PROBLEMATIKA EDUCATIVE PUNISHMENT PADA ANAK USIA DINI DAN UPAYA SOLUSINYA DI TK KUSUMA MULYA DESA SUKOREJO KARANGBINANGUN LAMONGAN M. Khozin Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan e-mail :
[email protected]
Abstract: Implementation of educative punishment for early childhood is the imposition of sanctions or punishments given in early childhood is children aged around 4-8 years of violating the regulations discipline, in order to achieve a goal that is rectifying incorrect behavior in children and apply the value -the value of discipline in early childhood. A and the child's condition multi characteristics, both are influenced by environmental factors and less variation in the implementation of educative methods or punishment can lead to problems of teachers in implementing educative punishment for early childhood, hence the need to study and look for solutions, or alternatively that the implementation educative punishment managed in accordance with the purpose of education. The methodology used in this research is to use the method of observation, interviews, and documentation to achieve results valid and representative data, and can be accounted truth. In this study, the data analysis technique used was qualitative descriptive analysis technique. While the purpose of this study was to find out from various problems, factors, as well as supporting and inhibiting solusi- solution, arising from research on problems of implementation of educative punishment for early childhood and attempt a solution in kindergarten Kusuma Mulya Sukorejo Karangbingun Lamongan. Keywords: Implementation, educative punishment, early childhood pendahuluan Di masa sekarang, pendidikan untuk anak usia dini merupakan dasar dalam pengenalan aspek pengetahuan yang penting. Ini dikarenakan usia dini merupakan awal daya kembang pengetahuan individu seseorang. apalagi, dalam dunia psikologi, masa anak-anak dianggap sebagai masa pengenalan diri dan kecenderungan kemampuan seseorang. Para ahli psikologi dan pendidikan dan bahkan semua orang berpendapat bahwa setiap anak manusia berbeda secara lahir maupun batin, jangankan pada aspek biologis, pada aspek psikologis pun anak manusia berbeda. pendapat ini tidak dapat dibantah, karena memang demikianlah kenyataannya. Coba amati kehidupan dilingkungan masyarakat, anak manusia bukan hanya terdiri dari jenis kelamin wanita dan pria, tetapi juga terdiri dari kelompok umur, mulai dari anak kecil, anak usia pra sekolah, anak remaja, pemuda, dan orang dewasa, termasuk para orang tua lanjut usia. Secara psikologis mereka- mereka itu mempunyai perbedaan-perbedaan dengan karakter mereka masing-masing-masing, ada yang pemarah, ada yang berjiwa sosial, ada yang egois, ada yang cengeng, ada yang pemalas, ada yang
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
234
bodoh, ada yang cerdas, ada yang rajin, ada yang pemurung, dan sebagainya yang semuanya itu dipengaruhi pembawaan dan lingkungan.1 Masa usia dini merupakan masa unik dalam kehidupan anak-anak, karena masa ini merupakan masa pertumbuhan yang paling hebat dan sekaligus masa yang paling sibuk, masa ini adalah masa yang paling tepat untuk anak memulai belajar, karena dapat menumbuhkan nilai-nilai yang sangat diperlukan dalam pertumbuhan kepribadian anak. Pendidikan yang diberikan kepada anak sejak usia dini merupakan suatu investasi yang sangat besar bagu keluarga, bangsa dan agama. Anak adalah generasi penerus keluarga dan penerus bangsa, betapa bahagianya orang tua yang melihat anak berhasil, baik dalam hal pendidikan, berkeluarga, bermasyarakat, dan berkarya. Untuk mewujudkan semua itu yang diperlukan adalah pendidikan. Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada anak usia dini berada pada periode pre operasional yaitu di mana anak belum mampu menguasai operasional mental secara logis, yang dimaksud operasi adalah kegiatan-kegiatan yang diselesaikan secara mental bukan fisik. Periode ini ditandai dengan berkembangnya representasional atau Symbolic Fungtion, yaitu kemampuan untuk, merepresentasikan (mewakili) sesuatu yang dengan menggunakan symbol (kata-kata, gesture /bahasa, gerak, dan benda). Dapat juga dikatakan sebagai Semiotic fungtio, kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol, (bahasa, gamabar, tanda / isyarat, benda, gesture, atau peristiwa).2 Setiap persoalan pendidikan anak dikaji dari berbagai sudut keilmuan secara terpadu. Sebagai contoh, untuk mengembangkan keterampilan motorik kasar pada anak usia 3-4 tahun, kira-kira kegiatan apa yang tepat diberikan. Untuk menjawab hal itu perlu dikaji perkembangan fisik motorik anak usia TK dari segi biologis, psikologi belajar anak, dan ilmu pendidikan jasmani. Contoh lain ialah bagaimana cara menanamkan nilai-nilai kedisiplinan pada anak, untuk menjawab persoalan tersebut ilmu psikologi sangat diperlukan. Oleh sebab itulah seorang guru dituntut untuk menguasai ilmu tersebut karena ilmu psikologi adalah ilmu yang paling berperan dalam mendidik anak usia dini. Berbicara mengenai pendidikan, tidak terlepas peranan pelaku pendidikan itu sendiri yaitu pendidik dan anak didik, selain itu sebuah lembaga pendidikan formal baik itu untuk anak usia dini, menengah, dan kuliah pasti memiliki sebuah tata tertib atau peraturan yang harus dipatuhi dan ditaati oleh para pelaku pendidikan. Tata tertib dan peraturan yang diberlakukan adalah untuk menjaga ketertiban suasana lingkungan belajar tetap kondusif, selain itu peraturan juga diberikan untuk anak agar bisa bersikap disiplin baik itu di sekolah atau pun di masyarakat kelak. Setiap ada peraturan tentunya juga terdapat sanksi atau hukuman yang diberikan kepada setiap pelanggar ketertiban. Pemberian hukuman terhadap siswa terutama pada anak usia dini harus benar-benar memperhatikan psikologi anak, pemberian hukuman yang salah (tidak sesuai dengan psikologi anak) akan sangat mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa anak. Jika hal itu terjadi, maka proses tumbuh kembang anak akan terganggu dan berdampak negatif pada tingkah lakunya. 1 2
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) , 58. Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Jiwa Anak dan RemajaI (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005), 165.
