1
Problem Perkawinan Perkawinan sangat penting di dalam hidup dan kehidupan umat manusia, baik perseorangan maupun kelompok, dengan jalinan perkawinan yang sah (sesuai dengan hukum Islam). Pergaulan laki – laki dan perempuan terjalin secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan diantara makhluk Tuhan lainnya. Allah Subhanahu wata’ala telah menetapkan cara-cara tersebut yang diatur dalam lembaga perkawinan dan hukum Islam. Hal ini sesuai dengan keberadaan Islam sebagai agama fitrah yang datang bukan untuk membenuh kecenderungan-kecenderungan manusia, melainkan untuk membimbing dan mengarahkan sesuai dengan kehendak sang pencipta.1 Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, hal ini dapat digunakan sebagai dasar hukum berlakunya hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan khusus di samping peraturan umum yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan, untuk warga negara Indonesia yang beragama Islam yang kebanyakan menganut Mazhab Syafi‟i. 1 2
Sayuti Thalib, Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta; UI Press, Cet. Ke-4), Hal. 63 Anonim, Pedoman Penghulu, (Jakarta; Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Anonim, Departemen Agama RI, 2005), Hal. 232
2
Sedangkan
menurut
hukum
Islam,
perkawinan
antara
mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata Ijab qabul. Ijab diucapkan pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilaksanakan oleh walinya atau wakilnya, sedangkan qabul
adalah
pernyataan menerima dari pihak laki-laki. Adapun perkawinan menurut istilah syara‟ ialah suatu akad (transaksi) yang intinya mengandung penghalalan wathi’ (persetubuhan) dengan memakai kata nikah atau kawin.3 Di dalam negara yang berdasarkan hukum, segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perilaku atau tingkah laku manusia harus diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut perkawinan di Indonesia harus dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Penghulu bagi yang beragama Islam. Pegawai Pencatat Nikah atau Penghulu mempunyai kewenangan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan nomor 22 Tahun 1946 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 sampai sekarang yang berkaitan dengan perkawinan di Indonesia. Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) mempunyai kedudukan yang kuat menurut hukum, ia sebagai pegawai negeri yang diangkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan. Adapun tugas pokok penghulu berdasarkan Pasal 24 peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Per/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya Menteri Pendayagunaan Aparatur
3
Aziz Zainuddin bin Abdul Al-Malibari Al-Fannani, Terjemahan Fathul Mu’in, (Bandung; Sinar Baru Algasindo, 2003), Hal. 1154
3
Negara Bab II Pasal 4, Tugas Pokok Penghulu adalah melakukan pencatatan kegiatan kepenghuluan, pengawasan, pencatatan nikah, rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan mu‟amalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan. Dengan demikian Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Penghulu masing-masing mempunyai tugas dan fungsi yang jelas, karena ditetapkan dengan peraturan yang berlaku. Undang-undang Perkawinan tidak terlepas dari hukum perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Syarat sah dan rukun sebuah perkawinan salah satu dari sahnya nikah adalah adanya wali nikah. Pengertian dan dasar hukum adanya wali nikah terdapat dalam pasal 20 (1) tentang yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.4 Pernikahan
harus
dilangsungkan
dengan
wali,
apabila
dilangsungkan tidak dengan wali atau yang menjadi wali bukan yang berhak, maka pernikahan tersebut tidak sah. Adapun wali itu ada tiga macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan wali muhakkam. Adapun wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita, orang-orang tersebut adalah keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali sesuai dengan aturan dan urutannya. Adapun wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan.5
4
5
Anonim, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta; Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Anonim, Departemen Agama RI, 1997/1998), hal.20 Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta; Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, 1999/2000), hal. 32-34
4
Adapun yang dimaksud dengan wali muhakkam ialah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.6 Pernikahan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri, sebab syarat-syarat perkawinan harus terpenuhi demi keabshahan akad nikah dan dasar sahnya perkawinan harus ada seorang
wali yang
mengawinkan, dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala dalam Al-Qur‟an :
)ٖٕ: (اىْ٘س Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. An-nur [24] : 32).7
Menurut ayat tersebut di atas, pada dasarnya menyatakan bahwa Allah Subhanahu wata’ala menyerahkan perkara perkawinan kepada pihak laki-laki untuk menikahkan seorang perempuan sebagai walinya, dan ayat ini tidak ada mengkhususkan bahwa laki-laki yang menikahkan perempuan tersebut haruslah wali nasab atau wali hakim, tetapi ayat ini memerintahkan kepada laki-laki tanpa dijelaskan ada 6 7
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35 Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta; Departemen Agama RI, 2008). Hal 494
5
hubungan darah atau sebagai hakim, maka ayat tersebut di atas adalah salah satu dasar hukum wali muhakkam, karena ayat tersebut hanya menyuruh seorang untuk mengawinkan orang-orang yang sendirian, dan orang-orang yang layak untuk berkawin. Hadits yang berasal dari Abu Hurairah :
ٔ ٗصيٌ الٞ هللا عيٚ قاه سص٘ ه هللا صي: شجقاهٝ ٕشٜعِ أت )ٗارٕا (سٗآ أت٘داٝ ذضرأ ٍشٗالاىثنش إالٚة درٞذْنخ اىث Artinya : Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Janganlah menikahkan janda sampai ada persetujuannya dan jangan menikahkan gadis kecuali dengan izinnya”.8 (HR. Abu Daud)
Hadits di atas memberikan hak seorang perempuan janda terhadap dirinya untuk memilih wali dalam pernikahannya, tanpa harus wali nasab atau wali hakim. Jadi hadits ini adalah merupakan isyarat bolehnya kawin dengan wali muhakkam sebagai wali dalam pernikahannya. Adapun perempuan yang masih gadis (perawan), bahwa izin walinya cukup untuk boleh dinikahkan oleh orang lain (wali muhakkam), maka hadits tersebut di atas merupakan salah satu dasar hukum nikah dengan wali muhakkam, walaupun hadits tersebut tidak mengkhususkan kepada salah satu bentuk wali dalam pernikahan. Kedudukan wali sangat penting, sebagaimana diketahui bahwa yang berhak menjadi wali nikah terhadap seorang wanita adalah hak bagi wali nasab. Apabila wali nasab tidak ada, naka perwalian berpindah ke tangan wali hakim dan apabila suatu 8
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut; Dar‟Ilya‟ut Turats Al-„Arabi, t.thal.), Jilid 1, Juz 2, hal. 232-233
6
pernikahan yang seharusnya dilaksanakan oleh wali hakim padahal di suatu tempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam, dengan cara kedua calon suami isteri mengangkat seorang yang mempunyai pengetahuan luas tentang hukum-hukum Islam untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka. Dalam hal wanita tidak mempunyai wali sama sekali, para fuqaha telah sepakat tentang kebolehannya menggunakan wali hakim, tetapi bila wali hakim tidak ada disebabkan oleh sesuatu hal para fuqaha masih terdapat perbedaan pendapat.9 Menurut hukum islam, wanita boleh mengangkat seseorang yang adil untuk menjadi walinya, sesuai dengan pendapat Syaikhuna ( Ibnu Hajar ), ia mengatakan memang dibenarkan jika hakim tidak mau menikahkan, kecuali dengan diberi dirham (uang), seperti yang terjadi di masa sekarang, untuk jalan keluarnya pihak mempeai wanita boleh mengangkat seseorang yang adil sebagai walinya tanpa memandang keberadaan hakim, sekalipun kita percaya bahwa dia tidak dapat dipecat karena perbuatannya itu, mengingat orang yang mengangkatnya mengetahui hal tersebut disaat pengangkatannya.10 Dalam hal tersebut di atas menurut pengamatan penulis di lapangan, bahwa di Jambi Timur masih ditemukan orang yang melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam. Adapun data yang diperoleh melalui wawancara, baik dari pihak Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Jambi Timur maupun orang yang melaksanakan perkawinan dengan wali
9
Anonim, Buku Pintar Keluarga Muslim, (Semarang; Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Penceraian (BPA), 1993), hal.8 10 Aziz Zainuddin bin Abdul Al-Malibari Al-Fannani, Terjemahan Fathul Mu’in, hal.1239
7
muhakkam atau data yang diperoleh dari tokoh agama, tokoh masyarakat adalah sebagai berikut : Data dari Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Desember tahun 2010 berjumlah 1.254 pasang pengantin. Dari jumlah yang melangsungkan perkawinan tahun 2009 adalah berjumlah 638 pasang terdiri dari 570 pasangan pengantin melalui wali nasab, 56 pasang pengantin melalui wali hakim dan 12 pasang pengantin dengan wali muhakkam. Sedang dari Januari sampai bulan Desember 2010 yang melangsungkan pernikahan adalah berjumlah 616 pasang pengantin, yang terdiri dari 523 pasang pengantin melalui wali nasab, 78 pasang pengantin melalui wali hakim, 14 pasang pengantin dengan wali muhakkam. Dengan demikian dari tahun 2009 sampai dengan bulan Desember tahun 2010 perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur telah ditemukan 25 pasang pengantin yang menikah dengan wali muhakkam.11 Hasil temuan dilapangan mengenai orang – orang yang melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur telah diadakan penelitian awal melalui wawancara, baik terhadap yang bertindak sebagai wali muhakkam, maupun pasangan suami istri yang melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam dan tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan perkawinan dengan wali muhakkam sudah sesuai apa belum dengan yang diamanatkan Undang-Undang
Perkawinan,
karena
dalam
Undang-Undang
perkawinan dijelaskan perkawinan harus dilangsungkan dengan wali, apabila dilangsungkan tidak dengan wali, atau yang menjadi 11
Observasi, Jambi Timur, 15 Oktober 2010
8
wali bukan yang berhak, maka tidak serta merta membolehkan perkawinan dengan wali muhakkam sebagaimana diatur dalam Undang-Undang melaksanakan
Perkwinan, perkawinan
wali apabila
muhakkam suatu
baru
pernikahan
boleh yang
seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal di tempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan baru boleh dilaksanakan dengan wali muhakkam, caranya ialah kedua calon mempelai suami/istri mengangkat seseorang yang mempuyai pengertian tentang hukum menjadi wali dalam pernikahan mereka.12 Setelah diamati secara seksama, maka pelaksanaan perkawinan dengan wali mukahham di Jambi Timur belum ada yang menelitinya. Untuk itu penulis berkeinginan untuk meneliti hal tersebut, mengapa perkawinan dengan wali muhakkam masih terjadi di Jambi Timur, meliha latar belakang pendidikan masyarakat Jambi Timur sudah tergolong banyak yang maju dan Kantor Urusan Agama sebagai tempat wali hakim juga ada di Jambi Timur. Dari uraian tersebut diatas, maka penulis terfokus kepada pembahasan
tentang
pelaksanaan
perkawinan
dengan
wali
muhakkam di Jambi Timur serta mendalami tentang faktor apa saja yang menjadi penyebab digunakannya wali muhakkam di sebagian masyarakat Jambi Timur.
12
Anonim, Pedomamn Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35
9
Pemahaman Tentang Perkawinan Adapun pengertian perkawinan atau nikah ialah pernikahan yang merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan ialah suatu cara yang dipilih oleh Allah Subhanahu wata’ala sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Untuk itu pengertian perkawinan adalah sebagai berikut : 1. Menurut bahasa nikah ialah gabungan atau kumpulan. Sedangkan istilah syara‟ nikah adalah suatu akad (transaksi) yang intinya mengandung wathi’ (persetubuhan) dengan memakai kata “nikah” atau “kawin”. Menurut pendapat yang shahih, pengertian hakiki dari nikah adalah akadnya, sedangkan secara majaz menunjukkan makna wathi’ (persetubuhan).13 2. Perkawinan menurut Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqaan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.14 3. Adapun perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.15 Dari pengertian-pengertian tersebut di atas jelas dan terang bahwa nikah itu intinya adalah mengandung penghalalan wathi’ 13
Aziz Zainuddin bin Abdul Al-malibari Al-fannani, Terjemahan Fathul Mu’in, (Bandung; Sinar Baru Algasindo, 2003), hal.1154 14 Anonim, Kompilasi Hukum Islam, hal. 14 15 Anonim, Pedoman Penghulu, hal. 232
10
(persetubuhan) untuk mentaati perintah Allah dengan ikatan lahir bathin yang terpatri kokoh antara seorang pria dengan seorang wanita. Untuk dapat mempedomani pengertian-pengertian diatas, maka Islam sudah menentukan sikap terhadap pasangan yang bolah dipilih dan yang terbaik untuk menjalani pasangan suami isteri, sebagaimana disebutkan dalam : 1. Firman Allah Subhanahu wata’ala :
) ٕٕٔ : ) اىثقشج Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan
menerangkan
ampunan
dengan
ayat-ayat-Nya
izin-Nya.
dan
Allah
(perintah-perintah-Nya)
11
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Qs. Al-Baqarah [2] : 221)16
2. Hadits yang berasal dari Abu Hurairah
ٔٞ هللا عيّٚ صيّٜ عْٔ عِ اىْثٚ هللا ذعا ىٜشجسضٝ ٕشٜعِ أت ىَا ىٖا ٗىذضثٖا ٗىجَا: ذْنخ اىَش أج ِألستع: ٗصيٌّ قا ه ) ٔٞذاك (ٍرّفق عيٝ ِ ذشتدٝ فا ظفشتزا خ اى ّذ: ْٖاٝىٖاٗىذ Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Seseorang wanita
dikawini
karena
empat
hal,
kekayaannya,
keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, tetapi pilihlah yang beragama agar hidupmu bahagia”. (Muttafaq alaih)17
Dari ayat dan hadits di atas, jelas bahwa Allah itu tidaklah ingin hamba-Nya hidup di dunia ini mendapat pasangan yang tidak sesuai dan tidak cocok baik dari segi agama maupun dari segi perangai dan perbuatan, yang jelas Allah dan Rasul-Nya menginginkan manusia hidup selamat, sejahtera dan bahagia dari pasangan-pasangannya hidup berdampingan sebagai suami isteri yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan
16
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen Agama RI, 2008), hal.43 17 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Mar‟am min Adillatil Ahkam, (Surabaya; Dahlan, t.th), hal.201
12
pengertian pernikahan itu sendiri. Firman Allah Subhanahu wata‟ala:
)ٔ : )النساء Artinya :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa [4] : 1)18 Akan tetapi Allah Subhanahu wata’ala tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina tidak mempunyai norma atau aturan, akan tetapi untuk menjaga keharmonisan dan martabat manusia, maka Allah Subhanahu wata’ala mengadakan hukum sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Dengan demikian, hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat berdasarkan ikatan perkawinan. Dengan ikatan 18
Anonim, Departemen Agama RI, Op.Cit, hal.99
13
perkawinan tersebut memberikan jalan yang aman pada naluri seksual untuk memelihara keturunan yang baik. Adapun makna pernikahan secara defenitif, masing-masing ulama fiqh berbeda dalam mengemukakan pendapatnya antara lain sebagai berikut : 1. Ulama Hanafiyah mendefisinisikan pernikahan sebagai suatu keadaan yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seseorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota tubuhnya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan. 2. Ulama Syafi‟iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau tazwij yang mempunyai arti „memiliki‟ atrinya „wathi‟. Artinya dengan pernikahan
seseorang
dapat
memiliki
atau
mendapatkan
kesenangan dari pasangannya. 3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga. 4. Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad yang mengandung lafal „inkah‟ atau „tazwij‟ untuk mendapatkan kepuasan. Artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.19 Dari beberapa pengartian nikah tersebut di atas, maka dapat penulis kemukakan bahwa pernikahan itu adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak wali 19
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 1999). Jilid 1, Hal. 10-11
14
menurut sifat dan syarat yag telah ditetapkan oleh hukum syara’ untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya sehingga satu sama lainnya saling membutuhkan sebagai sekutu menjadi teman hidup dalam rumah tangga.
15
Tujuan Perkawinan Adapun tujuan perkawinan pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukan, karena lebih bersifat subjektif, namun demikian ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang melakukan perkawinan tersebut yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat. Adapun tujuan perkawinan secara rinci adalah sebagai berikut : 1. Melaksanakan Libido Seksual Semua
manusia
baik
laki-laki
maupun
perempuan
mempunyai insting seks, hanya kadar dan intensitasnya yang berbeda, dengan pernikahan seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang perempuan dengan sah dan begitu pula sebaliknya. Firman Allah Subhanahu wata’ala :
)ٕٕٖ : (اىثقشج Artinya : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocoktanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki.
dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
16
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah [2] : 223).20 2. Memperoleh Keturunan Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh perempuan maupun laki-laki. Akan tetapi perlu diketahui mempunyai
anak
bukanlah
suatu
kewajiban
melainkan
merupakan amanat dari Allah Subhanahu wata’ala. Walaupun dalam kenyataannya ada seseorang yang ditakdirkan untuk tidak mempunyai anak. Firman Allah Subhanahu wata’ala :
. )٘ٓ-ٗٗ : ٙ (اىش٘س Artinya : kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis lakilaki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendakiNya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Asy- Syura [42] : 49-50).21 20
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemahannya (Jakarta, Departemen Agama RI, 2008), Hal.44 21 Ibid, Hal.700
17
3. Memperoleh Keturunan Yang Shalih Keturunan yang shalih/shalihah akan membahagiakan kedua orang tua, baik di dunia maupun di akhirat kelak dari anak yang diharapkan oleh orang tua hanyalah keturunan, akhlak, ibadah dan sebagainya yang bersifat kejiwaan. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
ّ ْٔ هللا عٜشجسضٝ ٕشٜعِ أت ٌّٔ ٗصيٞ هللا عيّٚأُ سص٘ه هللا صي قاه إرا ٍا خ اإل ّضا ُ اّقطع عَئ إالّ ٍِ ثالثح إالٍِّ صذقحجا )ٌذع٘ىٔ (سٗآ ٍضيٝ أٗٗىذصا ىخ،ْٔرفع تٝ ٌ أٗعي،حٝس Artinya
:
Dari
Abu
Hurairah
Shallallahu’alaihiwasallam
sesungguhnya bersabda:
jika
Rasulullah meninggal
manusia maka terputuslah semual amalnya kecuali tiga perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendo‟akannya. (HR.Muslim)22
4. Memperoleh Kebahagiaan dan Ketentraman Dalam hidup berkeluarga perlu adanya ketentraman, kebahagiaan dan ketenangan lahir batin dengan keluarga yang bahagia dan sejahtera.
22
As-Sayyid Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani Summa Ash-Shan‟ani Ma‟ruf bin Amir, Subulus Salam, (Bandung; Dahlan, t.th), Juz 3, hal.87
18
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
)ٔ٨١ : (األعشاف... Artinya : Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya... (QS. Al-A‟raf [7]: 189).23 5. Mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam Nabi
Muhammad
Shallallahu
‘alaihi
wasallam
menyuruh ummatnya untuk menikah bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam umatnya bila sudah mampu tapi tidak mau menikah. Hal ini diterangkan dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
فَِ سغةٜٔ ٗصيٌ اىْنا ح ٍِ صّْرٞ هللا عيٚقا ه اىشص٘ه صي )ٔٞ (ٍرفق عيٍّْٜ شٞ فيٜعِ صّْر Artinya : Nikah itu adalah Sunnahku, maka barang siapa yang tidak senang dengan Sunnahku maka tidak termasuk umatku. (Muttafaq alaih).24 6. Menjalankan Perintah Allah Subhanahu wata’ala Allah Subhanahu wata’ala juga menyuruh umat-Nya agar menikahi wanita-wanita yang dipandang cocok sebagai pasangan hidup apabila telah mampu. Firman Allah Subhanahu wata’ala : 23 24
Anonim, Departemen Agama RI Op.cit. hal. 235 As-Syyid Al-Imam Muhammad bin Ismail Op.cit hal.110
19
)ٖ : (اىْضاء... Artinya : ...Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ... (QS. An-Nisa[4]:3) 7. Untuk Berda’wah Manusia merupakan makhluk yang sempurna karena akal dan pikirannya. Oleh karena itu, bila seseorang telah menikah maka melalui pernikahan tersebut dia akan lebih percaya diri dan akan lebih tekun untuk menjalankan perintah Allah dan akan terhindar dari penyakit-penyakit perzinaan yang dapat menimbulkan penyakit AIDS. Disamping tujuan perkawinan yang telah dikemukakan di atas, menurut Prof. Muhammad Amin Summa, bahwa tujuan perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan, yaitu: 1. Tujuan perkawinan dari segi sosial ialah bahwa dalam setiap masyarakat (bangsa), ditemukan suatu penilaian yang umum bahwa yang berkeluarga, atau pernah berkeluarga (dianggap) mempunyai kedudukan yang telah dihargai (terhormat) dari mereka yang tidak kawin. 2. Tujuan perkawinan dari segi agama khususnya Islam ialah pernikahan memiliki kedudukan yang sangat terhormat, dan dianggap sakral untuk meletakkan dasar-dasar pergaulan hidup dan hubungan suatu keluarga yang terbentuk akibat dari suatu perkawinan itu sendiri.
