PROBLEMATISASI IDENTITAS DALAM TIGA NOVEL ABDULRAZAK GURNAH
Oleh: Ani Hanifah1
ABSTRACT This research focuses on the problems of multicultural identities that are discussed in three Abdulrazak Gurnah’s novels, the titles of which are Admiring Silence, By the Sea, and Desertion. This problems of identity are investigated by the analysis of the narrative strategy. This research uses the theories of narrative proposed by Chatman (1994) accompanied by the theories of postcolonial related to the problems of identity by Stuart Hall (1994) and Homi Bhabha (1984, 1994). This research finds that the narrative strategy in the novels problematizes the identities of the characters in multicultural societies in the various aspects influencing the formation of identities, namelyreligions, languages, cultures, nations, and skin colors. Based on the analysis, it can be concluded that the identities of the characters in the novels arepresented as ambiguous. Keywords: problematization of identity, multiculturalism, narrative strategy, ambiguity
ABSTRAK Penelitian ini berfokus pada permasalahan identitas multikultural dalam tiga novel Abdulrazak Gurnah yang berjudul Admiring Silence, By The Sea, dan Desertion, yang dibahas melalui analisis terhadap strategi naratif dalam novel. Penelitian ini menggunakan teori naratif yang diajukan oleh Chatman (1980) dan 1 Mahasiswi S1 Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
Bakhtin(1998) serta teori-teori pascakolonialisme yang berkaitan dengan permasalahan identitas yang diajukan oleh Stuart Hall (1994) dan Homi Bhabha (1984, 1994). Penelitian ini menemukan bahwa strategi naratif yang digunakan dalam ketiga novel mempermasalahkan identitas karakter dalam masyarakat multikulturalmelalui beberapa aspek yang mempengaruhi pembentukan identitas, yaitu agama, bahasa, budaya, warna kulit dan latar belakang bangsa.Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa identitas karakter dalam tiga novel disajikansebagai identitas yang taksa. Kata Kunci: problematisasi identitas, multikulturalisme, poskolonial, strategi naratif, ambiguitas
PENDAHULUAN Dalam tiga novel karya Abdulrazak Gurnah yang berjudul Admiring Silence, By the sea, dan Desertion, strategi naratif digunakan untuk menyajikan permasalahan identitas yang dialami oleh masyarakat Zanzibar, yang digambarkan sebagai masyarakat multikultural bekas koloni Inggris. Identitas dalam ketiga novel ini dibentuk berdasarkan latar belakang agama, bahasa, budaya, warna kulit, dan bangsa. Permasalahan identitas muncul karena dalam masyarakat tersebut orang-orang dengan latar belakang berbeda hidup dalam satu tempat dan menjadi lebih rumit tidak hanya dengan adanya konflik antara latar belakang yang berbeda, tetapi juga antar-individu dengan latar belakang yang sama. Isu yang ditampilkan dalam ketiga novel berkaitan erat dengan sejarah Afrika Timur, khususnya Zanzibar sebagai bangsa yang multikultural dan multietnis serta latar Abdulrazak Gurnah yang merupakan penulis asli Zanzibar dan melanjutkan pendidikan di Inggris.Hal ini berdasarkan tulisan mengenai sejarah dari Hashim (2009) dan Lodhi (2004) serta esai Abdulrazak Gurnah sendiri yang berjudul Writing and Place. Ketiga tulisan tersebut menunjukan bagaimana isu dalam novel berkaitan erat satu sama lain dengan sejarah Zanzibar
sebagai bangsa yang multikultural yang masyarakatnya mengalami permasalahan identitas. Konteks sejarah dan permasalahan identitas tersebut disampaikan melalui gaya penceritaan yang kompleks. Dengan adanya strategi penceritaan yang kompleks tersebut, diperlukan adanya penelitian mengenai bagaimana penyajian permasalahan identitas dengan menelaah lebih jauh aspek narattifnya. Hal ini dilakukan dengan menganalisis siapa yang berbicara, siapa yang dibicarakan, dan bagaimana cara penyajian ceritanya. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk 1) Menunjukan keterkaitan strategi naratif yang digunakan dengan pembentukan identitas karakter dalam ketiga novel tersebut, 2) Mendeskripsikan bagaimana fitur-fitur tekstual dan gaya penceritaan membangun usaha teks untuk menjadi objektif terkait dengan siapa yang berbicara, siapa yang dibicarakan, dan gaya penceritaannya. Dalam melakukan penelitian ini, saya menggunakan teori poskolonial mengenai identitas dalam masyarakat multikultural yang diusung Stuart Hall (1994) dan Homi Bhabha (1984, 1994). Untuk meneliti strategi naratif dalam ketiga novel ini, saya menggunakan teori yang diajukan Chatman (1980) dan Bakhtin (1998).Dengan demikian, penelitian ini membatasi objek permasalahan identitas budaya pada individu dalam masyarakat multikultural melalui penelaahan terhadap strategi naratif yang digunakan dalam ketiga novel.
