PRINSIP KERJA SAMA, IMPLIKATUR PERCAKAPAN, DAN KESANTUNAN ANTARA GURU DAN SISWA DALAM KEGIATAN BELAJAR-MENGAJAR DI SEKOLAH MASTER oleh Erha Aprili Ramadhoni, Totok Suhardiyanto Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
[email protected]
ABSTRAK Skripsi ini membahas percakapan antara guru dan siswa kelas V Sekolah Master yang terjadi ketika kegiatan belajar-mengajar sedang berlangsung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik observasi untuk mendapatkan rekaman percakapan antara guru dan siswa. Percakapan tersebut diteliti dalam kajian pragmatik dengan menggunakan teori prinsip kerja sama, implikatur percakapan, dan kesantunan. Prinsip kerja sama sering dipatuhi dan dilanggar oleh guru dan siswa dalam percakapan. Pelanggaran dari prinsip kerja sama tersebut mengandung implikatur percakapan. Sementara itu, guru dan siswa juga bertutur santun dalam berbicara. Dalam penelitian ini ditemukan hubungan antara prinsip kerja sama dan kesantunan dalam percakapan antara guru dan siswa. Kata kunci: Implikatur percakapan, kesantunan, prinsip kerja sama
ABSTRACT This thesis discusses the conversation between teacher and students grade V in School of Master when the studies activities occurs. The research uses qualitative method with the observation technique to get conversation between teacher and students record. The conversation researched in pragmatics studies using cooperative principle, conversational implicature, and politeness theory. Cooperative principle usually obeyed and violated by teacher and students in conversation. The violation from cooperative principle contains the conversational implicature. While, teacher and students also polite in speaking. The research found connection between cooperative principle and politeness in the conversation between teacher and students. Keywords: Conversational implicature, cooperative principle, politeness
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
1. Pendahuluan Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan karena fungsi yang dimilikinya. Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi sosial (Soeparno, 1995: 5). Bahasa menjadi alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi terhadap sesamanya. Dengan adanya bahasa, manusia juga dapat membangun hubungan sosial dengan sesama. Menurut Kridalaksana (dalam Kushartanti, et al, ed. 2007: 3) bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Untuk mempelajari bahasa dan komponen-komponen yang terdapat di dalamnya, diperlukan disiplin ilmu linguistik. Menurut Kridalaksana, linguistik merupakan ilmu tentang bahasa (2008: 143). Dengan adanya linguistik, seluk-beluk dalam bahasa dapat dipelajari. Salah satu dari cabang linguistik adalah pragmatik. Menurut Yule, (2000: 3) pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari makna ujaran si penutur, makna kontekstual, makna yang dikomunikasikan melebihi ujaran yang diucapkan, dan ekspresi dari hubungan jarak. Pragmatik menekankan pada keserasian dalam percakapan. Percakapan dapat terjadi antara siapa saja dan di mana saja. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan percakapan antara guru dan siswa kelas V Sekolah Master sebagai data penelitian. Penulis menjadikan percakapan tersebut sebagai data penelitian karena Sekolah Master merupakan sekolah nonformal yang tidak memungut biaya dari siswanya. Siswa yang bersekolah di sana mayoritas berasal dari kelas sosial menengah ke bawah yang hidup di daerah Depok. Berdasarkan hal itu, penulis tertarik untuk mengangkat percakapan antara guru dan siswa di Sekolah Master sebagai data penelitian. Dari data percakapan tersebut, penulis menganalisis prinsip kerja sama, implikatur percakapan, dan kesantunan. Untuk menganalisis data, penulis menggunakan teori prinsip kerja sama Grice (1975), implikatur percakapan Grice (1975) dan Yule (2000), dan kesantunan Brown dan Levinson (1978, 1987). Teori-teori tersebut akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya. Berdasarkan latar belakang yang telah disinggung di atas, terdapat dua hal yang menjadi masalah dalam penelitian ini, yaitu pemenuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama, dan pemenuhan dan pelanggaran yang dikaji dari peserta percakapan yang terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Master. Dari masalah tersebut, melahirkan tujuan dari diadakannya penelitian ini. Terdapat dua poin tujuan penelitian ini, yaitu mendeskripsikan pemenuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama dan mendeskripsikan pemenuhan dan pelanggaran dari peserta percakapan pada kegiatan belajar-mengajar di Sekolah Master.