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
235
Menghukum anak bukan perkara yang mudah karena masalah tidak hanya selesai saat seorang guru bisa menahan amarahnya, akan tetapi masalah yang paling penting adalah dampak dari hukuman tersebut, apakah anak mengalami perubahan positif atau malah sebaliknya anak mengalami perubahan yang negatif. Dalam beberapa fenomena yang terjadi adalah anak mengalami mogok belajar, dan cenderung bersikap pasif terhadap materi yang diberikan guru.
Educative Punishment Dalam penjelasan mengenai punishment atau hukuman inii, penulis paparkan beberapa pendapat dari para ahli pendidikan yaitu : a. Menurut Suwarno : menghukum adalah memeberikan atau mengadakan nestapa atau penderitaan dengan sengaja kepada anak yang menjadi asuhan kita dengan maksud supaya penderitaan itu betul-betul dirasakannya untuk menuju kearah perbaikan.3 b. Menurut Restiyah NK : hukuman adalah suatu perbuatan tidak menyenangkan dari orang yang tinggi kedudukannya untuk pelanggaran dan kejahatan. Bermaksud memperbaiki.4 c. Menurut Wens Tan lain dkk mengatakan : bahwa hukuman ialah tindakan pendidikan terhadap anak didik karena melakukan kesalahan dan dilakuakan agar anak didik tidak lagi melakukannya.5 d. Sedangkan menurut H. Mursal H.M.T, Dkk mengatakan bahwa : hukuma adalah suatu perbuatan dimana seseorang sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuan untuk memperbaiki atau melindungi dirinya sendiri dari kecemasan rohani, sehingga terhindar dari segala macam pelanggaran.6 Dari keempat fersi tokoh diatas, satu sama lain saling melengkapi dan menyempurnakan, bila ditarik garis besarnya, keempat definisi diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut : a. Hukuman dapat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan baik jasmani dan rohani yang dilakukan secara sengaja dan sadar pada anak didik atau orang yang berada dibawahnya, agar menjadi sadar dan tidak mengulanginya lagi. b. Hukuman merupakan alat untuk menginsyafkan anak dari kesalahan yang telah diperbuatnya. c. Hukuman mulai dahulu dianggap suatu obat pendidikan yang istimewa kedudukannya. Jika kita telusuri kegiatan proses belajar mengajar, disitu kita akan menjumpai hal-hal yang turut menentukan berhasil tidaknya pendidikan. Hal ini disebut sebagai faktor-faktor pendidikan, sedangkan langkah-langkah yang dambil demi kelancaran proses belajar mengajar ini disebut alat pendidikan. 7 3
Suwarno, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 115. Restuiyah NK, Didaktik Metodik (Bandung: Bumi Aksara, 1986), 73. 5 Tan Lain Wens Dkk, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 57. 6 Zinuddin Dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-ghazali (Bandung: Bumi Aksara, 1986), 6. 7 Sutari Imam Barnadic, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP (Jogjakarta: 1986), 104. 4
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
236
Dari uraian tersebut diatas, dapat dimengerti bahwa dibanding dengan faktor-faktor pendidikan, maka alat-alat pendidikan bias berupa perbuatan-perbuatan konkrit juga berupa nasehat, tuntutan, contoh-contoh hukuman, dan sebagainya, oleh karena itu adalah sangat nyata bahwa hukuman sangat diperlukan dalam dunia pendidikan dan berfungsi sebagai alat yang mencegah agar murid tidak melakukan kesalahan atau pelanggaran. Sedangkan kata educative terambil dari kata dalam bahasa inggris education dan educative yang berarti mendidik, mangasuh, dan pendidikan.8 Sedangkan dalam bahasa yunani pendidikan dikenal dengan nama paedagogie dan paedagogik, paedagogie artinya pendidikan, sedabgkan paedagodik sendiri adalah ilmu pendidikan. Paedagogik atau ilmu pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Menurut MJ. Langeveld, Paedagogik atau ilmu mendidik ialah suatu ilmu yang bukan saja menelaah objeknya untuk mengetahui betapa keadaan hakiki objek itu, melainkan mempelajari pula betapa hendaknya bertindak. Objek ilmu pendidikan ialah proses-proses atau situasi pendidikan”. Sedangkan menurut Brodjonegoro dan Soetedjo, ilmu pendidikan atau paedagogik adalah teori pendidikan, perenungan tentang pendidikan. Dalam arti luas paedagogik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari saat-saat yang timbul dalam praktek pendidikan” 9 Melihat dari dua pengertian diatas, yaitu hukuman/punishment educative, penulis mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan educative pumishment atau hukuman yang mendidik atau hukuman yang berdasarkan kepada rambu-rambu yang terdapat dalam ilmu pendidikan, dan sesuai dengan hukum yang terdapat dalam pendidikan. H. M Arifin mengatakan bahwa hukuman yang edukatif adalah pemberian rasa nestapa pada diri anak didik akibat dari kelalaian perbuatan atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan dengan kata nilai yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya.10 Adapun kedudukan hukuman dalam ilmu pendidikan sendiri adalah sebagai