Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
Prespektif Giddens dalam Pola Relasi Petani Di Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk Syaifullah Al Ayyuby Email:
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini mencoba mengungkapkan bagaimana peranan pola relasi petani dengan aktoraktor ekonomi distributor gabah dalam tata niaga gabah. Permasalahan harga gabah menjadi berita yang sangat sensitive bagi petani. Berbagai macam cara digunakan pemerintah untuk berusaha mengentas dan menaikkan harga gabah di tingkat petani. Mulai dari menentukan Harga Pembelian pemerintah (HPP) agar mampu mendongkrak harga gabah di pasaran, Serap Gabah (Sergab), revitalisasi pertanian hingga bahkan menginstruksikan TNI AD dalam Pertanian dengan harapan merubah pola pikiran petani dan pelaku pasar. Dalam karya ini, penulis menggunakan metode kualitatif untuk dapat menginterpretasi temuan data. Lokasi yang dipilih adalah Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Hal ini dikarenakan posisi letak kecamatan ini cukup strategis selain dari infrastruktur dan tanah yang relative subur untuk pertanian, Kecamatan Rejoso juga dekat dengan gudang Bulog Kedondong. Hasilnya, pemerintah melalui Bulog dengan programnya ternyata masih belum mengangkat tingkat keberhasilan. Upaya swasembada yang di impikan Indonesia masih setengah hati. Struktur pasar sudah berjalan sangat lama, actor-aktor yang terlibat pun sudah cukup familier dengan system tataniaga yang berlaku selama ini. Sosok Sumanto sebagai petani modern memiliki jalan yang relative berbeda. Dari system yang sudah terbentuk rupanya membangkitkan kesadaran diskursif untuk menentang struktur. Melalui informasi yang banyak yang ia dapat, membuatnya memilih jalan untuk melompat dari struktur yang terbentuk oleh distributor-distributor gabah. Anthony Giddens dengan teori strukturasinya, mampu menjelaskan dan member solusi bahwa dalam struktur tata niaga gabah ini untuk merubah pola prilaku actor adalah tidak hanya dengan mengubah struktur. Akan tetapi juga dengan didorong adanya pioneering yang dinamakan agen seperti Sumanto. Di lain sisi, KUD dan satgas Bulog yang dulunya menjadi rational choice petani dalam menjual gabah karena harga yang diberikan cukup stabil kini hilang dominasinya. Memilih menjual kepada tengkulak adalah pilihan rasional agar petani tetap bertahan daripada menjualnya dengan harga dari pemerintah namun penuh ketidakpastian dalam penampungan. Alasan minimnya modal dan juga terbatasnya satuan petugas menjadi alasan klasik untuk membenarkan tindakannya. Adanya perlawanan dari tengkulak dengan system ijon-nya serta turut masuknya dalam kemitraan Bulog adalah upayanya dalam mempertahankan struktur pasar dan menjaga dominasi ekonominya atas petani. Kata Kunci: Politik, Pertanian, Ekonomi Politik, Aktor, Gabah.
147
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
ABSTRACT This essay will try to express how the role of a pattern relation farmers by economic actors distributor of grain in commercial distribution of grain. The problems the price of grain into news that is very sensitive for farmers. Various ways used by government to strive mengentas and raise the grain at the farm gate .Starting from determining the purchasing price of the government (HPP) to be able to boost the price of grain in the market, absorptive grain (sergab), revitalization agricultural to even instructed army in agriculture in the hope of change the pattern of the mind farmers and market players. In this work, the use writers a qualitative methodology to be interpreting the data. Locations is Kecamatan Rejoso, district Nganjuk. It was because this area position is quite strategic instead of infrastructure and relative fertile ground for agriculture, in Rejoso also close to shed Bulog Kedondong. As a result, the government through its program bulog with apparently still not raised the level of success. Self-sufficient efforts to aspire to Indonesia is still half of the heart. The structure of the markets already been very long, The actors involved can already quite familiar with a trading system so system which is valid for this. The figure of Sumanto as farmers modern has a roadway relative different. Of systems that had been formed apparently raise awareness of discursive to oppose the structure. But also by being propelled the pioneering called an agent as Sumanto. On the other side, and logistics KUD task force formerly be rational choice farmers in selling grain because the given stable enough now lost dominasinya. Choose selling to tengkulak is a choice rational so that farmers remain than sell them at from the government yet full of uncertainty in shelters. The lack of capital and also limited a unit of the classic as an excuse to justify their actions. Any resistance from tengkulak with Ijon-system and also the presence in partnership Bulog is his campaign in defending the market structure and keep their dominance of farmers. Keynote: Politics, Agriculture, Ekonomic-Politic, Actors, Rice.