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
Untuk menganalisis prinsip kerja sama dalam data, penelitian ini menggunakan teori prinsip kerja sama Grice (1975) untuk menganalisis prinsip kerja sama yang terjadi pada percakapan guru dan siswa di Sekolah Master. Menurut Grice (1975: 45), peserta wicara harus menaati maksim-maksim yang terangkum dalam prinsip kerja sama agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar. Kemudian, Grice (1975: 45-46) membagi prinsip kerja sama ke dalam empat maksim. Keempat maksim tersebut adalah sebagai berikut: 1. Maksim kuantitas a) Berilah kontribusi seinformatif mungkin seperti yang dibutuhkan. b) Jangan memberikan kontribusi berlebihan dari informasi yang dibutuhkan. 2. Maksim kualitas a) Jangan mengatakan sesuatu yang kamu percaya bahwa itu salah. b) Jangan mengatakan sesuatu yang faktanya kurang memadai. 3. Maksim relevansi 4. Maksim cara a) Menghindari ketidakjelasan. b) Menghindari ketaksaan. c) Dalam menyampaikan informasi hendaknya singkat dan tidak bertele-tele. d) Dalam menyampaikan informasi hendaknya disampaikan dengan teratur. Keempat maksim di atas dapat dipenuhi oleh penutur atau petutur dalam percakapan. Penutur atau petutur dapat menggunakan ujaran secara informatif, betul dan sesuai fakta, relevan, jelas, tidak ambigu, singkat, dan tertib yang tertuang dalam keempat maksim yang telah disebutkan.Penulis menggunakan maksim dalam prinsip kerja sama Grice untuk menganalisis data percakapan guru dan siswa di Sekolah Master. Prinsip kerja sama Grice tidak selalu dapat dipenuhi oleh penutur atau petutur. Hal ini dapat terjadi karena penutur atau petutur melanggar salah satu maksim dalam prinsip kerja sama Grice. Dari pelanggaran prinsip kerja sama tersebut, terdapat implikatur percakapan. Implikatur percakapan merupakan proposisi atau “pernyataan” implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan dalam sebuah ujaran (Grice 1975: 43). Sementara itu, menurut Yule (2000: 35) implikatur percakapan adalah makna tambahan yang ada dalam sebuah ujaran. Makna tambahan yang dimaksud oleh Yule adalah makna yang tersirat yang diucapkan oleh penutur atau petutur. Teori lain yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teori kesantunan Brown dan Levinson (1987). Strategi kesantunan Brown dan Levinson dipakai jika adanya ancaman
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
terhadap muka. Brown dan Levinson menggunakan istilah face threatening act (FTA) yang berarti tindakan yang dapat mengancam muka. Istilah “muka” pertama kali digunakan oleh Goffman pada tahun 1967 (1987: 61). Istilah muka tersebut mengacu kepada citra diri penutur atau petutur. Muka penutur dan petutur dapat diwujudkan ke dalam muka positif dan muka negatif. Muka positif mengacu kepada citra diri seseorang yang ingin dihargai oleh orang lain. Sementara itu, muka negatif mengacu kepada citra diri seseorang yang berkaitan dengan kebebasan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Dengan kesantunan Brown dan Levinson, penutur dan petutur dapat menjaga muka mereka. Kesantunan ini terbagi ke dalam lima jenis, yaitu kesantunan tanpa basa-basi, kesantunan positif, kesantunan negatif, kesantunan samar-samar, dan diam saja. 1. Melakukan FTA tanpa basa-basi (Bald on record) FTA dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan muka penutur atau petutur. Hal tersebut terjadi karena keadaan yang membuat penutur atau petutur menyampaikan informasi secara langsung agar menjadi lebih efektif. Penutur yang melakukan FTA tanpa basa-basi dapat ditemukan dalam situasi belajar-mengajar, saat guru memerintahkan siswa untuk mengerjakan soal. 2. Melakukan FTA dengan kesantunan positif Penutur dapat melakukan kesantunan positif dengan menggunakan 15 strategi kesantunan yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu dengan menyatakan kesamaan, menyatakan penutur dan petutur bekerja sama, dan memenuhi keinginan petutur. Kesantunan positif yang menyatakan kesamaan dapat direalisasikan ke dalam 8 strategi, yaitu dengan memberikan perhatian, melebih-lebihkan perhatian, memperhebat ketertarikan petutur, menggunakan penanda dalam kelompok, mencari persetujuan, menghindari ketidaksetujuan, dan lelucon. Kesantunan positif yang menyatakan penutur dan petutur bekerja sama dapat direalisasikan ke dalam 6 strategi, yaitu dengan menegaskan atau menyatakan kesamaan latar belakang mensyaratkan petutur, memberikan janji, menjadi optimis, penutur dan petutur dalam aktivitas yang sama, memberi alasan, menerima atau menegaskan timbal balik. Sementara itu, kesantunan positif dengan memenuhi keinginan petutur dapat direalisasikan dengan memberikan sesuatu kepada petutur. Penutur dapat memberikan barang yang berharga kepada petutur, atau penutur dapat memberikan simpati, pengertian, dan kerja sama kepada petutur. 3. Melakukan FTA dengan kesantunan negatif FTA dengan kesantunan negatif dapat direalisasikan ke dalam 10 strategi. Strategistrategi tersebut dapat dikelompokan menjadi 5. Kelima kelompok kesantunan negatif
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
tersebut dengan berkata secara langsung, jangan berasumsi, jangan memaksa petutur, menyampaikan kehendak penutur dengan tidak menyinggung petutur, dan memberikan kompensasi bagi keinginan lain petutur. Kesantunan negatif dengan berkata secara langsung dapat direalisasikan dengan strategi tidak langsung konvensional. Kesantunan negatif dengan jangan berasumsi dapat direalisasikan dengan menggunakan tanya tanya dan pembatas. Kesantunan negatif dengan tidak memaksa petutur dapat direalisasikan ke dalam tiga strategi, yaitu dengan menjadi pesimistis terhadap petutur, meminimalisasi gangguan, dan memberikan hormat. Kesantunan negatif dengan menyampaikan kehendak penutur dengan tidak menyinggung petutur dapat direalisasikan ke dalam empat strategi, yaitu dengan meminta maaf, menghindari pronominal “saya” dan “kamu/Anda”, mengungkapkan FTA sebagai peraturan umum, dan menominalkan kata kerja. Kesantunan negatif dengan memberikan kompensasi terhadap keinginan lain petutur dapat diwujudkan dengan strategi menyatakan secara langsung hal yang terjadi sebagai utang atau tidak sebagai utang petutur. 4. Melakukan FTA samar-samar FTA ini dapat dilakukan secara samar-samar dengan memberikan petunjuk kepada petutur dalam percakapan. Penutur tidak secara langsung mengatakan hal yang ingin disampaikannya, tetapi dengan menyamarkan maksud yang disampaikan ke dalam petunjuk. Penutur memilih FTA samar-samar agar petutur tidak menyadari ancaman muka yang diterimanya. 5. Tidak melakukan FTA Penutur atau petutur dapat tidak melakukan FTA dengan diam tanpa berbicara apapun.
Sementara itu, metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan oleh penulis untuk mendapatkan data secara akurat. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi berpartisipasi pasif. Menurut Sugiyono (2008: 66), dalam observasi partisipasi pasif, peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Untuk mendapatkan data, penulis datang ke Sekolah Master dan merekam percakapan yang terjadi antara guru dan siswa ketika kegiatan belajar-mengajar sedang berlangsung. Penulis hanya merekam percakapan tersebut tanpa terlibat dalam kegiatan belajar-mengajar. Setelah mendapatkan rekaman percakapan, penulis mengubahnya ke dalam bentuk transkripsi. Dari transkripsi tarsebut, penulis menghitung jumlah prinsip kerja sama dan
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
kesantunan. Penulis menjabarkannya secara kuantitatif, agar dapat mengetahui jumlah prinsip kerja sama dan kesantunan yang terdapat pada transkripsi.
