhadap
semua Spesifik terhadap mikroba yang
mikroba Sel yang terlibat Fagosit Sel natural killer (NK)
pernah mensensitisasi. Th, Tdth, Tc, Ts Sel B
Sel mastosit Eosinofil Molekul
Lisozim
Antibodi
penting
Komplemen
Sitokin
Protein fasa akut
Medium
Interferon
Molekul adhesi
C-reactive protein (CRP) Kolektin Molekul adhesi Sumber: Baratawidjaja (2004)
Sistem imun spesifik terdiri atas humoral dan seluler. Sistem imun spesifik humoral dihasilkan oleh sel B yang berproliferasi jika bertemu dengan antigen dan berkembang menjadi sel plasma penghasil antibodi yang banyak dijumpai dalam serum. Antibodi ini berperan penting dalam sistem pertahanan terhadap virus, bakteri ekstraseluler dan menetralisir toksin yang dihasilkannya. Sistem imun spesifik seluler diperankan oleh sel T yang dihasilkan oleh sel asal di dalam sumsum tulang yang berproliferasi dan berdiferensiasi di dalam kelenjar timus. Sel T yang telah dewasa ke luar dari timus dan masuk ke dalam peredaran darah. Jika bertemu dengan antigen, sel T akan tersensitisasi, berproliferasi dan memberi sinyal pada sel B untuk memproduksi antibodi. Sistem imun spesifik seluler ini berfungsi sebagai pertahanan terhadap bakteri intraseluler, virus, jamur dan parasit virulen (Baratawidjaja 2004).
22
Prinsip Imunoasai Sifat antibodi yang dapat mengikat antigen spesifik di dalam tubuh merupakan dasar dari metode analisis secara imunoasai karena reaksi ini juga dapat terjadi di luar tubuh. Dalam hal ini, antigen dapat merupakan agen penyakit, cemaran mikroba, senyawa kimia atau kontaminan alami seperti mikotoksin. Antibodi yang digunakan dapat berupa antibodi poliklonal atau monoklonal. Prinsip analisis secara imunoasai berdasarkan reaksi antigen dengan antibodi spesifik terhadap antigen tersebut yang membentuk kompleks antigenantibodi (Barna-Vetro 2002). Dinamika reaksi pengikatan antibodi-antigen pada antigen sederhana yang hanya mempunyai satu determinan antigen mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut: Ka
[Ab] + [Ag]
[AbAg] Kd
dimana [Ab] adalah konsentrasi antibodi bebas (mol/L), [Ag] adalah konsentrasi antigen antigen bebas, dan [AbAg] merupakan konsentrasi kompleks antibodiantigen, sedangkan Ka dan Kd adalah konstanta asosiasi dan disosiasi. Rasio Ka/Kd merupakan konstanta keseimbangan atau konstanta affinitas (K) dengan nilai yang diturunkan melalui persamaan: Ka K=
Kd
[AbAg] =
[Ab][Ag]
Nilai K berkisar antara 103-107 liter/mol dan konstanta antibodi yang baik untuk pengukuran secara imunoasai berkisar antara 106-108 liter/mol. Konstanta affinitas ini berhubungan langsung dengan spesifitas dan sensitivitas (Roitt 1991, Rittenburg 1990). Ikatan antigen-antibodi dalam imunoasai terjadi karena adanya kekuatan intermolekuler seperti elektrostatik, ikatan hidrogen, sifat hidrofobik, dan gaya Van der Waals (Roitt 1991). Berdasarkan interaksi antigen-antibodi, imunoasai dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu berdasarkan interaksi primer dan interaksi sekunder. Pengukuran imunoasai berdasarkan interaksi primer dapat dilakukan secara langsung, sedangkan yang berdasar pada interaksi sekunder, dilakukan secara tidak langsung. Pada umumnya, pengukuran imunoasai berdasarkan interaksi
23
primer, contohnya pengukuran melalui presipitasi, aglutinasi, radioimunoasai (RIA) dan ELISA (Rittenburg 1990).
Antigen Antigen atau imunogen adalah bahan yang dapat memicu pembentukan respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi. Secara fungsional, antigen dibedakan menjadi imunogen dan hapten. Imunogen umumnya merupakan suatu protein yang memiliki ukuran molekul yang besar, sedangkan hapten merupakan senyawa kimia dengan ukuran kecil, tidak bersifat imunogenik sehingga tidak dapat mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi. Agar dapat memicu pembentukan antibodi, suatu hapten harus dikonjugasikan dengan molekul besar yang disebut molekul pembawa. Molekul pembawa umumnya protein yang bersifat multivalen dan imunogenik, contohnya keyhole limpet hemocyanin (KLH), tiroglobulin, ovalbumin dan imunoglobulin ayam (Rittenburg 1990). Hapten dikenal oleh sel B sedangkan molekul pembawa oleh sel T. Hapten membentuk epitop pada permukaan molekul pembawa yang dikenali oleh sistem imun sehingga merangsang pembentukan antibodi. Daerah ini dapat bereaksi secara spesifik dengan reseptor antigen (Baratawidjaja 2004). Di antara senyawa hapten yaitu kontaminan pada bahan pangan dan pakan seperti mikotoksin, pestisida, antibiotik dan senyawa lain dengan bobot molekul rendah. Berdasarkan epitopnya antigen terbagi atas empat jenis, yaitu (1) Unideterminan univalen, antigen yang hanya memiliki satu jenis epitop pada tiap molekulnya (hapten); (2) Unideterminan multivalen, antigen yang memiliki lebih dari dua epitop yang sama pada satu molekulnya ; (3) Multideterminan univalen: antigen yang memiliki beberapa epitop yang berbeda, tetapi masing-masing hanya satu pada tiap molekulnya (protein); Multideterminan multivalen: antigen yang memiliki beberapa epitop berbeda yang masing-masing terdiri dari dua atau lebih pada tiap molekulnya.
Contohnya antigen dengan bobot molekul besar dan
kompleks secara kimiawi, seperti polimer protein. Berdasarkan spesifitasnya, antigen dibagi menjadi lima kelompok, yaitu (1) Heteroantigen, umum dimiliki oleh berbagai spesies; (2) Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu; (3) Alloantigen (isoantigen), antigen spesifik yang hanya dimiliki individu tertentu
24
dalam suatu spesies; dan (4) Antigen yang hanya dimiliki organ tertentu dan (5) Autoantigen,
yang
dimiliki
oleh
tubuh
sendiri.
Sedangkan
menurut
ketergantungannya terhadap sel T, antigen terbagi atas T-dependent, memerlukan bantuan sel T untuk dikenali sebelum menimbulkan respon antibodi (seluler), dan T independent yang dapat menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi tanpa bantuan sel T (humoral) (Baratawidjaja 2004). Imunogenitas suatu antigen ditentukan oleh berbagai faktor, terutama ukuran dan strukturnya. Senyawa yang berukuran besar dengan struktur kompleks dan bermolekul besar jika masuk ke dalam tubuh akan segera menimbulkan respon pada sistem imun, seperti protein dengan bobot molekul lebih dari 40.000 dan polisakarida kompleks dari mikroba (Baratawidjaja 1991). Sedangkan senyawa dengan ukuran dan bobot molekul rendah seperti fumonisin jika masuk ke dalam tubuh tidak dapat menimbulkan respon imun secara langsung (hapten), sehingga untuk membutuhkan protein pembawa untuk dapat dijadikan sebagai antigen.
Antibodi Antibodi adalah protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B sebagai respon terhadap tubuh karena adanya kontak dengan antigen (Tizard 2000, Baratawidjaja 2004). Antibodi disebut juga dengan imunoglobulin (Ig) karena terdiri dari protein globular. Antibodi yang terdapat dalam tubuh hewan dan manusia terbagi dalam lima kelompok yaitu IgG, IgA, IgE, IgM, dan IgD. IgG merupakan imunoglobulin terbanyak mencapai 80% di dalam serum dan sering digunakan untuk analisis secara imunoasai (Rittenburg 1990). Antibodi memiliki berat molekul 145.000 – 950.000 dengan struktur dasar menyerupai huruf Y dan empat rantai polipeptida yang terdiri dari dua rantai berat (heavy chain) dan rantai ringan (light chain) yang setara, dimana satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh rantai disulfida (Gambar 6). Rantai ringan terdiri atas lambda dan kappa yang disusun oleh 220-230 asam amino. Sedangkan rantai berat terdiri atas 450-600 asam amino, sehingga berat dan panjangnya dua atau tiga kali rantai ringan (Pelczar & Chan 1988, Tizard 2000). Daereah variabel memiliki dua domain; fragmen Fab yaitu fragmen yang mempunyai daerah
25
pengikatan antigen dan fragmen Fc yang dapat mengkristal dan berperan dalam regulasi kekebalan. Daerah variabel terdiri dari daerah hipervariabel (HV) dan daerah framework (FR) (Harlow & Lane 1988). Daerah hipervariabel merupakan daerah pengikatan antigen (antigen-binding sites) yang disebut paratop atau disebut juga daerah penentu komplemen (complementary-determining regions, CDRs) yang masing-masing terdiri dari 6-10 asam amino (Tizard 2000). Daerah ini berperan penting dalam reaksi antigen-antibodi yang menjadi dasar analisis secara imunoasai. Pengikatan Ag
Rantai ringan Jembatan disulfida
Rantai berat Daerah hipervariabel (CDRs) Daerah variabel Daerah konstan
Gambar 6 Struktur dasar imunoglobulin (Ig)
Produksi Antibodi oleh Sel Limfosit B Antibodi dihasilkan oleh sel limfosit B (sel B) yang termasuk ke dalam sistem imun spesifik. Pada saat pertama kali suatu antigen masuk ke dalam tubuh akan terjadi sensitisasi, kemudian sel-sel imun merekamnya. Pada paparan berikutnya, sel-sel imun sudah mengenali antigen tersebut karena telah mempunyai antibodi yang dapat mengikat atau menangkal antigen tersebut (Tizard 2000). Respons imun pertama ditandai dengan terbentuknyan IgM. Pada pemaparan berikutnya terbentuk IgG sebagai respon imun sekunder (Gambar 7). Berdasarkan fenomena ini, produksi antibodi yang dilakukan dalam suatu penelitian dengan memberikan dosis berulang suatu antigen tertentu selama lebih
26
dari empat minggu umumnya akan menghasilkan IgG atau dengan sedikit IgM. Imunoglobulin tersebut akan disekresikan ke dalam serum dan juga terdapat di dalam limpa sebagai organ di mana banyak ditemukan sel limfosit B (sel B).
Gambar 7 Kinetika respons antibodi: Pembentukan IgM sebagai respon primer dan pembentukan IgG pada respon sekunder (Zola 1987) Antibodi poliklonal Setiap sel B memproduksi satu jenis antibodi spesifik. Jika suatu antigen yang memiliki beberapa jenis epitop masuk ke dalam tubuh vertebrata, maka masing-masing sel B akan menghasilkan antibodi yang sesuai dengan antigen tersebut. Gambar 8 adalah ilustrasi suatu antigen yang memiliki lebih dari satu epitop.
Gambar 8 Antigen dengan berbagai epitop
Proses pembentukan antibodi oleh sel B dimulai ketika suatu antigen terikat pada permukaan sel B tertentu akan terjadi induksi sel B untuk berproliferasi dan masing-masing sel memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut (Gambar 9). Dengan adanya bagian variabel yang berbeda, maka antibodi yang terbentuk memiliki epitop yang berbeda-beda dan bereaksi spesifik
27
dengan antigennya. Campuran antibodi ini banyak terdapat dalam serum dan disebut dengan antibodi poliklonal (Zola 1987).
Campuran antibodi dalam darah (serum)
Gambar 9 Produksi antibodi poliklonal oleh sel B
Antibodi poliklonal memiliki epitop yang beragam sehingga dapat berinteraksi dengan beragam antigen, terutama yang memiliki kesamaan struktur molekul. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan interpretasi dalam analisis yang menggunakan metode imunoasai berbasis antibodi poliklonal. Sebagai contoh dalam analisis FB1 dapat terjadi reaksi silang dengan jenis fumonisin lainnya dan senyawa lain yang memiliki kesamaan struktur seperti sfingosin dan senyawa sfingolipid lainnya yang terdapat dalam bahan pangan atau pakan.
28
Antibodi monoklonal Antibodi monoklonal adalah antibodi yang dihasilkan oleh klon dari sel tunggal hasil fusi sel limfosit B dengan sel mieloma yang memiliki homogenitas, affinitas dan spesifitas tinggi (Rittenburg 1990). Hasil fusi kedua sel dipilih yang menghasilkan satu jenis antibodi dan bagian variabel yang sama. Sistem ini dikenal dengan monoklonal anitbodi. Proses produksi antibodi monoklonal oleh sel fusi seperti terlihat pada Gambar 10.
KLONING
Gambar 10 Produksi antibodi monoklonal oleh sel B
29
Sel limfosit B diperoleh dari limpa mencit yang diimunisasi secara berulang dengan antigen tertentu, sehingga dihasilkan sel hiperimun yang membawa sifat-sifat genetik sel induknya untuk memproduksi antibodi. Perbedaan yang mendasar antara antibodi poliklonal dan antibodi monoklonal yaitu pada spesifitas dan afinitasnya. Perbandingan sifat antara keduanya ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Perbedaan sifat antibodi poliklonal dan monoklonal Karakteristik
Antibodi poliklonal
Antibodi monoklonal
Jumlah
Terbatas dan bervariasi
Tidak terbatas
Homogenitas
Campuran antibodi
Homogen
Afinitas
Tinggi
Tinggi
Spesifitas
Rendah
Tinggi
Kebutuhan antigen
Dibutuhkan antigen
Antigen tidak
murni untuk produksi
murni/campuran
antisera spesifik Sumber: Post Harvest Technology Institute (1999)
Produksi Antibodi Monoklonal Secara umum proses pembuatan antibodi monoklonal melalui tahapan sebagai berikut: (1) Imunisasi, (2) Produksi dan kultur sel hibridoma, (4) Skrining antibodi, (5) Karakterisasi dan purifikasi antibodi (Zola 1987, Harlow & Lane 1988).
Imunisasi Imunisasi merupakan tahap awal produksi antibodi monoklonal. Tahap ini dilakukan dengan menyuntikan dosis tertentu suatu antigen ke dalam tubuh mencit untuk mengaktivasi sel-sel imun sehingga memproduksi antibodi. Hewan yang digunakan untuk produksi antibodi monoklonal umumnya adalah mencit BALB/c
atau tikus LOU/c. Berbagai cara imunisasi dapat dilakukan seperti
intradermal, subkutan, intramuskuler, intraperitoneal, dan intravena tergantung pada kecepatan eliminasi dan pencapaian tempat limfosit yang diperlukan. Cara
30
imunisasi sangat menentukan jenis imunoglobulin yang dihasilkan. Sebagai contoh, pada tahap awal imunisasi yang dilakukan secara intravena cenderung menghasilkan IgM. Namun, setelah pemberian dosis berikutnya imunoglobulin yang dihasilkan umumnya IgG seperti pada kinetika respon antibodi (Gambar 7). Untuk antigen yang mudah larut, imunisasi dapat dilakukan secara intravena untuk mempercepat eliminasi. Antigen yang digunakan merupakan bahan imunogenik dengan struktur kompleks atau hapten yang dikonjugasikan dengan protein pembawa. Dosis antigen terendah yang dibutuhkan yaitu 1 µg, tetapi dosis yang umum digunakan berkisar antara 10-20 µg. Jika antigen yang tersedia cukup banyak dianjurkan untuk meningkatkan dosis hingga 50 µg untuk memberikan respon imun yang lebih baik (Harlow & Lane 1988). Pada pengembangan imunoasai untuk mendeteksi fumonisin berbasis antibodi monoklonal dibutuhkan antigen sebanyak 7,5 µg jika menggunakan FB1CT (Azcona-Olivera et al. 1992) melalui penyuntikan secara intra vena, dan jika menggunakan FB1-KLH dibutuhkan 50 µg melalui penyuntikan secara sub kutan (Barna-Vetro et al. 2000).
Produksi dan kultur sel hibridoma Produksi hibridoma dilakukan melalui fusi sel limfosit mencit yang telah diimunisasi dengan sel mieloma. Sel limfosit diperoleh dari limpa mencit hiperimun yang membawa sifat genetik sel induknya dan dapat memproduksi antibodi. Namun, sel limfosit tidak dapat bertahan hidup lama secara in vitro sedangkan sel mieloma adalah sel tumor berasal dari mencit atau tikus yang dapat hidup terus menerus secara in vitro (sel lestari). Hibridisasi kedua sel tersebut dapat menghasilkan sel hibrid yang dapat ditumbuhkan dalam medium dan membawa sifat genetik dari sel induknya untuk menghasilkan antibodi. Untuk produksi antibodi monoklonal dipilih galur-galur sel mieloma termutasi yang tidak memiliki enzim hipoksantin guanin fosforibosiltransferase (HGPRT) atau timidin kinase (TK) dan tidak menghasilkan imunoglobulin. Dengan demikian, antibodi yang dihasilkan oleh sel hibrid merupakan imunoglobulin yang murni berasal dari sel limfosit mencit yang diimunisasi.
31
Tabel 6 memuat informasi mengenai galur-galur sel mieloma yang dapat digunakan untuk memproduksi hibridoma dan sifat-sifatnya.
Tabel 6 Galur-galur mieloma dan limfoblastoid yang dapat digunakan untuk produksi hibridoma Galur
Sifat
Mencit P3-X63-Ag6
Mensekresi IgG1, jarang digunakan
P3-NS1/1-Ag4-1
Hibrid mensekresi rantai ringan K, masih digunakan; seleksi HAT
P3-x63-Ag8.653
Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT
SP2/0-Ag14
Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT
FO
Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT
S194/5.XXO.BU.1
Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT
Tikus 210-RCY3-Ag1
Hibrid mensekresi rantai ringan K, strain tikus Lou/C
YB2/3 Ag20
Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT
IR 983F
Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT; strain tikus Lou/C (substrain berbeda)
Manusia
Terdapat beberapa galur, tetapi tidak boleh digunakan secara rutin
Sumber: Zola (1987)
Fusi sel adalah tahap terpenting pada produksi hibridoma. Fusi sel dapat berlangsung dengan baik jika ada bahan pemicu yang disebut fusogen. Polietilen glikol (PEG) merupakan fusogen yang paling banyak digunakan (Gambar 11). Mekanisme terjadinya fusi antara sel limfosit dengan sel mieloma dengan menggunakan PEG yaitu melalui proses aglutinasi, pembengkakan dan fusi membran sel. PEG bersifat toksik bagi sel dimana toksisitasnya sangat tergantung pada bobot molekulnya. Semakin rendah bobot molekul PEG, toksisitasnya semakin tinggi. Namun, penggunaan PEG dengan bobot molekul tinggi sangat
32
sulit karena bersifat kental dan lengket. Sehingga PEG yang digunakan untuk fusi umumnya memiliki bobot molekul 600-6000 dengan kisaran konsentrasi 40 - 50% dalam medium bebas serum atau PBS pH 7,2-8,0 (Harlow & Lane 1988, Zola 1987).
OH(CH2CH2O)nCH2OH Gambar 11 Struktur kimia polietilen glikol (PEG)
Sel fusi yang dihasilkan selanjutnya ditumbuhkan pada media seleksi hipoksantin-aminopterin-timidin (HAT), dimana aminopterin berfungsi sebagai penghambat sintesis asam nukleat dari prekursornya melalui sintesis purin dan pirimidin. Oleh karena sel mieloma tidak memiliki enzim HGPRT atau TK maka sel ini tidak bertahan hidup, sedangkan sel yang terfusi dapat hidup melalui jalur penyelamatan (salvage pathways) dengan memanfaatkan hipoksantin dan timidin dalam medium sebagai prekursor asam nukleat (Gambar 12). Sel fusi ini tumbuh dengan baik dan berproliferasi untuk memproduksi imunoglobulin yang murni berasal dari sel induknya. Setelah sel fusi dapat tumbuh dengan baik dan semua sel yang tidak terfusi telah mati (± 21 hari), medium pertumbuhan dapat diganti dengan hipoksantin-timidin (HT) (Zola 1987). Untuk memperoleh antibodi monoklonal yang berasal dari klon sel tunggal dilakukan kloning melalui pengenceran bertahap sehingga dihasilkan sel hibrid yang memiliki kemampuan mensekresi antibodi yang seragam. Sel hibrid ini selanjutnya dikultur untuk produksi antibodi monoklonal skala laboratorium yang dapat dilakukan dalam medium secara in vitro atau dalam asites mencit BALB/c (in vivo). Sebagian sel dipreservasi dalam DMSO mengandung 20 % FBS (Zola 1987).
33
SEL NORMAL Hipoksantin
S E L M I E L O M A
Jalur utama biosintesis sel
Jalur penyelamatan
Timidin kinase (TK) Timidin SEL NORMAL
Gambar 12 Sistem seleksi dengan medium HAT pada produksi sel hibridoma penghasil antibodi monoklonal (Zola 1987)
Skrining antibodi Skrining antibodi pada serum mencit yang diimunisasi perlu dilakukan untuk mengetahui adanya respon imun sebelum dilaksanakan fusi sel. Pengujian ini juga dilakukan terhadap supernatan dari kultur sel setelah fusi untuk mengetahui adanya antibodi yang disekresikan oleh sel hibrid. Umumnya pengujian dilakukan secara ELISA tidak langsung dengan menggunakan antiimunoglobulin yang berlabel enzim, misalnya anti mouse IgG-HRP. Antigen dilapiskan pada pelat mikro dan ditambahkan serum atau supernatan setelah pencucian. Selanjutnya ditambahkan anti mouse IgG-HRP sebagai enzim konjugat. Reaksi antigen-antibodi terlihat melalui perubahan warna setelah penambahan substrat.
Metode ini memungkinkan evaluasi hasil dan seleksi
antibodi dengan cepat, seperti pada pengembangan ELISA untuk mendeteksi fumonisin (Barna-Vetro 2002).
Karakterisasi dan purifikasi antibodi Karakterisasi antibodi monoklonal dilakukan untuk menentukan kelas atau subkelas antibodi yang dihasilkan oleh sel hibrid. Pengujian ini biasanya dilakukan setelah kloning sel dengan menggunakan uji Ouchterlony, ELISA,
34
RIA, atau elektroforesis dan isoelectric-focusing. Uji Ouchterlony merupakan cara termudah untuk menentukan subkelas dengan cepat melalui imunodifusi dimana antigen dan antibodi membentuk presipitasi pada agar. Namun sensitivitas metode ini hanya 10 µg/ml, sehingga untuk konsentrasi antibodi yang lebih rendah seperti dalam supernatan perlu dilakukan pemekatan dengan presipitasi menggunakan ammonium sulfat 50%. Sementara itu dengan ELISA pengujian dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan goat anti mouse subclass imunoglobulin yang
tersedia secara komersial dengan prosedur seperti pada
skrining antibodi. Purifikasi antibodi monoklonal dalam supernatan atau cairan asites dilakukan melalui pengendapan dengan ammonium sulfat 50%, sodium sulfat atau polietilen glikol untuk menghilangkan albumin dan dilanjutkan dengan fraksinasi menggunakan kolom Protein A atau penukar ion (Zola 1987).
Visualisasi imunoasai Pengukuruan imunasai berdasarkan pada reaksi primer antigen-antibodi. Keragaman format dan pereaksi yang digunakan di bidang medis, veteriner, pangan dan pertanian memungkinkan visualisasi reaksi primer antigen-antibodi yang berbeda pula. Visualisasi imunoasai dapat dilakukan melalui presipitasi, aglutinasi, dan pelabelan antigen atau antibodi (Rittenburg 1990).
Presipitasi Presipitasi merupakan reaksi dimana interaksi antigen-antibodi diamati secara langsung tanpa menggunakan pereaksi untuk amplifikasi. Antigen terlarut secara langsung dicampur dengan antibodinya, sehingga terbentuk kompleks makromolekul yang besar dan mengendap pada kondisi tertentu yang terlihat dengan kasat mata. Ukuran molekul yang terbentuk dipengaruhi oleh
rasio
antigen/antibodi, kelas imunoglobulin, pH, kekuatan ionik dan temperatur. Contoh aplikasi teknik presipitasi adalah teknik imunodifusi tabung, metode difusi ganda, imunoelektroforesis dan imunodifusi radial. Visualisasi imunoasai dengan berdasarkan presipitasi ini memiliki limit deteksi 0,1- 10,0 µg/ml (Rittenburg 1990).
35
Aglutinasi Prinsip dasar dari aglutinasi sama dengan presipitasi, namun antigen atau antibodi yang direaksikan dalam bentuk partikel bukan dalam bentuk larutan. Jika suatu suspensi mengandung sel yang cocok dicampur dengan antisera spesifik akan terjadi aglutinasi yang terlihat dengan adanya perubahan pada larutan dari keruh menjadi jernih. Dalam hal ini baik antibodi maupun antigen terlarut dapat diserap atau dilekatkan pada permukaan polistiren lateks atau eritrosit sehingga memungkinkan untuk digunakan pada reaksi aglutinasi. Reaksi aglutinasi ini lebih sensitif dibandingkan dengan reaksi presipitasi. Namun metode ini memiliki keterbatasan karena adanya bahan pengganggu yang berasal dari sampel dan sulitnya untuk menginterpretasikan hasil terutama pada konsentrasi analit yang rendah.
Label antibodi atau antigen Struktur molekul antibodi pada daerah konstan (constant region) memungkinkan untuk berikatan secara kovalen dengan berbagai jenis label. Ikatan ini tidak mempengaruhi ikatan antigen-antibodi yang terjadi pada daerah variabel (variable region). Jenis-jenis label yang digunakan dalam imunoasai yaitu radioisotop (125I, 3H,
14
C) pada RIA, enzim (EIA) dan fluoresensi menggunakan
kemiluminesen, bioluminesen dan bakteriofag (Smith 1990). Pelabelan menggunakan radioaktif sangat sensitif tetapi tidak populer karena berbahaya dan tidak dapat digunakan untuk analisis bahan pangan. Di sisi lain, pelabelan dengan menggunakan enzim semakin banyak dikembangkan karena konjugasi antibodi atau antigen dapat dengan mudah dilakukan dan aman. Enzim imunoasai (EIA) terbagi menjadi dua jenis, yaitu heterogen dan homogen. Dalam EIA heterogen aktivitas label enzim tidak dipengaruhi oleh reaksi antigen-antibodi dan diperlukan pemisahan fraksi terikat dan tidak terikat. Sedangkan dalam EIA homogen aktivitas enzim sebagai label tergantung pada reaksi antigen-antibodi sehingga tidak diperlukan pemisahan. Contoh metode EIA yang banyak digunakan untuk pengujian yaitu enzyme multiplied technique (EMIT) dan ELISA. Dewasa ini, EIA lebih difokuskan pada ELISA karena metode ini paling banyak dikembangkan dan diaplikasikan.
36
Aplikasi antibodi monoklonal Dalam aplikasinya, antibodi monoklonal digunakan sebagai pereaksi untuk diagnosis dan terapi penyakit pada manusia dan hewan, serta untuk mendeteksi kontaminan pada bahan pangan dan pakan (Zola 1987). Metode ini digunakan untuk mendeteksi dan kuantifikasi antigen (agen penyakit, kontaminan) atau antibodi. Untuk kepentingan diagnosis dibutuhkan antibodi dengan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi terhadap antigen yang diuji, tangguh, dan valid. Contoh penggunaan antibodi monoklonal untuk diagnosis penyakit yaitu dalam identifikasi sel malignan tertentu. Antibodi monoklonal merupakan reagen yang potensil untuk terapi suatu penyakit seperti dalam lokalisasi dan terapi tumor secara in vivo dan adanya penolakan pada transplantasi organ. Di sisi lain, peran antibodi monoklonal dalam mendeteksi kontaminan semakin berkembang. Di antara kontaminan pada bahan pangan dan pakan adalah mikotoksin, termasuk fumonisin. Antibodi monoklonal untuk deteksi mikotoksin umumnya diaplikasikan secara ELISA kompetitif langsung. Perangkat ELISA ini telah banyak dipasarkan dan dapat diperoleh secara komersial. Di antaranya kit ELISA untuk deteksi fumonisin yang dikembangkan dengan menggunakan imunogen FB1-KLH (Barna-Vetro et al., 2000), fumonisin B1-cholera toxin (FB1-CT) (Azcona-Olivera et al. 1992b) dan anti-idiotipe sebagai antigen. Penggunaan FB1-Ova sebagai antigen untuk menghasilkan antibodi monoklonal belum pernah dilaporkan, namun penggunaannya hanya terbatas sebagai antigen pelapis pada pengujian antibodi secara ELISA kompetitif tidak langsung.
Enzyme linked-immunosorbent assay (ELISA)
ELISA adalah teknik imunoasai yang menggunakan enzim sebagai label untuk amplifikasi dan visualisasi reaksi primer ikatan antigen-antibodi. Pelabelan dapat dilakukan pada antigen atau antibodi. Antibodi yang digunakan dalam ELISA dapat berupa antibodi poliklonal atau antibodi monoklonal.
37
ELISA pertama kali diperkenalkan oleh Engvall dan Perlman pada tahun 1971. Hingga saat ini, ELISA merupakan teknik imunoasai yang paling banyak digunakan karena enzim mudah ditangani, relatif murah dan stabil, dapat merubah substrat tidak berwarna menjadi berwarna dengan sangat sensitif sehingga mudah untuk menginterpretasikan hasil akhir. Prinsip ELISA yaitu berdasarkan pada reaksi antigen dan antibodi spesifik dimana dengan adanya enzim konjugat akan bereaksi dengan substrat untuk menghasilkan warna yang dapat dibaca pada alat kolorimeter/spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu (Rittenburg1990).
Disain dan Konfigurasi ELISA Disain dalam ELISA dapat berupa kompetitif atau non kompetitif. Untuk molekul antigen kecil yang univalen hanya dapat digunakan ELISA kompetitif, sedangkan untuk antigen multivalen yang lebih besar dapat melalui pendekatan keduanya. Empat konfigurasi ELISA yang banyak digunakan dalam analisis yaitu: (1) ELISA kompetitif langsung, (2) ELISA kompetitif tidak langsung, (3) ELISA penangkap antibodi, dan (4) ELISA sandwich antibodi ganda (double antibody sandwich ELISA).
ELISA kompetitif langsung Konfigurasi ini digunakan untuk mengukur antigen dalam sampel. Dalam ELISA kompetitif langsung ini antibodi dilapiskan pada pelat mikro sebagai fasa padat, kemudian sampel dan antigen berlabel enzim (antigen-enzim konjugat ) ditambahkan secara bersamaan atau bertahap. Pada tahap ini, setiap antigen dalam sampel akan berkompetisi dengan antigen-enzim konjugat untuk berikatan dengan antibodi dan materi yang tidak terikat akan terlepas melalui pencucian. Dengan penambahan substrat, ikatan antigen-enzim konjugat-antibodi akan memberikan perubahan warna dari tidak berwarna menjadi berwarna yang dapat dibaca panjang
gelombang
tertentu
dengan
menggunakan
ELISA
reader
(spektrofotometer). Dalam hal ini, perubahan warna yang terjadi berbanding terbalik dengan konsentrasi antigen dalam sampel (analit) di mana semakin tinggi konsentrasi antigen dalam sampel, intensitas warna akan semakin menurun. (Gambar 13).
38
Sampel negatif
Sampel positif
1. Antibodi dilapiskan pada permukaan fasa padat (pelat mikro, lateks, nitroselulose).
2. Antigen berlabel enzim dan sampel ditambahkan ke dalam fasa padat berisi antibodi. Antigen target dalam sampel akan berkompetisi dengan antigen berlabel untuk berikatan dengan antibodi pada fasa padat.
3. Fasa padat dicuci untuk menghilangkan materi sampel yang tidak terikat oleh antibodi pada fasa padat.
4. Substrat ditambahkan ke dalam fasa padat. Jumlah produk berwarna yang dihasilkan berbanding terbalik dengan antigen yang terdapat dalam sampel.
Catatan:
Fasa padat
Antigen berlabel enzim Substrat
Antibodi penangkap Produk berwarna (Enzim substrat) Antigen target
Gambar 13 Tahapan pada ELISA kompetitif langsung (Rittenburg 1990)
ELISA kompetitif tidak langsung Konfigurasi ini digunakan untuk mengukur antibodi dalam sampel (contohnya serum, supernatan, atau cairan asites). Dalam ELISA kompetitif tidak langsung, pelat dilapisi dengan antigen. Antigen bermolekul rendah seperti FB1 tidak dapat melekat dengan baik pada permukaan fasa padat sehingga harus dikonjugasikan dengan protein. Konjugat antigen-protein ini akan berikatan dengan antibodi yang diuji. Pada ELISA kompetitif tidak langsung ini digunakan antibodi sekunder yang spesifik terhadap kelas imunoglobulin (Ig) spesies hewan yang digunakan (misalnya antibodi antimouse atau antirabbit IgG) yang dikonjugasikan dengan enzim.
39
Pada aplikasinya, antibodi primer dan sampel/standar diinkubasi secara bersamaan, kemudian dimasukkan ke dalam pelat mikro sebagai fasa padat yang berisi antigen. Seperti halnya ELISA kompetitif langsung, kompetisi akan terjadi antara antigen dalam sampel dengan untuk berikatan dengan antibodi. Setelah pencucian, ditambahkan antibodi sekunder berlabel enzim. Adanya reaksi kompleks antara antigen-antibodi akan memberikan warna setelah penambahan substrat,
yang
dapat
diukur
dengan
menggunakan
ELISA
reader
(Spektrofotometer) (Gambar 14). Sampel negatif
Sampel positif
1. Antigen dilapiskan pada permukaan fasa padat (pelat mikro, lateks, nitroselulose).
2. Antibodi primer dan sampel ditambahkan ke dalam fasa padat berisi antigen.Antigen dalam sampel akan berikatan dengan antibodi primer dalam larutan dan menghambat pengikatan dengan antigen pada fasa padat.
