BAB 10 KESIMPULAN Telaah tentang spritual capital (modal nurani) di kalangan suku Buna membawa kita pada beberapa butir kesimpulan penting. Pertama, Masyarakat suku Buna walaupun memeluk agama katolik, tetap mempertahankan kepercayaan asli mereka karena. Dalam hal ini, mereka bukan percaya sia-sia, tetapi mereka mewujudkan keterpaduan antara spiritual capital dengan tiga capital yang lain dalam mencintai alam. Pemurnian kepercayaan kepada Tuhan sesuai agama Kristen Katolik perlu didasarkan pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah lama tertanam dalam penghayatan empat capital secara seimbang yang sudah lama mereka jalani. Kedua kita juga mendapati ada perbedaan antara spritual capital dan religious capital. Kedua modal tersebut biasanya kurang dibedakan. dalam beberapa tulisan seperti tulisan Dharmaputra (2010) dan Helena (2011). Pemahaman yang lazim sampai sekarang, ada pemisahan yang sangat tegas antara agama sebagai kegiatan rohani dan urusan bukan agama sebagai kegiatan jasmani. Pemisahan ini tidak tepat. Akibat dari pemisahan ini orang bertindak jahat atas nama agama karena tindakan itu tidak didasarkan pada spiritual capital dalam kaitan dengan capital yang lain. Masyarakat suku Buna’ bersatu atas dasar yang paling dalam yaitu spiritual capital. Dalam hidup sehari-hari masyarakat ini saling menerima karena satu suku, satu kampung dan satu budaya dan satu bahasa. Ini fenomen lahiriah. Mereka dipersatukan bukan oleh adat, bukan oleh agama suku mereka, agama Hot Esen. Orang tua mengurus anak, anak menghormati orang tua, tidak ada rumusannya dalam agama dan moral orang Buna’. Tetapi dilaksanakan karena dorongan bathin, dorongan nurani, dorongan spiritual capital. Kalau ada perselisihan, ada permusuhan, ada pencurian, seluruh masyarakat menyatakan tidak setuju dan berupaya mencari penyelesaian. Ini bukan tuntutan adat dan bukan tuntutan agama saja. Tetapi ada gejolak dari dalam bathin 271
pribadi, bathin masyarakat yang merasa hidup tidak tenteram dan ada dorongan untuk segera memulihkan keadaan yang tidak damai itu. Ini muncul dari spiritual capital yang diwujudkan dalam acara adat perdamaian, makan sirih dan minum sopi, saling memberikan benda berupa uang atau kain tenun sebagai pengikat perdamaian. Dalam peristiwa kelahiran, seorang bayi dilihat sebagai kembalinya salah seorang leluhur dari dunia orang mati. Manusia kecil ini diterima sebagai anggota baru dalam suku karena penjelmaan leluhur, dijaga oleh roh-roh dan diberkati oleh Hot Esen (Yang Mahatinggi). Mencintai anak ini karena kesadaran akan dorongan spiritual capital, dan bukan hanya oleh suruhan adat atau agama. Dalam peristiwa perkawinan, suku Buna’ melihatnya sebagai urusan yang harus direstui leluhur dan roh-roh. Dua orang yang kawin ini menyatukan seluruh keluarga karena persamaan asal-usul. Yang Mahatinggi dipercaya sebagai sumber berkat untuk pasangan baru ini. Perceraian diharamkan karena persatuan ini yang muncul dari spiritual capital, dibakukan dalam adat, disakralkan dalam agama suku. Peristiwa kematian dilihat sebagai kembalinya seseorang ke tengah leluhur di alam orang mati. Seluruh acara pemakaman diharapkan lancar oleh campur tangan roh-roh dan dinantikan oleh para leluhur. Hot Esen (Yang Mahatinggi) memberi berkat untuk semua orang yang masih hidup dan orang yang meninggal. Pemeliharaan hutan lindung dan sumber mata air mempunyai dasar terdalam pada kesadaran akan adanya roh-roh penjaga tempattempat tersebut. Orang-orang Buna’ mempunyai istilah zobu’ por (hutan sakral), il por (sumber air sakral), muk por (tanah sakral), deu por (rumah sakral). Kesadaran inilah spiritual capital yang menjadi dasar untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Berkebun dan beternak dikaitkan dengan adanya roh-roh pelindung tanaman dan hewan. Tanah yang diolah direcik dengan air dan air kelapa sebagai tanda keikutsertaan roh-roh dalam usaha pertanian dan peternakan ini. Hasilnya dipersembahkan dahulu kepada Yang Mahatinggi lewat leluhur dan roh-roh karena orang-orang Buna’ yakin bahwa usaha mereka itu tidak ada artinya kalau tidak dilindungi oleh roh-roh dan leluhur serta diberkati oleh Yang Mahatinggi. Segala ritus yang dilaksanakan dalam berbagai peristiwa ini masuk dalam religious capital, tetapi dasar terdalamnya adalah spiritual capital. 272
Kesadaran akan hubungan manusia Buna’ dengan leluhur dan roh-roh serta Roh Yang Mahatinggi ini merupakan kesadaran akan esensi manusia itu sendiri yang terdiri dari roh dan badan, tubuh dan jiwa. Kesadaran akan dunia roh, dunia ilahi inilah spiritual capital yang menjadi pendorong manusia untuk berpikir (intellectual capital) dan untuk menghargai sesama manusia (social capital) serta mencintani alam sekitar (material capital). Kesadaran untuk beragama, religious capital muncul dari spiritual capital ini.