20
3. Tujuan perkawinan dari segi hukum ialah perkawinan dipandang sebagai suatu perbuatan (peristiwa) hukum yakni perbuatan dan tingkah laku subjek atau karena subjek hukum itu terkait oleh kekuatan hukum.25
25
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Hal.81-97
21
Dasar-dasar dan Hukum Perkawinan Adapun dasar-dasar dan hukum perkawinan menurut undang-undang dan hukum Islam, akan diuraikan sesuai dengan ajaran Islam yang telah mengatur hubungan yang benar dan sah, yaitu melalui akad nikah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan syariat Islam. Untuk itu akan diuraikan terlebih dahulu dasar-dasar perkawinan kemudian baru iuraikan hukum perkawinan sebagai berikut : 1. Dasar-dasar perkawinan Adapun dasar-dasar perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dalam hukum Islam pada BAB II tentang Dasar-dasar perkawinan pasal 2 adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miisaaqon ghliidhon untuk mentaati perintah Allah Subhanahu wata’ala dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pada pasal 3 perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Pada pasal 4 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pada pasal 5 (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana yang
22
diatur dalam undang-undang No. 22 Tahun 1946 undangundang No. 32 Tahun 1954. Pada Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah Pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak mempunyai kekuatan hukum. Pada Pasal 7 (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN). (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama. (3) Itsbat nikah dapat diajukan ke pengadilan agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya akta nikah. c. Adanya keraguantentang, sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974. e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.
23
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Pada pasal 8 putusan perkawinan selain erai mati hanya dapat dibuktikan dengan Surat Cerai berupa putusan Pengadilan Agama, baik yang berbentuk perceraian, ikrar talak, khulu‟ ataupun taklik talak. Pada pasal 9 disebutkan : (1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena
hilang,
dan
sebagainya,
dapat
dimintakan
salinannya kepada Pengadilan Agama. (2) Dalam hal Surat Bukti yang dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Pada pasal 10 disebutkan pula bahwa Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikelurakan oleh Pegawai Pencatat Nikah.26 Disamping dasar-dasar dasarnya
perkawinan
itu
perkawinan tersebut, hendaklah
timbul
pada
daripada
kehendaknya sendiri, bukan karena dipaksa, tertipu, terpedaya dan lain sebagainya.27 Disamping itu hendaknya perkawinan itu dilaksanakan atas dasar kerelaan, yakni suka sama suka. Sebab nantinya keduanya juga akan memikul segala konsekuensinya. Jadi suka sama suka adalah dasar utama dalam perkawinan.
26 27
Anonim, Kompilasi Hukum Islam, hal. 14-16 Dja‟far Amir, Ilmu Fiqh Bagian Nikah, (Solo; t.tp. 1983), hal.13
24
Disamping itu perlu pula mengindahkan pertimbangan orang tua. Sebab pertimbangan orang tua itu adlah merupakan faktor yang penting dalam perkawinan. Oleh karena pemikiran yang baru nikah masih sangat hijau dalam persoalan rumah tangga, sehingga kalau kurang hati-hati dalam memilih jodoh, karena hanya semata-mata mengikuti bahwa nafsu saja. Setelah dilangsungkan perkawinan maka timbullah penyesalan dan kekecewaan yang tidak kunjung padam, akhirnya rumah tangga berantakan. Disamping itu, dasar-dasar perkawinan yang sudah ditulis di atas harus menjadi pedoman dan pertimbangan yang matang agar perkawinan tidak berantakan. 2. Hukum Perkawinan Pada dasarnya golongan fuqaha yaitu Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa menikah itu hukumnya sunat. Sedangkan golongan Zhahiri mengatakan bahwa nikah itu hukumnya wajib. Para ulama Maliki muta‟akhirin berpendapat bahwa hukumnya wajib untuk sebagian orang dan sunnah bagi sebagian yang lain dan mubah bagi sebagian yang lain. Hal ini disebabkan kekhawatiran terhadap kesusahan dan kesulitan dirinya.28 Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa hukum nikah itu berubah sesuai dengan keadaan pelakunya. Secara rini hukum perkawinan itu adalah sebagai berikut : a. Jaiz (diperbolehkan) ini adalah asal hukumnya. b. Sunat bagi orang yang berkehendak serta mampu memberikan nafkah. 28
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, hal.31
25
c. Makruh bagi yang tidak mampu memberi nafkah. d. Haram bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang akan dinikahinya.29 Disamping itu pula ada yang menguraikan hukum perkawinan itu lebih terperinci sebagai mana berikut : a. Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan nafsunya telah mendesak, serta takut terjerumus dalam lembah perzinaan, karena menjauhi perbuatan yang diharamkan. Imam Qurthubi berkata, “bujangan yang sudah mampu menikah dan takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk menyelamatkan diri tidak ada jalan lain kecuali dengan perkawinan, maka tidak terdapat perselisihan di kalangan ulama tentang wajibnya ia untuk menikah. Jika nafsunya tidak mendesak sedangkan ia belum mampu untuk menafkahi isterinya, maka Allah Subhanahu wata’ala akan melapangkan rezekinya sebagaimana firman Allah :
)ٖٖ : (اىْ٘س... Artinya : dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya... (Qs. An-Nur [24] : 33).30
29
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta; Sinar Baru Algesindo, 2000), Cet. Ke-33. Hal. 381-382 30 Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta; Departemen Agama RI, 2008). Hal. 494
26
Senada dengan pendapat di atas ulama Malikiyah menyatakan bahwa menikah itu wajib bagi orang yang takut dirinya akan terjerumus ke jurang perzinaan manakala ia tidak menikah. Adapun kriteria tentang wajib menikah bagi seseorang ialah : 1) Apabila takut dirinya terjerumus ke dalam lembah perzinaan. 2) Untuk mengekang hawa nafsu tidak mampu berpuasa atau mampu berpuasa tapi tidak mampu mengekang nafsunya. 3) Tidak mampu menyatukan kekayaan umat manusia.31 b. Nikah hukumnya sunat bagi orang yang mau menikah dan nafsunya kuat, tetapi mampu mengendalikan diri dari perbuatan zina. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mereka sepakat bahwa menikah itu sunat bagi yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus dalam lembah perzinaan. Sedangkan ulama Syafi‟i berpendapay bahwa menikah itu sunat, bagi orang yang melakukannya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan.32 c. Nikah
hukumnya
haram
bagi
orang
yang
tidak
menginginkannya karena tidak mampu memberikan nafkah, baik nafkah lahir maupun nafkah batin kepada isterinya serta nafsunya tidak mendesak atau dia yakin bahwa bila ia menikah ia akan keluar dari Islam.
31 32
Slamet Abidin dan Amiruddin, Fiqh Munakahat, hal.23-24 Slamet Abidin, Loc.Cit
27
Al-Qurthubi berkata, “Apabila seseorang laki-laki tidak mampu menafkahi isterinya atau tidak mampu membayar maharnya atau tidak mampu memenuhi hak-hak isterinya tidaklah boleh ia kawin sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaannya kepadanya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak isterinya, begitu pula kalau ia karena sesuatu hal menjadi lemah, tidak mampu menggauli isterinya, maka wajiblah ia menerangkan dengan terus terang agar isterinya tidak tertipu olehnya dan begitu juga sebaliknya terhadap perempuan. d. Nikah hukumnya makruh bagi seseorang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu memberikan nafkah kepada isterinya, walaupun tidak merugikan istri karena ia kaya dan tidak mempunyai syahwat yang kuat.33 e. Nikah hukumnya mubah, bagi laki-laki yang tidak mendesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.34 Para ulama di kalangan Syafi‟iyah mengatakan bahwa manikah
itu
hukumnya
makruh
bagi
orang-orang
yang
mempunyai kekhawatiran tidak mampu memberikan kewajiban kepada isterinya.35
33
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, (Bandung; Al-Ma‟arif, 1994), Alih Bahasa oleh Mohal. Thalib, Jilid 4, Cet.Ke-9, hal.25. 34 Sayyid Sabiq, Loc.Cit. 35 Slamet Abidin, Op.Cit. hal.36
28
Rukun dan Syarat Sah Perkawinan Adapun rukun adalah unsur pokok (tiang) dalam setiap perbuatan sedangkan syarat adalah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Apabila kedua unsur ini tidak dipenuhi maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum, demikian pula untuk sahnya perkawinan harus dipenuhi rukun dan syarat nika. Untuk itu penulis menyusun terlebih dahulu rukun perkawinan baru dilanjutkan dengan syarat sha perkawinan. 1. Rukun perkawinan adalah: a. Ada calon mempelai laki-laki dan perempuan b. Ada wali dari calon mempelai perempuan c. Ada dua orang saksi laki-laki d. Ijab dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya e. Qabul dari mempelai laki-laki atau wakilnya.36 2. Syarat sah perkawinan adalah: Adapun syarat sah bagi calon pengantin laki-laki sebagai berikut : a. Beragama islam b. Terang prianya (bukan banci) c. Tidak dipaksa d. Tidak beristri empat orang e. Bukan mahram calon istri f. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon istri g. Mengetahui calon istri tidak haram dinikahi h. Tidak dalam sedang ihram atau umrah 36
Sayyid Sabiq, Loc.Cit.
29
Adapun syarat sah bagi calon pengantin perempuan sebagai berikut: a. Beragama islam b. Terawang wanitanya (bukan banci) c. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya d. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah e. Bukan mahram calon suami f. Belum pernah di-li’an (disumpah li’an) oleh calon suami g. Terang orangnya h. Tidak dalam sedang ihram haji atau umrah.37
Rukun dan syarat perkawinan yang telah diuaikan diatas, merupakan hal yang mutlak dipenuhi oleh setiap orang yang mau melaksanakan perkawinan, karena tanpa melengkapi rukun dan syarat perkawinan tersebut di atas maka perkawinan menjadi tidak sah. Akan tetapi pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua, yaitu: a. Laki-laki dan perempuan sah untuk dinikahi. Artinya kedua calon pengantin adalah bukan haram dinikahi baik karena haram untuk sementara atau selamanya. b. Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi. Artinya saksi alam perkawinan merupakan syarat yang mutlak dalam pernikahan, karena perkawinan tanpa saksi merupakan perkawinan yang tidak sah dan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang37
Anonim, Pedoman Pembantu Pengawai Pencatat Nikah, hal.23-24
30
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami berumur sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri berumur sekurang-kurangnya 16 tahun.38
38
Anonim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Hal.18
31
Asas-asas Perkawinan Adapun asas-asas perkawinan dalam islam adalah : 1. Asas Terlaksananya Perintah Allah Subhanahu wata’la Menurut islam perkawinan bukanlah sekedar penyaluran naluri seks semata, melainkan juga merupakan perintah agama agar pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan terpelihara ketaqwaannya kepada Allah subhdanahu wata’la, firman Allah dalam surah Ali Imran : )ٔٗ: ُ (اه عَشا
Artinya : dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita. (QS. Ali Imran [3] : 14).39 Sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi waasallam :
فَِ سغةٜٔ ٗصيٌ اىّْنا ح ٍِ صّْرٞ هللا عيٚقا ه سص٘هللا صي )ٔٞ (ٍرفق عيٍّْٜ شٞ فيٜعِ صّْر Artinya : Rasulullah Shallahu „alaihi waasallam bersabda Nikah itu adalah sunnahku, maka barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku maka tidak termasuk umatku. (Muttafaq alaih).40 Berdasarkan ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa perkawinan itu merupakan prinsip-prinsip terlaksananya 39 40
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan. Hal. 64 As-Sayyid Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani Summa Ash-Shan‟ani Ma‟ruf bin Amir, Subulus Salam, hal.110
32
perintah agama. Itulah sebabnya, agama mengatur cara-cara melangsungkan perkawinan dengan berdasarkan syarat, rukun dan cara-cara pelaksanaannya dengan harapan perkawinan yang sakinah mawaddah warohmah di bawah Ridho Allah Subhanahu wata’ala. 2. Asas Rela Sama Rela antara Pihak-pihak Bersangkutan Salah satu asas yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang hendak melansungkan perkawinan ialah adanya usaha diantara kedua belah pihak agar masing-masing rela sama rela, baik dari calon mempelai perempuan dari pihak wanita, kerelaan dari pihak calon mempelai wanita dinyatakan dalam pengakuan dengan kata-kata (setuju), jikalau janda, atau dengan diamnya, jika ia masih perawan pada saat ditanyai kesediaannya
untuk
menikah
dengan
calon
suaminya,
sementara itu kerelaan dari pihak calon mempelai pria dapat di dengar ketika ia menyatakan kabul pada sat akad nikah, yaitu kesediaan menjadi suami yang bertanggung jawab dan baik sewaktu kepadanya dinyatakan (ijab) oleh wali dari calon mempelai wanita untuk menjadi suami dari anaknya, maka dalam ajaran Islam tidak boleh melaksanakan pasangan suami atau istri terhadap anak-anak kita karena prinsip perkawinan dalam Islam Termasuk rela sama rela, tidak boleh karena terpaksa, karena bila dipaksa akan membuat anak tertekan, tersiksa dan menderita seumur hidup karena perkawinan yang tidak rela sama rela akan menimbulkan khiyanat antara satu sama lain dalam keluarganya, hal itu akan mendatangkan fitnah dan membuat murka Allah Subhanahu wata’ala,
33
makanya Allah selalu menyuruh memilih pasangan hidup yang cocok, Firman Allah Subhanahu wata’ala :
)ٖ : (اىْضاء Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi (QS. An-Nisa [4] : 3)41 3. Asas Nikah untuk Selamanya Tujuan perkawinan adalah dalam rangka terwujudnya keluarga bahagia dalam kehidupan yang tenang, tentram (sakinah) berdasarkan kasih sayang. Firman Allah Subhanahu wata’ala :
)ٕٔ : ًٗ (اىش Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum [30] : 21).42
41 42
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 99 Ibid, Hal. 572
34
Berdasarkan ayat tersebut jelas perkawinan bertujuan untuk selamanya, karena kalau dalam perkawinanya bisa bahagia pasti merasa tentram, kalau merasa tentram pasti bisa selamanya, dengan prinsip nikah untuk selamanya, maka dalam perkawinan terdapat tiga larangan, 1) membatasi waktu perkawinan, 2) nikah mut’ah, 3) nikah muhallil. a. Adapun larangan membatasi waktu perkawinan. Suatu perkawinan tidak boleh dibatasi waktunya, oleh sebab itu dalam akad nikah tidak dibenarkan ada pernyataan tentang batasan nikah. b. Larangan nikah mut‟ah. Nikah mut‟ah adalah nikah yang dilakukan untuk sekedar bersenang-senang, yaitu nikah yang ditentukan untuk waktu tertentu, atau untuk sementara yang sewaktu-waktu boleh diputuskan (cerai). c. Larangan nikah muhallil. Nikah muhallil adalah nikah yang dilakukan seseorang dengan wanita mantan istri yang telah dijatuhi talak tiga, yang pernah dinikahi orang lain dan diceraikan pula. Nikah muhallil ini dilarang karena terdapat unsur kesengajaan dari mantan suami, yang kedua untuk melakukan perkawinan yang sifatnya sementara dengan maksud, karena permitaan bekas suami yang pertama agar dapat menikahinya kembali.43 Tiga larangan tersebut bertujuan agar perkawinan kekal abadi, harmonis, saling sayang menyayangi, kasih mengasihi antara satu sama lain, sehingga tercipta perkawinan yang baik untuk selama-lamanya karena perkawin untuk selamanya
43
HAL. E. Hasan Saleh (Editor), Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kntemporer, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 208), hal. 316-317
35
merupakan perintah Allah dan Rasul-nya, maka bila kita berpedoman kepada perkawinan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam beliau tidak pernah bererai dengan istri-istrinya walaupun Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah rumah tangganya digoncang oleh issu yang tidak bertanggung jawab yaitu antara Nabi dengan istrinya „Aisyah yang terkenal dengan haditsul ifki, namun Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tetap dapat mempertahankan keluarganya itu sampai akhir hayatnya. 4. Asas Monogami Ketentuan hukum Islam yang membenarkan seorang laki-laki boleh menikah lebih dari pada seorang wanita, hal ini bukanlah hal yang mudah dan bukan pula maksud yang dikehendaki firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 3.
)ٖ : (النساء Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
36
budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. AnNisa [4] : 3).44
Mengingat kalimat sebelumnya adalah menyangkut nasib anak-anak yatim, dan itulah maksud sebenarnya yaitu menjaga dan memelihara anak yatim secara benar, tidak boleh disia-siakan, karena merupakan kewajiban setiap muslim untuk memelihara anak yatim dengan sebaik-baiknya, dan di samping itu melihat dari asbabun nuzul dari QS. An-Nisa ayat 3 tersebut sebagai berikut : „Aisyah r.a menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki yang suatu ketika menguasai anak yatim yang kemudian dinikahinya, lalu ia mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan wanita yatim yang menjadi tanggungannya itu, karena itu di dalam pernikahan ia tidak mamberi apa-apa dan menguasai seluruh harta perserikatan itu, hingga wanita itu tidak mempunyai kuasa apapun (HR. Bukhari).45 Melihat dari asbabun nuzul ini berarti seorang laki-laki menikahi lebih dari seorang wanita bukanlah maksud yang sebenarnya, tapi ayat tersebut lebih untuk menjaga dan memelihara harta anak yatim untuk itu dalam pernikahan adalah mempunyai prinsip monogami demi kesejahteraan keluarga dan demi terjaganya keharmonisan rumah tangga.
44
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen Agama RI, 2008), hal.90 45 Ahmad Hatta, Tafsir Al-Qur’an Perkata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah, hal.77
37
Jadi poligami tidaklah mempunyai prinsip pernikahan dalam islam tapi hanya sekedar menyelamatkan anak yatim, itupun bila sanggup berlaku adil.
5. Asas Suami sebagai Penanggungjawab Keluarga Asas dalam perkawinan adalah bahwa laki-lakilah yang bertanggungjawab, yang wajib untuk mencukupi kebutuhan keluarga (istri dan anak), firman Allah Subhanahu wata’ala.
(النساء )ٖٗ : Artinya :
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita,
oleh
karena
Allah
telah
melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara. (QS. An-Nisa [4] : 34).46
Ayat
ini
menunjukan
bahwa
suami
mempunyai
kedudukan yang lebih dari pada istri, karena suami adalah penanggung jawab bagi keluarga di dalam pencari nafkah sekaligus berkewajiban melindungi istri dan anak-anaknya, maka walaupun istri lebih tinggi jabatan dalam pekerjaan 46
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen Agama RI, 2008), hal.108
38
namun dalam rumah tangga ia mempunyai kewajiban menjaga harta dalam rumah tangganya, dan mempunyai tugas untuk mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yag baik, namun secara keseluruhan suamilah yang bertanggung jawab untuk memberikan keamanan dan kenyamanan terhadap keluarga, dan antara suami dan istri sama-sama mempunyai bagian dalam urusan rumah tangga sesuai kodrat masing-masing dan sesuai dengan ilmu yang mereka peroleh. Firman Allah dalam surah Al-Nisa ayat 32.
