Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
KONTRIBUSI ILMU BIOLOGI DALAM MENDUKUNG PROGRAM PERLUASAN LAHAN PERTANIAN KE LAHAN-LAHAN SUB OPTIMAL Prihastuti Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66. Malang Abstrak Percepatan swasembada pangan nasional antara lain ditempuh dengan ekstensifikasi ke lahan-lahan sub optimal yang masih tersedia luas (70,41 juta ha dari 122,05 juta ha yang sesuai untuk pengembangan pertanian). Kendala utama pemanfaatan lahan sub optimal antara lain ketersediaan unsur hara yang rendah, senyawa toksis yang tinggi dan kemasaman atau kebasaan pH. Selama ini teknologi pertanian yang diterapkan cenderung ke arah budi daya dan mekanisasi pertanian, dengan hasil yang belum signifikan dengan produksi yang dicapai. Kontribusi ilmu Biologi sangat dibutuhkan dalam menghadapi ketidak berhasilan kegiatan pertanian di lahan-lahan sub optimal. Bukan saja untuk sekedar mengevaluasi, tetapi peran penting nya harus dilakukan. Berpedoman pada prinsip untuk mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan, ada beberapa bahasan pokok yang harus dikaji, meliputi penggunaan pupuk kimia yang berlebih, pemberian pupuk hayati yang terkendali serta pengelolaan lahan yang tepat. Tanah harus dipandang sebagai substansi yang hidup dan bersifat dinamis, oleh fungsinya sebagai reservoir biota tanah. Keberadaan biota tanah turut menentukan tingkat stabilitas ekosistem lahan, yang berfungsi sebagai media tumbuh tanaman yang menyediakan air dan unsur hara. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan konstribusi dalam pengelolaan lahanlahan sub optimal secara arif, melalui pemberdayaan keanekaragaman biota tanah dan low input. Pengelolaan tanah yang baik dan benar akan dapat memelihara struktur komunitas biota tanah, yang secara langsung menentukan kualitas kesuburan lahan. Kata Kunci: Biologi, ekstensifikasi pertanian, lahan sub optimal Abstract The acceleration of national food security is among others reached byextensificationtoward to sub-optimal lands,that is still widely available (70.41 million ha of 122.05 million hectares suitable for agricultural development). The utilization of suboptimal land has obstacles include low nutrient availability, toxic compounds and high acidity or alkalinity pH. During this time applied agricultural technologies tend toward cultivation and mechanization of agriculture, by the results have not been significant with production being achieved. The contributionof biology science is required to solve the unsuccessful agricultural activities on the sub-optimal land. Not only just to evaluate, but its critical role must do. To guide by achieving of sustainable agricultural systems, there are some basic subjects that should be studied, including the application of chemical fertilizers excessively, to control of bio-fertilizer application and the management of land suitably. Soil should be regarded as life and dynamic substances, by its function as a soil biota reservoir. The existence of soil biota contributes to determine the level of stability of land ecosystems, which serves as a medium to grow plants that supply water and nutrients. This paper is intended to contribute to the management of sub-optimal land wisely, through the empowerment of soil biota diversity and low input. The wise of soil 369
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