alat pendidikan, selain itu, kita tidak boleh melupakan bahwa hukuman sebagai alt pendidikan tidak dapat terlepas pula dari sistem kemasyarakatan dan kenegaraan yang berlaku pada waktu itu. Nyatalah bahwa menghukum itu suatu perbuatan yang tidak bebas, tidak dapat dilakukan sewenang-wenang atau senaunya menurut kehndak seseorang. Hukuman bikanlah soal perseorangan, melainkan merupakan soal kemasyarakatan. Menghukum adalah perbuatan yang selalu mendapat pengawasan (dikontrol) baik oleh undang-undang dan peraturan, maupun oleh badan-badan kemasyarakatan yang memang bertugas untuk itu. Syarat-syarat educative punishment Hukuman yang bersifat pendidikan (paedagogis) atau educative punishment harus memenyhi syarat-syarat tertentu, adapun syarat-syarat tersebut ialah : 22
Wojowasito Poerwadarminta, Kamus Lengkap Bahasa Inggris (Bandung : Penerbit Hasta, 1999), 49. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Prktis, edisi kedua (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), 3. 10 Wen Tan Lain, Dkk, Dasar dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 5. 23
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
237
a. Tiap-tiap hukuman hendaklah dapt dipertanggung jawabkan, ini berarti bahwa hukuman itu tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang, biarpun dalam hal ini seorang guru atau orang tua agak bebas menetapkan hukuman mana yang akan diberikan kepada anak didiknya, tetapi dalam pada itu kita terikat oleh rasa kasih sayangterhadap anak, peraturan-perturan hukum, dan oleh batas-batas ynga ditentukan oleh pendapat umum b. Hukuman itu sedapat-dapatnya bersifat memperbaiki yang berarti bahwa ia harus mempunyai nikai mendidik (normatif) bagi si terhukun. Memperbaiki kelakukan dan moral anak. c. Hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau pembalasan dendam yang bersifat perseorangan, hukuman yang demikian tidak memungkunkan adanya hubungan antara si pendidik danyang di didik d. Jangan menghukum pada waktu sedang marah, sebab jika demikian, kemungkinan besar hukuman itu tidak adil atau terlalu berat. e. Tiap-tiap hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu. f. Bagi si terhukum (anak) hukuman itu hendaklah dapat dirasakannya sendiri sebagai kedudukan atau pendritaan yang sebenarnya karena hukuman itu, anak merasa menyesal dan merasa bahwa untuk sementara waktu ia kehilangan kasih sayang pendidiknya. g. Jangan melakukan hukuman badan sebab, pada hakikatnya hukuman badan itu dilarang oleh Negara, tidak sesuai dengan peri kemanusiaan, dan merupakan penganiayaan terhadap sesame makhluk, lagi pula hukuman badan tidak meyakinkan adanya perbaikan terhadap si terhuku tetapi sebaliknya, hanya menimbulkan dendam atau sikap suka melawa. h. Hukuaman tidak boleh merusakkan hubungan baik antara si pendidik dan anak didiknya unuk ini, perlulah hukuman itudapat dimengerti dan dipahami oleh anak. Anak dalam hatinya menerima hukuman itu dan merasai keadilan dari hukuman tersebut. i. Sehubungan dengan butir 8 diatas, maka perlulah adanya kesanggupan memberi maaf dari sependidik, sesudah menjatuhkan hukuman, dan setelah itu anak menginsyafi kesalahannya. Dengan kata lain, pendidik hendaknya dapat mengusahakan pulihnya hubungan baik dengan anak didiknya. Dengan dapat terhindar perasaan dan atau sakit hati yang mungkin timbul pada anak.11 Fungsi educative punishment Dikebanyakan rumah tangga, bila orang tua mengalami bahwa memberi hadiah untuk perilaku yang diinginkan tidak berhasil, mereka tidak melakukannya lagi dan sebagai pengganti mulai memberi hukuman untuk perilaku yang tidak diinginkan.
11
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1995), 191192.
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
238
Hukuman merupakan alat bagi orang tua dan guru sebagai pengawas untuk menempatkan diri mereka sebagai penguasa bagi mereka yang diawasi, dalam posisi mendominasi atau memaksa mereka.12 Dalam lingkungan pendidikan agar anak mentaati kaidah peraturan yang harus merasakan adanya sesuatu yang berharga dan patut di hormati, yaitu otoritas moral dengan mana kaidah itu ditanamkan. Ada dua teori yang satu sama lain bertentangan bagi beberapa orang. Hukuman merupakan suatu cara sederhana untuk mencegah pelanggaran terhadap peraturan. Kita harus menghukum si anak, kata mereka agar ia tidak mengulangi kealahannya dan untuk mencegah agar anak-anak lain tidak menirunya. Dengan kata lain, fungsi hukumna pada hakikatnya bersifat preventif yang sepenuhnya berasal dari rasa takut terhadap ancaman hukuman.13 Agar hukuman dapat juga berfungsi terhadap anak didik lain yang tidak sedang melakukan pelanggaran sehingga mereka dapat berhati-hati, maka hendaknya hukuman dilaksanakan dengan sepengetahuan anak didik lain, hal ini sesuai dengan Hadist Nabi yang menyuruh menberitahukan pelnggaran seseorang agar masyarakat berhati-hati yakni yang diriwayatkan oleh Bahza bin Hakim dari ayahnya dari Kakeknya.