SPIRITUAL CAPITAL DASAR PEMURNIAN SINKRETISME Orang Buna’ dituduh melaksanakan sinkretisme karena menjalankan ritus-ritus agama asli yang dicampur-adukkan dengan ritus-ritus agama Kristen Katolik. Dalam penanaman benih baru di ladang, benih itu diberkati oleh Imam (katolik) di Gereja lalu sebelum ditanam di ladang, direciki lagi dengan darah hewan. Anak yang baru lahir, diberi nama leluhur lalu waktu dibaptis, diberi nama seorang kudus atas dasar kepercayaan dalam agama Kristen Katolik. Nama leluhur disebut nama kafir, nama baptis disebut nama serani. Dua nama ini dipakai dengan aman oleh setiap anggota suku Buna’ yang sudah katolik. Orang Buna’ menganggap sakral dan menaruh hormat serta bersembah sujud di depan tabernakel, karena di sana disimpan Hostia Kudus, Tubuh Tuhan yang dipercayai sebagai kehadiran Tuhan Yesus sendiri. Itu di dalam gedung gereja katolik. Orang-orang yang sama ini kalau sudah sampai di rumah adat, merasa sakral dan menaruh hormat terhadap benda-benda keramat yang digantungkan di tiang agung di rumah adat. Ini beberapa bentuk sinkretisme yang terjadi sebagai perilaku yang menyatukan ritus agama asli dengan ritus agama Kristen Katolik. Di satu pihak orang-orang Buna’ dipersalahkan sebagai orang ’serani’ yang masih mempraktekkan cara-cara ’kafir’, di pihak lain orang-orang Buna’ membela diri bahwa apa yang mereka laksanakan itu adalah adat warisan leluhur. Dalam hal ini titik temu tidak bisa dicari pada level agama, baik agama asli maupun agama Kristen Katolik. Titik temunya ada pada dasar terdalam manusia, spiritual capital. Selama kebiasaan 273
agama asli itu masih diingat dan dirasakan pengaruhnya oleh manusiamanusia suku Buna’ dalam nurani mereka, maka dengan cara apa pun entah dengan ajakan atau dengan kekerasan, sinkretisme ini tidak dapat dihilangkan. Pendekatan yang paling tepat ialah pendekatan melalui pemahaman dan penyadaran tentang spiritual capital. Tuduhan sinkretisme disadur menjadi perpaduan antara kesadaran akan adanya arwah leluhur, roh-roh dan Yang Mahatinggi, hal yang sama dalam ajaran dan tradisi agama Kristen Katolik, ada kepercayaan tentang adanya jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal, adanya roh-roh baik dan roh-roh jahat dan adanya Tuhan Allah Tritunggal Yang Mahakudus. Kafir-mengkafirkan tidak akan menyelesaikan masalah.
