4
PRINSIP JUJUR DALAM PERDAGANGAN (TIPS MANJUR MENUJU HIDUP MAKMUR) Mei Santi * *STAI Muhammadiyah Tulungagung
[email protected] Abstract Concept treacherous life, lie, lie, seems to have become an indispensable longer of any movements of society. A seller, with culasnya deceive the buyer. Though in principle the seller has the obligation to: maintain and care for material to be delivered to the buyer until the time of delivery; submit material that is sold during the predetermined time, at the request of the buyer; bear the material being sold. Keywords: Prinsip dan Berdagang. Pendahuluan Perilaku korupsi, berdusta, mencuri, mark up ada di manamana. Tidak hanya di perkantoran atau di jalanan, tetapi juga di gedung tinggi dan kaum berdasi. Konsep hidup jujur, sepertinya telah sulit, meskipun masih ada untuk di temui di tengah kehidupan yang serba pragmatis serta materialistis seperti saat ini. Tidak jarang, orang yang berusaha untuk menjaga prinsip ini (jujur), justru dianggap pahlawan kesiangan, ataupun manusia yang sok suci. Hasilnya, hinaan, cacian, amarah, silih berganti menimpa dirinya, bahkan nyawa pun terkadang menjadi taruhan. “Segala perbuatan seseorang harus mengandung kejujuran, baik
Mei Santi – Prinsip Jujur dalam Perdagangan… 148
berbicara, takaran, dan timbangan, serta mutu, dan selalu menepati janjinya”1. Sebaliknya, konsep hidup khianat, bohong, dusta, sepertinya telah menjadi suatu yang tak terpisahkan lagi dari setiap gerakgerik masyarakat. Seorang penjual, dengan culasnya membohongi para pembeli. Padahal secara prinsip penjual memiliki kewajiban untuk:2 1) memelihara dan merawat kebendaan yang akan diserahkan kepada pembeli hingga saat penyerahannya; 2) menyerahkan kebendaan yang dijual pada saat yang telah ditentukan saatnya, atas permintaan pembeli; 3) menanggung kebendaan yang dijual tersebut. Pertanyaannya, mungkinkah kebahagiaan/kemakmuran suatu negeri akan mampu terealisasikan dalam aspek kehidupan, manakala masyarakatnya mempraktikkan pola hidup demikian? Tentu, jawabannya sangatlah mustahil. Landasan Hukum Perdagangan dengan Prinsip Jujur Dalam Islam keselamatan jiwa tidak hanya terletak dalam pembangunan spiritual tapi juga dalam menghayati hidup keduniawian atas dasar keadilan dan perilaku yang baik. Karena itu dalam Al-qur’an maupun hadith berkali-kali dianjurkan agar manusia melakukan kegiatan duniawi.3 Dalam melakukakan kegiatan duniawi, misalnya berdagang. Maka, seorang pedagang harus berlaku jujur, dilandasi keinginan agar orang lain mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan sebagaimana ia menginginkannya dengan cara menjelaskan cacat barang dagangan yang dia ketahui dan yang tidak terlihat oleh pembeli.4
1
Eko, Suprayitno, Ekonomi Islam (Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional), (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), 6. 2 Gunawan , Widjaja Kartini Muljadi, Jual-Beli, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 127. 3 Abdul, Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), 288. 4 Yusuf, Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam (dg Judul Asli:Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami ), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 178.
149 Eksyar, Volume 01, Nomor 02, November 2014: 147 - 163
a. Landasan Hukum Berdasarkan Alqur’an Dalam Al-qur’an dinyatakan dalam Q.S. Al Jumu’ah (62): 10 yang berbunyi: Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Q.S. Al Jumu’ah (62): 10) Karena itu Islam mengakui semua kegiatan ekonomi manusia yang halal (kegiatan yang sesuai dengan jiwa Islam). Perniagaan, mitra usaha perdagangan, koperasi, perusahaan saham bersama, adalah kegiatan dan operasi ekonomi yang halal5, sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah (2): 275, berbunyi sebagai berikut: Artinya: Orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang 5
Ibid., 288.
Mei Santi – Prinsip Jujur dalam Perdagangan… 150
telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghunipenghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. [175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. [176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan. Dalam banyak firman-Nya dan sabda Rasul-Nya, terdapat dalil-dalil yang menerangkan, betapa perbuatan dusta itu, sejatinya menyelakakan. Sebaliknya, justru kejujuranlah yang akan menunjukkan kepada kebajikan dan kebahagiaan. Allah berfirman, Artinya: Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119). Yang jelas, di banyak ayat dalam Al-Quran sudah disebutkan haram dan larangan menipu, korupsi dan mengurangi timbangan.
