Prinsip-prinsip Akuntabilitas Sekolah: Pengembangan Sistem Akuntabilitas di Dinas Pendidikan Yahya Sudarya, Tatang Suratno Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak Selama ini, di berbagai negara, sistem akuntabilitas pendidikan lebih banyak dikembangkan oleh pemerintah pusat. Dalam konteks negara besar seperti Indonesia, sebagaimana juga Amerika yang terdiri dari beberapa negara bagian, penerapan sistem akuntabilitas terpusat seperti perlu diperkuat dengan sistem akuntabilitas di daerah (baik di tingkat dinas pendidikan provinsi maupun kabupaten/kota). Isu tersebut dipaparkan secara mendalam terkait dilema standardisasi di era desentralisasi pendidikan. Selanjutnya dipetakan prinsip yang mendasari sistem akuntabilitas di daerah serta contoh yang memperkuat pentingnya sistem akuntabilitas dikembangkan di daerah. Setiap prinsip tersebut juga dijelaskan mengenai deksripsi indikatornya. Tulisan ini diakhiri dengan beberapa implikasi yang diperlukan dalam menstimulasi pemikiran terkait pengembangan sistem akuntabilitas pendidikan di daerah. Kata kunci: sistem akuntabilitas daerah, prinsip, indikator.
Measurement is the first step that leads to control and eventually to improvement. If you can't measure something, you can't understand it. If you can't understand it, you can't control it. If you can't control it, you can't improve it. – H. James Harrington
Dilema Standardisasi: Koherensi dan Integrasi Dalam konteks reformasi sekolah berbasis standar (standard oriented school reform), sebagaimana kini tengah menjadi orientasi pemerintah, konsep skuntabilitas memainkan peranan penting. Dalam hal ini, tanpa menerapkan sistem akuntabilitas, makna standar tersebut menjadi kabur: standar tidak akan memperlihatkan capaian spesifik yang diharapkan tetapi hanya sebatas tujuan umum. Selama ini telah banyak dibahas dan dikembangkan mengenai sistem akuntabilitas di tingkat pusat, dalam hal ini di Kementrian Pendidikan Nasional. Berbagai riset pun telah banyak mengulas tentang pentingnya aspek kesesuaian sistem standar yang mencakup standar isi, standar proses dan standar penilaian serta standar lainnya dalam memacu pencapaian kualitas belajar peserta didik (misalnya Grissmer et al., 2000). Di Amerika, 1
beberapa riset terhadap beberapa negara bagian yang menerapkan sistem akuntabilitas standar pendidikan dengan baik memperlihatkan pengaruh positif terhadap peningkatan skor tes peserta didik (McAdam et al., 2003). Pelajaran berharga dari penerapan sistem akuntabilitas tersebut terletak pada upaya dinas pendidikan di tingkat daerah (dinas pendidikan provinsi maupun kabupaten/kota) dalam mengartikulasikan, mengembangkan, menerapkan dan mengevaluasi sistem akuntabilitas di daerah. Dalam hal ini, sistem akuntabilitas di daerah dipandang sebagai bagian penting (koherensi dan integrasi) dari sistem akuntabilitas tingkat negara bagian atau bahkan tingkat pusat (federal) (McAdam et al., 2003). Temuan McAdam et al. (2003) tersebut menekankan pentingnya integrasi sistem akuntabilitas pendidikan dari tingkat pusat hingga ke sekolah. Di sinilah peran sistem akuntabilitas sekolah di tingkat daerah yang memiliki peran strategis dalam memastikan pelaksanaan
pendidikan
sekolah
berlangsung
dengan
baik
dan
dapat
dipertanggungjawabkan (aspek koherensi). Selama ini telah banyak dikaji tentang aspekaspek sistem akuntabilitas di tingkat pusat sebagaimana terlihat berbagai aturan terkait dengan standar (misalnya PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional). Namun demikian, hal yang belum banyak dikaji adalah bagaimana sistem akuntabilitas tersebut dilaksanakan di tingkat daerah yang menjadi ujung tombak pengelolaan dan evaluasi terhadap pelaksanaan sistem akuntabilitas di tingkat sekolah. Tulisan ini mendiskusikan upaya pengembangan sistem akuntabilitas di daerah. Di dalamnya dipaparkan mengenai prinsip yang mendasari pengembagan sistem tersebut melalui kajian kasus-kasus yang berkembang di Amerika sebagai model analisis awal. Untuk mengarahkan analisis digunakan pertanyaan pemandu seperti: 1) apa yang perlu dilakukan oleh dinas pendidikan di daerah dalam menerapkan sistem akuntabilitasnya?; dan 2) prinsip dan indikator apa saja yang perlu dipertimbangkan? Sistem Akuntabilitas Pendidikan: Sentralisasi dalam Desentralisasi McAdam et al. (2003) mendefinisikan akuntabilitas sebagai berikut ‘Accountability is holding people responsible for meeting standards’. Namun demikian, permasalahan inti dari sistem akuntabilitas adalah siapa yang memilikinya?