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Dalam konteks pemaknaan ekonomis, pangan tidak lagi berhenti sebagai sekedar materi saja, melainkan sesuatu yang bersifat menguntungkan, yang memberi keuntungan kepada siapa yang menguasainya. Dalam posisinya sebagai barang yang dapat memberi keuntungan, pangan menjadi sebuah komoditas strategis. Ini terjadi karena, pertama-tama, perlakuan dan distribusi atas beras secara terpaksa harus distrukturkan di dalam hukumhukum tata niaga. Bukan saja berlaku hukum supply and demand yang menyebabkan ketersediaan beras menjadi bersifat alamiah dan tidak netral. Tetapi juga tergerogoti oleh nafsu kekuasaan untuk mengontrol sumber-sumber dan prasarana dari proses produksinya. Dalam konteks inilah terlihat dekatnya hubungan antara pangan dan akumulasi kekuasaan politik.1 Hubungan beras dan politik beranjak dari asumsi bahwa seluruh kehidupan manusia hanya dapat secara dramatis diredusir hanya pada perburuan terhadap makanan. 2 Lepas dari berbagai cara, gaya, kebiasaan, serta selera masing-masing kelompok 1
Khudori. “Politik Nasi Megawati”. Koran Tempo, 12 Januari 2004. Ali, Fachry dkk. Beras, Koperasi, dan Politik Orde Baru: Bustanul Arifin 70 Tahun. Jakarta: Sinar Harapan, 1995. 2
148
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
masyarakat, kebutuhan akan pangan merupakan cara paling mendasar untuk mempertahankan hidup. Beras menjadi kebutuhan permanen yang tidak pernah hilang. Oleh karena itu, kecukupan beras menjadi hal yang tidak bisa ditawar: beras harus tersedia setiap saat dalam jumlah cukup, saat panen atau paceklik serta dengan harga yang terjangkau. Sistem tata niaga dari gabah hingga menjadi wujud beras yang diterima oleh konsumen ternyata memiliki alur yang sangat panjang. Alur yang seperti inilah yang rupanya justru berpeluang terciptanya monopoli harga tawar gabah hingga harga jual beras. Jalur tata niaga beras pasca MOU antara IMF dan pemerintah Indonesia menjadi sangat Liberal. Tata niaga beras yang seharusnya dari petani kemudian dijual ke pihak Bulog, untuk kemudian diteruskan dan dikelola oleh distributor/pedagang besar 3 yang selanjutnya kembali di distribusikan ke pedagang eceran hingga sampai ke tangan konsumen, kini menjadi dualitas jalur yang berbeda. Keikutsertaan swasta atau yang sering dibilang tengkulak dalam sistem pasar ini tentu saja memiliki dampak yang cukup signifikan. Pengadaan gabah oleh Bulog atau kebijakan operasi pembelian gabah petani hanya efektif dalam masa Orde Baru, tetapi tidak efektif pada Pasar Bebas dan Pasar Terbuka Terkendali seperti sekarang. Maksudnya, Bulog berperan cukup baik sebagai lembaga stabilitas harga gabah tingkat petani hanya pada masa Orde Baru, dan tidak banyak berperan di masa Pasar Bebas dan Pasar Terbuka Terkendali seperti sekarang ini. Hal yang cukup menarik bahwa peranan Bulog dalam stabilitas harga beras konsumen tidak ada sama sekali. Dalam sistem operasinya, Neo-Liberalisme akan memangkas peran negara. Pada era pemerintahan Suharto, arah kebijakan pembangunan atau yang lebih di kenal dengan developmentalis, sebenarnya sudah bercorak kapitalistik. Serta selama tiga puluh tahun terakhir sudah ada gejala bagaimana sebenarnya pembangunan ekonomi kita memang diarahkan pada kebebasan pasar. Pengenalan Revolusi Hijau oleh William S. Goud (USAID), dipahami sebagai usaha untuk memajukan sektor