3. Antibodi anti globulin berlabel enzim ditambahkan ke dalam fasa padat. Antibodi berlabel akan menempel pada antibodi primer dan ditangkap oleh antigen pada fasa padat.
4. Substrat ditambahkan ke dalam fasa padat. Jumlah produk berwarna yang dihasilkan berbanding terbalik dengan antigen yang terdapat dalam sampel.
Catatan: Fasa padat
Antibodi anti-globulin berlabel enzim
Antigen target Substrat Antibodi primer Produk berwarna (Enzim substrat)
Gambar 14 Tahapan pada ELISA kompetitif tidak langsung (Rittenburg 1990)
40
ELISA penangkap antibodi Konfigurasi ini digunakan untuk mengukur antibodi spesifik dalam sampel. Antigen dilapiskan pada fasa padat dan kemudian direaksikan dengan sampel. Antibodi yang terdapat dalam sampel akan ditangkap oleh antigen yang terdapat pada fasa padat. Materi sampel lainnya yang tidak terikat dihilangkan dengan pencucian, selanjutnya ditambahkan antibodi anti Ig berlabel enzim untuk menandai antibodi spesifik yang sudah ditangkap oleh antigen. Setelah pencucian terakhir ditambahkan substrat. Intensitas warna yang dihasilkan mencerminkan konsentrasi antibodi spesifik yang terdapat dalam sampel.
ELISA sandwich antibodi ganda (double antibodi sandwich ELISA) Konfigurasi ini sesuai untuk mengukur antigen bivalen atau polivalen. Istilah sandwich digunakan karena analit (dalam sampel) berada di antara antibodi pada fasa padat dan antibodi berlabel enzim (antibodi-enzim konjugat). Antibodi primer dilapiskan pada permukaan fasa padat dan analit (standar/sampel) ditambahkan. Setelah pencucian materi yang tidak terikat, kompleks antigenantibodi yang sudah terbentuk ditambahkan antibodi primer berlabel enzim yang akan menempal pada salah satu daerah pengikatan antigen yang masih tersisa. Selanjutnya substrat ditambahkan setelah pencucian terakhir. Warna
yang
terbentuk mencerminkan konsentrasi antigen yang terdapat dalam sampel.
Aplikasi ELISA untuk deteksi fumonisin Teknik ELISA untuk mendeteksi fumonisin telah dikembangkan oleh Azcona-Olivera et al.(1992a) dan Yeung et al.(1996) dengan menggunakan antibodi monoklonal spesifik terhadap FB1-toksin kolera (FB1-CT). Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi cemaran fumonisin dalam berbagai jenis sampel. Teknik
ELISA
dengan
menggunakan
poliklonal
antibodi
telah
dikembangkan dengan menggunakan FB1-BSA dan FB1-CT sebagai imunogen dengan cara imunisasi mencit BALB/c (Azcona-Olivera 1992a). FB1-BSA sebagai imunogen ternyata tidak efektif memproduksi antibodi. Sedangkan imunisasi dengan dosis rendah FB1-CT menghasilkan antibodi dengan affinitas yang rendah
41
(7,5 μg), namun antibodi yang dihasilkan mempunyai reaksi silang yang cukup tinggi dengan senyawa lain yang memiliki struktur molekul yang sama. Antibodi poliklonal yang diproduksi oleh Yeung et al.(1996) dengan menggunakan FB1-CT dan FB1-HAS (human serum albumin) sebagai imunogen menghasilkan antibodi poliklonal yang reaktif terhadap fumonisin. Limit deteksi ELISA kompetitif langsung menggunakan antibodi ini 5 ng/g pada jagung dengan reaksi silang terhadap FB2 , FB3 , HFB2 dan HFB3 dan masing-masing 50% , 13%, 11% dan 3%. Kulisek dan Hazebroek (2000) mengembangkan metode untuk mendeteksi toxin FB1 pada jagung dengan metode ELISA kompetitif memakai poliklonal antibodi. Toksin FB1 diekstraksi dengan larutan fosfat sebagai pengganti pelarut organik. Metode ELISA yang dikembangkan berkorelasi linier dengan HPLC namun hanya dapat mendeteksi FB1 pada kisaran konsentrasi 1-50 µg/ml. Selanjutnya, Azcona-Olivera et al. (1992b) mengembangkan teknik imunoasai berdasar pada Antibodi monoklonal untuk mendeteksi fumonisin dengan menggunakan FB1-CT sebagai imunogen. Antibodi yang dihasilkan memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi. Limit deteksi yang diperoleh dengan menggunakan metode ini 50 ng/ml untuk stándar FB1, dan aplikasinya pada sampel yang ditambahkan 5-25 μg/g standar memberikan rekoveri 103% dengan koefisien variasi sebesar 15%. Yu dan
Chu
(1999a) memproduksi
antibodi monoklonal spesifik terhadap FB1 dengan FB1-KLH sebagai antigen, dan menghasilkan spesifik antibodi monoklonal terhadap FB3. Selain itu, Yu dan Chu (1999b) juga berhasil membuat antibodi monoklonal terhadap anti-idiotipe FB1 dengan fragmen Fab sebagai antigen. Teknik ELISA kompetitif tidak langsung dan ELISA kompetitif langsung digunakan untuk mendeteksi antibodi dan menganalisa kandungan toxin. IC50 untuk FB1, FB2, dan FB3 berturut-turut 75, 95 dan 450 ng/mL dengan ELISA kompetitif tidak langsung, sedangkan IC50 FB1 dengan ELISA kompetitif langsung 233 ng/ml dan limit deteksi pada sampel 500 ng FB1/g. Teknik ELISA tidak langsung digunakan untuk mendeteksi antibodi, sedangkan ELISA kompetitif langsung untuk menganalisa fumonisin dengan rekoveri 71,3%. Barna-Vetro et al. (2000) juga telah mengembangkan ELISA
42
kompetitif langsung berdasarkan
antibodi monoklonal yang diproduksi
menggunakan FB1-KLH sebagai imunogen. Reaksi silang terhadap FB1, FB2, dan FB3 berturut-turut 100%, 91,8% dan 209%, namun tidak ada reaksi dengan fumonisin terhidrolisis. Metode ini dapat mendeteksi FB1 pada kisaran 10-500 ng/g sampel dengan limit deteksi 7,6 ng/g. Rekoveri pada kisaran konsentrasi FB1 50-200 ng/g bervariasi antara 61-84%. Berdasarkan hasil yang diperoleh, metode ini berguna untuk skrining fumonisin pada bahan pangan dan pakan. DAFTAR PUSTAKA Abbas HK and Riley RT. 1996. The presence and phyto toxicity of fumonisins and AAL-toxin in Aternaria alternata. Toxicon 34: 133-136. Abbas HK, Cartwright RD, Shier WT, Abouzied MM, Bird CB, Rice LG, Ross PF, Sciumbato GL, and Meredith FI. 2002. Natural occurrence of fumonisins in rice and Fusarium sheath rot disease. Plant Disease 82(1): 22-25. Abbas HK, Duke SO, Shier WT, Riley RT, and Kraus GA. 1996. The Chemistry and Biological activities of the natural products AAL-toxins and fumonisins. Natural Toxins 2. Plennum Press, New York, 293-307. Ali N, Sardjono, Yamashita A, and Yoshizawa T. 1998. Natural co-occurance of aflatoxins and Fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxynivalenol, nivalenol and zearalenone in corn from Indonesia. Food Additives and Contaminants 15(4): 377-384. Azcona-Olivera JI, Abouzied MM, Plattner RD, and Pestka JJ. 1992a. Production of monoclonal antibodies to the mycotoxins fumonisin B1, B2, and B3. Journal of Agricultural and Food Chemistry 40: 531-534. Azcona-Olivera JI, Abouzied MM, Plattner RD, and Pestka JJ. 1992b. Generation of antibodies reactive with fumonisin B1, B2, and B3 by using cholera toxin as the carrier-adjuvant. Applied and Environmental Microbiology 169-173. Bahri S dan Maryam R. 2003. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 4 (1-2): 31-43. Bakker MI, Speijers GJA, Paulsch WE, van Egmond HP. 2003. Risk assessment of fumonisin B1 in the Netherlands. RIVM Report 310301001/2003: 2-19. Baratawidjaja KG. 1991. Imunologi Dasar. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 3-23.
43
Baratawidjaja KG. 2004. Imunologi Dasar. Edisi keenam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 73-90. Barna-Vetro I, Szabo E, Fazekas B, and Solti L. 2000. Development of a sensitive ELISA for the determination of fumonisin B1 in cereals. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 2821-2825. Barna-Vetro I. 2002. Development of Sensitive Immunodiagnostics for Toxic residues (Mycotoxins, Drugs) in Biological Fluids and Animal Feeds. PhD Thesis. Facultas Scienciarum Veterinarium Budhapest. Bluhm BH, Flaherty JE, Cousin MA, and Woloshuk CP. 2002. Multiplex polumerase chain reaction assay for the differential detection of trichothecene- and fumonisin-producing species of Fusarium in cornmeal. Journal of Food Protection 65: 1955-1961. Bryden WL, Ravindran G, Salahifar H, Gill RJ, and Burgess RW. 1995. Fumonisin content of Australian maize. Proceeding of the Nutrition Society of Australia 19: 46. Buim MR, Bracarense AP, Guimaraes IG, Kawamura O, Ueno Y, and Hirooka EY. 1999. Immunohistochemistry of fumonisin in poultry using avidinbiotin peroxidase system. Natural Toxins 7(6): 279-282. Castelo MM, Sumner SS, and Bullerman LB. 1998. Occurrence of fumonisins in corn-based food products. Journal of Food Protection 61(6): 704-707. Christensen HR, Yu FY, and Chu FS. 2000. Development of polyclonal antibodybased sensitive enzyme-linked immunosorbent assay for fumonisin B4. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48(5): 1977-1984. Chu FS. 1996. Imunoassays for mycotoxins. In Modern Methods in the Analysis and Structural Elucidation of Mycotoxins. R.J. Cole (Ed.). Academic Press, Orlando, 207-237. Dall’Asta C, Galaverna G, Sforza S, Dossena A, and Marchelli R. 2006. A new LC/ESI/MS/MS method for the quantification of natural and hidden fumonisins in corn and corn-based products. Advances in genomics, biodiversity and rapid systems for detection of toxigenic fungi and mycotoxins. Book of Abstracts of MYCO-GLOBE International Conference. September 26-29, 2006. Monopoli, Bari, Italy: 101. De Leon C and Pandey S. 1989. Improvement of resistance to ear and stalk rots and agronomic straits in tropical maize gene pools. Crop Science 29: 1217.
44
Desjardin AE, Manandhar HK, Plattner RD, Manandhar GG, Poling SM, and Maragos CM. 2000. Fusarium species from Nepalese rice and production of mycotoxins and gibberellic acid by selected species. Applied and Environmental Microbiology 66(3): 1020-1025. Desjardin AE and Plattner RD. 2000. Fumonisin B1-nonproducing strains of Fusarium verticillioides cause maize (Zea mays) ear infection and ear rot. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 5773-5780. Dharmaputra OS, Putri ASR, Susilo H and Sunjaya. 1996. Fusarium spp. and fusarium toxins in maize, maize products and chicken feed. Paper presented at the National Microbiology Seminar and Annual Scientific Meeting, Malang, Indonesia, 12-13 November 1996. EHC. 2000. Environmental Health Criteria 219: Fumonisin B1 (Monograph). Eds. Marasas WFO, Miller JD, Riley RT, Visconti A. World Health Organization. Geneva, 8-9 Eriksen GS and Alexander J. 1998. Fusarium toxins in cereals-risk assessment. TemaNord. Nordic Council of Ministers, Copenhagen, ISBN 92-8930149-X 502: 3-115. Espada Y, Ruiz de Gopegui R, Cuadradas C, and Cabanes FJ. 1997. Fumonisin mycotoxicosis in broilers: Plasma proteins and coagulation modifications. Avian Disease 41: 73-79. Gelderblom WCA, Snyman SD, Lebepe-Mazur S, Smuts CM, Van der Westhuizen L, Marasas WFO, Victor TC, Kansmuller S, and Huber W. 1996b. Hepatotoxixity and carcinogenicity of fumonisins in rats. Advances in Experimental Medicines and Biology 392: 279-296. Gelderblom WCA, Cawood ME, Snyman SD, and Marasas WFO. 1994. Fumonisin B1 dosimetry in relation to cancer initiation in rat liver. Carcinogenesis 15: 209-214. Gelderblom WCA, Jaskiewicz K, Marasas WFO, Thiel PG, Horak RM, Vleggaar R, and Kriek NPJ. 1988. Fumonisin-Novel mycotoxins with cancerpromoting activity produced by Fusarium moniliforme. Applied and Environmental Microbiology 54 (7): 1806-1811. Grimm C and Geisen R. 1998. A PCR-ELISA for the detection of potential fumonisin producing fusarium species. Letter of Applied Microbiology 26(6): 456-462. Grothaus GD, Bandla M, Currier T, Giroux R, enkins GR, Lipp M, Shan G, Stave JW, and Pantella V. 2006. Immunoassay as an analytical tool in agricultural biotechnology. Journal of AOAC International 89(4): 913928.
45
Gutema T, Munimbazi C, and Bullerman LB. 2000. Occurrence of fumonisins and moniliformin in corn and corn-based food products of US origin. Journal of Food Protection 63: 1732-1737. Harlow E and Lane D. 1988. Antibodies: A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory. New York : 1-2, 78-85. Hennigen MR, Sanchez S, Dibenedetto NM, Longhi A, Torroba JE, and Soares LMV. 2000. Fumonisin levels in commercial corn products in Buenos Aires, Argentina. Food Additives and Contaminants 17: 55-58. Hopmans EC and Murphy PA. 1993. Determination of fumonisins B1, B2, and B3 and hydrolyzed fumonisin B1 in corn-containing foods. Journal of Agricultural and Food Chemistry 41 (10): 1655-1658. Johansson AS and Whitaker TB. 2006. Predicting aflatoxin and fumonisin in shelled corn lots using poor-quality grade components. Journal of AOAC International 89(2): 433-440. Kommedahl C and Windells CE. 1989. Root, stalk, and ear infecting Fusarium species on corn in USA. In Fusarium: diseases, biologi and taxonomy. P.E.Nelson, T.A. Touson and R.J. Cook (Eds). The Pensylvania State University Press. University Park and London, 94-103. Korfmacher WA, Chiarelli Mp, Lay JO Jr., Bloom J, Holcomb M, and McManus KT. 1991. Characterization of the mycotoxin fumonisin B1: Comparison of thermospray, fast atom bombardment, and electrospray mass spectrometry. Rapid Communication on Mass Spectrometry 5: 463-468. Kulisek ES and Hazebroek JP. 2000. Comparison of extraction buffers for the detection of fumonisin B1 in corn by immunoassay and high-performance liquid chromatography. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48(1): 65-69. Labuda R, Parich A, Vekiru E, and Tancinova. 2005. Incidence of fumonisins, moniliformin and Fusarium species in poultry feed mixtures from Slovakia. Annual Agricultural and Environmental Medicine 12: 81-86. Li F, Yoshizawa T, Kawamura O, Luo X, and Li Y. 2001. Aflatoxins and fumonisins in corn from the high-incidence area for human hepatocellular carcinoma in Guangxi, China. Journal of Agricultural and Food Chemistry 49: 4122-4126. Lim CW, Parker HM, Vesonder RF, and Haschek WM. 1996. Intravenous fumonisin B1 induces cell proliferation and apoptosis in the rat. Natural Toxins 4: 34-41.
46
Maragos CM and Thompson VS. 1999. Fiber-optic immunosensor for mycotoxins. Natural Toxins 7(6): 371-376. Maragos CM, Plattner RD, and Miklasz SD. 1996. Determination of hydrolysed fumonisin B1 (HFB1) in corn by competitive direct enzyme-linked immunosorbent assay. Food Additives and Contaminants 13(1): 105-113. Marasas WFO. 1995. Fumonisins: Their implication for human and animal health. Natural Toxins. Wiley Liss, Inc. New York. 3(4): 193-198. Marin SV, Sanchis I, Vinas R, Canela, and Magan N. 1995. Effect of water activity and temperature on growth and fumonisin B1 and B2 production by Fusarium proliferatum and F. verticillioides on maize grain. Letter of Applied Microbiology 21: 298-301. Martinova EA. 1998. Influence of sphingolipids on the T lymphocyte activation. Biochemistry 63: 122-132. Martins ML, Martins HM, and Bernardo F. 2001. Fumonisin B1 and B2 in black tea and medicinal plants. Journal of Food Protection 64: 1268-1270. Maryam R, Bahri S, Rachmawati S, and Widiastuti R. 2000. Evaluation of Methods for aflatoxin and fumonisin determination in foods and feeds in Indonesia. Paper presented in The 2nd Research Coordinated Meeting (RCM) of the FAO/IAEA Coordinated Research Programme (CRP) on Evaluation Methods of Analysis for Determining Mycotoxin Contamination of food and feed, Vienna-Austria, 4-8 December 2000. Maryam R. 1999. Investigations into detection methods for mycotoxin in corn and sorghum, and some implications of contamination for livestock production and public health. MSc.Thesis. Department of Medicine. The University of Queensland, 168. Maryam R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57. Maryam R. 2000b. Kontaminasi fumonisin pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner. Bogor 18-19 September 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Masayo K, Kenji T, Shigeru M, and Adahiro N. 2006. Advances of liquid chromatographic determination of fumonisins; potential mycotoxins for humans. Current Pharmaceutical Analysis 2(3): 289-297.
47
Merril AH Jr, Schemelz EM, Wang E, Dillehay DL, Rice LG, Meredith FI, and Riley RT, 1997b. Importance of sphingolipids and inhibitors of sphingolipid metabolism as components of animal diets. Journal of Nutrition 127: 830S-833S. Miller JD, Savard ME, Sibilia A, Rapior S, Hocking AD, and Pitt JI. 1993. Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from Southeast Asia. Mycopathologia 85(3): 385-391. Mirocha CJ, Chen T, Xie W, Xu Y, Abbas HK, and Hogge LR. 1996. Biosynthesis of fumonisin an AAL derivatis by Alternaria and Fusarium in lboratory culture. Advance in Experimental Medicine and Biology 392: 213-224. Musser SM, Eppley RM, and Trucksess MW. 2002. Electrospray mass spectrometry for fumonisin detection and method validation. Advance of Experimental Medical Biology 504: 95-105. Park JW, Kim EK, Shon DH, and Kim YB. 2002. Natural co-occurrence of aflatoxin B1, fumonisin B1 and ochratoxin A in barley and corn foods from Korea. Food Additives and Contaminants 19(11): 1073-1080. Patino B, Mirete S, Gonzales-Jaen MT, Mule G, Rodriguez MT, and Vascuez C. 2004. PCR detection assay of fumonisin-producing Fusarium verticillioides strains. Journal of Food Protection 67(6): 1278-1283. Pelczar MJ.Jr and Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Diterjemahkan oleh Hadioetomo, R.S., T. Imas., S.S. Tjitrosomo, dan S.L. Angka. UIPress. Jakarta. Pitt JI and Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. 2nd Ed. Blackie Academic & Professional, London-UK: 126-143. Plattner RD and Branham BE. 1994. Labeled fumonisins: Production of fumonisin containing stable isotopes and its use in analytical methods. Journal of AOAC International 77: 525-532. Post Harvest Technology Institute. 1999. ELISA workshop: Simple test for monitoring mycotoxins and pesticides in produce. University of Sydney, 9-10. Rheeder JP, Marasas WFO, and Vismer HF. 2002. Production of fumonisin analogs by Fusarium species. Applied Environmental Microbiology 68(5): 2101-2105. Rittenburg JH and Smith CJ. 1990. Fundamentals of imunoassay. In Development and Application of Imunoassay for Food Analysis. J.H. Rittenburg (Ed.). Elsevier Applied Science, London and New York, 29-57.
48
Roitt IM. 1991. Essential Immunology. Blackwell Scientific Publications. London, 2-173. Rotter BA and Oh Y-N. 1996. Mycotoxin fumonisin B1 stimulates nitric oxide production in a murine micaphage cell line. Natural Toxins 4: 42-50. Schroeder JJ, Crane HM, Xia J, Liotta DC, and Merril AH Jr. 1994. Disruption of sphingolipid metabolism and stimulation of DNA synthesis by fumonisin B1: A molecular mechanism for carcinogenesis associated with Fusarium moniliforme. Journal of Biological Chemistry 269 (5): 3475-3481. Shephard GS, Sydenham EW, Thiel PG, and Gelderblom WCA. 1990. Quantitiative determination of fumonisin B1 and B2 by high-performance liquid chromatography with fluorescence detection. Journal Liquid Chromatography 13: 2077-2087. Shephard GS, Yazdanpanah H, Rahimian H, and Safavi N. 2000. Natural occurrence of fumonisins in corn from Iran. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 1860-1864. Shephard GS. 1998. Chromatographic determination of the fumonisin mycotoxins. Journal of Chromatography 815: 31-39. Shephard GS and Sewram V. 2004. Determination of mycotoxin fumonisin B1 in maize by reversed-phase thin-layer chromatography: a collaborative study. Food Additives and Contaminants 21(5): 498-504. Smith JS and Thakur RA. 1996. Occurence and fate of fumonisins in beef. Advances in Experimental Medicine and Biology 392: 39-55. Smith GW, Constable PD, Bacon CW, Meredith FI, and Haschek WM. 1996. Cardiovascular effects of fumonisins in swine. Fundamental and Applied Toxicology 31: 160-172. Smith GW, Constable PD, Simith AR, Bacon CW, Meredith FI, Wollenberg GK, and Haschek WM. 1996c. Effect of fumonisin-containing culture material on pulmonary clearance in swine. American Journal of Veterinary Research 57: 1233-1238. Smith GW, Constable PD, Tumbleson ME, Rottinghaus GE, and Haschek WM. 1999. Sequence of cardiovascular changes leading to pulmonary edema in swine fed culture material containing fumonisin. American Journal of Veterinary Research 60: 1292-1300. Smith CJ. 1990. Evolution of the Immunoassay. In Development and Application of Imunoassay for Food Analysis. J.H. Rittenburg (Ed.). Elsevier Applied Science, London and New York, 3-27.
49
Smith GW, Constable PD, Tumbleson, ME, Rottinghaus GE, and Haschek WM. 1999. Sequence of cardiovascular changes leading to pulmonary edema in swine fed culture material containing fumonisin. American Journal of veterinary Research 60: 1292-1300. Spotti M, Caloni F, Fracchiolla L, Pompa G, Vigo D, and Maffeo G. 2001. Fumonisin B1 carry-over into milk in the isolated perfused bovine udder. Veterinary and Human Toxicology 43(2): 109-111. Sugita-Konishi Y, Nakajima M, Tabata S, Ishikuro E, Tanaka T, Norizuki H, Itoh Y, Aoyama K, Fujita K, Kai S, and Kumagai S. 2006. Occurrence of aflatoxin, ochratoxin A, and fumonisin in retail foods in Japan. Journal of Food Protection 69 (6): 1365-1370. Sydenham EW, Thiel PG, Marasas WFO, Shephard GS, van Schalkwyk DJ, and Koch KR. 1990. Natural occurrence of fusarium mycotoxins in corn from low and high oesophageal cancer prevalence areas of the Treanskei, Southern Africa. Journal of Agricultural and Food Chemistry 38: 19001903. Sydenham EW, Shephard GS, and Thiel PG. 1992. Liquid chromatographic determination of fumonisin B1, B2, and B3 in foods and feeds. Journal of AOAC International 75(2): 313-318. Tang L, Cai Q, Wang Z, Luo H, Wang S, Xie Y, Yu J, Wang K, Hu X, Huang T, Su J, Sun G, and Wang JS. 2005. Validation of fumonisin biomarkers for studying human cancer risks. Proceedings of American Association for Cancer Research 46. Torres MR, Sanchis V, and Ramos AJ. 1998. Occurrence of fumonisins in Spanish beers analyzed by an enzyme-linked immunosorbent assays method. International Journal of Food Microbiology 39: 139-143. Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology: An Introduction. 6th Ed. W. B. Saunders Company. A Harcourt Health Science Company. The Courtis Center Independence Square West. Philadelphia, Pensylvania 19106, 69139. Trisiwi EA. 1996. Identifikasi kapang penghasil mikotoksin pada pakan ayam pedaging dan petelur di kotamadya Bandar Lampung. Skripsi Sarjana, Universitas Lampung. Uhlinger C. 1997. Leukoencephalomalacia. The veterinary clinics of North America, equine practice 13: 13-20.
50
Van der Gaag B, Spath S, Dietrich H, Stigter E, Boonzaaijer G, van Osenbruggen T, and Koopal K. 2003. Biosensors and multiple mycotoxin analysis. Food Control 14: 251-254. Yamashita A, Yoshizawa T, Aiura Y, Sanchez P, Dizon EI, Arim RH, and Sardjono. 1995. Fusarium mycotoxin (fumonisins, nivalenol and zearalenone) and aflatoxins in corn from southeast Asia. Bioscience of Biotechnology Biochemistry 59:1804-1807. Yeung JM, Prelusky DB, Savard ME, Dang BDM, and Robinson LA. 1996. Sensitive imunoasai for fumonisin B1 in corn. Journal of Agricultural and Food Chemistry 44: 3582-3586. Yu FY and Chu FS. 1999. Production and characterization of a monoclonal antianti-idiotype antibody against fumonisin B1. Journal of Agricultural and Food Chemistry 47(11): 4815-4820. Yu FY and Chu FS. 1998. Analysis of fumonisins and Alternaria alternata toxins by liquid chromatography-enzyme-linked immunosorbent assay. Journal of AOAC International 81(4): 749-756. Zang H, Nagashima H, and Goto T. 1997. Natural occurance of mycotoxins in corn, samples from high and low risk areas for human esophageal cancer in China. Mycotoxins 4: 29-35. Zola H. 1987. Monoclonal Antibodies: A manual of techniques. CRP Press, Inc. Boca Raton, Florida, 23-87.
PRODUKSI DAN ISOLASI FUMONISIN B1 DARI BIAKAN KAPANG FUSARIUM VERTICILLIOIDES DAN FUSARIUM NYGAMAI PADA MEDIUM JAGUNG ABSTRAK Fumonisin merupakan kelompok toksin fusarium yang banyak ditemukan pada bahan pangan dan pakan di Indonesia. Beberapa galur kapang seperti Fusarium verticillioides dan Fusarium nygamai yang diisolasi dari tanaman jagung asal Bogor berpotensi menghasilkan fumonisin. Profil kedua kapang tersebut dalam menghasilkan fumonisin dipelajari melalui pembiakan pada medium jagung. Isolat kapang F.verticillioides dan F. nygamai terlebih dahulu dibiakan pada medium potato dextrose agar (PDA), kemudian diinokulasikan pada jagung steril untuk menghasilkan fumonisin. Biakan diinkubasi selama 40 hari pada suhu 25oC dan 37oC. Produksi fumonisin B1 (FB1) diamati setiap tiga hari masa inkubasi dan dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Produksi FB1 optimum oleh F. verticillioides terjadi pada hari ke-27 dan oleh F. nygamai terjadi pada hari ke-30 dengan suhu inkubasi 25oC. Pada temperatur tersebut F.verticillioides menghasilkan FB1 1,24 g/kg dengan total produksi 10,26 g, sedangkan F. nygamai pada kondisi optimum menghasilkan FB1 0,87 g/kg dengan total produksi 9,24 g. Pemurnian ekstrak kasar biakan F. verticillioides dengan konsentrasi awal FB1 1,6 g/kg melalui kolom XAD-2 menghasilkan FB1 1,54 g/kg (rendemen 96,3%) dengan tingkat kemurnian 95,3%. Jumlah FB1 yang dihasilkan dari percobaan ini dapat digunakan sebagai bahan untuk sintesis antigen fumonisin B1-Ovalbumin (FB1Ova), fumonisin B1-horseraddish peroxidase (FB1-HRP) enzim konjugat dan untuk digunakan sebagai standar pada analisis fumonisin secara imunoasai.
ABSTRACT Fumonisins are the most common fusarium toxins found in foods and feeds in Indonesia. Some of Fusarium spp. such as F. verticillioides dan F. nygamai isolated from maize growing in Bogor are potential in producing fumonisins. The profile of those two species in producing fumonisin was studied by culturing the isolates in maize. The isolates of F. moniliforme dan F.nygamai were cultured in potato dextrose agar (PDA), then inoculated onto sterilized maize for the production of fumonisin. The cultures were incubated for 40 days at 25oC and 37oC. The production of fumonisin B1 (FB1) was observed every 3 days of the incubation time and the toxin was analysed by high performance liquid chromatography (HPLC). The optimum production of FB1 reached on day 27th by F. verticillioides and on day 30th by F. nygamai at 25oC. Under the condition of such temperature, F. verticillioides produced 1.24 g/kg FB1 with total production of 10.26 g. On the other hand, F. nygamai produced only 0.87g/kg FB1 with total production of 9.24 g. Purification of the crude extract of F. verticillioides at the initial concentration of 1.6 g/kg on XAD-2 column yielded 1.54 g/kg of FB1 (96.3% rendemen) and 95.3% purity. The FB1 yielded on the
52
experiment could be utilised for the syntesis of fumonisin B1-Ovalbumin (FB1Ova), fumonisin B1-horseraddish peroxidase (FB1-HRP, as well as for the standar on the fumonisin analysis by immunoassay.
PENDAHULUAN Jagung (Zea mays L.) merupakan komoditas pertanian yang banyak digunakan sebagai bahan pangan dan pakan. Di negara maju, berbagai jenis makanan seperti corn flakes, corn chips dan tortilla yang menggunakan bahan dasar jagung dikonsumsi secara meluas. Konsumsi jagung bahkan lebih tinggi di negara-negara di Afrika, Cina, India, dan Italia di mana masyarakatnya menjadikan jagung sebagai makanan pokok. Selain itu, jagung juga dibutuhkan untuk industri pakan sebagai sumber karbohidrat dengan komposisi lebih dari 70%. Dengan tingkat konsumsi dan penggunaan yang tinggi tersebut, jagung menjadi komoditas penting pada perdagangan dunia. Nilai ekonomis jagung sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitasnya. Namun, pada kondisi tertentu seperti kelembaban dan suhu yang tinggi, jagung mudah terkontaminasi kapang penghasil mikotoksin yang dapat menurunkan kualitas jagung tersebut. Di antara mikotoksin yang banyak ditemukan pada jagung dan sangat potensial menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan adalah fumonisin. Fumonisin adalah kelompok mikotoksin yang diproduksi oleh Fusarium spp. terutama F. verticillioides dan F. proliferatum (Rheeder et al. 2002, Marin et al. 2004, Samapundo et al. 2005). Selain itu, fumonisin juga dihasilkan oleh spesies Fusarium lainnya seperti F. nygamai F. anthophilum, F. dlamini dan F. napiforme (Leslie et al. 2005, Rheeder et al. 2002, Thiel et al. 1992, Nelson et al. 1993). Menurut Rheeder et al. (2002), F. verticillioides, F. prolifetum dan F. nygamai dapat menghasilkan empat kelompok fumonisin, yaitu fumonisin grup A, B, C dan P, di mana grup B paling banyak ditemukan di alam daripada kelompok lainnya. Di antara fumonisin grup B
yang terdiri dari B1, B2, B3 dan B4,
fumonisin B1 (FB1) merupakan jenis yang paling banyak dihasilkan dan memiliki tingkat toksisitas yang paling tinggi dibandingkan jenis B lainnya. Pada medium jagung, beras atau medium cair,
produksi FB1 mencapai 70-80% dari total
53
produksi fumonisin, yang diikuti oleh FB2 15-25% dan FB3 3-8% (Branham & Plattner 1993, Marin et al. 1995). Produksi FB1 oleh Fusarium spp. ini sangat dipengaruhi suhu dan kelembaban. Suhu optimum produksi FB1 oleh F. Verticillioides berkisar antara 15-25 oC dan F. proliferatum pada 30 oC dengan aw = 0,860-0,975 (Samapundo et al. 2005). Kondisi tersebut sangat sesuai dengan iklim di Indonesia. Hal ini terbukti dengan ditemukannya F. verticillioides pada jagung di berbagai daerah di Indonesia (Miller et al. 1993, Dharmaputera et al. 1996, Ali et al. 1998, Trisiwi 1996). Selain itu, dilaporkan pula bahwa isolat kapang F. verticillioides dan F. nygamai dari jagung asal Jawa Barat dapat menghasilkan FB1 masing-masing sebesar 12,8 g/kg dan 1,11 g/kg (Maryam 2000). Hal ini menunjukkan bahwa kapang F. verticillioides dan F. nygamai merupakan kapang yang sangat potensil sebagai penghasil FB1, sehingga baik untuk digunakan pada kegiatan produksi FB1. Studi ini bertujuan untuk mempelajari potensi dan pola produksi FB1 oleh isolat kapang F. verticillioides dan F. nygamai pada medium jagung. Fumonisin yang dihasilkan selanjutnya diisolasi dan dimurnikan untuk digunakan sebagai bahan penelitian.
MATERI DAN METODE Bahan dan alat Pada percobaan ini digunakan kapang F. verticillioides (F.moniliforme) (BBALITVET culture collection, BCC 0211) dan F. nygamai yang diisolasi dari jagung dengan indikasi adanya miselia berwarna putih atau pink kemerahan yang diambil dari kebun percobaan BBiogen, Cikeumeuh-Bogor (Gambar 15). Medium dan pereaksi yang digunakan meliputi Sabouraud glucose agar (SGA) (Difco), Potato dextrose agar (PDA) (Difco), khloramfenikol, FB1 (Sigma F 1147), oftaldialdehida (OPA, Sigma P-1378), 2-merkapto etanol (Sigma M6250), sodium dihidrogenfosfat (Merck A430564 408) dan metanol (Merck K34906107).