2
Selama ini sistem akuntabilitas pendidikan bekerja di tingkat pemerintah pusat. Sebagaimana terlihat dalam praktik yang terjadi, pemerintah pusat, dalam hal ini Badan Standar Nasional Pendidikan, yang memiliki otoritas dan kewenangan dalam menilai, setidaknya berdasarkan hasil UN, kinerja sekolah. Padalah, sekolah-sekolah tersebut berada dalam kewenangan pemerintah daerah. Kondisi ini mencerminkan paradoks antara praktik sentralisasi dalam konteks desentralisasi pendidikan. Paradoks ini terlihat dari kebijakan dimana pemerintah pusat menetapkan standar minimal yang dapat menjadi acuan dasar pencapaian standar oleh pemerintah daerah dan sekolah. Dalam berbagai kesempatan seringkali mengemuka bahwa dalam konteks desentralisasi pendidikan pemerintah daerah dan sekolah dapat mengembangkan standar minimal tersebut. Secara teoretis, dan praktis dalam batasan tertentu, pemerinta daerah dan sekolah dapat menentukan standarnya melebihi standar minimal yang ditetapkan pemerintah pusat. Selama ini terlihat beberapa pemerintah daerah dan sekolah menambahkan aspek-aspek tersebut, misalnya dengan menambahkan kegiatan tes untuk mengukur secara teratur pencapaian peserta didik, menambahkan indikator melampaui standar minimal, serta kemitraan dengan orang tua dalam upaya mencapai standar maksimal yang diharapkan. Bahkan banyak kepala daerah yang ambisius agar hasil Ujian Nasional (UN) dapat mencapai skor yang tinggi. Contoh dari upaya tersebut, pada tingkatan tertentu, mencerminkan bekerjanya sistem akuntabilitas di daerah. Dalam hal ini, pemerintah daerah menentukan standarnya sendiri yang menempatkannya di atas standar minimal dari pemerinta pusat. Pola tersebut di Amerika terlihat dari upaya sistem akuntabilitas daerah dalam meranking dan mengevaluasi penerapan sisten tersebut. Walaupun terdapat beberapa pendapat yang memandang bahwa sistem tersebut bersifat redundant –karena masyarakat bingung dengan adanya dua sistem tersebu (pusat dan
daerah).
Namun
demikian,
sistem
akuntabilitas
terpusat
kiranya
kurang
mengakomodasi keragaman konteks yang dimiliki oleh setiap daerah sehingga memudarkan prioritas yang semestinya dilakukan untuk meningkatkan kinerja pendidikan di daerah tersebut. Oleh karena itu, sistem akuntabilitas di tingkat daerah dipandang penting.