DESAKRALISASI DIJERNIHKAN MELALUI SPIRITUAL CAPITAL Tempat-tempat sakral seperti tempat sakral di dalam rumah adat (nulal), di depan rumah (bosok) di tengah kampung (mot) di luar kampung, hutan keramat (zobu’ por), sumber mata air keramat (il por) sudah hilang secara lahiriah, tetapi secara bathiniah, tetap menarik dan dijadikan tempat pelaksanaan ritus-ritus agama asli berdampingan dengan ritus-ritus secara Kristen Katolik. Pemimpin agama Kristen Katolik mengajarkan keyakinan adanya tempat kudus itu di dalam gedung gereja. Kalau di tempat lain, tindakan sembah sujud itu dianggap memuja berhala. Hal ini menyebabkan masyarakat suku Buna’ hidup dalam dua dunia dan berakibat pada hidup berpura-pura dan semu karena kepercayaan kepada Tuhan dikaburkan oleh pemahaman berdasarkan teologi agama Kristen Katolik yang sulit dimengerti untuk dihayati. Dalam hal ini religious capital diciderai karena penjembatanan antara agama asli dan agama Kristen Katolik belum tepat dan belum mengena di nurani masyarakat. Akibat dari penanggalan kesakralan dari hutan sakral, sumber air sakral, dan tempat-tempat sakral di lingkungan sekitar, maka orang-orang Buna’ tidak merasa salah kalau menebang pohon di hutan yang tadinya dianggap sakral. Hal ini membawa dampak negatif cukup besar untuk pembangunan. Gerakan cinta lingkungan hidup seharusnya dipadukan dengan penyadaran masyarakat akan sakralnya lingkungan sebagai ciptaan Tuhan untuk kepentingan
274
bersama. Di sini dibutuhkan keterpaduan penyadaran dari Gereja Katolik dan Pemerintah. Bahasa Buna’ sebagai bahasa untuk mengungkapkan rasa sakral, sudah mulai digeser dengan bahasa Indonesia, satu hal yang nampaknya menguntungkan dari segi komunikasi yang lebih luas, tetapi suatu kerugian besar bagi suku Buna’. Kepunahan bahasa Buna’ sedang di ambang pintu. Masyarakat kehilangan rasa bahasa yang paling inti untuk mengungkapkan hal-hal yang lebih mendasar dalam perasaan manusia. Spiritual capital dapat terungkap dengan baik kalau diungkapkan dalam bahasa yang dimengerti dan dirasakan sebagai wadah pengungkap isi nurani manusia.
PENGHAYATAN SPIRITUAL CAPITAL DALAM PEMBANGUNAN Sesuai penuturan para tokoh adat masyarakat Buna’, empat capital sudah dihayati secara berimbang dalam kehidupan suku Buna’ di masa lampau. Namun itu tinggal kenangan. Dengan masuknya pengaruh modern dan dengan masuknya agama Kristen Katolik, manusia suku Buna’ sudah kocar-kacir meninggalkan tradisi yang lama dan sedang menata diri untuk menghimpun kembali keterpaduan empat capital itu dalam dirinya. Material capital yang dimiliki masyarakat suku Buna’ dalam bentuk diri manusia dan alam sekitar, baik alam tumbuhan maupun alam hewani tidak lagi mendukung untuk memenuhi kebutuhan manusia penghuni dan penggarap tanah kelahiran mereka. Alam tanah Lamaknen sudah kurang bersahabat dengan penghuninya, suku Buna’. Buktinya, alam ini tidak memberikan lagi rezeki secukupnya bagi para penghuni. Akibatnya arus urbanisasi dan transmigrasi sedang deras menimpa masyarakat suku Buna’. Kampung-kampung sekarang dihuni oleh orang-orang berusia tua, di atas empat puluhan yang sudah kurang produktif lagi sebagai petani dan peternak. Generasi muda yang berumur antara dua puluh sampai empat puluh tahun sudah jarang tinggal di desa karena mencari pekerjaan yang lebih menguntungkan di kota-kota kecil yang terdekat, entah Atambua, Kefamenanu atau malahan ada yang ke Timor Leste bahkan ada yang ke luar Timor dan 275