151 Eksyar, Volume 01, Nomor 02, November 2014: 147 - 163
Artinya: Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu Termasuk orang- orang yang merugikan; 182. dan timbanglah dengan timbangan yang lurus; 183. dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. (As-Syu'ara': 181-183) b. Landasan Hukum Berdasarkan Hadith Nabi saw. Islam menetapkan peraturan mengenai kegiatan yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa semua hal ini akan dilaksanakan dengan jujur tulus dan bermanfaat. Nabi berkata: “Adalah bersama nabi-nabi saudagar yang tulus dan jujur, demikian pula orang yang setia dan syahid”; (Hadith Riwayat Tirmidzi).6 Kekhawatiran akan kehancuran usaha, bisnis, karir, karena berperilaku jujur, merupakan kecemasan yang sangat keliru, yang sepatutnya tidak dipertahankan. Sebagaimana dipaparkan oleh M. Abdul Mannan dalam bukunya yang berjudul Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Nabi berkata: “Mencari nafkah yang halal merupakan kewajiban berikutnya sesudah sembahyang”. Selanjutnya ia berkata: “Bila kamu telah melakukan shalat subuh, janganlah tidur sebelum berusaha mencari nafkahmu”.7 Sedangkan dalam sabdanya Rasulullah bersabda, "Tinggalkanlah apa saja yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya jujur itu menenangkan, sedangkan dusta itu menggelisahkan". (H.R. Tirmidzi) Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, "Hendaklah kalian berperilaku jujur, karena jujur itu akan menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan menunjukkan ke pada surga". (Muttafaqun ’Ilaih) Sedangkan dalam kitab Al-Arba’in, Imam Nawawi (pengarang kitab), mencantumkan sebuah hadits yang berbunyi, ”Kebajikan itu apa saja yang jiwa merasa tenang olehnya, dan hati merasa tentram kepadanya”. (HR. Ahmad) 6 7
Ibid. Ibid.
Mei Santi – Prinsip Jujur dalam Perdagangan… 152
Adakah kebahagiaan yang mampu melebihi kebahagiaan jiwa ini? Bukankah telah terpampang begitu jelasnya di hadapan kita, betapa banyak orang kaya justru mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri? Termasuk dalam kategori orang yang bahagiakah mereka yang demikian? Selaras dengan dua hadits di atas, dalam kitab Qiraa’atu Ar-Rasyidah, disebutkan sebuah kisah, pada suatu hari datang seseorang kepada Nabi untuk berIslam. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, laki-laki tersebut menerangkan kepada beliau bahwa ia termasuk ahli maksiat, dan ia tidak mampu menghindarinya. Kemudian, laki-laki tersebut meminta nasihat kepada Rasulullah. Terhadapnya Rasulullah berkata, ”Hal tu’aahiduni ’ala tarkil kadzibi?” (Maukah engkau berjanji untuk tidak berbohong?) Laki-laki tersebut menyanggupinya. Hingga tibalah suatu hari ia berhasrat untuk melakukan maksiat. Ia teringat akan janjinya dengan Rasulullah untuk berperilaku jujur, ”apakah yang akan menjadi jawabanku, sekiranya Rasulullah menanyaiku tentang perbuatanku ini? Sekiranya aku jawab dengan ”ia”, pastilah beliau akan menghukumku. Namun, apabila aku jawab dengan ”tidak”, maka aku telah berbohong. Padahal, aku telah mengikat janji padanya untuk berperilaku jujur,” ujar laki-laki tersebut membatin. Pada akhirnya mampulah laki-laki tersebut mengendalikan hawa nafsunya untuk tidak bermaksiat, perantara janjinya kepada Rasulullah untuk berperilaku jujur, hingga ia menemui ajal dalam kesalehan. Dalam ringkasan Shahih Muslim terdapat beberapa hadith yang dapat dijadikan landasan hukum dalam praktek perdagangan dengan prinsip jujur antara lain, yaitu:8 Pertama, kitab jual-beli bab ke-35: Rela, jujur, dan jelas dalam jual-beli, berbunyi: 945. Dari Hakim bin hizam r.a. bahwa Nabi saw. Bersabda, “Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan apa adanya, maka keduanya mendapatkan keberkahan dalam jual-beli mereka. 8
M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, terj: Elly lathifah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 448.