Educative Punishment Untuk Anak Usia Dini Drs. Suwarno mengemukakan beberapa persyaratan dalam menjatuhkan hukuman yang disebutkan secara terperinci menjadi sepuluh poin yaitu : a. Hukuman harus selaras dengan kesalahan b. Hukuman harus seadil-adilnya c. Hukuman harus lekas dijalankan agar anak mengerti benar apa sebabnya dan apa maksudnya ia dihukum. d. Memberikan hukuman harus dalam keadaan yang tenang bukan emosi. e. Hukuman harus diikuti dengan penjelasan, sebab bertujuan untuk pembentukan hati. f. Hukuman harus sesuai dengan umur anak. g. Hukuman harus diakhiri dengan pemberian ampun h. Hukuman kita gunakan jika terpaksa, bila alat pendidikan lain tidak dapat dipakai lagi i. Yang memberikan hukuman hanyalah yang cinta pada anak saja, sebab jika tidak berdasarkan cinta, maka hanyalah balas dendam saja. j. Hukuman harus menimbulkan penderiataan yang dihukum dan menghukum (sebab menghukum itu terpaksa)14 Dari kesepuluh poin yang telah disampaiakan diatas yang paling urgen dan harus kita perhatikan adalah pada poin yang ke enam, karena dalam poin adalah poin yang paling 12
Thomas Gordon, Mengajar Anak Berdisiplin Dirumah Dan Di Sekolah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 26-28. 28 Emile Durkheim, Pendidikan Moral; Suatu studi Teori dan Apliasi Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Airlangga, 1990), 116. 14 Suwarno,Pengantar Umum Pendidikan (Jakarata: PT. Rineka Cipta, 1992), 116.
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
239
sering dilupakan dan jarang diperhatikan oleh orang tua ataupun oleh para pendidik, selain itu dalam mayoritas orang banyak mengalami kesulitan ketika harus dihadapakan pada permasalahan yang menyangkut hukuman untuk anak dibawah umur, karena kehidupan social budaya seorang anak dengan orang dewasa yang berbeda merupakan merupakan faktor penting yang mempengaruhi, oleh karena itu cara memperlakukan anak pun berbeda. Imam Ghazali berpendapat bahwasanya batasan seorang anak mendapat hukuman adalh ketika anak telah mencapai usia 5-6 tahun, sedangkan menurut ibnu sina berpendapat bahwa masalah hukuman dalam pendidikan yaitu sejak anak berusia 3 tahun, dengan menggunakan tahapan-tahapa sebagai berikut : a. Pembiasaan berakhlak baik dilakuakan sejak anak berusia 3 tahun b. Hukuman sebaiknya dilakukan untuk memberi peringatan, pada tahap awal lebih baik dengan menggunakan cara halus yang menyentuh hatinya, memberi nasehat dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. c. Jika tidak bisa dengan mengunakan lemah lembut, misalnya dengan persuasive atau takhwif (menakut-nakuti) diseertai dengan wajah yang muram, dan menunjukkan kemarahan didepannya atau sikap yang tidak rela ata perbuatan-perbuatan yan diperbuatnya, dan segala upaya yang dapat menimbulkan rasa jera. d. Memberi dorongan, memuji, dan sebagainya yang sesuai dengan situasi yang ada, kadang kala akan lebih berpengaruh dan lebih dapat mewujudkan tujuan dari hukuman, karena pujian dan doronan dapat menghapus perasaan salah dan berdosa, dan menyesal. e. Jika cara tersebut tidak berhasil, secara darurat harus menggunakan pukulan, maka pukulan henakanya tidak diberikan berulang-ulang, dan hendaknya pukulan pertama telah dapat menimbulkan rasa jera. Namuan demikian , hendaknya jungan menganggap hukuman sbagai satu-satunya cara mendidik anak, cara lain yang dapat berpengaruh terhadap jiwa anak hendaknya juga dicoba.15 Beberapa guru berpikir bahwa mereka perlu berbicara dengan murid-muridnya untuk menjelaskan kesalahan yang mereka lakukan. Hal ini akan menjadi omelan. Percakapan semacam ini tidak akan berjalan efektif dengan anak kecil yang memberi respon lebih baik atas metode berperilaku daripada penjelasan. Hukuman diberikan sebagai akibat dari tindakan salah yang dilakukan oleh seorang anak. Orang tua terkadang melakukan dengan memberikan hukuman fisik terhadap anak yang melakukan kesalahan, jika hukuman fisik diberikan kepada anak yang tidak mengerjakan pekerjaan sekolahnya, orang tua atau guru perlu menyadari bahwa anak-anak tidak mempunyai motivasi terhadap dirinya sendiri untuk melakukan tygas yang tidak menarik baginya. Anak-anak tidak melihat keuntungan jangka panjang tidak seperti orang dewasa. Daniel Fung dan Cai Yi-Ming, memberikan batasan hukuman sebagai berikut : a. Tidak semua anak akan merespon hukuman secara fisik, beberapa anak akan melakukan perlawanan dan akan marah.
15
ali al-jumbulati dan abdul futuh at-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakata: Rineka Cipta, 1994), 126.