PEMBAHASAN Tinjauan Pustaka Hall (1994) menyebutkan bahwa identitas bukanlah suatu produk yang bersifat tetap dan merupakan suatu hasil yang bersifat ajeg, tetapi merupakan sesuatu yang senantiasa bisa berubah. Ketidaktetapan identitas ini sejalan dengan teori yang ditawarkan Bhabha (1984) mengenai individu yang ‘meniru’ individu lain sehingga menjadi ‘individu baru’ yang berbeda. Bhabha menyebut individu
yang terpengaruh ini dengan “subject to a difference that is almost the same, but not quite.” (1984: 126), hampir serupa, tapi tak sama. Teori yang ditawarkan kedua tokoh tersebut saling berkaitan dan berhubungan erat dengan permasalahan identitas dalam ketiga novel ini. Selain itu, Bhabha juga menawarkan konsep The Third Space yang merupakan suatu konsep mengenai pihak yang mampu menerjemahkan perbedaan-perbedaan yang ada antara dua pihak yang saling berbeda. Posisi Third Space ini mampu memandang tidak hanya berdasarkan sudut pandang salah satu dari dua pihak yang berbeda, tapi berdasarkan kedua pihak yang berseberangan sekaligus, sehingga saya melihat adanya objektivitas. Hal ini karena posisi Third Space ini tidak memihak salah satunya, tetapi berada di luar kedua pihak tersebut dan menciptakan posisi baru di luar keduanya. Dalam hal naratif, teori yang digunakan adalah teori dari Chatman (1980) mengenai tataran wacana dalam suatu naratif, beberapa diantaranya adalah mengenai alur komunikasi naratif dan suara serta sudut pandang. Alur komunikasi yang dimaksud adalah bagaimana suatu cerita dikomunikasikan dari yang disebutnya sebagai the real author hingga the real reader. Khusus mengenai suara dan penyuaraan, saya juga menggunakan teori Bakhtin (1998) mengenai multiple voices yang disebutnya sebagai polyphony. Selain Polyphony, teori yang juga berkaitan dengan multiple voices adalah teori Bakhtin yang dikenal sebagai carnival and carnivalesque. Berbeda dengan polifoni, carnival tidak hanya sebatas mengenai banyaknya suara, tetapi juga adanya pelanggaran batas batas di dalamnya (Bakhtin, 1998). Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah tiga novel karya Abdulrazak Gurnah yang berjudul Desertion (2005), By the Sea (2002), dan Admiring Silence(1996). Penelitian ini dilakukan dengan mengklasifikasikan isu identitas berdasarkan unsur pembentuk identitas yang disajikan dalam ketiga novel, yakni agama, budaya, bahasa, warna kulit, dan bangsa dengan menggunakan teori Hall (1994) dan Bhabha (1984, 1994). Kemudian teknik naratifnya diteliti dengan menggunakan teori Chatman (1980) dan Bakhtin (1998). Setelah itu, ditarik
kesimpulan mengenai bagaimana teks mempermasalahkan identitas melalui strategi naratif berdasarkan aspek-aspek pembentuk identitas yang telah disebutkan sebelumnya. Pembahasan Ketiga novel ini sama-sama menyajikan Zanzibar sebagai salah satu latar tempat cerita terjadi. Zanzibar disajikan sebagai masyarakat yang terdiri dari orang-orang dengan latar belakang yang sangat beragam. Keberagaman yang ada dalam masyarakat multikultural tersebut menimbulkan adanya saling memengaruhi satu sama lain karena adanya proses transaksi antar pihak baik antara pihak dengan latar belakang yang berbeda hingga yang hampir sama. Proses transaksi yang terjadi memunculkan adanya kelompok-kelompok tertentu. Berdasarkan proses tersebut, saya mengelompokkan