Sekretariat Negara Republik Indonesia
PRO KONTRA PERIZINAN USAHA BUDIDAYA TANAMAN PANGAN Kamis, 29 April 2010
Semua petani di seluruh Indonesia, baik pengusaha di bidang pertanian maupun petani gurem, wajib mendaftarkan usaha taninya kepada Bupati/ Wali Kota apabila mereka mau menanam komoditas tanaman pangan, seperti padi, jagung, kedelai, ubi jalar, ubi kayu, kacang hijau, dan sorgum. Demikian berita yang dimuat dalam Kompas online tanggal 19 April 2010.
Berita tersebut mengejutkan banyak pihak, terutama petani dan kelompok-kelompok masyarakat yang bergerak di bidang pertanian. Mereka pada umumnya menolak peraturan yang akan dikeluarkan oleh Menteri Pertanian tersebut. Sementara itu ada kelompok lain yang melihat urgensi peraturan dimaksud dikeluarkan. Dibawah ini akan diuraikan pendapat kedua belah pihak, baik yang pro maupun yang kontra.
Urgensi Permentan tersebut
Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan, menurut Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatot Irianto, merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Tujuannya untuk melindungi buruh tani yang bekerja untuk perusahaan atau pemilik lahan persawahan. Peraturan ini juga berguna untuk bahan pemetaan pengembangan komoditas tanaman pangan.
Permentan yang baru ini juga merupakan tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman. Adapun PP dimaksud merupakan amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Ditegaskan pula bahwa petani mempunyai kedaulatan untuk memilih jenis komoditas yang akan ditanam. Namun, regulasi tersebut juga mengatur bahwa jika pemerintah memerintahkan petani untuk menanam suatu komoditas, segala risiko dijamin pemerintah. Artinya, petani berhak mendapatkan kompensasi seperti penggantian benih, pupuk, dan pendapatan yang hilang jika lahan yang dikembangkannya gagal panen. Pasalnya, komoditas tanaman pangan semisal padi dan gula sangat bertalian dengan ketahanan pangan nasional. Pertimbangan itu menjadikan pemerintah boleh mengintervensi budidaya pertanian hingga di tingkat petani. Intervensi itu berupa subsidi pupuk, jaminan harga pembelian pemerintah, hingga jaminan penggantian kerugian jika terjadi puso. Untuk itu, diperlukan pemutakhiran terus menerus tentang data luasan tanam untuk masing-masing jenis komoditas. Sehingga, pemerintah dapat memperkirakan dana dan sarana produksi yang perlu dipersiapkan sebagai bantuan langsung bagi petani. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 17 January, 2017, 09:25
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Sementara itu, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air Hilman Manan, mengatakan bahwa kewajiban lapor jenis tanaman yang akan ditanam dan juga luasan lahan yang dikelola mengacu kepada Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Ditegaskan pula bahwa petani bebas memilih komoditas tanaman yang akan ditanamnya.
Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan tersebut diharapkan bisa menjadi pegangan swasta yang hendak berinvestasi di bidang budidaya tanaman pangan, baik pada proses produksi maupun penanganan pascapanen. Peluang investasi pada proses produksi meliputi usaha penyiapan lahan dan media tumbuh tanaman, pembenihan, penanaman, pemeliharaan atau perlindungan tanaman, dan pemanenan. Adapun peluang usaha terkait penanganan pascapanen meliputi pembersihan komoditas, pengupasan atau perontokan, pengeringan, sortasi, grading, pengolahan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan distribusi atau pemasaran hasil produksi.
Pendapat yang Menentang Pemberlakukan Permentan tersebut
Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan menurut berbagai sumber sudah selesai di draft. Bahkan dalam draft Permentan yang diterima Kompas, terlihat sudah final. Permentan itu memuat 10 bab dan 46 pasal. Pada lembaran terakhir, tertera secara rinci kolom tanggal penetapan, kolom tanda tangan Menteri Pertanian Suswono, kolom tanggal diundangkan, kolom tanda tangan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, lengkap dengan kolom nomor untuk berita negara (Kompas online 20/4/10).
Di dalam Rancangan Permentan tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan tersebut diatur perizinan investasi di sektor tanaman pangan oleh perusahaan besar ataupun korporasi multinasional. Selain itu, juga diatur perizinan usaha tanaman pangan untuk petani skala kecil-menengah. Dengan kata lain, petani kecil dengan kepemilikan lahan dan usaha tani kurang dari 0,5 hektar juga turut menjadi obyek kebijakan.