management will be able to maintain the community of soil biota structure, which determines the quality of soil fertility directly. Keywords: Biology, agricultural extension, sub-optimal land PENDAHULUAN Swasembada pangan nasional merupakan capaian real program Pemerintah dalam kemandirian ketahanan pangan (Haryono,2013). Seiring dengan perkembangan penduduk, maka berbagai teknologi yang mendukung sistem pertanian diterapkan.Upaya peningkatan produktivitas sudah semakin sulit dilakukan secara teknis agronomis, di samping juga semakin dirasakan tidak ekonomis untuk diusahakan. Saat ini Indonesia sudah tidak punya lagi pilihan, selain memanfaatkan lahan-lahan suboptimal yang masih tersedia luas dan memungkinkan untuk dikelola sebagai lahan produksi pangan. Murtilaksono dan Anwar (2014) melaporkan bahwa lahan suboptimal yang dapat dikembangkan untuk budidaya pertanian tanaman pangan hanya sekitar 70,41 juta hektar (58%) dari 122,05 juta hektar lahan sub-optimal yang sesuai untuk pengembangan pertanian. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa sekitar 7,08 juta hektar lahan yang sesuai untuk pertanian lahan kering tanaman semusim, dan 15,31 juta hektar lahan yang sesuai untuk pertanian tanaman tahunan. Perlu dipahami bahwa karakteristik dari lahan-lahan yang tergolong suboptimal cukup beragam, demikian pula potensi untuk pemanfaatannya. Dalam pengembangan lahan-lahan sub optimal diperlukan teknologi yang secara teknis sesuai untuk masingmasing karakteristik lahan, dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak ekologisnya, kesesuaian sosiokultural dengan masyarakat lokal, dan tentunya juga memberikan keuntungan bagi petani sebagai pelaku utamanya. Suatu pendekatan yang dapat dilakukan secara paralel dan interaktif adalah optimalisasi sifat fisik, khemis dan (mikro) biologi tanah secara spesifik untuk masing-masing karakteristik lahan-lahan sub optimal. Tanah sebagai media utama untuk pertumbuhan tanaman dan memberikan hasil harus dipandang sebagai substansi yang hidup dan bersifat dinamis. Di dalam tanah terdapat kehidupan yang harus dikelola, oleh peran pentingnya dalam menentukan stabilitas ekosistem tanah, pelaku utama dalam serangkaian proses biogeokimiawi yang pada akhirnya berperan sebagai penyedia unsur hara tanaman, dan tentunya secara fisik sebagai media tumbuh tanaman. Tulisan ini akan membuka wacana tentang hal penting penghuni tanah, yang aktif di dalam tanah, namun sebenarnya yang tidak mudah di dalam pengelolaannya. Ilmu tentang makhluk hidup di dalam tanah, meliputi taksonomi, morfologi, fisiologi dan ekologi-nya semua tercakup di dalam ilmu Biologi. Konstribusi ilmu Biologi cukup besar di dalam pembangunan pertanian yang produktif dan ekologis. LAHAN SUB OPTIMAL, POTENSI DAN KENDALA DALAM PEMANFAATANNYA
Lahan suboptimal adalah lahan yang secara alami mempunyai kendala dalam pengelolaannya, dan membutuhkan usaha lebih ekstra untuk pemanfatannya sebagai lahan budidaya yang produktif (Lakitan dan Gofar, 2013). Lahan sub optimal dibedakan menjadi 5 (lima) kategori berdasarkan kondisi biofisiknya (Tabel 1). Masing-masing jenis lahan 370
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
membutuhkan pengelolaan yang berbeda-beda tergantung dari kebutuhannya. Pengelolaan yang arif sesuai dengan karakteristik lahan, akan memberikan hasil yang sehat dan aman dikonsumsi, di samping juga kelestarian lahan pertanian sesuai dengan peruntukannya. Tabel 1. Luas lahan sub optimal di Indonesia dan kendala pengelolaannya. Jenis lahan
Luas ( juta ha)
Potensi Pemanfaatan ( juta ha) 62,6 (57,54 %)
Lahan kering Masam
108,8
Lahan rawa pasang surut Lahan kering iklim kering
11,0
9,3 (84,55 %)
13,3
7,8 (58,65 %)
Lahan rawa lebak
9,2
7,5 (81,52 %)
Lahan gambut
14,9
4,7 (31,54 %)
157,2
91,9 (58,46 %)
Jumlah
Jenis tanah
Kendala yang dihadapi
Ultisols, Oxsisols, dan Inceptisols
Miskin hara, masam pH<5, Keje-nuhan basa rendah <50 %, curah hujan >2000 mm per tahun, dan kurang air Tata air, keberadaan lapisan pirit, bereaksi masam ekstrim (pH < 4), tanah gambut tebal, intrusi air laut. Ketersediaan air, lapisan top soil tipis dan berbatu, kejenuhan basa > 50% (eutrik), pH tanah netral dancenderung agak alkalis, dan tingkat kesuburan lebih baik Kesulitan dalam mempridiksi dan mengatur tingkat genangan dan kemasaman tanah.