3
McAdam et al. (2003) berpendapat bahwa setidaknya terdapat tiga keuntungan dari sistem akuntabilitas tingkat daerah, yaitu: 1) memfokuskan pada prioritas lokal; 2) lebih cermat dalam memperbaiki sistem akuntabilitasnya dalam mengukur kinerja sekolah dari berbagai bidang dan dengan berbagai cara; dan 3) menyesuaikan akuntabilitas lokal secara komparatif sebagai dasar peningkatan kinerja secara berkelanjutan. Hingga saat ini, pengukuran akuntabilitas terpusat masih terbatas pada hasil skor tes, itu pun berlangsung secara bertahap dari tiga mata pelajaran dasar hingga beberapa mata pelajaran tambahan lainnya. Artinya, belum semua mata pelajaran dilakukan pengukuran tingkat kinerja belajar peserta didik. Padahal banyak aspek dan mata pelajaran lainnya yang perlu juga diukur. Dalam hal ini, kiranya sistem akuntabiiltas tingkat daerah dapat menutup celah tersebut. Sebagai contoh, dinas pendidikan (provinsi atau kabupaten/kota) dapat mengukur mata pelajaran lain yang tidak di UN-kan, menambah pendekatan penilaian dengan menerapkan criterion-referenced test (CRT) dan norm-referenced test (NRT) serta dapat menambahkan kriteria akuntabilitas selain dari aspek skor ujian seperti tingkat kehadiran, tingkat kelulusan, tingkat kenyamanan sekolah, tingkat kepuasan orang tua dan masyarakat serta indikator kinerja sekolah lainnya. Aspek lain dari keuntungan menerapkan sistem akuntabilitas di tingkat daerah adalah keluwesan/fleksibilitas. Aspek ini penting karena pada dasarnya secara teoretis pemerintah pusat mengalami kesulitan dalam mengembangkan dan menerapkan sistem akuntabilitas terpusat. Tidak mengherankan jika hingga saat ini seringkali muncul polemic, negosiasi dan kompromi tentang pencapaian standar sebagaimana terlihat dari perkembangan pelaksanaan Ujian Nasional: di satu sisi banyak ditentang, tetapi di sisi lain tetap dipertahankan. Dalam hal ini, kasus Ujian Nasional sudah berada di tataran politik praktis dari sistem akuntabilitas terpusat: menjaga stabilitas agar Ujian Nasional dapat dipertahankan sebagai instrument pengukuran kinerja pendidikan sekolah. Di sinilah fleksibilitas memainkan peran dalam menyeimbangkan tensi politik seperti itu. Seperti halnya pemerintah, pemda dan sekolah pun berada dalam lingkungan politik tertentu dan menghargai kondisi yang stabil. Namund demikian, pemda dan sekolah kiranya lebih mampu untuk memelihara sistemnya secara luwes dalam menentukan standarnya secara cermat serta memiliki kesempatan untuk memperluas capaian yang diharapkan 4
melampaui standar minimal pemerintah pusat. Artinya, banyak hal yang dapat dilakukan oleh sistem akuntabilitas tingkat daerah. Permasalahannya adalah apa yang sebaiknya dilakukan oleh dinas pendidikan untuk membentuk sistem tersebut dan apa pertimbangan yang mendasarinya. Mengukur yang Bernilai: Memfokuskan pada Peserta Didik Apa yang telah diukur dan dilihat hasilnya kadangkala mencerminkan apa yang belum terukur dan tidak terlihat. Inilah yang mendasari kerangka pikir utuh mengenai apa yang sebaiknya penting untuk diukur: Apa yang dipandang bernilai. Seringkali terdapat pandangan bahwa sistem pendidikan mencakup berbagai aspek dari sebagaimana terlihat dari delapan standar pendidikan yang ditetapkan pemerintah. Pandangan holistik ini kiranya hanya sebatas wacana sehingga tidak mengherankan jika pada penerapannya hanya standar kelulusan saja yang ditonjolkan sebagaimana terlihat dari kasus Ujian Nasional. Permasalahan tersebut mencerminkan keterbatasan dari sistem akuntabilitas pendidikan sehingga memerlukan upaya distribusi sistem akuntabilitas pendidikan. Kondisi tersebut memperkuat kepentingan sistem akuntabilitas pendidikan di tingkat daerah sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya dalam menutupi celah-celah yang belum terukur. Namun demikian, perlu juga dipertimbangkan banyaknya aspek yang belum terukur tersebut. Distribusi sistem akuntabilitas pendidikan terutama pada tingkat daerah perlu mempertimbangkan aspek apa saja yang dipandang paling bernilai. Pemilahan secara cermat aspek yang bernilai tersebut mendasari pengembangan prinsip dan indikator dari sistem akuntabilitas pendidikan di tingkat daerah. Sistem pendidikan dan sekolah pada dasarnya bertujuan untuk mendidik peserta didik. Aktivitas inti dari sekolah adalah pengajaran dan pembelajaran. Isu utamanya adalah bagaimana sekolah dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya jika mengabaikan pengukuran kinerja belajar peserta didik. Inilah kiranya yang menjadi aspek yang paling bernilai tersebut. Selain itu, sebagai perbandingan, banyak organisasi bisnis yang mengukur berbagai aspek dari kinerja organisasinya dalam mendukung pertumbuhan bisnisnya. Hal demikian juga terjadi pada sekolah dimana berbagai komponen, walaupun tidak semuanya
5
dapat dijawab dengan pasti oleh sekolah, diukur dalam kaitannya apakah komponen tersebut memacu kinerja dasar sekolah, yaitu apakah peserta didik belajar? Isu besar tersebut, proses dan kinerja belajar peserta didik, menjadi unsur utama yang mendasari karakteristik dari sistem akuntabilitas pendidikan terutama di tingkat daerah. Namun demikian, mengembangkan sistem akuntabilitas pendidikan tersebut tidaklah mudah karena memerlukan kerangka pikir yang utuh yang dapat memandu perencanaan, pelaksanaan dan penilaiannya. McAdam et al. (2003) merekomendasikan agar dalam pengembangannya, dalam konteks kebijakan, dilakukan secara menyeluruh tetapi sederhana dan fleksibel. Dalam hal ini, yang menjadi fokus utama adalah mengembangkan prinsip dasar dan indikator kunci dari sistem akuntabilitas di tingkat kebupaten tersebut. Prinsip dan Indikator Sistem Akuntabilitas Pendidikan di Tingkat Daerah McAdam et al. (2003) mengidentifikasi empat prinsip dasar yang didalamnya terkandung pernyataaan kunci dan beberapa bagian prinsip (subprinciples) yang mengartikulasikan maksud, isu dan penerapannya. Tabel 1 menyajikan keempat prinsip dasar tersebut. Prinsip
Isu dan Penerapan
1. Sistem akuntabilitas daerah berkaitan dengan teori aksi komprehensif yang mencakup unsur-unsur reformasi berbasis standar, pemberdayaan sekolah dan kapasitas sekolah dan dinas pendidikan dalam mencapai kinerja tertinggi. Sistem akuntabilitas bertujuan untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran sehingga setiap bagian dari sistem mengarahkan orientasi kerjanya untuk mendukung pencapaian tersebut. 2. Sekolah merupakan unit utama dari akuntabilitas. Pencapaian siswa merupakan faktor utama yang diukur, selain faktor lainnya. Sekolah sebaiknya akuntabel terhadap kinerja siswa. Perubahan kinerja dan tingkatan kinerja menjadi kerangka pengukuran utama dan unitunit fungsional lainnya juga harus akuntabel.
Apakah terdapat cara penggunaan data akuntabilitas untuk mendorong perubahan dan peningkatan kinerja? Bagaimana data kinerja tersebut dihimpun dan dilacak?
3. Seluruh siswa dinilai di setiap tingkat setiap tahunnya dengan menggunakan tes standar yang dirancang sedemikian rupa sejalan dengan muatan kurikulum yang berlaku, bersifat valid dan reliable. Pelaksanaan penilaian dilakukan secara jujur dan fair. 4. Akuntabilitas memiliki konsekuensi, baik positif maupun negatif, untuk sekolah maupun setiap orang di dalam sistem. Setiap hal mengenai sistem akuntabilitas, struktur, proses, informasi tentang penilaian, hasil penilaian, rating akuntabilitas dan sebagainya sebaiknya dikomunikasikan dalam bahasa yang mudah dipahami baik untuk staf dinas pendidikan, orang tua dan masyarakat.