Menanggapi rencana aturan baru itu, para petani dan sejumlah organisasi tani menyatakan keberatan, bahkan sebagian secara tegas menolak. Aturan baru itu berpotensi menjajah petani, menjadikan mereka obyek kekuasaan, menghilangkan kedaulatan, mencerabut kearifan lokal, dan menurunkan produksi pangan nasional. Selain itu, juga menciptakan pungutan liar, menjadikan petani sasaran pemerasan, bahkan sebagai bentuk lepas tanggung jawab pemerintah atas buruknya pendataan lahan dan usaha tani. Dikhawatirkan pula adanya paksaan dari pemerintah mengingat para pejabat pemberi izin budi daya mempunyai aparatur yang bisa kontak langsung dengan petani. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 17 January, 2017, 09:25
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir mengatakan bahwa dengan pemberlakukan peraturan tersebut, pemerintah melihat petani sebagai seorang pengusaha, padahal SDM pertanian rendah. Pada saat ini banyak keluhan dari petani, mulai dari kenaikan harga eceran pupuk bersubsidi, lemahnya penerapan kebijakan harga pembelian pemerintah atas gabah dan beras yang mengakibatkan jatuhnya harga gabah, hingga akan munculnya aturan baru ini. Akibatnya, sebagian petani sudah mulai berpikir untuk meninggalkan tanaman padi. Kalaupun menanam padi, hanya sebatas untuk kebutuhan makan sendiri, karena kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Rachmat Pambudy menilai rencana penerapan aturan baru itu bakal menyulitkan petani. Petani modern tugasnya hanya menanam, tidak harus mengurusi yang lain, seperti sarana produksi, apalagi pendataan lahan dan usaha tani.
Rancangan Permentan juga tidak mengenal istilah petani, apalagi petani kecil. Aturan itu hanya mengenal istilah pelaku usaha, baik bagi petani gurem maupun untuk petani skala luas. Lebih mengejutkan lagi ketika aturan baru itu dibuat, ternyata sama sekali tidak melibatkan petani selaku pemangku kepentingan.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir menyatakan, biasanya pemerintah melibatkan petani sebagai pemangku kepentingan. Sebab, bagaimanapun, yang memiliki lahan dan yang mengusahakan lahan pertanian adalah petani, bukan pemerintah. Untuk diketahui bahwa pada saat ini ada sekitar 25 juta rumah tangga petani terlibat dalam usaha budidaya tanaman pangan. Ini bukan jumlah yang kecil, mengapa pemerintah tidak mau mendengarkan suara petani?
Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum juga mempertanyakan hal tersebut. Karena tidak melibatkan petani atau orang yang dekat dengan petani, aturan itu kehilangan sensitivitas. Bagaimana pengambilan keputusan tanpa melibatkan pemangku kepentingan di sektor pertanian.
Ternyata dalam membahas draft Permentan tersebut hanya melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta 11 perusahaan nasional dan multinasional. Ke-11 perusahaan tersebut adalah PT Bangun Cipta Sarana, PT Digul Agro Lestari, PT Muting Jaya Lestari, PT Sumber Alam Sutera, PT Pertani (Persero), PT Sang Hyang Seri (Persero), Biogene PT Plantation, PT Monsanto Indonesia, PT DuPont Indonesia, PT Bayer Indonesia, dan PT Bisi Internasional Tbk.
Pernyataan http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 17 January, 2017, 09:25
Sekretariat Negara Republik Indonesia
menolak diberlakukannya Permentan dimaksud juga datang dari Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Barat Oo Sutisna, yang menyatakan keraguannya atas kemampuan Bupati/ Wali Kota menjalankan aturan baru tersebut. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) juga secara tegas menolak aturan baru tersebut. Ketua Umum DPP APTRI Abdul Wachid menyatakan bahwa Permentan itu akan mengebiri petani. Padahal, seharusnya petani bebas menanam jenis komoditas.
Tanggapan Kementerian Pertanian
Menanggapi reaksi keras petani dan organisasi tani atas rencana kewajiban pendaftaran usaha tani pangan ke Bupati/ Wali Kota, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatot Irianto menjelaskan bahwa khusus untuk petani kecil, usaha tani untuk skala usaha kurang dari 25 hektar dan melibatkan tenaga kerja tetap kurang dari 10 orang, Kementerian Pertanian mewajibkan Bupati/ Wali Kota untuk mendatanya. Petani kecil hanya berkewajiban untuk bersedia didata, bukan melakukan pendaftaran. Setelah pendaftaran dilakukan oleh Bupati/ Wali Kota atau yang mewakilinya, para petani itu diberi semacam ―surat― yang oleh Permentan disebut sebagai Tanda Daftar Usaha Proses Produksi atau Tanda Daftar Usaha Penanganan Pascapanen.
Selanjutnya Gatot menyatakan bahwa sebagai konsekuensi dari keluarnya Permentan dimaksud, Pemda harus mengeluarkan kebijakan turunan sehingga Pemda yang melakukan pendataan, bukan petani kecil yang mendaftar. Kebijakan itu juga harus terefleksi pada alokasi kebijakan anggaran untuk pendataan usaha tani. Dengan melakukan pendaftaran, akan diketahui jenis komoditas yang ditanam, luas usaha tani, dan hama penyakit yang mewabah.