menjadi tenaga kerja di Kalimantan dan Sumatera dan juga di luar negeri, di Malaysia. Intellectual capital dalam bentuk kecerdasan otak, penguasaan iptek sudah diserap oleh masyarakat suku Buna’. Anak-anak bersekolah dengan sukarela dan orang tua menguras harta mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke Perguruan Tinggi. Ini hal yang sangat positif. Namun sayangnya dasar intellectual capital yang diwariskan oleh leluhur tidak diindahkan lagi. Kearifan lokal sudah tergantikan seluruhnya dengan pandangan hidup modern yang berasal dari luar. Hal ini di satu pihak dianggap kemajuan, tetapi di pihak lain merupakan malapetaka, bunuh diri karena jati diri yang tertanam dalam kearifan lokal hilang sehingga hidup intelektual mengambang, mendewakan segala ilmu pengetahuan yang diserap di sekolah dan sulit didaratkan pada kehidupan nyata di masyarakat. Tidaklah mengherankan kalau ada penganggur intelektual yang lebih suka pada pekerjaan bersih dan sejuk di bawah naungan atap dari pada berjemur di terik matahari sebagai petani dan peternak. Anak-anak bersekolah untuk menjauhi pekerjaan kotor dan kasar, bertani dan beternak. Pertanian dan peternakan dianggap kotor, kasar dan hina. Pandangan ini membawa manusia kepada malapetaka karena pekerjaan yang begitu luhur untuk menghasilkan langsung bahan pangan dilecehkan. Social capital dalam bentuk kekerabatan, hubungan malu-ai yang terdata dengan baik oleh almarhum A.A. Bere Tallo sudah masuk perpustakaan dan tidak dijamah lagi. Arus individualisme sudah masuk sangat dalam ke tengah masyarakat suku Buna’. Kekerabatan yang didasarkan atas hubungan malu-ai, suatu hubungan berdasarkan kepercayaan atas perlindungan leluhur dan pengawasan oleh roh-roh atas nama Hot Esen (Yang Maha Tinggi) sudah ditinggalkan dan hanya disinggung saja sepintas lalu oleh orang-orang tua yang masih sempat tahu tentang hubungan ini. Generasi muda sudah beralih ke ajaran Kristen, hubungan sesama manusia itu didasarkan atas hukum kasih kristiani. Belum mengakarnya ajaran kristen dan sudah tercerabutnya tradisi malu-ai menyebabkan orang-orang Buna’ menjadi masyarakat yang sedang beralih dari tradisi kekerabatan ke pola bermasyarakat berdasarkan norma umum, semua manusia itu sama dan harus saling mengasihi. Ajaran kristen ini belum mengakar sehingga kekerabatan menjadi longgar dan upaya saling menolong menjadi lemah. 276
Spiritual capital yang dimiliki masyarakat suku Buna’ bersumber pada keyakinan adanya diri manusia sebagai titisan leluhur yang ditandakan dalam pemberian nama leluhur. Setiap anak yang lahir diyakini sebagai salah satu leluhur yang sudah datang lagi dalam diri anak bayi itu. Kedekatan manusia suku Buna’ dengan leluhur ini menegaskan suatu kesadaran bahwa manusia yang terdiri dari badan itu rohnya tetap bersatu dengan roh leluhur. Manusia juga merasa dekat dengan roh-roh yang menjaga manusia dan alam yang disapa dengan istilah pan-muk gomo (penghuni langit dan bumi). Leluhur dan roh-roh ini menjadi perantara bagi manusia dengan Hot Esen, Yang Mahatinggi. Semua perilaku manusia suku Buna’ dikendalikan oleh kesadaran akan hadirnya leluhur, roh-roh dan Hot Esen. Atas dasar kesadaran inilah seorang Buna’ menggarap dan menjaga alam sekitar (material capital). Mentaati norma-norma dan melaksanakan berbagai kearifan lokal (intellelctual capial). Menjalin hubungan dengan sesama (social capital). Manusia harus merasa bersyukur, berbangga dan bersemangat untuk menata dunia ini di mana manusia sendiri merupakan secuil dalam semesta itu untuk hidup aman dan damai dalam kebersamaan sebagai satu keluarga umat manusia yang menghuni satu planet kecil yang disebut bumi. Bumi bukan milik manusia tetapi tempat untuk menumpang. Setiap penumpang tidak boleh saling mencabik dalam ’kendaraan’ yang sedang ditumpangi menuju ’rumah’ yang tidak kelihatan namun harus dipercayai bahwa ’rumah’ itu ada sebagai tujuan akhir hidup manusia secara pribadi dan bersama.