masyarakat dalam novel menjadi empat kelompok utama, yakni Easterner (orang kulit hitam), Westerner(orang kulit putih), westernized Easterner (orang kulit hitam yang terwesternized), dan easternized Westerner (orang kulit putih yang tereasternized).Easterner dan Westerner merupakan kelompok yang belum terlalu terpengaruhi satu sama lain dan masih berusaha berpegang teguh dengan keEastern-an dan ke-Western-annya, sedangkan kelompok westernized Easterner, dan easternized Westernermerupakan kelompok Easterner dan Westerner yang telah mendapatkan pengaruh. Pengelompokkan tersebut memudahkan saya untuk menganalisis pola naratif yang berkaitan dengan bagaimana posisi narator dan perbandingannya dengan posisi karakter dalam cerita. Melalui sikap dan cara pandang terhadap isu-isu di sekitarnya, saya menyimpulkan bahwa narator dalam ketiga novel tersebut termasuk kedalam kelompok westernized Easterner, yakni orang kulit hitam yang terpengaruh budaya barat, baik melalui proses pendidikan atau pun karena telah lama tinggal di antara orang-orang kulit putih. Hasil pengelompokkan ini kemudian digunakan sebagai salah satu acuan dalam analisis terhadap alur naratif untuk mengetahui bagaimana kaitannya dengan permasalahan identitas. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa permasalahan identitas dalam tiga novel ini dibangun berdasarkan perbedaan dalam beberapa aspek yang membentuk identitas itu sendiri. Aspek-aspek tersebut adalah agama, budaya,
bahasa, warna kulit dan latar belakang bangsa. Agama, secara keseluruhan, ditampilkan dalam By The Sea sebagai suatu pengaruh budaya yang dibawa pendatang ke Zanzibar yang membuat warga asli Zanzibar kehilangan keZanzibarannnya. Dalam Desertion, strategi penceritaan yang digunakan, yakni dengan menggunakan banyak narator yang bersuara, menyiratkan usaha teks untuk melegitimasi suatu kegiatan yang dianggap dosa oleh konsep Islam yang dianut masyarakat dalam novel tersebut dengan merasionalisasi perbuatan tersebut sehingga berkesan berterima. Salah satu contohnya adalah dengan menyebutkan alasan kenapa seseorang menjadi pemabuk dengan segala permasalahan yang dihadapi oleh tokoh tersebut. Berbeda dengan aspek agama, aspek budaya di sini lebih mengacu kepada tingkat keberadaban seseorang. Hasil akhir mengenai aspek ini menunjukan bahwa konsep beradab menjadi kabur karena setiap bangsa mempunyai penilaian berbeda mengenai konsep beradab atau tidak beradab, sehingga tidak memiliki definisi yang mutlak sama bagi semua bangsa. Aspek bahasa berkaitan erat dengan fungsi bahasa itu sendiri. Bahasa dalam ketiga novel ini, selain menjadi media untuk penyampaian cerita, juga menjadi media bagi karakter yang diceritakan tidak mampu berbahasa Inggris melalui suara narator. Bahasa juga menujukkan ketidakjelasan identitas, karena satu individu dari bangsa tertentu mampu untuk menguasai lebih dari satu bahasa, sehingga kemampuan seseorang dalam berbahasa juga menunjukkan ketidakpastian identitas karakter. Aspek yang terakhir, yakni bangsa dan warna kulit bekaitan dengan istilah homeland dan perbedaan identitas berdasarkan warna kulit. Permasalahan homeland disini yakni mengenai isu displacement, bahwa seseorang yang dilahirkan di suatu tempat, belum tentu mempunyai sense of belonging terhadap tempat kelahirannya. Rasa nyaman yang diberikan