Apakah sekolah diranking berdasarkan kinerja siswa, tingkat kehadiran atau kriteria lainnya? Apakah dilakukan komparasi antara kinerja sekolah dengan kinerja standar yang diharapkan? Apakah kinerja sekolah diukur dari waktu ke waktu? Apakah sistem akuntabilitasnya menggunakan kombinasi antara kinerja absolute dengan kinerja yang dicapai? Tes apa saja yang dilaksanakan oleh dinas pendidikan? Di tingkat/kelas berapa, mata pelajaran apa, seberapa sering?
Apakah rangking sekolah disusun berdasarkan kinerja siswa, tingkat kehadiran atau kriteria lainnya? Kategori rating apa yang digunakan untuk meranking sekolah? Bagaimana rating tersebut dijelaskan dan dipublikasikan? Apakah sekolah memenuhi syarat tertentu untuk diberi penghargaan dan atau intervensi sebagai bagian dari pelaksanaan sistem akuntabilitas?
6
Selain prinsip dasar, McAdams et al. (2003) juga mengidentifikasi beberapa indikator kunci yang dapat memandu pengembangan teknis dari sistem akuntabilitas pendidikan di tingkat daerah. Berdasarkan prinsip akuntabilitas tersebut, lima indikator akuntabilitas yang terindentifikasi adalah: 1) rating atau ranking sekolah; 2) ragam penilaian terhadap pencapaian belajar siswa; 3) tingkat kinerja dan tren peningkatan; 4) indikator kinerja tambahan; dan 5) intervensi, penghargaan dan atau sanksi. Indikator rating atau ranking sekolah berkaitan dengan Prinsip Kedua dan Keempat. Rating sekolah mencerminkan sejumlah informasi yang luas tentang sekolah yang dicantumkan dalam satu atau dua kalimat. Contoh rating adalah ‘exemplary’ yang menjelaskan a school’s status in a concise, clear way that a school report card cannot. School report card biasanya menyediakan informasi lengkap dalam tiga-lima halaman laporan yang cukup memakan waktu untuk memahaminya. Ketika hanya report card yang digunakan, kiranya cukup sulit untuk membandingkan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya dan kurang memungkinkan untuk membuat urutan ranking sekolah. Instrument seperti record card memang bersifat informatif, perangkat yang bermanfaat bagi orang tua dan masyarakat untuk memahami lebih lengkap tentang akuntabilitas sekolah. Namun demikian, report card tidak dapat digunakan untuk membuat rating dan ranking sekolah. Sistem rating dan ranking memudahkan dinas pendidikan untuk melihat perkembangan dari segi angka atau kata yang merangkum keseluruhan tingkatan kinerja yang dicapai sekolah. Penilaian pencapaian siswa dengan menggunakan beberapa cara sejalan dengan Prinsip Ketiga. Dengan menggunakan berbagai pendekatan penilaian kiranya lebih mengukur kinerja secara akurat daripada menggunakan satu pendekatan pengukuran saja. Penilaian dapat dimulai dengan CRT berdasarkan standar konten dan proses. Jika CRT tidak memungkinkan maka dapat digunakan penilaian NRT yang bersifat lebih murah. Di Amerika, beberapa negara bagian menggunakan instrumen SAT9 untuk kepentingan akuntabilitas sebelum California Standard Test berhasil dikembangkan (McAdams et al., 2003). Di Indonesia, penilaian dengan pendekatan CRT di tingkat pemerintah daerah/dinas pendidikan belum banyak digunakan. Selama ini, ujian nasional menggunakan CRT yang dikembangkan
oleh
BSNP.