Sulfaquents,Sulfaquepts, Sulfiaquents dan Sulfiaquepts. Halaquents atau Halaquepts Alfisols, Mollisols, Entisols, Vertisols
Organosol, Aluvial, Gley Humus Rendah, dan Hidromorfik Kelabu, Andosol, Latosol,Podsolik Histosols atau Organosol
bersifat mudah terbakar dan tidak balik(irreversible), pH masam dan kahat hara
Sumber: Buol et al (1989), Subagjo et al (2000), Kementrian Pertanian (2009) Potensi pemanfaatan lahan-lahan sub optimal di Indonesia baru mencapai 58,46 % dari luas total keberadaannya. Sementara ini beraneka teknologi yang diterapkan dalam pengelolaan lahan-lahan sub optimal belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Seiring dengan pertambahan penduduk dan kebutuhan pemukiman, maka pemanfaatan lahan sub optimal akan menjadi tumpuan harapanyang harus dicarikan solusinya untuk mengatasi segala permasalahannya (Poerwanto et al, 2012). Pemeliharaan dan intensifikasi lahan pertanian yang telah ada (existing) juga perlu dilakukanuntuk menjawab tantangan pada peningkatan permintaan terhadap pangan, papan, dan sandang. Inventarisasi kendala dalam pengelolaan lahan-lahan sub optimal telah dilakukan oleh para ilmuwan terkait (Tabel 1). Apabila diperhatikan secara cermat, dari semua kendala yang ada dan telah terbukukan dengan baik tersebut, belum ada yang mengkaji tentang aspek biologi tanah, kalaupun ada masih dalam kuantitas yang kecil/sedikit. Perlu diakui, bahwa selama ini penelitian tanah pertanian lebih banyak condong pada aspek fisis dan khemis saja, yang memang lebih mudah untuk dimonitor dan memberikan dampak yang cepat terdeteksi. Karakteristik fisis dan khemis tanah lebih sempurna untuk dipahami, 371
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
daripada karakteristik biologis-nya. Banyak informasi ilmiah yang telah diketahui tentang status fisis dan khemis tanah, namun masih sedikit informasi tentang status biologis tanah. Hal yang tidak boleh dilewatkan adalah pengertian tentang kualitas tanah, yang harus dipandang secara holistik dari aspek fisik, khemis, dan biologis untuk menciptakan lingkungan tanah yang subur dan ekologis. Kualitas tanah didefinisikan sebagai suatu kemampuan tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem dalam menopang produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan, dan meningkatkan kesehatan tanaman dan hewan (Doran dan Parkin, 1994; Stenberg, 1999). Penentuan status biologis tanah memerlukan ketelitian dan kesabaran di dalam pengkajiannya, karena substansinya bersifat hidup, dinamis dan dapat mengalami perubahan pada ruang dan waktu. Sifat dinamis pada status biologis tanah ini memberikan peluang besar dalam pengelolaannya. Status biologis tanah bermanfaat dalam memberikan peringatan dini adanya degradasi tanah, sehingga memungkinkan untuk menerapkan praktek-praktek pengelolaan lahan yang lebih selaras dan berkelanjutan (Loreau et al, 2001). TANAH ADALAH SUBSTANSI YANG HIDUP DAN BERSIFAT DINAMIS Tanah memiliki karakteristik biologis yang unik. Tanah adalah substansi yang hidup, karena di dalamnya terdapat beraneka ragam proses hidup makhluk yang menghuninya dan yang kadang tidak terlihat secara kasat mata. Ditinjau dari jumlah dan jenis populasi biota tanah, maka kehidupan di dalam tanah cukup besar. Keanekaragaman hayati dari dalam tanah melakukan aktivitas alam yang mendukung tercapainya stabilitas ekosistem, melalui siklus biogeokimia dan kemampuannya melakukan biodegradasi bahan organik. Aspek biologis tanah sangat kompleks dan membutuhkan pemahaman yang lebih baik, oleh belum banyaknya informasi tentang keanekaragaman