2. Prinsip Kerja Sama dan Kesantunan dalam Percakapan antara Guru dan Siswa di Sekolah Master Penulis menemukan percakapan yang mengandung prinsip kerja sama pada data percakapan antara guru dan siswa. Prinsip kerja sama tersebut berupa ujaran-ujaran yang memenuhi dan melanggar maksim. Penulis menghitung jumlah ujaran yang memenuhi dan melanggar maksim yang terdiri atas maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Berikut adalah grafik pemenuhan dan pelanggaran maksim dari data percakapan guru dan siswa. Grafik Pemenuhan dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama 350
314
300 250
246 219
200 144
150 100
93
71
79
65
50 0 Kuantitas
Kualitas Pemenuhan
Relevansi
Cara
Pelanggaran
Pada grafik di atas, penulis menemukan 1231 ujaran yang memenuhi dan melanggar prinsip kerja sama pada 10 data percakapan. Dari jumlah ujaran tersebut, penulis menemukan 858 ujaran yang memenuhi prinsip kerja sama dan 373 ujaran yang melanggar prinsip kerja sama. Ujaran yang memenuhi prinsip kerja sama terdiri atas 219 ujaran yang memenuhi maksim kuantitas, 246 ujaran yang memenuhi maksim kualitas, 314 ujaran yang memenuhi maksim relevansi, dan 79 ujaran yang memenuhi maksim cara. Sementara itu, ujaran yang melanggar prinsip kerja sama terdiri atas 71 ujaran yang melanggar maksim kuantitas, 93 ujaran yang melanggar maksim kualitas, 144 ujaran yang melanggar maksim relevansi, dan 65 ujaran yang melanggar maksim cara.
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
Pemenuhan maksim relevansi paling banyak dipenuhi karena ujaran guru atau siswa yang berhubungan dengan topik pembicaraan. Berdasarkan data percakapan antara guru dan siswa, penulis menemukan 314 ujaran yang memenuhi maksim relevansi yang terdiri atas 266 ujaran dipenuhi oleh siswa dan 48 ujaran lainnya dipenuhi oleh guru. Ujaran siswa yang memenuhi maksim relevansi lebih banyak dibandingkan guru. Dalam percakapan di dalam kelas, siswa lebih banyak berperan sebagai petutur yang memberikan tanggapan terhadap ujaran penutur. Tanggapan siswa tersebut banyak yang berhubungan dengan topik pembicaraan yang disampaikan oleh guru. Prinsip kerja sama dengan memenuhi maksim relevansi dapat dipenuhi jika petutur mengatakan hal yang berhubungan dengan topik pembicaraan yang diujarkan penutur. Hal ini menyebabkan siswa lebih banyak memenuhi maksim relevansi dibandingkan guru. Ketika guru sedang menyampaikan materi, siswa yang berperan sebagai petutur dapat mengatakan hal yang berhubungan dengan materi. Mereka menanggapi materi yang disampaikan oleh guru karena ingin mendapatkan penjelasan yang lebih atau tidak mengerti dengan penjelasan guru. Selain itu, pemenuhan maksim relevansi juga terjadi karena banyaknya percakapan berupa tanggapan antarsiswa yang berhubungan dengan topik pembicaraan. Berikut adalah percakapan yang memenuhi maksim relevansi. Percakapan 1 1) G2B Mi : Yang sudah dikumpulkan. 2) S3A Ba : Kak, sudah Kak. 3) S8B Ar : Kak, saya udahan Kak. Data 5 (D4A11#133 - #135) Konteks: G2B Mi memerintahkan bagi S yang sudah selesai mengerjakan untuk mengumpulkan tugas mereka. Pada data di atas terjadi percakapan antara G2B Mi, S3A Ba, dan S8B Ar. Pada data tersebut, G2B Mi memberikan pernyataan bahwa yang sudah selesai mengerjakan tugas boleh dikumpulkan ke depan. Berdasarkan pernyataan tersebut, S3A Ba dan S8B Ar memberikan tanggapan. Mereka berdua berujar saya sudah Kak. Mereka berdua berujar demikian karena ingin mengumpulkan tugas yang sudah selesai dikerjakan. Ujaran S3A Ba dan S8B Ar tersebut memenuhi maksim relevansi. Maksim relevansi pada percakapan tersebut terjadi karena ujaran S3A Ba dan S8B Ar berhubungan dengan pernyataan G2B Mi. Pemenuhan maksim berikutnya adalah pemenuhan maksim kualitas. Berdasarkan data percakapan antara guru dan siswa, penulis menemukan 246 ujaran yang memenuhi maksim kualitas yang terdiri atas 233 ujaran dipenuhi oleh siswa dan 13 ujaran lainnya dipenuhi oleh guru. Siswa memiliki jumlah ujaran yang memenuhi maksim kualitas lebih banyak dibandingkan guru karena di dalam kelas guru sering bertanya kepada siswa mengenai materi pelajaran atau soal. Dari pertanyaan yang diajukan guru tersebut, siswa sering memberikan
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
jawaban yang memenuhi maksim kualitas dengan memberikan jawaban yang benar dan sesuai dengan fakta yang terjadi. Selain tanya jawab, pemenuhan maksim kualitas juga terjadi karena ujaran siswa yang benar dan sesuai dengan fakta ketika ia berbicara kepada guru. Percakapan 2 4)
G1A Na
