PANDANGAN TIGA NOVEL GEORGE ORWELL TERHADAP KERJA Oleh Eki Tuteng Ramlan 1 Abstrak Artikel yang berjudul “Pandangan Tiga Novel George Orwell Terhadap Kerja” menganalisis bagaimana narator memandang aktivitas kerja yang dilakukan oleh para tokoh utama dalam tiga novel George Orwell. Objek dari penelitian ini adalah tiga novel karya George Orwell yang berjudul: A Clergyman’s Daughter, Keep the aspidistra Flying, dan Coming up for Air. Ketiga novel tersebut mengangkat isu seputar aktivitas kerja yang dilakukan para tokoh utama. Isu utama dalam analisis ketiga novel ini adalah melihat bagaimana narator menyuarakan pandangannya terhadap aktivitas-aktivitas kerja yang dilakukan para tokoh utama. Untuk menelaah lebih lanjut bagaimana narator dalam ketiga novel tersebut memandang kerja yang dilakukan para tokoh utama, saya menggunakan pendekatan naratologi Seymour Chatman dan teori kerja dan hubungannya dengan kemanusiaaan yang dikemukakan oleh Sean Sayers. Para tokoh utama dalam ketiga novel tersebut harus menjalani aktivitas-aktivitas kerja yang tidak sesuai dengan idealisme yang mereka pegang sehingga mengalami keterasingan dalam diri mereka. Meskipun tidak mendapatkan pemuasan diri dari aktivitas-aktivitas kerja yang mereka jalani, penghasilan yang mereka dapatkan dari aktivitas kerja tersebut lebih dapat memenuhi kebutuhan material dibandingkan aktivitas kerja yang dilakukan untuk mencari pemuasan. Hal tersebut diperkuat oleh kecenderungan narator dalam ketiga novel tersebut untuk lebih menyetujui aktivitas kerja yang dilakukan untuk memperoleh materi.
1
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran program studi Sastra Inggris
Abstract This article entitled “The View of Work in Three Novels Written by George Orwell” analyses the narrators’ view towards main characters’ work activity. The objects of this research are three novels written by George Orwell: A Clergyman’s Daughter, Keep the Aspidistra Flying, and Coming up for Air. The analysis is presented by using covert and overt narrators’ voices. Main characters’ work activities are important issue in these novels. The main issue in the analysis of these three novels is how the narrators see the main characters’ work activities. To see further how the narrators of these three novels view main characters’ work activities, I use Seymour Chatman’s narratological approach and Sean Sayers’ theory about work and its relations to humanity. The main characters of these novels have to face the fact that their work activities don’t fit with their own idealism. This condition makse them feel alienated. Despite their dissastification, the money they earned from those work activities are more capable to fulfil their material needs. The view that material need is a main consideration in a work activity is supported by the narrators in those three novels. Kata Kunci: George Orwell, Narator, Kerja, Idealisme, Kebutuhan Material, Sean Sayers
Pendahuluan George Orwell merupakan seorang penulis yang banyak menghasilkan karya fiksi maupun non-fiksi.. George Orwell sangat terkenal dengan karya-karya novel seperti Animal Farm (1945) dan Nineteen Eighty Four (1949). Namun dalam penelitian ini, saya akan mencoba membahas novel-novel George Orwell yang lain. Novel- novel yang akan saya analisis adalah A Clergyman’s Daughter (1935), Keep the Aspidistra Flying (1936), dan Coming up for Air (1939). Permasalahan yang akan saya bahas dalam penelitian ini adalah persoalan kerja, karena saya melihat bahwa persoalan dalam kerja merupakan isu yang menonjol dalam ketiga novel tersebut. Permasalahan yang dapat mempengaruhi pandangan seseorang terhadap kerja yang saya lihat dalam ketiga novel ini adalah para tokoh tidak mendapatkan pemuasan diri atau kerja tersebut tidak dapat menjadi sebuah Liberating Activity serta perasaan
teralienasi yang dialami oleh mereka. Tidak semua orang berkesempatan untuk mendapatkan sebuah aktivitas kerja yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Namun hal tersebut bukan merupakan sebuah alasan untuk sepenuhnya menghindari aktivitas kerja. Saya akan membahas bagaimana narator melihat situasi para tokoh utama ketika menghadapi kesulitan ketika aktivitas kerja yang mereka lakukan sangatlah jauh dari pemuasan diri.