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
240
b. Hal ini akan berlangsung sementara, kegunaannya akan berdasarkan rasa takut atas huluman tersebut dan terkadang anak-anak akan bertindak secara impulsif. c. Beberapa anak tidak perlu diberikan hukuman secara fisik. Anak-anak pada masa kritisnya merupakan seseorang yang rentan dan akan mudah dapat terluka. Hukuman secara fisik tidak sesuai pada umur ini. d. Beberapa anak akan memberikan respon lebuh bauk pada sebuah pendekatan pendidikan. e. Anak-anak akan merasa gelisah karena kesalahan yang dibuatnya, seringkali mereka akan menghindari kegelisahan tersebut yang akan membuat mereka menderita dibandingkan mempelajari bagaimana mengatasi permasalahan tersebut. f. Pada saat anakanak melakukan kesalahan dalam berperilaku dan membuat kesulitan kepada orang lain, mereka akan nampak bermasalah dan akan mendapatkan hukuman, seiring dengan berjalanya waktu mereka akan sulit untuk mendapatkan hukuman secara fisik, sehingga hukuman itu akan kehilangan efektifitasnya. g. Secara otoriter, maksud non verbal dari hukuman seringkali digunakan untuk menemukan ketidak patuhan tersebut dibandigkan dengan membuat anak memahami keadaannya, penggunaan hukuman secara fisik akan mengfhasilkan anak-amak yang kurang mampu bersosialisai yang akan berubah menjadi kasar untuk mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. h. Kebutuhan untuk mengulangi hukuman secara fisik akan mengindikasikan terdapat permasalahan emosional yang berat pada diri anak itu atau konflik yang tidak terpecahkan antara orangtua dan anak. Walaupun bemikian, orang tua tidak harus melepaskan tanggung jawab dalam merawat anak dan tetap merawat anak tersebut.16. Anak adalah anak, maka kita tidak boleh memandang sebagai orange dewasa, oleh karena itu kita tidak boleh memperlakukannya seperti orang dewasa, begitupula dalam memberikan hukuman untuk anak terutama untuk anak usia dini. Dalam memberikan hukuman kita tidak diperkenankan untuk memukul anak yang masih dibawah umur, diharapkan kita dalam menghukum anak ialah dengan teguran kata-kata dan memarahinya dengan lembut.dan luwes, karena sebenarnya kata-kata yang lembut akan membekas dihati anak. Problematika yang di Hadapi Guru Pada Implementasi Educative Punishment a. Anak tidak mau melaksanakan hukuman yang telah diberikan kepadanya. Kesulitan yang paling sering dialami adalah anak didik tersebut tidak mau melaksanakan hukuman yang telah diberikan kepadanya. Misalnya, ketika memberikan hukuman kepada anak berupa pemberian tugas yang sering terjadi adalah anak tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru tersebut.sehingga guru merasa
37
Daniel Fung, Cai Yi-Ming, Mengembangkan Kepribadian Anak Dengan Tepat (petunjuk mengasuh anak usia 0-6 tahun) ( Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2003), 242-243.
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
241
b.
c.
d.
17
kesulitan untuk memperlakukan anak. Yang pada akhirnya guru merasa kewalahan dan membiarkan anak tersebut melakukan pelanggaran.17 Anak marah ketika dihukum Dalam menginginkan sesuatu yang tidak tercapai, atau mengalami tindakan yang tidak menyenangkan pasti tindakan pertama yang dilakukan adalah marah. Ekspresi kemarahan anak sangat beragam, ada yang merengek, teriak, menangis. Pada masa ini, anak sering emosi. Anak dengan cepat belajar marah karena marah adalah cara yang efektif untuk memenuhi keinginannya. Amarahnya karena pertengkaran dalam bermain, perilaku yang lucu dilarang, kemauannya tidak dipenuhi, bertengkar dengan anak-anak lain, atau orang lain merampas mainan kesayangannya. Adapun yang biasa terjadi ketika guru menghukum anak adalah menangis, yang kemudian berlanjut dengan keengganan anak untuk melanjutkan belajarnya. Anak mengulangi lagi pelanggaran yang pernah dibuatnya. Para tahap awal menghukum, orang tua acapkali merasakan efek positif dari caranya itu. Anak tidak lagi mengerjakan hal yang buruk. Tetapi di hari-hari selanjutnya anak kembali nakal. Sekalipun orangtua telah memberikan hukuman yang lebih berat dari yang pertama kali diberikan, anak nampaknya tidak peduli dan terus mengerjakan perbuatan yang salah. Bila demikian, orangtuan menjadi „kewalahan", atau bahkan merasa agak frustrasi. Begitu pula yang dialami oleh guru yang menjadi pandidik di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo, juga kewalahan dalam memberikan hukuman, pada saat dijatuhkan hukuman anak akan mendengarkan dan seolah memperhatikan akan tetapi beberapa waktu kemudian anak akan mengulanginya lagi.71 Anak mengalami mogok belajar, enggan untuk belajar. Tidak focus itulah yang biasa terjadi pada anak ketika dia merasa dilarang dalam melakukan sesuatu yang disukainya, meski yang dilakukannya adalah sesuatu yang tidak benar, karena seorang anak masih belum mengerti benar apa yang dilakukannya itu baik atau buruk, hal ini sering terjadi pada anak hiperaktif. Anak dengan gangguan hiperaktivitas tidak bisa berkonsentrasi lebih dari lima menit. Dengan kata lain, ia tidak bisa diam dalam waktu lama dan mudah teralihkan perhatiannya kepada hal lain. Misalnya, ketika anak sedang bermain mobil-mobilan kemudian datang anak lain membawa bola, anak akan langsung mengubah fokus perhatiannya ke bola tersebut. Atau ketika yang bersangkutan sedang menyelesaikan pasel kemudian mendengar suara dari arah lain, ia akan mengalihkan perhatiannya dan melupakan pasel yang sedang dikerjakannya. Anak pun akan berperilaku impulsif, seperti selalu ingin meraih dan memegang apa pun yang ada di depannya. Namun, ia memegang tanpa tujuan. Jadi asal pegang saja kemudian diletakkan kembali atau malah dibanting hingga rusak. Anak dengan gangguan hiperaktivitas juga tidak memiliki fokus jelas. Dia berbicara semaunya berdasarkan apa yang ingin diutarakan tanpa ada maksud jelas sehingga kalimatnya seringkali sulit dipahami.