: Udah, udah baik temen-temen judulnya apa sih yang disampaikan ini? 5) S9A Rp : Peristiwa Rengasdengklok. Data 6 (D9A10#29 - #30) Konteks: G1A Na menanyakan judul materi yang sebelumnya dibacakan oleh S5B Ra. Pada ujaran (4), G1A Na menanyakan judul dari tugas yang telah dibacakan oleh S5B Ra. Pada ujaran (5) S9A Rp menanggapi pertanyaan G1A Na dengan mengatakan “Peristiwa Rengasdengklok”. Jawaban S9A Rp tersebut memenuhi maksim kualitas karena tugas yang dibacakan oleh S5B Ra berjudul “Peristiwa Rengasdengklok”. Maksim kualitas terpenuhi karena S9A Rp memberikan kontribusi berupa jawaban yang benar. Jawaban S9A Rp tersebut membuat kerja sama dapat berlangsung dengan baik. Pemenuhan maksim selanjutnya adalah pemenuhan maksim kuantitas. Pemenuhan maksim kuantitas terjadi karena ujaran siswa atau guru yang memberikan informasi yang dibutuhkan, tidak kurang atau lebih. Dalam data, penulis menemukan 219 ujaran yang memenuhi maksim kuantitas yang terdiri atas 195 ujaran dipenuhi oleh siswa dan 24 ujaran dipenuhi oleh guru. Siswa memiliki jumlah ujaran yang lebih banyak dibandingkan guru karena guru sering mengajukan pertanyaan yang dijawab oleh siswa dengan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh guru, tidak kurang atau lebih. Sementara itu, pemenuhan maksim kuantitas yang dilakukan oleh guru terjadi karena ia memberikan sejumlah informasi sesuai dengan pertanyaan siswa, misalnya ketika siswa bertanya kepada guru mengenai tugas, guru menjawabnya dengan memberikan sejumlah informasi yang dibutuhkan oleh siswa, tidak kurang atau lebih. Berikut adalah pemenuhan maksim kuantitas dalam data. Percakapan 3 6) S9A Rp : Kak berapa lembar Kak? 7) G1A Na : Minimal 1 lembar. Data 2 (D2A11#10 - #11) Konteks: S9A Rp menanyakan jumlah halaman karangan yang harus dibuat. Pada data di atas terjadi percakapan antara S9A Rp dan G1A Na. S9A Rp bertanya kepada G1A Na mengenai jumlah halaman yang harus dikerjakan untuk membuat karangan. G1A Na memberikan jawaban bahwa minimal satu lembar halaman untuk mengerjakan karangan. Jawaban G1A Na tersebut memberikan informasi yang
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
dibutuhkan, yaitu S harus mengerjakan minimal satu lembar halaman untuk membuat karangan. Oleh karena itu, jawaban G1A Na memenuhi maksim kuantitas. Maksim kuantitas pada percakapan di atas dipenuhi dengan adanya pemberian informasi sesuai dengan yang diinginkan oleh S9A Rp, yaitu jumlah halaman yang harus dikerjakan untuk membuat karangan. Pemenuhan maksim selanjutnya adalah pemenuhan maksim cara. Maksim cara dapat dipenuhi dengan menyampaikan informasi dengan jelas, tidak ambigu, singkat, dan teratur. Dalam data percakapan antara guru dan siswa, penulis menemukan 79 ujaran yang memenuhi maksim cara. Semua pemenuhan maksim tersebut dipenuhi oleh ujaran guru ketika sedang memberikan materi pelajaran. Hal tersebut terjadi karena penyampaian informasi yang jelas, tidak ambigu, singkat, dan teratur ketika sedang memberikan materi. Berikut adalah percakapan yang memenuhi maksim cara yang terdapat pada data. Percakapan 4 : Jadi, kalian ceritain ditulis. Kalo misalkan ceritanya banyak kalian ringkas. 9) S8A Pi : Iya Kak ngerti. Data 4 (D4A10#157 - 158) Konteks: G1B Ad memberikan petunjuk mengenai cara mengerjakan soal. Pada ujaran (8), G1B Ad sedang memberikan arahan mengenai tugas kelompok. 8)
G1B Ad
Tugasnya adalah S mencari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia. G1B Ad mengarahkan S agar menuliskan peristiwa tersebut. Ia meminta S untuk meringkas apabila peristiwanya ternyata cukup banyak. Arahan G1B Ad tersebut ditanggapi oleh S8A Pi. S8A Pi berujar “Iya Kak ngerti.” Ujaran S8A Pi tersebut menandakan ia dapat memahami arahan G1B Ad mengenai tugas yang diberikan. G1B Ad memberikan arahan dengan jelas sehingga dapat dicerna oleh S. Arahan tersebut memenuhi maksim cara, yaitu informasi diberikan dengan jelas agar mudah dipahami. Selain pemenuhan prinsip kerja sama, dalam data percakapan juga terdapat pelanggaran prinsip kerja sama. Dalam data, pelanggaran prinsip kerja sama paling banyak terjadi karena melanggar maksim relevansi. Terdapat 144 ujaran yang melanggar maksim relevansi yang terdiri atas 127 pelanggaran maksim relevansi karena ujaran siswa dan 17 pelanggaran maksim relevansi karena ujaran guru. Siswa jauh lebih banyak melanggar maksim relvansi dibandingkan guru. Hal ini terjadi karena siswa sering bercanda dan mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan topik pembicaraan di dalam kelas ketika guru sedang menyampaikan materi. Selain itu, pengetahuan siswa yang terbatas juga dapat menyebabkan pelanggaran maksim relevansi karena tidak dapat memahami ujaran guru.