hayati di dalam tanah, serta bagaimana tingkat aktivitasnya dalam mempertahankan tanah yang subur dan produktif (Fitter et al, 2005). Mikroorganisme di dalam tanah yang mempunyai kemampuan dalam penyediaan nutrisi tanaman menjadi bagian penting para agronomis di bidang pertanian(Prihastuti, 2008). Tanah terdiri dari komponen fraksi padat yaitu pasir, lempung, liat dan bahan organik, yang secara riil mengandung tingkat heterogenitas biota tanah yang tinggi (van Elsas dan Trevors, 1997). Kehadiran mikroorganisme dalam tanah sudah menggambarkan dengan jelas tentang kebutuhannya akan kondisi abiotik dan nutrisi yang tersedia dalam biosfer. Ekosistem tanah yang stabil dapat dihipotesakan sebagai sentral hunian mikroorganisme yang mampu beradaptasi pada lingkungan tersebut. Mikroorganisme penghuni tanah berfungsi sebagai katalisator biokimia pada proses-proses yang berlangsung di dalam tanah, berpengaruh pula pada terjadinya perubahan di dalam ekosistem tanah. Ada tiga faktor utama yang mendukung terjadinya dinamika di dalam tanah yaitu jenis tanaman, jenis tanah dan teknik pengelolaannya (Loreau et al, 2001). Jenis tanaman dan tanah berpengaruh terhadap struktur komunitas mikroorganisme, sekalipun informasi detail mengenai interaksinya masih belum banyak dikaji (Prihastuti, 2011). Komunitas mikroorganisme tanah di alam sangat sulit untuk dikarakterisasi, oleh adanya diversitas fenotipik dan genotipik, heterogenitas dan kriptisitas. Populasi bakteri 372
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
pada top soil mencapai>109 sel/g tanah dan sebagian besar tidak dapat dikulturkan(Torsvik dan Ovreas, 2002). Jenis-jenis mikroorganisme tanah yang dapat dikulturkan dan dikaji lanjut diperkirakan < 5 % nya (Borneman dan Triplett, 1997; Torsvik et al, 1990). Teknologi pengelolaan tanah berperan besar untuk terjadinya perubahan struktur komunitas mikroorganisme tanah, mulai dari pengelolaan tanah kategori ringan hingga berat (Prihastuti, 2011). Pada penggunaan pestisida (Heilmann et al, 1995), amandemen dengan khitin (Hallmann, et al, 1999), kompos atau kotoran ternak (Sch¨onfeld et al, 2002) ataupun introduksi mikroba mutan (De Leij et al, 1995; Mahhaffee dan Klooper, 1997) akan menentukan terjadinya perubahan struktur komunitas mikroorganisme di dalam tanah. Demikian pula sifat fisikokimia tanah (Kennedy dan Smith, 1995), distribusi ukuran partikel tanah (Ranjard et al, 2001), keberadaan dan umur spesies tanaman (Garland, 1996; Grayston et al, 1998) dan rotasi tanaman (Villich, 1997)merupakan faktor kunci determinatif struktur komunitas mikroorganisme tanah. Pemahaman yang baik terhadap sifat-sifat tanah, dapat digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap beberapa kegagalan teknologi budidaya tanaman yang menggunakan agensia hayati dan pemakaian pupuk kimia yang berlebih. Prihastuti (2008) telah memaparkan kesenjangan antara harapan dan realita pada penggunaan pupuk hayati di Indonesia. Padahal telah diketahui bersama tentang manfaat dari mikroba-mikroba (beneficial microbe) yang terkandung di dalam pupuk hayati tersebut dalam penyediaan unsur hara bagi tanaman. Kesenjangan hasil penelitian pertanian yang berhubungan dengan aplikasi mikroorganisme perlu dikaji lebih dalam tentang karakteristik mikroba, kemampuan beraktivitas, dan viabilitas selama penyimpanan (Prihastuti dan Harsono, 2012). Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan akan merusak kualitas tanah di masa mendatang. Dampak penggunaan bahan kimia yang meninggalkan residu di dalam tanah, yang dapat diserap tanaman dan mempengaruhi kualitas hasil panen, pada akhirnya dapat mengancam kesehatan manusia. KONSEP BIOLOGI PENGELOLAAN LAHAN SUB OPTIMAL Kriteriaindikatorkualitas tanah terutama berhubungan dengan: (i) utilitas, kegunaan tanah dalam mendefinisikan proses ekosistem, (ii) ability, kemampuan tanah untuk mengintegrasikan status fisik, kimiadan biologi, dan (iii) sensitivity, potensitanahuntukdikelola dengan baik pada ruang dan waktu (Doran, 2000). Berpegang pada definisi ini, dan mempertimbangkan capaian hasil penelitian yang telah dilakukan, maka pengelolaan lahan-lahan sub optimal perlu memasukkan indikator biologis tanah dan teknologi yang berhubungan dengan pemanfaatan mikroba di bidang pertanian. Kualitastanahmempengaruhikeberlanjutanpertanian dan kualitaslingkungan,yang mempunyai dampak pada kesehatan tanaman, hewan dan manusia. Mikroorganisme tanah dapat digunakan sebagai indicator kualitas tanah, karena memiliki fungsi penting dalam dekomposisi bahan organik, siklus hara dan pemeliharaan struktur tanah. Pada tanah yang terkontaminasi akan menyebabkan struktur komunitas mikroorganis meberubah, tapi keanekaragaman tidak selalu berkurang. Sebaliknya, biomassa mikroorganisme dan aktivitasnya dapat berkurang secara nyata. Ditanah pertanian ada perbedaan besar antara berbagai kategori jenis tanah dan penggunaan lahan. Pengelolaan pertanian organik 373
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
menghasilkan peningkatan peran organism tanah, seperti ditunjukkan oleh jumlah yang lebih banyak dan aktivitas yang lebih baik. Penggantian pupuk kimia dengan pupuk kandang akan merangsang percabangan jaring-jaring makanan biota tanah seperti bakteri, jamur, dan juga mikoriza. Berbagai jenis organisme tanah memainkan peran penting dalam beberapa proses kehidupan yang mendukung kualitas tanah, seperti dekomposisi bahan organik dan siklus nutrisi, fiksasi nitrogen dan pembentukan agregat, serta stabilisasi ekosistem tanah. Dengan beberapa kejadian alamiah ini, maka secara langsung ukurantanah juga ditentukan oleh besarnya biomassa mikroba, respirasi, potensi mineralisasi nitrogen(N), aktivitasenzim, kelimpahandarijamur, nematode dan cacing tanah, yang semuanya itu telah digunakan sebagai indicator kualitas tanah Lee, 1985; Doran, 1987; Dicketal, 1988; Kennedy dan Papendick, 1995;. Walldan Moore, 1999). Aspek biologis tanah lebih fokus pada keberadaan organisme tanah dan proses yang dilakukannya.Bloem et al. (2006) melaporkan bahwa pada suatu areal pertanian biasanya mengandung sekitar 3000 kg (berat basah) organisme tanah per hektar. Hal ini setara dengan 5 ekor sapi, 60 ekor domba atau 35 orang petani yang tinggal dan mengelola tanah pertanian tersebut. Keadaan ini diselaraskan oleh adanya kenyataan, bahwa banyak ribuan spesies (atau genotipe) berkontribusi mendukung besarnya keanekaragaman hayati di bawah permukaan tanah, yang masing-masing beraktivitas dan berperan menciptakan stabilitas ekosistem tanah. Biota tanah yang tergolong invertebrata akan memfasilitasi proses dekomposisi fragmen bahan organik dari organisme yang telah mati. Kontribusi langsung dari organisme ini bermanfaat untuk berlangsungnya proses biokimia selanjutnya yang membutuhkan unsur-unsur atau fluks residu organik yang biasanya lebih kecil ukuran molekulnya, yang dilakukan oleh bakteri dan jamur. Proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri dan jamur menyebabkan terjadinya pelepasan nutrisi mineral (mineralisasi) penting untuk pertumbuhan tanaman. Mineralisasi lebih lanjut dilakukan oleh organisme yang memakan bakteri dan jamur (bacterivores dan