153 Eksyar, Volume 01, Nomor 02, November 2014: 147 - 163
Jika keduanya berdusta dan dagangannya, maka hilanglah mereka”.
merahasiakan cacat keberkahan jual-beli
Kedua, kitab jual-beli bab ke-36: Orang yang Tertipu dalam jual-beli, berbunyi: 946. Ibnu Umar r.a. mengatakan bahwa seorang laki-laki menuturkan kepada Rasulullah bahwa ia tetipu di dalam hal jual beli, lalu Rasulullah saw. bersabda, “Dengan siapa pun kamu berjual-beli. Maka katakana, jangan menipu ”. Sejak itu orang tersebut selalu mengatakan, “Jangan menipu”, apabila dia berjual-beli. Ketiga, kitab jual-beli bab ke-37: Barangsiapa Menipu, Dia Bukan dari Golonganku, berbunyi: 947. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. lewat di sejumlah bahan makanan (gandum), lalu dia memasukkan tangannya ke dalam bahan makan itu. Kemudian jari-jari beliau menemukanbagian yang basah, lalu beliau bertanya, “Hai pemilik (penjual) bahan makanan! Apa yang basah ini?” Orang itu menjawab, “Kena hujan ya Rasulullah!” Beliau bersabda, “Mengapa bagian yang basah itu tidak kau letakkan di atas agar bias dilihat oleh calon pembeli? Barang siapa menipu, maka dia bukanlah dari golonganku”. Penjelasan point ketiga, perkataan “bukan dari golongan kami” menunjukkan bahwa menipu (curang) adalah dosa besar. Jika ia termasuk dosa kecil, ia bisa dihapuskan dengan shalat lima waktu. Hadits ini mencakup seluruh sifat curang, seperti curang dalam sewa-menyewa, dalam menjalin kerja sama, dan dalam berdagang. 9 Kesimpulannya, untuk memperoleh kebahagiaan hidup secara individu, lebih-lebih secara jama’i, sikap jujur sangatlah diperlukan. Sedangkan dusta sendiri, merupakan perkara yang akan membawa kita kepada kegundahan hidup, dan menyeret ke neraka, karena dusta sendiri merupakan perbuatan orang-orang munafik. Sedangkan orang-orang munafik tempatnya di akhirat adalah dasar neraka jahannam.
9
Qardhawi, Norma dan Etika…, 179.
Mei Santi – Prinsip Jujur dalam Perdagangan… 154
1. Prinsip Dasar Perdagangan Dalam Islam Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai perdagangan dan niaga adalah tolok ukur dari kejujuran, kepercayaan, dan ketulusan. Dewasa ini banyak ketidaksempurnaan pasar, yang seharusnya dapat dilenyapkan bila prinsip ini diterima oleh masyarakat bisnis dari bangsabangsa berada di dunia. Prinsip perdagangan dan niaga ini telah ada dalam Al-qur’an dan sunnah, seperti mengenai melakukan sumpah palsu, memberikan takaran yang tidak benar, dan menciptakan itikad baik dalam transaksi bisnis. 10 a. Sumpah Palsu Dewasa ini banyak pedagang yang mencoba meyakinkan calon pembelinya dengan melakukan sumpah palsu. Hal ini disebabkan oleh ketidaksempurnaan ekonomi pasar dewasa ini dan sebagian karena ketidakacuhan masyarakat terhadap nilai moral dan spiritual kehidupan. Islam mengutuk semua transaksi bisnis yang menggunakan sumpah palsu yang diucapkan oleh para pengusaha.11 Dalam kitab jual-beli, bab ke-47: Larangan Mengobral Sumpah di dalam jual-beli berbunyi, sebagai berikut: Abu Qatadah al-Anshariy r.a. mendengar Rasulullah saw bersabda: “Hindarilah banyak bersumpah di dalam jualbeli, karena yang demikian itu dapat membuat laku tetapi kemudian menghancurkan dagangannya)”. (Shahih Muslim)12 Selanjutnya: Diriwayatkan Abu Dharr RA bahwa Rasul Allah SAW berkata: “Allah tidak akan menyapa, tidak memperhatikan, dan tidak membebaskan tiga jenis manusia dari kenistaan dosa mereka: Mereka akan menderita azab yang pedih”. Abu Dharr (kemudian) berkata: “Hancur dan hilanglah mereka (sungguh)! Siapakah mereka itu ya rasulullah!” Nabi berkata: “Mereka adalah orang yang memamerkan kemewahan dengan melorotkan celananya sampai ke bawah tumit, mereka yang selalu membicarakan kewajiban yang dilakukannya kepada orang lain, dan mereka yang menjual habis barang 10
Mannan, Teori dan Praktek ..., 288. Ibid. 12 Al-Albani, Ringkasan Shahih…, 453-454. 11
155 Eksyar, Volume 01, Nomor 02, November 2014: 147 - 163
dagangannya (Muslim).13
dengan
melakukan
sumpah
palsu”.