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
Percakapan 5 10) G1A Na : Ayo, coba ada lagi gak ayo ayo. Ayo S1B Aa mau maju? 11) S1B Aa : Yah, tadi udah dijawab Kak sama S4B Ir Kak Data 1 (D2A10#77 - #78) Konteks: S1B Aa menolak ajakan G1A Na untuk maju ke depan mempresentasikan jawabannya. Pada percakapan di atas, G1A Na bertanya kepada S1B Aa apakah dia ingin maju ke depan kelas untuk mempresentasikan jawabannya. Akan tetapi, ujaran yang diucapkan oleh S1B Aa bukanlah “mau maju” atau “tidak mau maju”. S1B Aa menjawab “Yah, tadi udah dijawab Kak sama S4B Ir Kak.” Jawaban S1B Aa tidak sesuai dengan jawaban yang dibutuhkan G1A Na. Jawaban S1B Aa tersebut melanggar maksim relevansi karena tidak berhubungan dengan pertanyaan G1A Na. Implikatur yang terkandung pada jawaban S1B Aa adalah ia ingin maju untuk mempresentasikan jawabannya ke depan kelas, tetapi jawabannya sama seperti jawaban yang telah dipresentasikan oleh S4B Ir sehingga ia tidak mau maju. Pelanggaran prinsip kerja berikutnya yang paling banyak penulis temukan dalam data adalah pelanggaran yang terjadi karena ujaran yang melanggar maksim kualitas. Dalam data, penulis menemukan 93 ujaran yang melanggar maksim kualitas yang terdiri atas 80 pelanggaran maksim kualitas yang terjadi karena ujaran siswa dan 13 pelanggaran maksim kualitas yang terjadi karena ujaran guru. Siswa lebih banyak melanggar maksim kualitas dibandingkan guru. Pelanggaran ini umumnya terjadi ketika guru menanyakan soal kepada siswa. Siswa yang tidak begitu memahami materi memberikan jawaban yang tidak benar atau salah. Hal ini terjadi karena pengetahuan siswa yang terbatas sehingga tidak dapat menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh guru dengan benar. Selain itu, pelanggaran maksim kualitas juga terjadi karena siswa yang sering berbohong ketika sedang bercanda di kelas. Dari pelanggaran maksim kualitas tersebut, terdapat implikatur percakapan. berikut adalah percakapan yang melanggar maksim kualitas. Percakapan 6 12) G1B Ad : Sekarang jam berapa? 13) S5A Da : Jam 5. 14) S8A Pi : Jam 5. 15) S1B Aa : Jam setengah 11. Data 4 (D4A10#175 - #178) Konteks: G1B Ad menanyakan waktu pukul berapa kepada S. Pada ujaran (12), G1B Ad menanyakan waktu telah menunjukan pukul berapa kepada S. S5A Da dan S8A Pi memberikan jawaban pada ujaran (13) dan (14) yang berbunyi “Jam 5.” Sementara itu, S1B Aa menjawab, “Jam setengah 11.” Kata jam yang dimaksud oleh G1B Ad, S5A Da, S8A Pi, dan S1B Aa adalah kata pukul yang menyatakan waktu. Hanya S1B Aa
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
yang dapat menjawab pertanyaan G1B Ad dengan benar. Sementara itu, S5A Da dan S8A Pi memberikan jawaban yang salah. Jawaban mereka tersebut telah melanggar maksim kualitas. Mereka melanggar maksim kualitas karena memberikan informasi yang salah kepada G1B Ad. Jawaban mereka salah karena pada saat itu masih siang hari. Selain itu, tidak mungkin kegiatan belajar-mengajar sampai pukul 5 sore. Jawaban S5A Da dan S8A Pi mengandung implikatur lain. Implikatur tersebut ialah mereka sedang bercanda kepada G1B Ad dengan mengatakan sudah pukul 5 sore. Pelanggaran maksim lainnya yang terdapat dalam data percakapan guru dan siswa adalah pelanggaran maksim kuantitas. Penulis menemukan 71 ujaran yang melanggar maksim kuantitas, 44 di antaranya terjadi karena ujaran siswa dan 27 ujaran lainnya terjadi karena ujaran guru. Siswa melakukan pelanggaran maksim kuantitas lebih banyak dibandingkan guru. Pelanggaran maksim kuantitas yang dilakukan oleh siswa terjadi karena ujaran yang tidak memberikan informasi yang cukup kepada guru ketika mereka sedang berbicara. Pelanggaran maksim kuantitas yang penulis temukan mengandung implikatur percakapan. Berikut adalah percakapan yang melanggar maksim kuantitas. Percakapan 7 16) G1B Ad : Sekarang udah dicatet judulnya masing-masing? 17) S11A To : Udah, kita nomer dua. Data 4 (D4A10#173 - #174) Konteks: G1B Ad bertanya kepada S apakah mereka sudah mencatat judul tugas masing-masing. Pada tuturan (16) G1B Ad menanyakan kepada S apakah mereka telah mencatat judul soal yang diberikan. S11A To menanggapi pertanyaan G1B Ad dengan mengatakan “Udah, kita nomer dua.” Tanggapan S11A To melanggar maksim kuantitas. Pelanggaran maksim kuantitas yang dilakukan oleh S11A To terjadi karena ia memberikan informasi melebihi yang dibutuhkan G1B Ad. S11A To cukup mengatakan “sudah”. Ia tidak perlu mengatakan “kita nomer dua.” Perkataan S11A To tersebut menjadi mubazir karena G1B Ad tidak membutuhkan informasi tersebut. Perkataan S11A To yang memberikan informasi berlebih mengandung implikatur. Implikatur yang terkandung adalah ia sudah selesai mencatat judul soal dan memilih judul soal yang kedua untuk dikerjakan dalam kelompok. Pelanggaran berikutnya yang penulis temukan dalam data adalah pelanggaran maksim cara. Dari data percakapan guru dan siswa, penulis menemukan 65 ujaran yang melanggar maksim cara, 56 di antaranya terjadi karena ujaran guru dan 9 ujaran lainnya terjadi karena ujaran siswa. Pelanggaran maksim cara yang dilakukan guru terjadi karena penyampaian
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
informasi yang tidak jelas, bertele-tele, dan tidak teratur. Berikut adalah percakapan yang melanggar maksim cara serta implikatur yang terdapat di dalamnya. Percakapan 8 : Tau gak pada saat kita Indonesia menjelang kemerdekaan ada inian ya. 19) S8A Pi : Inian apaan? 20) G1B Ad : Ada peristiwa-peristiwa menjelang kemerdekaan. Tau gak sih peristiwanya apaan? Data 4 (D4A10#77 - #79) Konteks: G1B Ad sedang menjelaskan pelajaran. Pada ujaran (18), G1B Ad sedang menjelaskan materi tentang kemerdekaan Indonesia. 18)
G1B Ad
Dalam penjelasannya, G1B Ad menggunakan kata “inian.” Perkataan tersebut memancing S8A Pi untuk bertanya apa yang dimaksud dengan “inian.” Pertanyaan tersebut menandakan ia tidak mengerti maksud dari penjelasan G1B Ad. Setelah itu, G1B Ad menjelaskan maksud dari kata “inian”, yaitu peristiwa-peristiwa menjelang kemerdekaan. Penjelasan G1B Ad yang tidak dimengerti oleh S8A Pi telah melanggar maksim cara. Pelanggaran maksim cara terjadi karena G1B Ad memberikan informasi yang tidak jelas sehingga S8A Pi tidak mengerti maksud perkataan G1B Ad. Implikatur yang terdapat pada perkataan G1B Ad tersebut adalah ia beranggapan bahwa S memahami penjelasannya yang menggunakan kata “inian” merujuk pada peristiwa-peristiwa yang terjadi menjelang kemerdekaan Indonesia. Selain prinsip kerja sama, dalam penelitian ini penulis menemukan penggunaan kesantunan yang digunakan oleh guru dan siswa. Kesantunan tersebut menjadi temuan dalam penelitian ini. Seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, penutur dapat menjaga “muka” dihadapan petutur dengan menggunakan kesantunan. Kesantunan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan FTA tanpa basa-basi, FTA dengan kesantunan positif, FTA dengan kesantunan negatif, FTA samar-samar, dan tidak melakukan FTA. Dalam data percakapan antara guru dan siswa di Sekolah Master, penulis menemukan penggunaan kesantunan dalam percakapan tersebut. Berikut adalah grafik kesantunan yang terdapat pada data percakapan antara guru dan siswa.