PEMBANGUNAN YANG SEIMBANG Pembangunan yang diartikan sebagai pengembangan, development (Jim Ife 2006/2008: 206-239) membutuhkan suatu kesadaran baru. Pembangunan yang dipaksakan dari luar tetap tidak menjadi bahagian dari pemberdayaan manusia (empowerment). Perubahan harus dari bawah, dari masyarakat itu sendiri. Segala bentuk intervensi hanyalah boleh sebatas subsidi dengan azas subsidiaritas. Pemberdayaan itu membutuhkan kesadaran baik dalam diri masyarakat sendiri maupun dari pihak yang datang membantu untuk menghargai pengetahuan lokal, kebudayaan lokal, sumber daya lokal, ketrampilan lokal dan proses lokal ((Jim Ife 2006/2008: 241-260). 277
Manusia terpanggil untuk hidup sejahtera lahir-bathin. Suku
Buna’ di DHL pun menyadari hal ini bahwa mereka mau hidup
sejahtera lahir-bathin. Manusia ada modal untuk dikembangkan guna menyelamatkan diri dari malapetaka apa pun. Manusia yang mempunyai empat capital dalam dirinya, material capital, intellectual capital, social capital dan spiritual capital menjadi semakin manusiawi sejauh mengaktualisasikan keempat capital itu secara berimbang (Danah Zohar 2007) . Manusia semakin manusiawi sejauh mewujudkan diri dalam hidup harian sebagai manusia yang mengasihi sesama dan menghargai alam sekitar dan menyembah Roh Yang Mutlak sebagai asal dan tujuan dari manusia itu sendiri. Material capital adalah nafsu dalam arti positif yang memampukan manusia menata dunia jasmani, mulai dari diri, sesama dan alam sekitar. Bumi yang adalah materi ini berada dalam kuasa manusia untuk diolah demi kesejahteraan bersama dan bukan digarap atas cara yang serakah demi kepentingan segelintir orang. Intellectual capital dalam pengertian nalar memampukan manusia untuk menemukan hal-hal baru dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi demi penataaan alam secara berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, perkembangan budaya, dan pemanusiaan manusia secara menyeluruh. Tidak diperkenankan manusia menemukan dan menggunakan hasil rekayasa nalar manusia untuk memusnahkan diri sendiri. Social capital mendorong manusia untuk hidup bersama, berjuang bersama, membangun bersama dalam ikatan persaudaraan sejati tanpa membeda-bedakan kelompok suku, ras atau agama. Pemusnahan sesama manusia atas nama suku atau ras atau agama merupakan tragedi zaman ini yang harus segera dihentikan. Spiritual capital mendorong manusia untuk menjadi semakin manusiawi baik pribadi maupun bersama. Manusia yang adalah roh yang mem-badan, badan yang me-roh menyentuh dunia sebagai karunia dari Pencipta yang adalah Roh Mutlak untuk menjalani hidup ini sebagai jembatan dari kefanaan menuju keabadian. Kesadaran manusia tentang adanya Roh Mutlak ini tertanam dalam modal yang dimiliki manusia dalam bentuk Spiritual capital itu.
278
Dengan mengaktualisasikan empat capital ini secara terpadu dalam kehidupan harian, manusia dapat bertemu dan berjuang bersama membangun diri dan alam sekita Pemahaman tentang pembangunan atau pengembangan masyarakat ini sejalan dengan pembahasan tentang empat capital dalam diri manusia dan masyarakat sebagai empat kaki dari ’meja pembangunan’. Salah satu kaki meja itu miring atau patah, meja tidak seimbang lagi. Pembangunan pun kalau tidak didasarkan pada empat capital, maka pembangunan akan pincang dan tidak memenuhi sasaran. Pembangunan di bidang apa saja bisa diukur dengan patokan ini. Kepincangan dalam pembangunan yang mendatangkan kemiskinan materil atau kemiskinan struktural bagi masyarakat, langsung dapat dinilai sebagai pembangunan yang pincang. Kepincangan itu bisa terjadi di salah satu dari pendayagunaan empat capital itu atau juga bisa terjadi bahwa empat capital itu sama-sama kurang didayagunakan secara tepat. Pembangunan menjadi kokoh dan bermanfaat bagi masyarakat dan para pemimpin itu sendiri jika didasarkan pada keterpaduan empat capital. Pembangunan harus memenuhi empat kriteria yang dimunculkan dari tujuan adanya empat capital itu dalam diri manusia sebagai anggota masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Empat kriteria itu ialah pemenuhan kebutuhan jasmani (material capital), masuk dalam pertimbangan akal sehat (intellectual capital), mempunyai tujuan untuk kesejahteraan bersama (social capital) dan dapat dipertanggungjawabkan secara rohani (spiritual capital). Pembangunan dengan empat kriteria ini tidak terlalu idealistis. Bisa dan harus dilaksanakan. Kalau tidak disadari dan tidak dilaksanakan, maka akan berlaku teori domino, kehancuran demi kehancuran akan terjadi, baik kehancuran alam maupun kehancuran budaya akhirnya kehancuran umat manusia itu sendiri. Penyadaran demi penyadaran sedang berlangsung. Kini tinggal dari setiap orang di bumi ini untuk mulai menyadari dan mengaktualisasikan kesadaran itu atau tidak. Umat manusia masih bisa terselamatkan dari kehancuran dan keselamatan itu dan upaya penyelamatan itu tidak dapat diharapkan datang dari luar. Harus muncul dari dalam diri manusia itu sendiri
279
280