54
Gambar 15 Kontaminasi alami kapang Fusrium spp. pada jagung lokal Medium SGA 52 g/L dibuat dengan melarutkan 52 g SGA dalam satu liter akuades steril, sedangkan medium PDA 39 g/L (Difco) dibuat dengan melarutkan 39 g SGA dalam satu liter akuades steril. Larutan induk khloramfenikol dibuat dengan melarutkan 5 mg khloramfenikol dalam 1L akuades steril. Larutan induk standar FB1 100 ppm disiapkan dengan melarutkan 1 mg FB1 dalam 10 ml campuran asetonitril-air (1:1, v/v), sedangkan larutan FB1 5 µg/ml dibuat dengan mengencerkan 200 µl larutan induk menjadi 10 ml dengan asetonitril-air (1:1, v/v). Larutan penderivatisasi disiapkan dengan mencampur 40 mg OPA dengan 5 ml metanol, 5 ml sodium tetraborat 0,1 M dan 50 µl 2-merkapto etanol. Fasa gerak dibuat dengan melarutkan 120 g NaH2PO4 dalam 1 L akuades dan pH ditepatkan dengan asam fosfat hingga pH 3,3. Selanjutnya, dibuat campuran metanol-NaH2PO4 (75:25, v/v), disaring melalui filter GVWP 0,4 µm (Millipore), dan gas dihilangkan dengan menggunakan pompa vakum.
Pembiakan kapang F. verticillioides dan F. nygamai Biakan induk F. verticillioides dan F. nygamai dibuat pada medium SGA miring selama 7 hari, selanjutnya dipindahkan ke dalam cawan petri berisi medium PDA yang mengandung khloramfenikol 0,1 µg/ml medium (Barnet & Hunter 1972). Disiapkan masing-masing 12 cawan petri untuk pembiakkan F. verticillioides dan F. nygamai dan 6 cawan dari tiap biakan kapang tersebut
55
diinkubasi pada suhu 25oC dan 37oC selama 14 hari. Kedua kapang tersebut selanjutnya digunakan untuk produksi fumonisin.
Produksi Fumonisin Produksi fumonisin dilakukan dengan menggunakan metoda Leslie et al. (1992). Percobaan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: (1) kontrol, (2) perlakuan F. verticillioides, dan (3) perlakuan F. nygamai. Tiap kelompok terdiri dari 8 erlenmeyer, dimana 4 erlenmeyer dari masing-masing kelompok tersebut diinkubasi pada suhu 25oC dan 37oC (Tabel 7). Tabel 7 Perlakuan pada produksi fumonisin dengan menggunakan medium jagung No.
Kelompok
Suhu inkubasi
1.
Kontrol
25oC (n=4)
37oC (n=4)
2.
F. verticillioides
25oC (n=4)
37oC (n=4)
3.
F. nygamai
25oC (n=4)
37oC (n=4)
Ke dalam masing-masing erlenmeyer dimasukkan 50 g jagung pecah, ditambah dengan 20 ml akuades, dan diautoklaf pada suhu 121oC. Kelompok 1 sebagai kontrol yaitu jagung yang tidak diinokulasi dengan kapang. Kelompok 2 diinokulasi dengan suspensi kapang F. verticillioides sebanyak 107 konidia/ml, dan kelompok 3 diberi suspensi kapang F. nygamai dengan konsentrasi yang sama. Selanjutnya, biakan diinkubasi pada suhu 25oC dan 37oC selama 40 hari. Biakan dikocok setiap hari (1-2 kali), pertumbuhan kapang dan produksi fumonisin diamati setiap 3 hari.
Isolasi dan deteksi fumonisin Fumonisin diisolasi dari biakan F. verticillioides pada medium jagung, karena kapang ini lebih banyak memproduksi FB1 dibandingkan dengan F. nygamai. Isolasi dilakukan melalui ekstraksi dan dilanjutkan dengan fraksinasi menggunakan kolom yang berisi penukar anion kuat XAD-2 (Shephard et al. 2000).
56
Biakan kapang F. verticillioides diinaktifkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Seluruh biakan (50g) diekstrak dengan 500 ml metanol-air (3:1, v/v), dikocok di atas shaker selama 30 menit, lalu disaring melalui kertas saring Whatman 41. Filtrat selanjutnya dikeringkan dan dilarutkan kembali dengan metanol-air (1:3), kemudian diekstrak dengan 2 x 100 ml khloroform dan diuapkan kembali hingga kering. Ekstrak dilarutkan kembali dengan 5 ml metanol-air (3:1), kemudian dimurnikan melalui kolom XAD-2 (20 cm, internal θ 1,5 cm) yang sebelumnya dikondisikan dengan 5 ml metanol-air (3:1). Seluruh ekstrak dimasukkan ke dalam kolom, dibilas dengan 8 ml metanolair (3:1), dan dilanjutkan dengan 3 ml metanol. Fumonisin dielusi dengan 50 ml 0,5% asam asetat dalam metanol melalui fraksinasi. Setiap 5 ml fraksi ditampung ke dalam botol kecil, dikeringkan untuk kemudian dideteksi pada KCKT. Deteksi dilakukan dengan menggunakan alat KCKT Hitachi yang dilengkapi dengan pompa model L-7100, injektor Ryodyne, detektor fluorescence L 7485 (λeksitasi 335 nm dan λemisi 440 nm) dan interface D-7000. Kolom yang digunakan yaitu µ-Bondapak C18
dengan fasa gerak larutan metanol - natrium
dihidrogen fosfat 0,1 M (7:3) pada kecepatan alir 1,0 ml/menit. Sebelum diinjeksikan, 50 µl ekstrak diderivatisasi dengan larutan 200 µl o-ftaldialdehida (OPA) dan 50 µl 2-merkaptoetanol. Identifikasi FB1 dilakukan dengan membandingkan waktu retensi (retention time, RT) puncak yang terdapat pada tiap fraksi dan standar FB1. Konsentrasi FB1 dihitung berdasarkan perbandingan area sampel dengan area standar. Kemurnian dihitung dengan membandingkan area relatif FB1 pada sampel terhadap area relatif FB1 standar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan F. verticillioides dan F. nygamai Pada suhu 25oC, kelompok 2 dan 3 yang diinokulasi dengan kapang F. verticillioides dan F. nygamai menunjukkan adanya pertumbuhan yang baik dari kedua kapang tersebut pada medium PDA. Pada suhu tersebut, miselia F. verticillioides terlihat berwarna merah muda keunguan, dan putih hingga merah
57
tua (Gambar 16). Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat pertumbuhan kapang.
37oC
25oC
F. verticillioides
37oC
25oC
F. nygamai
Gambar 16 Pertumbuhan kapang F. verticillioides dan F. nygamai pada medium PDA setelah inkubasi 7 hari pada suhu 25oC dan 37oC Pembentukkan miselia kapang F. verticillioides dan F. nygamai pada medium jagung mulai terlihat pada hari ke-7 (Gambar 17) dan mencapai kondisi optimum pada minggu ke-3 dan ke-4. Dalam studinya, Nelson et al. (1991) juga melaporkan bahwa pada suhu 25oC pertumbuhan kapang Fusarium spp. yang optimum
terjadi pada minggu ke-4 ditandai dengan adanya pembentukkan
miselia.
A
B
Gambar 17 Pertumbuhan kapang F. verticillioides (A) dan F. nygamai (B) pada medium jagung setelah inkubasi selama 7 hari
Pada suhu 37oC, kapang F. verticillioides masih dapat tumbuh namun tidak sebaik pada suhu 25oC. Sedangkan pada biakan F. nygamai tidak terlihat
58
adanya pertumbuhan kapang pada suhu 37oC. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Marin et al. (2004) menunjukkan bahwa sebagian besar kapang Fusarium spp. tidak dapat tumbuh pada suhu 37oC pada medium agar ekstrak jagung, mekipun dilaporkan bahwa germinasi F. verticillioides dapat terjadi pada kisaran suhu 5-37oC (Marin et al. 1996). Hal ini terjadi karena pertumbuhan kapang menurun setelah fasa lag dan pada suhu tinggi terjadi lebih cepat hingga pada akhirnya kapang tidak dapat tumbuh sama sekali. Pada percobaan ini, hal tersebut hanya terjadi pada F. nygamai, sementara F. verticillioides masih dapat tumbuh.
Produksi Fumonisin Pada suhu 25oC, produksi optimum FB1 oleh F.verticillioides yaitu 1,24 g/kg dengan total produksi 10,26 g dan oleh F. nygamai 0,87 g/kg dengan total produksi 9,24g. Isolat kapang F. verticillioides dan F. nygamai yang sama sebelumnya menghasilkan FB1 masing-masing sebesar 12,8 g/kg dan 1,11 g/kg (Maryam 2000). Hasil percobaan ini menunjukkan adanya penurunan potensi kedua isolat kapang tersebut dalam memproduksi FB1, sehingga untuk mempertahankan potensi tersebut perlu dilakukan pembiakan secara berkala. Potensi isolat F. verticillioides lokal ini lebih rendah dibandingkan dengan kapang F. verticillioides MRC 826 yang dapat menghasilkan FB1 17,9 g/kg. Kapang tersebut adalah kapang yang diisolasi dari jagung pada kasus kanker esofagus di Afrika Selatan (Rheeder et al. 2002). Menurut Le Bars et al. (1994) suhu 25oC adalah suhu optimum untuk pertumbuhan kapang Fusarium dan produksi fumonisin. Nelson et al. (1991) melaporkan bahwa pada suhu 25oC produksi fumonisin yang optimum oleh kapang Fusarium spp. terjadi pada minggu ke-4. Demikian pula Alberts et al. (1990) yang melaporkan bahwa pada suhu 25oC produksi FB1 oleh strain F. verticillioides jauh lebih baik dibandingkan pada suhu 20oC. Marin et al. (2004) juga mengamati produksi FB1 dengan konsentrasi tinggi dihasilkan oleh F. verticillioides pada suhu 25oC. Berdasarkan data-data tersebut dapat dinyatakan bahwa suhu inkubasi 25oC adalah suhu yang tepat untuk produksi FB1 yang optimum.
59
Di sisi lain, pada suhu 37oC FB1 hanya diproduksi oleh F. verticillioides dengan konsentrasi yang jauh lebih rendah dibandingkan pada suhu 25oC (maksimum 5,14 mg/kg dengan total produksi 71,68 mg/kg), sedangkan pada biakan F. nygamai FB1 tidak terdeteksi (Gambar 18). 1400
Pro d u ksi F B 1 (mg /kg )
1200 1000 800 600 400 200 0 0
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
39
Lama inkubasi (Hari) F.F.moniliforme 25oC 25oC verticillioides F. ny gamai 25oC
Gambar 18
F. moniliforme 37oC F. verticillioides 37oC F. ny gamai 37oC
Pola produksi FB1 oleh biakan F. verticillioides dan F. nygamai dalam medium jagung pada suhu inkubasi 25oC dan 37oC
Hasil yang diperoleh pada percobaan ini memperlihatkan bahwa produksi FB1 oleh F. verticillioides dan F. nygamai pada suhu 25oC lebih tinggi dibandingkan pada suhu 37oC. Pada suhu 25oC produksi FB1 oleh F. verticillioides lebih baik dibandingkan dengan F. nygamai.
Isolasi dan Deteksi Fumonisin Pemurnian ekstrak kasar biakan F. verticillioides yang mengandung FB1 1,60 g/kg melalui fraksinasi menggunakan kolom XAD-2 menghasilkan FB1 1,54 g/kg (rendemen 96,3%) dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada fraksi ke-8 yaitu 0,261 g/kg setelah kolom dielusi dengan 0,5% asam asetat dalam metanol (Gambar 19). Penambahan 50 ml larutan pengelusi, FB1 belum terelusi sempurna, sehingga untuk memperoleh rendemen yang lebih baik dibutuhkan pelarut lebih
60
banyak agar seluruh FB1 terelusi dari kolom. Berdasarkan pola grafik pada gambar tersebut diperkirakan pelarut yang dibutuhkan untuk mengelusi seluruh fumonisin dari kolom sekitar 25-35 ml (fraksi 15-17).
300
FB1 (mg/kg)
250 200 150 100 50 0 F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
F9
F10
Fraksi
Gambar 19 Konsentrasi FB1 dari ekstrak biakan F. verticillioides yang difraksinasi melalaui kolom XAD-2
Deteksi FB1 pada KCKT menggunakan detektor fluoresensi membutuhkan proses derivatisasi karena fumonisin tidak menyerap panjang gelombang ultra violet atau fluoresen. Pada percobaan ini digunakan OPA dan 2-merkaptoetanol untuk membentuk derivat yang melibatkan reaksi gugus amina primer. Derivat yang dihasilkan dari reaksi tersebut lebih sensitif (limit deteksi 50 ng/g) dibandingkan dengan derivat maleil dan fluoresamin. Namun derivatif ini kurang stabil pada suhu ruang sehingga untuk mengatasinya pendeteksian dilakukan secepatnya (2 menit) setelah reaksi derivatisasi dilaksanakan (Shephard, 1998). Menurut Williams et al. (2004) masalah ini juga dapat diatasi dengan penyimpanan pada suhu rendah sebelum dianalisis dengan KCKT. Stabilitas derivat ini meningkat secara nyata pada penyimpanan dengan suhu 4oC. Metode deteksi fumonisin dengan menggunakan OPA, metanol-air (3:1, v/v) sebagai
61
larutan pengekstrak, dan SAX cartridge untuk pemurnian telah dipelajari secara intensif dengan supervisi komisi kimia pangan dari IUPAC (Williams et al. 2004). Waktu retensi (tR) merupakan parameter yang diamati untuk menentukan keberadaan senyawa yang dicari (analit) setelah pendeteksian dengan KCKT, yang dihitung berdasarkan kecepatan migrasi senyawa tersebut sejak awal penginjeksian ke dalam kolom hingga ke luar dari kolom. Shephard (1998) mendeteksi FB1
pada KCKT dengan tR 6,5 menit menggunakan detektor
fluoresensi, kolom fasa terbalik, dan campuran metanol-buffer fosfat (7:3) sebagai fasa gerak. Pada percobaan ini, FB1 teramati pada tR 6,3 menit dengan sistem KCKT seperti terlihat pada Gambar 20. Adanya perbedaan waktu retensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti perbedaan panjang kolom dan jenis kolom, serta komposisi fasa gerak yang digunakan, atau suhu lingkungan selama proses analisis. Rendemen FB1 yang dihasilkan setelah pemurnian dan dideteksi pada KCKT mencapai 96,3% dengan kemurnian 95,3%. Pada tingkat kemurnian tersebut, FB1 yang dihasilkan dapat digunakan untuk kegiatan selanjutnya, seperti pembuatan antigen atau sebagai standar pada analisis fumonisin secara imunoasai.
Ekstrak biakan F. verticillioides FB1
Standar FB1
FB1
Gambar 20
Fumonisin B1 pada ekstrak biakan F. verticillioides setelah pemurnian melalui XAD-2 dan dideteksi dengan KCKT menggunakan detektor fluoresensi (λeksitasi 335 nm, λemisi 440 nm), kolom µ-Bondapak C18 (3.9x300mm), dan fasa gerak metanolnatrium dihidrogen fosfat 0,1 M (7:3)
62
KESIMPULAN Isolat lokal kapang F. verticillioides dan F. nygamai yang diinokulasikan pada jagung tumbuh lebih baik
pada suhu 25oC daripada suhu 37oC. Pada suhu
tersebut, baik F. verticillioides maupun F. nygamai dapat menghasilkan FB1. Total produksi FB1 dari biakan kapang F. verticillioides dalam medium jagung lebih banyak (10,26 g) dibandingkan dengan F. nygamai (9,24 g). Produksi FB1 yang optimum oleh F. verticillioides lebih cepat tercapai yaitu pada hari ke-27 dibandingkan produksi optimum oleh F. nygamai yang tercapai pada hari ke-30. Hal ini disebabkan karena fasa lag yang dicapai oleh F. verticillioides terjadi lebih cepat daripada F. nygamai. Pada suhu 37oC, F. verticillioides masih dapat tumbuh dengan pertumbuhan yang kurang baik dan produksi FB1 lebih sedikit (5,14 mg/kg) dibandingkan pada suhu 25oC. Sedangkan F. nygamai tidak dapat tumbuh pada suhu 37oC sehingga tidak ada pembentukan FB1. Pemurnian ekstrak kasar dari biakan F. verticillioides pada jagung melalui kolom XAD-2 menghasilkan rendemen FB1 sebesar 96,3% dengan tingkat kemurnian 95,3%. Dengan jumlah dan tingkat kemurnian yang dihasilkan tersebut, FB1 dapat digunakan untuk sintesis antigen dan enzim konjugat, atau untuk standar pada analisis secara imunoasai pada percobaan berikut.
DAFTAR PUSTAKA Alberts JF, Gelderblom WCA, Thiel PG, Marasas WF0, Van schalkwyk DJ, and Behrend Y. 1990. Effects of Temperature and Incubation Period on Production of Fumonisin B1 by Fusarium moniliforme. Applied and Environmental Microbiology, 1729-1733. Ali N, Sardjono, Yamashita A, and Yoshizawa T. 1998. Natural occurrence of aflatoxins and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenone) in corn from Indonesia. Food Additive and Contaminant 15: 337-348. Barnet HL and Hunter BB. 1972. Illustrated genera of imperfecti fungi. Burgess Publishing Co. Sydney, 126.
63
Branham BE and Plattner RD. 1993. Isolation and characterization of a new fumonisin from liquid cultures of Fusarium moniliforme. Journal of Natural Products 56: 1630-1633. Dharmaputra OS, Putri ASR, Susilo H and Sunjaya. 1996. Fusarium spp. and fusarium toxins in maize, maize products and chicken feed. Paper presented at the National Microbiology Seminar and Annual Scientific Meeting, Malang, Indonesia, 12-13 November 1996 Le Bars J, Le Bars P, Dupuy J, Boudra H, and Casini R. 1994. Biotic and abiotic factors in fumonisin B1 production and stability. Journal of AOAC International 77: 517-521. Leslie JF, Plattner RD., Desjardin AE, and Klittich CJR. 1992. Fumonisin B1 production by strains from different mating population of Gibberella fujikoroi (Fusarium section liseola). Mycotoxicology 82 (3): 341-345. Leslie JF, Zeller KA, Lamprrecht SC, Rheeder JP, and Marasas WFO. 2005. Toxicity, and genetic differrentiatiom of five species of Fusarium from sorghum and millet. Mycology 95(3): 275-283. Marin S, Sanchis V, Teixido A, Saenz R, Ramos AJ, Vinas I, and Magan N. 1996. Water and temperature relations and microconidial germination of Fusarium moniliforme and F. proliferatum from maize. Canadian Journal of Microbiology 42: 1045-1050. Marin S, Sanchis V, Vinas I, Canela R, and Magan N. 1995. Effect of water activity and temperature on growth and fumonisin B1 and B2 production by F. proliferatum and F. moniliforme in grain. Letter of Applied Microbiology 21: 298-301. Marin S, Magan N , Ramos AJ, and Sanchis V. 2004. Fumonisin-producing strains of Fusarium: A review of their ecophysiology. Journal of Food Protection 67(8): 1792-1805. Maryam, R. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57. Miller JD, Savard ME, Sibilia A, Rapior S, Hocking AD, and Pitt JI. 1993. Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from Southeast Asia. Mycologia 85 (3): 385-391. Nelson PE, Desjardins AE, and Plattner RD .1993. Fumonisins, mycotoxins produced by Fusarium species: biology, chemistry and significance. Annual Review of Phytopathology 31: 233-252.
64
Nelson PE, Plattner RD, Shackelford DD, and Desjardins AE. 1991. Production of fumonisins by Fusarium moniliforme strains from various substrates and geographic areas. Applied of Environmental Microbiology 57: 2410-2412. Rheeder JP, Marasas WFO, and Vismer HF. 2002. Production of fumonisins analogs by Fusarium species. Applied and Environmental Microbiology 68(5): 2101-2105. Shephard GS. 1998. Chromatographic determination of the fumonisin mycotoxins. Journal of Chromatography A 815: 31-39. Shephard GS, Yazdanpanah H, Rahimian H. and Safavi N. 2000. Natural occurrence of fumonisins in corn from Iran. Journal Agricicultural and Food Chemistry 48: 1860-1864. Samapundo S, Devliehgere F, De Meulenaer B, and Debevere J. 2005. Effect of water activity on growth and the relationship between fumonisin production and the radial growth of Fusarium verticillioides and Fusarium proliferatum on corn. Journal of Food Protection 68(5): 1054-1059. Thiel PG, Marasas WFO, Sydenham EW, Shephard GS, and Gelderblom WCA. 1992. The implication of naturally occuring levels of fumonisins in corn for human and animal health. Mycopathologia 117: 3-9 Trisiwi EA. 1996. Identifikasi kapang penghasil mikotoksin pada pakan ayam pedaging dan petelur di kotamadya Bandar Lampung. Skripsi Sarjana, Universitas Lampung. Williams LD, Meredith FI, Riley RT. 2004. Fumonisin-ortho-phtaldialdehyde derivative is stabilized at low temperature. Journal of Chromatography B 806:311-314. Zang H, Nagashima H, Goto T. 1997. Natural occurance of mycotoxins in corn, samples from high and low risk areas for human esophageal cancer in China. Mycotoxins 4: 29-35
SINTESIS ANTIGEN FUMONISIN B1-OVALBUMIN DAN FUMONISIN B1-HORSERADDISH PEROXIDASE ENZIM KONJUGAT ABSTRAK Percobaan ini bertujuan untuk menghasilkan antigen fumonisin B1-ovalbumin (FB1Ova) dan fumonisin B1-horseraddish peroxidase (FB1-HRP) enzim konjugat. Sebagai protein pembawa digunakan ovalbumin (Ova) untuk menghasilkan antigen yang akan dijadikan sebagai imunogen pada produksi antibodi dan sebagai antigen pelapis pada analisis secara imunoasai. FB1-Ova disintesis dengan mereaksikan FB1 dan Ova melalui reaksi glutaraldehida pada perbandingan molar 20:1. Terbentuknya antigen FB1-Ova dikonfirmasi dengan dot blot immunoassay, ELISA, dan SDS-PAGE. Untuk uji konfirmasi secara imunoasai digunakan antiserum yang diperoleh dengan mengimunisasi mencit betina jenis BALB/c dengan FB1-Ova 10 µg/ekor secara intra vena (iv) pada ekor. Titer antiserum tersebut mencapai 5.000 yang diukur secara ELISA tak langsung. Konsentrasi protein dari antigen FB1-Ova yang dihasilkan berkisar antara 0,076–0,112 mg/ml dengan rataan 0,096 ± 0,017 mg/ml (n=5) dan total protein 4,62 mg. Antigen FB1-Ova yang dihasilkan tersebut dapat bereaksi spesifik dengan antiserum mencit yang diimunisasi dengan FB1-Ova. Sementara itu, FB1-HRP enzim konjugat yang dihasilkan dengan mereaksikan FB1 dan enzim horseraddish peroxidase (HRP) melalui reaksi dengan 1-ethyl-3-(3dimethylaminopropyl) carbodiimide methiodide (EDC) dapat memberikan reaksi warna setelah penambahan substrat dimetilaminobenzidin (DAB) pada uji dot blot immunoassay dan tetrametil benzidin (TMB) pada ELISA kompetitif langsung. Konsentrasi protein yang dihasilkan dari sintesis FB1-HRP enzim konjugat tersebut dengan berkisar antara 0,265-0,270 mg/ml dengan rataan 0,268 ± 0,003 mg/ml (n=3) dan total protein 2,68 mg. Konfirmasi pembentukan antigen FB1-Ova dan FB1-HRP enzim konjugat SDS-PAGE menunjukkan adanya pita tunggal baik pada hasil sintesis FB1-Ova maupun FB1-HRP. Dapat disimpulkan bahwa antigen FB1-Ova dapat digunakan sebagai imunogen untuk memproduksi antibodi maupun sebagai antigen pada pengujian antibodi secara ELISA tak langsung, sedangkan FB1-HRP enzim konjugat dapat digunakan sebagai label untuk deteksi fumonisin secara ELISA kompetitif langsung.
66
ABSTRACT This experiment conducted to produce fumonisin B1-ovalbumin (FB1-Ova) and enzyme conjugate fumonisin B1-horseraddish peroxidase (FB1-HRP). Ovalbumin was utilized as the carrier protein to produce antigen functioned as the immunogen in producing antibodies as well as the coating antigen in immunoassay. FB1-Ova was synthezised by reacting FB1 and ovalbumin via glutaraldehyde reaction at molar ratio of 20:1. Formation of FB1-Ova was confirmed by dot blot immunoassay, ELISA, and gel electrophoresis. Antiserum obtained from female BALB/c mice immunized with 10 µg FB1-Ova intra vena on the tail was used in confirmation test by indirect ELISA. The antiserum titer of the immunized mice was 5,000. Concentration of the antigen protein ranged between 0,076–0,112 mg/ml with the average of 0,096 ± 0,017 mg/ml (n=5) and total protein 4,62 mg. The antigen FB1-Ova specifically reacted with the mice antiserum. On the other hand, the enzyme conjugate FB1-HRP produced by reacting FB1 and horseraddish peroxidase (HRP) using 1-ethyl-3-(3dimethylaminopropyl) carbodiimide methiodide (EDC) functioned as a label in direct competitive ELISA (dc-ELISA) for fumonisin detection.. The enzyme conjugate gave a colour rection after the addition of the substrate tetrametil benzidin (TMB). The protein concentration of the enzyme conjugate FB1-HRP ranged between 0.265-0.270 mg/ml with the average of 0.268 ± 0.003 mg/ml (n=3) and total protein 2,68 mg. The formation of enzyme conjugate FB1-HRP was confirmed by dc-ELISA and gel electrophoresis. Confirmation on gel electrophoresis showed a single band either for FB1-Ova and enzyme conjugate FB1-HRP. It can be concluded that the antigen FB1-Ova could be used as immunogen to produce antibodies as well as coating antigen for antibody screening by indirect competitive ELISA (ic-ELISA) and enzyme conjugate FB1-HRP functioned as a label for the detection of fumonisin by dc-ELISA.
PENDAHULUAN Dalam teknik enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), antigen dan antigen-enzim konjugat merupakan pereaksi utama yang dibutuhkan selain antibodi. Antigen mempunyai dua makna yang berbeda yaitu sebagai imunogen jika digunakan untuk memproduksi antibodi dan sebagai antigen penangkap antibodi dalam teknik imunoasai. Fumonisin B1 (FB1) adalah mikotoksin yang memiliki bobot molekul rendah (BM=721,8) sehingga tidak dikenali sebagai benda asing oleh sel-sel imun sehingga tidak menimbulkan respons imun jika masuk ke dalam tubuh vertebrata. Senyawa seperti ini disebut hapten. Untuk dapat dijadikan imunogen, FB1 harus dikonjugasikan dengan protein pembawa seperti keyhole limpet hemocyanin (KLH),
67
tiroglubulin, ovalbumin (Ova), dan imunoglubulin ayam (Rittenburg 1990, Baratawidjaja 1991). Dewasa ini terdapat 3 protein pembawa yang banyak digunakan untuk dikonjugasikan dengan FB1 yaitu KLH (Barna-Vetro et al. 2000, Christensen et al. 2000), CT (Azcona-Olivera et al. 1992), dan bovine serum albumin (BSA) (Azcona-Olivera et al. 1992, Savard et al. 2003) untuk menghasilkan senyawa imunogenik. Sementara itu, Ova yang dikonjugasikan dengan FB1 hanya digunakan sebagai antigen pelapis (Yeung et al. 1996; Yu & Chu, 1999, Wang et al. 2006, Azcona Olivera et al. 1992). KLH merupakan protein pembawa yang paling baik untuk dikonjugasikan dengan FB1 karena dapat menghasilkan antibodi yang sangat sensitif (Usleber et al. 1994). Namun, untuk menghasilkan konjugat FB1-KLH dibutuhkan FB1 yang banyak (>700 molar). Di sisi lain, antigen FB1-CT menghasilkan titer antibodi dengan sensitivitas yang rendah sehingga perlu ditingkatkan melalui kompleks avidin dan streptavidin (Yeung & Newsome 1995), begitu pula dengan FB1-BSA memberikan respon antibodi yang sangat rendah (Azcona-Olivera et al. 1992a). Selain itu, CT juga bersifat racun yang berbahaya jika kurang hati-hati dalam penggunaannya. Dibandingkan dengan protein pembawa lainnya, Ova memiliki kelebihan karena selain bersifat imunogenik, juga mudah direaksikan dengan FB1, mudah diperoleh, dan tidak bersifat toksik. Hasil konjugasinya dengan FB1 (FB1-Ova) sangat baik untuk digunakan sebagai antigen pelapis (Yeung et al. 1996; Yu & Chu 1999, Wang et al. 2006). Antigen FB1-Ova ini dihasilkan dengan mengkonjugasikan FB1 dan Ova melalui reaksi pada gugus amina menggunakan glutaraldehida (Christensen et al. 2000) atau melalui gugus karboksilat dengan anhidrida asetat (Barna-Vetro, 2000). Pada percobaan ini Ova digunakan
sebagai protein pembawa untuk
menghasilkan senyawa FB1-Ova yang bersifat imunogenik dan sebagai antigen pelapis. Pada teknik ELISA, enzim konjugat berfungsi sebagai label yang dapat memberikan reaksi warna pada substrat tertentu. Beberapa enzim seperti horseraddish peroxidase (HRP), alkalin fosfatase, urease, β-galaktosidase dan glukosa oksidase digunakan sebagai label yang dapat dikonjugasikan dengan antigen
68
atau antibodi (Heytman 1995). HRP lebih banyak digunakan karena mudah direaksikan dengan FB1. FB1-HRP enzim konjugat dihasilkan melalui reaksi pada gugus karbonil dari FB1 dengan gugus amina dari enzim menggunakan EDC (Yu & Chu 1996, Christensen et al. 2000) atau melalui gugus karboksilat menggunakan sodium periodat (Barna-Vetro 2002). Tujuan percobaan ini yaitu mensintesis antigen FB1-Ova melalui reaksi dengan glutaraldehida dan FB1-HRP enzim konjugat melalui reaksi dengan EDC, dan menguji efektivitas keduanya dengan antiserum.
MATERI DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada kegiatan ini yaitu antiserum mencit BALB/c yang diimunisasi dengan FB1-Ova, FB1 (BM=721,8), (BM=45.000)(Sigma
A-5503),
enzim
HRP
(BM=44.000)(Sigma,
ovalbumin P-6782),
glutaraldehida (Merck 820603 S21862 717), tablet phosphate buffer saline (PBS, Sigma P-4417). tablet buffer karbonat-bikarbonat (Sigma), 3,3’,5,5’-tetrametil benzidin (TMB, Sigma T-2885), goat anti-mouse (H+L)-HRP conjugate (Bio-Rad, cat. 170-6516), akrilamid/bis-akrilamid 30% (Sigma A-3574), amonium persulfat (Sigma A-3678), TEMED (Sigma T-9281), Trisma base (Sigma, T-4661), sodium dodesil sulfat (BRL 4121), glisin (BDH, G-4728950) dan Coomassie brilliant blue (Merck K29843044). Seluruh
pereaksi yang digunakan dalam percobaan ini
disiapkan dengan prosedur seperti tercantum dalam Lampiran 1. Peralatan yang digunakan pada percobaan ini meliputi membran dialisis, kertas nitroselulosa, mikroplat ELISA, pengaduk magnet, neraca analitik, seperangkat alat elektroforesis, ELISA reader (Multiscan), spektrofotometer (Varian DMS 80), dan alat pendingin (kulkas).
Sintesis Antigen FB1-Ova Sintesis antigen dilakukan dengan mereaksikan FB1 dan Ova menggunakan glutaraldehida. Metode yang digunakan merupakan
modifikasi dari metode
69
Christensen et al. (2000). Pada tahap pertama 3 mg Ova dalam 0,2 ml PBS diaktifkan dengan 10 µl glutaraldehida dan diaduk semalam pada suhu ruang. Selanjutnya campuran tersebut didialisis menggunakan membran dialisis (θ 10 mm dan MW cutoff 12.000-14.000) dalam 2 liter PBS 0,01M (pH 7,4). Tahap berikutnya disiapkan 0,28 mg FB1 dengan memipet 280 µl larutan induk (1 mg/ml), pelarut dikeringkan, kemudian dilarutkan kembali dengan 0,5 etanol 50% dan 0,1 ml akuades. Larutan FB1 ini ditambahkan ke dalam 0,15 ml Ova yang telah diaktifkan, selanjutnya ditambahkan 0,1 ml buffer karbonat-bikarbonat (pH 9,6), dan diinkubasi semalam pada suhu 4oC dengan pengadukan konstan. Reaksi dihentikan dengan sodium borohidrida (NaBH4) dan pengadukan dilanjutkan selama 2,5 jam pada suhu 4oC. Selanjutnya, hasil reaksi didialisis dalam 2L PBS 0,01 M selama 72 jam dengan pergantian buffer setiap hari. Konsentrasi protein yang terdapat dalam FB1-Ova diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm, dan konsentrasinya dihitung menggunakan rumus A280/1,35 (Harlow & Lane 1988). Selanjutnya, antigen dialikuot ±1 mg/ml dan disimpan pada suhu -20oC hingga saat digunakan. Antigen ini selanjutnya digunakan sebagai imunogen untuk produksi antibodi dan sebagai antigen pelapis (coating antigen) pada pengujian antibodi secara ELISA tak langsung. Sintesis FB1-HRP Enzim Konjugat FB1–HRP enzim konjugat disintesis dengan mengkonjugasikan FB1 dan enzim horseraddish peroxidase (HRP) melalui reaksi dengan 1-ethyl-3-(3dimethylamino propyl) carbodiimide methiodide (EDC) (Christensen et al. 2000). Ditimbang 0,5 mg HRP dan dilarutkan dengan 0,5 ml etanol 25%. FB1 0,2 mg diperoleh dengan memipet 200 µl larutan induk standar FB1 (1 mg/ml), diuapkan hingga kering, dilarutkan kembali dengan etanol 25% dan ditambahkan 4 mg EDC. Selanjutnya, larutan HRP ditambahkan setetes demi setetes ke dalam larutan FB1EDC sambil diaduk dengan pengaduk magnet secara perlahan, ditambahkan kembali 4 mg EDC, reaksi dibiarkan selama 25 menit dan ditambahkan kembali 4 mg EDC. Reaksi dibiarkan selama satu malam pada suhu 4oC sambil diaduk perlahan.