tempat lain memungkinkan seseorang untuk menganggap tempat baru tersebut sebagai homeland-nya. Hal ini juga menunjukkan ketidakjelasan identitas seseorang berdasarkan unsur geografisnya, bahwa tempat seseorang dilahirkan belum tentu menunjukkan konsep identitas seseorang tersebut secara pasti. Ketidakjelasan identitas ini juga berkaitan dengan warna kulit. Identitas tidak bisa dengan sederhana dipisahkan berdasarkan warna kulit hitam dan putih, tetapi lebih kompleks dari itu, karena, karakter dengan warna kulit yang sama belum tentu
memiliki identitas yang sama, misalnya dalam novel By the Sea, ketika proses pembebasan tahanan berbangsa Oman di suatu penjara di Zanzibar. Pemisahan tersebut dilakukan berdasarkan ciri-ciri fisik dari para narapidana. Akan tetapi narator menyebutkan bahwa perbedaan itu menjadi tidak jelas, karena berdasarkan unsur historisnya, banyak keturunan dari kedua bangsa tersebut, sehingga tidak ada ciri fisik yang pasti yang dapat membedakan kedua bangsa tersebut. Dengan demikian, jelas bahwakeempat aspek tersebut menunjukan ketidakpastian dan ketidakajegan konsep identitas. Hasil analisis terhadap strategi naratif menunjukan bahwa terdapat beberapa kesamaan pola naratif dalam ketiga novel yang saya bahas. Pola naratif pada Desertion hampir sama dengan By the Sea dalam hal banyaknya narator yang bersuara. Strategi yang melibatkan lebih dari satu narator tersebut sesuai dengan konsep yang diajukan Bakhtin (1998) yaitu carnival.Bakhtin (1998) mendefinisikan konsep ini sebagai suatu teknik yang memungkinkan berbagai pihak untuk berperan aktif sehingga batas hirarkis antara pihak-pihak tersebut menjadi kabur.Asumsi saya mengelompokkan dua novel ini sesuai dengan konsep Bakhtin berdasarkan beberapa indikator.Selain melibatkan banyak suara, dalam kedua novel tersebut juga terdapat banyak penyajian pelanggaran, baik dalam segi naratif, maupun pelanggaran norma-norma yang berlaku dalam masyarakat pada novel tersebut.Pelanggaran dalam segi naratif misalnya dengan adanya ketidakjelasan antara objektivitas dan subjektivitas. Di satu sisi, banyaknya suara narator menyiratkan adanya usaha untuk menampilkan ceritanya sebagai cerita yang objektif dengan menampilkan beragam perspektif, tetapi di sisi lain terdapat subjektivitas dari narator utama sendiri, yang mempunyai kuasa untuk menentukan siapa yang berhak atau tidak berhak untuk bersuara. Sedangkan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang disajikan dalam tiga novel misalnya dengan cara narator yang berani melanggar batas-batas yang ada. Salah satu sikap narator tersebut yaitu dengan merasionalisasi perbuatan yang tidak berterima dengan aturan Islam yang dianut sebagian besar masyarakat Zanzibar. Kesamaan pola naratif juga saya temukan dalam By the Sea dan Admiring Silence.Narator dalam kedua novel ini sama-sama bersikap terbuka kepada