)ٖٕ : (اىْضاء Artinya : Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan. (QS. An-Nisa‟ [4] : 32).47
Berdasarkan ayat ini ada bagian-bagian masing-masing, yaitu sebagai seorang suami mempunyai tanggung jawab tentang sandang, pangan, papan dan kenyamanan, sedangkan si istri mempunyai tanggung jawab dalam mengurus rumah dan harta suaminya serta mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan terhadap anak-anaknya, namun prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab suami dalam rumah tangga sebagai kepala dalam rumah tangganya. 47
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen Agama RI, 2008), hal.108
39
Wali dalam Perkawinan Sebelum penulis menguraikan tentang pengertian, syarat-syarat dan macam-macam wali nikah serta urutannya ada baiknya penulis memberikan gambaran umum tentang Jambi Timur sebagai lokasi penelitian dalam menghimpun data yang akurat untuk penyusunan tesis ini. Kecamatan
Jambi
Timur
merupakan
salah
satu
kecamatan dari 8 (delapan) kecamatan yang ada di wilayah Kota Jambi, dengan luas wilayah 20.21 km2 yang terletak kurang lebih 15 mil dari permukaan laut (sungai Batang Hari), dengan jumlah penduduk sebanyak 94.593 jiwa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan perincian ; penduduk muslim berjumlah 80.571 jiwa, sedangkan penduduk non muslim berjumlah 14.002 jiwa yang terdiri dari 10 kelurahan 217 RT dengan perincian sebagai berikut : 1. Kelurahan Sijenjang 2. Kelurahan Kasang Pudak 3. Kelurahan Talang Banjar 4. Kelurahan Budiman 5. Kelurahan Sulanjana 6. Kelurahan Kasang 7. Kelurahan Tanjung Pinang 8. Kelurahan Rajawali 9. Kelurahan Payo Selincah 10. Kelurahan Tanjung Sari Jika melihat kepada luas wilayah dan jumlah kelurahan yang ada maka dapat diketahui bahwa Kecamatan Jambi Timur
40
merupakan salah satu kecamatan di Kota Jambi yang cukup luas wilayahnya dan beragam agama yang dianut, sebagaimana dalam tabel berikut ini. Tabel. 1 Potensi Penduduk No
Jumlah
Kelurahan
Penduduk
Jumlah
1
Sijenjang
RT 8
KK 775
LK 2.200
Pr 2.101
4.301
2
Kasang Jaya
14
1.413
3.547
3.600
7.147
3
Talang Banjar
35
2.146
8.719
8.500
19.200
4
Budiman
20
1.153
2.712
2.900
5.612
5
Sulanjana
16
2.653
2.555
2.800
5.355
6
Kasang
13
1.356
3.400
3.109
6.509
7
Tanjung Pinang
33
2.911
7.506
7.500
15.006
8
Rajawali
25
1.971
4.983
4.683
9.683
9
Payo Selincah
29
2.330
6.700
6.618
13.318
10
Tanjung Sari
24
1.669
4.262
4.200
8.462
Jumlah
217
18.368
46.284
45.011
94.593
Ket
Tabel. 2 Potensi Umat Beragama No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kelurahan
Islam Sijenjang 3.437 Kasang Jaya 6.638 Talang Banjar 17.219 Budiman 4.519 Sulanjana 3.594 Kasang 5.024 Tanjung Pinang 12.909 Rajawali 8.049 Payo Selincah 11.128 Tanjung Sari 8.054 Jumlah 80.571
Katholik 202 171 435 106 844 816 400 210 334 97 3.616
Umat Beragama Protestan Hindu Budha 68 39 27 251 30 36 309 400 350 95 47 605 38 309 490 235 198 225 400 194 103 330 330 348 329 329 349 102 102 103 2.631 1.978 2.636
Konghucu 528 20 487 240 80 11 1000 194 581 20 3.161
Jlh 4.301 7.147 19.200 5.612 5.355 6.509 15.006 9.683 13.318 8.462 94.593
41
Inilah gambaran umum wilayah Jambi Timur sebagai lokasi penelitian yang berhubungan dengan penyusunan tesis ini dan dibutuhkan untuk tempat pengambilan data-data, seterusnya penulis uraikan : A. Pengertian, Syarat-syarat dan Macam-macam Wali Nikah serta Urutannya. Dalam pembahasan ini, ada tiga hal yang akan penulis jelaskan. Pertama penulis akan membahas tentang pengertian wali, dan yang kedua penulis akan membahas tentang syaratsyarat, serta yang ketiga penulis akan membahas tentang macammacam wali nikah serta urutannya, sebagaimana berikut ini. 1. Pengertian Wali Secara etimologi kata „wali‟ berasal dari Bahasa Arab yang bermakna pelindung atau penolong.48 Dalam fiqh kata wilayah (حٝ )ٗالdigunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seseorang perempuan. Hak itu dipegang oleh wali nikah.49 Dalam Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq menyatakan, bahwa wali nikah ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.50
48
Abd bin Nub Oemar Bakriy, Kamus Arab Indonesia-Inggris, (Jakarta; Sumber Mulya, 1974), hal.265 49 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta; PT.Ikhtiar Van Hope, 1996), hal.1944 50 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung; Al-Ma‟arif, 1986), Jilid 7, hal.11
42
Perwalian terbagi dua yaitu perwalian umum dan perwalian yang khusus. Yang khusus ialah perwalian manusia atas manusia dan harta benda. Perwalian atas manusia di sini ialah perwalian dalam pernikahan. Sejalan
dengan
pendapat
tersebut,
Peunoh
Daly
mengatakan bahwa wali ialah orang-orang yang berhak dan berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang berada di bawah perwaliannya menurut ketentuan syari‟at. Dalam masalah perkawinan, diperlukan wali dari pihak perempuan sebab perempuan tidak sah melakukan akad nikah.51 Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa wali nikah adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh syara‟ kepada seorang laki-laki yang cakap untuk menjadi wakil dari calon mempelai perempuan karena ia dianggap tidak cakap dalam masalah perkawinan. Di samping itu beragam pula pendapat ulama tentang kedudukan wali dalam perkawinan. Apakah wali itu termasuk rukun perkawinan sehingga perkawin yang tidak dihadiri oleh wali menjadi perkawinannya tidak sah, atau hanya sebuah syarat nikah sehingga apabila syarat yang dibutuhkan terpenuhi, seorang perempuan yang baligh dan berakal bisa menikahkan dirinya. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa wali adalah rukun nikah. Pendapat ini didukung oleh Imam Syafi‟i, Maliki dan Hambali. Mereka berpendapat bahwa apabila seorang perempuan yang baligh, berakal sehat serta masih gadis 51
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1996), hal.134
43
hendak menikah, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali. Apabila ia janda maka hak itu ada pada keduanya, wali tidak boleh mengawinkan janda tersebut tanpa persetujuannya. Sebaliknya perempuan tersebut tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu dari sang wali. Akad yang diucapkan oleh perempuan tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuan.52 Hanya saja Imam Malik berpendapat bahwa wali hanya disyaratkan untuk pernikahan bangsawan, ia tidak disyaratkan untuk pernikahan perempuan kebanyakan mengapa? Karena malik berpegang pada mashalih mursalah, bahwa seorang bangsawan saat itu akan merasa malu dan memandang aib besar bila anak perempuannya menikah dengan laki-laki kebanyakan.53 Orang-orang
yang
mensyaratkan
wali
untuk
melangsungkan perkawinan mengambil dalil dari Al-Qur‟an, As-Sunnah dan Logika. Adapun dalil-dalil dari Al-Qur‟an firman Allah Subhanahu wata’ala dalam : a. QS. An-Nur [24] : 32
) ٖٕ : (اىْش
52
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta; Lentera Basritama, 1996), hal.345 53 Haramein,K edudukan Wali Dalam Pernikahan, Majalah Paras, Edisi Khusus No.28, (2006), hal.56
44
Artinya :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara
kamu,
dan
orang-orang
yang
layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya.
dan
Allah
Maha
Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. An-Nur [24] : 32).54 b. QS. Al-Baqarah ayat 221
) ٕٕٔ : (البقره Artinya :
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman... (QS. Al-Baqarah [2] : 221).55 c. QS. Al-Baqarah ayat 232
) ٕٖٕ : (البقره
54
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen Agama RI, 2008), hal. 494 55 Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen Agama RI, 2008), hal.43
45
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS. Al-Baqarah [2] : 232).56 Cara pengambilan dalil dengan dua ayat pertama ialah bahwa khitab pada ayat tersebut ditujukan kepada wali, maka ayat itu menunjukan bahwa perkawinan itu diserahkan kepada mereka bukan kepada perempuan calon pengantin. Jalan mengambil dalil dari ayat ketiga ialah bahwa ayat tersebut melarang wali mencegah perempuan kawin dengan pria yang mereka pilih sebagai calon suami. Dan pencegahan hanya dapat terjadi dari orang yang dalam tangannya terletak sesuatu hak, maka ayat itu menunjukan bahwa akad nikah berada di tangan wali bukan di tangan perempuan. Pendapat itu diperkuat oleh hadits yang datang mengenai sebab, turunanya ayat tersebut (Al-Baqorah[2]: 232). Imam Bukhari telah meriwayatkan dalam Shahihnya, juga Abu Daud dan Tirmidzi telah menshahihkannya. “Ma‟qil bin Yasar menceritakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dirinya katanya, „saya menikahkan seorang saudara perempuan saya 56
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen Agama RI, 2008), hal. 46-47
46
dengan seorang pria, kemudian ia menceritakannya. Ketika iddahnya habis, ia datang lagi untuk meminangnya, maka saya menjawab, „Dulu kamu saya jodohkan, saya nikahkan dan saya muliakan. Tapi kemudian kamu menceraikan dan kini kamu datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah! Kamu tidak dapat kembali lagi padanya untuk selama-lamanya. Lelaki ini orangnya biasa saja tetapi bekas isterinya ingin kembali
kepadanya.
Lalu
Allah
Subhanahu
wata’ala
menurunkan surat Al-Baqarah ayat 232. Kemudian saya berkata, sekarang saya menerima ya Rasulullah dengan ucapannya ... maka aku nikahkan saudaraku itu kepadanya. Al-Hafizh dalam Fathul Bari berkata, sebab turunya ayat tersebut yang paling tepat adalah karena riwayat ini dan sekaligus merupakan alasan yang kuat tentang hukum wali, karena kalau perempuan boleh mengawinkan dirinya sendiri tentu ia tidak perlu kepada saudara laki-lakinya tersebut. Sebab barang siapa yang perkarannya menjadi kekuasaannya sendiri, tentu tidak akan dikatakan kepada orang lain „menghalang-halangi‟
jika
memang
tidak
setuju
pada
tindakannya. Adapun dalil-dalil dari sunnah : a. Hadits dari Abi Burdah yang berbunyi :
ٓ (سٗأٜ ٗصيٌ قا ه الّنا ح إالت٘ ىٞ هللا عيٚ صيٜ تشدج أُ اىْثٚعِ أت )أت٘داٗد
47 Artinya
: Dari Abu Burdah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak sah nikah tanpa seorang wali”. (HR. Abu Daud).57
Hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan AlHakim. Al-„Hakim menyebutkan banyak jalan bagi hadits itu dan dia berkata, “Telah saya shahihkan riwayat tentangnya dari isteri-isteri Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, Aisyah, Ummu Salamah dan Zainab binti Jahasyi. Kemudian dia memaparkan genap 30 sahabat nabi, mereka mengatakan dengan tegas bahwa tidak sah nikah tanpa wali.” b. Hadits dari Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ٌٔ ٗصيٞ هللا عيٚ قاه سص٘ه هللا صي: عِ عائشح قاىد ثالز، فْنا دٖا تاطو،ٖاٞشإرُ ٍ٘اىَّٞااٍشأج ّنذد تغٝأ ُ فإُ دخو ٕا فا ىَٖشىٖاتَاأصاب ٍْٖافإ،ٍشّاخ )اىٖا (سٗآ أت٘داٗدٞ ٍِ الٗىٜاثرجاسٗافاىضّيطاُ ٗى Artinya : Dari Aisyah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapapun perempuan yang menikah tanpa izin wali maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali), jika suaminya menggaulinya maka maharnya adalah untuknya (si perempuan), karena apa yang diperolehkan daripadanya kemudian apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi
57
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, hal.229
48
wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud).58 c. Hadits yang berasal dari Abu Hurairah :
: ٌٔ ٗ صيٞ هللا عيٚ قاه سص٘ه هللا صي: شجقاهٝ ٕشٜعِ أت ّ ، ٗالذز ّٗج اىَشأجّفضٖا،الذز ّٗج اىَشأجاىَشأج ٜٕ حّٞفإُ اى ّزا )خ اىجاٍعٞ صذٜ ذز ّٗج ّفضٖا (سٗآ اتِ ٍاجح ٕٗ٘فٜاىّر Artinya : Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Wanita tidak dapat mengawinkan wanita dan dia tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri, Maka sesungguhnya wanita pezinalah yang mengawinkan dirinya”. (HR. Ibnu Majah).59 Adapun dalil menurut logika sebagaimana dijelaskan berikut ini: a. Menurut Syaikh Mahmud Syaltut, Pernikahan itu mempunyai beberapa tujuan. Sedangkan perempuan biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Oleh karena itu dia tidak pandai memilih sehingga tidak dapat memperoleh tujuan-tujuan utama dalam pernikahan itu. Dalam pada itu dia tidak boleh mengurus langsung akadnya, tetapi hendaknya diserahkan kepada walinya agar tujuan pernikahan itu benar-benar tercapai dengan sempurna.60
58
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, hal.229 Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut; Dar Al-Filer, t.th), Jilid I, hal.601 60 Syaikh Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab Masalah Fiqh, (Jakarta; Bulan Bintang, 1973 M), hal.122 59
49
b. Mahmud Yunus menjelaskan, bahwa perlunya wali dalam pernikahan adalah karena agama. Islam mementingkan adanya perhubungan antara anak dengan orang tuanya harus tetap dijaga dengan baik. Oleh karena itu, seorang anak perempuan bila hendak menikah dengan seorang laki-laki haruslah dengan perantara orang tuanya (wali), dan dengan persetujuan keduaduanya ( anak dan orangtua ) supaya rumah tangga yang didirikan oleh mereka tetap berhubungan dengan baik dengan rumah tangga orangtuanya. Karena itu sudah sepantasnya urusan pernikahan itu diserahkan ke tangan wali dengan tidak melupakan persetujuan (izin) putrinya.61 Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa wali hanyalah syarat dalam sebuah pernikahan. Pendapat ini di dukung oleh Imam Abu Hanifah, menurutnya perempuan yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya, dan boleh pula menikahkan dirinya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain. Namun apabila seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu maka pihak wali boleh menolak. Menurut Mazhab Hanafi, wali menjadi syarat sah nikah hanya bagi pernikahan anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan, juga bagi pernikahan orang gila atau budak. Kedudukannya adalah bagi perempuan yang sudah dewasa lagi sehat akalnya hanyalah sebagai penyempurna. Sebab perempuan itu sendiri sah melakukan akad nikahnya
61
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta; Pustaka Mahmudin, 1956), hal. 24-25
50
untuk dirinya sendiri atau mengangkat orang lain sebagai walinya untuk mengakadnikahkan dirinya. Hanafi dan ulama yang memperbolehkan seorang perempuan mengangkat orang lain menjadi wali, atau mewakilkan dirinya sendiri berargumen dengan Al-Qur‟an, As-Sunnah dan logika. Argumen dari dalil Al-Qur‟an : 1. Surah Al-Baqarah ayat 230
... )ٕٖٓ : (البقرة Artinya : kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.... (QS. Al-Baqarah [2] : 230)
51
2. Surah Al-Baqarah ayat 232
)ٕٖٕ : (البقرة
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih
baik
bagimu
dan
lebih
suci.
Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS. Al-Baqarah [2] : 232) 3. Surah Al-Baqarah ayat 234
)ٕٖٗ : (البقرة
52
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(QS.Al-Baqarah [2] : 234) Kata-kata yankihna dan tankiha pada surah Al-Baqarah ayat 230-232 di atas bermakna menikah, di sini pelakunya adalah perempuan bekas isteri itu tadi, pekerjaan mana yang dalam isnad hakiki (riwayat) semestinya dikerjakan langsung oleh pelaku aslinya, tegasnya tidak dikerjakan orang lain sebagaimana halnya pada isnad majazi (kiasan), demikian pula dilihat dalam surah Al-Baqarah ayat 234 terdapat kata kerja fa’alna mengerjakan atau perbuatan pelakunya adalah wanita perempuan yang kematian suami.62 Adapun argumen dari dalil As-Sunnah dari hadits yang berasal dari Abdullah bin Fadhl yang berbunyi:
ّ ة أدّٞ اىث: عِ عثذهللا تِ اىفضو ّٖاٞق تْفضٖا ٍِ ٗى )ضرأ ٍشٕاأتٕ٘ا (سٗآ أت٘داٗدٝٗاىثنش Artinya : Dari Abdullah bin Fadhl : “Seorang janda lebih berhak
atas
dirinya
sendiri
daripada
walinya.
Sedangkan gadis dimintai izin akan dia oleh bapaknya”. (HR. Abu Daud).63
62
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Hukum Acara Perdata PA dan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 1985), hal.218 63 Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, hal.232-233
53
Hadits di atas memberikan gambaran terhadap seorang perempuan hak atas dirinya dan menapikan orang lain mengenai urusan nikahnya, menurut umumnya mencakup apa yang berhubungan dengan calon suami dan apa yang berhubungan dengan akad, adapun perempuan perawan (gadis), karena melihat dari segi ia tidak jinak dengan laki-laki dan biasanya malu menegaskan kerelaannya, lebih-lebih bertindak langsung mengenai akad, maka syara‟ mencukupkan dengan sesuatu yang menunjukan kerelaannya untuk memberi keringanan baginya, hadits di atas bahkan tidak menunjukan tidak sah akad yang dilakukan oleh perawan, tetapi yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa izinnya itu cukup dengan menunjukan sesuatu kerelaannya untuk dinikahkan, karena diperhitungkan ia masih malu, maka berdasarkan hadits ini, tidak ada jalan bagi pendapat mereka mengambil dalil bahwa si perempuan tidak mempunyai hak kecuali memberi izin mengenai nikahnya. Adapun
argumen
dari
dalil
logika
ialah,
rasio
menetapkan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan penuh dalam bertindak dan tidak seorangpun baik yang memiliki hubungan kekerabatan dekat maupun jauh yang punya kekuasaan untuk memaksanya.64 Disyaratkan
adanya
wali
bagi
wanita.
Islam
mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, 64
Syaikh Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh, hal.346
54
mengurus akad nikahnya.tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi walasam bersabda :
" ٌٔ ٗصيٞ هللا عيٚ قاه سص٘ه هللا صي: عِ عائشح قاىد ، ثالز ٍشّاخ، فْنادٖاتاطو،ٖاٞشإرُ ٍ٘اىَّٞاا ٍْشأج ّنذد تغٝأ ٜفإُ دخو ٕا فاىَٖشىٖاتَاأصا ب ٍْٖا فإُ ثرجاسٗافاى ّشيطاّ٘ى ) ىٖا(سٗآ أت٘داٗدٍِٜ الٗى Artinya : Dari Aisyah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “siapapun perempuan yang menikah tanpa izin wali maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali), jika suamniya menggaulinya maka maharnya adalah untuknya (si perempuan), karena apa yang diperolehkan daripadanya kemudian apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud).65 Hadits di atas merupakan hujjah yang kuat tentang wali merupakan rukun nikah. Oleh karena itu, wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Banyak ulama yang menegaskan dengan adanya wali. Sebagaimana dikutip oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam artikelnya yang berjudul, Aqad Nikah diantaranya adalah :66
65
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, hal.229 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Aqad Nikah, www.islamic-wedding.com, 3 februari 2009 66
55
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur ulama berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan
saudara
laki-lakinya.
Ibnu
Mundzir
menyebutkan bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang berselisih tentang hal itu. Imam asy-Syafi‟i rahimahullah berkata, “siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, maka nikahnya bathil (tidak sah).” Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamanya, atau anak laki-laki pamannya...” Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam
bersabda,ٜإالت٘ى
الِّنا َح
melainkan dengan adanya wali.
Pernikahan
tidak
sah,
56
Meskipun
para
ulama
berbeda
pendapat
tentang
kebolehan seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri akan tetapi hampir disepakati, bahwa sebaiknya perempuan harus dinikahkan oleh seorang wali nikah baginya, karena adat kebiasaan yang baik dan sesuatu yang pantas bagi perempuan seperti tidak keluar dari adat kebiasaannya adalah hal yang dipandang baik, apalagi perempuan fitrahnya adalah pemalu, lebih baik dia menguasakan akad nikahnya kepada seorang wali demi menjaga pandangan yang kurang wajar dari pihak pria asing, seandainya ia sendiri yang melangsungkan akad nikahnya. Apalagi nyata-nyata ada hadits yang menyatakan bahwa nikah tidak sah tanpa adanya wali. Hal ini yang seharusnya menjadi pegangan dan ia merupakan pendapat mayoritas ulama.