Kementerian Pertanian mengakui tidak melibatkan petani ataupun organisasi tani dalam proses penyusunan draft Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan dimaksud. Alasan tidak dilibatkannya petani dan organisasi tani dalam penyusunan draf Permentan, menurut Gatot karena dalam Permentan yang diatur adalah investor atau swasta dengan skala usaha lebih dari 25 hektar. Sedangkan petani kecil tidak diatur, sehingga tidak masalah tidak melibatkan mereka.
Alasan lain tidak melibatkan petani dikemukakan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Udhoro Kasih Anggoro, yang menyatakan bahwa ini baru tahap pertama, sehingga belum melibatkan petani dan organisasi tani. Nanti dalam tahap kedua, yaitu tahap sosialisasi, Kementerian Pertanian akan mengundang petani, organisasi tani, dan media massa.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 17 January, 2017, 09:25
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Komentar Sejumlah Pakar dan Pengamat
Pemerintah diminta untuk tidak membebani petani dengan proses administrasi terkait pendataan lahan dan usaha tani. Pasalnya, selain akan menambah biaya pengeluaran petani, hal itu akan menyulitkan petani kecil yang notabene berpendidikan rendah dan berlokasi jauh dari kantor-kantor administrasi desa.
Menurut Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudho Husodo, tujuan Permentan tersebut memang baik, yakni agar pemerintah bisa mendapatkan gambaran jelas mengenai luas tanam masing-masing komoditas. Namun demikian, dia menyarankan agar skema pelaksanaan itu dibebankan kepada perangkat desa, alih-alih menambah beban itu kepada petani.
Kepala Desa sebagai aparat di tingkat administrasi wilayah paling akhir bisa ditugaskan turun ke lapangan untuk mendaftar komoditas apa saja yang ditanam warganya dengan satuan luas. Nantinya, data itu diteruskan hingga ke tingkat kabupaten/kota sehingga pendataannya bisa mendapatkan data yang akurat.
Pasalnya, kalau kegiatan pendataan ini dibebankan kepada petani, selain menambah beban para petani, proses pelaksanaannya justru akan menyulitkan pemerintah sendiri. Petani Indonesia yang sebagian besar memiliki tingkat pendiddikan rendah akan kesulitan mengerti skema pelaksanaannya. Dengan begitu, pelaksanaannya dikhawatirkan justru berpotensi menjadikan petani sebagai sasaran pungutan liar.
Selain itu, amanat ini terkesan tidak melihat kondisi riil dari para petani di Indonesia yang tanahnya sempit dan tersebar di banyak lokasi, utamanya pada wilayah-wilayah terpencil. Di Kalimantan dan Papua, misalnya. Jarak tempuh antara kantor Kepala Desa setempat dengan lokasi petani bisa mencapai puluhan kilometer jauhnya. Kondisi ini berimplikasi menambah beban biaya operasi bagi petani kecil yang untuk menanggung biaya operasi produksi saja sudah pas-pasan.
Untuk itulah, disarankan agar pemerintah juga perlu memikirkan biaya operasi bagi Kepala Desa yang ditugaskan menjadi pelaksana. Pasalnya, untuk dapat efektif menggerakkan Kepala Desa beserta perangkatnya turun hingga ke seluruh petani, kegiatan ini memerlukan biaya dan tunjangan pelaksanaannya.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 17 January, 2017, 09:25
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Guru Besar Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum mengatakan bahwa pendataan memang perlu, tetapi bukan urusannya petani kecil. Birokrasi harus proaktif melakukan pendataan. Membangun pertanian harus berdasarkan kesepahaman. Itulah local wisdom.
Berkaitan dengan masalah tanaman pangan, Pengamat perberasan Husein Sawit menyatakan bahwa kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah dengan proporsi harga yang wajar akan merangsang tumbuhnya usaha pengeringan padi secara mekanis dan mendorong petani meningkatkan mutu gabah. Bulog pun akan bekerja lebih baik. Tetapi kalau pemerintah tidak menghargai petani, jangan salahkan petani kalau memilih jalan sendiri. Mereka akan menanam komoditas pangan sesuai kebutuhan masing-masing.
( Chairil / Hamidi )
Referensi :
1.   Media Indonesia online, 19 April 2010
2.   Kompas online,19 April 2010
3.   Kompas online,20 April 2010
4.   Republika online, 20 April 2010
5.   Bisnis.com, 20 April 2010
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 17 January, 2017, 09:25
Sekretariat Negara Republik Indonesia
6.   Vibizdaily.com, 20 April 2010
Â
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 17 January, 2017, 09:25