70
Keesokan harinya, larutan dimasukkan ke dalam membran dialisis dan didialisis menggunakan membran dialisis (θ 10 mm dan MW cutoff 12.000-14.000) dengan 2 liter PBS selama 72 jam dengan 2 kali pergantian buffer. Protein dari FB1-HRP enzim konjugat diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm, seperti pada pengukuran protein antigen FB1-Ova. Selanjutnya, FB1-HRP enzim konjugat disimpan pada suhu -20oC hingga saat digunakan. Enzim konjugat ini digunakan sebagai label pada pengujian FB1 dalam sampel pangan atau pakan secara ELISA kompetitif langsung dengan menggunakan substrat TMB. Konfirmasi Pembentukan Antigen FB1-Ova Pembuatan antiserum anti FB1 Sepuluh ekor mencit betina jenis BALB/c disuntik setiap minggu dengan 10 µg FB1-Ova per ekor secara intra vena (iv) pada ekor.
Darah diambil melalui
pembuluh vena mata setiap minggu ke-4 setelah penyuntikan. Selanjutnya, darah disentrifus menggunakan sentrifus mikro selama 3,5 detik pada kecepatan 11.000 rpm. Serum dipisahkan dan dikumpulkan, kemudian disimpan pada suhu -70oC untuk digunakan pada uji konfirmasi hasil sintesis antigen FB1-Ova. Imunisasi terus dilakukan hingga diperoleh serum darah yang cukup banyak untuk pengujian imunoasai (dot blot immunoassay atau ELISA). Secara umum, jadual imunisasi mencit untuk pembuatan antiserum terlihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jadual imunisasi mencit BALB/c untuk pembuatan antiserum Dosis FB1-Ova pada minggu kePerlakuan
1
2
3
4
5
6
7
8 dst...
Kontrol
-
-
-
Ab
-
-
-
Ab
FB1-Ova
10 μg
10 μg
10 μg
Ab
10 μg
10 μg
10 μg
Ab
Titer antibodi dalam serum (antiserum) diukur secara ELISA tidak langsung dengan menggunakan FB1-Ova sebagai antigen pelapis pada pengenceran 1:200, IgG
71
kambing anti IgG tikus terkonjugasi HRP (goat anti-mouse IgG-HRP enzim konjugat) dan substrat tetrametilbenzidin (TMB). Antigen FB1-Ova dilapiskan pada pelat mikro 96 sumur (fasa padat), ditambahkan antiserum dan goat anti-mouse IgGHRP enzim konjugat, kemudian direaksikan dengan substrat TMB selama 1 jam (terlihat warna biru). Titer antibodi dalam serum diketahui dengan mengukur optical density (OD) dari warna yang terbentuk menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 dan 650 nm sebagai pembanding. Prosedur ELISA tidak langsung secara terinci diuraikan pada Lampiran 3.
Dot blot immunoassay Uji ini hanya dilakukan untuk antigen FB1-Ova. Antigen diencerkan 1:200 dengan buffer karbonat-bikarbonat pH 9,6 dan 2 µl diteteskan pada permukaan kertas nitroselulosa, lalu dikeringkan pada suhu ruang. Selanjutnya, kertas nitroselulosa direndam dalam larutan tween-tris-casein 0,2% (TTC) selama satu jam, kemudian dicuci dengan larutan PBS 0,01M (pH 7,4) yang mengandung 1% Tween-20 (PBST), dan dikeringkan pada suhu ruang. Diteteskan 2µl antiserum yang telah diencerkan 1:100 dalam PBS atau serum mencit normal sebagai kontrol, dikeringkan, dan dicuci kembali tiga kali dengan PBS-T. Selanjutnya ditambahkan 2 µl goat anti-mouse IgGHRP enzim konjugat
(1:20.000), dicuci kembali dengan tiga kali PBS-T, dan
direndam dalam larutan substrat dimetilaminobenzidin (DAB) (Lampiran 1) hingga muncul warna coklat pada kontrol positif (3-5 menit), kemudian kertas nitroselulosa dikeringkan pada suhu ruang.
Konfirmasi dengan ELISA tidak langsung Konfirmasi pembentukan antigen FB1-Ova (n=5) dilakukan secara ELISA tidak langsung dengan tahapan kerja sama dengan pengujian titer antibodi. Uraian tahapan secara terinci seperti tercantum pada Lampiran 3.
72
Konfirmasi Pembentukan FB1-HRP Enzim Konjugat Uji konfirmasi FB1-HRP enzim konjugat (n=3) dilakukan secara ELISA kompetitif langsung. Antiserum (50 µl) dengan pengenceran 1:104 menggunakan buffer karbonat-bikarbonat (pH 9,6) dilapiskan pada pelat mikro 96 sumur dan dibiarkan semalam. Selanjutnya, pelat mikro dicuci dengan, diblok dengan TTC, lalu dicuci dan dikeringkan kembali. Kemudian ke dalam tiap sumur berturut-turut ditambahkan 50 µl FB1 standar 50 µg/ml dan 50 µl FB1-HRP enzim konjugat (Sigma) yang disintesis dengan pengenceran 1:400, dicuci, dan dikeringkan dengan mengetukngetuk pelat mikro pada permukaan kain tebal yang halus. Terakhir ditambahkan 50 µl larutan substrat (TMB) dan dibiarkan bereaksi selama 5-20 menit hingga terlihat warna biru, lalu ditambahkan 50 µl larutan penghenti (H2SO4 1,25M) dan optical density (OD) dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm-650 nm. Prosedur terinci ELISA kompetitif langsung dapat dilihat pada Lampiran 4.
Konfirmasi Antigen FB1-Ova dan FB1-HRP Enzim Konjugat Elektroforesis
dengan Gel
Konfirmasi antigen FB1-Ova dan FB1-HRP enzim konjugat pada SDS-PAGE menggunakan bahan-bahan yang telah disiapkan seperti diurakan dalam Lampiran 1. Pada percobaan ini digunakan elektroforesis vertikal menggunakan poliakrilamid (akrilamid/bis-akrilamid 30%) dengan komposisi gel seperti terlihat pada Tabel 9. Tabel 9 Komposisi gel elektroforesis yang digunakan untuk konfirmasi pembentukan antigen FB1-Ova dan FB1-HRP enzim konjugat Gel bawah (separating gel)
Gel atas (stacking gel)
Akrilamid/bi-akrilamid 30%
3,335 ml
1,575 ml
dH2O (air deionisasi)
4,165 ml
5,925 ml
Buffer gel (bawah/atas)
2,5
2,5
Ammonium persulfat (APS) 10%
12,5 μl
12,5 μl
TEMED
30,0 μl
30,0 μl
Bahan
ml
ml
73
Gel disiapkan dengan menggunakan peralatan yang terdiri dari 2 lempeng kaca berukuran 15 cm x 15 cm dengan ketebalan 1,5 mm, sisir 9 sumur, dan penyangga lempeng kaca yang dilengkapi dengan penjepit (BioRad). Gel bawah dimasukkan segera setelah penambahan TEMED hingga tanda batas, gelembung dihilangkan dengan menambahkan dH2O dan dihisap dengan kertas saring. Gel dibiarkan sampai membeku (5-10 menit), kemudian dimasukkan gel atas segera setelah penambahan TEMED dan sisir dipasang sebelum gel membeku. Setelah gel membeku sisir diangkat hingga terbentuk sumuran untuk menempatkan standar (marker) atau sampel yang akan dianalisis. Selanjutnya gel ditempatkan pada alat elektroforesis dan direndam dalam larutan buffer pemisahan (running buffer). Sampel yang akan dianalisis, dalam hal ini adalah hasil sintesis antigen FB1Ova (n=5) dan FB1-HRP diencerkan dengan buffer sampel 1:4 (v/v), kemudian dipanaskan pada suhu 95oC selama 5 menit. Sebanyak 5 µl marker (LMW) atau sampel dimasukkan ke dalam sumur pada gel dengan menggunakan syringe (Hamilton) secara perlahan-lahan. Alat elektroforesis dihubungkan dengan arus listrik yang diatur pada 75 mA dan proses pemisahan dibiarkan selama 2 jam. Setelah itu, gel diangkat dan diwarnai dengan pewarnaan coomassie blue G250 selama 1 jam sambil dikocok secara perlahan, diangkat, kemudian warna dihilangkan dengan menggunakan buffer penghilang warna (destaining buffer) hingga terlihat pemisahan pita-pita yang jelas pada gel. Selanjutnya gel dikeringkan dan dilindungi dengan laminating, atau ditransfer secara immunoblotting untuk didokumentasikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Titer Antiserum Antiserum yang dihasilkan oleh mencit yang diimunisasi dengan FB1-Ova dapat bereaksi positif dengan FB1-Ova pada pengujian secara dot blot immunoassay dan dengan ELISA tidak langsung. Pada pengenceran antigen FB1-Ova 1:200 dan pengenceran goat anti-mouse IgG-HRP enzim konjugat 1:20.000, titer antiserum yang dihasilkan yaitu sebesar 5.000, di mana pada pengenceran 1:5.000 tercapai optical density (OD) yang
optimum. Pada pengenceran tersebut sebagian besar
74
serum mencit (70%) memberikan reaksi positif.
OD antiserum berkisar antara
0,359-0,976, sedangkan OD kontrol negatif dan kontrol positif masing-masing 0,180 dan 1,368 (Lampiran 5).
Dengan titer antibodi yang dihasilkan tersebut maka
antiserum dapat digunakan untuk uji konfirmasi antigen FB1-Ova. Titer antibodi yang dihasilkan pada percobaan ini lebih rendah dibandingkan dengan titer antibodi yang diproduksi dengan menggunakan antigen FB1-KLH, yaitu 3x104 . (Barna-Vetro et al. 2000). Hal ini terjadi karena FB1-KLH memiliki rantai lebih panjang dan bobot molekul lebih besar. Wang et al. (2006) menyatakan bahwa sensitifitas dan spesifitas antibodi yang dihasilkan tergantung pada panjang rantai antigen dan jenis protein pembawa yang digunakan. Semakin panjang rantai antigen, antibodi yang dihasilkan semakin sensitif. Namun titer antibodi yang dihasilkan pada percobaan ini mendekati titer antibodi yang diproduksi dengan menggunakan antigen FB1-CT yang berkisar antara 3.200-6.400 (Azcona-Olivera et al. 1992).
Sintesis Antigen FB1-Ova Pada sintesis antigen FB1-Ova reaksi terjadi dalam 2 tahap; (1) FB1 bereaksi dengan glutaraldehida melalui gugus amina membentuk senyawa antara yang tidak stabil dan (2) Senyawa antara yang terbentuk bereaksi dengan gugus amina dari protein pembawa dalam kondisi basa (Christensen et al. 2000, Szudorki et al. 1996). Dengan adanya penambahan NaBH4 terjadi reduksi pada gugus karbonil dari senyawa antara, kemudian membentuk senyawa FB1-Ova yang stabil dengan dijembatani oleh glutaraldehida. Reaksi konjugasi yang terjadi pada proses sintesis FB1-Ova diperkirakan seperti pada Gambar 21. Reaksi FB1 dan Ova melalui gugus amina dengan menggunakan glutaraldehida ini lebih mudah dilakukan daripada melalui gugus karboksilat, tetapi rantai yang dihasilkan lebih pendek.
Panjang rantai karbon dari suatu antigen
menentukan sensitivitas dan spesifitas antibodi yang dihasilkan (Wang et al. 2006).
75
O
COOH
CCH2CHCH2COOH OH
O
OH NH2
1. CH3
O
Fumonisin B1
CH3 OH CCH2CHCH2COOH O
O 2.
o
o
+
NaBH4
-H2O
CH3 Glutaraldehida
COOH COOH
CCH2CHCH2COOH O
OH
OH N
O C+
CH3
O
CH3 OH CCH2CHCH2COOH O
O
CH3
+ H2N Ova
NaBH4
-H2O
Ovalbumin
H
COOH
COOH
CCH2CHCH2COOH OH
O
OH N Ova
N C CH3
O
CH3 OH CCH2CHCH2COOH O
CH3
H
COOH
Gambar 21 Reaksi pada sintesis antigen FB1-Ova melalui jalur glutaraldehida
Pada percobaan ini, antigen FB1-Ova yang diperoleh ini dengan mereaksikan FB1 dan Ova menghasilkan senyawa yang dapat bereaksi positif dengan antiserum yang terlihat pada uji konfirmasi secara dot blot immunoasai dan ELISA. Antigen FB1-Ova berikatan dengan antibodi dalam serum membentuk kompleks antigen– antibodi yang kemudian bereaksi dengan goat anti-mouse IgG-HRP (Sigma) sebagai label untuk menghasilkan warna setelah penambahan substrat. Konfigurasi antigenantibodi-enzim konjugat yang terjadi
pada uji konfirmasi secara dot blot
immunoassay dan ELISA terlihat pada Gambar 22.
76
Antibodi anti spesies berlabel enzim (Goat anti-mouse IgG-HRP)
Antiserum (antibodi primer) Antigen FB1-Ova
Gambar 22 Konfigurasi antigen FB1-Ova, antiserum, goat anti-mouse IgG-HRP enzim konjugat komersial pada dot blot immunoassay dan ELISA tidak langsung Reaksi positif yang terlihat pada dot blot immunoassay ditandai dengan adanya noktah berwarna coklat setelah penambahan substrat DAB dan pembentukan warna biru pada ELISA setelah penambahan substrat TMB (Gambar 23). Warna tersebut merupakan hasil reaksi antara enzim HRP yang terkonjugasi pada IgG dengan peroksida pada substrat sehingga terlihat warna coklat setelah bereaksi dengan DAB pada dot blot immunoassay, atau warna biru setelah bereaksi dengan TMB pada ELISA. Hasil kedua uji menunjukkan adanya reaksi spesifik antara FB1Ova sebagai antigen dengan antibodi dalam serum mencit yang diimunisasi dengan antigen tersebut. Dengan adanya reaksi positif pada pengujian secara ELISA menggunakan goat anti-mouse IgG-HRP komersial membuktikan bahwa antigen FB1-Ova terbentuk dengan baik dan dapat bereaksi spesifik dengan dengan antibodi yang terbentuk. Hal ini juga menunjukkan bahwa antigen yang dihasilkan bersifat imunogenik karena dapat menghasilkan respon antibodi spesifik yang terdeteksi dalam serum.
77
1
Blank
2
K10000 (+) 3
K (-)
Sintesis I Sintesis II
4
Sintesis III 5
Sintesis IV
K5000 (+)
Sintesis V
6 7
(a)
(b)
Gambar 23 Konfirmasi hasil sintesis antigen FB1-Ova: (a) dotblot immunoassay: 1 Kontrol (-), 2Kontrol (+), 3Sintesis I, 4 Sintesis II, 5 Sintesis III, 6 Sintesis IV, 7 Sintesis V, dan (b) ELISA tidak langsung Konsentrasi protein dari FB1-Ova (n=5) yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer berkisar 0,076 – 0,112 mg/ml dengan rataan 0,096 ± 0,017 mg/ml (Tabel 10). Tiap ulangan terdiri dari 10 ml antigen, sehingga total protein yang terdapat dalam antigen FB1-Ova yaitu 4,62 mg. Jumlah ini cukup banyak untuk digunakan pada imunisasi mencit (sebagai imunogen) dan sebagai antigen pelapis pada pelat mikro untuk pengujian ELISA. Yeung et al. (1996) menggunakan FB1Ova sebagai antigen pelapis pelat mikro dengan jumlah 200 µl dari larutan 1 µg/ml (0,2 µg/sumur). Antigen yang sama juga digunakan Azcona-Olivera et al.(1992a) namun dengan jumlah yang lebih banyak (0,5 µg/sumur). Demikian pula dengan Barna-Vetro et al. (2000) yang menggunakan jumlah yang sama untuk antigen FB1BSA. Dengan jumlah antigen yang dihasilkan pada percobaan ini, diperkirakan pengenceran yang dibutuhkan untuk pengujian ELISA sekitar 1:200 – 1:500. Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut dapat dinyatakan bahwa proses sintesis antigen FB1-Ova yang dilakukan berlangsung dengan baik.
78
Tabel 10 Pengukuran protein dari antigen FB1-Ova dengan spektrofotometer Konsentrasi protein* (mg/ml)
Ulangan
Absorban (280 nm)
1
0,116
0,086
2
0,084
0,076
3
0,118
0,107
4
0,089
0,081
5
0,124
0,112
Rataan
0,106 ± 0,015
0,096 ± 0,017
Kisaran
0,084 – 0,124
0,076 – 0,112
*Dihitung dengan menggunakan rumus A/1,35
Sintesis FB1-HRP Enzim Konjugat Reaksi antara FB1 dengan HRP melalui reaksi dengan EDC pada gugus karboksilat menghasilkan senyawa yang dapat memberikan reaksi warna dengan substrat TMB. Mekanisme reaksi yang terjadi belum diketahui secara pasti walaupun Christensen et al (2000) menyatakan bahwa reaksi FB1 dengan EDC terjadi melalui gugus karboksilat dalam kondisi etanol untuk membentuk suatu karbodiimida (senyawa antara) yang tidak stabil. Selanjutnya, dengan adanya penambahan enzim HRP terjadi reaksi antara senyawa karbodiimida sebagai jembatan dengan gugus amina yang terdapat pada enzim HRP untuk membentuk senyawa FB1-HRP yang stabil. Menurut McMurry (1988) reaksi yang sebenarnya terjadi antara karboksilat dengan amina adalah reaksi substitusi asil nukleofilik yang menghasilkan senyawa amida. Dalam kaitannya dengan sintesis FB1-HRP enzim konjugat, reaksi terjadi dua tahap di mana pada tahap pertama terjadi reaksi antara FB1 yang memiliki gugus karboksilat dengan karbodiimida yang memiliki gugus amina. Dalam hal ini gugus amina bereaksi dengan karboksilat membentuk senyawa karbodiimida sebagai senyawa antra yang merupakan jembatan bagi reaksi dengan gugus amina yang berasal dari HRP untuk membentuk senyawa yang stabil.
79
Uji konfirmasi dengan ELISA kompetitif langsung menunjukkan adanya reaksi antigen-antibodi yang terlihat dengan adanya pembentukan warna biru setelah penambahan substrat TMB dan berubah menjadi kuning setelah penambahan asam sulfat sebagai penghenti reaksi. Pembentukan warna tersebut disebabkan oleh adanya reaksi antara HRP dengan H2O2 yang berasal dari substrat (Barna-Vetro, 2002). Reaksi pembentukan warna tersebut terlihat pada Gambar 5.4. Warna biru yang terbentuk merupakan hasil reaksi antara enzim HRP yang terkonjugasi pada FB1 dengan H2O2 yang terdapat dalam substrat TMB.
TMBH2
HRP + H2O2
TMBH*
senyawa 1
TMBH* + TMBH*
TMBH2
TMBH*
senyawa 2
HRP + H2
((TMB)2H2)n senyawa berwarna (biru)
H2SO4 1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
Gambar 24 Konfirmasi pembentukan FB1-HRP dengan ELISA kompetitif langsung: 1 Sintesis I, 2Sintesis II, 3Sintesis III, 4Kontrol (+), 5Kontrol (-) Konfigurasi antibodi/antiserum, antigen (FB1), dan FB1-HRP enzim konjugat pada ELISA kompetitif langsung seperti yang terlihat pada Gambar 25. Antiserum dilekatkan pada pelat ELISA yang berfungsi sebagai antibodi penangkap antigen, selanjutnya antigen dari sampel dan FB1-HRP enzim konjugat yang ditambahkan secara simultan saling berkompetisi untuk berikatan dengan antibodi. Pada ELISA kompetitif langsung ini, konsentrasi FB1 berbanding terbalik dengan intensitas warna yang terbentuk. Semakin tinggi konsentrasi FB1 dalam sampel yang berikatan dengan
80
antiserum, maka semakin kecil peluang FB1-HRP enzim konjugat untuk berikatan dengan antibodi/antiserum. Enzim konjugat yang tidak terikat akan terbuang pada saat pencucian, sehingga intensitas warna yang dihasilkan akan semakin rendah.
Antigen dalam sampel (FB1)
FB1-HRP enzim konjugat
Antigen dalam sampel (FB1)
Antibodi penangkap (antiserum)
Gambar 25 Konfigurasi antibodi/antiserum, antigen, FB1-HRP enzim konjugat pada ELISA kompetitif langsung
Konsenstrasi protein dari FB1-HRP enzim konjugat yang dihasilkan dari proses sintesis tersebut berkisar antara 0,265-0,270 mg/ml dengan rataan 0,268 ± 0,003 mg/ml (Tabel 11). Setiap ulangan menghasilkan 10 ml larutan, sehigga rataan protein dari seluruh hasil sintesis FB1-HRP enzim konjugat adalah 2,68 mg. Konsentrasi protein yang dihasilkan pada percobaan ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil percobaan Barna-Vetro et al. (2000) yang mensintesis FB1-HRP melalui reaksi pada gugus amina dengan menggunakan sodium periodat yaitu 1,4 mg/ml.
81
Tabel 11 Pengukuran protein dari FB1-HRP enzim konjugat dengan spektrofotometer
Ulangan
Absorban (280 nm)
Konsentrasi protein* (mg/ml)
1
0,365
0,270
2
0,361
0,267
3
0,358
0,265
0,361 ± 0,004
0,268 ± 0,003
0,358-0,365
0,265-0,270
Rataan Kisaran
*Dihitung dengan menggunakan rumus A/1,35
Jika dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan Christensen et al. (2000) yang mensintesis FB4-HRP melalui reaksi dengan EDC, hasil ini tidak jauh berbeda. Pada percobaannya, konjugasi FB4 dengan HRP dihasilkan konsentrasi protein 0,4 mg/ml, sehingga dalam aplikasi ELISA membutuhkan pengenceran 1:500. Sedangkan pada percobaan ini konjugasi yang dilakukan yaitu FB1 dengan HRP, dimana terdapat perbedaan bobot molekul FB1 (BM=721,8) dan FB4 (689,9). Berdasarkan perbandingan tersebut dapat diperkirakan bahwa untuk aplikasi ELISA dibutuhkan pengenceran sekitar 1:400 jika menggunakan FB1-HRP enzim konjugat yang dihasilkan pada percobaan ini.
Konfirmasi Pembentukan Antigen FB1-Ova dan FB1-HRP Enzim Konjugat dengan Gel Elektroforesis Pada uji konfirmasi dengan gel elktroforesis (SDS-PAGE) terlihat adanya pita tunggal baik pada hasil sintesis FB1-Ova maupun FB1-HRP enzim kinjugat (Gambar 26). Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan kedua senyawa tersebut terjadi dengan sempurna. Jika dibadingkan dengan pergerakan pita ovalbumin dan HRP sebelum bereaksi, posisi pita FB1-Ova dan FB1-HRP terlihat sedikit lebih tinggi dari masingmasing komponennya. Hal ini terjadi karena adanya perubahan muatan pada setelah
82
bereaksi. Pita antigen FB1-Ova lebih besar dari 45 kDa. Berdasarkan perhitungan, bobot molekul FB1-glutaraldehida-Ova 45821,92 (45,8 kDa), sedangkan FB1-EDCHRP 45019 (45,01 kDa). Pada gambar ini tidak terlihat adanya pita dari FB1 karena bobot molekulnya sangat rendah (721,8), sehingga tidak dapat dibandingkan dengan marker yang digunakan pada percobaan ini.
Marker
Ova
FB1
FB1-Ova
FB1-HRP
FB1
HRP
Marker
. 94 kDa 67 kDa 45 kDa 43 kDa
30 kDa
20 kDa 14,4 kDa 1
2
3
4
5
6
7
8
Gambar 26 Konfirmasi pembentukan FB1-Ova dan FB1-HRP dengan SDS-PAGE: 1,8 Marker, 2Ova, 3,6FB1, 4FB1-Ova, 5FB1-HRP, 7HRP
KESIMPULAN Reaksi fumonisin B1 (FB1) dengan ovalbumin (Ova) melalui reaksi dengan glutaraldehida menghasilkan senyawa FB1-Ova Pembentukan senyawa tersebut terlihat pada uji konfirmasi dengan dot blot immunoassay, ELISA, dan SDS-PAGE. Antigen FB1-Ova yang disuntikan pada mencit dapat menstimulasi pembentukan antibodi (antiserum anti fumonisin) dengan titer 1x104 yang bereaki
83
dengan antigen FB1-Ova. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antigen hasil sintesis pada percobaan ini bersifat imunogenik. Dengan terjadinya reaksi spesifik antara antigen FB1-Ova dengan antibodi dalam serum mencit, maka antigen yang dihasilkan pada proses sintesis ini berfungsi sebagai pereaksi pada pengujian antibodi secara imunoasai (dot blot immunoassay dan ELISA). Dari 5 ulangan sintesis dihasilkan total protein dari antigen FB1-Ova sebanyak 4,62 mg dengan konsentrasi berkisar antara 0,076 – 0,112 mg/ml dengan rataan 0,096 ± 0,017 mg/ml. Jumlah ini mencukupi untuk digunakan sebagai imunogen maupun sebagai pereaksi pada pengukuran titer antibodi secara imunoasai (dot blot immunoassay dan ELISA tidak langsung). Sementara itu, reaksi fumonisin B1 (FB1) dengan enzim horseraddish peroxidase (HRP) melalui
reaksi dengan 1-ethyl-3-(3-dimetilamino propyl)
carbodiimide methiodide (EDC) juga mengasilkan senyawa FB1-HRP yang dapat digunakan sebagai penanda (label) untuk mendeteksi fumonisin secara imunoasai (ELISA kompetitif langsung). Konsentrasi protein dari FB1-HRP enzim konjugat yang dihasilkan dari 3 ulangan sintesis berkisar antara 0,265 - 0,270 mg/ml dengan rataan 0,268 ± 0,003 mg/ml (n=3) dan total protein 2,68 mg.
DAFTAR PUSTAKA Azcona-Olivera JI, Abouzied MM, Plattner RD, and Pestka JJ. 1992. Production of monoclonal antibodies to the mycotoxins fumonisin B1, B2, and B3. Journal of Agricultural and Food Chemistry 40: 531-534. Baratawidjaja KG. 1991. Imunologi Dasar. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 3-23. Barna-Vetro I. 2002. Development of sensitive immuno diagnostics for determination of toxic residues (mycotoxins, drugs) in biological fluids and animal feeds, PhD Thesis. Facultas Scienciarum Veterinarium-Budapest.
84
Barna-Vetro I, Szabo E, Fazekas B, and Solti L. 2000. Development of a sensitive ELISA for determination of fumonisin B1 in cereals. Journal of agricultural and Food Chemistry 48: 2821-2825. Christensen HR, Yu FY, and Chu FS. 2000. Development of polyclonal antibodybased sensitive enzyme-linked immunosorbent assay for fumonisin B4. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48(5): 1977-1984. Harlow E and Lane D. 1988. Antibodies: A Laboratory Manual, Cold Spring Harbor Laboratory. New York , 1-2, 78-85. Heytman MJ.1995. Konjugat enzim dan substrat. Dalam Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Penterjemah Artama WT. Gajah Mada University Press: 120-138. McMurry J (1988). Carboxilyc acid derivatives. Organic Chemistry. 2nd edition. Brooks/Cole Publishing Company, California 93950: 746. Rittenburg JH and Smith CJ. 1990. Fundamentals of immunoassay, In Development and Application of Immunoassay for Food Analysis. J.H. Rittenburg (Ed.). Elsevier Applied Science. London and New York, 29-57. Savard ME, Sinha RC, Lau R, Seguin C, and Buffam S. 2003. Monoclonal antibodies for fumonisins B1, B2 dan B3. Food and Agricultural Immunology 15(2): 127134. Szurdoki F, Trousdale E, Ward B, Gee SJ, Hammock BD, and Gilchrist DG. 1996. Synthesis of protein conjugates and development of immunoassays for AAL toxins. American Chemical Society:1-8. Usleber E, Straka M, and Terplan G. 1994. Enzyme immunoassay for fumonisin B1 applied to corn-based food. Journal of Agricultural and Food Chemistry 42: 1392-1396. Wang S, Quan Y, Lee N, and Kennedy IR. 2006. Rapid determination of fumonisin B1 in food samples by enzyme-linked immunosorbent assay and colloidal gold immunoassay. Journal of Agricultural and Food Chemistry 54: 24912495. Yeung JM and Newsome WH. 1995. Biotin-streptavidin complex as sensitive enhancer for enzyme-linked immunosorbent assay for foods. In New Frontiers in Agricultural Immunoassay. Kurtz D, Skerrit JH, Stanker I, Eds.; AOAC International 12: 163-170.
85
Yeung JM, Prelusky DB, Savard ME, Dang BDM, and Robinson LA. 1996. Sensitive immunoassay for fumonisin B1 in corn. Journal of Agricultural and Food Chemistry 44: 3582-3586. Yu FY and Chu FS. 1999. Production and characterization of antibodies against fumonisin B1. Journal of Food Protection 59: 992-997.
PRODUKSI DAN KARAKTERISASI ANTIBODI MONOKLONAL TERHADAP FUMONISIN B1 ABSTRAK Percobaan ini bertujuan untuk memproduksi antibodi monoklonal (AbMk) yang digunakan sebagai pereaksi ELISA untuk mendeteksi fumonisin. Mencit BALB/c diimunisasi dengan fumonisin B1-ovalbumin (FB1-Ova) 10 µg/ekor secara intra vena (iv), kemudian sel limfosit mencit yang hiperimun tersebut difusikan dengan sel mieloma Sp2/0-Ag 14 menggunakan polietilen glikol (PEG 4000) sebagai fusogen. Dari 25 klon yang terbentuk dipilih 8 klon yang menghasilkan antibodi dengan titer 5.000-10.000 dan kisaran optical density pada 450 nm (OD450) sebesar 0,610-0,973. Kloning yang dilakukan terhadap klon 2B1F6 menghasilkan subklon 2B1F6 yang memiliki respon antibodi tertinggi. Sel hibridoma ini disimpan di dalam nitrogen cair, dan setelah 30 hari sel dikultur kembali dalam medium hipoksantin-timidin (HT) untuk mengetahui viabilitas sel. Pertumbuhan yang baik terlihat setelah sel dikultur selama 7 hari, di mana perkembangbiakan berkisar antara 2x106 - 6,9x107 sel/ml. Produksi AbMk melalui kultur sel hibridoma secara in vitro dalam 40 ml medium RPMI mengandung 10% FBS menghasilkan antibodi dengan konsentrasi 2,81 mg/ml setelah pengendapan dengan ammonium sulfat dan purifikasi melalui kolom affinitas HiTrap Protein A HP. Produksi AbMk dalam cairan asites mencit BALB/c (in vivo) yang disuntik dengan sel hibridoma dari subklon 2B1F6F7 dengan konsentrasi 5x106 sel/ml secara intra peritoneal menghasilkan antibodi 1,62 mg/ml. Karakterisasi AbMk dengan menggunakan kit identifikasi subkelas imunoglobulin komersial menunjukkan bahwa antibodi tersebut termasuk ke dalam subkelas imunoglobulin G1 (IgG1) dengan rantai berat kappa (k-heavy chain) yang dikonfirmasi dengan gel elektroforesis (SDS-PAGE). ABSTRACT The objective of this experiment was to produce monoclonal antibody to be used as the reagen of ELISA for the detection of fumonisins. BALB/c mice were immunized intra vena with 10 µg FB1-Ova each. The lymphocyte cells of the ice were then fused with Sp2/0-Ag 14 myeloma cell-line using poly ethylene glycol (PEG 4000) as the fusogen. Eight clones out of 25 clones produced antibodies with titers ranged between 5,000-10,000 and optical density 0.610-0.973 at 450 nm. Cloning of the 2B1F6 clones produced 2B1F6F7 subclone with high antibody response. The hybridoma cells of the subclone were kept in liquid nitrogen and after 30 days the the cells were re-cultured in hypoxantine-timidine (HT) medium to evaluate the viability. The culture showed cell growth at concentration ranged between 2x106 - 6,9x107 cells/ml after 7 days incubation. In-vitro production of monoclonal antibodies from the 2B1F6F7 subclone in 40 milliliters of RPMI medium contained 10% foetal bovine serum produced 2.81 mg/ml antibodies after purification using ammonium sulphate and HiTrap Protein A HP affinity column. On the other hand, the in-vivo antibody production by injecting 2x106 cells/ml of the subclone to BALB/c mice intra-peritoneally obtained 1.62 mg/ml antibodies from the ascitic fluids after the same purification process.. Characterization of the
87
monoclonal antibodies using a commercial immunoglobulin identification kit indicated that the antibodies produced by the 2B1F6F7 subclone were immunoglobulin G1 (IgG1) subclass with kappa-heavy chain which was confirmed by gel electrophoresis (SDS-PAGE).