b. Takaran Yang Benar Dalam perdagangan nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan standar benar-benar harus diutamakan. Padahal Islam telah meletakkan penekanan penting dari faedah memberikan timbangan dan ukuran yang benar seribu empat ratus tahun yang lalu. Terdapat perintah tegas baik dalam Al-qur’an maupun hadith mengenai timbangan dan ukuran yang sepenuhnya.14 Demikianlah dalam Al-qur’an dinyatakan:
Artinya: 1. kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang[1561], 2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, 3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. 4. tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, 5. pada suatu hari yang besar, 6. (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam? 7. sekali-kali jangan curang, karena Sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin[1562]. (Q.S. Al-Mutaffifin (83): 1-7) [1561] Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang. [1562] Sijjin: nama kitab yang mencatat segala perbuatan orang-orang yang durhaka.
13 14
Mannan, Teori dan Praktek ..., 288. Ibid., 289.
Mei Santi – Prinsip Jujur dalam Perdagangan… 156
3. Itikad Baik Akhirnya, Islam tidak hanya menekankan agar memberikan timbangan dan ukuran yang penuh, tapi juga dalam menimbulkan itikad baik dalam transaksi bisnis, karena hal ini dianggap sebagai hakikat dari bisnis dewasa ini. Dari pengamatan yang diteliti diketahui bahwa hubungan dalam bisnis ini terutama timbul karena kedua pihak tidak dapat menentukan secara tertulis syarat bisnis mereka dengan jelas dan jujur. Mengenai masalah ini, terdapat perintah jelas dalam Kitab Suci Alqur’an. Untuk membina hubungan baik dalam usaha, semua perjanjian harus dinyatakan secara tertulis, dengan menguraikan syarat-syaratnya, karena “Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dapat mencegah timbulnya keragu-raguan”.15 (Q.S. Al-Baqarah (2): 282-283)16
15
Ibid., 289.
16
157 Eksyar, Volume 01, Nomor 02, November 2014: 147 - 163
Tulisan tersebut harus menguraikan syarat-syarat yang disetujui dengan jujur; dan sebagai tindakan pencegahan akan adanya kemungkinan yang buruk ditentukan bahwa syarat-syarat perjanjian diimlakkan oleh orang yang
Artinya: 282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 283. jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. [179] Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya. [180] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Mei Santi – Prinsip Jujur dalam Perdagangan… 158
menanggung hutang. Bila si penanggung hutang atas namanya, lemah akalnya, lemah keadaannya, atau ia sendiri tidak mampu, maka walinya atau orang yang mewakili kepentingannyalah yang harus mengimlakkan syarat-syarat perjanjian tersebut. (Q.S. Al-Baqarah (2): 282)17 Dari analisis di atas jelas bahwa perdagangan dan perniagaan dalam negara Islam secara pokok berbeda dengan pengertian modern tentang perdagangan dan perniagaan. Perdagangan dan perniagaan dalam Islam dihubungkan dengan nilai-nilai moral, sedangkan perdagangan dan perniagaan modern, tidak demikian. Karena itu, semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan tidaklah bersifat Islami. Dan negara Islam punya hak sepenuhnya untuk mengekang setiap transaksi atau praktek apa saja yang berusaha menarik keuntungan dari kebutuhan atau penderitaan rakyat miskin.18 2. Bekal Pedagang Menuju Akhirat a. Tidak Lupa Mengingat Allah Salah satu moral yang juga tidak boleh dilupakan ialah, meskipun seorang muslim telah meraih keuntungan jutaan dolar lewat perdagangan dan transaksi, ia tidak lupa kepada Tuhannya. Ia tidak lupa menegakkan syariat agama, terutama shalat yang merupakan hubungan abadi antara manusia dan Tuhannya. 19 Oleh sebab itu, tentang pahlawan rumah-Nya (masjid), Allah berfirman dalam Q.S. An-Nur: 36-37, berbunyi:
Artinya: 36. Bertasbih[1041] kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, 17
Mannan, Teori dan Praktek..., 289. Ibid. 19 Qardhawi, Norma dan Etika…, 193. 18
159 Eksyar, Volume 01, Nomor 02, November 2014: 147 - 163
37. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. [1041] Yang bertasbih ialah laki-laki yang tersebut pada ayat 37 berikut. Demikianlah sikap muslim. Ia bekerja untuk melangsungkan kehidupannya dengan menjual, membeli, dan menawarkan jasa. Semua itu dilaksanakannya setiap hari walaupun pada hari Jumat karena Islam tidak mengharamkan bekerja pada hari itu, sebagaimana Yahudi mengharamkan kerja pada hari Sabtu.20 Namun juka dikumandangkan azan pada hari Jumat untuk shalat Jumat, seorang muslim akan meninggalkan semua urusan dunia dan aktivitas perdagangan untuk segera memenuhi panggilan ilahi. Dan selesai shalat, ia kembali
20
Qardhawi, Norma dan Etika …, 193.