narratee dengan menyampaikan pikiran dan pandangannya mengenai permasalahan yang ia lihat di sekitarnya secara gamblang akan tetapi bersikap tertutup terhadap karekter dalam cerita. Dua sikap yang berlawanan tersebut memunculkan persepsi yang berbeda antara karakter dalam cerita dengan narratee. Narratee dibangun sebagai sosok yang lebih tahu daripada karakter lain dalam cerita, baik tokoh berkulit hitam, maupun berkulit putih. Secara keseluruhan, saya menyimpulkan bahwa melalui strategi naratif yang digunakan, perspektif narator utama pada ketiga novel ini sesuai dengan konsep perspektif ketiga selain self dan other yang Bhabha (1994) sebut sebagai The Third Space.Saya melihat bahwa konsep The Third Space yang diajukan Bhabha ini berkaitan dengan posisi narator utama yang menyampaikan cerita kepada narratee. Narator utama pada ketiga novel yang saya kelompokkan sebagai westernized Easterner, bisa melihat dengan menggunakan cara pandang yang berbeda, yakni perspektif yang tidak berdasarkan ‘penglihatan’ orang kulit hitam maupun karakter kulit putih, tetapi melalui sudut pandang yang lain di luar kedua kelompok tersebut. Melalui narasi dari narator utama yang merupakan westernized Easterner, identitas disajikan sebagai sesuatu yang tidak ajeg, dan selalu berubah-ubah. Temuan ini sesuai dengan konsep identitas yang diajukan Hall (1994), yang menyatakan bahwa identitas itu bukan sebuah produk jadi, tetapi sesuatu yang terus berubah. Berdasarkan perspektif narator utama tersebut, kelompok yang telah melampaui batas-batas antar-kelompok berbeda, yakni westernized Easterner dan easternized Westerner, selalu ditampilkan positif karena selalu digambarkan menjadi karakter yang lebih tahu dan lebih bisa memahami perbedaan. Alasan tersebutlah yang menjadi dasar asumsi saya mengapa posisi narator dalam alur naratif tiga novel ini sesuai dengan konsep The Third Space yang diusung Bhabha (1994), bahwa perspektif ini memungkinkan munculnya kemampuan untuk melampaui batas yang berlaku, dan kemampuan beradaptasi dengan latar belakang yang beragam.
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang telah disajikan sebelumnya, saya menemukan bahwa ketiga novel Gurnah yang berjudul Desertion, By the Sea, dan Admiring Silence menyajikan cerita melalui strategi naratif yang kompleks. Kompleksitas dari strategi naratif tersebut misalnya dengan penggunaan banyak narator dan penyajian sikap narator yang terang-terangan terhadap narratee tapi tertutup terhadap karakter lain dalam novel. Berdasarkan hasil temuan tersebut, saya berasumsi bahwa strategi naratif yang kompleks, selain sebagai media untuk menyampaikan cerita, juga digunakan untuk mempermasalahkan identitas pada masyarakat Zanzibar yang digambarkan sebagai masyarakat yang multikultural dan multietnis. Narator utama pada ketiga novel yang saya bahas merupakan kelompok westerized Easterner, yakni orang kulit hitam yang terpengaruh budaya barat, baik melalui proses pendidikan atau pun karena telah lama tinggal di antara orangorang kulit putih. Aspek dalam komunikasi naratif yang paling utama dan sangat berkaitan dengan pembentukan identitas karakter adalah posisi dari narator itu sendiri. Posisi narator tersebut sangat penting karena narator-lah yang berhubungan dengan narratee dan memosisikan narratee dalam alur komunikasi narasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut, selain dapat mengetahui bagaimana problematisasi identitas melalui permainan posisi narator, juga bisa mengetahui bagaimana narator memosisikan dan membangun identitas narratee-nya. Aspek-aspek pembentuk identitas yang telah dibahas sebelumnya merupakan beberapa aspek yang menjadi perhatian narator dalam menarasikan cerita. Saya berasumsi bahwa narator selain membangun pandangan