PENDAHULUAN Antibodi monoklonal (AbMk) adalah antibodi yang digunakan secara ekstensif dalam imunoasai, terutama dalam bidang biomedis untuk diagnosis dan pengobatan penyakit. Selain itu, AbMk juga diaplikasikan untuk mendeteksi berbagai kontaminan pada bahan pangan atau pakan serta hasil olahannya, seperti mikotoksin (Azcona-Olivera et al. 1992a, Yeung et al. 1996, Yu & Chu 1999a ,1999b, Barna-Vetro et al. 2000, Barna-Vetro 2002). Fumonisin adalah mikotoksin yang banyak mengkontaminasi hasil pertanian yang digunakan sebagai bahan pangan dan pakan. Di antara metode yang umum digunakan untuk mendeteksi fumonisin adalah enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Metode ini dikembangkan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau antibodi monoklonal. Penggunaan antibodi poliklonal dalam ELISA sering menimbulkan kesalahan pembacaan karena adanya reaksi silang dengan senyawa lain yang memiliki struktur serupa dengan senyawa yang dianalisis, misalnya dengan fumonisin B2, B3, dan senyawa sfingolipid (sfingosin dan sfinganin). Di sisi lain, antibodi monoklonal (AbMk) memiliki spesifitas yang tinggi
karena dihasilkan oleh
klon yang berasal dari sel tunggal. Antibodi
monoklonal dihasilkan dengan memproduksi hibridoma melalui fusi sel limfosit mencit hiperimun dan sel mieloma dengan bantuan polietilen glikol (PEG). Penggunaan PEG ini sangat krusial dan sangat menentukan tingkat keberhasilan fusi sel. PEG bersifat toksik bagi sel, dan toksisitasnya ditentukan oleh bobot molekul. Umumnya PEG yang digunakan memiliki bobot molekul antara 6006.000 (Zola 1987). Azcona-Olivera
(1992a)
memproduksi
antibodi
monoklonal
anti
fumonisin melalui fusi sel limfosit mencit yang diimunisasi antigen FB1-CT dan sel mieloma NS-1 dengan bantuan PEG 1450 sebagai fusogen. Titer antibodi serum yang dihasilkan dari percobaan ini berkisar antara 3.200-6.400. Dengan menggunakan antigen yang sama, Yu dan Chu (1999) melaporkan bahwa AbMk
88
yang disekresikan oleh sel hibrdoma hasil fusi antara sel limfosit mencit hiperimun dengan sel mieloma menggunakan PEG 1500 dapat menstimulasi pembentukan antibodi dalam serum dengan titer 1.000-10.000. Sementara BarnaVetro et al. (2000) menggunakan FB1-KLH untuk memproduksi antibodi monoklonal yang digunakan untuk mendeteksi kontaminasi fumonisin secara ELISA. Fusi sel limfosit dan mieloma Sp2/0-Ag14 dilakukan dengan menggunakan PEG 1600. Hibridoma yang dihasilkan dari fusi sel tersebut menghasilkan antibodi dengan titer 100.000. Pada
percobaan
ini
digunakan
FB1-Ova
sebagai
antigen
untuk
menstimulasi pembentukan respon imun pada mencit. Sel mieloma yang digunakan untuk fusi adalah Sp2/0-Ag14 dengan PEG 4000 sebagai fusogen. Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk produksi hibridoma yang dapat mensekresi antibodi monoklonal yang akan digunakan sebagai perangkat ELISA untuk mendeteksi fumonisin pada bahan pangan dan pakan.
MATERI DAN METODE
Bahan dan Alat Pada percobaan ini digunakan mencit betina jenis BALB/c umur 6-8 minggu. Selain itu digunakan bahan biologis seperti sel limfosit mencit yang telah diimunisasi, sel mieloma Sp2/0-Ag14 (ATCC), sel pemberi makan (sel timus), dan foetal bovine serum (FBS, GibcoBRL 26140-087). Medium dan bahan-bahan lainnya yang digunakan untuk kultur sel yaitu medium RPMI 1640 (Gibco P-1502),
suplemen medium hipoksantin-
aminopterin-timidin (HAT, Sigma H-0262), hipoksantin-timidin (HT, Sigma, H0137), biru tripan (ICN cat. 19553),
OPI (Sigma O-5003), dan MEM non
essensial amino acid (NEAA, Sigma M-7145), sodium hidrogen karbonat (Merck K34323529 507), polietilen glikol (PEG) dengan bobot molekul 4000 (Calbiochem), dimetil sulfoksida (DMSO, Merck 8-02912-1000), L-glutamin (Sigma, G-3126), dan antibiotika penisilin-streptomisin (Meiji), phosphate buffer saline (PBS) pH 7,4, buffer karbonat-bikarbonat pH 9,6 , asam sulfat (H2SO4), Tween-20, ammonium sulfat (Merck A189517 044), tris-HCl (GibcoBRL, cat.
89
15506-017), sodium fosfat (Merck A194678), asam sitrat (Univar, D3247), kit identifikasi imunoglobulin (Sigma), air deionisasi (dH2O) steril, dan nitrogen cair. Seluruh bahan dan pereaksi yang digunakan pada percobaan ini disiapkan dengan prosedur seperti tercantum pada Lampiran 2. Untuk menghindari kontaminasi mikroba dan kapang, ke dalam medium HAT dan HT ditambahkan 100 µg/ml campuran antibiotika penisilin-streptomisin (PenStrep) dan 2,5 µg/ml fungizon. Pengujian sterilitas medium dilakukan dengan menginkubasi medium dalam pelat kultur jaringan (96 sumur) selama 24 jam pada suhu 37oC dengan aliran CO2 5 %.
Adanya kontaminasi diketahui
melalui pengamatan fisik
(kekeruhan) atau melalui pengamatan di bawah mikroskop. Peralatan yang digunakan pada percobaan ini meliputi biohazard, inkubator CO2, botol kultur 25 cm2 dan 75 cm2, pelat kultur jaringan 24 dan 96 sumur (, pipet, pipet mikro multi channel, cawan petri, peralatan bedah, mikroskop,
hemasitometer,
alat
penghitung
sel,
ELISA
reader,
dan
spektofotometer.
Imunisasi Imunisasi dilakukan dengan cara menyuntikkan imunogen FB1-Ova pada mencit BALB/c secara intra vena (iv). FB1-Ova (10 μg) disuntikkan secara intra vena (iv) pada ekor setiap minggu selama 3 minggu. Pada minggu ke-4 dilakukan pengujian titer antibodi secara ELISA tidak langsung. Pada minggu berikutnya, penyuntikan diulangi dengan dosis FB1-Ova yang sama. Tiga minggu setelah itu, imunisasi kembali dilakukan dengan menyuntikan separuh dari dosis sebelumnya (5 μg). Empat hari setelah penyuntikan terakhir, limpa mencit dipanen untuk difusikan dengan sel mieloma. Adapun jadual imunisasi yang dilakukan seperti terlihat pada Tabel 12.
90
Tabel 12 Program imunisasi mencit BALB/c dengan FB1-Ova secara intra vena Minggu Perlakuan
1
2
3
4
5
8
8+4 H
Kontrol
-
-
-
Uji Ab
-
-
-
FB1-Ova
10 μg
10 μg
10 μg
Uji Ab
10 μg
5 μg
Fusi
Pengujian titer antiserum Pengujian titer antibodi dilakukan pada minggu ke-4 setelah imunisasi. Darah diambil melalui pembuluh vena mata dengan menggunakan pipet pastur steril. Serum dipisahkan dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 11.000 g selama 3 detik, dan pengujian antibodi
dilakukan secara ELISA tidak langsung
menggunakan prosedur seperti yang tercantum pada Lampiran 3. Sebelumnya dilakukan penentuan kondisi optimum dari antigen, antibodi (antiserum), dan enzim konjugat. Pada penentuan kondisi optimun digunakan pengenceran antigen 1:50, 1:100, 1:200, antiserum 1:5.000, 1:10.000, dan konjugat enzim (goat antimouse IgG-HRP) 1:20.000 dan 1:30.000. Selanjutnya, pengujian dilakukan menggunakan prosedur ELISA tidak langsung seperti diuraikan pada Lampiran 3. Kondisi optimum ditentukan dengan memilih nilai optical density (OD) tertinggi yang dihasilkan oleh tiap komposisi antigen, antiserum, dan enzim konjugat.
Produksi hibridoma Untuk pembuatan hibridoma dibutuhkan sel mieloma, sel limfosit dan sel pemberi makan (sel timus) yang dipersiapkan satu minggu sebelum pelaksanaan fusi sel.
Persiapan sel mieloma Sel mieloma Sp2/0-Ag14 ditumbuhkan pada medium pertumbuhan (MP) yang mengandung 10% FBS dan antibiotika PenStrep 100 µg/ml hingga fasa logaritmik. Kultur sel mieloma diinkubasi pada suhu 37oC dengan aliran CO2 5% dan dipertahankan pada konsentrasi 105–2x106 sel/ml. Umumnya, pertumbuhan
91
optimum tercapai 7-10 hari setelah dikultur tergantung pada kondisi sel induk yang ditumbuhkan. Kultur sel yang baik dengan viabilitas di atas 95% digunakan untuk fusi dengan sel limfosit. Sel dikeluarkan dari botol kultur dengan menggunakan pipet hingga sebagian besar sel terlepas dari dinding botol dan disentrifus selama 5 menit pada kecepatan 1500 g. Medium dibuang dan endapan disuspensikan kembali dengan 10 ml RPMI. Jumlah sel dihitung di bawah mikroskop dengan menggunakan hemasitometer dan alat penghitung sel melalui pewarnaan biru tripan 0,1% (1:10).
Untuk fusi sel, dibuat suspensi dengan
konsentrasi 1 x 106 sel / ml.
Pembuatan sel pemberi makan (feeder cells) Sel pemberi makan berfungsi sebagai suplemen untuk pertumbuhan sel yang terfusi (sel hibridoma). Sel pemberi makan diperoleh dari timus BALB/c normal berumur 6-8 minggu. Dua ekor mencit diterminasi dengan cara dislokasi tulang leher, kemudian dibedah untuk diambil timusnya. Timus dicuci dalam medium RPMI, dan sel dikeluarkan dengan cara merobek timus pada kedua ujungnya, kemudian medium dimasukkan kedalamnya hingga sebagian besar sel ke luar. Selanjutnya, suspensi sel disentrifus dan endapan dicuci dua kali dengan RPMI, lalu di disuspensikan kembali dengan medium pertumbuhan (MP). Sel ditumbuhkan dalam botol kultur steril (75 cm2) yang berisi 20-30 ml MP dan diinkubasi pada suhu 37oC dengan aliran CO2 5%. Setelah 5-7 hari, sel yang sudah pada padat dipanen dan diambil supernatannya dengan jalan sentrifugasi, lalu disaring melalui membran nitroselulosa 0,22 μm untuk langsung digunakan sebagai suplemen pada medium HAT dan HT, atau disimpan pada suhu -20 oC hingga saat digunakan. Seluruh pekerjaan dilakukan dalam ruang steril (Biohazard).
Persiapan sel limfosit Sel limfosit diperoleh dari limpa mencit yang diimunisasi dengan FB1Ova. Mencit diterminasi dengan cara dislokasi tulang leher dan dibasahi dengan alkohol 70%, selanjutnya pekerjaan dilakukan di ruang steril (Biohazard). Kulit bagian perut dibuka dengan gunting atau pisau bedah steril tanpa merobek lapisan
92
dalam. Dengan menggunakan gunting atau pisau bedah yang lain, lapisan dalam dibuka dan limpa diambil secara hati-hati tanpa menyentuh organ lainnya. Limpa diletakkan pada cawan petri steril yang berisi medium RPMI dan dicuci sekali. Sel dikeluarkan dengan cara menyuntikkan medium RPMI dan mengoyak limpa dengan syringe atau forsep. Selanjutnya suspensi sel tersebut disentrifus pada 1500 g selama 5 menit. Medium dibuang dan sel disuspensikan kembali dengan 10 ml RPMI. Sel dihitung di bawah mikroskop dengan menggunakan hemasitometer dan alat penghitung sel melalui pewarnaan biru tripan 0,1% (1:10), kemudian dibuat suspensi 1 x 108 sel / ml.
Fusi sel Fusi sel limfosit dan sel mieloma Sp2/0-Ag14 dilakukan dengan menggunakan PEG 4000. Suspensi sel limfosit dan mieloma masing-masing 10 ml dicampurkan, ditambahkan RPMI hingga 40 ml dan dibagi ke dalam 2 tabung, kemudian disentrifus selama 5 menit pada kecepatan 1500 g. Supernatan dibuang dan pelet dilepaskan dari dasar tabung dengan diselentik secara perlahan-lahan, kemudian ke dalam tiap tabung ditambahkan larutan 1 ml larutan PEG 50% dalam DMSO-RPMI 15% tetes demi tetes dalam waktu satu menit. Setelah itu, secara perlahan ditambahkan 5 ml RPMI pada 5 menit pertama, 10 ml pada 5 menit kedua, 10–15 ml pada 5 menit terakhir dan ditambahkan RPMI hingga 40 ml. Selanjutnya campuran sel disentrifus, supernatan dibuang, dan pelet dicuci dengan RPMI 2x40 ml. Sel disuspensikan kembali dengan 10 ml medium HAT, didistribusikan dalam mikroplat kultur jaringan (96 sumur), dan sebagiannya dimasukkan ke dalam botol kultur 75 cm2 sebagai master. Kultur sel disimpan dalam inkubator pada suhu 37oC dengan aliran CO2 5%. Pada hari ke- 4 atau hari ke-5, ke dalam tiap sumur ditambahkan 0,1 ml medium HAT. Setelah 9-10 hari, separuh medium diganti dengan medium HAT yang segar. Pada hari ke-10 sampai dengan hari ke-14 pertumbuhan sel diamati. Jika terdapat pertumbuhan sel, pH medium akan berubah, sehingga medium yang semula berwarna merah akan berubah menjadi kuning. Pada saat itu dilakukan pengujian antibodi dari supernatan menggunakan metode ELISA tidak langsung
93
(Lampiran 3). Setelah 10 -14 hari, medium HAT diganti secara bertahap dengan medium HT. Seminggu kemudian jika sel telah tumbuh dengan baik, medium HT diganti dengan RPMI yang mengandung 10% FBS. Kultur sel hibridoma positif yang mensekresikan antibodi dibuat duplikat dengan memindahkan sel ke dalam mikroplat kultur jaringan (24 sumur) dan botol kultur (25 cm2 dan 75 cm2). Sebagian sel segera disimpan pada suhu -70oC dan dalam nitrogen cair, sedangkan bagian yang lainnya dikloning untuk mendapatkan sekresi antibodi dari klon sel tunggal (antibodi monoklonal).
Kloning dan Kultur Sel Hibridoma Kloning dilakukan untuk memastikan bahwa sel penghasil antibodi merupakan suatu koloni yang berasal dari satu sel. Untuk mendapatkan klon yang berasal dari satu sel hibridoma dilakukan pengenceran terbatas 1:102, 1:104 dan 1:106 hingga diperoleh satu sel pada setiap sumur (Zola, 1987). Sel hibridoma kemudian diperbanyak melalui kultur sel dalam 40 ml medium RPMI mengandung 10% FBS dan antibodi yang disekresikan dalam supernatan diuji dengan ELISA tidak langsung seperti diuraikan pada Lampiran 3.
Penyimpanan dan Uji Viabilitas Sel Hibridoma Penyimpanan Sel hibridoma yang mensekresikan antibodi disimpan dalam medium RPMI yang mengandung 20% foetal bovine serum (FBS) dan 15% dimetil sulfoksida (DMSO). Suspensi sel dimasukkan ke dalam tabung penyimpanan dengan alikuat 1 ml/tabung dan disimpan dalam freezer bersuhu -70oC. Setelah satu malam tabung dipindahkan ke dalam nitrogen cair.
Uji viabilitas hibridoma Sel beku yang telah disimpan dalam nitrogen cair dihangatkan dalam penangas air dengan suhu pada suhu 37oC hingga mencair dan segera diencerkan
94
dengan medium RPMI, kemudian disentrifus pada kecepatan 1000 g selama 5 menit. Endapan sel disuspensikan kembali dengan medium HT yang mengandung 10% FBS dan didistribusikan pada mikroplat 24 sumur. Sel diamati di bawah mikroskop dan sel hidup dihitung dengan menggunakan hemasitometer dan alat penghitung sel melalui pewarnaan biru tripan 0,1% (1:10). Selanjutnya pengamatan dan penghitungan jumlah sel hidup dilakukan setiap hari selama 7 hari.
Produksi dan Karakterisasi Antibodi Monoklonal Produksi antibodi secara in vitro Sel yang telah disimpan dalam nitrogen cair ditumbuhkan kembali pada medium HT. Sebelumnya sel dicairkan dalam penangas air bersuhu 37oC dan segera dipindahkan ke dalam medium pertumbuhan (MP), kemudian disentrifus pada 11000 g selama 3 detik. Supernatan dibuang dan pellet disuspensikan kembali dengan medium HT dan didistribusikan ke dalam pelat kultur jaringan 24 sumur. Setelah pertumbuhan sel stabil (3-4 hari) dipindahkan ke dalam botol kultur 25 cm2. Setelah sel mencapai fasa logaritmik (6-7 hari), supernatan dipanen. Pada kultur berikutnya digunakan medium pertumbuhan dan supernatan terus dipanen setiap kali sel mencapai fasa logaritmik. Supernatan dikumpulkan untuk pengujian antibodi secara ELISA tidak langsung dan disimpan pada suhu 70oC hingga dilakukan pemurnian antibodi.
Produksi antibodi dalam cairan asites Disiapkan 10 ekor mencit betina berumur 6 minggu dan dikondisikan selama satu minggu sebelum percobaan. Selanjutnya mencit disuntik dengan 0,5 ml pristan steril, 14 hari kemudian disuntikan sel hibrid (5x106 sel) intra peritoneal Seteleh 10-14 hari, cairan asites dipanen, disentrifus 5000 g selama 15 menit, dan supernatan dipisahkan dari endapan.
Purifikasi antibodi Larutan ammonium sulfat jenuh dibuat dengan melarutkan 75 gram ammonium sulfat pada dalam 100 ml akuades. Supernatan dan cairan asites
95
diukur volumenya, ditambahkan larutan ammonium sulfat jenuh dengan volume yang sama secara perlahan sambil diaduk. Pengadukan diteruskan selama satu jam pada suhu 4oC. Selanjutnya campuran disentrifus pada 3000 g selama 15 menit. Supernatan dibuang dan endapan dicuci dua kali dengan larutan ammonium sulfat jenuh, kemudian dilarutkan dengan akuades sebanyak setengah dari volume semula. Larutan didialisis selama tiga hari dalam larutan phosphate buffer saline (PBS) pH 7,6 dengan suhu 4oC. Pergantian buffer dilakukan setiap hari hingga ion sulfat tidak ada lagi yang diketahui dengan menambahkan larutan barium khlorida (Zola, 1987). Pemurnian antibodi yang dihasilkan dari supernatan dan cairan asites dilanjutkan dengan menggunakan kolom HiTrap Protein A HP (Amersham). Disiapkan buffer pengikatan (binding buffer) 20 mM sodium fosfat pH 7,0 , buffer pengelusi 0,1M asam sitrat pH 3-6, dan buffer tris-HCl pH 9,0. Sebanyak 10 tabung penampung fraksi diisi dengan 0,2 ml buffer tris-HCl pH 9,0. Kolom dikondisikan dengan 25 ml binding buffer dan dibilas kembali dengan 50 ml binding buffer. Sampel (2 ml) ditambahkan 8 ml binding buffer , dimasukkan ke dalam kolom, kemudian dicuci dengan 35 ml binding buffer. Imunoglobulin dielusi dari kolom dengan 20 ml buffer pengelusi dan 2 ml fraksi ditampung ke dalam botol penampung yang berisi buffer tris-HCl. Selanjutnya imunoglobulin diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm.
Karakterisasi antibodi monoklonal Antibodi yang dihasilkan oleh sel hibridoma dikarakterisasi secara ELISA dengan antibodi penangkap menggunakan kit identifikasi subkelas imunoglobulin (Sigma) dengan prosedur kerja seperti diuraikan pada pengujian antibodi (Lampiran 4). Hasil ini dikonfirmasi dengan gel elektroforesis (SDS-PAGE) menggunakan bahan yang tercantum pada Lampiran 1.
96
HASIL DAN PEMBAHASAN Titer Antiserum Melalui titrasi dapat diketahui bahwa kondisi optimum untuk pengujian antibodi secara ELISA tidak langsung tercapai pada pengenceran antigen FB1Ova 1:200, antiserum 1:5.000, dan goat antimouse IgG-HRP enzim konjugat komersial 1:20.000 (Lampiran 8). Kondisi ini digunakan untuk pengujian titer antibodi pada kegiatan selanjutnya. Pengujian antibodi yang dilakukan pada minggu ke-4 menunjukkan adanya respon antibodi pada serum mencit yang diberi FB1-Ova 10 µg/ekor dengan titer 5.000 (OD450= 0,359-0,976). Hasil pengujian antibodi terhadap 10 sampel serum mencit secara ELISA tidak langsung disajikan pada Tabel 13. Dari tabel tersebut terlihat adanya respon antibodi pada serum mencit yang diimunisasi dengan FB1-Ova, di mana nilai OD lebih tinggi daripada serum kontrol negatif (OD=0,168) dan kontrol konjugat enzim (OD=0,139). Respon imun ini terbentuk karena adanya proliferasi sel B yang disebabkan oleh pemberian antigen FB1-Ova secara berulang. FB1 sebagai hapten membentuk epitop pada permukaan Ova sebagai protein pembawa sehingga dapat dikenali oleh sistem imun (Baratawidjaja 2004). Titer antibodi yang dihasilkan pada percobaan ini setara dengan yang dilaporkan oleh Yu dan Chu (1999) yang menggunakan FB1-CT sebagai antigen. Sedangkan dengan menggunakan antigen KLH diperoleh titer antibodi 100-1000 (Christensen et al. 2000). Namun, jika dibandingkan dengan titer antibodi jauh lebih rendah dengan yang dilaporkan oleh Barna-Vetro et al. (2000) yaitu 100.000, di mana antigen yang digunakan adalah FB1-KLH. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan rantai FB1-KLH yang lebih panjang dan bobot molekul yang lebih besar dibandingkan dengan FB1-Ova. Menurut Wang et al. (2006) sensitifitas dan spesifitas antibodi yang dihasilkan tergantung pada panjang rantai antigen dan jenis protein pembawa yang digunakan. Semakin panjang rantai antigen, antibodi yang dihasilkan semakin sensitif. Antiserum yang dihasilkan ini mengandung antibodi spesifik yang dapat bereaksi dengan antigen FB1-Ova sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi fumonisin secara imunoasai (ELISA).
97
Tabel 13 Respon antibodi yang terdeteksi pada serum mencit yang diimunisasi dengan FB1-Ova pada pengenceran 1:5.000 Kode serum
Optical Density ( 450 nm)
Kserum (-)
0.168
Kserum (+)
1.394
Kkonjugat
0.139
Mencit-1
0.662
Mencit-2
0.634
Mencit-3
0.488
Mencit-4
0.455
Mencit-5
0.788
Mencit-6
0.618
Mencit-7
0.520
Mencit -8
0.676
Mencit -9
0.664
Mencit -10
0.785
Mencit -11
0.976
Mencit -12
0.512
Mencit -13
0.600
Mencit -14
0.423
Mencit -15
0.503
Mencit -16
0.879
Mencit -17
0.500
Mencit -18
0.487
Mencit -19
0.359
Mencit -20
0.974
Pertumbuhan Sel Mieloma Sel mieloma (Sp2/0-Ag14) dikultur pada medium pertumbuhan (MP) yang mengandung 10% FBS mencapai fasa logaritmik pada hari ke-5 dan hari ke6 dengan kondisi yang sangat baik untuk digunakan pada fusi sel. Gambar 22 menunjukkan pertumbuhan sel mieloma pada fasa logaritmik.
98
Gambar 22 Pertumbuhan sel mieloma Sp2/0-Ag14 pada fasa logaritmik dalam medium RPMI mengandung 10% FBS
Fusi Sel Limfosit Mencit dan Sel Mieloma Mencit yang digunakan untuk fusi adalah mencit yang memberikan respon antibodi tertinggi (M-11). Pada pengamatan di bawah mikroskop sesaat setelah fusi dilakukan terlihat adanya interaksi antara sel limfosit dan sel mieloma. Gambar 23 memperlihatkan adanya pembengkakan sel dan penggabungan sel sesaat setelah fusi, yang terjadi karena adanya pengaruh PEG yang berperan sebagai fusogen. Pada percobaan ini digunakan PEG 4000 untuk menghindari kemungkinan terjadinya toksisitas dan proses fusi dapat dilakukan dengan kecepatan normal. PEG dengan bobot molekul rendah bersifat toksik terhadap sel, sehingga proses fusi harus dilakukan secepat mungkin, sedangkan PEG dengan bobot molekul tinggi merupakan cairan yang sangat kental, sehingga proses fusi sulit dilakukan. Fusi sel menyebabkan penggabungan sel limfosit-mieloma (hibridoma), limfosit-limfosit, mieloma-mieloma. Namun ada pula sel limfosit dan mieloma yang tidak terfusi yang bercampur dalam satu sumur. Untuk itu, perlu dilakukan seleksi sel dengan menambahkan medium HAT. Pada sistem HAT sel mieloma tidak dapat bertahan karena tidak memiliki enzim hipoksantin guanin fosforibosil transferase (HGPRT) untuk bertahan hidup melalui jalur penyelamatan, sedangkan sel limfosit umumnya berumur pendek. Dengan demikian hanya sel
99
limfosit-mieloma yang terfusi saja yang bertahan karena masih membawa sifat genetik dari sel induknya memiliki enzim HGPRT dan menghasilkan antibodi (Harlow & Lane 1988, Zola 1997).
a b d
c Gambar 23 Proses fusi antara sel mieloma dengan sel limfosit (b) Sel limfosit (a) Sel mieloma (c) Penggabungan sel
(d) Pembengkakan sel
Pada empat hari pertama setelah fusi terlihat adanya sel-sel yang mati pada pengamatan di bawah mikroskop melalui pewarnaan dengan biru tripan. Hal ini menunjukkan bahwa seleksi klon dengan menggunakan medium HAT berlangsung dengan baik dan sel-sel yang tidak terfusi tidak dapat bertahan hidup. Setelah penambahan medium HAT pada hari ke-10 semakin banyak sel yang tidak bertahan, namun sebagian lainnya masih bertahan hidup dan terus berkembang membentuk klon-klon (Gambar 24).
Pembesaran 20x
Pembesaran 40x
Gambar 24 Klon-klon dari sel hibridoma yang tumbuh 6 minggu setelah fusi
100
Kloning Setiap sel limfosit menghasilkan satu jenis antibodi, sehingga dalam campuran sel hibridoma terdapat antibodi yang beragam. Karena itu dilakukan kloning sel untuk memperoleh antibodi dari klon yang berasal dari sel tunggal sehingga diperoleh antibodi yang homogen (Zola 1997). Dari percobaan ini dihasilkan 25 klon yaitu 1A1C8, 1A1C9, 1A1E3, 1A1E8, 1A1E9, 1A1F6, 1A2F8, 1A2G8, 2A1F8, 2A2A5, 2A2B4, 2A2C4, 1B1G7, 1B1G8, 2B1B7, 2B1C6, 2B1C8, 2B1C9, 2B1D3, 2B1D6, 2B1D7, 2B1E2, 2B1E7, 2B1F6, 2B1F7 dengan titer antibodi berkisar antara 5.000-10.000 (OD450= 0,410-0,973). Delapan dari 25 klon tersebut dikloning untuk mendapatkan antibodi yang seragam. Kedelapan klon tersebut yaitu 1A1E8, 1A2G8, 2A2B4, 2B1B7, 2B1C6, 2B1C9, 2B1D6, 2B1F6 dengan titer antibodi 5000-10.000 (OD450= 0,610-0,973) (Lampiran 6). Gambar 25 adalah proses kloning dan kultur sel hibridoma dari klon 2B1F6. Dari hasil kloning tersebut dihasilkan subklon yang terbaik adalah 2B1F6F7. Antibodi yang dihasilkan oleh subklon tersebut memiliki spesifitas dan sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi FB1. Pada (1) sel hibridoma 2B1F6 membentuk klon yang menghasilkan beragam antibodi. Setelah dikloning melalui pengenceran terbatas diperoleh sel tunggal (2) yang kemudian membelah diri (propagasi) hingga terbentuk klon baru yang berasal dari sel tunggal tersebut, dan disebut dengan subklon.
1
2
3
4
5
Gambar 25 Proses kloning dari sel hibridoma dan kultur sel dari klon 2B1F6 dalam medium RPMI mengandung 10% FBS Antibodi yang dihasilkan oleh klon terpilih merupakan antibodi monoklonal yang homogen dan terseleksi. Produksi antibodi monoklonal dengan
101
jumlah besar dapat dilakukan secara in vitro melalui kultur sel pada medium RPMI mengandung serum, atau dengan menyuntikkan sel pada mencit secara intra peritoneal sehingga dihasilkan cairan asites yang mengandung antibodi yang dapat dimurnikan melalui khromatografi kolom (Copestake et al. 2006). Jika pada proses awal tidak menghasilkan titer antibodi yang tinggi, maka re-kloning perlu dilakukan untuk mendapatkan titer antibodi yang diharapkan.
Viabilitas Sel Hibridoma Pertumbuhan sel hibridoma klon 2B1F6 yang dikultur kembali setelah penyimpanan dalam nitrogen cair selama satu bulan terlihat sangat lambat pada hari ke-1 sampai hari ke-3, namun setelah hari ke-4 terjadi peningkatan jumlah sel yang tumbuh. Gambar 26 menunjukkan grafik pertumbuhan sel hibridoma dari klon 2B1F6 selama tujuh hari pembiakan. 800 700
Jumlah sel/ml (x10 )
600 500 400 300 200 100 0 0
1
2
3
4
5
6
7
Hari Total
Rataan
(n=5)
Gambar 26
Grafik pertumbuhan sel hibridoma dari klon 2B1F6 yang dikultur kembali dalam medium RPMI mengandung 10% FBS setelah penyimpanan dalam nitrogen cair selama satu bulan
Konsentrasi Antibodi Monoklonal Konsentrasi antibodi yang dihasilkan oleh sel hibridoma klon 2B1F6 dan disekresikan ke dalam medium (supernatan) dan diukur pada spektrofotometer
102
terlihat pada Tabel 14 dengan pola grafik terlihat pada Gambar 27. Dari pengukuran
fraksi-fraksi yang dikumpulkan terlihat adanya tiga puncak.
Imunoglobulin mulai terdeteksi pada fraksi 1-3, kemudian membentuk puncak ke dua mulai fraksi 4-6 dan puncak ketiga pada fraksi 7-10. Tabel 14 Pengukuran protein dari antibodi dalam supernatan setelah pemurnian melalui kolom HiTrap Protein A HP dengan spektrofotometer Fraksi
Abs (280 nm)
Konsentrasi IgG (mg/ml)*
F1
0,350
0,26
F2
0,379
0,35
F3
0,470
0,28
F4
0,550
0,41
F5
0,556
0,41
F6
0,346
0,26
F7
0,326
0,24
F8
0,400
0,29
F9
0,392
0,29
F10
0,022
0,02
TOTAL
2,81
*Konsentrasi dihitung menggunakan rumus A280 /1,35 4.5
IgG (mg/ml)
4.0
3.5
3.0
2.5
2.0 F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
F9
Fraks i
Gambar 27 Pola grafik fraksinasi imunoglobulin G1 (IgG1) dari supernatan pada kolom HiTrap Protein A HP
103
Tabel 15 menyajikan hasil pengukuran protein antibodi dari cairan asites dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Seperti halnya pada supernatan, pola grafik hasil pengukuran antibodi pada fraksi-fraksi dari cairan asites yang dimurnikan melalui kolom HiTrap Protein A HP juga memperlihatkan adanya tiga puncak, namun pada asites memperlihatkan puncak yang lebih melebar. Puncak pertama dihasilkan oleh fraksi 1-5, puncak ke dua oleh fraksi 5-8, dan puncak ke tiga dihasilkan oleh fraksi 8-10 (Gambar 28). Tabel 15 Pengukuran protein dari antibodi dalam cairan asites mencit setelah pemurnian melalui kolom HiTrap Protein A HP pada spektrofotometer Konsentrasi IgG Fraksi
Abs (280 nm)
(mg/ml)*
F1
0,254
0,19
F2
0,336
0,25
F3
0,428
0,32
F4
0,276
0,20
F5
0,073
0,05
F6
0,170
0,13
F7
0,253
0,19
F8
0,200
0,15
F9
0,190
0,14
F10
0,007
0,005
TOTAL
1,62
* Konsentrasi dihitung berdasarkan A280/1,35
Adanya lebih dari satu puncak baik pada fraksi-fraksi hasil elusi dari supernatan
dan
cairan
asites
mengindikasikan
adanya
beberapa
jenis
imunoglobulin atau satu jenis imunoglobulin dengan rantai berat (heavy chain) dan rantai ringan (light chain). Hal ini dapat dibuktikan menggunakan SDS-PAGE (Zola 1987).
dengan analisis
104
3.5 3.0
IgG (mg/ml)
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
F9
F10
Fraksi
Gambar 28 Pola grafik fraksinasi imunoglobulin G1 (IgG1) dari cairan asites mencit pada kolom HiTrap Protein A HP (Amersham)
Konsentrasi antibodi yang dihasilkan oleh kultur hibridoma secara in vitro dalam medium (2,81 mg/ml) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan antibodi yang dihasilkan dalam cairan asites (1,62 mg/ml). Hal ini dapat terjadi karena dalam cairan asites terdapat senyawa pengganggu yang lebih banyak dibandingkan dengan dalam medium (supernatan). Senyawa pengganggu tersebut dapat mengurangi efisiensi pemurnian pada kolom (Neoh et al. 1986).