Bagaimana cara narator melihat permasalahan-
permasalahan yang dihadapi para tokoh utama tersebut akan membantu untuk melihat pandangan narator secara keseluruhan tentang kerja. Dalam ketiga novel yang akan saya analisis, kerja merupakan hal yang sangat berperan besar, terutama dalam kehidupan para karakter utama. Sikap para karakter utama tersebut dalam
memandang kerja sangat berpengaruh pada perkembangan
mereka secara ekonomi maupun pemikiran. Sikap para tokoh tersebut melalui penyajian persepsi oleh narator, serta melalui analisis naratologi, akan menjadi alat bagi saya dalam menganalisis ketiga novel untuk menemukan bagaimana narrator dalam ketiga novel tersebut memandang kerja. Dalam pembahasan pandangan kerja dalam ketiga novel George Orwell, saya akan mencari tahu bagaimana narrator menyajikan aktivitas kerja yang dilakukan para tokoh utama dalam ketiga novel yang akan saya bahas dan bagaimana penyajian aktivitas kerja tersebut bisa mengungkapkan sikap narrator terhadap kerja.
Pembahasan Semua permasalahan yang dialami para tokoh utama dalam ketiga novel tersebut adalah bagaimana aktivitas kerja yang mereka lakukan dapat memenuhi kebutuhan material yang sangatlah penting dalam keberlangsungan hidup mereka. Namun para tokoh utama tersebut harus menghadapi dilema dalam menjalani aktivitas kerja. Mereka harus memilih antara melakukan aktivitas kerja yang dapat dapat menjamin secara materi namun tidak cocok dengan idealisme yang mereka miliki.
Pada novel A Clergyman’s Daughter, tokoh utama yang bernama Dorothy Hare merupakan seorang anak pendeta yang harus mengurus segala urusan rumah tangga. Di awal novel, narator mulai menunjukkan kecenderungannya dalam menunjukkan bahwa aktivitas kerja haruslah dapat menghasilkan materi untuk memenuhi kebutuhan ketika Dorothy harus memikirkan hutang kepada seorang tukang daging yang sudah jatuh tempo. “…the bill at Cargill's, the butcher's, which had been owing for seven months. That dreadful bill--it might be nineteen pounds or even twenty, and there was hardly the remotest hope of paying it--was one of the chief torments of her life”(Orwell, 1935: 3). Menunggak hutang kepada Cargill sang tukang daging digambarkan oleh narator sebagai hal yang membuat hidup Dorothy menderita. Dorothy dalam hal ini sangat berperan besar untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi keluarganya. Ayah Dorothy yang bekerja sebagai pendeta digambarkan tidak dapat menjalankan perannya secara baik sebagai tulang punggung keluarga dalam memenuhi kebutuhan. Hal tersebut diperlihatkan oleh narator ketika Dorothy harus meminta uang kepada ayahnya untuk melunasi hutang kepada Cargill the butcher. Dorothy sangat benci untuk meminta uang kepada ayahnya karena; “At the very best of times getting money out of her father was next door to impossible, and it was obvious that this morning he was going to be even more 'difficult' than usual.”(Orwell, 1935: 11). Bahkan saat sang ayah tidak dalam mood yang buruk pun meminta uang kepadanya merupakan hal yang hampir tidak mungkin. Narator menggambarkan sosok sang ayah sebagai orang yang tidak menyadari akan pentingnya kebutuhan material dalam hidup. Narator menggambarkan sosok ayah Dorothy yang nyaman akan posisinya sebagai pendeta yang tidak perlu memikirkan resiko seperti yang ditanggung oleh para pekerja dalam bidang lain. Rasa nyaman tersebut membuat dirinya seakan-akan mengacuhkan kebutuhan material. Selain hal tersebut, narator menggambarkan sosok ayah Dorothy sebagai orang yang hidup dalam ilusi;
“It meant that he had slipped into an imaginary golden past in which such vulgar things as butchers' bills simply did not exist. There were long periods together when he seemed actually to forget that he was only a poverty-stricken country Rector--that he was not a young man of family with estates and reversions at his back. The aristocratic, the expensive attitude was the one that in all circumstances came the most naturally to him” (Orwell, 1935: 19).
Dalam ilusi tersebut, sang pendeta gagal untuk menyadari bahwa segala sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan
material
harus
diupayakan
oleh
Dorothy.