Artinya: 9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. 10. apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. 11. dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki. [1475] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya.
Mei Santi – Prinsip Jujur dalam Perdagangan… 160
menyebar ke seluruh penjuru dunia mencari rezeki Allah. Itu semua halal selama tidak lupa akan Allah.21 Sebagian besar aib para pedagang adalah hanyut dalam komoditi, angka, dan laba. Hampir-hampir mereka tidak pernah ingat akan keberadaan Allah, kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, atau mengingat akhirat. Mereka juga melupakan pertanggungjawaban di akhirat, ganjarannya, siksaannya, surga, serta neraka.22 b. Tujuh Hal yang Perlu Diperhatikan 1) Meluruskan Niat Niat yang baik dan akidah yang suci merupakan langkah pertama dalam berdagang. Berniatlah bahwa kita berdagang untuk menjauhkan diri dari tindakan mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Kita menetapkan niat bahwa dengan berdagang, kita mendapatkan uang halal. Dengan berdagang, kita terjauh dari tindakan mencari harta dengan cara haram, seperti mencuri dan berzina. Dengan berdagang, kita bisa menegakkan agama dan membiayai keluarga. 23 Jika niat ini tertanam, ia merupakan satu saham yang kita investasikan untuk akhirat. Adapun laba yang kita dapatkan merupakan bonus kita di dunia. Kalaupun kita rugi di dunia, yakinlah kita beruntung di akhirat.24 2) Melaksanakan Fardu Kifayah Dalam perdagangan atau bekerja, niatkanlah bahwa kita sedang melaksanakan fardu kifayah.25 Berdagang yang paling disukai ialah perdagangan tekstil. Said ibnul musayyab berkata, “Tidak ada perdagangan yang lebih kusenangi daripada tekstil selama tidak disertai sumpah”. Hadits lain berbunyi, “jika saja penghuni surge berdagang, maka penduduk surge pasti berdagang kain dan penduduk neraka berdagang valuta asing ” (HR Abu Mansur dari Abu Bakar, hadist dha’if).26
21
Qardhawi, Norma dan Etika …, 193. Ibid., 193. 23 Ibid., 194. 24 Ibid. 25 Ibid. 26 Ibid.,195. 22
161 Eksyar, Volume 01, Nomor 02, November 2014: 147 - 163
3) Memperhatikan Pasar Akhirat Jangan sampai pasar dunia melalaikan kita dari pasar akhirat. Pasar akhirat adalah masjid.27 Allah berfirman dalam Q.S. an-Nur ayat 37: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat.” Pengertian ayat “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah” walaupun mereka sedang menempa besi dan menggali sumur, bukanlah ketika mendengar azan, mereka langsung melemparkan palu secara serampangan atau keluar dari lubang sumur dan bergegas ke masjid untuk menunaikan shalat.28 4) Terus Berzikir Kita mengingat Allah tidak hanya pada waktu shalat, tetapi pada saat bekerja. Mengingat Allah di pasar lebih baik daripada membuang waktu begitu saja. “Manusia yang mengingat Allah di pasar pada hari kiamat akan datang dengan cahaya seperti cahaya bulan dan dengan terangnya sinar matahari. Barang siapa istighfar di pasar, Allah akan mengampuninya sejumlah banyaknya orang di pasar,” ungkap Hasan bin Ali r.a..29 Demikianlah idealnya pedagang yang mencari rezeki untuk bisa hidup di dunia secara cukup, bukan untuk mencari kemewahan di alam fana. Para pedagang yang menjadikan dunia sekedar sarana akhirat tidak mungkin lupa akan laba akhirat. Mereka menjadikan pasar, rumah, dan masjid sebagai tempat mengingat Allah. Nabi bersabda, “Takutlah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada” (HR Tirmidzi).30 5) Puas dan Tidak Terlalu Rakus “Hendaknya seseorang tidak terlalu berambisi (rakus) meraih untung besar”.31 Cara terbaik menggunakan waktu dalam berdagang ialah mengukur waktu sesuai dengan kebutuhan. Jika