Karakteristik Antibodi Monoklonal Karakterisasi imunoglobulin
antibodi
menunjukkan
menggunakan subkelas
dari
kit
identifikasi
subklon
2B1F6F7
subkelas adalah
imunoglobulin G1 (IgG1) (Gambar 29). Pada gambar tersebut terlihat adanya reaksi warna yang terjadi pada penggunaan IgG1 sebagai antibodi penangkap, sedangkan pada subkelas imunoglobulin yang lain tidak terlihat adanya pembentukan warna.
105
H2SO4
Gambar 29
Uji Sub kelas imunoglobulin (Ig) yang disekresikan sel hibridoma klon 2B1F6F7 pada supernatan dengan ELISA antibodi penangkap menggunakan kit identifikasi subkelas imunoglobulin (Sigma) yang terdiri dari IgG1, IgG2a, IgG2b, IgG3, IgA, dan IgM
Konfigurasi ELISA tidak langsung dengan antibodi penangkap pada uji subkelas imunoglobulin tersebut seperti ditunjukkan pada Gambar 30. IgG1, IgG2a, IgG2b, IgG3, IgA, atau IgM yang dilekatkan pada pelat mikro berfungsi sebagai antibodi penangkap yang berikatan dengan antibodi dari supernatan atau cairan asites. Antigen FB1-Ova berkonjugasi dengan antibodi dari supernatan atau cairan asites dan goat antirabbit IgG-HRP yang kemudian bereaksi dengan substrat TMB membentuk warna biru. Goat antimouse IgG-HRP Antigen FB1-Ova
Antibodi supernatan/cairan asites
Antimouse IgG atau subkelas Ig lainnya
Gambar 30 Konfigurasi ELISA pada pengujian subkelas imunoglobulin dari antibodi monoklonal (AbMk) yang dihasilkan oleh sel hibridoma 2B1F6 dalam supernatan dan cairan asites
106
Hasil dari karakterisasi imunoglobulin dengan ELISA diperkuat dengan hasil analisis pada gel elektroforesis (SDS-PAGE). Antibodi yang terdapat pada fraksi-fraksi hasil elusi supernatan dan cairan asites yang dipurifikasi melalui kolom affinitas HiTrap Protein G dikonfirmasi dengan SDS-PAGE. Pola pemisahan imunoglobulin pada SDS-PAGE ditunjukkan pada Gambar 6.10.
94 kDa 67 kDa 45 kDa
30 kDa
20 kDa 14,4 kDa
1
Gambar 31
2
3
4
5
6
7
8
9
Analisis imunoglobulin dalam supernatan (2-5) dan asites (6-9) mencit setelah purifikasi melalui kolom HiTrap Protein A HP
Pada gambar tersebut terlihat bahwa fraksi supernatan maupun asites membentuk dua pita di sekitar 45-67 kD yang mana pita di sekitar 60 kDa terlihat lebih kuat yang merupakan IgG dengan rantai berat daripada pita di sekitar 50 kDa. Kemungkinan masih ada pita lainnya di sekitar 30 kDa yang merupakan IgG dengan rantai ringan, namun sangat lemah. Copestake et al. (2006) melaporkan bahwa IgG standar membentuk 5 pita dengan 2 pita dominan pada 60 kDa (rantai berat, HC) dan 30 kDa (rantai ringan, LC), dua pita berada pada >94 kDa, dan satu pita lainnya berada <60 kDa. Hal ini terjadi
karena adanya denaturasi
imunoglobulin, sehingga terlihat pemisahan pada gel elektroforesis yang menggunakan sodium dodesil sulfat (SDS-PAGE). Data ini juga diperkuat oleh Nikolayenko et al. (2005) yang menganalisis imunoglubulin manusia yang dipurifikasi dengan menggunakan elektroforesis, di mana adanya 2 pita terlihat
107
pada IgA (66,25 kDa dan 30 kDa), IgG (60 dan 28 kDa), dan IgM (78 dan 28 kDa). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa imunoglobulin yang terdapat pada fraksi-fraksi dari supernatan dan asites adalah imunoglobulin G (IgG) dengan rantai berat (HC) dan kemungkinan adanya rantai ringan (LC). Hasil ini berkorelasi dengan pengukuran pada spektrofotometer, di mana fraksi-fraksi tersebut membentuk 2-3 puncak dengan 2 puncak dominan dan 1 puncak yang lebih rendah. KESIMPULAN Pada pengujian titer antibodi secara ELISA tidak langsung diperlukan pengenceran antigen FB1-Ova 1:200, antibodi (antiserum) 1:5.000, dan konjugat enzim (antimouse IgG-HRP) 1:20.000 untuk mencapai kondisi optimum. Dengan kondisi tersebut titer antibodi serum (antiserum) mencit yang diimunisasi dengan FB1-Ova yaitu 5.000. Kultur sel mieloma (Sp2/0-Ag14) yang digunakan untuk fusi dengan sel limfosit dari mencit yang diimunisasi dengan FB1-Ova mencapai fasa logaritmik pada hari ke 5-6 dalam medium RPMI yang mengandung 10% FBS. Fusi sel antara sel mieloma dan sel limfosit mencit dengan menggunakan PEG 4000 sebagai fusogen menghasilkan 25 klon sel hibridoma yang dapat mensekresi antibodi dengan titer berkisar antara 5.000-10.000 dan kisaran optical density pada 450 nm (OD450) 0,610-0,973. Sel hibridoma yang dikloning (2B1F6) menghasilkan subklon 2B1F6F7 yang dapat mensekresi antibodi monoklonal dengan titer yang sama. Sel hibridoma yang dihasilkan stabil selama 30 hari penyimpanan dalam nitrogen cair dan dapat dikultur kembali dalam medium HT dengan pertumbuhan 2x106 sel/ml - 6,9x107 sel/ml selama 7 hari pembiakan. Sel hibridoma tersebut dapat digunakan untuk produksi antibodi monoklonal pada skala laboratorium baik secara in vitro melalui kultur hibridoma dalam medium RPMI mengandung 10% FBS maupun secara in vivo dalam cairan asites mencit. Purifikasi antibodi monoklonal yang dihasilkan dari kultur hibridoma secara in vitro (supernatan) dan cairan asites yang dipurifikasi melalui kolom
108
affinitas HiTrap Protein A HP yang didahului dengan pengendapan menggunakan ammonium sulfat jenuh menunjukkan kemurnian yang baik. Konsentrasi antibodi dalam supernatan 2,81 mg/ml sedangkan dalam cairan asites 1,62 mg/ml. Karakterisasi AbMk dari supernatan dan cairan asites menggunakan metode ELISA dengan antibodi peangkap menunjukkan bahwa antibodi tersebut termasuk ke dalam subkelas imunoglobulin G1 (IgG1) dengan kappa rantai berat (k-heavy chain) yang dikonfirmasi dengan gel elektroforesis (SDS-PAGE). Pola grafik dari fraksi-fraksi hasil elusi supernatan dan cairan asites berkorelasi dengan hasil analisis SDS-PAGE dimana terlihat adanya jumlah pita yang sesuai dengan puncak-puncak yang dihasilkan pada pengukuran dengan spektrofotometer. Antibodi yang disekresikan oleh sel hibridoma ke dalam supernatan dan cairan aistes merupakan subkelas imunoglobulin G1 (IgG1) dengan rantai berat kappa (k- heavy chain) yang terlihat dengan adanya reaksi warna yang mengindikasikan reaksi antigen-antibodi melalui ELISA tidak langsung dengan antibodi penangkap dan dikonfirmasi dengan gel elektroforeisis (SDS-PAGE).
DAFTAR PUSTAKA Azcona-Olivera JI, Abouzied MM, Plattner RD, and Pestka JJ. 1992a. Production of monoclonal antibodies to the mycotoxins fumonisin B1, B2, and B3. Journal of Agricultural and Food Chemistry 40: 531-534. Baratawidjaja KG. 2004. Imunologi Dasar. Edisi keenam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, hlm. 73-90. Barna-Vetro I, Szabo E, Fazekas B, and Solti L. 2000. Development of a sensitive ELISA for the determination of fumonisin B1 in cereals. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 2821-2825. Barna-Vetro I. 2002. Development of Sensitive Immunodiagnostics for Toxic residues (Mycotoxins, Drugs) in Biological Fluids and Animal Feeds. PhD Thesis. Facultas Scienciarum Veterinarium Budhapest. Copestake DEJ, Indyk HE, and Otter DE. 2006. Affinity liquid chromatography method for the quantification of immunoglobulin G in colostrum powders. Journal of AOAC International 89(5): 1249-1256.
109
Harlow E and Lane D. 1988. Antibodies: A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory. New York , hlm.1-2, 78-85. Neoh SH, Gordon C, Potter A, and Zola H. 1986. The purification of mouse monoklonal antibodies from ascitic fluid. Journal of Immunology Methods, 91: 231. Nikolayenko IV, Galkin OY, Grabchenko NI, and Spivak MY. 2005. Preparation of highly purified human IgG, IgM, and IgA for immunization and immunoanalysis. Ukrainica Bioorganica Acta 2: 3-11. Wang S, Quan Y, Lee N, and Kennedy IR. 2006. Rapid determination of fumonisin B1 in food samples by enzyme-linked immunosorbent assay and colloidalgol immunoassay. Journal of Agricultural and Food Chemistry 54: 2491-2495. Yeung JM, Prelusky DB, Savard ME, Dang BDM, and Robinson LA. 1996. Sensitive imunoasai for fumonisin B1 in corn. Journal of Agricultural and Food Chemistry 44: 3582-3586. Yu FY and Chu FS. 1999a. Production and characterization of antibodies against fumonisin B1. Journal of Food Protection 59: 992-997. Yu FY and Chu FS. 1999b. Production and characterization of a monoclonal antianti-idiotype antibody against fumonisin B1. Journal of Agricultural and Food Chemistry 47(11): 4815-4820. Zola H. 1987. Monoclonal Antibodies: A Manual of Techniques. CRP Press, Inc. Boca Raton, Florida, hlm. 1-3.
STANDARDISASI DAN APLIKASI METODE ELISA BERBASIS ANTIBODI MONOKLONAL UNTUK DETEKSI FUMONISIN PADA BAHAN PANGAN DAN PAKAN ABSTRAK Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk standardisasi metode ELISA kompetitif langsung berbasis antibodi monoklonal (AbMk) yang dikembangkan untuk mendeteksi fumonisin pada bahan pangan dan pakan. Parameter untuk standardisasi metode yang dilakukan meliputi: penentuan kondisi optimum ELISA kompetitif langsung, presisi, akurasi, linearitas, reaksi silang (cross reaction), limit deteksi, pengaruh matrik sampel dan perbandingan dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Kondisi optimum ELISA kompetitif langsung tercapai pada pengenceran antibodi 1:10.000 dan konjugat enzim 1:400 pada konsentrasi antigen (FB1) 50 ng/ml. Metode ini memiliki presisi yang baik yang terlihat dari hasil analisis sampel jagung dengan 5 ulangan diperoleh hasil yang konsisten dengan SD 1,55%. Akurasi metode diketahui melalui uji rekoveri, di mana penambahan 40 ng/g standar FB1 ke dalam sampel jagung dihasilkan kisaran rekoveri 88,16–103,07% dengan rataan 96,82%. Kurva kalibrasi menunjukkan pola grafik standar FB1 yang linear pada konsentrasi 1-50 ng/ml (R2 = 0,9949) dengan persamaan garis Y = 7,1862 ln(x) + 68,35. Antibodi monoklonal (AbMk) yang digunakan bereaksi spesifik dengan FB1 (100%) dan memberikan reaksi silang dengan fumonisin B2 (FB2) sebesar 49%. Limit deteksi dari metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan ini yaitu 0,5 ng/ml dengan IC50 2,9 ng/ml. Percobaan dengan menggunakan jagung sebagai model menunjukkan bahwa linearitas kurva kalibrasi standar dipengaruhi oleh matriks sampel (R2=0,9841). Aplikasi metode ini untuk mendeteksi FB1 pada sampel jagung (n=10) menunjukkan adanya kontaminasi FB1 pada kisaran 49,1-413,7 ng/g dan rataan 260,51 ng/g. Deteksi FB1 pada pakan ayam pedaging dan petelur yang disimpan selama 42 hari (6 minggu) menunjukkan adanya pengaruh penyimpanan terhadap konsentrasi fumonisin (P<0,05) pada pakan ayam pedaging, namun tidak berpengaruh terhadap pakan ayam petelur (P>0,05). Hasil pengujian sampel jagung (n=10) secara ELISA kompetitif langsung yang dibandingkan dengan metode KCKT memiliki korelasi yang baik (R2=0,9898). Dari hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan dengan menggunakan antibodi monoklonal memiliki performan yang baik untuk mendeteksi fumonisin pada jagung dan pakan yang digunakan sebagai model.
111
ABSTRACT The objective of this experiment was to standardize the direct competitive ELISA (dc-ELISA) based on monoclonal antibodies which were developed for the detection of fumonisin in foods and feeds. Parameters measured including determination of the optimum condition of dc-ELISA, precision, accuracy, linearity, cross reaction, detection limit, matrix effects, and comparison of dcELISA to HPLC method. The optimum condition of dc-ELISA reached at the antibody dilution of 1:10.000 and the enzyme conjugate of 1:400 for detecting 50 ng/ml FB1. The method showed a good precision which was indicated by the consistency of the results of corn analysis (n=5) with standard deviation of 1.55%. The accuracy of the method indicated by the recovery tests. The addition of FB1 standard 40 ng/g into corn samples resulted the recovery ranged between 88.16% - 103.07% with the average of 96.82%. Calibration curve of FB1 standard showed a good linearity (R2 = 0,9949) at the concentration ranging from 1-50 ng/ml and the equation of Y = 7,1862 ln(x) + 68,35. Cross reactivity of monoclonal antibodies were 100% to FB1 and 49% to fumonisin B2 (FB2). Detection limit of the method was 0.5 ng/ml and the IC50 was 2,9 ng/ml. An experiment using corn as a model indicated that the linearity of the calibration curve of FB1 standard was affected by the sample matrix (R2=0,9841).Application of dc-ELISA for detecting FB1 in corn samples indicated the contmination at levels ranged between 49,1-413,7 ng/g and the average of 260.51 ng/g. Detection of FB1 in broiler and layer feed sampels stored for 6 weeks indicated the effect of storage on fumonisin concentration (P<0.05) on the broiler feeds. However, there was no effect of storage on the layer feeds (P<0.05). The dc-ELISA methode showed a good correlation with HPLC method when applied to analyse 10 corn samples (R2=0,9898). All results obtained in this experiment lead to the conclusion that the ELISA methode using monoclonal antibodies had a good performance in the detection of fumonisin in corn and feed samples.
PENDAHULUAN Enzyme-linked imunosorbent assay (ELISA) adalah salah satu teknik imunoasai dengan menggunakan enzim yang dikonjugasikan pada antibodi atau antigen sebagai label. Teknik ini dinyatakan sebagai metode deteksi yang mudah, cepat, sensitif, spesifik, dan paling ekonomis dibandingkan dengan metode lainnya. Namun, untuk mendapatkan keuntungan tersebut suatu metode ELISA perlu
distandardisasi
dengan
memperhatikan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya seperti sensitivitas, afinitas dan reaksi silang (Barna-Vetro 2002). Pada percobaan sebelumnya telah dihasilkan antibodi monoklonal (AbMk) yang disekresikan oleh sel hibridoma (klon 2B1F6). Hibridoma tersebut diproduksi
112
melalui fusi antara sel limfosit mencit yang diimunisasi dengan FB1-Ova dengan sel mieloma (Sp2/0-Ag14). AbMk yang dipurifikasi dari supernatan memiliki titer yang tinggi (10.000) dengan konsentrasi 2,81 mg/ml. Pada percobaan ini antibodi tersebut digunakan sebagai komponen dalam ELISA untuk mendeteksi fumonisin pada jagung dan pakan sebagai model. Dalam aplikasinya, ELISA digunakan dalam berbagai format yang digunakan untuk mendeteksi antigen atau antibodi. Di antaranya yaitu ELISA langsung, tak langsung, penangkap antigen (sandwich), penangkap antibodi, dan kompetitif (Burgess 1995). Di antara format tersebut, ELISA kompetitif langsung adalah metode yang paling umum dan banyak digunakan untuk mendeteksi antigen, seperti halnya fumonisin (Wang et al. 2006, Barna-Vetro et al. 2000, Park et al. 2002, Bird et al. 2002). Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk standardisasi metode ELISA kompetitif langsung berbasis antibodi monoklonal (AbMk) yang dihasilkan dengan menggunakan antigen FB1-Ova.
Parameter standardisasi yang diukur
adalah optimasi ELISA, presisi dan akurasi, sensitivitas dan spesifisitas, linearitas dan pengaruh matriks sampel dan perbandingan dengan metode KCKT. Tujuan lain dari percobaan ini adalah untuk mengaplikasikan metode ELISA tak langsung yang dikembangkan pada pakan ayam yang diberi perlakuan penyimpanan.
MATERI DAN METODE Bahan dan Alat Pada percobaan ini digunakan standar FB1 dan FB2, antibodi monoklonal (AbMk) dari supernatan yang telah dipurifikasi, FB1-HRP enzim konjugat, buffer karbonat-bikarbonat (pH 9,6), phosphate buffer saline (PBS, pH 7,4), buffer trisHCl, kasein, tween-20, substrat tetrametilbenzidin (TMB), dan asam sulfat (H2SO4). Seluruh bahan dipersiapkan dengan cara kerja seperti yang diuraikan pada Lampiran 1. Peralatan yang digunakan meliputi pelat mikro ELISA (maxisorp, 96 sumur), pipet mikro multichannel, ELISA reader dan seperangkat alat KCKT.
113
Penentuan Kondisi Optimum ELISA Kompetitif Langsung Format yang digunakan untuk mendeteksi fumonisin yaitu ELISA kompetitif langsung. Optimasi dilakukan dengan melakukan pengenceran terhadap antigen, antibodi dan konjugat. Pengenceran AbMk yang diuji coba yaitu 1:500, 1:1.000, 1:5.000, 1:10.000 dan 1:50.000; pengenceran FB1-HRP enzim konjugat 1:400 dan 1:800 pada konsentrasi antigen (FB1) 50 ng/ml. AbMk (50 µl) dilapiskan pada pelat mikro ELISA dan dibiarkan satu malam. Setelah melalui pencucian, ditambahkan secara berturut-turut standar FB1 atau ekstrak sampel dan konjugat enzim FB1-HRP. Setelah pencucian dan penambahan substrat TMB, warna yang terbentuk dibaca optical density (OD) pada ELISA reader. Tahapan kerja selengkapnya seperti diuraikan pada prosedur ELISA kompetitif langsung yang terdapat pada Lampiran 4.
Presisi dan Akurasi Presisi dilakukan dengan mengukur konsentrasi FB1 dalam sampel jagung (n=3) dan akurasi diukur melalui uji rekoveri dengan menambahkan standar FB1 40 ng/g ke dalam sampel jagung dan dideteksi dengan ELISA kompetitif langsung (n=3).
Sensitivitas dan Spesifisitas Pada uji sensitivitas digunakan larutan FB1 standar dalam metanol 70% pada tingkat konsentrasi 0 ; 0,5; 1; 2,5; 5; 10; 25; 50; 100 dan 500 ng/ml. Sensitivitas metode diketahui melalui penentuan limit deteksi yang dihitung berdasarkan konsentrasi FB1 yang dapat menghambat 15% reaksi pembentukan warna (IC15) (Wang et al. 2006). Spesifisitas ditentukan melalui reaksi silang terhadap FB2 pada variasi konsentrasi 0, 1; 2,5; 5; 10; 25; 50 ng/ml dan dibandingkan dengan FB1 pada variasi konsentrasi yang sama. Reaksi silang dihitung berdasarkan nilai IC50 dengan menggunakan persamaan yang dugunakan oleh Fremy dan Usleber (2003). Reaksi silang (%) = (IC50 FB1/IC50 FB2) x 100
114
Linearitas dan Pengaruh Matriks Sampel Linearitas dari standar FB1 diketahui melalui pembuatan kurva kalibrasi standar FB1 pada 0,1; 0,5; 1; 2,5; 5; 10; 25; 50 dan 100 ng/ml dan dideteksi dengan menggunakan metode ELISA kompetitif langsung dengan tahapan kerja seperti yang diuraikan pada Lampiran 4. Pengaruh matriks sampel diamati dengan membuat kurva kalibrasi standar FB1 dalam ekstrak jagung. Jagung diekstrak dengan metanol 70%, disaring dan filtratnya digunakan sebagai pelarut standar FB1 yang dibuat pada tingkat konsentrasi yang sama seperti pada pengukuran linearitas.
Perbandingan Metode ELISA dengan KCKT Pada percobaan ini digunakan sampel jagung yang diperoleh dari pengecer di pasar tradisional di Bogor. Sampel digiling dengan menggunakan saringan (100 mesh), dihomogenkan dan ditimbang sesuai jumlah yang dibutuhkan untuk masing-masing metode. Untuk analisis secara ELISA, sampel jagung ditimbang 5 gram, diekstrak dengan 25 ml metanol 70%, disaring dan disentrifus pada 3000 rpm selama 5 menit. Diambil 50 µl ekstrak dan dilarutkan dengan 150 µl akuades. Ekstrak sampel atau standar masing-masing 75 µl dicampur dengan volume yang sama enzim konjugat (FB1-HRP), dan dimasukkan ke dalam pelat mikro yang telah dilapisi 50 µl AbMk (pengenceran 1:10.000) selama satu malam dan diblok dengan larutan trisHCl–tween 20-kasein (TTC). Campuran dibiarkan bereaksi selama 10 menit, selanjutnya dicuci dengan PBS mengandung 0,05% tween-20 (PBST) sebanyak tiga kali, dikeringkan, dan ditambahkan 50 µl larutan substrat (TMB). Setelah 5 menit ditambahkan 50 µl larutan penghenti (H2SO4 1,25M) dan dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450-650 nm. Analisis sampel jagung secara KCKT menggunakan metode Omurtag (2001). Sampel jagung (25 g) ditambahkan 125 ml campuran metanol-air (3:1, v/v) dan diblender selama 5 menit dan disaring melalui kertas saring Whatman no. 4. pH diatur hingga pH 5,8-6,5 dengan NaOH dan 1 ml ekstrak dimurnikan melalui kolom SPE (solid phase extraction) yang berisi penukar anion kuat. Kolom dikondisikan dengan 2 ml metanol yang diikuti dengan 1 ml akuades.
115
Selanjutnya, kolom dibilas dengan 0,5 ml akuades dan 0,5 ml metanol, kemudian fumonisin dielusi dengan 1 ml asam asetat- metanol (99:1, v/v) pada kecepatan ≤ 1 ml/menit. Ekstrak ditampung ke dalam botol kecil, dikeringkan, dan dilarutkan kembali dengan 200 µl metanol. Sleanjutnya, 50 µl ekstrak diderivatisasi dengan larutan 200 µl o-ftaldialdehida (OPA) dan 50 µl 2-merkaptoetanol, kemudian dideteksi pada KCKT. Deteksi dilakukan dengan menggunakan alat KCKT Hitachi yang dilengkapi dengan pompa model L-7100, injektor Ryodyne, detektor fluorescence L 7485 (λeksitasi 335 nm dan λemisi 440 nm) dan interface D-7000. Kolom yang digunakan yaitu µ-Bondapak C18 dengan fasa gerak larutan metanol -natrium dihidrogen fosfat 0,1 M (7:3) pada kecepatan alir 1,0 ml/menit. Identifikasi FB1 dilakukan dengan membandingkan waktu retensi (retention time, RT) puncak yang terdapat pada tiap fraksi dan standar FB1. Konsentrasi FB1 dihitung berdasarkan perbandingan area sampel dengan area standar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Optimum ELISA Kompetitif Langsung Kondisi optimum untuk ELISA kompetitif langsung tercapai pada pengenceran AbMk 1:10.000 (0,28 µg/ml) dan FB1-HRP enzim konjugat 1:400 dengan konsentrasi antigen (FB1) 50 ng/ml. Pengenceran Antibodi dan enzim konjugat tersebut digunakan untuk deteksi FB1 pada sampel. Pada metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan oleh Barna-Vetro et al. (2002) untuk mendeteksi fumonisin dibutuhkan pengenceran AbMk 1:100.000 dan FB1-HRP enzim konjugat 1:140.000. AbMk yang digunakan tersebut diproduksi dengan menggunakan FB1-KLH sebagai imunogen yang memiliki rantai lebih panjang daripada FB1-Ova yang digunakan pada penelitian ini. Menurut Wang et al. (2006) semakin panjang rantai yang dimiliki suatu imunogen, titer antibodi yang dihasilkanpun semakin tinggi. FB1-HRP enzim konjugat yang dihasilkan melalui reaksi anhidrida juga akan memperpanjang rantai, sehingga menghasilkan reaksi yang lebih sensitif. Namun, pada ELISA kompetitif langsung dengan menggunakan AbMk yang dihasilkan melalui imunisasi dengan anti anti-idiotipe dari antigen FB1-CT
116
digunakan pengenceran antibodi 1:1.000 (Yu & Chu 1999). FB1-HRP enzim konjugat yang dihasilkan oleh Christenen et al. (2000) melalui konjugasi melalui reaksi dengan glutaraldehida juga digunakan pada pengenceran yang rendah, yaitu 1:500.
Presisi dan Akurasi Hasil analisis sampel jagung secara ELISA kompetitif langsung menunjukkan keterulangan yang baik dengan simpangan baku yang rendah (1,55%). Rekoveri FB1 yang ditambahkan ke dalam sampel jagung (40 ng/g) (n=3) berkisar antara 88,16-103,07% dengan nilai rataan sebesar 96,82% (Tabel 16). Hasil ini menunjukkan bahwa metode ELISA kompetitif langsung yang diaplikasikan untuk mendeteksi fumonisin pada sampel jagung memiliki presisi dan akurasi yang baik. Dibandingkan dengan metode yang dikembangkan oleh Azcona-Olivera et al. (1992) rataan rekoveri yang diperoleh pada percobaan ini hampir mendekati (96,82% vs 103%) dan dengan SD yang lebih baik (1,55% vs 11-15%).
Demikian
pula
dengan
ELISA
kompetitif
langsung
dengan
menggunakan AbMk yang diproduksi menggunakan FB1-KLH sebagai imunogen hanya memberikan rekoveri FB1 dengan kisaran 61-84% (Barna-Vetro et al. 2000). Begitu pula dengan metode ELISA yang dikembangkan oleh Yu dan Chu (1999) yang hanya menghasilkan rekoveri 71,3%. Tabel 16 Rekoveri FB1 pada sampel jagung yang dideteksi menggunakan metode ELISA kompetitif langsung berbasis antibodi monoklonal
(450 nm)
Inhibisi (%)
Kons. FB1 pd sampel (ng/g)* -
Rekoveri (%)
64,65
Hasil ELISA (ng/ml) -
0,226 0,375 0,271 0,254 0,258
31,94 54,74 58,59 57,6
24,70 42,33 45,32 44,55
49,40 84,67 90,63 89,10
0,261 0,009
56,98 2,00
44,07 1,55
88,13 3,10
88,16 103,07 99,23 96,82 7,74 7,99
OD
Std FB1 (50 ng/ml) Blanko R1 R2 R3 Rataan SD RSD (%CV)
* Hasil ELISA dikalikan faktor pengenceran (2x)
-
117
Sensitivitas dan Spesifisitas Sensitivitas metode ELISA diukur berdasarkan konsentrasi terendah yang dapat menghambat reaksi warna atau konsentrasi yang dapat menghambat 15% reaksi warna (IC15), dan berdasarkan konsentrasi yang dapat menghambat 50% reaksi warna (Wang et al. 2006). Berdasarkan IC15, metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan ini mempunyai sensitivitas yang tinggi yaitu 0,5 ng/ml dan IC50 2,9 ng/ml. Sensitivitas metode yang dikembangkan ini jauh lebih baik dari pada metode ELISA yang dikembangkan oleh Barna-Vetro et al. (2000) yang memiliki limit deteksi FB1 7,6 ng/g, di mana AbMk dihasilkan menggunakan imunogen FB1-KLH yang memiliki rantai lebih panjang dari FB1Ova yang digunakan pada penelitian ini. Demikian pula dengan metode ELISA yang dikembangkan oleh Yu dan Chu (1999) yang menggunakan AbMk anti anti-idiotipe IC50 sebesar 75 ng/ml. Bahkan ELISA yang dikembangkan dengan menggunakan antibodi yang dihasilkan menggunakan imunogen FB1-BSA sensitivitasnya sangat rendah dengan IC50 430 ng/ml (Savard et al. 2003). Jika dibandingkan dengan kit ELISA komersial (Veratox) yang menggunakan antibodi poliklonal yang dilaporkan oleh Abouzied et al. (1996), sensitivitas metode ini lebih rendah (0,5 ng/ml vs 0,1 ng/ml), karena penggunaan antibodi poliklonal dapat menyebabkan kesalahan pengukuran yang diebabkan oleh adanya reaksi silang dengan senyawa lain yang memiliki struktur serupa dengan fumonisin. Spesifisitas dari antibodi monoklonal yang digunakan dalam metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan ini memberikan reaksi yang spesifik terhadap FB1 (100%) dengan reaksi silang terhadap fumonisin B2 (FB2) sebesar 49%. Gambar 32 menunjukkan performan dari standar FB1 dan FB2 yang dideteksi menggunakan metode ELISA kompetitif langsung menggunakan antibodi monoklonal dari klon 2B1F6 yang dimurnikan melalui pengendapan dengan ammonium sulfat 50% dan kolom HiTrap Protein A HP. Dari persamaan garis kedua standar tersebut dapat dihitung nilai IC50 dan reaksi silang. Reaksi silang dari AbMk terhadap FB2 yang dihasilkan ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Savard et al. (2003) yaitu 94%. Dengan demikian AbMk yang dihasilkan ini memiliki spesifisitas yang tinggi terhadap FB1.
118
100 90
y = 6.5731Ln(x) + 59.577 R 2 = 0.9086
80
% Inhibisi
70 60
y = 8.057Ln(x) + 38.659 R 2 = 0.9961
50 40 30 20 10 0 0.1
1
10
100
Konsentrasi (ng/m l) FB1
Gambar 32
FB2
Performan standar FB1 dan FB2 yang dideteksi secara ELISA kompetitif langsung menggunakan antibodi monoklonal (supernatan) dari klon 2B1F6
Linearitas dan Pengaruh Matriks Sampel Uji linearitas menunjukkan pola grafik standar FB1 yang linear (R2 = 0,9949) pada konsentrasi 1, 2,5; 5, 25, dan 50 ng/mL yang ditunjukkan dengan
0,7
120,0
0,6
100,0
0,5
80,0 % In h ib isi
O D (450 n m )
persamaan garis Y = 7,1862 Ln(x) + 68,35 (Gambar 33).
0,4 0,3
y = 7,1862Ln(x) + 68,35 R2 = 0,9949
60,0 40,0
0,2 20,0
0,1 0,0
0,0
0,1
0
10
20
30
40
50
1,0
10,0 FB1 (ng/ml)
FB1 (ng/ml)
Gambar 33 Pola grafik ELISA kompetitif langsung dan linearitas FB1 menggunakan antibodi monoklonal (supernatan) dari klon 2B1F6
100
119
Linearitas standar FB1 dalam ekstrak sampel jagung yang digunakan sebagai model terlihat menurun. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh komponen lain yang terdapat di dalam matriks sampel. Gambar 34 menunjukkan pola kurva kalibrasi standar FB1 dalam ekstrak jagung. Linearitas standar FB1 pada tingkat konsentrasi yang digunakan menghasilkan persamaan garis Y= 6,1961Ln(X) + 2,6715 dengan nilai R2 lebih rendah dari linearitas standar FB1 dalam pelarut metanol 70% (0,9842 vs 0,9949). y = 6.1961Ln(x) + 2.6715 R2 = 0.9841
0.6
30.00 25.00
0.4
% In h ib is i
O D (450 n m )
0.5
0.3 0.2 0.1
20.00 15.00 10.00 5.00
0
0.00 0
10
20
30
40
50
0.1
1
FB1 (ng/ml)
10 FB1 (ng/ml)
Gambar 34 Kurva kalibrasi standar FB1 dalam matriks jagung pada pengujian FB1 secara ELISA kompetitif langsung
Perbandingan Metode ELISA dengan KCKT Hasil analisis FB1 dengan metode ELISA kompetitif langsung yang telah dikembangkan dan KCKT pada jagung yang dijual secara komersial terlihat pada Tabel 17. Dari tabel tersebut terlihat bahwa konsentrasi FB1 pada sampel jagung yang dianalisis dengan metode ELISA lebih tinggi dibandingkan dengan metode KCKT. Hal ini dapat terjadi karena pada metode ELISA dapat terjadi reaksi silang dengan komponen lain yang menyebabkan hasil pembacaan lebih tinggi. Namun, hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Yamashita et al. (1995), Ali et al. (1998), dan Maryam (2000).