57
Syarat-Syarat Wali Pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam menetapkan bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang lakilaki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.67 Syarat pertama menjadi wali nikah ialah laki-laki merupakan syarat perwalian, karena laki-laki dianggap lebih sempurna. Sedangkan perempuan dianggap mempunyai kekurangan, perempuan dianggap tidak sanggup mewakili dirinya sendiri, apalagi mewakili orang lain.68 Dengan demikian menurut pasal 20 Kompilasi Hukum Islam seorang perempuan tidak bisa menjadi wali nikah dan ia tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri atau orang lain, seandainya terjadi perkawinan diman ia mewakilkan dirinya sendiri, maka pernikahan tersebut menurut undang-undang perkawinan dianggap tidak sah. Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini cenderung kepada pendapat para ulama yang mengatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi wali nikah berdasarkan. 1) Firman Allah Subhanahu wata‟ala :
)ٖٕ : )اىْ٘س Artinya :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara 67 68
kamu,
dan
orang-orang
yang
layak
Anonim, Kompilasi Hukum Islam, hal.20 Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal.59
58
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya.
dan
Allah
Maha
Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. AnNur [24] : 32) 2) Firman Allah Subhanahu wata‟ala :
)ٕٕٔ : (اىثقشج... Artinya :
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman.... (QS. AlBaqarah [2] : 221) Kedua ayat tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa Allah menyerahkan perkara pernikahan kepada pihak pria dan bukan kepada pihak perempuan. Syarat kelaki-lakian itu dipegang oleh tiga fuqoha mazhab klasik kecuali Hanafi. Fuqoha modern seperti Wahbah Zuhaili, juga mensyaratkan laki-laki menjadi wali, berbeda dengan Wahbah Zuhaili, yaitu Sayyid Sabiq tidak menyertakan laki-laki dalam persyaratan wali, menurutnya yang termasuk syarat wali adalah beraqal, dewasa, merdeka dan islam, dan tidak ditemukan dalam pendapat mereka wali nikah yang harus ada hubungan nasab atau wali hakim tapi beraqal, dewasa, merdeka. Sementara dalam surah Al-Baqarah ayat 221 dan surah An-Nur ayat 32, Said Syabiq berpendapat bahwa ayat ini secara ekplisit tidak pernah menyinggung ketidakbolehan wali muhakkam menjadi wali dalam pernikahan, dalam kedua ayat
59
tersebut hanya ada perintah mengawinkan, tetapi yang diperintahkan tidak hanya wali nasab dan wali hakim. Ayat tersebut merupakan bentuk perintah yang mengarah kepada laki-laki, namun ini sangat erat hubunganya dengan budaya masyarakat setempat. Turunya ayat ini memang menganut pola kepemimpinan laki-laki, maka dalam situasi ketika lakilaki bisa menjadi pemimpin, seharusnya ayat tersebut bisa ditafsirkan lain dalam arti yang lebih luas. Jadi menurut penulis dapat disimpulkan, bahwa tidak ada satu ayat pun yang menunjukan kepastian dasar hukum yang mensyaratkan bahwa seorang wali haruslah dari wali nasab atau wali hakim, hanya didasarkan pada ayat-ayat yang mengandung kemungkinan makna yang demikian. Syarat kedua menjadi wali nikah adalah beragama Islam. Jika memang yang diperlukan
wali itu beragama Islam,
memang yang bukan Islam tidak boleh menjadi wali bagi umat Islam. Firman Allah.
( اىْضاء ) ٔٗٔ : Artinya :
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orangorang yang beriman.(QS. An-Nisa‟ [4] : 141).
Imam Ahmad menyebutkan kami mendengar Ali pernah membolehkan
pernikahan
dimana
yang
menjadi
wali
60
seseorang laki-laki muslim dan menolak pernikahan dimana seorang ayah yang menjadi walinya adalah seorang Nasrani. Dari ayat tersebut diatas juga dijelaskan syarat yang kedua ini adalah seorang muslim tidak dikhususkan yang menjadi wali nikah itu haruslah yang terdiri dari wali nasab atau wali hakim tapi yang jelas dengan syarat beragama Islam. Syarat ketiga adalah aqil atau berakal,
perwalian
ditetapkan untuk membantu ketidakmampuan orang yang menjadi objek perwalian dalam mengekspresikan dirinya, sedangkan orang yang tidak berakal sehat dipastikan tidak akan mampu melakukannya dan tidak dapat mewakili orang lain. Merujuk pada penjelasan diatas, secara tersurat dapat disimpulkan bahwa: orang gila, anak kecil, bahkan orang yang pikun karena usia tua tidak dapat menjadi wali, karena orangorang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat ke empat baligh. Baligh merupakan syarat bisa menjadi wali menuru mazhab Hambali. Imam Ahmad mengemukakan seorang anak tidak boleh menikahkan seorang perempuan hingga ia mimpi, karena ia tidak mempunyai kekuasaan untuk itu. Pada riwayat yang lain Imam Ahmad juga mengatakan bahwa jika seorang anak telah menginjak usia sepuluh tahun, maka ia boleh menikahkan dan menikah serta boleh menceraikan, yang menjadi dasarnya adalah bahwa anak terseut dibenarkan untuk melakukan transaksi jual beli, berwasiat dan menceraikan sehingga ditetapkan baginya hak perwalian sebagaimana haknya anak yang sudah baligh.69 69
Syekh Ayyub, Fikkih Keluarga, hal.59
61
Yang pertama adalah pendapat Abu Bakar, dan inilah pendapat yang paling kuat karena perwalian terkait tindakan terhadap orang lain, sedangkan anak yang masih kecil berada di bawah kekuasaan walinya karena ketidakmampuannya dalam bertindak dan berbuat. Dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat menjadi wali nikah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah laki-laki, muslim, baligh, dan berakal,
persyaratan
wali
ditetapkan
untuk
membantu
ketidakmampuan orang yang menjadi objek perwalian dalam mengekspresikan diri.
62
Macam-macam Wali Nikah serta Urutannya Pernikahan harus dilangsungkan dengan wali, apabila dilangsungkan tidak dengan wali atau yang menjadi wali bukan yang berhak maka pernikahan tersebut tidak sah. Adapun wali nikah itu ada tiga yaitu wali nasab, wali hakim dan wali muhakkam.70 Tetapi dalam fiqih munakahat kajian fiqih nikah lengkap, menurut Prof Dr. HMA Tihami, MA, MM dan Drs. Sohari Sahrani MM. MH menyatakan bahwa macam-macam wali dalam pernikahan ada empat macam yaitu wali nasab, wali hakim (Sulthan), wali muhakkam dan wali maula.71 a. Wali Nasab Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita, orang-orang tersebut adalah keluarga dari calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali menurut urutan sebagai berikut : 1) Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan pria murni (yang berarti dalam garis keturunan itu tidak ada perhubungan yang wanita), yaitu : a) Ayah b) Ayah dari ayah c) Dan seterusnya ke atas. Ayah dari ibu atau ayah dari ibu si ayah tidak berhak menjadi wali, karena dalam garis keturuna itu terdapat 70
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.32 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta; Pt.Raja Grafindo Persada, 2009), hal.59 71
63
penghubung wanita, yang berarti garis keturunan sudah tidak murni lagi dengan terdapat jenis wanita sebagai penghubung dalam garis keturunan itu. 2) Pria keturunan dari ayah mempelai wanita dalam garis pria murni, yaitu: a) Saudara kandung b) Saudara seayah c) Anak dari saudara kandung d) Dan seterusnya ke bawah Saudara seibu, anak saudara wanitanya atau anak dari wanita saudara pria tidak berhak menjadi wali karena dalam garis keturunannya terdapat perhubung wanita (garis yang menghubungkannya melalui wanita). 3) Pria keturunan dari ayahnya dalam garis pria murni, yaitu: a) Saudara kandung dari ayah b) Saudara sebapak dari ayah c) Anak dari saudara seayah d) Dan seterusnya ke bawah Saudara seibu dari ayah, anak saudara wanita dari ayah atau dari anak wanita si ayah tidak berhak menjadi wali karena dalam garis keturunan itu terdapat penghubung wanita. Apabila wali tersebut di atas tidak beragama Islam sedangkan calon mempelai wanita beragama Islam atau wali-wali di atas belum baligh atau tidak berakal, atau rusak pikirannya atau bisu tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidak bisa menulis maka yang menjadi wali pernikahan adalah wali berikutnya.
64
Sedangkan calon mempelai wanita yang sudah tidak mempunyai ayah atau kakek lagi, sedangkan saudarasaudaranya ada tapi belum ada yang baligh dan tidak pula mempunyai wali yang terdiri dari keturunan ayah (misalnya keponakan), maka yang berhak menjadi wali adalah saudara kandung dari ayah. b. Wali Hakim Yang dimaksud dengan wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan dengan catatan apabila seorang calon mempelai wanita: 1) Tidak mempunyai wali nasab sama sekali. 2) Wali mafqud, artinya tidak tentu keberadaanya. 3) Walinya sendiri yang akan menjadi mempelai pria. Sedangkan wali yang sederajat dengannya tidak ada. 4) Wali berada di tempat yang jaraknya sejauh masafatul qashri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar), yaitu 92,5 km. 5) Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai. 6) Wali adhal yaitu wali yang tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan. 7) Wali yang sedang melakukan ibadah haji atau umrah. Maka yang berhak menjadi wali adalah wali hakim, kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali dalam hal yang demikian, orang lain yang diwakilkan itulah yang berhak menjadi wali.
65
Sesuai dengan Peraturan Mentri Agama Nomor 2 Tahun 1987 yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
66
c. Wali Muhakkam Adapun wali muhakkam disebut juga dengan wali tahkim (ٌٞ )ذذنyang berarti putusan72 yaitu putusan seseorang dalam menyelesaikan perselisihan, atau permasalahan bagi orang-orang yang berselisih atau bermasalah. Berarti wali tahkim ialah seseorang yang bertindak sebagai pelindung atau penolong untuk menyelesaikan dua orang atau lebih yang sedang berselisih atau yang bermasalah dengan putusan yang baik, termasuk seseorang yang membuat putusan untuk menikahkan seorang perempuan yang tidak mempunyai wali dalam perkawinannya. Menurut Prof Dr. H.M.A Tihami MA, MM dan Drs. Suhari Sahrani, MM, MH mengatakan bahwa wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan calon istri. Untuk dapat menjadi wali nikah bagi perempuan yang tidak mempunyai wali lagi namun di kalangan masyarakat lebih banyak
memakai
istilah
tahkim
untuk
menyelesaikan
perselisihan antara suami isteri yang sedang berselisih atau yang bermasalah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala dalam Surah An-Nisa‟ ayat 35 :
) ٖ٘ : ( اىْضاء
72
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta; Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998), hal.427
67
Artinya :
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. An-Nisa‟ [4] : 35) Melihat
arti
dari
ayat
tersebut
adalah
untuk
menyelesaikan perselisihan diantara yang sudah menjadi suami isteri. Adapun asbabun nuzul ayat tersebut diatas adalah Hasan Radhiyallahu anhu menjelaskan bahwa suatu ketika seorang wanita mengadu pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atas perlakuan suaminya yang telah menampar mukanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, suamimu berhak diqishash (dibalas) kemudian turunlah ayat QS. Annisa‟: 35 ini. Wanita itu pun pulang dan tidak jadi menuntut qishash suaminya. (HR. Ibnu Abi Hatim)73 Berdasarkan ayat dan asbabun nuzul tersebut di atas jelaslah bahwa tahkim dengan muhakkam tidak sama walaupun ada yang berpendapat bahwa wali tahkim adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan untuk menjadi wali dalam perkawinannya. Akan tetapi tahkim dipakai untuk menolong menyelesaikan perselisihan sepasang suami isteri dengan putusan yang baik seadil-adilnya. 73
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata, hal.84
68
Adapun wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam pernikahan mereka. Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim. Padahal di tempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam.
Caranya
adalah
kedua
calon
mempelai
mengangkat seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang hukum menjadi wali dalam pernikahan mereka.74 Wali muhakkam boleh dilaksanakan apabila : 1) Wali nasab tidak ada. 2) Wali nasab ghaib atau berpergian sejauh masafatul qashri. 3) Tidak ada Qadhi atau Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk di tempat itu.75 d. Wali Maula Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya artinya
majikan
sendiri,
laki-laki
boleh
menikahkan
perempuan yang berada, dalam perwaliannya bilamana perempuan iru rela menerimanya, maksud perempuan di sini adalah hamba sahaya yang berada dalam kekuasaan. Diceritakan dari Said bin Khalid dari Ummu Qais binti Qaridh ia berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Lebih dari seorang yang datang meminang saya. Oleh karena itu, nikahkanlah saya dengan salah seorang yang engkau sukai. Kemudian Abdurrahman bin Auf bertanya, „Apakah berlaku
74 75
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal. 32-35 HMA. Tihami dan sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hal.99
69
juga bagi saya?” ia menjawab, „Ya‟ kata Abdurrahman. „Kalau begitu aku nikahkan diri saya dengan kamu.‟76
76
HMA. Tihami dan sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hal.99
70
Pengertian Perkawinan dengan Wali Muhakkam Wali Muhakkam terdiri dari dua suku kata yang pertama wali, yang kedua muhakkam. Pengertian wali telah diuraikan secara tegas dan lugas di atas, untuk itu sebelum diuraikan pengertian dengan wali muhakkam penulis terlebih dahulu menguraikan tentang pengertian muhakkam, secara etimologi berasal dari kata Arab dalam bentuk isim mafu’I. Disebut dalam kamus Al-Munjid, Muhakkam : اىَجشب ٌٍذن.77 Di dalam kamus kontemporer Arab Indonesia mujarrab adalah yang sudah teruji atau yang berpengalaman bearti muhakkam secara etimologi adalah yang sudah teruji atau yang berpengalaman.78 Juga di dalam kamus Lisanul Arab disebutkan :
ٔ ّفضٚذنٌ فٝ ٍٛذنٌ ٕ٘اىز Artinya : Muhakkam ialah dia menentukan hukuman sendiri.79 Berarti muhakkam menurut etimologi adalah seseorang yang menentukan hukuman (ketetapan) sendiri bagi seseorang yang sudah teruji dan yang berpengalaman. Adapun pengertian wali muhakkam menurut penulis adalah seorang yang bertindak sebagai pelindung atau penolong yang menghukumkan (menetapkan) darinya, karena sudah teruji atau 77
yang
berpengalaman
dalam
menyelesaikan
masalah
Kamus Al-Munjid Fil Lughah wal A’lam, (Beirut; Darul Masyriqi Al-Maktabah AsySyardiyah Sahanatun Najah, 1986), hal.146 78 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta; Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998), hal.163 79 Muhammad bin Mukrim bin Mansur Al-Afridi Al-Misri, Kamus Lisanul Arab (AlMisri, Beirut, tt), jilid 12, hal.142
71
seseorang,
termasuk
menyelesaikan
masalah
perkawinan
sepasang calon suami isteri yang mendapat hambatan tentang wali nasab atau wali hakim. Dalam Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.80 Dalam
Fiqih
Munakahat
dijelaskan
bahwa
wali
muhakkam adalah wali yang diangkat oleh calon suami atau calon isteri, adapun cara pengangkatannya adalah calon suami mengucapkan Tahkim kepada seseorang dengan kalimat “saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya dengan (calon isteri) dengan mahar dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang, selain itu calon isteri juga mengucapkan hal yang sama, kemudian calon wali muhakkam itu menjawab saya terima tahkim ini.81 Sejalan dengan keterangan tersebut di atas, pengertian perkawinan dengan wali muhakkam adalah satu akad nikah antara seorang pria dengan seorang perempuan, yang diakadkan oleh seseorang yang sudah teruji ilmu agamanya, dan yang berpengalaman
menolong
seseorang
untuk
menyelesaikan
masalah perkawinannya, karena wali nikah calon isteri tersebut non
muslim,
fasik,
belum
dewasa,
gila,
bisu/tuli
dan
perkawinannya tidak dapat dilaksanakan dengan wali hakim, oleh karena tidak dapat melengkapi persyaratan sesuai yang diamatkan
80 81
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35 Tihami dan sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hal.98
72
undang-undang perkawinan dalam hal ini dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wata’ala. 1. Surah Al-Baqarah ayat 234
: (البقرة
)ٕٖٗ
Artinya : orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.(QS.Al-Baqarah [2] : 234) 2. Surah Al-Baqarah ayat 232
)ٕٖٕ : (البقرة
73
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih
baik
bagimu
dan
lebih
suci.
Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS. Al-Baqarah [2] : 232) 3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berasal dari Ibnu Abbas yang berbunyi :
ّ ة أدٞاىث ّفضٖاٚضرأرهنا أتٕ٘ا فٝ ّٖا ٗاىثنشٞق تْفضٖا ٍِ ٗى ) ٌ(سٗآ ٍضي
ٗإرهنا صَا هتا
Artinya : Seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya. Sedangkan seorang gadis dimintai izin oleh bapaknya dan pengizinannya adalah sikap diamnya. (HR. Muslim).82 Dari ayat dan hadits tersebut di atas, tidak ada larangan yang spesifik tentang orang yang teruji atau orang yang berpengalaman untun menjadi wali dalam pernikahan, apabila calon isteri itu adalah seorang janda begitu pula terhadap seorang perawan, dalam hal menjadi wali dalam pernikahan tidak ada
82
Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid 7, hal.242
74
juga larangan bagi orang lain untuk menjadi wali dalam pernikahannya,
Cuma
diharapkan
persetujuannya
dengan
diamnya saja. Disamping itu juga perkawinan dengan wali muhakkam adalah bagian dari Nikah Sirrih, dimana Nikah Sirri lebih umum dari perkawinan dengan wali muhakkam. Nikah Sirri adalah nikah yang dilaksanakan tidak sesuai dengan undang-undang perkawinan tetapi walinya bisa wali nasab dan bisa wali yang diangkat oleh kedua calon mempelai tersebut, sedangkan pernikahan dengan wali muhakkam walinya tidak ada hubungan darah atau nasab, kalau Nikah Sirri walinya bisa melalui wali yang ada hubungan darah atau nasab dan bisa juga yang tidak ada hubungan sama sekali.
75
Perkawinan dengan Wali Muhakkam Ditinjau dari Peraturan Perundang-undangan Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) pada bab II pasal. 2 Perkawinan Menurut Hukum Islam, “akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Pada Pasal 4 dijelaskan pula bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab IV Pasal 14 menetapkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada : a. Calon Suami; b. Calon Isteri; c. Wali nikah; d. Dua orang saksi dan; e. Ijab dan qabul.83 Dalam hal ini, pernikahan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam sebuah keluaraga sakinah, mawaddah warahmah. Pernikahan adalah sebuah sunnatullah. Setiap makhluk hidup telah dianugrahi Yang Maha Kuasa naluri ketertarikan terhadap lawan jenis dan Islam mengatur melalui syari‟at Islam. Adapun
wali
nikah
dalam
peraturan
perundang-
undangan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi mempelai 83
Anonim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal.14-18
76
perempuan yang bertindak untuk menikahkannya. Pada Pasal 20 Ayat (1) tentang Wali Nikah, yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baligh.84 Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tidak terdapat larangan yang mendasarkan untuk melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam dan tidak ada ditemukan yang berupa sanksi bagi orang yang melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam. Hanya saja pada Pasal 6 Ayat (2) dikatakan bahwa “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.85 Untuk itu menurut hemat penulis, bahwa perkawinan dengan wali muhakkam menurut peraturan perundang-undangan adalah tidak ditemukan tentang kebolehannya dan tidak ditemukan pula larangannya. Namun di dalam Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dijelaskan, bila di suatu tempat perkawinan tidak ada wali nasab bagi calon mempelai perempuan, maka berpindah kepada wali hakim. Akan tetapi apabila wali hakim juga tidak ada di tempat itu maka perkawinan dilangsungkan dengan wali muhakkam. Caranya adalah kedua calon suami isteri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum menjadi wali dalam pernikahan mereka.86
84
Anonim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal.20 Anonim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal.15 86 Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35 85
77
Pada buku Pedoman Penghulu pada Bab I Pasal 2 Ayat (1) menjelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.87 Mengamati isi bab I pasal 2 Ayat (1) berarti setiap perkawinan yang dilakukan sesuai dengan hukum agama masingmasing, dan kepercayaannya itu sesuai dengan perundangundangan. Sedangkan perkawinan dengan wali muhakkam adalah sah dan boleh menurut hukum Islam walaupun masih terdapat perbedaan tentang kebolehannya di kalangan fuqaha.
87
Anonim, Pedoman Penghulu. Hal.232
78
Sebab-sebab dan Alasan Nikah dengan Wali Muhakkam Diantara sebab-sebab dan alasan nikah dengan wali muhakkam adalah: 1. Karena wali nasab tidak ada. 2. Wali nasab ghaib atau berpergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya di situ. 3. Tidak ada qadhi atau Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk (NTR).88 Di samping itu menurut pengamatan penulis, sebabsebab dan alasan-alasan nikah dengan wali muhakkam adalah : 1. Karena minimnya pengetahuan orang yang melaksanakan perkawinan tersebut tentang peraturan dan perundangundangan tentang perkawinan. 2. Karena orang yang melaksanakan perkawinan tersebut tidak mempunyai wali nasab lagi atau walinya berjauhan. 3. Karena orang yang melaksanakan perkawinan tersebut adalah seorang janda tetapi tidak mempunyai akata cerai. Hal ini bila perkawinannya dilaksanakan melalui wali hakim, maka rencana pernikahannya akan ditolak karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan. 4. Karena orang yang melaksanakan perkawinan tersebut tidak sabar
menunggu
undangan,
yakni
sesuai
dengan
Undang-Undang
peraturan
perundang-
Perkawinan
bahwa
pernikahan baru bisa dilaksanakan setelah 10 hari dari pendaftaran.