Ke
depannya
sangat
dimungkinkan
setiap
daerah 7
mengembangkan CRT sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman negara bagian California di Amerika. Penggunaan CRT memiliki beberapa keuntungan karena CRT dapat disesuaikan dengan pengembangan lanjutan dari standar minimal pusat yang menjadi standar optimal yang dikembangkan daerah. Jika ini dapat dilakukan maka sebenarnya tidak perlu lagi dilakukan ujian nasional, tetapi cukup ujian di tingkat daerah, dan tesnya bersifat gratis. Jika daerah juga dapat memiliki perangkat NRT maka ia dapat digunakan sebagai pelengkap penilaian CRT. Untuk mengukur kinerja siswa memang tidak hanya menggunakan pendekatan CRT maupun NRT saja. Pendekatan lainnya dapat digunakan, misalnya ujian sekolah, tingkat kelulusan, tingkat pendaftaran dan indikator lainnya. Tingkat kinerja dan tren peningkatan merupakan bagian dari Prinsip Kedua. Dalam hal ini, dinas pendidikan sebaiknya dapat mengukur keduanya karena sistem akuntabilitas memerlukan ‘the buy in’ untuk stakeholders. Baik sekolah yang berkinerja baik dan belum baik memerlukan insentif baik untuk memelihara maupun untuk meningkatkan kinerja. Sebagai contoh, jika sistem akuntabilitas menargetkan sekolah untuk mencapai 75% passing standard untuk memperoleh rating yang dapat diterima maka sekolah yang kurang berkinerja mencapai angka di bawah itu, walaupun terdapat upaya yang dilakukan dimana mungkin dapat mencapai standar dalam tiga tahun ke depan. (McAdams et al., 2003). Contoh ini menunjukkan rating di bawah standar dengan status upaya yang baik dalam mencapai standar. Karena itu, sekolah tersebut perlu diberikan reward berupa insentif lanjutan untuk peningkatan kinerja lebih lanjut. Hal yang sama juga berlaku bagi sekolah yang dapat mempertahankan kinerjanya dari tahun ke tahun. Indikator kinerja tambahan, sebagaimana dinyatakan dalam Prinsip Kedua, pencapaian belajar siswa sebaiknya menjadi faktor pengukuran utama dari kinerja sekolah. Namun demikian, pengukuran tambahan yang relevan juga penting. Dinas pendidikan sebaiknya memilih dan menentukan indikator kinerja yang mencerminkan prioritas daerah. Contohnya adalah tingkat kenyamanan sekolah, kualitas guru atau persepsi orang tua terhadap sekolah (Supovitz et al., 2000). Intervensi, penghargaan dan sanksi merupakan konsekuensi yang mempengaruhi perilaku. Rating atau ranking sekolah yang mencerminkan tingkat kinerja sekolah dapat 8
memicu perubahan perilaku dalam dinamika sekolah tersebut. Namun demikian, konsekuensi lainnya diperlukan sebagaimana dinyatakan dalam Prinsip Keempat: intervensi, penghargaan atau sanksi. Walaupun ketiganya dapat dilaksanakan secara berbeda, tujuan dari ketiganya adalah untuk merubah perilaku. Praktif Inovatif Dalam pelaksanaannya, prinsip dan indikator tersebut dilakukan dalam berbagai kegiatan. McAdams (2003) dan Hawley-Miles (2002) mengidentifikasi praktik inovatif yang dilakukan di beberapa negara bagian di Amerika. Sebagai contoh, terdapat negara bagian yang mencoba memfokuskan pada kinerja belajar anak sebagaimana tersaji dalam kalimat di dalam boks berikut. BOKS 1. Contoh Praktik Inovatif
“Our theory of action maintains that if instruction is at a high level and if the conditions in the schools enable good instruction, students will learn. Therefore, it is important to measure the improveme nt of instruction and school culture.” The superintendent, deputies, chief operating officer and school review teams (known as In-Depth Review Teams) all use the same set of rubrics to evaluate school progress on each of the Six Essentials of Whole School Improvement: 1. Use effective instructional practices and create a collaborative school climate to improve student learning. 2. Examine student work and data to drive instruction and professional development. 3. Invest in professional development to improve instruction. 4. Share leadership to sustain instructional improvement 5. Focus resources to support instructional improvement. 6. Partner with families and community to support student learning The rubrics used to measure these essentials make expectations much more concrete. Like the accountability system overall, these rubrics have evolved over time as schools have worked to make them more succinct and specific. The rubrics are used for schools to conduct selfassessment, by BPS district leaders to assess school progress, and by the In-Depth Review Teams that conduct thorough reviews of schools every four years for use in the accountability system. Each Essential has a leading indicator. The leading indicator represents the point at which student performance will improve. That is, if a school can get to a high level of implementation on this indicator, then they are likely to improve student performance. For the first Essential –Use Effective Instructional Practices and Create a Collaborative School Climate – the rubric measures how fully the school has implemented the district’s chosen literacy approach across grades and classrooms. The district wide literacy approach is Readers’ Workshop and Writers’ Workshop Literacy Across the Curriculum.