100
120
Tabel 17 Analisis FB1 pada jagung dengan ELISA kompetitif langsung dan KCKT
Metode analisis ELISA kompetitif langsung KCKT
Kisaran FB1 (ng/g) 49,1- 413,7
Rataan FB1 (ng/g) 260,5
40,4-454,7
254,7
Data hasil analisis FB1 dengan menggunakan kedua metode tersebut menunjukkan korelasi yang baik ( R2= 0,9898) seperti terlihat pada Gambar 35. R2 = 0.9898 450
KCKT
350
250
150
50 50
150
250
350
450
ELISA
Gambar 35 Korelasi metode ELISA kompetitif langsung dengan menggunakan AbMk dari klon 2B1F6 dan metode khromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
Hasil ini selaras dengan percobaan Savard et al. (2003) yang melaporkan korelasi metode ELISA kompetitif langsung dengan metode KCKT, di mana korelasi yang sangat baik ditunjukkan dari nilai slope 0,985 dan R2 0,987. Hasil percobaan ini juga sesuai dengan hasil percobaan yang dilakukan oleh Kim et al. (2002) yang dilaporkan bahwa ELISA kompetitif langsung yang diaplikasikan pada jagung dan hasil olahannya memiliki korelasi yang baik dengan R2 = 0,992. Namun, metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan ini memiliki korelasi dengan KCKT yang lebih baik daripada ELISA kompetitif tak langsung yang dilaporkan oleh Elisabete et al. (2000) dengan nilai R2 = 0,91.
121
Aplikasi ELISA untuk Deteksi FB1 pada Pakan Hasil analisis FB1 pada pakan ayam pedaging yang diberi perlakuan penyimpanan disajikan pada Tabel 18. Sedangkan hasil analisis pakan ayam petelur seperti terlihat pada Tabel 19. Dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa FB1 terdeteksi pada kedua jenis pakan tersebut. Deteksi FB1 pada pakan ayam pedaging dan petelur yang disimpan selama 42 hari (6 minggu) menunjukkan adanya pengaruh penyimpanan terhadap konsentrasi fumonisin (P<0,05) pada pakan ayam pedaging, namun tidak berpengaruh terhadap pakan ayam petelur (P>0,05). Tabel 18 Konsentrasi FB1 dalam pakan ayam pedaging selama penyimpanan
Jenis pakan Broiler-0 (kontrol) Broiler-1 Broiler-2 Broiler-3 Broiler-4 Rataan SD
7 hari 2,16 38,87 57,31 50,50 37,84 46,13 9,41
Konsentrasi FB1 selama penyimpanan (ng/g) 14 hari 21 hari 28 hari 35 hari 42 hari 3,85 44,35 69,89 80,02 57,82 63,02 15,41
5,56 51,89 82,82 170,48 81,34 96,63 51,25
7,11 91,46 103,12 195,19 124,90 128,67 46,47
6,92 104,72 107,59 204,20 211,93 157,11 58,94
6,99 413,58 450,25 569,96 497,56 482,84 67,49
Tabel 19 Konsentrasi FB1 dalam pakan ayam petelur selama penyimpanan
Jenis pakan Layer-0 (kontrol) Layer-1 Layer-2 Layer-3 Layer-4 Rataan SD
7 hari 0,08 19,46 18,70 16,42 28,14 20,68 5,14
Konsentrasi FB1 selama penyimpanan (ng/g) 14 hari 21 hari 28 hari 35 hari 42 hari 0,08 40,90 19,26 27,58 32,35 30,02 9,05
0,17 43,42 34,53 50,43 47,98 44,09 7,00
0,08 45,73 28,57 50,93 86,25 52,87 24,22
0,17 57,11 58,56 59,24 93,83 67,18 17,78
2,78 84,69 95,68 61,56 99,97 85,47 17,19
Konsentrasi fumonisin terlihat meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan (Gambar 36). Hal ini menunjukkan bahwa kapang Fusarium spp. terus tumbuh dan menghasilkan fumonisin selama penyimpanan. Namun, Ono et
122
al. (2002) melaporkan bahwa konsentrasi fumonisin pada jagung tidak mengalami peningkatan selama 12 bulan penyimpanan. Hal ini terjadi karena pada percobaan tersebut
jagung dikeringkan terlebih dahulu hingga kelembaban 11-14%,
sedangkan pada percobaan ini sampel pakan tidak dikondisikan kelembabannya untuk mengetahui pengaruh kondisi penyimpanan pada tingkat pengecer di Indonesia terhadap konsentrasi FB1. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan kelembaban pada masa panen dan sebelum pengeringan sangat penting untuk mengendalikan pertumbuhan kapang Fusarium dan produksi fumonisin. Hingga akhir masa simpan (6 minggu) masih berada pada level yang aman untuk ayam yaitu 10 ppm
(FDA 2001). Dengan mempertimbangkan
bahwa mikotoksin
bersifat akumulatif, konsentrasi FB1 pada pakan ayam pedaging pada akhir penyimpanan (482,84 ng/g) dapat berpengaruh terhadap sistem kekebalan ayam yaitu menghambatan proliferasi sel 50%
(Martinova 1996) dan toksik bagi
makrofag (Qureshi dan Hagler, 1992). Selain itu, jika terdapat mikotoksin lain, seperti aflatoksin maka akan terjadi efek sinergis antara kedua miktoksin terebut sehingga berpengaruh terhadap produksi dan reproduksi ternak unggas (Ogido et al. 2004).
500 450 400
FB1 (ng/g)
350 300 250 200 150 100 50 0 1
2
3
4
5
6
Lama Penyimpanan (Minggu)
Br
Gambar 36
Lyr
Pengaruh penyimpanan terhadap peningkatan konsentrasi FB1 pada pakan ayam pedaging dan petelur yang disimpan selama 42 hari (6 minggu)
123
KESIMPULAN Kondisi optimum yang dibutuhkan untuk mendeteksi antigen (FB1) 50 ng/ml secara ELISA kompetitif tak langsung dibutuhkan AbMk dari klon 2B1F6 pada pengenceran 1:10.000 dan FB1-HRP enzim konjugat 1:400. ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan memiliki presisi dan akurasi yang baik. Standar deviasi (SD) yang dihasilkan dari tiga ulangan yaitu 1,55% dan kisaran rekoveri 88,16 – 103,07% dengan rataan 96,82%. Metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan mempunyai spesifisitas yang tinggi terhadap FB1 (100%) dengan reaksi silang dengan FB2 49%. Metode ini sangat sensitif dengan limit deteksi 0,5 ng/ml dan IC50 2,9 ng/ml Kurva kalibrasi FB1 menunjukkan pola grafik standar yang linear pada konsentrasi 1, 2,5; 5, 25, dan 50 ng/ml (R2 = 0,9949) dengan persamaan garis Y = 7,1862 Ln(x) + 68,35. Namun, linearitas tersebut dipengaruhi oleh adanya matriks dari sampel jagung jagung yang digunakan sebagai model (R2=0,9841). Pada percobaan penyimpanan pakan, konsentrasi FB1 semakin meningkat sesuai dengan lama penyimpanan (42 hari) yang dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban pakan selama penyimpanan. Aplikasi ELISA kompetitif langsung untuk mendeteksi kontaminasi fumonisin pada pakan menunjukkan bahwa konsentrasi FB1 pada ayam pedaging lebih besar dibandingkan pada pakan ayam petelur. Meskipun konsentrasi FB1 hingga akhir penyimpanan (42 hari) masih rendah, namun mengingat sifat akumulatif dari fumonisin hal ini perlu diwaspadai karena pada konsentrasi FB1 di atas 400 ng/g dapat berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh ayam.
DAFTAR PUSTAKA Abouzied MM, Askegard SD, Bird CB, and Miller BM. 1996.Fumonisins Veratox. A new rapid quantitative ELISA for determination of fumonisin in food and feed. Advances in Experimental Medicines and Biology 392: 135-144. Barna-Vetro I, Szabo E, Fazekas B, and Solti L. 2000. Development of a sensitive ELISA for the determination of fumonisin B1 in cereals. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 2821-2825.
124
Bird CB, Malone B, Rice LG, Ross PF, Eppley R, and Abouzied MM. 2002. Determination of total fumonisins in corn by competitive direct enzymelinked immunosorbent assay: collaborative study. JAOAC International 85(2): 404-410. Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan Variasi konfigurasinya. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Artama WT (Penterjemah) Gajah Mada University Press, 50-69. Christensen HR, Yu FY, and Chu FS. 2000. Development of polyclonal antibodybased sensitive enzyme-linked immunosorbent assay for fumonisin B4. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48(5): 1977-1984. Elisabete Y, Ono S, Kawamura O, Ono MA, Ueno Y, and Hirooka EY. 2000. A comparative study of indirect ELISA and HPLC for fumonisin detection in corn of the state of Parana, Brazil. Food and Agricultural Immunology 12(1). (Abstrak). FDA (Food and Drug Administration). 2001. Guidance for Industry: Fumonisin levels in human foods and animal feeds. US Food and Drug Administration. Center for Food Safety and Applied Nutrition, Center for Veterinary Medicine. Kim EK, Shon DH, Chung SH, and Kim YB. 2002. Survey for fumonisin B1 in Korean corn-based food products. Food Additives and Contaminants 19(5): 459-464. Martinova EA. 1996. Fumonisin B1.-immunological effects. Natural Toxins 2: Structure, mechanism of action and detection. Bal Ram Singh and Anthony T.Tu, editor. Plenum Press, New York 391: 331-342. Maryam R, Bahri S, Rachmawati S, and Widiastuti R. 2000. Evaluation of Methods for aflatoxin and fumonisin determination in foods and feeds in Indonesia. Paper presented in The 2nd Research Coordinated Meeting (RCM) of the FAO/IAEA Coordinated Research Programme (CRP) on Evaluation Methods of Analysis for Determining Mycotoxin Contamination of food and feed, Vienna-Austria, 4-8 December 2000. Miller JD, Savard ME, Sibilia A, Rapior S, Hocking AD, Pitt JI. 1993. Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from Southeast Asia. Mycologia 85 (3): 385-391. Ogido R, Oliveira CAF, Ledoux DR, Rottinghaus GE, Correa B, Butkeraitis P, Reis TA, Goncales E, and Alburquerque. 2004. Effects of prolonged of aflatoxin B1 and fumonisin B1 in laying Japanese quail. Poultry Science 83: 1953-1958.
125
Ono EYS, Sasaki EY, Hashimoto EH, Hara LN, Correa B, Itano EN, Sugiura T, Ueno Y, and Hirooka EY. 2002. Post-harvest storage of corn: effect of beginning moisture content on mycoflora and fumonisin contamination. Food Additves and Contaminants 19(11): 1081-1090. Park JW, Kim EK, Shon DH, and Kim YB. 2002. Natural co-occurrence of aflatoxin B1, fumonisin B1 and ochratoxin A in barley and corn food from Korea. Food Additves and Contaminants 19(11): Qureshi and Hagler. 1992. Effect of fumonisin B1 exposure on chicken macrophage functions in vitro. Pultry Science 71:104-112. Savard ME, Sinha RC, Lau R, Seguin C, and Buffam S. 2003. Monoclonal antibodies for fumonisins B1, B2 dan B3. Food and Agricultural Immunology 15(2): 127-134. Sydenham EW, Shephard GS, Thiel PG, Bird C, and Miller BM. 1996. Determination of fumonisins in corn: Evaluation of competitif immunoassay and HPLC techniques. Journal of Agricultural and Food Chemistry 44: 159-164. Wang S, Quan Y, Lee N, and Kennedy IR. 2006. Rapid determination of fumonisin B1 in food samples by enzyme-linked immunosorbent assay and colloidalgol immunoassay. Journal of Agricultural and Food Chemistry 54: 2491-2495. Yamashita A, Yoshizawa T, Aiura Y, Sanchez P, Dizon EI, Arim RH, and Sardjono. 1995. Fusarium mycotoxin (fumonisins, nivalenol and zearalenone) and aflatoxins in corn from southeast Asia. Bioscience of Biotechnology Biochemistry 59:1804-1807. Yeung JM, Prelusky DB, Savard ME, Dang BDM, and Robinson LA. 1996. Sensitive immunoassay for fumonisin B1 in corn. Journal of Agricultural and Food Chemistry 44: 3582-3586. Yu FY and Chu FS. 1996. Production and characterization of antibodies against fumonisin B1. Journal of Food Protection 59: 992-997.
PEMBAHASAN UMUM Fumonisin merupakan kelompok mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., terutama F. moniliforme dan F. proliferatum. Mikotoksin ini pertama kali diisolasi pada tahun 1988 dari F. verticillioides (Gelderblom et al. 1988).
Selain Fusarium spp., dilaporkan bahwa Alternaria spp. juga dapat
memproduksi fumonisin dalam proses metabolismenya. Kontaminasi fumonisin tersebar luas di berbagai negara, terutama negara beriklim sedang dan tropis. Hingga saat ini telah diketahui 28 jenis fumonisin yang terbagi dalam 4 kelompok utama, yaitu fumonisin group A, B, C dan P (Rheeder et al. 2002). Fuminisin bersifat toksik bagi manusia maupun hewan dengan tingkat toksisitas yang berbeda-beda tergantung pada jenis toksin dan individu yang terpapar. Di antara kelompok fumonisin tersebut, group B merupakan kelompok yang paling toksik dan fumonisin B1 (FB1) adalah jenis yang paling toksik. Hasil penelitian yang telah dilakukan di Indonesia menunjukkan adanya kontaminasi fumonisin terdapat pada bahan pangan seperti beras, jagung, gandum, (Dharmaputera et al. 1996, Miller et al. 1993, Ali et al. 1998) dan pakan ternak (Trisiwi et al. 1998, Maryam et al. 2000). Hal ini sangat mungkin terjadi karena kondisi iklim di Indonesia sangat kondusif untuk pertumbuhan kapang Fusarium spp. seperti F. verticillioides yang tumbuh baik pada suhu optimum 22,5-27,5oC dengan aktivitas air (Aw) minimum 0,87 pada 25oC (Pitt & Hocking 1997). Sedangkan untuk produksi fumonisin dibutuhkan sedikitnya Aw 0,92 (Marin et al. 1995). Adanya kontaminasi fumonisin pada pangan dan pakan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit karena terjadinya penghambatan sintesis sfingolipid, yang merupakan mekanisme toksisitas fumonisin. Penyakit yang disebabkan oleh fumonisin pada manusia diantaranya kanker esofagus dan radang ginjal seperti yang terjadi di Afrika Selatan (Marasas et al. 1995)dan China (Zhang et al. 1997). Kontaminasi
fumonisin
pada
pakan
ternak
menyebabkan
terjadinya
“leukoencephalomalacia” (LEM) pada kuda dan pulmonary edema (PE) pada babi (Ross et al. 1990, Colvin & Harrison 1992), kanker hati pada tikus (Gelderblom et al. 1991), serta penurunan sistem kekebalan pada ayam (Marijanovic et al. 1991).
127
Kontaminasi fumonisin sering ditemukan bersama-sama dengan mikotoksin lain seperti aflatoksin, okratoksin, zearalenon, deoksinivalenol, dan fusarium toksin lainnya yang dikhawatirkan dapat meningkatkan toksisitas masing-masing mikotoksin karena adanya efek sinergis. Dengan memperhatikan pengaruh fumosnisin terhadap kesehatan manusia dan hewan ternak, dibutuhkan suatu teknik deteksi yang cepat, mudah, akurat, sensitif dan spesifik. Kriteria ini dapat dipenuhi oleh teknik imunoasai seperti enzyme-linked immunoassay (ELISA). Mengingat harga kit ELISA komersial yang relatif mahal, maka dibutuhkan suatu pengembangan teknik ELISA yang dapat digunakan secara rutin di laboratorium dan di lapangan dengan biaya yang relatif murah. Produksi antibodi monoklonal dengan menggunakan FB1 yang dikonjugasikan dengan ovalbumin (Ova), biaya analisis dapat ditekan karena antibodi dapat diproduksi secara berkesinambungan dalam skala besar. Hal ini mungkin untuk dilakukan, karena ovalbumin dapat berfungsi sebagai protein pembawa yang menjadikan suatu hapten bersifat imunogenik (Rittenburg 1990, Baratawidjaja 2004), seperti halnya fumonisin.
Produksi dan Isolasi Fumonisin Teknik ELISA membutuhkan pereaksi-pereaksi seperti antigen, antibodi, enzim konjugat dan substrat. Untuk penyediaan antigen dibutuhkan fumonisin yang cukup banyak, sehingga perlu dilakukan produksi dan isolasi fumonisin karena harga fumonisin murni yang dijual secara komersial sangat mahal dan sulit diperoleh di dalam negeri. Dengan pertimbangan ekonomi dan efektivitas penelitian, fumonisin diproduksi melalui pembiakan kapang F. verticillioides dan F. nygamai isolat lokal karena kedua kapang ini berpotensi memproduksi fumonisin (Rheeder et al. 2002, Maryam 2000). Produksi FB1 oleh kapang Fusarium spp. sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Suhu optimum produksi FB1 oleh F. Verticillioides berkisar antara 15-25 oC dengan aw = 0,860-0,975 (Samapundo et al. 2005). Kondisi tersebut sangat sesuai dengan iklim di Indonesia. Hal ini terbukti dengan ditemukannya F. verticillioides pada jagung di berbagai daerah di Indonesia (Miller et al. 1993, Dharmaputera et al. 1996, Ali et al. 1998, Trisiwi 1996). Pada percobaan ini suhu
128
optimum untuk produksi fumonisin oleh kapang F. verticillioides dan F. nygamai adalah 25oC. Pada suhu tersebut isolat lokal kapang F. verticillioides mampu menghasilkan FB1 hingga 1,54 g/kg, sedangkan F. nygamai menghasilkan FB1 yang lebih rendah, yaitu 0,87 g/kg. Hasil tersebut lebih rendah daripada produksi FB1 oleh F. verticillioides dan F. nygamai yang dilaporkan oleh Maryam (2000) masing-masing 12,8 g/kg dan 1,11 g/kg. Hal tersebut disebabkan oleh menurunnya potensi kedua kapang tersebut selama penyimpanan. Sementara itu, pada suhu 37oC FB1 hanya diproduksi oleh F. verticillioides dengan konsentrasi yang jauh lebih rendah dibandingkan pada suhu 25oC (maksimum 5,14 mg/kg dengan total produksi 71,68 mg/kg), namun biakan F. nygamai tidak memproduksi FB1. Hasil ini didukung oleh Le Bars et al. (1994), Nelson et al. (1991) dan Marin et al. (2004) yang melaporkan bahwa pertumbuhan kapang F. verticillioides dan produksi fumonisin yang optimum terjadi pada suhu 25oC. Berdasarkan data-data tersebut dapat dinyatakan bahwa suhu inkubasi 25oC adalah suhu yang tepat untuk produksi FB1 yang optimum. Pemurnian ekstrak kasar dari biakan F. verticillioides pada medium jagung melalui kolom XAD-2 menghasilkan 1,48 g/kg FB1. FB1 yang dihasilkan ini memiliki kemurnian yang tinggi (95,3%) sehingga dapat digunakan untuk sintesis antigen FB1-Ova dan FB1-HRP enzim konjugat.
Sintesis Antigen FB1-Ova dan FB1-HRP Enzim Konjugat Untuk
memproduksi
antibodi
dibutuhkan
antigen
yang
bersifat
imunogenik. Oleh karena fumonisin merupakan senyawa hapten yang tidak dapat menstimulasi pembentukan respon imun pada hewan, maka perlu dilakukan konjugasi dengan protein pembawa. Dalam hal ini digunakan ovalbumin sebagai protein pembawa karena mudah dikonjugasikan dengan FB1 dan mudah diperoleh dengan harga murah. Konjugasi FB1 dan Ova dapat dilakukan melalui reaksi dengan glutaraldehida (Azcona-Olivera et al.1992a, Christensen et al. 2000) sehingga dihasilkan senyawa yang bersifat imunogenik yang diharapkan dapat menghasilkan antibodi spesifik dan sensitif dengan konsentrasi memadai untuk imunisasi dan pelapisan pelat mikro untuk skrining antibodi.
129
Selain antibodi, teknik ELISA juga membutuhkan enzim konjugat sebagai label yang dapat memberikan warna dengan adanya substrat tertentu. Sintesis FB1-HRP enzim konjugat melalui reaksi dengan 1-ethyl-3-(3-dimetilamino propyl) carbodiimide methiodide (EDC) (Christensen et al. 2000) menghasilkan senyawa yang dapat digunakan untuk mendeteksi fumonisin secara ELISA kompetitif langsung. Sintesis antigen FB1-Ova pada percobaan ini menghasilkan senyawa imunogenik yang terlihat dengan adanya pembentukan antibodi dalam serum mencit (antiserum antifumonisin) yang bereaksi spesifik dengan antigen FB1Ova. Melalui pengukuran antibodi secara ELISA tidak langsung dapat diketahui titer antibodi sebesar 5.000 dengan kisaran optical density (OD) 0,359-0,976. Titer antibodi yang dihasilkan pada percobaan ini tidak jauh berbeda dengan titer antibodi yang dihasilkan oleh Azcona-Olivera et al. (1992) yang menggunakan FB1-CT sebagai imunogen (3200-6400), tetapi lebih rendah dibandingkan dengan titer antibodi yang dihasilkan Barna-Vetro et al. (2000) yang menggunakan antigen FB1-KLH (100.000). Menurut Wang et al. (2006) sensitifitas dan spesifitas antibodi tergantung pada jenis antigen yang digunakan dan dipengaruhi oleh panjang rantai serta jenis protein pembawa.
Produksi Hibridoma Melalui Fusi Menggunakan Polietilen Glikol Produksi hibridoma merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Produksi hibridoma dilakukan melalui tahapan imunisasi, kultur sel mieloma, pembuatan sel feeder, fusi sel, kloning, skrining antibodi, dan karakterisasi antibodi. Imunisasi mencit BALB/c (20 ekor) dengan FB1-Ova 10 µg/ekor secara intra vena (iv) menghasilkan antibodi pada serum mencit dengan titer 5.000 (OD= 0,359-0,976). Sedangkan antibodi monoklonal yang dihasilkan melalui fusi sel limfosit dengan sel mieloma Sp2/0-Ag14 dengan menggunakan PEG 4000 sebagai fusogen menghasilkan sel hibridoma yang mensekresi antibodi dengan titer berkisar antara 5.000-10.000 dengan optical density (OD) 0,610-0,973. Sekresi antibodi tertinggi dihasilkan oleh klon 2B1F6 dan pada subklon 2B1F6F7 yang dapat mensekresi antibodi monoklonal (AbMk) yang kemudian digunakan untuk memproduksi AbMk skala laboratorium.
130
Produksi dan Karakterisasi Antibodi Monoklonal Antibodi monoklonal skala laboratorium diproduksi
melalui kultur
hibridoma dan dalam medium (in vitro) maupun dalam cairan asites mencit (in vivo). Dari hasil percobaan diketahui bahwa antibodi (imunoglobulin) yang dihasilkan pada kultur hibridoma dalam medium lebih tinggi dibandingkan dalam cairan asites. Hal ini disebabkan oleh adanya kotoran pengganggu yang lebih banyak dalam cairan asites daripada dala supernatan seperti yang kemukakan oleh Neoh et al. (1986) sehingga harus dilakukan purifikasi lebih jauh. Fraksinasi imunoglobulin dengan menggunakan kolom HiTrap Protein A HP yang didahului dengan pengendapan menggunakan ammonium sulfat jenuh sangat baik untuk memurnikan aminoglobulin sehingga dapat digunakan sebagai pereaksi untuk mendeteksi fumonisin secara imunoasai (ELISA). Karakterisasi AbMK dari subklon 2B1F6F7 dengan ELISA tidak langsung dengan penangkap antibodi menunjukkan bahwa imunoglobulin (Ig) yang dihasilkan oleh sel hibridoma tersebut termasuk ke dalam subkelas imunoglobulin G1 (IgG1) dengan rantai berat kappa (kappa-heavy chain) yang dikonfirmasi dengan SDS-PAGE. Sel hibridoma yang telah disimpan dalam nitrogen cair selama 30 hari dapat ditumbuhkan kembali sehingga produksi antibodi dapat dilakukan baik secara in vitro melalui kultur sel dalam medium maupun secara in vivo dengan menyuntikan sel hibridoma pada mencit dan antibodi diambil dari cairan asites . Standardisasi dan Aplikasi ELISA Berbasis Antibodi Monoklonal untuk Deteksi Fumonisin pada Bahan Pangan dan Pakan Antibodi monoklonal yang diproduksi dengan menggunakan FB1-Ova sebagai imunogen dapat dijadikan sebagai pereaksi ELISA untuk mendeteksi fumonisin. Format ELISA kompetitif langsung membutuhkan kondisi optimum dengan pengenceran antibodi 1:10.000 (0,28 µg/ml ) dan konjugat enzim (1:400) pada konsentrasi
antigen (FB1) 50 ng/ml. Metode ini memiliki presisi baik
(SD=1,55%) dan akurasi yang tinggi dengan kisaran rekoveri 88,16 – 103,07% dan rataan 96,82%. Antibodi monoklonal (AbMk) yang dihasilkan bereaksi spesifik dengan FB1 (100%) dengan reaksi silang terhadap FB2 sebesar 49%.
131
Limit deteksi FB1 menggunakan metode ini yaitu 0,5 ng/ml dengan IC50 2,9 ng/ml. Kurva kalibrasi FB1 menunjukkan pola grafik standar yang linear pada konsentrasi 1, 2,5; 5, 25, dan 50 ng/mL (R2 = 0,9949) dengan persamaan garis Y = 7,1862 Ln(x) + 68,35. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan metode yang dikembangkan oleh Azcona-Olivera et al. (1992), Barna-Vetro et al. (2000) dan Yu dan Chu (1999).
Aplikasi ELISA Berbasis Antibodi Monoklonal untuk Deteksi Fumonisin Metode ELISA kompetitif langsung yang telah dikembangkan dengan menggunakan antibodi monoklonal ini dapat diaplikasikan untuk mendeteksi fumonisin pada jagung dan pakan ayam. Hasil percobaan menunjukkan bahwa linearitas kurva kalibrasi standar dipengaruhi oleh matriks sampel jagung. Dengan adanya matriks linearitas kurva standar FB1 menjadi lebih rendah (R2=0,9841) dibandingkan linearitasnya tanpa matriks sampel (R2 = 0,9949). Analisis dengan ELISA kompetitif langsung menunjukkan bahwa konsentrasi FB1 pada sampel jagung (n=10) lebih rendah dari sampel pakan karena pada pakan terdapat bahanbahan lainnya yang mudah terkontaminasi kapang penghasil Fusarium spp. pengahasil fumonisin. Pada percobaan penyimpanan pakan, konsentrasi FB1 semakin meningkat sesuai dengan lama penyimpanan, namun konsentrasinya hingga akhir penyimpanan (6 minggu) masih dalam batas aman untuk dikonsumsi oleh ternak ayam. Pada pakan ayam pedaging konsentrasi FB1 lebih tinggi dibandingkan pada pakan ayam petelur (rataan 482,84 ng/g vs 85,47 ng/g), tetapi hal ini perlu diwaspadai karena pemaparan fumonisin dalam jangka panjang dapat berpengaruh terhadap produksi telur (Ogido et al., 2004) dan sistem kekebalan tubuh unggas (Martinova, 1996; Qureshi dan Hagler, 1992).
DAFTAR PUSTAKA Ali N, Sardjono, Yamashita A, and Yoshizawa T. 1998. Natural co-occurance of aflatoxins and Fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxynivalenol, nivalenol and zearalenone in corn from Indonesia. Food Additives and Contaminants 15(4): 377-384. Azcona-Olivera JI, Abouzied MM, Plattner RD, and Pestka JJ. 1992a. Production of monoclonal antibodies to the mycotoxins fumonisin B1, B2, and B3. Journal of Agricultural and Food Chemistry 40: 531-534.
132
Baratawidjaja KG. 1991. Imunologi Dasar. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 3-23 Barna-Vetro I. 2002. Development of sensitive immuno diagnostics for determination of toxic residues (mycotoxins, drugs) in biological fluids and animal feeds, PhD Thesis. Facultas Scienciarum VeterinariumBudapest. Barna-Vetro I, Szabo E, Fazekas B, and Solti L. 2000. Development of a sensitive ELISA for the determination of fumonisin B1 in cereals. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 2821-2825. Christensen HR, Yu FY, and Chu FS. 2000. Development of polyclonal antibodybased sensitive enzyme-linked immunosorbent assay for fumonisin B4. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48(5): 1977-1984 Colvin BM and Harrison LR. 1992. Fumonisin-induced pulmonary edema and hydrothorax in swine. Mycopathologia 117: 79-82 Dharmaputra OS, Putri ASR, Susilo H, and Sunjaya. 1996. Fusarium spp. and fusarium toxins in maize, maize products and chicken feed. Paper presented at the National Microbiology Seminar and Annual Scientific Meeting, Malang, Indonesia, 12-13 November 1996 Gelderblom WCA, Kriek NPJ, Marasas WFO, and Thiel PG. 1991. Toxicity and carcinogenicity of the Fusarium moniliforme metabolite, fumonisin B1 in rats. Carcinogenesis 12: 1247-1251 Marasas WFO. 1995. Fumonisins: Their implication for human and animal health. Natural Toxins. Wiley Liss, Inc. New York. 3(4): 193-198. Marijanovic DR, Holt P, Norred WP, Bacon CW, Voss KA, and Stancel PC. 1991. Immunosuppressive effects of Fusarium moniliforme cultures in chickens. Poultry Science 70: 1195-1901 Marin SV, Sanchis I, Vinas R, Canela, and Magan N. 1995. Effect of water activity and temperature on growth and fumonisin B1 and B2 production by Fusarium proliferatum and F. verticillioides on maize grain. Letter of Applied Microbiology 21: 298-301 Maryam R, Bahri S, Rachmawati S, and Widiastuti R. 2000. Evaluation of Methods for aflatoxin and fumonisin determination in foods and feeds in Indonesia. Paper presented in The 2nd Research Coordinated Meeting (RCM) of the FAO/IAEA Coordinated Research Programme (CRP) on Evaluation Methods of Analysis for Determining Mycotoxin Contamination of food and feed, Vienna-Austria, 4-8 December 2000.
133
Miller JD, Savard ME, Sibilia A, Rapior S, Hocking AD, and Pitt JI. 1993. Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from Southeast Asia. Mycopathologia 85(3): 385-391. Neoh SH, Gordon C, Potter A, and Zola H. 1986. The purification of mouse monoklonal antibodies from ascitic fluid. Journal of Immunology Methods, 91: 231. Ogido R, Oliveira CAF, Ledoux DR, Rottinghaus GE, Correa B, Butkeraitis P, Reis TA, Gonzales E, and Albuquerque R. 2004. Effects of prolonged administration of aflatoxin B1 and fumonisin B1 in laying Japanis quail. Poultry Science 83: 1953-1958. Rheeder JP, Marasas WFO, and Vismer HF. 2002. Production of fumonisin analogs by Fusarium species. Applied Environmental Microbiology 68(5): 2101-2105. Rittenburg JH and Smith CJ. 1990. Fundamentals of immunoassay. In Development and Application of Immunoassay for Food Analysis. J.H. Rittenburg (Ed.). Elsevier Applied Science, London and New York, 29-57. Ross PF, Nelson PE, Richard JL, Osweiler GD, Rice LG, Plattner RD, and Wilson TM. 1990. Production of fumonisins by Fusarium moniliforme and Fusarium proliferatum isolates associated with equine leukoencephalomalacia and a pulmonary edema syndrome in swine. Applied Environmental Microbiology 56: 3225-3228. Sydenham EW, Shephard GS, Thiel PG, Bird C, and Miller BM. 1996. Determination of fumonisins in corn: Evaluation of competitif immunoassay and HPLC techniques. Journal of Agricultural and Food Chemistry 44: 159-164. Trisiwi EA. 1996. Identifikasi kapang penghasil mikotoksin pada pakan ayam pedaging dan petelur di kotamadya Bandar Lampung. Skripsi Sarjana, Universitas Lampung. Yeung JM, Prelusky DB, Savard ME, Dang BDM, and Robinson LA. 1996. Sensitive immunoassay for fumonisin B1 in corn. Journal of Agricultural and Food Chemistry 44: 3582-3586. Yu FY and Chu FS. 1999. Production and characterization of a monoclonal antianti-idiotype antibody against fumonisin B1. Journal of Agricultural and Food Chemistry 47(11): 4815-4820.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari eluruh rangkaian percobaan yang dilakukan pada penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Kapang F. verticillioides dan F. nygamai yang diisolasi dari jagung lokal berpotensi menghasilkan fumonisin B1 (FB1), di mana produksi optimum oleh kedua kapang tersebut terjadi pada suhu 25oC. Produksi FB1 oleh F. Verticillioides yang dimurnikan melalui kolom XAD-2 menghasilkan FB1 sebesar 1545,34
mg/kg dengan kemurnian 95,3%. Dengan konsentrasi dan tingkat
kemurnian tersebut FB1 yang dihasilkan dapat digunakan untuk sintesis antigen FB1-Ova dan FB1-Ova enzim konjugat. Antigen yang dihasilkan sebagai hasil reaksi FB1 dengan Ova melalui glutaraldehida menghasilkan senyawa FB1-Ova yang bersifat imunogenik yang dapat digunakan sebagai imunogen dan sebagai antigen pelapis pada pelat ELISA untuk pengujian antibodi secara ELISA tidak langsung.
Antigen ini dapat
dikenali secara spesifik oleh antibodi yang terdapat dalam serum mencit yang diimunisasi oleh FB1-Ova. FB1-HRP enzim konjugat yang dihasilkan dari konjugasi FB1 dengan horseraddish peroxidase (HRP) melalui reaksi dengan 1-ethyl-3-(3-dimetilamino propyl) carbodiimide methiodide (EDC) mengasilkan senyawa yang dapat digunakan sebagai label pada ELISA kompetitif langsung untuk mendeteki kontaminasi fumonisin pada bahan pangan dan pakan. Fusi sel antara sel mieloma (Sp2/0-Ag14) dan sel limfosit mencit yang diimunisasi dengan antigen FB1-Ova menghasilkan sel hibridoma yang dapat mensekresi
antibodi
monoklonal
(AbMk).