27
Ibid., 195. Ibid. 29 Ibid., 197. 30 Ibid. 31 Ibid. 28
Mei Santi – Prinsip Jujur dalam Perdagangan… 162
sudah puas, sebaiknya segera pulang dan mengganti berdagang untuk akhirat.32 6) Menghindari Syubhat Sebaiknya, batasan jual-beli tidak terbatas pada barang yang diharamkan, tetapi juga pada barang syubhat dan meragukan. Jika datang barang dagangan, tanyakanlah asal-usulnya. Walaupun menguntungkan, jika tidak ditanya, berarti ia memakan harta secara syubhat.33 Idealnya, pedagang bertanya dalam hati, dengan siapa ia melakukan transaksi? Mitra kerja yang terlibat dalam perbuatan zalim, khianat, pencurian, dan riba sebaiknya ditinggalkan jangan diajak transaksi termauk kawan-kawan dan pembantu-pembantu mereka.34 Secara global, kita dapat membagi manusia menjadi dua kelompok: kelompok yang bias diajak kerja sama dan kelompok yang tidak bisa diajak kerja sama. Yang bisa diajak kerja sama bisa jadi lebih sedikit daripada yang tidak bisa, khususnya pada zaman ini.35 7) Pengawasan dan Introspeksi Sudah sewajarnya dilakukan pengawasan terhadap setiap kerja sama yang dijalin, sebab, manusia diawasi dan dihisab. Hendaklah ia mempersiapkan jawaban pada hari kiamat atas apa yang dilakukannya di dunia ini.36 Kesimpulan Simpulan yang diambil dari pemaparan pembahasan di atas antara lain: 1. Landasan hukum perdagangan dengan prinsip Islam yaitu: a. Alqur’an: Q.S. Al Jumu’ah (62): 10; Q.S. Al-Baqarah (2): 275; At-Taubah: 119); dan As-Syu'ara': 181-183. b. Hadit Rasulullah SAW, yaitu:
32
Ibid., 198. Ibid. 34 Ibid. 35 Ibid., 199. 36 Ibid. 33
163 Eksyar, Volume 01, Nomor 02, November 2014: 147 - 163
1) Nabi berkata: “Adalah bersama nabi-nabi saudagar yang tulus dan jujur, demikian pula orang yang setia dan syahid”; (Hadith Riwayat Tirmidzi 2) sabdanya Rasulullah bersabda, "Tinggalkanlah apa saja yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya jujur itu menenangkan, sedangkan dusta itu menggelisahkan". (H.R. Tirmidzi) 3) Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, "Hendaklah kalian berperilaku jujur, karena jujur itu akan menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan menunjukkan ke pada surga". (Muttafaqun ’Ilaih) 2. Prinsip dasar perdagangan dalam Islam meliputi: Larangan sumpah palsu; Takaran yang benar; Itikad baik. 3. Bekal pedagang menuju akhirat, yaitu: a. Tidak lupa mengingat Allah b. Tujuh hal yang pperlu diperhatikan: Meluruskan niat; Melaksanakan fardhu kifayah; memperhatikan Pasar akhirat; terus berdzikir; puas dan tidak terlalu rakus; menghindari syubhat; pengawasan dan intropeksi. Daftar Pustaka Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997. Muljadi, Gunawan , Widjaja Kartini, Jual-Beli, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004. M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim, terj: Elly lathifah, Jakarta: Gema Insani Press, 2005. Suprayitno, Eko, Ekonomi Islam (Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional), Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005. Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam (dg Judul Asli:Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami ), Jakarta: Gema Insani Press, 1997.