Sebagaimana hasil interview dengan 2 orang guru yang mengajar di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo Karangbinangun Lamongan yaitu dengan Ibu Sumarliana dan Ibu Tutik Rahmawati (24 juni 2016).
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
242
e.
Demikian pula pola interak-sinya dengan orang lain. Biasanya yang bersangkutan selalu cuek kala dipanggil sehingga orang tua sering mengeluh kalau anaknya pura-pura tidak mendengar. Dengan perilaku seperti ini, anak cenderung tidak mampu melakukan sosialisasi dengan baik.18 Pada sebagian anak setelah mendapat hukuman atau teguran yang dilakukan oleh guru atas kesalahan yangn dilakukannya anak akan mengalami mogok belajar atau enggan untuk belajar dan melanjutkan kegiatan yang dilakukan pada saat itu, anak menjadi pasif dan tidak merespon apa yang diajarkan oleh guru, dan ada sebagian yang berbuat semaunya sendiri, misalnya minta pulang, sibuk sendiri, dan mengabaikan guru. Anak menjadi histeris ketika mendapatkan hukuman. Dalam beberapa kasus yang terjadi, anak akan histeris dengan menunjukkan beberapa sikap yaitu : 1). Menentang Anak dengan gangguan hiperaktivitas umumnya memiliki sikap penentang/pembangkang atau tidak mau dinasehati. Misalnya, penderita akan marah jika dilarang berlari ke sana kemari, coret-coret atau naik-turun tak berhenti. Penolakannya juga bisa ditunjukkan dengan sikap cuek. 2). Destruktif Perilakunya bersifat destruktif atau merusak. Ketika menyusun lego misalnya, anak aktif akan menyelesaikannya dengan baik sampai lego tersusun rapi. Sebaliknya anak hiperaktif bukan menyelesaikannya malah menghancurkan mainan lego yang sudah tersusun rapi. Terhadap barangbarang yang ada di rumah, seperti vas atau pajangan lain, kecende-rungan anak untuk menghancur-kannya juga sangat besar. Oleh karena itu, anak hiperaktif sebaiknya dijauhakan dari barang-barang yang mudah rusak.19 Ke dua hal yang telah tersebut diatas sering terjadi pada anak hiperaktif ketika diberi sanksi oleh guru kepada anak yang sering membuat onar dikelas atau mengganggu teman yang lain, dimana ketika guru menegur anak akan menentang dan dilanjutkan dengan sikap destruktif yang telah tersebut diatas. (Tutik rahmawati, 25 juni 2016.
Implementasi Educative punishment di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo Karangbinangun Lamongan. a. Implementasi Educative Punishment Implementasi educative punishment di Taman Kanak-kanak adalah suatu tindakan yang dijatuhkan kepada siswa yang melanggar peraturan di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo Karangbinangun Lamongan, dengan cara sengaja dan sadar agar dengan adanya hukuman tersebut siswa akan menjadi sadar akan perbuatannya dan tidak mengulangi perbuatannya tersebut20.
18
hasil wawancara dengan ibu Siti Aisyah, S.Pd. (24 Juni 2016) Ibid., 75. 20 Hasil wawancara dengan Ibu Sumarliana, S.Pd , selaku Kepala Sekolah TK Kusuma Mulya (pada tanggal 24 Juni 2016). 19
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
243
Adapun implementasi educative punishment yang ada di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo Karangbinangun Lamongan adalah sebagai berikut : 1). Jika siswa absen tanpa alasan, maka guru tdak langsung menghukum anak akan tetapi menanyakan langsung alasannya kepada wali murid atau anak didik, jika alasannya bisa ditolerir dan bukan atas kehendak atau kemauan anak, maka guru tidak akan menjatuhkan hukuman akan tetapi memberikan surat teguran kepada wali murid. Begitupun sebalinknya, jika alasan tidak bias ditolerir maka guru akan memberikan hukuman dengan melakukan pendekatan terhadap siswa yang bersangkutan dengan cara memberi nasehat. 2). Jika siswa tidak berseragam sekolah, yaitu dengan memberikan teguran kepada wali murid, seperti pada point sebelumnya, jika alasan bias diterima maka guru tidak akan menghukum siswa, jika tidak maka hukumannya adalah dengan melakukan pendekatan nasehat, atau dengan menghukum siswa denngan memberinya tugas tambahan, misalnya bernyanyi atau menari didepan kelas21. 3). Untuk anak yang hiperaktif, yang selalu bikin ulah dikelas maka pendekatan bias any dilakukan dengan memindahkan anak dari tempat duduk semula ke trempat duduk yang berada dekat guru, memberi tugas tambahan, yang dapat membuat anak didik sibuk sehingga tidak berbuat onar lagi22. 4). Jika anak bertengkar / berkelahi, maka guru melakukan pendekatan kepada ke dua anak tersebut dalam bentuk nasehat atau pujian. 5). Jika siswa berbuat onar ketika diluar jam belajar, maka guru akan memberikan sanksi setelah jam belajar dimulai setelah sebelumnya dilakukan pendekatan dalam bentuk nasehat, adapun hukuman yang diberikan adalah berdiri didepan kelas, menyanyi, menari, dan lain sebagainya 6). Jika siswa melanggar peraturan tidak memotong kuku pada hari minggu, maka hukuman yangn diberikan adalah dengan mencubit tangan anak (sebisa mungkin anak tidak merasakan sakit) atau dengan menyuruh anak berdiri didepan kelas dengan tangan diangkat diatas kepala. 7). Bagi siswa yang bermasalah karena malas belajar, adapun pendekatan yang dilakukan adalah memberikan yang berupa ancaman, misalnya mengancam bahwa guru yang bertugas pada saat itu tidak akan mengajar lagi kalau anak tersebut tidak mau belajar, atau dengan ancaman akan dilaporkan kepada orang tua murid tersebut23. Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah penulis paparkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwasanya punishment yang diberikan terhadap siswa di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo Karangbinangun Lamongan, dimana dalam impementasinya tidak memberatkan siswa. Hukuman fisik memang diberikan seperti yang tersebut dalam point ke enam, dan bagi penulis hukuman ini adalah hukuman yang paling berat diantara semua 21