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
Grafik Kesantunan 120 101 100 80 60 40
33 14
20
13 0
0 FTA tanpa basa-basi
FTA dengan kesantunan positif
FTA dengan kesantunan negatif
FTA samarsamar
Tidak FTA
Dari grafik di atas, kesantunan positif lebih sering muncul dalam data dibandingkan kesantunan yang lain. Kesantunan yang sering muncul berikutnya adalah kesantunan tanpa basa-basi, kesantunan negatif, dan tidak melakukan FTA. Sementara itu, penulis tidak menemukan kemunculan FTA secara samar-samar dalam data. Seperti yang terdapat pada grafik, terdapat 33 ujaran yang mengandung kesantunan tanpa basa-basi. Kesantunan ini digunakan oleh guru agar siswa memperhatikannya. Berikut adalah percakapan yang mengandung kesantunan tanpa basa-basi. Percakapan 9 21)
G1A Na
: Dengerin, nanti pas solat zuhur dikumpulkan ya, paham! Oke, silakan.
Data 2 (D2A11#67) Pada data di atas, G1A Na melakukan tindakan mengancam muka secara langsung tanpa memperhatikan “muka” dari petutur. G1A Na menggunakan kata “dengerin” yang bermakna S harus mendengarkan dan menuruti perkataan G1A Na. G1A Na mengatakan hal tersebut karena ia ingin didengarkan oleh semua S. G1A Na melakukan hal itu tanpa
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
mempertimbangkan muka S karena ia ingin informasi yang disampaikannya secara efektif dan didengar. Informasi yang disampaikan oleh G1A Na adalah S harus mengumpulkan tugas ketika azan zuhur berkumandang. G1A Na ingin agar semua S mengumpulkan tugas ketika sudah azan. G1A Na dapat melakukan hal seperti itu karena ia adalah seorang pengajar yang memegang kekuasaan penuh di dalam kelas. Dalam hal ini, terdapat jarak antara pengajar dan siswa. G1A Na memanfaatkan jarak tersebut agar ia didengar dan dituruti oleh S. Selain kesantunan tanpa basa-basi, penulis menemukan banyak ujaran yang mengandung kesantunan positif. Penulis menemukan 101 ujaran yang mengandung kesantunan positif. Kesantunan ini digunakan oleh guru untuk mendekatkan jarak dengan siswa agar lebih mudah untuk menyampaikan materi. Berikut adalah kesantunan positif dalam data. Percakapan 10 22)
G1A Na
: Kalo temen-temen. Udah. Udah. Kalo temen-temen main ke daerah Pantura daerah Indramayu ada daerahnya Lok Bener. Di situ dulu ada ya perlawanan menentang penjajah Jepang. Yang keempat? 23) S : Peta di Cilacap, Jawa Barat Data 3 (D3A11#74 - #75) Percakapan di atas terjadi ketika G1A Na sedang menerangkan perlawanan menentang penjajah kepada S. Pada ujaran (15) G1A Na melakukan kesantunan positif dengan menggunakan kata sapaan “teman-teman”. G1A Na menggunakan kata tersebut untuk menandakan ia juga bagian dari siswa. G1A Na menggunakan kata “teman-teman” untuk mengurangi jarak antara G1A Na dengan S. Padahal status G1A Na adalah pengajar. G1A Na menyapa S dengan kata “teman-teman” agar menjadi lebih dekat. Kedekatan yang terjadi akan sangat berguna untuk kegiatan belajar-mengajar. Kesantunan selanjutnya yang penulis temukan dalam data adalah kesantunan negatif. Penulis menemukan 14 ujaran yang mengandung kesantunan negatif. Kesantunan ini digunakan untuk menjaga “muka” positif petutur. Penutur melakukan kesantunan negatif untuk menghargai petutur. Penutur menghargai “muka” petutur dengan tidak memaksanya melakukan hal yang tidak diinginkan. Berikut contoh kesantunan negatif dalam data. Percakapan 11 24)
G2B Mi
: Oke thank you. Nah, materi yang lalu udah dibagikan semua kan ya yang belum nanti ya. Oke, silakan keluarkan bukunya dan keluarkan alat tulisnya.