Penutup
9
Pemaparan mengenai sistem akuntabilitas di daerah, termasuk prinsip dan indikatornya, dapat menstimulasi pemikiran tentang akuntabilitas sekolah di tingkat pemerintah daerah/dinas. Selama ini, para pengambil kebijakan pendidikan di daerah sudah merasakan perlunya sistem tersebut, namun masih memerlukan wawasan tentang bagaimana mengembangkan, melaksanakan dan mengevaluasinya. Contoh dari kasus sistem akuntabilitas dalam tulisan ini dapat menjadi model awal dari upaya pengembangan sistem akuntabilitas pendidikan di daerah dengan pentahapannya yang jelas. Berikut ini dipaparkan secara ringkas tahapan yang mungkin dapat dilakukan. Pertama, mengembangkan sistem akuntabilitas yang memanifestasikan prinsip akuntabilitas daerah dan termasuk di dalamnya, jika memungkinkan, penerapan prinsipprinsip akuntabilitas dalam tulisan ini. Semakin dekat sistem akuntabilitas mencerminakn prinsip tersebut, semakin besar kekuatannya dalam mendorong peningkatan dalam pencapaian kinerja belajar peserta didik. Berikut ini kembali kami tampilkan prinsip tersebut. 1.
Sistem akuntabilitas daerah berkaitan dengan teori aksi komprehensif yang mencakup unsurunsur reformasi berbasis standar, pemberdayaan sekolah dan kapasitas sekolah dan dinas pendidikan dalam mencapai kinerja tertinggi. Sistem akuntabilitas bertujuan untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran sehingga setiap bagian dari sistem mengarahkan orientasi kerjanya untuk mendukung pencapaian tersebut.
2.
Sekolah merupakan unit utama dari akuntabilitas. Pencapaian siswa merupakan faktor utama yang diukur, selain faktor lainnya. Sekolah sebaiknya akuntabel terhadap kinerja siswa. Perubahan kinerja dan tingkatan kinerja menjadi kerangka pengukuran utama dan unit-unit fungsional lainnya juga harus akuntabel.
3.
Seluruh siswa dinilai di setiap tingkat setiap tahunnya dengan menggunakan tes standar yang dirancang sedemikian rupa sejalan dengan muatan kurikulum yang berlaku, bersifat valid dan reliable. Pelaksanaan penilaian dilakukan secara jujur dan fair.
4.
Akuntabilitas memiliki konsekuensi, baik positif maupun negatif, untuk sekolah maupun setiap orang di dalam sistem. Setiap hal mengenai sistem akuntabilitas, struktur, proses, informasi tentang
penilaian,
hasil
penilaian,
rating
akuntabilitas
dan
sebagainya
sebaiknya
dikomunikasikan dalam bahasa yang mudah dipahami baik untuk staf dinas pendidikan, orang tua dan masyarakat.