fungivores), seperti protozoa dan nematoda. Beberapa invertebrata tanah kecil (misalnya nematoda) juga pemakan langsung akar tanaman (herbivora). Predator pemakan invertebrata tanah yang lain, biasanya mempunyai ukuran lebih kecil, demikian pula omnivora yang merupakan pemakan sumber makanan yang berbeda. Semua interaksi trofik dalam jaring-jaring makanan di dalam tanah berkontribusi pada aliran energi dan nutrisi melalui ekosistem (Hunt et al, 1987.). Model untuk memprediksi bahwa kelimpahan kelompok fungsional yang berbeda dari organisme, yaitu struktur jaring makanan tanah akan mempengaruhi stabilitas ekosistem tanah (De Ruiter et al, 1995.). Jamur mikoriza yang hidup dalam simbiosis dengan akar tanaman meningkatkan penyerapan nutrisi mineral oleh tanaman. Bakteri, jamur dan invertebrata tanah bermanfaat sebagai lem atau perekat partikel tanah, membentuk agregat tanah yang stabil dan dengan demikian akan berperan dalam memperbaiki struktur tanah. Penerapan konsep Biologi dalam pengelolaan lahan-lahan sub optimal tidak lain bertujuan untuk mengevaluasi kualitas tanah yang sebenarnya dan sekaligus untuk mendeteksi adanya perubahan kualitas tanah dari waktu ke waktu. Sejak tahun 1997 telah 374
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
dimasukkan satu set indikator biologis tanah, meliputi indikator mikrobiologi dan beberapa kelompok fauna tanah yang mengambil bagian dalam ekosistem tanah. Kondisi lahan-lahan yang tergolong sub optimal adalah kurang subur dan tidak sesuai untuk budi daya tanaman pangan. Sekalipun demikian, lahan ini mempunyai struktur komunitas biologi tanah tertentu, yang mencerminkan jenis karakter lahan, dan ini akan berbeda dengan jenis lahan yang lainnya. Pembacaan kondisi tanah yang benar danakurat dari aspek fisis, khemis danbiologis akan lebih mengarahkan kebenaran pada tindakan pengelolaannya. Dalam era pencanangan sistem pertanian yang sehat dan berkelanjutan, maka seyogyanya teknik budidaya tanaman pangan dan teknologi peningkatan kualitas kesuburan lahan harus saling mendukung. PENUTUP Percepatan swasembada pangan nasional merupakan tanggung jawab berbagai ilmu yang mendukung teknologi budidaya pertanian, terutama ilmu Biologi. Aspek fisis dan khemis lahan-lahan sub optimal sudah banyak dikaji, namun aspek biologi masih sangat sedikit. Baik biota dalam tanah ataupun tanaman mempunyai faktor pembatas di dalam pertumbuhannya. Oleh karenanya untuk mencapai kriteria normal tanah subur, pemeliharaan kehidupan di dalam tanah sangat penting dilakukan. Rangkaian kehidupan biota tanah secara alami sudah membentuk jaringan rantai makanan yang tidak saling putus, namun justru memberikan hasil metabolisme yang dapat digunakan untuk pertumbuhan tanaman dan peningkatan kualitas kesuburan tanah. Sebagai peneliti, ilmuwan dan pemerhati lingkungan, mempunyai kewajiban untuk mengarahkan dan mendampingi petaniagar dapat mengelola lahannya dengan baik, dengan memanfaatkan bahan organik dari potensi daerah yang tersedia. Pada hakekatnya peran ilmu Biologi sangatlah besar dalam pengelolaan lahan-lahan sub optimal di Indonesia. Pada skala yang sangat sederhana dengan mengolah sampah organik, sisa tanaman dan hewan, menutupnya dengan tanah, atau membalik-balik tanah untuk memberikan aerasi pada biota tanah. Pada skala yang sangat kompleks melalui introduksi mikroba penyedia hara, dan mikroba penghasil zat pemacu tumbuh tanaman. DAFTAR PUSTAKA Borneman J. and E. W. Triplett. 1997. Molecular microbial diversity in soil from Eastern Amazonia: evidence for unusual microorganisms and microbial population shifts associated with deforestation. Appl. Environ. Microbiol. 