Hasil interview dengan guru kelas A2 Siti Aisyah, 26 juni 2016. Hasil interview, Ibu Kasiati, 24 juni 2016. 23 Hasil interview, Zulaikah, 28 juni 2016. 22
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
244
hukuman yang diterapkan di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo Karangbinangun Lamongan. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Faktor-faktor Penunjang dan Penghambat Implementasi Educative Punishment di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo. Faktor-faktor penunjang dan penghambat keberhasilan implementasi educative punishment di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo adalah sebagai berikut : a. Kepala sekolah dengan melihat peranan dan keterlibatan langsung didalam proses belajar mengajar di TK terutama dalam proses implementasi educative punishment itu sendiri. b. Ustadz (guru) memiliki peran sebagai penunjang dalam pendidikan dan segala faktor yang terdapat di dalamnya, termasuk juga dalam implementasi educative punishment. Abuddin Nata menyebutkan dalam bukunya Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan bahwa seorang guru memiliki peran sebagai berikut : 1). Edukator, merupakan peran yang utama dan terutama karena peran ini lebih tampak sebagai teladan bagi siswa (anak didik) role mode. 2). Manager, ustadz atau guru ikut berperan untuk menegakkan ketentuan dan tata tertib yang ada di TK, serta memberikan arahan atau rambu-rambu ketentuan agar tata tertib TK dapat dilaksanakan sebaik-baiknya oleh seluruh para anggota masyarakat TK. 3). Administrator, usatadz atau guru melaksanakan administrasi TK, seperti mengisi presensi siswa, memberikan pengajaran pendidikan dengan sebaik mungkin, dan menanamkan akhlak serta kedisiplinan kepada anak didik. 4). Supervisor, yakni memberikan bimbingan dan pengawasan pada anak serta memahami psikologi dan permasalahan yang biasa terjadi dalam pendidikan anak usia dini. 5). Para guru sebagai leader dengan memberikan kebebasan serta bertanggung jawab kepada anak didik. 24 6). Dalam melaksanakan sebagai inovator, guru berusaha menghasilkan inovasiinovasi yang bermanfaat untuk meningkatkan pengajaran kepada anak usia dini. 7). Adapun perannya sebagai motivator yakni guru memberikan motivasimotivasi baik dari instrinsik maupun ekstrinsik untuk membangkitkan semangat anak didik dalam mengikuti proses belajar mengajar.
24
Abuddin Nata (ed) “Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam”(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), 147.
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
245
8). Begitupun perannya sebagai pengganti orang tua hendaknya, mampu mengarahkan anak dengan sebaik mungkin dan sebisa mungkin memberikan hukuman yang adil dan sesuai dengan umur anak didik. 9). Selain delapan point yang telah tersebuut diatas, pendidikan yang dimiliki seorang guru sangat penting keberadaannya, karena guru yang memiliki pendidikan yang sesuai dengan keahlian, maka proses pembelajaran akan berhasil sesuai dengan tujuan dari pendidikan tersebut. c. Sarana dan prasarana yang ada di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo Berdasarkan observasi, (26 juni 2016) bahwa kelengkapan sarana dan pra sarana sangat menunjang dalam keberhasilan belajar siswa, dengan adanya sarana dan pra sarana yang memadai, proses belajar mengajar tidak akan mengalami hambatan, dan gangguan yang disebabkan kurangnya fasilitas atau sarana pra sarana yang kurang memadai, begitupun dengan adanya pemberian punishment untuk anak dengan adanya alat seperti dalam bentuk gambar agar bisa mengalihkan anak yang melanggar dengan gambar atau sesuatu yang menarik, sehingga anak bisa melupakan perbuatannya yang sebelumnya. Sedangkan kendala yang dihadapi guru dalam implementasi educative punishment adalah terdiri dari faktor eksternal dan internal, yaitu: a) Faktor eksternal yang terdiri dari : 1. Faktor metode Dalam pemberian hukuman guru juga sebaiknya memberikan metode dan sesuai dengan psikologi anak, sehingga anak akan mengerti dan merasa nyaman berada dikelas, begitupun sebaliknya penggunaan metode yang salah juga akan berpengaruh buruk terhadap anak didik oleh karena itulah pengetahuan dan wawasan guru sangat bermanfaat bagi berhasilnya implementasi educative punishment untuk anak usia dini di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo, sehingga akhirnya para guru di TK Kusuma Mulya merasa kewalahan dalam mengatasi anak yang bermasalah. 2. Faktor karakter guru Dalam implementasi educative punishment untuk anak usia dini karakter seorang guru. Adapun dalam masalah karakter ini para guru biasanya mudah menyerah terhadap kondisi anak yang bermasalah, sehingga anak pada akhirnya dibiarkan mengulangi kesalahannya. b) Faktor internal yang terdiri dari : 1. Faktor lingkungan Selain dari faktor yang telah tersebut diatas, faktor lingkungan baik keluarga atau pun masyarakat sekitar. Kondisi keluarga yang harmonis dan jauh dari lingkup kekerasan akan sangat mendukung keberhasilan dari implementasi educative punishment yaitu dengan adanya psikologi anak yang telah terbiasa dengan keadaan tanpa kekerasan, maka karakter anak pun akan terbangun dengan baik pula,