narratee, juga membangun karakternya sendiri melalui narasi mengenai keempat aspek pembentuk identitas yakni agama, bahasa, budaya, dan warna kulit serta latar belakang bangsa. Berdasarkan narasi yang disampaikan, saya menyimpulkan bahwa tidak ada satu konsep pun yang memiliki sistem yang ajeg, karena semuanya selalu mendapat pengaruh sehingga selalu berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan teori mengenai identitas yang diajukan Hall (1994) bahwa identitas itu bukan hanya mengenai being tetapi juga mengenai becoming, bahwa identitas
itu bukanlah suatu hasil jadi, akan tetapi merupakan suatu proses produksi yang tidak pernah berhenti. Sudut pandang narator yang tidak jelas posisinya antara hitam atau putih justru menunjukan bahwa ia bisa dengan bebas berpindah-pindah antara keduanya dan melanggar batas-batas yang ada. Perspektif ini berkaitan dengan teori yang diajukan Bhabha (1994), yakni The Third Space. Dengan adanya perspektif ini, memungkinkan adanya proses ‘menerjemahkan’ antar-kelompok dengan latar belakang berbeda sehingga memungkinkan adanya prosis minimalisasi ketimpangan antar-kelompok tersebut. Gambaran positif dari narator, misalnya dengan menyajikannya lebih mengetahui dan memahami mengarahkan dan memosisikan narratee untuk sama-sama melihat melalui perspektif Third Space tersebut, bahwa melalui perspektif ini, narratee bisa memiliki pandangan yang lebih luas, tidak terbatas kelompok tertentu saja. Perspektif ini memungkinkan adanya “assimilation of contraries” (Harris sebagaimana dibahas oleh Bhabha (1994)) yang membentuk adanya identitas baru yang ambigu yang kemudian menjadi The Third Space yang bisa melihat baik melalui penglihatan orang kulit putih, maupun orang kulit hitam.Dengan demikian, kesimpulan akhir dari penelitian ini adalah bahwa identitas multikultural dalam ketiga novel Gurnah ini disajikan sebagai sesuatu yang ambigu.
DAFTAR SUMBER Bakhtin, Mikhail. (1998). Carnival & Carnivalesque.Dalam J. Storey (Ed.), Cultural Theory and Popular Culture (Edisi 2). Athens: The University of Georgia Press. Bal, Mieke. (2009). Introduction to the Theory of Narrative (Edisi 3). Toronto: University of Toronto Press. Bhabha, Homi. (1984). Of Mimicry and Man: The Ambivalence of Colonial Discourse. Discipleship: A Special Issue on Psychoanalysis, Volume 28, 10. _______. (1994). Cultural Diversity and Cultural Differences.Dalam A. Bill, G. Griffiths & H. Tiffin (Eds.), Post-Colonial Studies Reader. London: Routledge. Chatman, Seymour. (1980). Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film. Ithaca: Cornell University Press.
Gurnah, Abdulrazak. (1996). Admiring Silence. New York: The New Press. _______. (2002). By the Sea. London: Bloomsbury. _______. (2004). Writing and Place. Diakses tanggal 15 Mei, 2012, darihttp://www.ou.edu/worldlit/essays/Gurnah-Writing-and-Place.html _______. (2005). Desertion. New York: Phanteon Books. Hall, Stuart. (1994). Cultural Identity and Diaspora.Dalam P. Williams & L. Chrisman (Ed.), Colonial Discourse and Post-Colonial Theory. Great Britain: Cambridge University Press. Hashim, Nadra O. (2009). Language and Collective Mobilization: The Story of Zanzibar. Plymouth: Lexiton Books. Lodhi, Abdulaziz. Y. (1994).Muslims in Eastern Africa- Their Past and Present.Nordic Journal on African Studies, 3, 10.