Dengan
menggambarkan tokoh ayah dengan sifat-sifat “ariscotratic” narator menunjukkan bahwa sang tokoh ayah tersebut enggan untuk melihat kenyataan di sekelilingnya bahwa uang sangatlah penting untuk memenuhi kebutuhan. Dorothy berkesempatan untuk menghidupi dirinya sendiri ketika dalam suatu event ia secara tiba-tiba mengalami hilang ingatan. Saat itu narator menyajikan kondisi yang paling mendasar bagi seseorang untuk melakukan aktivitas kerja demi memenuhi kebutuhan. Narator menggambarkan kondisi sekitar Dorothy dimana makanan merupakan suatu kebutuhan yang sangat sulit didapatkan; “In such circumstances one can only keep alive if one hunts for food as persistently and single-mindedly as a wild beast. Food--that was their sole preoccupation during those three days--just food, and the endless difficulty of getting it” (Orwell, 1935: 61). Kutipan tersebut disajikan oleh narator sebagai gambaran tentang kebutuhan material, dalam hal ini makanan, terhadap keberlangsungan hidup tokoh Dorothy. Kehidupan di jalanan yang Dorothy alami pada saat ia kehilangan ingatan sangatlah berperan penting dalam membentuk pandangan akan pentingnya kerja dalam novel ini. Meskipun Dorothy mengalami kesulitankesulitan dalam aktivitas kerja yang ia lakukan Dorothy tetap berusaha sekuat tenaga
untuk mempertahankan pekerjaannya, berkaca pada apa yang Dorothy alami selama hidup di jalanan. Setelah Dorothy kembali mendapatkan ingatannya, ia bekerja pada sebuah sekolah swasta khusus wanita. Pada saat ini narator mulai menyajikan event-event yang menunjukkan bahwa idealisme dikompromikan jika bisa menghalangi dalam aktivitas kerja. . Melihat cara sekolah tersebut mengajarkan para muridnya Dorothy merasa terpanggil untuk memperbaiki cara mengajar yang menurut ia salah; “…she would do her best; she would do whatever willingness and energy could do to rescue these children from the horrible darkness in which they had been kept” (Orwell, 1935: 134). Dalam kutipan tersebut narator menyajikan niat Dorothy untuk memperbaiki cara mengajar dengan tujuan untuk memperbaiki pendidikan murid-muridnya merupakan sebuah tujuan kerja yang memperlihatkan idealisme dirinya Namun kebebasan Dorothy dalam menuangkan idealismenya dalam aktivitas kerja pada akhirnya harus terhenti karena keberatan yang diajukan oleh para orangtua murid terhadap cara mengajar Dorothy. Meskipun Dorothy mencoba mempertahankan cara mengajarnya kepada para orangtua murid di sekolahnya, pada akhirnya dia harus menuruti kemauan mereka. Dorothy menerima kondisi tersebut tanpa perlawanan yang berarti; “Dorothy understood this; she understood that it was necessary that Mrs Creevy should give her her 'talking to' in front of the parents, so that they might feel that they were getting their money's worth and be satisfied”(Orwell, 1935: 146). Rasa takut Dorothy akan kehilangan sumber pendapatan disebabkan pengalaman dirinya selama menggelandang di jalanan kota London;
“Mrs Creevy's 'talking to' had made Trafalgar Square seem suddenly very much nearer. It had driven into her a far deeper understanding than she had had before of the great modern commandment--the eleventh commandment which has wiped out all the others: 'Thou shalt not lose thy job.'”(Orwell, 1935: 149).
Dalam kutipan di atas narator menjelaskan rasa takut Dorothy terhadap kondisi yang akan terjadi bila seseorang tidak bisa mendapatkan penghasilan melalui bekerja. Narator bahkan menekankan bahwa bekerja sangat penting bagi Dorothy dengan menggunakan istilah dari kitab suci, sesuatu yang tidak asing bagi Dorothy. Melihat dari kutipan tersebut, narator memperlihatkan pandangannya bahwa sebaiknya pemuasan diri dalam bekerja dikesampingkan terlebih dahulu karena hal tersebut dapat menjadi ancaman akan keberlangsungan hidupnya. Pada novel berikutnya yang berjudul Keep the Aspidistra Flying, tokoh utamanya bernama Gordon Comstock yang berpandangan bahwa uang merupakan hal yang terlalu didewakan oleh manusia dalam segala aspek kehidupan, sehingga mereka seolah-olah diperbudak. Oleh karena itu ia memutuskan untuk tidak mengikuti kehidupan ‘memuja uang’. Dengan berpedoman pada idealismenya, ia memutuskan untuk “…refuse the whole business of 'succeeding'; he would make it his especial purpose NOT to 'succeed'.”(Orwell. 1936: 45). Dengan sikap ini Comstock berusaha untuk melakukan aktivitas kerja yang semata-mata tidak untuk mencari uang, karena uang merupakan indikasi yang sangat jelas untuk menentukan kesuksesan seseorang, sedangkan dirinya berusaha menolak kesuksesan. Kerja yang ideal menurut Comstock,