88
HMA. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hal.99
79
5. Karena orang yang melaksanakan perkawinan tersebut merasa berat mengurus persyaratan mulai dari KTP, Kartu Keluarga, Surat Keterangan untuk Menikah ( N1, N2, dan N4) dari kantor kelurahan atau desa, menyediakan pas foto, imunisasi dan ditambah melampirkan tanda pembayaran PBB ketika mengurus surat-menyurat tersebut. 6. Karena orang yang melaksanakan perkawinan tersebut sudah terlebih dahulu hamil sebelum menikah, lantas merasa malu bila diketahui oleh orang banyak.
80
Pengangkatan dan Proses Perkawinan dengan Wali Muhakkam Pengangkatan dan proses seseorang untuk bertindak sebagai wali dalam perkawinan seorang perempuan, dalam hal ini Sayyid Sabiq mengatakan dalam bukunya, Fiqh Sunnah jilid 7; setiap perempuan yang sempurna kesanggupannya ia berkuasa mengawinkan dirinya sendiri dengan orang lain dan setiap orang yang dapat berbuat demikian, maka ia dianggap sah mengangkat orang lain bertindak mewakilkan dirinya bertindak sebagai wali untuk menikahkan dirinya. Abu Hanafih berpendapat sah sebagaimana halnya dengan laki-laki karena perempuan berhak mengakadnikahkan dirinya, dan selama ia berhak mengadakan akad maka adalah menjadi hak pula baginya untuk mengangkat orang lain bertindak mewakili dirinya.89 Di
samping
itu
Abu
Hanifah
berpendapat
jika
perempuan minta dikawinkan tanpa memberi betas-betas tertentu, misalnya ia berkata begini, “Saya angkat saudara menjadi wakil untuk menikahkan saya dengan seorang laki-laki. Lalu wakilnya itu menikahkannya dengan dirinya sendiri atau dengan ayah atau anaknya. Perkawinan yang dilakukan wakil ini tidak mengikat dirinya (perempuan) karena adanya rasa kecurigaan. Jadi untuk memberlakukan hukum akad nikah seperti ini tergantung kepada persetujuan perempuannya. Tetapi wakilnya mengawinkan perempuan tersebut dengan laki-laki lain, yaitu laki-laki yang
89
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 7, hal.33
81
asing, jika sepadan dan dengan mahar mitsil, maka akad nikahnya mengikat wali serta dirinya tidak dapat membatalkannya.90 Cara pegangkatan wali muhakkam ialah calon suami mengucapkan kalimat, “Saya angkat Bapak/Saudara sebagai wali saya untuk menikahkan saya dengan si fulanah (calon isteri) engan mahar... dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang.” Setelah
itu calon isteri juga mengucapkan hal yang
sama dengan ucapan, “Saya angkat Bapat/Saudara sebagai wali saya untuk menikahkan saya dengan si fulan (calon suami) dengan mahar... dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang.” Kemudian calon wali muhakkam menjawab,” Saya terima tahkim ini.”91 Adapun proses perkawinan dengan wali muhakkam adalah terlebih dahulu calon mempelai laki-laki dan perempuan menghubungi seseorang yang dianggap ahli fiqh. Kemudian calon mempelai tersebut mengutarakan maksud perkawinannya. Setelah terdapat kesepakatan tentang waktu dan lain-lain, maka pada waktu melaksanakan akad nikah tersebut calon wali muhakkan ini menyuruh kepada calon mempelai perempuan untuk
mengangkatnya
sebagai
wali
dengan
ucapan,
“Bapak/Saudara saya angkat sebagai wali saya untuk menikahkan diri saya sendiri kepada seorang laki-laki yang bernama fulan bin fulan dengan mahar...” Lalu dijawab, “Saya terima tugas tersebut.”
90 91
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 7, hal.34 H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hal.98
82
Kemudian dilanjutkan dengan giliran calon mempelai laki-laki dengan hal yang sama. Setelah selesai baru wali yang diangkat kedua calon mempelai tersebut menikahkannya.92 Jadi proses perkawinan dengan wali muhakkam sama dengan proses perkawinan dengan wali nasab dan wali hakim, Cuma wali muhakkam harus terlebih dahulu calon mempelai lakilaki dan perempuan mengangkat wali muhakkam tersebut, selebihnya sama agar syarat dan rukun nikah dapat terpenuhi.
92
Observasi, Tanggal 27 Desember 2010.
83
Pelaksanaan dan Faktor Penyebab Perkawinan dengan Wali Muhakkam di Jambi Timur Sebelum penulis membahas tentang bentuk pelaksanaan dan faktor penyebab terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur, penulis terlebih dahulu menerangkan gambaran umum tentang jumlah pelaku perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2010, berdasarkan informasi yang penulis dapatkan di lapangan atau melalui observasi maupun wawancara, kemudian penulis akan memberikan jawaban tentang mengapa perkawinan dengan wali muhakkam terjadi di Jambi Timur. Adapun pelaku perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur sebagai berikut : 1. Dari bulan Januari sampai dengan Desember Tahun 2009 yang melakukan perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur berjumlah 12 pasang pengantin. 2. Dari Bulan Januari sampai dengan Desember Tahun 2010 yang melakukan perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur berjumlah 14 pasang pengantin. 3. Adapun jumlah yang bertindak sebagai wali muhakkam mulai dari bulan Januari 2009 sampai dengan Desember 2010 berjumlah 9 orang. Adapun pendidikan para pelaku perkawinan dengan wali muhakkam pada umumnya SD
walaupun ada yang
berpendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan pekerjaan mereka
84
secara umum adalah swasta, dan mempunyai tingkat ekonomi yang menengah ke bawah.93 Sementara itu tingkat pendidikan yang bertindak sebagai wali muhakkam pada umumnya berpendidikan pondok pesantren walaupun ada yang berpendidikan S.1 sedangkan tingkat ekonomi rata-rata menengah ke bawah. Secara umum para pelaku perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur adalah mereka yang sudah pernah terlebih dahulu menghubungi Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Penghulu yang ada di Kantor Urusan Agama. Kecamatan di Jambi Timur yang bisa menikahkan mereka, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun oleh karena mereka terhalang oleh administrasi yang berlaku maka mereka beralih ke wali muhakkam walaupun diantara mereka ada yang tidak pernah berusaha terlebih dahulu memberitahu ke Kantor Urusan Agama Kecamatan di Jambi Timur, karena mereka tahu dan yakin kalau mereka memang tidak bisa menikah dengan wali hakim, karena persyaratan yang dibutuhkan untuk menikah dengan wali hakim tidak mungkin mereka peroleh. Terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur bila dilihat dari fenomena yang berkembang di tengah masyarakat karena sebahagian masyarakat tidak puas dengan ketentuan Perkawinan
Undang-undang yang
tidak
No.1 bisa
tahun
1974
tentang
mengakomodir
semua
permasalahan perkawinan yang timbul di tengah-tengah masyarakat, dan belum ada satu orang pun dari tokoh agama 93
Observasi, Tanggal 28 Desember 2010.
85
yang pernah melarang secara tegas perkawinan dengan wali muhakkam
yang
dilakukan
masyarakat
Jambi
Timur,
sebagaimana penuturan bapak H.A. Sayuti. HS sebagai Ketua majelis Ulama Kecamatan Jambi Timur pada saat penulis mewawancarainya dengan memberikan pertanyaan: Bapak H.A. Sayuti menurut bapak kenapa masih terjadi perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur? Lalu ia menjawab, karena perkawinan dengan wali muhakkam masih banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh tentang kebolehannya karena perkawinan dengan wali muhakkam masih termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi orang yang tidak bisa menempuh perkawinan sesuai dengan Undangundang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan mereka merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang membolehkan perkawinan dengan wali muhakkam tersebut, karena berkembang wacana dalam masyarakat bahwa perkawinan dengan wali muhakkam itulah
perkawinan
perkawinan
dengan
menurut
agama
pangawasan
Islam.
pencatatan
Sedangkan PPN
atau
Penghulu hanya sekedar urusan administrasi.94 Pada saat penulis mewawancarai M. Sofwan, S. Ag sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Jambi Timur, dengan pertanyaan bapak M. Sofwan mengapa masih terjadi perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur? Lalu ia menjawab, karena masih banyak di kalangan masyarakat Jambi Timur yang tidak peduli dengan peraturan perundang-undangan, sehingga masih banyak orang yang mau
94
H.A. Sayuti, HS, Ketua Majelis Ulama Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, 11 Januari 2011.
86
melaksanakan perkawinannya tidak mempedulikan efek negatif yang akan di peroleh di belakang hari dan dia tidak faham tentang peraturan perundang-undangan perkawinan yang berlaku umumnya di Indonesia, khususnya di Jambi Timur.95 Pada saat penulis bertanya kepada H. Adi Sumarno, S. Ag salah satu tokoh pemuda Jambi Timur, dengan pertanyaan mengapa di Jambi Timur masih terjadi perkawinan dengan wali muhakkam, ia menjawab terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur adalah karena mayoritas penduduk Jambi Timur tidak memahami secara baik tentang Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, dan masih banyak yang tidak mengetahui tentang kitab Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang Perkawinan. Jadi masih banyak yang tidak mengerti tentang fungsi Undang-undang Perkawinan yang sebenarnya untuk menertibkan perkawinan dan mengoptimalkan fungsi demi kenyamanan dan keamanan bagi orang yang melaksanakan perkawinan, dan masih ada di kalangan masyarakat Jambi Timur yang beranggapan bahwa Undang-undang Perkawinan hanyalah untuk mempersulit dan mempersempit ruang gerak dalam urusan perkawinan terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.96 Saat saya menanyakan kepada bapak H.M. Isa selaku salah satu tokoh agama di Jambi Timur, mengapa terjadi perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur? Ia menjawab menurut sepengetahuan saya terjadinya perkawinan 95
M. Sofwan, S.Ag. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, 13 Januari 2011 96 H. Adi Sumarno, S.Ag. Tokoh Pemuda Jambi Timur, Wawancara, 6 Maret 2011
87
dengan wali muhakkam di Jambi Timur karena masih ditemukannya orang yang suami isteri apabila terjadi perceraian, hanya bercerai di bawah tangan, artinya bercerai cukup disaksikan tetangga sekitar atau keluarga, karena mereka
beranggapan
bahwa
mengurus
perceraian
ke
pengadilan membutuhkan biaya yang besar, dan membutuhkan waktu yang lama, oleh karena perceraian tidak melalui pengadilan maka tidak memiliki akta cerai yang diakui undang-undang, jadi bila terjadi perkawinan tentu tidak mungkin mengurus perkawinan yang diatur dalam undangundang perkawinan pula, maka bagi orang-orang yang seperti itu, terutama yang tidak mempunyai wali nasab maka terjadilah perkawinan dengan wali muhakkam, yang menurut keyakinannya sah menurut agama walaupun tidak diakui menurut undang-undang.97 Begitu pula saat saya bertanya kepada M. Soeb salah satu Tokoh Pemuda di Jambi Timur sekaligus sebagai salah satu Penghulu, dengan pertanyaan mengapa terjadi perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur? Lalu ia menjawab sepanjang yang saya tahu terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur karena ketidakpedulian sebagian orang
tentang
Undang-Undang
Perkawinan
produk
pemerintah, orang lebih menghormati pendapat-pendapat para ulama-ulama fiqh yang masih sering diajarkan para da‟i-da‟i, baik da‟i-da‟i yang ada di Jambi Timur maupun da‟i-da‟i yang ada di luar Jambi Timur, dan da‟i zaman dulu sampai zaman sekarang belum pernah didengar sangsi bagi orang yang 97
H.M. Isa, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, 7 Maret 2011
88
melakukan perkawinan dengan wali muhakkam. Jadi masih banyak di kalangan penduduk Jambi Timur yang sangat mempedomani pendapat-pendapat para ulama yang masih sering dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Hal ini membuat masyarakat Jambi Timur bila tidak bisa diurus secara resmi sesuai undang-undang perkawinan, mereka melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam, karena masih ada juga yang mau bertindak sebagai wali muhakkam dan yang bertindak sebagai wali muhakkam tersebut sangat dihormati di tempat itu.98 Pada saat penulis bertanya kepada bapak A. Syaifuddin, AR sebagai salah satu Penyuluh Agama Fungsional Jambi Timur, kenapa di Jambi Timur terjadi perkawinan dengan wali Muhakkam, ia menjawab menurut saya terjadinya perkawinanan melalui wali Muhakkam adalah karena pengurusan perkawinan yang diakui undang-undang terlalu banyak urusan yang harus diselesaikan tentang pengurusan surat-surat, dan memakan waktu yang panjang pula, ditambah memakan biaya yang agak besar walaupun peraturan biaya nikah hanya sebesar Rp. 30.000.namun kenyataan memakan biaya paling sedikit Rp. 350.000.bagi warga yang kurang mampu, tentu hal ini memberatkan mereka, dan ditambah lagi memakan waktu yang tidak sedikit, apalagi banyak di kalangan masyarakat Jambi Timur tidak bisa dan tidak merasa sanggup untuk mengurus hal-hal yang seperti itu, bilamana urusan tersebut dimintak tolongkan kepada Ketua Rukun Tetangga setempat biayanya masih bisa bertambah, hal yang seperti ini membuat sebagian warga Jambi Timur 98
M. Soeb, Tokoh Pemuda dan Penghulu Jambi Timur, Wawancara, 3 Maret 2011
89
melaksanakan perkawinan dengan wali Muhakkam
bilamana
wali nasabnya tidak ada atau berada di tempat yang berjauhan dan ditambah masih adanya tokoh agama yang mau menikahkan orang yang ingin menikah melalui tokoh agama, atau yang dianggap sebagai panutan agama di Jambi Timur, dimana mayoritas warga Jambi Timur sangat yakin dan percaya terhadap perilaku, putusan dan perkataan para tokoh agama tersebut karena warga Jambi Timur kebanyakan sangat taat dan patuh terhadap orang-orang yang dianggap ahli agama, melebihi kepatuhan mereka terhadap ahli agama tersebut dari pada PPN, Penghulu maupun staf yang ada di KUA Kecamatan Jambi Timur.99 Dari hasil wawancara penulis dengan Ketua MUI Kecamatan Jambi Timur, Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur maupun dengan Tokoh Agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda tersebut di atas, terjadinya perkawinan dengan wali Muhakkam di Jambi Timur adalah : 1. Karena Undang-undang Perkawinan belum mengakmodir pelaksanaan perkawinan begi seorang janda dan duda yang tidak memiliki akta cerai dari pengadilan agama, di samping itu karena belum pernah ditemukan seorang tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh pemuda yang melarang perkawinan dengan wali Muhakkam secara terangterangan dan terbuka, karena perkawinan dengan wali Muhakkam itu dianggap sah secara hukum Islam, karena hal yang membolehkan perkawinan dengan wali Muhakkam itu masih banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh.
99
A. Syaiufuddin, AR. Penghulu Agama Jambi Timur, Wawancara, 14 Maret 2011
90
2. Karena masih banyak di kalangan masyarakat Jambi Timuryang tidak peduli dan tidak faham tentang Undangundang Perkawinan No. 1 tahun 1974, sehingga apabila terdapat
hambatan
dalam
menjalankan
undang-undang
perkawinan tersebut mereka langsung mempedomani kitabkitab yang membolehkan perkawinan dengan wali Muhakkam. 3. Karena masih ada diantara masyarakat Jambi Timur yang beranggapan bahwa Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
itu
hanyalah
untuk
mempersempit
kebebasan
pelaksanaan perkawinan, terutama bagi seseorang yang ingin beristri lebih dari satu. 4. Karena sebagian masyarakat Jambi Timur masih ada yang beranggapan bahwa pengurusan persyaratan perkawinan yang diakui oleh undang-undang terlalu banyak persyaratan, yang harus dilengkapi dan karena menganggap terlalu besar biaya yang
dikeluarkan,
walaupun
dalam
peraturan
biaya
perkawinan relatif kecil, namun dalam prakteknya memakan biaya yang agak besar dan memakan waktu cukup lama. 5. Karenan masih ada di kalangan tokoh agama yang mau mengurus dan melaksanakan perkawinan dengan
wali
Muhakkam, dan sekaligus masih ada yang bersedia menjadi wali Muhakkam untuk menikahkan seorang perempuan yang tidak mempunyai wali, dan tidak bersedia untuk menghubungi wali hakim, karena sesuatu hal yang membuat dia tidak mungkin dinikahkan wali hakim disamping itu melaksanakan perkawinan dengan wali Muhakkam tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar, cukup mengeluarkan biaya suka rela, sesuai dengan kemampuan yang ada.
91
Inilah antara lain alasan masih terjadinya perkawinan dengan wali Muhakkam di Jambi Timur, walaupun di Jambi Timur sudah ada Kantor Urusan Agama Kecamatan dan ada juga wali hakim yang resmi, begitu juga pendidikan masyarakat Jambi Timur sudah termasuk maju, namun masih terjadi perkawinan dengan wali Muhakkam di Jambi Timur. Maka untuk mengatasi supaya perkawinan dengan wali Muhakkam tidak terjadi di Jambi Timur, dilakukan sosialisasi Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus lebih ditingkatkan dan harus lebih memasyarakat. Adapun bentuk pelaksanaan dan faktor penyebab terjadinya perkawinan dengan wali Muhakkam di Jambi Timur sebagai berikut : 1. Bentuk Pelaksanaan Perkawinan dengan wali Muhakkam di Jambi Timur. Adapun bentuk pelaksanaan perkawinan dengan wali Muhakkam di Jambi Timur, diantaranya adalah keterangan yang penulis dapatkan dari beberapa responden, antara lain : a. Pada saat saya mengadakan wawancara dengan Bapak Dakwan, salah seorang yang pernah menjadi wali Muhakkam. Lalu saya tanyakan. Bagaimana bentuk pelaksanaan perkawinan yang pernah Bapak laksanakan ? Lalu ia menjawab, “Pertama calon mempelai itu datang ke rumah saya, dan mohon minta saya agar menikahkan mereka. Lalu saya suruh melalui KUA Kecamatan Jambi Timur tapi mereka menjawab, kami duda dan janda. Sedangkan akta cerai kami tidak punya dan hal ini sudah
92
kami beritahukan kepada pihak KUA tetapi mereka menjawab tidak bisa dilaksanakan pernikahan kami kalau tidak mempunyai akta cerai. Lalu mereka mendatangi saya dan saya tanya walinya dimana. Jawab calon mempelai perempuan, „Bapak saya jauh di kampung di Tapanuli‟. Akhirnya
saya
nikahkan
mereka
dengan
bentuk
pelaksanaan sama dengan bentuk pelaksanaan yang dilaksanakan dengan wali nasab atau hakim, Cuma bedanya sebelum akad nikah calon suami dan isteri terlebih dahulu mengangkat saya sebagai wali. Dalam akad nikahnya dengan cara, „Bapak Dakwan saya angkat Bapak sebagai wali untuk menikahkan diri saya sendiri dengan seorang laki-laki yang bernama. ... bin ... dengan mahar ... tunai. Saya jawab, „Saya terima tugas tersebut‟. Begitulah bentuk pelaksanaan perkawinan yang pernah saya lakukan.100 b. Pada saat saya bertanya kepada Bapak H. M. Isa, bagaimana bentuk pelaksanaan perkawinan yang pernah bapak pimpin sebagai wali Muhakkam? Ia menjawab bilamana pasangan calon suami isteri mendatangi saya untuk menyampaikan kehendak nikah. Bilamana betulbetul menurut calon mempelai tersebut mereka tidak bisa menikah dengan petugas KUA. Padahal mereka sudah mendesak harus segera menikah. Sedangkan wali nasabnya tidak ada sama sekali, maka akan segera saya laksanakan pernikahan sepanjang calon suami dan isteri tersebut dalam pelaksanaannya menghadirkan dua orang saksi, dan calon mempelai terlebih dahulu mengangkat saya sebagai 100
Dakwan, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, 29 Desember 2010.
93
walinya. Dengan cara calon mempelai laki-laki mengangkat saya sebagai wali dalam pernikahannya dengan ucapan, “Saya angkat Bapak sebagai wali untuk menikahkan saya dengan si ... (calon isteri) dengan mahar dan putusan Bapak saya terima dengan senang.” Setelah itu calon isteri melakukan hal yang sama. Kemudian saya menjawab dengan ucapan, “Saya terima tahkim ini.”101 c. Pada saat saya penulis menanyakan kepada bapak A. Kohar Hawasyi, bagaimana bentuk pelaksanaan perkawinan yang pernah bapak laksanakan? Ia mengatakan, “Bila sepasang calon suami isteri mendatangi saya dan menyampaikan kehendak nikahnya kepada saya. Saya akan terlebih dahulu menanyakan kepada keduanya, „Dimana walimu‟? Bila kedua calon mempelai menjawab seseorang tidak bisa menikah, dikarenakan suatu hal yang menurut Undangundang Perkawinan harus ada tapi tidak punya dan wali nasab juga tidak ada, maka kedua calon mempelai itu akan saya nikahkan dengan bentuk pelaksanaan, kedua calon suami isteri itu terlebih dahulu mengucapkan pengangkatan saya sebagai wali untuk mengakadnikahkannya, setelah itu baru saya laksanakan akad nikahnya dengan syarat pula, harus calon suami isteri tersebut terlebih dahulu mendatangi saya dan diadakan dialg, dan hasil dialog itu menentukan boleh tidaknya saya menikahkannya.102 d. Sumber yang lain penulis peroleh dari bapak Makrup MS. Pada waktu penulis memberikan pertanyaan bagaimana
101 102
M. Isa, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 30 Desember 2010. A. Kohar Hawasyi, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 2 Januari 2011.