63:2647–53 Bloem, J., A. J. Schouten, S. J. Sorensen, M. Rutgers, A. V. D. Werf, and A. M. Breure. 2006. Monitoring and Evaluating Soil Quality. CABI Publishing, UK. p. 23-50 Buol, S.W., F.D. Hole and R.J. McCracken. 1989. Soil Genesis and Classification. 3rd edition. Iowa State University Press. Ames Iowa. De Leij FAAM, S. J. Sutton, J. M. Whipps, J. S.Fenlon, and J. M. Lynch. 1995. Impact of field release of genetically modified Pseudomonas fluorescens on indigenous microbial population of wheat. Appl. Environ.Microbiol. 61:3443–53 De Ruiter, P.C., Neutel, A.-M. and Moore, J.C. 1995. Energetics, patterns of interaction
375
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
strengths,and stability in realecosystems.Science269, 1257–1260.Doran, J.W. 1987. Microbial biomass and mineralizable nitrogen distrubution in notillage and plowed soils. Biology and Fertility of Soils 5, 68–75 Doran, J.W. 1987. Microbial biomass andmineralizable nitrogen distrubution in notillage and plowed soils. BiologyandFertilityof Soils5, 68–75. Doran, J.W. 2000. Soil health and sustainability:managing the biotic component of soil quality.AppliedSoil Ecology15, 3–11. ___________, and T. B. Parkin. 1994. Quantitative indicators of soil quality: A minimum data set. In: Doran J. W., Jones A. J. (eds.), Methods for assessing soil quality . SoilScience SocietyOf America, Special Publication 49, Madison, WI,pp. 25-37. Dick, R.P., D. P. Breakwell, and R.F. Turco. 1988. Soil enzymeactivities and biodiversity measurements as integrative microbiologicalindicators. In: Doran J.W., Jones A.J. (eds.),Methods for Assessing Soil Quality. SSSA Special PublicationNumber 49,Madison, pp.247-272. Fitter, A. H., C. A. Gilligan, K. Hollingworth, A. Kleczkowski, K. M. Twyman, J. W. Pitchford, and The members of the Nerc Soil Biodiversity Programme. 2005. Biodiversity and ecosystem function in soil. British Ecological Society (19): 369377 Garland JL. 1996. Patterns of potential C source utilization by rhizosphere communities. Soil Biol. Biochem. 28:223–30 Grayston SJ, S. Wang, C. D. Campbell, A. C. Edwards. 1998. Selective influence of plant species on microbial diversity in the rhizosphere. Soil Biol. Biochem. 30:369– 78 Hallmann J, R. Rodriguez-Kabana, dan J. W. Kloepper. 1999. Chitin-mediated changes in bacterial communities of soil, rhizosphere and roots of cotton in relation to nematode control. Soil Biol. Biochem. 31:551–60 Haryono. 2013. Strategi Kebijakan Kementrian Pertanian dalam Optimalisasi Lahan Suboptimal Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal ―Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional‖, Palembang 20-21 September 2013. ISBN 979-587-501-9. Hal. 1-4. Heilmann B, M. Lebuhn, dan F. Beese. 1995. Methods for investigation of metabolic activity and shifts in the microbial community in soil treated with a fungicide. Biol. Fertil. Soils 19:186–92 Hunt, H.W., D. C. Coleman, and E.R., Ingham.1987. The detrital food web in a shortgrass prairie. Biology andFertility of Soils3, 57–68. Kementerian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian, Jakarta Kennedy, A.C. and Papendick, R.I. 1995. Microbial characteristics of soil quality.Journal of Soil and Water Conservation 50,243–248. ____________, and K. L. Smith. 1995. Soil microbial diversity and the sustainability of agricultural soil. Plant Soil 170:75–86. Lakitan, B. dan N. Gofar. 2013. Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan Lahan Suboptimal Berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 376