Data 7 (D11A11#7) Ujaran G2B Mi pada tuturan (45) terjadi ketika pelajaran akan di mulai. G2B Mi meminta S untuk mengeluarkan buku dan alat tulis agar kegiatan belajar-mengajar dapat
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
segera di mulai. Pada tuturan tersebut, G2B Mi menggunakan strategi mengancam muka negatif yang ditandai oleh kata “silakan”. Kata “silakan” secara tidak langsung digunakan oleh G2B Mi untuk meminta S mengeluarkan buku. Sebagai pengajar, seharusnya G2B Mi dapat dengan leluasa menyuruh S untuk mengeluarkan buku karena ia memiliki kuasa di dalam kelas. Akan tetapi, G2B Mi tidak melakukan hal tersebut. Ia lebih memilih untuk menggunakan kesantunan negatif dengan menghargai “muka” S. Kesantunan selanjutnya yang penulis temukan adalah kesantunan tanpa melakukan FTA. Hal ini terjadi karena petutur yang ingin menghindari kerusakan citra dirinya. Petutur memilih diam untuk mengurangi ancaman terhadap dirinya dengan memilih diam. Dalam data, penulis menemukan 13 ujaran yang mengandung kesantunan tanpa melakukan FTA. Berikut contohnya Percakapan 12 25) G2B Mi : Yang putranya udah belum? Putranya siapa yang belum? Data 5 (D4A11#7152) Pada ujaran di atas, G2B Mi bertanya kepada S laki-laki siapa di antara mereka yang belum selesai mengerjakan tugas. Pada ujaran tersebut, G2B Mi mengulang pertanyaannya hingga dua kali. Akan tetapi, tidak ada satu pun S laki-laki yang menjawab. Ada dua kemungkinan yang terdapat pada pertanyaan tersebut. Pertama, seluruh S laki-laki telah selesai mengerjakan tugas sehingga tidak ada yang menjawab pertanyaan G2B Mi. Kedua, ada S laki-laki yang belum selesai, tetapi tidak menjawab pertanyaan G2B Mi. Hal ini terjadi karena S laki-laki yang belum selesai takut diejek oleh temannya. S laki-laki yang belum selesai memilih diam saja untuk menghindari kerusakan “muka” yang terjadi padanya. Hal ini merupakan salah satu bentuk kesantunan dengan tidak melakukan FTA sama sekali atau diam saja.
3. Kesimpulan Sehubungan dengan tujuan penelitian yang telah disebutkan di awal, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan berdasarkan data yang telah dianalisis. Penulis menemukan pemenuhan prinsip kerja sama yang memenuhi maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara.
Prinsip kerja sama dengan pemenuhan maksim kuantitas terjadi karena ujaran siswa
atau guru yang memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan guru. Dalam data, penulis menemukan 219 ujaran yang memenuhi maksim kuantitas. Dari 219 ujaran tersebut, 195 ujaran dipenuhi oleh siswa dan 24 ujaran dipenuhi oleh guru. Dari jumlah tersebut, maksim kuantitas lebih banyak dipenuhi oleh siswa. Hal ini terjadi karena siswa berperan sebagai
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
petutur dalam kegiatan belajar-mengajar. Peran tersebut membuat siswa lebih banyak memenuhi maksim kuantitas dibandingkan guru karena siswa memberikan informasi yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh guru. Selain itu, situasi belajar-mengajar di Sekolah Master berbeda dengan sekolah formal lainnya. Perbedaan tersebut terlihat dari tanggapantanggapan siswa terhadap guru. Ketika guru sedang menyampaikan materi, terdapat beberapa siswa yang menanggapi perkataan guru. Penulis juga menemukan pemenuhan maksim kualitas dalam data. Pemenuhan maksim kualitas yang terjadi karena ujaran siswa atau guru yang benar, sesuai dengan fakta yang terjadi. Berdasarkan percakapan antara guru dan siswa, penulis menemukan 246 ujaran yang memenuhi maksim kualitas. Dari 246 ujaran yang memenuhi maksim kualitas, sebanyak 233 ujaran dipenuhi oleh siswa dan 13 ujaran lainnya dipenuhi oleh guru. Siswa lebih banyak memenuhi maksim kualitas dibandingkan guru karena di kelas sering terjadi tanya jawab. Dari tanya jawab tersebut, siswa sering menjawab pertanyaan guru dengan benar. Hal inilah yang membedakan jumlah ujaran yang memenuhi maksim kualitas antara guru dan siswa. Selanjutnya, penulis juga menemukan prinsip kerja sama dengan pemenuhan maksim relevansi. Berdasarkan data, penulis menemukan jumlah pemenuhan maksim relevansi yang lebih banyak dibandingkan pemenuhan maksim yang lain. Penulis menemukan 314 ujaran yang memenuhi maksim relevansi. Dari 314 ujaran yang memenuhi maksim relevansi, sebanyak 266 ujaran dipenuhi oleh siswa dan 48 ujaran lainnya dipenuhi oleh guru. Siswa lebih banyak memenuhi maksim relevansi dibandingkan dengan guru. Hal ini terjadi karena ketika kegiatan belajar-mengajar berlangsung, siswa lebih banyak berperan sebagai petutur yang menanggapi ujaran penutur, yaitu guru. Tanggapan siswa tersebut banyak yang berhubungan dengan topik pembicaraan. Selain itu, ketika guru sedang menyampaikan materi, banyak siswa yang menanggapi —tidak hanya satu atau dua siswa— materi yang disampaikan. Hal inilah yang membedakan Sekolah Master dengan sekolah formal lain. Di Sekolah Master, siswa sangat aktif dan dekat dengan guru. Sementara itu, pemenuhan maksim cara merupakan pemenuhan maksim yang paling sedikit muncul dalam data. Dalam percakapan antara guru dan siswa, penulis menemukan 79 ujaran yang memenuhi maksim cara. Semua pemenuhan maksim tersebut dipenuhi oleh ujaran guru ketika sedang memberikan materi pelajaran. Ketika mengajar, guru harus dapat menyampaikan materi dengan jelas, tidak ambigu, singkat, dan teratur agar siswa dapat mengerti. Pemenuhan maksim cara yang dipenuhi oleh guru dapat dilihat dari tanggapan siswa yang menandakan bahwa mereka mengerti dengan materi yang disampaikan oleh guru.