94
yang bapak ketahui tentang bentuk pelaksanaan perkawinan dengan wali Muhakkam? Lalu ia menjawab, saya pernah menikahkan orang yang tidak bisa dinikahkan oleh KUA Kecamatan atau Penghulu serta tidak mempunyai wali nasab. Kemudian ia menerangkan bentuk pelaksanaannya adalah, “Kedua calon mempelai datang ke rumah saya dan mereka bertanggung jawab atas segala resiko yang akan ditimbulkan perkawinan mereka. Kemudian mengangkat saya menjadi wali dalam pelaksanaan pernikahannya. Caranya
sebagaimana
pengangkatan
sebagai
wali
Muhakkam yang saya ketahui contoh-contohnya di bukubuku.103 e. Penjelasan lain datang dari Bapak Herman. Setelah, penulis bertanya tentang bentuk pelaksanaan perkawinan dengan wali Muhakkam Bapak Herman Menjawab, bahwa ia baru sekali melaksanakan perkawinan dengan wali Muhakkam. Itupun karena calon suami isteri mendatangi saya. Mereka sudah mencoba mengurus perkawinan melalui RT dan sudah mengurus surat-menyurat yang berhubungan dengan syarat-syarat perkawinan mereka, tetapi terhalang bahwa perempuan itu adalah seorang janda tapi tidak memiliki akta cerai. Sedangkan bapaknya sebagai wali nasab jauh tinggal di kampung menurut pengakuan si perempuan tidak bisa dihubungi sedangkan mereka sudah satu rumah. Akhirnya mereka datang kerumah saya, minta tolong untuk dinikahkan, maka mereka saya nikahkan dengan terlebih
103
Makrup, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 3 Januari 2011.
95
dahulu mereka mengangkat, saya sebagai wali keduanya dalam pernikahan mereka.104 f. Begitu juga pada saat penulis memberikan pertanyaan yang sama kepada Bapak Datuk H. Syahbudin HS tentang bagaimana bentuk pelaksanaan perkawinan dengan wali muhakkam? Bapak Datuk H. Syahbuddin HS menjelaskan bahwa apabila ada calon mempelai yang ingin menikah maka mereka datang kepada saya, dan mengemukakan tentang keadaan dan maksud mereka untuk menikah, dan selalu saya menyarankan agar pergi ke KUA Jambi Timur, akan tetapi mereka terhalang masalah administrasi, artinya tidak bisa diurus di KUA Jambi Timur, sementara pada saat yang sama mereka mendesak untuk segera dinikahkan, lalu ditanyakan kepada mereka siapa wali nikah mereka, lantas mereka menyatakan bahwa wali nikahnya sudah tidak ada. Oleh karena itu, saya nikahkan mereka menurut ajaran Islam yang saya ketahui dengan jalan mereka mengangkat saya sebagai wali nikah, kemudian saya baru menikahkan mereka.105 g. Penuturan selajutnya penulis dapatkan dari Bapak H. Yahya HZ, dia salah seorang yang pernah bertindak sebagai wali muhakkam, Bahwasaya menikahkan orang yang meminta untuk dinikahkan. Awalnya saya menyarankan kepada kedua calon mempelai untuk mengurus ke wali hakim apabila wali nasabnya tidak ada, atau tidak bisa menikahkannya. Menurut saya bahwa saya hanya mau 104
Herman, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 3 Januari 2011. H. Datuk Syahabuddin HS, Tokoh Agama Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, 20 Januari 2011 105
96
menikahkan mereka yang memang tidak bisa dinikahkan oleh wali hakim, di KUA Kecamatan. Ia menjelaskan bahwa mempelai perempuan harus mengangkat saya untuk menjadi walinya. Baru kemudian menikahkan keduanya.106
Melihat penjelasan para responden
yang penulis
dapatkan melalui wawancara dengan mereka, maka penulis melihat bentuk perkawinan yang dilakukan dengan jalan wali muhakkam adalah sama, yaitu calon mempelai mendatangi orang-orang yang dianggap faham agama. Lalu setelah terjadi dialog, dimana mereka menjelaskan perihal mereka dan terdapat kesepakatan untuk melaksanakan perkawinan, maka kedua calon mempelai mengangkat orang yang dianggap faham agama itu untuk menjadi wali nikah mereka. Setelah diangkat menjadi wali, maka wali muhakkam itu kemudian menikahkan mereka sesuai syarat dan rukun yang sudah ditentukan agama Islam. Guna melengkapi pejelasan tentang kondisi orang-orang yang melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam, berikut ini penulis terangkan keadaan mereka dalam bentuk tabel yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan Bapak H.A. Sayuti, Da‟wan, H.M. Isa dan Suherman pada tanggal 27 Januari 2011 sebagaimana table 4 berikut :
106
Yahya HZ, Tokoh Agama Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, 25 Januari 2011
97
Table. 3 Daftar Nama-nama Pelaku Perkawinan dengan Wali Muhakkam Di Jambi Timur Tahun 2009107 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Status Tanggal Sebelum Alamat Nikah Nikah Ali Asnin SD Sopir Duda RT.27 Kel. Tl. Banjar 10/01/2009 Atika SD Janda RT.27 Kel. Tl. Banjar Syafruddin SD Sopir Jejaka RT.27 Kel. Tl. Banjar 05/05/2009 Misnawati SD Swasta Janda RT.33 Kel.Tj.Pinang M. Hermapelani SD Swasta Jejaka RT.4 Kel.Pondk Meja 21/01/2009 Eka Fitri SD Swasta Perawan RT.15 Kel.Rajawali Nazir SUP Swasta Jejaka RT.10 Kel. Tj.Pinang 02/11/2009 Susi SLTA Swasta Janda RT.10 Kel. Tj.Pinang Sukadi SD Jejaka RT.30 Kel. Tj. Pinang 19/09/2009 Ernawati SD Swasta Perawan RT.30 Kel. Tj. Pinang Indra Mulya SD Swasta Jejaka RT.3 Kel. Sijenjang 25/12/2009 Farida Ariyani SD Swasta Janda RT. 4 Kel. Sijenjang Mad Rois SD/SD Buruh Jejaka RT.30 Kel.Tj.Pinang 01/05/2009 Erma Yusnita SD Swasta Janda RT.30 Kel.Tj.Pinang M. Yusuf SD Buruh Duda RT.1 Kel. Kasang 16/05/2009 Rachmawati SD Swasta Janda RT.1 Kel. Kasang M. Nasir SD Sopir Duda RT.3 Kel. Sijenjang 04/01/2009 Risfita SD Swasta Janda RT.3 Kel. Sijenjang Andri SLTP Buruh Jejaka RT.2 Kel. Sijenjang 10/12/2009 Desi Nopriariti SD Perawan RT.2 Kel. Sijenjang Yordi SLTA Buruh Duda RT.30 Kel.Tj.Pinang 06/08/2009 Nurayati SLTP Swasta Janda RT.33 Kel.Tj.Pinang Sudin SD Buruh Duda RT. 6 Kel. Budiman 07/09/2009 Ratna Dewi SD janda RT. 6 Kel. Budiman (Sumber : Diperleh dan diolah dari berbagai hasil wawancara) Nama Suami-Isteri
Pendidk an
Pekerjaa n
Dari table di atas dapat diketahui, perkawinan dengan wali muhakkam yang terjadi di Jambi Timur pada tahun 2009 banyak dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang berstatus duda atau janda. Dari 12 pasang suami isteri yang menikah dengan wali muhakkam ada 9 orang pasang suami isteri yang suami atau isteri atau kedua-duanya telah berstatus duda dan 107
H.A. Sayuti, Da‟wan, H.M.Isa dan Suherman, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, 27 Januari 2011
Wali Muhakkam Dakwan Dakwan KH. A.Latif M. Makrup Syamsul KH. A.Latif Dakwan Dakwan Makrup. MS KH. A.Latif Dakwan H. M. Isa
98
janda. 3 pasang berstatus belum menikah. Sebagai bukti terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur Tahun 2009, maka bukti perkawinan dengan wali muhakkam dalam lampiran-lampiran. Untuk tahun 2010 penulis menemukan pasangan suami isteri yang menikah dengan wali muhakkam yang lebih banyak dibandingkan tahun 2009, sebagaimana dalam bentuk table berikut : Table. 4 Daftar Nama-nama Pelaku Perkawinan dengan Wali Muhakkam Di Jambi Timur Tahun 2010 No 1 2 3 4 5
6
7
8 9 10
Nama Suami-Isteri
Pendid kan
Pekerja an
Syamsuki Mariam Subandi Eni Sri muryani Hendi Setiawan Nazla Sopian Firdaus Daus Aya Masianto Sri Yuni Prihatin Abu Bakar Ali Simatupang Jusniar Harahap Falulalizai, SE Delima Susmita Sanim Suarti Said ruyan Sukisno Poniran
SD SD SD SLTP
Swasta IRT Swasta -
Status Sebelum Nikah Duda Janda Duda Janda
SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA SLTA
Swasta Swasta Swasta Swasta -
Jejaka Janda Duda Janda Jejaka Perawan
Buruh
Duda
Tanggal Nikah 05/01/2010 02/05/2010 07/01/2010 14/01/2010 19/11/2010
Wali Muhakka m RT.21 Kel. P.Selincah KH. RT. 11 Kel. Tj. Pinang A.Latif RT. 10 Kel. Tj. Pinang Makrup. RT. 10 Kel. Tj. Pinang MS Alamat
RT. 10 Kel. Tj. Pinang RT. 10 Kel. Tj. Pinang RT. 12 Kel. Rajawali RT. 12 Kel. Rajawali RT. 9 Kel. Tj. Pinang RT. 10 Kel. Tj. Pinang
Makrup. MS H. M. Isa Makrup. MS
SLIP RT. 6 Kel. Sijenjang 04/10/2010 SLTA
-
Janda
S.1
Swasta
Duda
SMK
-
Perawan
SD SLIP SLTA SLTA SLTA SD
Buruh Buruh Swasta -
Duda Janda Duda Janda Jejaka Perawan
Suherman RT. 6 Kel. Sijenjang RT. 25 Kel. Tj.Pinang
26/12/2010
06/02/2010 08/03/2010 03/02/2010
RT. 2 Kel. Rajawali RT. 5 Kel. Budiman RT. 5 Kel. Budiman RT. 1 Kel. Ks. Jaya RT. 1 Kel. Ks. Jaya RT. 16 Kel. Tj. Pinang RT. 16 Kel. Tj. Pinang
Makrup. MS H. M. Isa A. Kohar Khawasy KH. A.Latif
99 SUP SU
Buruh -
Jejaka Janda
15/01/2010
12
M. Badri Yustinan Mohyuni M. Riduan Erwani
SD SD
Swasta IRT
Duda Janda
04/02/2010
13
Rohibbi Hadia
SMP SD
Buruh IRT
Duda Janda
02/02/2010
11
14
RT. 7 Kel. Tj. Pinang Makrup. RT. 33 Kel. Tj. Pinang MS RT. 3 Kel. Sijenjang RT. 3 Kel. Sijenjang RT. 7 Kel. Sijenjang RT. 7 Kel. Sijenjang
Hendry SD Swasta Duda RT. 3 Kel. Sulanjana Bermana 17/01/2010 syamsuriati SD IRT Janda RT. 3 Kel. Sulanjana (Sumber : diperoleh dan diolah dari berbagai hasil wawancara)
Dari table di atas dapat diketahui, bahwa pasangan yang menikah dengan wali muhakkam ada 12 orang pasang dari 14 pasang yang diketahui bahwa suami atau isteri atau keduaduanya telah berstatus duda dan janda. Sementara itu hanya 2 pasang yang berstatus belum menikah keduanya berstatus jejaka dan perawan. Sebagai bukti terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur maka penulis melampirkan bukti nikah dengan wali muhakkam dalam bentuk lampiranlampiran. Selain data-data pelaku perkawinan dengan wali muhakkam, berikut ini penulis terangkan juga informasi tentang orang-orang yang bertindak sebagai wali muhakkam. Selengkapnya ada pada table di bawah ini :
Dtk Syahabud din Dtk Syahabud din Yahya. HZ
100
Table. 5 Daftar Nama-nama yang Berperan sebagai Wali Muhakkam Di Jambi Timur Kota Jambi Tahun 2009-2010 No Nama 1 A. Kohar Khawasy 2 Dakwan 3 Datuk Syahabuddin 4 H.M. Isa 5 KH. A. Latif 6 7 8 9
Pendidikan Ponpen
Pekerjaan Swasta
Keterangan Jarang
Ponpen Ponpen
Swasta Swasta
S.1 Ponpen
Swasta Swasta
Ponpen Ponpen Ponpen Ponpen
Swasta Swasta Swasta Swasta
Jarang Sangat Sering Jarang Sangat Sering Sering Sekali Sekali Jarang
Makrup MS Suherman Syamsul Yahya HZ
(Sumber : Diperoleh dan diolah dari berbagai hasil wawancara)
2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan dengan Wali Muhakkam di Jambi Timur Pada saat penulis mewawancarai bapak KH. Sayuti HS Ketua MUI Kecamatan Jambi Timur dengan memberikan pertanyaan, menurut bapak apa faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur? Lalu ia menjawab, menurut yang saya ketahui diantara penyebab terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam adalah karena ada masalah yang mereka alami yang membuat pernikahan mereka tidak bisa dilakukan sesuai dengan keinginan calon mempelai seperti wali nasabnya jauh. Kalau menurut Undang-undang Perkawianan, kalau wali nasabnya harus
terlebih
dahulu
pihak
KUA
Kecamatan
akan
mengirimkan surat pemberitahuan kehendak nikah calon
101
mempelai kepada wali nasab. Ketika telah dikirim, maka harus menunggu 10 hari kerja dari tanggal pengiriman surat itu. Oleh karena itu, banyak calon mempelai yang tidak bisa menerima hal itu atau menunggu waktu yang ditetapkan itu. Di samping itu mereka juga merasa bahwa status janda atau duda yang tidak bisa dibuktikan dengan akta cerai. Hal ini membuat mereka tidak bisa menyesuaikan dengan ketentuan Undangundang Perkawinan dan banyak lagi yang lainnya.108 Begitu juga pada saat penulis memberikan pertanyaan yang sama terhadap Bapak Dakwan, bapak H. Isa, bapak A, Kohar Hawasi, bapak Makrup MS dan bapak Herman melalui hasil wawancara penulis dengan mereka, hasil wawancara saya tersebut adalah calon mempelai tidak bisa dinikahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan ada yang tidak mempunyai biaya yang dibutuhkan, mulai dari pengurusan KTP, KK, N1, N2, dan N4 sampai biaya perkawinan di KUA.109 Di samping itu penulis mewawancarai para pelaku nikah dengan wali muhakkam, penulis mengajukan pertanyaan: Apa yang menyebabkan anda menikah dengan wali muhakkam? Diantara pasangan suami isteri yang menikah dengan wali muhakkam
ialah
Ali
asmin
dan
Atika.
Keduanya
menyebutkan, bahwa mereka melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam adalah karena mereka berstatus duda dan janda, tetapi mereka tidak mempunyai akta cerai serta
108
H. Sayuti HS, Ketua MUI Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 3 Januari 2011. 109 Dakwan, H.M.Isa dan Abdul Kohar, Ma‟rup. MS dan Herman, Tokoh Agama Kecamatan Jambi Timur, wawancara, 6 Januari 2011
102
orang tuanya (ayah) dari Atika berada jauh di kampung. Oleh sebab itu mereka tidak bisa menikah melalui Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di KUA Kecamatan. Apalagi mereka sudah sangat saling mencintai, sehingga mereka memutuskan menemui bapak Dakwan salah seorang tokoh agama yang diminta untuk menjadi wali nikahnya.110 Keterangan lainnya adalah dari pelaku nikah dengan wali muhakkam adalah Indra Mulya dan Farida, pasangan ini ketika
penulis
mewawancaranya
tentang
alasan-alasan
mengapa mereka menikah dengan wali muhakkam. Keduanya menjawab bahwa mereka menikah karena mereka tidak mempunyai akta cerai. Sedangkan wali nasab, yakni ayah dari farida sudah wafat. Sementara mereka tidak mempunyai wali nasab yang lain yang ada di Jambi. Lantas mereka menemui KH. Abdul Latif dan meminta supaya bersedia, menikahkan mereka.111 Pelaku nikah dengan wali muhakkam lainnya adalah Subandi dan Eni Sri Muryani. Penulis mewawancarai keduanya, saat penulis menanyakan apa yang menjadi alasan mereka menikah dengan wali muhakkam. Diantaranya adalah karena mereka tidak mempunyai akta cerai padahal status mereka adalah janda dan duda. Sebagai jalan keluarnya mereka menemui Bapak Makrup. MS dan mengangkatnya sebagai wali nikah dan menikahkan mereka.112 110
Ali Samin dan Atika, Pelaku Nikah dengan Wali Muhakkam, Wawancara, Jambi, 7 Januari 2011. 111 Indra Mulya dan Farida, Pelaku Nikah dengan Wali Muhakkam, Wawancara, Jambi, 8 Januari 2011 112 Subandi dan Eni Sri Muryani, Pelaku Nikah dengan Wali Muhakkam, Wawancara, Jambi, 8 Januari 2011
103
Keterangan berbeda penulis dapatkan dari pasangan suami isteri Masianto dan Sriyuni. Penulis juga mengajukan pertanyaan melalui wawancara kepada Masianto dan Sriyuni pasangan suami isteri yang menikah dengan wali muhakkam. Penulis menanyakan tentang apa yang menyebabkan mereka melakukan nikah dengan wali muhakkam. Mereka menjawab bahwa mereka sebelumnya adalah jejaka dan gadis, namun wali nikah yakni bapak Sriyuni telah meninggal dan wali nasab yang lain tidak ada, ditambah lagi menurut mereka bahwa mereka tidak memiliki cukup biaya untuk mengurus surat-menyurat seperti N1, N2, dan N4 dan biaya lainnya. Namun mereka juga berniat kalau sudah menikah akan mengurus akta nikahnya di KUA Kecamatan.113 Selain keterangan di atas, dan beberapa hasil wawancara. Penulis dengan pelaku nikah dengan wali muhakkam, ditemukan bahwa alasan yang paling banyak dikemukakan adalah calon mempelai tidak mempunyai akta cerai bagi mereka yang telah berstatus duda atau janda, tidak mempunyai wali nasab dan tidak mempunyai cukup biaya untuk mengurus perkawinan melalui KUA Kecamatan atau Penghulu. Melihat keadaan pasangan suami isteri yang menikah dengan wali muhakkam sebagaimana di table 4 dan table 5 (dari tahun 2009 s.d 2010) pada uraian di atas, nyata sekali bahwa kebanyakan diantara mereka yakni 21 pasang dari 26 pasang suami isteri telah berstatus duda atau janda, atau
113
Masianto dan Sriyuni, Pelaku Nikah dengan Wali Muhakkam, Wawancara, Jambi, 9 Januari 2011
104
keduanya adalah duda dan janda. Sementara itu hanya 5 pasang suami isteri yang berstatus jejaka dan perawan.114 Hal tersebut tentu menjadi bukti bahwa status suami dan isteri yang telah duda dan janda tanpa mempunyai akta cerai dari pengadilan, menyebabkan mereka tidak bisa menikah dengan wali hakim di KUA Kecamatan. Sehingga mereka mengambil jalan lain yakni menikah dengan wali muhakkam. Menurut hasil observasi yang penulis lakukan, faktor penyebab terjadinya nikah dengan wali muhakkam di Jambi timur antara lain adalah: a. Karena minimnya pengetahuan orang yang melaksanakan perkawinan tersebut tentang peraturan dan Undang-undang Perkawinan. b. Karena wali nasab tidak ada atau walinya jauh. c. Para pelaku nikah dengan wali muhakkam ini berstatus janda dan duda tetap tidak bisa dibuktikan dengan akta cerai. d. Para pelaku nikah dengan wali muhakkam ini tidak sabar menunggu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yakni 10 har kerja dari pendaftaran. e. Karena mereka merasa berat mengurus persyaratan yang sudah ditetapkan mulai dari pembuatan KK, KTP, PBB, N1, N2, N4, pasfoto dan imunisasi bagi calon mempelai perempuan.115
114 115
Lihat Tabel 3 dan 4 halaman 71-72 Observasi, Jambi, 5-6 Januari 2011
105
f. Karena calon mempelai perempuan sudah terlebih dahulu hamil, sehingga cepat-cepat dinikahi walaupun dengan wali muhakkam guna menutupi aib. g. Karena calon isteri yang akan dinikahi merupakan isteri kedua, ketiga atau keempat. h. Karena masih ditemukan tentang kebolehan nikah dengan wali muhakkam dalam sebagian kitab-kitab fiqh. i. Karena masih sering ditemukan perkawinan dengan wali muhakkam di tempat lain. j. Karena belum ada yang mendapat sanksi dari pernikahan dengan wali muhakkam.116
A. Akibat yang Ditimbulkan Melalui Perkawinan dengan Wali Muhakkam Setelah sub bab tentang bentuk pelaksanaan dan faktor penyebab terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur, maka pada sub bab ini penulis akan menjelaskan akibat yang ditimbulkan melalui perkawinan dengan wali muhakkam. Di dalam Kompilasi Hukum Islam telah dijelaskan, bahwa pada Pasal 6 ayat (2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.117 Perkawinan
dengan
wali
muhakkam
merupakan
pernikahan sirri, yakni perkawinan yang tidak tercatat atau tidak memiliki kutipan akta nikah wali muhakkam pada dasarnya tidak diakui di depan hukum.