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
―Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional‖, Palembang 20-21 September 2013. Hal. 5-14 Lee, K.E., 1985. Earthworms: Their Ecology and Relationships with Soils and Land Use. Academic Press, Sydney. Loreau, M., S. Naeem, P. Inchausti, J. Bengtsson, J. P. Grime, A. Hector, D. U. Hooper, M. A. Huston, D. Raffaelli, B. Schimid, D. Tilman and D. A. Wardle. 2001. Biodiversity and Ecosystem Funtioning: Current Knowledge and Future Challenges. Science (294): 804-808. Mahaffee WF, and J. W. Kloepper. 1997. Bacterial communities of the rhizosphere and endorhiza associated with field-grown cucumber plants inoculated with plant growth-promoting rhizobacterium or itsgenetically modified derivative. Can. J.Microbiol. 43:344–53 Murtilaksono, K dan S Anwar. 2014. Potensi, Kendala, dan Strategi Pemanfaatan Lahan Kering dan Kering Masam untuk Pertanian (Padi, Jagung, Kedele), Peternakan, dan Perkebunan dengan Menggunakan Teknologi Tepat Guna dan Spesifik Lokasi. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 Poerwanto P, A. Kurniawati, SW. Ardhie, dan Sobir. 2012. Analisis Dampak Kependudukan terhadap Ketahanan Pangan.BKKBN. Jakarta Prihastuti. 2008. Adopsi pupuk hayati di Indonesia: antara harapan dan realita. Dalam Saleh. N. Rahmianna, A.A., Pardono, Samanhudi, Anam, C dan Yulianto (Penyunting). 2008. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian, Surakarta, 7 Agustus 2008. Fakultas Pertanian/Pascasarjana Agronomi Universitas Sebelas Maret Surakarta, Balai Penelitian Tanaman KacangKacangan dan Umbi-Umbian, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Hlm. 76-81 . __________. 2011. Struktur Komunitas Mikroba Tanah dan Implikasinya dalam Mewujudkan Sistem Pertanian Berkelanjutan. Jurnal el Hayah 1 (4): 174-181 _________ dan A. Harsono. 2012. Kemunduran kualitas pupuk hayati Rhizobium. Sains & Matematika 1 (1): 1-5. Ranjard L, F. Poly F, J. C. Lata, C. Mougel, J. Thioulouse, dan S. Nazaret. 2001. Characterization of bacterial and fungal soil communities by automated ribosomal intergenic spacer analysis fingerprints: biological and methodological variability. Appl. Environ. Microbiol. 67:4479–87 Sch¨onfeld J, A. Gelsomino, L. S. van Overbeek, A. Gorissen, K. Smalla, dan J. D. van Elsas. 2002. Effects of compost addition and simulated solarisation on the fate of Ralstonia solanacearum biovar 2 and indigenous bacteria in soil. FEMS Microbiol. Ecol. 43:63–74 Stenberg, B. (1999) Monitoring soil quality ofarable land: microbiological indicators.Acta Agriculturae Scandinavica, Section B,Soil and Plant Science 49, 1–24. Subagjo, H., N. Suharta, dan A. B. Siswanto. 2000. Lahan Pertanian Indonesia Hal. 21 – 66 dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Center for Soil and Agroclimate Research and Develoment, Bogor. 377
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Torsvik, V., Salte, K., Soerheim, R., Goksoeyr, J., 1990. Comparisonof phenotypic diversity and DNA heterogeneity in a population of soil bacteria. Appl. Environ. Microbiol. 56,776– 781. __________, and L. Ovreas. 2002. Microbial diversity and function in soil: from genes to ecosystems. Curr. Opin. Microbiol. 5: 240–45 van Elsas J. D dan J. T. Trevors. 1997. Modern Soil Microbiology. New York: MarcelDekker Villich V. 1997. Assessment of microbial diversity by fatty acid analysis. Dev. Plant.Pathol. 11:71–74 Wall, D.H., Moore, J.C., 1999. Interactions Underground:soil biodiversity, mutualism, and ecosystem processes.Bioscience 49, 109–117.
378