Klon
terpilih
(2B1F6)
yang
menghasilkan subklon 2B1F6F7 bersifat stabil dan dapat ditumbuhkan kembali setelah disimpan selama 30 hari dalam nitrogen cair. Dengan demikian AbMk dari klon tersebut dapat diproduksi secara berkesinambungan dalam jumlah besar (mass antibody production) dengan homogenitas dan spesifisitas yang konsisten.
135
Antibodi monoklonal yang dihasilkan oleh subklon 2B1F6F7 merupakan imunoglobulin (Ig) yang termasuk ke dalam subkelas imunoglobulin G1 (IgG1) dengan rantai berat kappa (k-heavy chain) dan memiliki titer berkisar antara 5.000-10.000 setelah pemurnian melalui pengendapan dengan ammonium sulfat dan fraksinasi pada kolom HiTrap Protein A HP. Antibodi monoklonal yang dihasilkan dapat digunakan untuk mendeteksi fumonisin secara ELISA kompetitif langsung dengan kondisi optimum pada pengenceran AbMk 1:10.000 dan pengenceran FB1-HRP enzim konjugat 1:400 pada konsentrasi FB1 50 ng/ml. Metode ELISA kompetitif langsung berbasis AbMk yang dikembangkan ini memiliki presisi dan akurasi yang tinggi (SD 3,1% dan rataan rekoveri 96,82%), spesifitas baik terhadap fumonisin yang diketahui melalui uji reaksi silang dengan FB2 yaitu sebesar 49%, serta sensitivitas yang tinggi yaitu 0,5 ng/ml untuk FB1 dengan nilai IC50 2,9 ng/ml. Metode ELISA kompetitif langsung dengan menggunakan AbMk menunjukkan performan yang baik sehingga dapat diaplikasikan untuk mendeteksi kontaminasi fumonisin pada bahan pangan dan pakan. Aplikasi pada jagung menunjukkan adanya pengaruh matriks terhadap linearitas kurva standar FB1 yang terlihat pada perbedaan koefisien korelasi yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa matriks (R2=0,9841 vs R2=0,9949). Aplikasi metode ELISA kompetitif langsung untuk mendeteksi FB1 pada pakan ayam pedaging dan petelur menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi FB1 selama enam minggu masa penyimpanan. Meskipun konsentrasinya masih dalam batas aman, namun penggunaannya dalam jangka panjang dapat mempengaruhi produksi dan kesehatan ternak unggas.
SARAN Berdasarkan pengamatan dari
hasil penelitian ini dapat disampaikan
saran-saran sebagai berikut: Pelestarian sel hibridoma perlu mendapat perhatian khusus untuk menjaga sel agar tetap hidup. Disarankan untuk melakukan pasase secara berkala terhadap sel hibridoma yang telah disimpan dalam nitrogen cair.
136
Perlu dilakukan uji stabilitas pereaksi ELISA yang telah dihasilkan pada penelitian ini (antigen FB1-HRP, antibodi monoklonal, FB1-HRP enzim konjugat) sehingga dapat diketahui masa simpan dari perangkat ELISA ini dan dilakukan standardisasi secara berkala. Metode ELISA kompetitif langsung dengan menggunakan AbMk yang telah dihasilkan ini perlu divalidasi lebih lanjut dan dirakit menjadi perangkat diagnostik sehingga dapat diaplikasikan untuk mendeteksi kontaminasi fumonisin secara meluas. Mengingat struktur fumonisin yang mirip dengan senyawa sfingolipid (sfingosin, sfinganin) yang terdapat pada bahan pangan dan pakan yang berasal dari tanaman, maka perlu dilakukan uji reaksi silang terhadap senyawa tersebut untuk menghindari adanya kesalahan analisis. Berdasarkan kajian aplikasi metode ELISA kompetitif langsung pada pakan ayam yang menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi fumonisin selama masa penyimpanan disarankan kepada produsen pakan, pengecer dan peternak untuk membatasi masa simpan pakan dan bahan pakan. Isolat kapang F. verticillioides dan F. nygamai, serta sel hibridoma yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan plasma nutfah yang mempunyai nilai komersial perlu mendapat perlindungan HaKI.
DAFTAR PUSTAKA Abbas HK and Riley RT. 1996. The presence and phyto toxicity of fumonisins and AAL-toxin in Aternaria alternata. Toxicon 34: 133-136. Abbas HK, Cartwright RD, Shier WT, Abouzied MM, Bird CB, Rice LG, Ross PF, Sciumbato GL, and Meredith FI. 2002. Natural occurrence of fumonisins in rice and Fusarium sheath rot disease. Plant Disease 82(1): 22-25. Abbas HK, Duke SO, Shier WT, Riley RT, and Kraus GA. 1996. The Chemistry and Biological activities of the natural products AAL-toxins and fumonisins. Natural Toxins 2. Plennum Press, New York, 293-307. Abouzied MM, Askegard SD, Bird CB, and Miller BM. 1996.Fumonisins Veratox. A new rapid quantitative ELISA for determination of fumonisin in food and feed. Advances in Experimental Medicines and Biology 392: 135-144. Alberts JF, Gelderblom WCA, Thiel PG, Marasas WF0, Van schalkwyk DJ, and Behrend Y. 1990. Effects of Temperature and Incubation Period on Production of Fumonisin B1 by Fusarium moniliforme. Applied and Environmental Microbiology, 1729-1733. Ali N, Sardjono, Yamashita A, Yoshizawa T. 1998. Natural co-occurance of aflatoxins and Fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxynivalenol, nivalenol and zearalenone in corn from Indonesia. Food Additives and Contaminants 15(4): 377-384. Azcona-Olivera JI, Abouzied MM, Plattner RD, and Pestka JJ. 1992a. Production of monoclonal antibodies to the mycotoxins fumonisin B1, B2, and B3. Journal of Agricultural and Food Chemistry 40: 531-534. Azcona-Olivera JI, Abouzied MM, Plattner RD, and Pestka JJ. 1992b. Generation of antibodies reactive with fumonisin B1, B2, and B3 by using cholera toxin as the carrier-adjuvant. Applied and Environmental Microbiology 169-173. Bahri S dan Maryam R. 2003. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 4 (1-2): 31-43. Bakker MI, Speijers GJA, Paulsch WE, van Egmond HP. 2003. Risk assessment of fumonisin B1 in the Netherlands. RIVM Report 310301001/2003: 2-19. Baratawidjaja KG. 1991. Imunologi Dasar. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 3-23.
Baratawidjaja KG. 1991. Imunologi Dasar. Edisi kedua. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 3-23 Baratawidjaja KG. 2004. Imunologi Dasar. Edisi keenam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 73-90. Barna-Vetro I, Szabo E, Fazekas B, and Solti L. 2000. Development of a sensitive ELISA for the determination of fumonisin B1 in cereals. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 2821-2825. Barna-Vetro I. 2002. Development of sensitive immuno diagnostics for determination of toxic residues (mycotoxins, drugs) in biological fluids and animal feeds, PhD Thesis. Facultas Scienciarum VeterinariumBudapest, Bird CB, Malone B, Rice LG, Ross PF, Eppley R, and Abouzied MM. 2002. Determination of total fumonisins in corn by competitive direct enzymelinked immunosorbent assay: collaborative study. JAOAC International 85(2): 404-410. Bluhm BH, Flaherty JE, Cousin MA, and Woloshuk CP. 2002. Multiplex polumerase chain reaction assay for the differential detection of trichothecene- and fumonisin-producing species of Fusarium in cornmeal. Journal of Food Protection 65: 1955-1961. Branham BE and Plattner RD. 1993. Isolation and characterization of a new fumonisin from liquid cultures of Fusarium moniliforme. Journal of Natural Products 56: 1630-1633. Bryden WL, Ravindran G, Salahifar H, Gill RJ, and Burgess RW. 1995. Fumonisin content of Australian maize. Proceeding of the Nutrition Society of Australia 19: 46. Buim MR, Bracarense AP, Guimaraes IG, Kawamura O, Ueno Y, and Hirooka EY. 1999. Immunohistochemistry of fumonisin in poultry using avidinbiotin peroxidase system. Natural Toxins 7(6): 279-282. Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan Variasi konfigurasinya. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Artama WT (Penterjemah) Gajah Mada University Press, 50-69. Castelo MM, Sumner SS, and Bullerman LB. 1998. Occurrence of fumonisins in corn-based food products. Journal of Food Protection 61(6): 704-707. Christensen HR, Yu FY and Chu FS. 2000. Development of polyclonal antibodybased sensitive enzyme-linked immunosorbent assay for fumonisin B4. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48(5): 1977-1984.
138
Christensen HR, Yu FY, Chu FS. 2000. Development of polyclonal antibodybased sensitive enzyme-linked immunosorbent assay for fumonisin B4. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48(5): 1977-1984. Chu FS. 1996. Imunoassays for mycotoxins. In Modern Methods in the Analysis and Structural Elucidation of Mycotoxins. R.J. Cole (Ed.). Academic Press, Orlando: 207-237. Colvin BM, Harrison LR. 1992. Fumonisin-induced pulmonary edema and hydrothorax in swine. Mycopathologia 117: 79-82. Copestake DEJ, Indyk HE, and Otter DE. 2006. Affinity liquid chromatography method for the quantification of immunoglobulin G in colostrum powders. Journal of AOAC International 89(5): 1249-1256. Dall’Asta C, Galaverna G, Sforza S, Dossena A, and Marchelli R. 2006. A new LC/ESI/MS/MS method for the quantification of natural and hidden fumonisins in corn and corn-based products. Advances in genomics, biodiversity and rapid systems for detection of toxigenic fungi and mycotoxins. Book of Abstracts of MYCO-GLOBE International Conference. September 26-29, 2006. Monopoli, Bari, Italy: 101. De Leon C and Pandey S. 1989. Improvement of resistance to ear and stalk rots and agronomic straits in tropical maize gene pools. Crop Science 29: 1217. Desjardin AE and Plattner RD. 2000. Fumonisin B1-nonproducing strains of Fusarium verticillioides cause maize (Zea mays) ear infection and ear rot. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 5773-5780. Desjardin AE, Manandhar HK, Plattner RD, Manandhar GG, Poling SM, and Maragos CM. 2000. Fusarium species from Nepalese rice and production of mycotoxins and gibberellic acid by selected species. Applied and Environmental Microbiology 66(3): 1020-1025. Dharmaputra OS, Putri ASR, Susilo H and Sunjaya. 1996. Fusarium spp. and fusarium toxins in maize, maize products and chicken feed. Paper presented at the National Microbiology Seminar and Annual Scientific Meeting, Malang, Indonesia, 12-13 November 1996. Dharmaputra OS, Putri ASR, Susilo H and Sunjaya. 1996. Fusarium spp. and fusarium toxins in maize, maize products and chicken feed. Paper presented at the National Microbiology Seminar and Annual Scientific Meeting, Malang, Indonesia, 12-13 November 1996. EHC. 2000. Environmental Health Criteria 219: Fumonisin B1 (Monograph). Eds. Marasas WFO, Miller JD, Riley RT, Visconti A. World Health Organization. Geneva, 8-9
139
Elisabete Y, Ono S, Kawamura O, Ono MA, Ueno Y, and Hirooka EY. 2000. A comparative study of indirect ELISA and HPLC for fumonisin detection in corn of the state of Parana, Brazil. Food and Agricultural Immunology 12(1). (Abstrak). Eriksen GS and Alexander J. 1998. Fusarium toxins in cereals-risk assessment. TemaNord. Nordic Council of Ministers, Copenhagen, ISBN 92-8930149-X 502: 3-115. Espada Y, Ruiz de Gopegui R, Cuadradas C, and Cabanes FJ. 1997. Fumonisin mycotoxicosis in broilers: Plasma proteins and coagulation modifications. Avian Disease 41: 73-79. FDA (Food and Drug Administration). 2001. Guidance for Industry: Fumonisin levels in human foods and animal feeds. US Food and Drug Administration. Center for Food Safety and Applied Nutrition, Center for Fremy JM and Usleber E. 2003. Policy on characterization of antibodies used in immunochemical methods of analysis for mycotoxins and phycotoxins. Journal of AOAC International 86(4): 868-871. Gelderblom WCA, Cawood ME, Snyman SD, and Marasas WFO. 1994. Fumonisin B1 dosimetry in relation to cancer initiation in rat liver. Carcinogenesis 15: 209-214. Gelderblom WCA, Jaskiewicz K, Marasas WFO, Thiel PG, Horak RM, Vleggaar R, and Kriek NPJ. 1988. Fumonisin-Novel mycotoxins with cancerpromoting activity produced by Fusarium moniliforme. Applied and Environmental Microbiology 54 (7): 1806-1811. Gelderblom WCA, Kriek NPJ, Marasas WFO, Thiel PG. 1991. Toxicity and carcinogenicity of the Fusarium moniliforme metabolite, fumonisin B1 in rats. Carcinogenesis 12: 1247-1251. Gelderblom WCA, Snyman SD, Lebepe-Mazur S, Smuts CM, Van der Westhuizen L, Marasas WFO, Victor TC, Kansmuller S, and Huber W. 1996b. Hepatotoxixity and carcinogenicity of fumonisins in rats. Advances in Experimental Medicines and Biology 392: 279-296. Grimm C and Geisen R. 1998. A PCR-ELISA for the detection of potential fumonisin producing fusarium species. Letter of Applied Microbiology 26(6): 456-462. Grothaus GD, Bandla M, Currier T, Giroux R, enkins GR, Lipp M, Shan G, Stave JW, and Pantella V. 2006. Immunoassay as an analytical tool in
140
agricultural biotechnology. Journal of AOAC International 89(4): 913928. Gutema T, Munimbazi C, and Bullerman LB. 2000. Occurrence of fumonisins and moniliformin in corn and corn-based food products of US origin. Journal of Food Protection 63: 1732-1737. Harlow E and Lane D. 1988. Antibodies: A Laboratory Manual. Cold Spring Harbor Laboratory. New York : 1-2, 78-85. Hennigen MR, Sanchez S, Dibenedetto NM, Longhi A, Torroba JE, and Soares LMV. 2000. Fumonisin levels in commercial corn products in Buenos Aires, Argentina. Food Additives and Contaminants 17: 55-58. Heytman MJ.1995. Konjugat enzim dan substrat. Dalam Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Penterjemah Artama WT. Gajah Mada University Press: 120-138. Hopmans EC and Murphy PA. 1993. Determination of fumonisins B1, B2, and B3 and hydrolyzed fumonisin B1 in corn-containing foods. Journal of Agricultural and Food Chemistry 41 (10): 1655-1658. Johansson AS and Whitaker TB. 2006. Predicting aflatoxin and fumonisin in shelled corn lots using poor-quality grade components. Journal of AOAC International 89(2): 433-440. Kim EK, Shon DH, Chung SH, and Kim YB. 2002. Survey for fumonisin B1 in Korean corn-based food products. Food Additives and Contaminants 19(5): 459-464. Kommedahl C and Windells CE. 1989. Root, stalk, and ear infecting Fusarium species on corn in USA. In Fusarium: diseases, biologi and taxonomy. P.E.Nelson, T.A. Touson and R.J. Cook (Eds). The Pensylvania State University Press. University Park and London, 94-103. Korfmacher WA, Chiarelli Mp, Lay JO Jr., Bloom J, Holcomb M, and McManus KT. 1991. Characterization of the mycotoxin fumonisin B1: Comparison of thermospray, fast atom bombardment, and electrospray mass spectrometry. Rapid Communication on Mass Spectrometry 5: 463-468. Kulisek ES and Hazebroek JP. 2000. Comparison of extraction buffers for the detection of fumonisin B1 in corn by immunoassay and high-performance liquid chromatography. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48(1): 65-69. Labuda R, Parich A, Vekiru E, and Tancinova. 2000. Incidence of fumonisins, moniliformin and Fusarium species in poultry feed mixtures from Slovakia. Annual Agricultural and Environmental Medicine 12: 81-86.
141
Le Bars J, Le Bars P, Dupuy J, Boudra H, and Casini R. 1994. Biotic and abiotic factors in fumonisin B1 production and stability. Journal of AOAC International 77: 517-521. Leslie JF, Plattner RD., Desjardin AE, and Klittich CJR. 1992. Fumonisin B1 production by strains from different mating population of Gibberella fujikoroi (Fusarium section liseola). Mycotoxicology 82 (3): 341-345. Leslie JF, Zeller KA, Lamprrecht SC, Rheeder JP, and Marasas WFO. 2005. Toxicity, and genetic differrentiatiom of five species of Fusarium from sorghum and millet. Mycology 95(3): 275-283. Li F, Yoshizawa T, Kawamura O, Luo X, and Li Y. 2001. Aflatoxins and fumonisins in corn from the high-incidence area for human hepatocellular carcinoma in Guangxi, China. Journal of Agricultural and Food Chemistry 49: 4122-4126. Lim CW, Parker HM, Vesonder RF, and Haschek WM. 1996. Intravenous fumonisin B1 induces cell proliferation and apoptosis in the rat. Natural Toxins 4: 34-41. Maragos CM and Thompson VS. 1999. Fiber-optic immunosensor for mycotoxins. Natural Toxins 7(6): 371-376. Maragos CM, Plattner RD, and Miklasz SD. 1996. Determination of hydrolysed fumonisin B1 (HFB1) in corn by competitive direct enzyme-linked immunosorbent assay. Food Additives and Contaminants 13(1): 105-113. Marasas WFO. 1995. Fumonisins: Their implication for human and animal health. Natural Toxins. Wiley Liss, Inc. New York. 3(4): 193-198. Marasas WFO. 1995. Fumonisins: Their implication for human and animal health. Natural Toxins. Wiley Liss, Inc. New York. 3(4): 193-198. Marijanovic DR, Holt P, Norred WP, Bacon CW, Voss KA, Stancel PC. 1991. Immunosuppressive effects of Fusarium moniliforme cultures in chickens. Poultry Science 70: 1195-1901. Marin S, Magan N , Ramos AJ, and Sanchis V. 2004. Fumonisin-producing strains of Fusarium: A review of their ecophysiology. Journal of Food Protection 67(8): 1792-1805. Marin S, Sanchis V, Teixido A, Saenz R, Ramos AJ, Vinas I, and Magan N. 1996. Water and temperature relations and microconidial germination of Fusarium moniliforme and F. proliferatum from maize. Canadian Journal of Microbiology 42: 1045-1050.
142
Marin S, Sanchis V, Vinas I, Canela R, and Magan N. 1995. Effect of water activity and temperature on growth and fumonisin B1 and B2 production by F. proliferatum and F. moniliforme in grain. Letter of Applied Microbiology 21: 298-301. Martinova EA. 1996. Fumonisin B1.-immunological effects. Natural Toxins 2: Structure, mechanism of action and detection. Bal Ram Singh and Anthony T.Tu, editor. Plenum Press, New York 391: 331-342. Martinova EA. 1998. Influence of sphingolipids on the T lymphocyte activation. Biochemistry 63: 122-132. Martins ML, Martins HM, and Bernardo F. 2001. Fumonisin B1 and B2 in black tea and medicinal plants. Journal of Food Protection 64: 1268-1270. Maryam R, Bahri S, Rachmawati S and Widiastuti R. 2000. Evaluation of Methods for aflatoxin and fumonisin determination in foods and feeds in Indonesia. Paper presented in The 2nd Research Coordinated Meeting (RCM) of the FAO/IAEA Coordinated Research Programme (CRP) on Evaluation Methods of Analysis for Determining Mycotoxin Contamination of food and feed, Vienna-Austria, 4-8 December 2000. Maryam R. 1999. Investigations into detection methods for mycotoxin in corn and sorghum, and some implications of contamination for livestock production and public health. MSc.Thesis. Department of Medicine. The University of Queensland, 168. Maryam R. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57. Maryam R. 2000b. Kontaminasi fumonisin pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner. Bogor 18-19 September 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Masayo K, Kenji T, Shigeru M, and Adahiro N. 2006. Advances of liquid chromatographic determination of fumonisins; potential mycotoxins for humans. Current Pharmaceutical Analysis 2(3): 289-297. McMurry J (1988). Carboxilyc acid derivatives. Organic Chemistry. 2nd edition. Brooks/Cole Publishing Company, California 93950: 746. Merril AH Jr, Schemelz EM, Wang E, Dillehay DL, Rice LG, Meredith FI, and Riley RT, 1997b. Importance of sphingolipids and inhibitors of sphingolipid metabolism as components of animal diets. Journal of Nutrition 127: 830S-833S.
143
Miller JD, Savard ME, Sibilia A, Rapior S, Hocking AD, and Pitt JI. 1993. Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from Southeast Asia. Mycopathologia 85(3): 385-391.
Mirocha CJ, Chen T, Xie W, Xu Y, Abbas HK, and Hogge LR. 1996. Biosynthesis of fumonisin an AAL derivatis by Alternaria and Fusarium in lboratory culture. Advance in Experimental Medicine and Biology 392: 213-224. Musser SM, Eppley RM, and Trucksess MW. 2002. Electrospray mass spectrometry for fumonisin detection and method validation. Advance of Experimental Medical Biology 504: 95-105. Nelson PE, Desjardins AE, and Plattner RD .1993. Fumonisins, mycotoxins produced by Fusarium species: biology, chemistry and significance. Annual Review of Phytopathology 31: 233-252. Nelson PE, Plattner RD, Shackelford DD, and Desjardins AE. 1991. Production of fumonisins by Fusarium moniliforme strains from various substrates and geographic areas. Applied of Environmental Microbiology 57: 2410-2412. Neoh SH, Gordon C, Potter A, and Zola H. 1986. The purification of mouse monoklonal antibodies from ascitic fluid. Journal of Immunology Methods, 91: 231. Neoh SH, Gordon C, Potter A, Zola H. 1986. The purification of mouse monoklonal antibodies from ascitic fluid. Journal of Immunology Methods, 91: 231. Nikolayenko IV, Galkin OY, Grabchenko NI, and Spivak MY. 2005. Preparation of highly purified human IgG, IgM, and IgA for immunization and immunoanalysis. Ukrainica Bioorganica Acta 2: 3-11. Ogido R, Oliveira CAF, Ledoux DR, Rottinghaus GE, Correa B, Butkeraitis P, Reis TA, Goncales E, and Alburquerque. 2004. Effects of prolonged of aflatoxin B1 and fumonisin B1 in laying Japanese quail. Poultry Science 83: 1953-1958. Ogido R, Oliveira CAF, Ledoux DR, Rottinghaus GE, Correa B, Butkeraitis P, Reis TA, Gonzales E, and Albuquerque R. 2004. Effects of prolonged administration of aflatoxin B1 and fumonisin B1 in laying Japanis quail. Poultry Science 83: 1953-1958. Ono EYS, Sasaki EY, Hashimoto EH, Hara LN, Correa B, Itano EN, Sugiura T, Ueno Y, and Hirooka EY. 2002. Post-harvest storage of corn: effect of beginning moisture content on mycoflora and fumonisin contamination. Food Additves and Contaminants 19(11): 1081-1090.
144
Park JW, Kim EK, Shon DH, and Kim YB. 2002. Natural co-occurrence of aflatoxin B1, fumonisin B1 and ochratoxin A in barley and corn foods from Korea. Food Additives and Contaminants 19(11): 1073-1080. Patino B, Mirete S, Gonzales-Jaen MT, Mule G, Rodriguez MT, and Vascuez C. 2004. PCR detection assay of fumonisin-producing Fusarium verticillioides strains. Journal of Food Protection 67(6): 1278-1283. Pelczar MJ.Jr and Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi 2. Diterjemahkan oleh Hadioetomo, R.S., T. Imas., S.S. Tjitrosomo, dan S.L. Angka. UIPress. Jakarta. Pitt JI and Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. 2nd Ed. Blackie Academic & Professional, London-UK: 126-143. Plattner RD and Branham BE. 1994. Labeled fumonisins: Production of fumonisin containing stable isotopes and its use in analytical methods. Journal of AOAC International 77: 525-532. Post Harvest Technology Institute. 1999. ELISA workshop: Simple test for monitoring mycotoxins and pesticides in produce. University of Sydney, 9-10. Qureshi and Hagler. 1992. Effect of fumonisin B1 exposure on chicken macrophage functions in vitro. Pultry Science 71:104-112. Qureshi and Hagler. 1992. Effect of fumonisin B1 exposure on chicken macrophage functions in vitro. Pultry Science 71:104-112. Rheeder JP, Marasas WFO, and Vismer HF. 2002. Production of fumonisin analogs by Fusarium species. Applied Environmental Microbiology 68(5): 2101-2105. Rittenburg JH and Smith CJ. 1990. Fundamentals of immunoassay, In Development and Application of Immunoassay for Food Analysis. J.H. Rittenburg (Ed.). Elsevier Applied Science. London and New York, 29-57. Roitt IM. 1991. Essential Immunology. Blackwell Scientific Publications. London, 2-173. Ross PF, Nelson PE, Richard JL, Osweiler GD, Rice LG, Plattner RD, Wilson TM. 1990. Production of fumonisins by Fusarium moniliforme and Fusarium proliferatum isolates associated with equine leukoencephalomalacia and a pulmonary edema syndrome in swine. Applied Environmental Microbiology 56: 3225-3228. Rotter BA and Oh Y-N. 1996. Mycotoxin fumonisin B1 stimulates nitric oxide production in a murine micaphage cell line. Natural Toxins 4: 42-50.
145
Samapundo S, Devliehgere F, De Meulenaer B, and Debevere J. 2005. Effect of water activity on growth and the relationship between fumonisin production and the radial growth of Fusarium verticillioides and Fusarium proliferatum on corn. Journal of Food Protection 68(5): 1054-1059. Savard ME, Sinha RC, Lau R, Seguin C, and Buffam S. 2003. Monoclonal antibodies for fumonisins B1, B2 dan B3. Food and Agricultural Immunology 15(2): 127-134. Schroeder JJ, Crane HM, Xia J, Liotta DC, and Merril AH Jr. 1994. Disruption of sphingolipid metabolism and stimulation of DNA synthesis by fumonisin B1: A molecular mechanism for carcinogenesis associated with Fusarium moniliforme. Journal of Biological Chemistry 269 (5): 3475-3481. Shephard GS and Sewram V. 2004. Determination of mycotoxin fumonisin B1 in maize by reversed-phase thin-layer chromatography: a collaborative study. Food Additives and Contaminants 21(5): 498-504. Shephard GS, Sydenham EW, Thiel PG, and Gelderblom WCA. 1990. Quantitiative determination of fumonisin B1 and B2 by high-performance liquid chromatography with fluorescence detection. Journal Liquid Chromatography 13: 2077-2087. Shephard GS, Yazdanpanah H, Rahimian H, and Safavi N. 2000. Natural occurrence of fumonisins in corn from Iran. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 1860-1864. Shephard GS. 1998. Chromatographic determination of the fumonisin mycotoxins. Journal of Chromatography 815: 31-39. Smith CJ. 1990. Evolution of the Immunoassay. In Development and Application of Imunoasai for Food Analysis. J.H. Rittenburg (Ed.). Elsevier Applied Science, London and New York, 3-27. Smith GW, Constable PD, Bacon CW, Meredith FI, and Haschek WM. 1996. Cardiovascular effects of fumonisins in swine. Fundamental and Applied Toxicology 31: 160-172. Smith GW, Constable PD, Simith AR, Bacon CW, Meredith FI, Wollenberg GK, and Haschek WM. 1996c. Effect of fumonisin-containing culture material on pulmonary clearance in swine. American Journal of Veterinary Research 57: 1233-1238.
146
Smith GW, Constable PD, Tumbleson ME, Rottinghaus GE, and Haschek WM. 1999. Sequence of cardiovascular changes leading to pulmonary edema in swine fed culture material containing fumonisin. American Journal of Veterinary Research 60: 1292-1300. Smith GW, Constable PD, Tumbleson, ME, Rottinghaus GE, and Haschek WM. 1999. Sequence of cardiovascular changes leading to pulmonary edema in swine fed culture material containing fumonisin. American Journal of veterinary Research 60: 1292-1300. Smith JS and Thakur RA. 1996. Occurence and fate of fumonisins in beef. Advances in Experimental Medicine and Biology 392: 39-55. Spotti M, Caloni F, Fracchiolla L, Pompa G, Vigo D, and Maffeo G. 2001. Fumonisin B1 carry-over into milk in the isolated perfused bovine udder. Veterinary and Human Toxicology 43(2): 109-111. Sugita-Konishi Y, Nakajima M, Tabata S, Ishikuro E, Tanaka T, Norizuki H, Itoh Y, Aoyama K, Fujita K, Kai S, and Kumagai S. 2006. Occurrence of aflatoxin, ochratoxin A, and fumonisin in retail foods in Japan. Journal of Food Protection 69 (6): 1365-1370. Sydenham EW, Shephard GS, and Thiel PG. 1992. Liquid chromatographic determination of fumonisin B1, B2, and B3 in foods and feeds. Journal of AOAC International 75(2): 313-318. Sydenham EW, Shephard GS, Thiel PG, Bird C, and Miller BM. 1996. Determination of fumonisins in corn: Evaluation of competitif immunoassay and HPLC techniques. Journal of Agricultural and Food Chemistry 44: 159-164. Sydenham EW, Thiel PG, Marasas WFO, Shephard GS, van Schalkwyk DJ, and Koch KR. 1990. Natural occurrence of fusarium mycotoxins in corn from low and high oesophageal cancer prevalence areas of the Treanskei, Southern Africa. Journal of Agricultural and Food Chemistry 38: 19001903. Szurdoki F, Trousdale E, Ward B, Gee SJ, Hammock BD and Gilchrist DG. 1996. Synthesis of protein conjugates and development of immunoassays for AAL toxins. American Chemical Society:1-8. Tang L, Cai Q, Wang Z, Luo H, Wang S, Xie Y, Yu J, Wang K, Hu X, Huang T, Su J, Sun G, and Wang JS. 2005. Validation of fumonisin biomarkers for studying human cancer risks. Proceedings of American Association for Cancer Research 46.
147
Thiel PG, Marasas WFO, Sydenham EW, Shephard GS, and Gelderblom WCA. 1992. The implication of naturally occuring levels of fumonisins in corn for human and animal health. Mycopathologia 117: 3-9 Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology: An Introduction. 6th Ed. W. B. Saunders Company. A Harcourt Health Science Company. The Courtis Center Independence Square West. Philadelphia, Pensylvania 19106, 69139 Torres MR, Sanchis V, and Ramos AJ. 1998. Occurrence of fumonisins in Spanish beers analyzed by an enzyme-linked immunosorbent assays method. International Journal of Food Microbiology 39: 139-143. Trisiwi EA. 1996. Identifikasi kapang penghasil mikotoksin pada pakan ayam pedaging dan petelur di kotamadya Bandar Lampung. Skripsi Sarjana, Universitas Lampung Uhlinger C. 1997. Leukoencephalomalacia. The veterinary clinics of North America, equine practice 13: 13-20. Usleber E, Straka M, Terplan G. 1994. Enzyme immunoassay for fumonisin B1 applied to corn-based food. Journal of Agricultural and Food Chemistry 42: 1392-1396. Van der Gaag B, Spath S, Dietrich H, Stigter E, Boonzaaijer G, van Osenbruggen T, and Koopal K. 2003. Biosensors and multiple mycotoxin analysis. Food Control 14: 251-254. Wang S, Quan Y, Lee N, and Kennedy IR. 2006. Rapid determination of fumonisin B1 in food samples by enzyme-linked immunosorbent assay and colloidalgol immunoassay. Journal of Agricultural and Food Chemistry 54: 2491-2495. Williams LD, Meredith FI, Riley RT. 2004. Fumonisin-ortho-phtaldialdehyde derivative is stabilized at low temperature. Journal of Chromatography B 806:311-314. Yamashita A, Yoshizawa T, Aiura Y, Sanchez P, Dizon EI, Arim RH, and Sardjono. 1995. Fusarium mycotoxin (fumonisins, nivalenol and zearalenone) and aflatoxins in corn from southeast Asia. Bioscience of Biotechnology Biochemistry 59:1804-1807. Yeung JM and Newsome WH. 1995. Biotin-streptavidin complex as sensitive enhancer for enzyme-linked immunosorbent assay for foods. In New Frontiers in Agricultural Immunoassay. Kurtz D, Skerrit JH, Stanker I, Eds.; AOAC International Chapter 12: 163-170.
148
Yeung JM, Prelusky DB, Savard ME, Dang BDM, and Robinson LA. 1996. Sensitive imunoasai for fumonisin B1 in corn. Journal of Agricultural and Food Chemistry 44: 3582-3586. Yu FY and Chu FS. 1999. Production and characterization of antibodies against fumonisin B1. Journal of Food Protection 59: 992-997. Yu FY and Chu FS. 1999. Production and characterization of a monoclonal antianti-idiotype antibody against fumonisin B1. Journal of Agricultural and Food Chemistry 47(11): 4815-4820. Yu FY and Chu FS. 1998. Analysis of fumonisins and Alternaria alternata toxins by liquid chromatography-enzyme-linked immunosorbent assay. Journal of AOAC International 81(4): 749-756. Zang H, Nagashima H, and Goto T. 1997. Natural occurance of mycotoxins in corn, samples from high and low risk areas for human esophageal cancer in China. Mycotoxins 4: 29-35. Zola H. 1987. Monoclonal Antibodies: A manual of techniques. CRP Press, Inc. Boca Raton, Florida: 23-87.
149
MAAF HALAMAN INI PADA LEMBAR ASLINYA MEMANG TIDAK ADA