seperti yang diceritakan oleh novel ini, adalah kerja yang dapat menimbulkan pemuasan diri yaitu menulis puisi, yang merupakan hal yang paling diminati oleh Gordon. Pada novel ini narrator mengindikasikan ketidak-berpihakannya terhadap keputusan Gordon untuk tidak menghiraukan kebutuhan materi dalam bekerja melaui penyajian-penyajian yang diperlihatkannya dalam menggambarkan aktivitas kerja sang tokoh Gordon. Ketika menyuarakan pikiran Gordon terkait puisinya, narrator cenderung menggunakan kata-kata yang berkesan sinis; “He was nearly thirty and had accomplished nothing; only his miserable book of poems that had fallen flatter than any pancake. And ever since, for two whole years, he had been struggling in the labyrinth of a dreadful book that never got any further, and which, as he knew in his moments of clarity, never would get any further.”(Orwell, 1936: 9) Menurut narator, buku kumpulan puisi yang berhasil diterbitkan oleh Gordon tidak dapat dijadikan acuan dalam menetapkan standar “accomplishment” terlihat dari perkataan narator yang menyebutkan bahwa buku yang ia buat tidaklah bagus dan tidak ada harapan bagi Gordon untuk mengembangkan bukunya tersebut. Ketika Gordon menjalani aktivitas kerja yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan materi, narator menunjukkan persetujuannya. Sebelum Gordon menjalani kehidupan untuk ‘menjauhi uang’, ia bekerja sebagai seorang copywriter di sebuah perusahaan periklanan bernama New Albion. Tampak jelas bahwa narator melihat bahwa Gordon bisa mendapatkan penghasilan yang cukup dan dapat mencapai kesuksesan ketika bekerja sebagai copywriter di the New Albion. He could compose an ad as though he had been born to it.” (Orwell, 1936: 53). Narator memberikan indikasi tersebut ketika menceritakan kecakapan gordon dalam membuat iklan seakan-akan ia “had been born to it”. Cara Gordon menuliskan iklan digambarkan oleh narator seakanakan Gordon menulis karya puisi seperti terlihat pada kalimat; “The vivid phrase that
sticks and rankles, the neat little para that packs a world of lies into a hundred words-they came to him almost unsought”(Orwell, 1936: 53). Hal ini berbeda dengan ketika narator menggambarkan buku puisi Gordon sebagai “mess of words”. Novel berikutnya yang yang akan saya analisis berjudul Coming up for Air dengan tokoh utama bernama George Bowling. Ia Merasa terperangkap dalam rutinitas kehidupan sehari-harinya yang berkutat dalam aktivitas kerja dan keluarganya, tokoh George ingin merasakan kembali kegiatan yang bisa ia lakukan pada saat ia kecil dengan rasa senang yaitu memancing. Melalui cara narator (yang juga tokoh utama bernama George Bowling) menyajikan karakter dirinya dan tokoh-tokoh lain, dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di sekitarnya, dapat dilihat bagaimana sikap narator terhadap aktivitas kerja. Sikap dirinya terhadap aktivitas kerja sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup berubah seiring berjalannya waktu. Ketika tokoh utama melakukan kilas balik kehidupannya, dapat dilihat bagaimana proses awal narator keluar dari kepolosan masa kanak-kanak memasuki dunia ‘dewasa’ yang menuntutnya untuk melakukan aktivitas kerja. Kesadaran narator terhadap pentingnya kerja mulai terlihat ketika ayahnya mendapat kesulitan dalam menjalankan usahanya, meskipun tidak diutarakan secara langsung. Hal tersebut dapat dilihat pada perubahan sikap yang ditunjukkan oleh tokoh George terhadap kerja. Saat itu ia harus berhenti sekolah dan harus bekerja. Ketika ia masih sekolah dan bisnis ayahnya masih dalam keadaan normal terlihat bahwa dirinya tidak mempunyai ketertarikan apapun terhadap kerja, seperti yang ditunjukkan oleh sikap dirinya terhadap usaha yang dijalani oleh tokoh ayah:
“I'd never taken any interest in the business. I'd never or hardly ever served in the shop, and when, as occasionally happened, Father wanted me to run an errand or give a hand with something, such as hoisting sacks of grain up to the loft or down again, I'd always dodged it whenever possible”(Orwell: 1936: 54)
Seiring berjalannya waktu, sikap yang diperlihatkan oleh narator terhadap aktivitas kerja mulai berubah. Salah satu pemicunya adalah perang. Setelah perang tokoh George tidak memperlihatkan antusiasme yang sama pada saat dia kerja di Grimmet’s. Pada saat awal ia bekerja tokoh George menyajikan dirinya yang penuh semangat dan ambisi dalam menghadapi masa depannya: “I knew I wasn't going to remain a grocer's assistant for ever, I was merely 'learning the trade'. Some time, somehow or other, there'd be enough money for me to 'set up' on my own” (Orwell, 1936: 57). Tampak bahwa pada saat itu tokoh George memancarkan optimisme ketika ia memandang bahwa ia tidak ingin selamanya hanya menjadi pegawai bagi orang lain. Ia memperlihatkan ambisi masa depannya ketika mengatakan bahwa suatu saat ia ingin menjalankan usaha sendiri. Namun sehabis perang, ambisi yang ia tunjukkan di atas tidak terlihat sama sekali: “Here I was, with quite enough money to do the thing I'd been brought up to do and the thing I'd dreamed of for years--that is, start a shop. I had plenty of capital... And yet, if you'll believe me, the idea never occurred to me. I not only didn't make any move towards starting a shop...” (Orwell, 1936: 73).