116 117
Da‟wan, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 7 Januari 2011 Anonim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal.5
106
Berbagai pertimbangan di atas, pernikahan semacam ini menyebabkan munculnya wacana untuk menindak pelaku nikah sirri – termasuk nikah dengan wali muhakkam – diantaranya adalah munculnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama yang diantara keputusan adalah menindak pelaku nikah sirri. Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan sirri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan sirri, kawin kontrak, dan poligami. Berkenaan dengan nikah sirri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan sirri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara minimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah sirri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seorang yang bermasalah, misalnya masih terkait dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenakan sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp. 6 juta dan 1 tahun penjara.118 Isu mempidanakan pelaku nikah sirri telah menimbulkan sikap kontra dari kalangan ulama. Misalnya saja dari Ketua MUI Jawa
Timur
sebagaimana
dilansir
dalam
situs
berita
www.okezone.com :
118
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, Pandangan Islam tentang Nikah Sirri, www.faridm.com, 28 Februari 2009
107
Surabaya – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menolak keras rencana pemberlakuan sanksi pidana bagi pelaku nikah sirri. Penolakan itu menyusul Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Peradilan Agama yang memuat sanksi pidana bagi pelaku nikah sirri. “Sangat
disayangkan,
Depag
mengusulkan
RUU
tersebut,” ujar Ketua MUI Jatim Abdus Shomad ketika dihubungi wartawan di Surabaya, Jum‟at (19/2/2010). Selain tentang pemidanaan praktik nikah sirri, Shomad menambahkan, MUI Jatim juga menolak rencana penghapusan UU penistaan agama. “Untuk UU penistaan agama lebih baik jangan dihapus, MUI Jatim menolak itu”, imbuhnya. RUU tindak pidana praktik nikah sirri, menurut Shomad, bertentangan dengan ajaran islam, sebab menurut hukum Islam nikah sirri adalah sah. Pemerintah diminta terlebih dahulu mengkaji hal itu, sebelum mengesahkan UU tersebut. “(Tidak etis) jika nikah sirri dipidanakan sementara UU yang mengatur tentang pelacuran tidak ada. Karena pelacur dan perzinahan di Indonesia kini masih marak,” lanjut Shomad. Pemerintah, kata dia, semestinya memberantas praktik pelacuran, sebelum membuat UU tentang pidana nikah sirri. “Di dalam nikah sirri akan ada saksi, wali dan hakim, namun yang harus diatur dan dipidanakan adalah seseorang yang melakukan nikah sirri, namun sang suami menelantarkan sang isteri atau anaknya, maka dia harus dipinakan,”tuturnya.119
119
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, MUI Jatim Tolak Sanksi Pidana Nikah Sirri, www.okezone.com, Surabaya, 19 Februari 2010.
108
Barangkali kalau Rancangan Undang-Undang itu benarbenar disahkan menjadi Undang-Undang maka akibat hukum bagi pelaku nikah dengan wali muhakkam tentu lebih serius lagi yakni masuk ranah delik pidana. Sehingga dengan demikian mereka yang melakukan bisa mendapatkan sanksi pidana. Bahkan juga bisa menyeret orang-orang yang terlibat misalnya wali muhakkam itu sendiri. Terlepas menjadi kenyataan atau tidak Rancangan Undang-Undang
Peradilan
Agama
itu,
apakah
memang
perkawinan dengan wali muhakkam sendiri telah memberikan akibat yang drasakan oleh para pelaku. Untuk mengetahi hal itu maka diperlukan bukti-bukti dan tentu memerlukan informasi. Untuk mengetahui hal ini penulis mewawancarai beberapa informan
yang
terkait
dengan
perkawinan
dengan
wali
muhakkam. Pada saat peulis mengajukan pertanyaan kepada Muhammad Sofwan S.Ag selaku Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur dengan pertanyaan, menurut bapak apa akibat yang ditimbulkan melalui perkawinan dengan wali muhakkam? Lalu ia menjawab menurut saya akibat hukum yang ditimbulkan melalui perkawinan dengan wali muhakkam adalah suami isteri yang menikah dengan wali muhakkam tidak bisa mendapatkan dan memiliki kutipan akta nikah yang diakui dan sah menurut Undang-undang.120 Pada kesempatan yang lain penulis juga mewawancarai Bapak H. Adi Sumarno, salah satu tokoh pemuda Jambi Timur
120
M. Sofwan, Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 6 Januari 2011
109
tentang apa akibat dari perkawinan dengan wali muhakkam. Beliau mengatakan apabila pasangan suami isteri yang menikah dengan wali muhakkam, maka akibatnya akan terjadi pada masa yang akan datang, misalnya isteri dan anak-anak yang ditinggalkan oleh suami dan bapaknya, sementara mereka tidak mendapatkan nafkah lahir dan batin jika mereka tidak mempunyai salinan akta nikah, maka isteri dan anak-anaknya tidak bisa mengadu kepada Pengadilan Agama. Dengan kata lain isteri dan anaknya tidak dapat melakukan upaya hukum untuk menyelesaikan masalah pengabaian hak isteri dan anak-anaknya. Apabila mereka memiliki harta maka mereka tidak bisa mengambil haknya karena tidak ada bukti otentik yang dibenarkan hukum bahwa harta itu milik mereka.121 Begitu pula pada saat penulis bertanya kepada Bapak Ibrahim Taher, BA sebagai tokoh adat Kecamatan Jambi Timur, menurut bapak apa akibat yang ditimbulkan perkawinan dengan wali muhakkam, lalu ia menjawab menurut pendapat saya bahwa diantara akibat dari perkawinan dengan wali muhakkam yang terjadi di masyarakat Jambi Timur adalah mereka yang menikah dengan wali muhakkam, akan mengalami kesulitan dalam membuktikan bahwa mereka adalah pasangan suami isteri yang sah. Misalnya, saat sebuah keluarga pindah rumah. Biasanya Ketua RT akan menanyakan apakah mereka mempunyai buku nikah. Apabila mereka tidak bisa menunjukan buku nikah, maka RT meminta bukti lain seperti surat keterangan nikah, namun biasanya dia akan menyarankan agar pasangan suami isteri segera mengurus, akta nikah yang sesuai Undang-Undang Perkawinan 121
Adi Sumarno, Tokoh Pemuda Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 24 Januari 2011
110
yakni mengambil buku nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan.122 Informasi lain penulis dapatkan pula dari Bapak Drs. Muhammad Soeb, salah seorang tokoh pemuda dan sehari-hari bekerja menjadi Penghulu di Kantor Urusan Agama Kecamatan Jambi Timur. Beliau menyatakan apabila pasangan suami isteri melakukan perkawinan dengan wali muhakkam dan tidak mempunyai buku nikah, maka manakala mempunyai anak-anak yang telah dewasa lantas bertanya tentang buku nikah orang tuanya. Apabila orang tuanya tidak bisa menunjukan buku nikahnya, maka bisa jadi anak-anaknya akan menyangka bahwa kedua orang tuanya dulu menikah tanpa restu kakek dan neneknya, atau mereka malah kawin lari. Hal ini tentu akan menimbulkan kesan yang kurang baik, atau malah membuat mental anak terjangkiti perasaan minder karena menyangka bahwa orangtuanya „kawin lari‟.123 Penulis mewawancarai Bapak bambang Darmawan, S.HI, Penghulu di KUA Kecamatan Jambi Timur. Penulis menanyakan, apa akibat yang ditimbulkan perkawinan dengan wali
muhakkam?
Menurutnya
perkawinan
dengan
wali
muhakkam hanya menimbulkan akibat bagi pelaku dalam birokrasi saja. Misalnya membuat akta kelahiran anak, atau persoalan yang menuntut pembuktian perkawinan yang diakui di mata hukum. Misalnya pembuktian ahli waris, yang hanya bisa ditujukan dengan adanya akta nikah. Adapun bila yang dimaksud
122
Ibrahim Thaher, Ketua Lembaga Adat Kec. Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 23 Januari 2011 123 Muhammad Soeb, Tokoh Pemuda dan Penghulu di KUA Kec. Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 24 Januari 2011.
111
akibat hukum yang bersifat pidana. Menurutnya bahwa selama ini tidak pernah terdengar mereka yang dipidana oleh karena menikah dengan wali muhakkam. Hanya saja itu masih wacana dan masih berupa RUU yang masih kontroversial.124 Dari hasil wawancara penulis diatas maka menurut penulis hanyalah berdasarkan asumsi-asumsi semata tanpa didasarkan fakta nyata, karena di dalam buku-buku fiqh tidak ada satu pendapat pun yang mengatakan tentang akibat yang ditimbulkan oleh perkawinan dengan wali muhakkam, dan begitu pula dengan Kompilasi Hukum Islam atau Undang-Undang Perkawinan. Yang ada adalah perbedaan pendapat tentang sah atau tidaknya perkawinan dengan wali muhakkam. Di samping itu kebiasaan di masyarakat Jambi Timur bila seorang bapak meninggal dunia ada atau tidak ada surat nikah maka isterinya tetap diurus keluarga. Begitu juga dengan para pendatang baru, bila melapor ke ketua RT apabila ditanya tentang buku nikah, kalau tidak ada maka ketua RT biasanya sudah merasa cukup apabila pasangan suami isteri menunjukan bukti nikah seperti surat keterangan. Namun bila dihadapkan terhadap urusan pemerintah yang membutuhkan persyaratan buku nikah maka urusan yang bersangkutan tentu akan terkendala karenanya. Sementara itu sebagian masyarakat Jambi Timur masih terdapat anggapan yang kuat bahwa nikah dengan wali muhakkam atau tanpa pencatatan di KUA Kecamatan adalah sah menurut
agama
tanpa
mempertimbangkan
akibat
yang
ditimbulkannya.
124
Bambang Darmawan, Penghulu di KUA kec. Jambi Timur, wawancara, Jambi 15 Januari 2011
112
Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut penulis perkawinan dengan wali muhakkam akan berakibat : 1. Tidak bisa mendapatkan akta kelahiran, bila anak lahir hasil perkawinan
dengan
wali
muhakkam,
karena
untuk
memperoleh akata kelahiran harus memiliki akta perkawinan, yang dibuktikan dengan adanya buku nikah yang isinya adalah kutipan dari akta perkawinan yang ada di KUA Kecamatan. 2. Jika akta perkawinan tidak ada, maka apabila anak dari suami isteri yang tidak mempunyai akta perkawinan akan kesulitan untuk masuk ke sekolah dan ujian nasional. 3. Sulit dalam melamar pekerjaan, karena seseorang biasanya akan
dimintakan
akta
kelahirannya
terutama
ketika
melengkapi bahan kelulusan CPNS. 4. Bila salah seorang suami atau isteri meninggal dunia, maka suami atau isteri yang ditinggalkan (janda atau duda) tidak diakui di depan hukum sebagai ahli waris tanpa adanya akta nikah sesuai peraturan perundang-undangan. 5. Bila suami atau isteri yang menikah dengan wali muhakkam salah satunya menjadi PNS, maka ia tidak bisa memasukan suami atau isterinya serta anaknya ke dalam daftar gaji karena tidak memiliki akta nikah. Sehingga tunjangan mereka tidak diberikan oleh negara. 6. Apabila salah satu suami isteri yang menikah dengan wali muhakkam itu pensiun, maka isteri atau suaminya tidak mendapatkan hak dari pensiunnya karena daftar gaji pensiun juga di dasarkan atas akta nikah.125
125
M. Sofwan, Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 10 Januari 2011
113
B. Status Hukum Perkawinan dengan Wali Muhakkam Menurut Hukum Islam Sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab di atas, jelas bahwa nikah dengan wali muhakkam merupakan salah satu bentuk dari nikah sirri, yakni nikah yang tidak tercatat dan tidak mempunyai akta nikah. Memang nikah sirri masih menjadi isu yang masih kotroversial dalam kedudukan peraturan perundangundangan Indonesia dan syariat Islam. Bahkan Menteri Agama Surya Darma Ali pernah menyatakan itu sah menurut syariat Islam apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. “Menurut pribadi saya, nikah sirri itu sah menurut agama karena syarat dan rukunnya terpenuhi. Kawin sirri dalam terminologi fiqh tidak ada, tetapi kawin sirri di Indonesia dikenal sebagai pernikahan yang tidak dicacat, namun diketahui oleh kedua keluarga dan ada saksi serta walinya. Jadi perkawinan itu tidak sesuai dengan namanya,” ujarnya. Suryadharma Ali tidak sependapat jika nikah sirri diartikan sebagai nikah diam-diam, karena sudah sesuai dengan ketentuan agam Islam. “Jadi bukan sesuatu yang bertentangan. Dari hukum Islam sah dan bukan seperti yang dipahami kawin secara diam-diam, bukan itu maksudnya,” jelasnya.126 Jika nikah dianggap sah kalau telah sesuai dengan ketentuan, yakni terpenuhi syarat dan rukunnya. Maka sudah
126
Suryadarma Ali, Nikah Sirri Sah Jika Sesuai Ketentuan, www.okezone.com, Jakarta,19 Februari 2010
114
tentu pula nikah dengan wali muhakkam tentu bisa dibenarkan sesuai dengan syariat Islam. Bias yang muncul adalah mengenai wali nikah dalam perkawinan dengan wali muhakkam. Karena sudah mafhum bahwa, wali nikah bagi perempuan ada dua, yakni wali nasab dan wali hakim. Jika seorang perempuan tidak mempunyai wali nasab maka hakimlah yang menjadi wali nikahnya. Untuk
menjawab
hal
ini
penulis
berusaha
mengumpulkan beberapa penjelasan dari para ulama, tentang apakah boleh seorang wanita, yang tidak mempunyai wali nasab, putus walinya atau walinya berada di tempat yang jauh menjadikan orang lain yang bukan hakim menjadi wali nikahnya? Qurthubi berkata, bahwa, jika perempuan yang tinggal di tempat yang tidak ada sultan dan tidak pula memiliki wali, maka penyelenggaraan nikahnya dapat diserahkan kepada tetangga yang dipercayainya untuk mengakadnikahkannya. Dalam hal yang demikian itu tetangga telah menjadi wali, karena stiap orang yang mau kawin tetapi dalam pelaksanaannya hendaklah dengan sebaik-baiknya dikerjakan. Dalam hal ini Malik berkata tentang perempuan yang kondisinya lemah, ia boleh dikawinkan oleh orang yang diserahi urusannya, karena tidak dapat pergi kepada sultan. Jadi seolah-olah sultan tidak berada di tempatnya sehingga seluruh orang Islam secara umum dapat bertindak menjadi wali. Syafi‟i berpendapat bahwa apabila dalam masyarakat terdapat perempuan yang tidak mempunyai wali, lalu ia mewakilkannya kepada seorang laki-laki untuk menikahkannya maka hukumnya boleh, karena hal itu merupakan tindakan
115
mengangkat hakim dan orang yang diangkat sebagai hakim sama kedudukannya dengan hakim itu sendiri.127 Menurut Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dijelaskan pula bahwa apabila suatu perkawinan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim padahal di tempat itu tidak ada wali hakimnya, maka perkawinan dilangsungkan dengan wali muhakkam.128 Di dalam kitab ‘Ianatut Thalibin Juz 3 dijelaskan :
ز ّٗجٖا (حم مكم عذه) دشّٗىّرٔ ٍع خاٞ مّمن ٍشّفٜ٘جذ ٗىٝ ٌ(مث)إُ ىــــ نِ مث قاضٝ نِ جمتهدا إرا ملٝ ز ّٗجٖأٍْ ٗإُ ملٞطثٖاأٍشٕاى .شرشط مُ٘ احمل مكم جمتهداٞ ٗإالّ ف،شإٔوٞٗى٘غ Artinya : Kemudian jika tidak ada seorang wali pun dari orang-orang yang telah disebut di atas. Maka yang mengawinkan
adalah
orang
merdeka
yang
diangkatkan sebagai (wali muhakkam yang adil). Dia diangkat oleh kedua belah pihak yang bersangkutan untuk mengurus perkawinan mereka. Sekalipun (wali muhakkam itu) bukan mujtahid, jika di tempat mereka tidak terdapat qadhi sekalipun yang bukan ahlinya. Akan tetapi jika di tempat mereka terdapat serang qadhi yang bukan ahlinya maka disyaratkan bagi wali muhakkam yang diangkat hendaknya dia seorang mujtahid.129
127
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 7, hal.27 Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35 129 Lissaid Abi Al-Mansyur Bissayidil Bakri bin As-Sayyid Muhammad Syathad Dimyati Al-Misri, Taziliu Makkatal Musyafafah, (Syirqah Al-Ma‟arif Lithabal Wannasi, Syirqah Nurussyaqafah Al-Islamiyah, t.th), Juz 3, hal. 318-319 128
116
Dan demikian pula bahwa wanita boleh mengangkat seseorang yang adil untuk menjadi walinya. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab ‘Ianatut Thalibin Jus 3 dijelaskan :
مٌ دذز،ٌٕز ّٗج إالّتذساٝ ّعَإُ ماُ احلامٌ ال: خْاٞقاه ش ّ أُ هلا ّ ٔرّجُٞ ـــ فْٟا ّّٔ عذالٍع ٗج٘دٓ ٗإُ صيَْا أّٜأُ ذ٘ى .حٖٞزىل ٍْٔ داه اىرّ٘ىّْٞعزه تزىل تأُ عيٌ ٍ٘ىٝال Artinya : Syaikhuna (Ibnu Hajar) mengatakan bahwa memang dibenarkan jika hakim tidak mau menikahkan kecuali dengan diberi dirham (uang) seperti yang terjadi pada masa sekarang. Untuk jalan keluarnya pihak perempuan boleh menngangkat seorang yang adil sebagai walinya tanpa memandang keberadaan hakim. Sekalipun, kita percaya
bahwa
ia
tidak
dapat
dipecat
karena
perbuatannya itu, mengingat orang yang mengangkatnya mengetahui hal tersebut di saat pengangkatannya.130
Dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa orang yang bisa menjadi wali muhakkam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Beragama Islam 2. Aqil baligh 3. Laki-laki131 4. Mempunyai pengetahuan tentang hukum Islam (ulama)132 130
Lissaid Abi Al-Mansyur Bissayidil Bakri bin As-Sayyid Muhammad Syathad Dimyati Al-Misri, Taziliu Makkatal Musyafafah, (Syirqah Al-Ma‟arif Lithabal Wannasi, Syirqah Nurussyaqafah Al-Islamiyah, t.th), Juz 3, hal. 318-319 131 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, hal. 103
117
5. Bersikap adil133 Pada
masa
sekarang
para
ulama
agaknya
mempertimbangkan juga aspek ini, yakni kebolehan untuk mengambil jalan wali muhakkam jika wali hakim mempersulit atau meminta imbalan atau biaya kepada calon pengantin. Dalam hal ini penulis mendapat fatwa dari Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta telah mengeluarkan fatwa tersebut. Berikut ini penulis cantumkan fatwa tersebut yang telah dimuat oleh Institut Pengurusan dan Penyelidikan Fatwa Sedunia (INFAD) University Sains Islam Malaysia, Tingkat 1, Fakulti Syariah dan UndangUndang dalam situsnya. www.e-infad.my:134 Di tengah-tengah masyarakat Indonesia, seringkali terjadi perkawinan antara seorang pria dan wanita yang tidak dihadiri
oleh wali
nasab dari pihak mempelai
wanita.