10
Kedua, dilakukan penyesuaian antara sistem akuntabiltas daerah dengan sistem akuntabilitas pusat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara, misalnya, menggunakan tes, waktu dan struktur yang biasa dilakukan untuk mereduksi kebingungan di sekolah. Ketiga, melakukan perencaan dengan baik dan bertahap agar tidak terjadi penumpukan dan kebingungan. Sebagaimana praktik terbaik menunjukkan bahwa sistem akuntabilitas yang baik berlangsung secara bertahap. Mulailah dengan hal-hal yang mendasar, kemudian memperluas dan memperbaikinya terus menerus. Jika penilaian tambahan diperlukan maka dapat menggunakan tes diagnostik selama satu atau dua tahun. Mulailah dengan konsekuensi positif terlebih dahulu agar tidak memengaruhi kinerja unit fungsional; agar mereka belajar agar kinerjanya tetap akuntabel. Selain itu juga perlu diperhatikan ketika sistem akuntabilitas berjalan beserta konsekuensi kelembagan dan individualnya maka perlu kiranya untuk mengendalikan budget, personel, jadwal dan operasional sekolah lainnya. Kendali terhadap kepemimpinan kepala sekolah, kurikulum dan pengembangan profesional kiranya tetap di tangan dinas pendidikan (Supovitz et al., 2000). Ini adalah pekerjaan inti dari dinas pendidikan. Namun demikian, pemberdayaan sekolah juga berarti bahwa memberdayakan kepala sekolah dan guru. Jika sekolah sudah berdaya, berarti kepala sekolah dan tim gurunya sudah berdaya. Artinya, aspirasi guru dan orang tua mendapat perhatian kepala sekolah. Dalam pelaksanaannya, akuntabilitas sebaiknya dipandang dari segi prinsip dan tujuan utamanya. Dan mengembangkan sistem akuntabilitas berlangsung dari waktu ke waktu agar terjadi peningkatan secara berkelanjutan yang bersesuaian dengan hakikat pekerjaan, kewenangan dan tanggungjawab dinas pendidikan. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa akuntabilitas merupakan salah satu penghubung di dalam rantai reformasi berbasis standar dan rantai akuntabilitas perlu dijaga kesesuaiannya dengan upaya pemberdayaan dan pembangunan kapasitas optimal (McAdams et al., 2003). Keempat, perubahan seringkali menghadirkan situasi yang sulit. Resistensi tidak dapat dihindari, pada awalnya, sehingga perlu diantisipasi dengan menyediakan dukungan yang memadai bagi kepala sekolah, guru dan staf dinas serta orang tua dan masyarakat. Tidak semua pihak dapat memahami perubahan dengan baik. Oleh karena itu, membangun komunikasi efektif, baik internal maupun eksternal, menjadi penting, selain tetap menjaga 11
kinerja sistem akuntabilitas. Upaya tersebut dapat mengurangi resistensi, mentransformasi budaya pendidikan menuju budaya kinerja dan menyediakan penjaminan terhadap keberlanjutan akuntabilitas. Akhirnya, diperlukan pemahaman bahwa membangun sistem akuntabilitas public melibatkan aspek politik: memerlukan political will agar pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Prinsip akuntabilitas yang disajikan dalam tulisan ini adalah salah satu bagian, sementara aspek politik merupakan ranah lain yang diperankan oleh pimpinan daerah/kepala dinas pendidikan. Oleh karena itu, McAdams (2003) menyinggung isu ini sebagai ‘Policymakers who hope to implement or improve district accountability systems need to be master politicians, as well as students of district accountability and whole systems change’. Apa yang dikemukakan dalam tulisan ini, prinsip akuntabilitas, tidak dapat membantu banyak dalam menjadikan para pemangku kebijakan menjadi politis yang lebih baik. Namun demikian, prinsip akuntabilitas yang dibahas di sini lebih menyediakan wawasan tentang sistem akutabilitas sehingga dapat menjadikannya sebagai salah satu perhatian dalam perencanaan strategis dalam rangka meningkatkan kualitas belajar peserta didik.
Referensi Grissmer, David W.; Flanagan, Ann; Kawata, Jennifer; Williamson, Stephanie (2000). Improving student achievement: What state NAEP test scores tell us. Santa Monica: RAND. MR-924-EDU, accessed October 29, 2002. Hawley-Miles, Karen (2002). A theory of action, a work in progress: Boston Public Schools’ accountability system. Unpublished article. McAdams, D., Wisdom, M., Glover, S. & McClellan, A. (2003). Urban school district accountability systems. Report. Center for Reform of School System for Education Commission of the States. Supovitz, Jonathan A. and Watson, Susan (2000). Team based schooling in Cincinnati: The second year. Cincinnati: The Knowledgeworks Foundation (formerly Conlan Foundation).
12