Kutipan di atas mempertegas perubahan yang terjadi pada diri tokoh George pasca perang. Pada saat itu ia tidak ingat sama sekali tentang rencananya terdahulu untuk membuat usaha sendiri bila ia sudah mempunyai modal yang mencukupi. Dari ucapan narator yang tidak menunjukkan penyesalan, terkait dengan hilangnya keinginan untuk
berwirausaha, tersirat sebuah kekhawatiran narator untuk keluar dari comfort zone seperti yang disajikan oleh narator dalam kutipan berikut: “That was what the Army did to you. It ... gave you a fixed idea that there'd always be a bit of money coming from somewhere” (Orwell, 1936: 1936:73). Sebagai tentara narator merasa nyaman dalam hidupnya karena ia tahu bahwa dirinya akan mendapatkan penghasilan apapun yang terjadi. Dari teks tersebut terlihat bahwa sebagai seorang tentara, tokoh George menjadi terbiasa dengan keamanan dalam hal penghasilan, ia tidak perlu khawatir, dalam situasi apapun ia tidak akan kehilanngan penghasilan bila ia terus bekerja.
Simpulan Dalam pembahasan ketiga novel George Orwell di atas, dapat dilihat bagaimana pandangan narator terhadap sikap masing-masing tokoh utama terhadap kerja. Narator memandang bahwa aktivitas kerja untuk mendapatkan materi sangatlah krusial dan tidak bisa tergantikan meskipun hal tersebut tidak memberikan pemuasan secara psikis serta melelahkan. Walaupun begitu narator mengakui bahwa kurangnya pemuasan diri ataupun waktu leisure dalam kerja dapat mengakibatkan tekanan mental terhadap para tokoh utama. Namun hal tersebut bukanlah menjadi alasan untuk menghindari aktivitas kerja untuk memenuhi kebutuhan materi. Tekanan yang dihadapi para tokoh utama tersebut bila dilihat dari penyajian narator merupakan resiko dalam ekonomi kapitalis era industri dimana uang atau materi menjalankan peran yang sangat signifikan, bahkan bisa menentukan hidup dan mati seseorang.
Dalam setiap novel diceritakan bahwa para tokoh utamanya menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menjalankan aktivitas kerja.
Salah satu kesulitan yang
dihadapi adalah menjalani aktivitas kerja untuk memenuhi kebutuhan meskipun kerja tersebut bertentangan dengan idealisme ataupun tak adanya pemuasan diri. Meskipun mengalami kesulitan dan keterasingan dalam aktivitas kerja, para tokoh utama dalam ketiga novel pada akhirnya tidak mempunyai pilihan untuk menjalankannya. Ketiga narator dalam masing-masing novel melihat bahwa kebutuhan materi dalam hidup para tokoh utama harus diutamakan meskipun mereka menghadapi kesulitan secara mental maupun fisik. Oleh karena itu narator dalam ketiga novel yang telah saya bahas sangatlah menekankan bahwa aktivitas kerja yang tujuannya untuk mendapatkan materi demi memenuhi kebutuhan sangatlah penting bagi para tokoh utama meskipun mereka tidak mendapatkan pemuasan diri dari aktivitas-aktivitas kerja tersebut.
Daftar Sumber Chatman, Seymour. 1980. Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film. New York: Cornell University Press. Orwell, George. 1935. A Clergyman’s Daughter. London: Penguin Books. Orwell, George. 1939. Coming Up For Air. London: Penguin Books. Orwell, George. 1936. Keep the Aspidistra Flying. London: Harcourt Brace Jovanovich. Sayers, Sean. 1998. Marxism and Human Nature. London: Routledge.
Sayers, Sean. 2005.Why Work? Marx and Human Nature, Science & Society, 69, 606616.