Ketidakhadiran wali nasab tersebut, bisa jadi karena yang bersangkutan tidak menyetujui dilangsungkannya pernikahan, atau bertempat tinggal diluar negeri atau luar daerah, sehingga sulit menghadiri pernikahan tersebut atau karena sebab lain. Agar pernikahan tersebut dapat berlangsung, maka pihak mempelai wanita menunjuk wali hakim dari kalangan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) yang ditunjuk oleh pemerintah, atau wali muhakkam dari tokoh masyarakat atau ulama setempat. Untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang sah atau tidaknya pernikahan yang dilangsungkan oleh wali hakim atau muhakkam, maka MUI Provinsi DKI Jakarta 132
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35 Aziz Zainuddin bin Abdul Al-Malibari Al-Fannani, Terjemahan, Fathul Mu‟in, hal.1239 134 MUI DKI Jakarta, Fatwa Tentang Wali Muhakkam, http://www.e.infad.my, 17 Januari 2011 133
118
memfatwakan tentang pengangkatan wali hakim (muhakkam), sebagai berikut: 1. Bahwa pernikahan yang sah menurut syari‟at Islam, adalah pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan syariat Islam dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan yang disebut dalam kitab-kitab fiqh. Seperti adanya calon suami, calon isteri, wali dan dua orang saksi yang beragama Islam dan bersifat adil, serta ijab qabul. Di samping itu, harus dicatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 2. Bahwa suatu pernikahan harus dihadiri oleh wali dan kedua orang saksi laki-laki yang adil. Jika memungkinkan, yang menjadi wali pernikahan adalah wali nasab, yaitu; ayah kandung, atau kakek, atau saudara laki-laki mempelai wanita. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam dalam hadist shahih yang diriwayatkan Imam alBaihaqi dalam kitab Sunan al-Kubra dari „Aisyah RA, sebagai berikut:
)ٖٚقٞ عذه (سٗآ اىثٙ ٗشا ٕذّٜ ٘ىّٝالّناح إال Artinya : Tidak sah suatu pernikahan, kecuali jika dihadiri oleh wali dan kedua saksi yang adil. Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Imam Ad-Daruquthni dari sahabat Abu Hurairah RA :
119
الميت
ّ الذز ّٗج املرأجاملرأجٗالذز ّٗج املرأجّفضٖا ٜٕ حّٞفإُ اى ّزا )خ اجلاٍعٞ ٕٗ٘يف صذ،ذز ّٗج ّفضٖا (سٗآ اتِ ٍاجح
Artinya : Wanita, tidak boleh menikahkan dirinya sendiri, karena sesungguhnya wanita pelaku zina adalah wanita, yang menikahkan dirinya sendiri.
3. Jika wali nasab menolak untuk menikahkan anak gadisnya dengan laki-laki yang kafa‟ah atau tidak bisa menghadiri pernikahan karena bertempat tinggal di luar negeri atau luar daerah atau karena sebab lain, maka untuk mempermudah dan memperlancar pelaksanaan pernikahan, mempelai wanita dapat menunjuk wali hakim dari kalangan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) yang ditunjuk oleh pemerintah. Hal ini didasarkan pada hadist shahih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari „Aisyah RA. Sebagai berikut :
ّ عِ عائشح َّااٍشأجّنذدٝٔ ٗصيٌّ أٞ هللا عيّٚأُ سص٘ه هللا صي ُُٖا فْنادٖا تاطو فْنادٖاتاطو فْنادٖاتاطو فإٞشإرُ ٗىٞتغ ٍِ ل دخو هبا فيٖااملهرمبا اصرذ ّو ٍِ فشجٖا فإُ شتجرٗافاىضطاّ٘ م
)ٛالٗل ىٔ سٗآ اىرشٍز
Artinya : Dari Aisyah bahwa sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda setiap wanita yang
melangsungkan
perkawinan
tanpa
seizin
walinya, maka pernikahan-nya batal, batal, batal. Jika suaminya telah menggaulinya, maka ia berhak memperleh
mahar.
Jika
para
wali
berselisih
120
(bertengkar) maka pemerintah adalah menjadi wali bagi orang yang tidak memiliki wali. (HR. AtTirmidzi).
4. Sepanjang masih ada wali hakim dari kalangan pegawai Kantor Urusan Agama ( KUA) yang ditunjuk oleh pemerintah, maka mempelai wanita tidak boleh menunjuk Wali Muhakkam dari tokoh masyarakat atau ulama setenpat. Sebab jika hal itu diperbolehkan,
maka
akan
membuka
pintu
terjadinya
perkawinan di bawah tangan yang tidak tercatat, sehingga mengakibatkan kesulitan perlindungan hukum bagi kedua mempelai dan anak-anak keturunan mereka. 5. Jika wali hakim dari kalangan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan
yang
ditujukan
oleh
pemerintah
mempersulit pelaksanaan pernikahan, atau menuntut honor yang memberatkan orang yang hendak melangsungkan pernikahan,
atau
memperlambat
pelaksanaan
tugasnya
melebihi batas waktu yang wajar, sehingga menimbulkan kegelisahan bagi orang yang bersangkutan, maka mempelai wanita boleh menunjuk Wali muhakkam dari tokoh masyarakat atau ulama setempat. Keterangan lainya penulis peroleh pula dari Bapak M. Sofwan, S.Ag. Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur mengatakan pada saat penulis mewawancarainya dengan pertanyaan,
bagaimana
menurut
bapak
status
hukum
perkawinan dengan wali muhakkam lalu ia menjawab menurut yang saya ketahui seorang perempuan yang dinikahkan dengan
121
wali muhakkam adalah sah apabila tidak ada walinya (wali nasabnya).135 Menurut Bapak H.A Sayuti HS, Ketua MUI Kecamatan Jambi Timur pada saat penulis mewawancarainya dan menanyakan bagaimana status hukum perkawinan dengan wali muhakkam sebagaimana yang dilakukan sebagian warga di Jambi Timur, dimana calon mempelai tidak bisa melaksanakan perkawinannya dengan wali hakim atau penghulu, karena misalnya seorang janda yang secara administrasi tidak memiliki akta cerai atau wali hakim menghambat pernikahan karena seorang perempuan atau calon mempelai itu tidak memiliki
biaya nikah, maka menurut
beliau seorang
perempuan boleh mengangkat seseorang yang ahli dalam agama untuk menjadi wali dalam pernikahannya.136 Keterangan yang agak berbeda penulis dapatkan dari Bapak Drs. M. Soeb dan M. Hafiz, S.Ag. Keduanya merupakan penghulu pada KUA Kecamatan Jambi Timur, keduanya menyatakan bahwa seorang perempuan boleh mengangkat seseorang sebagai wali untuk menikahkannya apabila dalan keadaan situasi yang sangat darurat, misalnya saat perang.137 Keterangan
lain
penulis
peroleh
dari
Bambang
Darmawan, S.HI, salah seorang penghulu di KUA Kecamatan Jambi Timur. Menurutnya seorang wanita boleh mengangkat 135
M. Sofwan, Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 10 Januari 2011 136 H.A. Sayuti HS, Ketua MUI Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 11 Januari 2011 137 M. Soeb dan M. Hafiz, Penghulu KUA Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 12 Januari 2011
122
orang lain menjadi wali muhakkam selama ada syarat-syarat yang membolehkan itu. Misalnya saja wali nasab terputus, jauh atau tidak diketahui keberadaannya, sementara ia tidak memungkinkan berwali hakim di KUA Kecamatan karena suatu hal. Misalnya tidak mempunyai akta cerai, karena sudah jelas
hakim
di
KUA
Kecamatan
tidak
mungkin
menikahkannya karena terhalang dengan aturan hukum negara.138 Menurut Bapak H.M. Isa salah seorang tokoh agama di Jambi Timur, bahwa seseorang perempuan boleh mengangkat seseorang sebagai wali dalam perkawinannya bilamana perkawinannya tidak bisa dilangsungkan dengan wali nasab atau wali hakim, oleh karena suatu hal seperti wali nasabnya tidak ada atau wali hakim tidak bisa menikahkannya karena terhalang Undang-Undang Perkawinan, seperti seorang janda yang tidak mempunyai akta cerai atau yang lainnya.139 Selain keterangan diatas, penulis juga mendapatkan keterangan dari hasil diskusi dari anggota penyuluh agama fungsional Kota Jambi dengan jumlah anggota 21 orang yang bertempat
di
Ruang
Penyuluh
Fungsional
di
Kantor
Kementrian Agama Kota Jambi dengan mengangkat tema status hukum perkawinan dengan wali muhakkam menurut hukum Islam dengan hasil sebagai berikut : Hukum perkawinan dengan wali muhakkam adalah sah menurut syar‟iat Islam dan pelakunya tidak boleh dianggap
138
Bambang Darmawan, Penghulu KUA Kec. Jambi Timur, Wawancara, 14 Januari 2011 139 H.M. Isa, Tokoh Agama Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 14 Januari 2011
123
melakukan tindakan kemaksiatan, sehingga tidak berhak dijatuhi sanksi di dunia dan akhirat. Dengan catatan calon mempelai tidak bisa melakukan perwalian nikah dengan wali hakim karena terhalang Undang-undang Perkawinan, dan calon mempelai perempuan tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya ghaib, atau berada di tempat yang jauh dimana seseorang dibolehkan untuk meng-qashar shalat atau ketika wali nasab adhal.140 Menurut para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh pemuda yang penulis wawancarai tentang bagaimana status hukum perkawinan dengan wali muhakkam, maka penulis mendapat jawaban mereka hampir sama, yakni menganggap sah nikah dengan wali muhakkam. Para ulama berbeda pendapat tentang wanita yang menikahkan dirinya sendiri dengan mengangkat seseorang sebagai walinya. Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, apabila seorang perempuan mengangkat orang lain menjadi wali untuk menikahkannya itu sah mutlak, hanya wali yang memiliki hak sanggah selama wanita itu belum melahirkan. Adapun Daud Azh-Zhahiri dan orang-orang yang sependapat dengannya
mengambil
dalil
mengangkat
orang
untuk
lain
kebolehhan menjadi
seseorang wali
dalam
pernikahannya, sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam
ضرأرهناأتٕ٘اىفٝٗاىثنش
140
ّٖاٞٗى
ّ ة أدٞاىث ٍِ ق تْفضٖا )ٌّفضٖاٗإرهناصَاهتا (سٗآ ٍضي
Kantor Kemenag Kota Jambi, Diskusi, 5 Januari 2011
124
Artinya : seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya. Sedangkan seorang gadis dimintai izin leh bapaknya dan pengizinannya adalah sikap diamnya.141 (HR. Muslim No.2546) Hadits di atas sangatlah tegas mengenai kebolehan wanita janda untuk mengangkat orang lain untuk menjadi wali dalam pernikahannya, termasuk urusan-urusan yang lainnya. Dalam hadits dari Ibnu Abbas dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda :
ّ ّ ّ ّعِ اتِ عثّاس عِ الن ّلي ّ ٘ش ىيٞٔ ٗصيٌ قاه ىٞ هللا عيٚبي صي ّ ) ٛص َْرَُٖاإِ ْق َشاسُٕا (سٗآ اىْضاء َ َ ََحُ ذُ ْضرَأ ّ ٍَ ُشقْٞ َِرٞة أ ٍْ ٌش َٗ ْاى ِ ْٞ ٍَّع اَىث Artinya : Dari Ibnu „Abbas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda, “Tidaklah bagi wali mempunyai urusan mengenai janda. Sedangkan wanita yatim (tidak berayah) diminta pendapatnya dan diamnya adalah kerelaannya.142 (HR. Nasa‟i) Hadits di atas menjadikan hak bagi wanita mengenai dirinya dan menafikan urusan orang lain dalam hal berhubungan dengan nikahnya, serta melingkupi apa yang berhubungan dengan memilih calon suami juga berhubungan dengan akad.
141
Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid 7, hal.242 Imam An-Nasa‟i, Sunan An-Nasa’i, (Riyadh: Maktabah Syamilah, t.th), Jilid 10, hal.382 142
125
Adapun mengenai perawan bila melihat sifat dan biasanya malu-malu untuk menegaskan kerelaannya, lebihlebih bertindak secara langsung dalam hal akad nikah, syara‟ mencukupkan dengan sesuatu yang menunjukan rela untuk memberi keringanan baginya, akan tetapi bukan berarti syara‟ mencabut haknya untuk mencampuri langsung mengenai akad yang padanya berdasarkan kaidah yang umum. Oleh karena itu, selama perawan itu sudah baligh (dewasa) dan akil (berakal
sehat),
ia
mendapat
perlakuan
yang
sama
sebagaimana janda, keduanya dipandang sama dalam hal urusan nikah.143 Dengan demikian, sifat perawan tidak mempunyai pengaruh bagi wanita tersebut untuk kehilangan haknya dalam menentukan wali dalam pernikahannya karena akilah dan balighah. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dan berdasarkan hadits Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tersebut, maka penulis
berpendapat
bahwa
perkawinan
dengan
wali
muhakkam yang terjadi di Jambi Timur sudah sesuai dengan hukum Islam. Hanya saja tidak sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia. Maka status hukum perkawinan dengan wali muhakkam adalah mubah (boleh) dalam arti sah perkawinan yang dilakukan dengan wali muhakkam berdasarkan kaidah-kaidah fiqh :
خ المخطوساخٞٔ ) اىضّشٗسخ ذْث 143
Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab Masalah Fiqh, hal.123
126
Artinya : Kemudharatan membolehkan yang terlarang.
ٕ ) ٍا دشاً ٍع اىضّشٗساخ ٗالمشإح ٍع الحاجح Artinya : Tidak ada yang haram ketika darurat dan tidak ada yang makruh kalau terdesak kebutuhan.
قذستقذسٕاٖٝ ) ٍاأتخ ىيضّشٗساج Artinya : Apa yang diperblehkan karena darurat diukur menurut kadar kemudharatannya.144
Dan tidak sah (batal) perkawinan dengan
Wali
Muhakkam berdasarkan kaidah fiqh berikut :
ّ جية المصالحٚدفع المفاصذٍقذً عي Artinya : Menolak mafsadah didahulukan dari para meraih maslahat.145
144 145
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta, 2007), hal.72-73 Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta, 2007), hal.29
127
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Jakarta, Departemen RI, 2008 , 25 Tahun Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Jakarta, Balitbang Departemen Agama RI, 2003. A. Rahman Bakri dan Sukardj, Ahmad, Hukum Perkawinan Manurut Islam, Undang-undang dan Hukum Perdata (BW), Jakarta, PT. Hadi Karya Agung, 1981 Abidin, Slamet dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999, Jilid I. Abu Daud, Imam, Sunan Abu daud, Beirut: Dar‟Ihya‟ut Turats Al‟Arabi, t.th. Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram min Ahkam, Surabaya: Achmad bin Nabhan, t.th), h.201. Al-Fannani, Aziz Zainuddin bin Abdul Al-Malibari, Terjemahan Fathul Mu’in, Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2003. Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Mazahib Al-Arba’ah, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th, Juz 4 Al-Marbawi, Muhammad Idris Abdurrauf,
Kamus Idris Al-
Marbawi, Arab Melayu: Yhoba‟a Ala Nafaqoh Maktabah Wamattaba‟ah Al-Hidayah, Surabaya, tt. Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pndok Pesantren Krapyak, 1998 Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam Dalam Peradilan Agama, Jakarta,: Pt. Raja Grafindo Perdana, 2002
128
Ali, Suryadarma, Nikah Sirri Sah Jika Sesuai Ketentuan, www.kezone.com, Jakarta: 19 Februari 2010 An-Nasai, Imam, Sunan An-Nasa’i, Riyadh: Maktabah Syamilah, t.th, Jilid 10 An Nawiy, Syamsuddin Ramadhan, Pandangan Islam tentang Nikah Sirri, www.faridm.com, 28 Februari Anonim, Buku Pintar Keluarga Muslim, Semarang: Badan Penasehatan Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian BP.4, 1993. , Badan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen Bimas Islam Departemen Agama RI, 2004 , Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1997/1998 , Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta: Dirjen Bimas Islam Dan Urusan Haji, 1999/2000 , Pedoman Penghulu, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, 2005 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Bineka Cipta, 1988 As-Sayyid Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani Summa, Subulus Salam, As-Sananil Ma‟ruf bil Amar, Penerbit Dahlan, Bandung, t.th, Jilid 3 At-Tirmidzi,
Imam,
Sunan
At-Tirmidzi,
Riyadh:
Maktabah
Syamilah, t.th, Jilid 4 Ayyub, Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003 Bakriy, Abd bin Nur Oemar, Kamus Arab Indnesia-Inggris, Jakarta, Sumber Mulya, 1974
129
Dahlan, Abdul Aziz, Eksiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Van Hope, 1996 Daly, Peunh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996 Dja‟far, Amir, Ilmu Fiqih Bagi Nikah Absitti Syamsyiah, Solo: Secoyudan, 1983 Haramein, “Kedudukan Wali Dalam Pernikahan”, Majalah Paras, Edisi Khusus No.28, 2006 Hasan, Ahmad, Tafsir Al-Qur’an Perkata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah, Jakarta: Pustaka Maghfirah, 2009 Ibnu Majah, Imam, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar Al-Fikri, t.th, Jili 1 Idhamy, Dahlan, Asas-asas Fiqih Munakahat Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, t.th Jawas, Yazid bin Abdul Qadir, Aqad Nikah, www.islamicwedding.com, 3 Februari 2009 Kamus Al-Munjid fil Lughah wal A’lam, Beirut: Darul Masyriqi AlMaktabah Asy-Syardiyah Sahanatun Najah, 1986 Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, MUI Jatim Tolak Sanksi Pidana Nikah Sirri, www.okezne.com, Surabaya, 19 Februari 2010 Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996 Muslim, Imam, Shahih Muslim, Riyadh: Maktabah Syamilah, t.th. Jilid 7 Musyarrafah, Lissayid Abi Bakrin Abi Bakrin Al-Mansyhur Bissayidil Bakri bin as-Sayyid Muhammad Syatha
130
Dimyati Al-Misri Taziliu Makkatal Musyarrofah, I’anatut
Thalibin,
Syirqah
Al-Ma‟arif
Lithabal
Wannasri, Syitqah Nurussyaqafah Al-Islamiyah, t.th, Juz 3 MUI DKI Jakarta, Fatwa tentang wali muhakkam, www.eonfad.my, 17 Januari 2011 Nawawi, Hadri, Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: UGM Press, 1993 Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 2000 Cet.Ke-33 Ramulyo, M.Idris, Beberapa Masalah Hukum Acara Perdata PA dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985 Saleh, H.E. Hasan, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005 Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Banung: Al-Ma‟arif, 1994, Alih Bahasa Oleh Moh. Thalib, Jilid 4, cet.Ke-9 Sukamto, Sarjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986 Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005 Sutrisno, Hadi, Metode Riset, Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM, 1996 Syaltut, Syaikh Mahmud, Perbandingan Mazhab Masalah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 973 Thalib, Sayuti, Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cet.Ke-4 Tihami, H.M.A. dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009
131
Umur, Abd. Rahman, Kedudukan Saksi Dalam Peradilanan Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Husna Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Mahmudin, 1956 Muhammad bin Makrum bin Mansur Al-Afriqi Al-Misri, Kamus Lisanul Arab Al-Misri, Dar Shaddar, Beirut, t.th, Jilid. 12
132
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Drs. Abber Hasibuan, M.Sy
TTL
: Siolip Kecamatan Barumun Tapanuli Selatan, 12 Juni 1964
Alamat
: Jl. Sri S. Pakubuwono, RT. 33 No. 52 Kelurahan Tanjung Pinang Kecamtan Jambi Timur Kota Jambi 36146
Telepon/Hp : (0741) 7076017/ 085266915991 Orang Tua
: Jabungan Hasibuan (Ayah) Tiagen Daulay (Ibu)
Istri
: Rosidah
Anak
: Asad Khatib Hasibuan (Laki-Laki) Rodiyah Shalilah Hasibuan (Perempuan)
Saudara
: Gong Matogu Hasibuan
133
Pendidikan : No
Pendidikan
Tempat
Tahun
1
Madrasah Ibtidaiyah NU
Siborong Borong
1974
Tapanuli Selatan 2
Ponpes MTs Darul ‘Ulum
Nabundong
1977
3
Ponpes Mas Darul ‘Ulum
Nabundong
1980
4
IAIN STS Jambi (Sarjana
Jambi
1986
Jambi
1988
Jambi
2011
Muda) 5
IAIN STS Jambi (S1 Fakultas Syariah)
6
Pascasarjana IAIN STS Jambi (S2)
Pengalaman Kerja : 1. Dosen STAI Ma’arif Jambi Tahun 1993 s.d Sekarang 2. Penyuluh Agama Fungsional Kementrian Agama Tahun 2000 s.d sekarang