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
Dari keseluruhan data yang mengandung prinsip kerja sama, penulis menemukan pemenuhan prinsip kerja sama umumnya dipenuhi karena ujaran siswa. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah ujaran yang memenuhi tiap-tiap maksim, seperti maksim kuantitas, kualitas, dan relevansi lebih banyak terjadi karena ujaran siswa dibanding ujaran guru. Hal ini terjadi karena di dalam kelas umumnya terjadi percakapan berupa tanya jawab. Dari tanya jawab tersebut, siswa berperan sebagai peserta percakapan yang harus menjawab pertanyaan tersebut. Dari pertanyaan yang dilontarkan guru, umumnya terdapat pemenuhan maksim kuantitas dan kualitas karena ujaran siswa yang mengandung informasi yang dibutuhkan dan benar. Sementara itu, pemenuhan maksim relevansi terjadi karena siswa yang memberikan tanggapan yang sesuai dengan topik pembicaraan yang saat itu sedang berlangsung. Sementara itu, pemenuhan maksim cara dalam data semuanya terjadi karena ujaran guru. Guru memenuhi maksim cara karena menyampaikan informasi dengan jelas, singkat, dan teratur ketika sedang menyampaikan pelajaran. Pemenuhan maksim cara dilakukan oleh guru agar siswa menjadi lebih mudah memahami materi yang disampaikannya. Selain pemenuhan prinsip kerja sama, penulis juga dapat menemukan pelanggaran prinsip kerja sama. Pelanggaran prinsip kerja sama terjadi karena ujaran siswa dan guru yang melanggar maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Dari pelanggaran prinsip kerja sama yang penulis temukan, terdapat implikatur percakapan yang terkandung di dalamnya. Implikatur percakapan pada pelanggaran prinsip kerja sama menjadi temuan dalam penelitian ini. Implikatur percakapan timbul karena ujaran guru atau siswa yang maknanya tidak atau kurang terungkap. Penulis menemukan jumlah implikatur percakapan paling banyak pada pelanggaran maksim relevansi, yakni sebanyak 144 ujaran. Dari 144 ujaran tersebut, terdapat 127 pelanggaran maksim relevansi karena ujaran siswa dan 17 pelanggaran maksim relevansi karena ujaran guru. Hal ini terjadi karena siswa sering bercanda di dalam kelas. Ketika guru sedang menyampaikan materi, siswa sering menanggapinya dengan bercanda sehingga tidak sesuai dengan topik pembicaraan. Sementara itu, penulis menemukan jumlah implikatur percakapan paling sedikit pada pelanggaran maksim cara. Dari percakapan guru dan siswa, penulis menemukan 65 ujaran yang melanggar maksim cara. Dari 65 ujaran yang melanggar maksim cara tersebut, terdapat 56 pelanggaran maksim cara karena ujaran guru dan 9 pelanggaran maksim cara karena ujaran siswa. Berbeda dengan pelanggaran maksim relevansi, pada pelanggaran maksim cara lebih banyak terjadi karena ujaran guru yang tidak jelas, bertele-tele, dan tidak teratur ketika sedang menyampaikan materi. Implikatur percakapan yang terdapat pada pelanggaran maksim cara
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
adalah guru cukup kesulitan dalam menyampaikan informasi kepada siswa sehingga tidak jarang ia menyampaikan materi tidak jelas dan tidak teratur. Sementara itu, pada pelanggaran maksim cara karena ujaran yang bertele-tele mengandung implikatur percakapan bahwa guru ingin siswa mengerti dengan penjelasannya sehingga tidak jarang mengulang-ulang perkataannya. Selain implikatur percakapan pada pelanggaran maksim relevansi dan cara, penulis juga menemukan implikatur percakapan pada pelanggaran maksim kuantitas dan kualitas. Pelanggaran maksim kuantitas terjadi karena jumlah informasi pada ujaran guru atau siswa yang tidak sesuai dengan kebutuhan, yaitu jumlah informasi yang tidak mencukupi atau berlebihan. Implikatur percakapan yang terdapat pada jumlah informasi ujaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan
adalah siswa atau guru
kurang memahami informasi yang
diinginan lawan bicara. Sementara itu, pelanggaran maksim kualitas dapat terjadi karena ujaran guru atau siswa yang salah atau tidak sesuai fakta. Implikatur percakapan yang terdapat pada pelanggaran maksim kualitas umumnya terjadi karena siswa atau guru sering bercanda sehingga mengatakan hal yang tidak benar. Selain itu, penulis juga menemukan pelanggaran maksim kualitas ketika terjadi tanya jawab antara guru dan siswa. Dalam tanya jawab, siswa sering melanggar maksim kualitas karena memberikan informasi yang salah. Implikatur percakapan yang terkandung pada ujaran tersebut adalah siswa tidak memahami pertanyaan guru sehingga memberikan jawaban yang salah. Selain prinsip kerja sama, penelitian ini juga membahas kesantunan berbahasa. Berdasarkan data penelitian, kesantunan yang paling banyak muncul dalam data adalah kesantunan positif dengan total 101 ujaran. Kesantunan positif ini umumnya digunakan oleh guru untuk mendekatkan jarak dengan siswa dengan menggunakan strategi penanda kelompok berupa kata sapaan “teman-teman”. Strategi kesantunan positif ini umumnya digunakan oleh guru ketika menyampaikan materi. Guru menggunakan kata sapaan “temanteman” kepada siswa agar menjadi lebih dekat dengan siswa. Jika jarak antara guru dan siswa di kelas menjadi lebih dekat, guru dapat menyampaikan materi dengan nyaman dan siswa pun juga merasa nyaman mendengarkan materi.
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Penelope dan Stephen C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Grice. H. P. “Syntax and Semantics”. 1975. New York: Academic Press. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kushartanti, et al, ed. 2007. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rahardi, R. Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Soeparno. 1995. Dasar-dasar Linguistik. Yogyakarta: PT Mitra Gama Widya. Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta Watts, Richard J. 2003. Politeness. Cambridge: Cambridge University Press. Yule, George. 2000. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press. Yule, Geroge. 2006. The study of Language. New York: Cambridge University
Prinsip kerja..., Erha Aprili Ramadhoni, FIB UI, 2013
Press.