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
246
sehingga memungkinkan anak akan patuh terhadap apa yang guru perintahkan. Selain itu adanya kondisi lingkungan masyarakat sekitar sekolah ataupun masayarakat tempat anak tinggal, juga akan sangat berpengaruh dalam keberhasilan implementasi educative punishment untuk anak usia dini, karena pengaruh lingkungan masyarakat juga berpengaruh dalam proses pembentukan karakter anak yang kemudian juga akan berdampak terhadap implentasi educative punishment tersebut diatas. 2. Faktor karakter anak Karakter anak pada usia dini biasanya bermasalah atau melakukan pelanggaran di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo adalah anak hiperaktif, anak hiperaktif adalah anak yang cenderung miliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Tak kenal lelah, anak dengan gangguan hiperaktivitas sering tidak menunjukkan sikap lelah. Sepanjang hari dia akan selalu bergerak ke sana kemari, lompat, lari, berguling, dan sebagainya. Kesannya tidak pernah letih, bergerak terus. Hal inilah yang seringkali membuat orang tua kewalahan dan tidak sanggup meladeni perilakunya. b. Tanpa tujuan, semua aktivitas dilakukan tanpa tujuan jelas. Kalau anak aktif, ketika naik ke atas kursi punya tujuan, misalnya ingin mengambil mainan atau bermain peran sebagai Superman. anak hiperaktif melakukannya tanpa tujuan. Dia hanya naik dan turun kursi saja. c. Tidak Sabar & Usil, anak hiperaktif juga tidak memiliki sifat sabar. Ketika bermain dia tidak mau menunggu giliran. Ketika dia ingin memainkan mobil-mobilan yang sedang dimainkan oleh temannya, dia langsung merebut tanpa ba-bi-bu. anak hiperaktif pun seringkali mengusili temannya tanpa alasan yang jelas. Misalnya, tiba-tiba memukul, mendorong, menimpuk, dan sebagainya meskipun tidak ada pemicu yang harus membuat anak melakukan hal seperti itu. Dari pemaparan diatas, meskipun banyak kelemahan dan penghambat guru dalam pelaksanaan educative punishment, akan tetapi educative punishment masih diberlakukan di TK Kusuma Mulya Desa Sukorejo. Kesimpuulan Berdasarkan uraian dari permasalahan pada skripsi ini, maka penulis mengemukakan kesimpulan sebagai berikut : 1. Beberapa problem yang sering dihadapi tenaga pendidik dalam menerapkan educative punishment antara lain : Anak tidak mau melaksanakan hukuman yang telah diberikan kepadanya, Anak marah ketika dihukum, Anak mengulangi lagi pelanggaran yang pernah dibuatnya dan Anak mengalami mogok belajar sehingga enggan untuk belajar.
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016
247
2. Bahwa yang dimaksud dengan educative pumishment atau hukuman yang mendidik adalah hukuman yang dijatuhkan kepada anak didik yang kepada anak didik yang melakuka pelanggaran sesuai dengan rambu-rambu yang terdapat dalam ilmu pendidikan, dan hukum yang terdapat dalam pendidikan. 3. Bahwa dalam memberikan hukuman atau punishment untuk anak usia dini seorang pendidikan harus benar-benar memperhatikan batasan-batasan, yaitu seorang pendidik hendaknya lebih memperhatikan aspek psikologis anak dan diharapkan untuk tidak menggunakan hukuman fisik. Daftar Rujukan Ahmad, Abu, dan Munawar Shaleh, cet V,1991, Psikologi Perkembangan, Jakarta : PT Rineka Cipta Al-jumbulati Ali dan Abdul Futuh at-Tuwaanisi, 1997, Perbandingan Pendidikan Islam, Rineka Cipta. Al-maliqi, Abd. Mu’in, 1980, Dendam Anak-anak, alih bahasa Zakiyah Drajat, Jakarta : Bulan Bintang Arikunto Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian, Jakarta : PT Rineka Cipta Barnadic Imam Sutari, 1986, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP, Jogjakarta Bawani, Imam, Pengantar Ilmu Jiwa, Jakarta : PT Rineka Cipta Bleher F.Robert dan Jack Sno coman, 1995, Psikologi Perkembangan Fisik Dan Mental Anak Mulai Usia pra sekolah Sampai SLTA, terj. A. Wnarno Susanto (Malang IAIN) Craps J.W. Robert, 1994, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta : Kanisius Darmanto A Pius dan M Dahlan Al Barry, 1994, Kamus lmiah Populer, Surabaya : Arkola Departemen Agama, 1989, Al-Qur'an Terjemah Semarang : Toha Putra, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990, Balai Pustaka Djamarah, syaiful Bahri, 2002, Psikologi Belajar, Jakarta : PT. Rineka Cipta, Durkheim, Emile, 1990, Pendidikan Moral; Suatu studi Teori dan Apliasi Sosiologi Pendidikan, Jakarta; Airlangga Elia, Herman, DKK, 1991, Psikologi Umum (Buku Panduan Mahasiswa), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Fung, Daniel dan Cai Yi-Ming, 2003, Mengembangkan Kepribadian Anak Dengan Tepat (petunjuk mengasuh anak usia 0-6 tahun), Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher
AKADEMIKA, Volume 10, Nomor 2, Desember 2016