pertanian. Bahkan secara ekonemo, oleh para penganjur Revolusi Hijau, konsep ini adalah cara cepat membawa ke arah kesejahteraan rakyat.4 Namun hasilnya kini justru malah menjerumuskan kapasitas petani kita. KERANGKA TEORITIK Teori strukturasi yang diulas oleh Giddens adalah jawaban dari perdebatan antara agen dan juga struktur. Giddens mengakui bahwa teori strukturasi yang ia kemukakan merupakan asimilasi dari pengaruh Marxian. Antara strukturalisme dan fungsionalisme pada dasarnya memiliki kemiripan yang cukup jelas sekalipun muncul perdebatan pemaknaan diantara keduanya. Keduanya cenderung mengekspresikan sudut pandang naturalistic dan menuju ke bentuk yang lebih obyektivisme. Strukturalisme dan fungsionalisme menekankan keunggulan keutuhan sosial atas bagian-bagian individualnya (yakni aktor-aktor kostituennya, subyek-subyek manusia). Teori Strukturasi menekankan nahwa praktik sosial yang terjadi berulang-berulang itu yang pada dasarnya adalah sebuah teori yang menghubungkan antara agen dan struktur keduanya. Menurut Giddens antara agen dan struktur seperti dua mata uang 3
Hakekat, Data. “Jalur Tengkulak Beras”. Sabtu 30 Mei 2015. Diakses dari http://.datahakekat.blogspot.co.id/2015/05/jalur-tengkulak-beras.html?m=1, pada 25 Maret 2016 pukul 19.48. 4 Khudori. Kata Pengantar: Dr. H. Husein Sawit. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book.
149
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
logam yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya memiki hubungan dwi rangkap walaupun berbeda sisi tapi tetap saling memiliki hubungan yang erat dan berhubungan. Titik tolak dari analisis Giddens adalah tindakan manusia, aktivitas “bukanlah hasil dari sebuah tindakan yang tiba-tiba langsung saja terjadi oleh actor social, tetapi tercipta secara terus menurus dan diciptakan secara berulang-ulang melalui suatu cara, dan dengan cara itu juga mereka menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor di dalam dan melalui aktivitas mereka, agen menciptakan kondisi yang memungkinkan aktivitas ini berlangsung”. Menurut Giddens aktivitas tidak dihasilkan melalui kesadaran asli, melalui konstruksi tentang realitas, atau tidak diciptakan oleh struktur sosial. Guna menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor, orang sebagai subjek terlibat dalam praktik sosial dan melalui praktik sosial itulah baik kesadaran maupun struktur kemudian diciptakan. Dalam kondisi refleksivitas manusia tak hanya merenungi diri sendiri, tetapi juga terlibat dalam memonitor aliran terus-menerus dari aktivitas dan kondisi structural atau juga dalam Bahasa singkatnya mengalami peubahan-perubahan. Secara umum Giddens mengalami proses dialektika dimana praktik sosial, struktur, dan kesadaran itu diciptakan. Intinya, Giddens menjelaskan masalah agen-struktur secara dengan acuan historis, processual, dan dinamisasi. Banyak peneliti social mempelajari masalah actor dan struktur ini menganggap bahwa tidak hanya aktor saja yang bersifat refleksif, struktur pun demikian. Pemikiranpemikiran ini membawa Giddens untuk gagasa tentang “hermeneutika ganda” yang garis besarnya baik aktor sosial maupun sosiolog menggunakan Bahasa (cara). Aktor sosial menggunakan bahasa untuk menerangkan apa yang mereka kerjakan dan sosiolog menggunakan bahasa untuk menerangkan tindakan yang dilakukan dan dibentuk oleh aktor sosial. Dalam The Constitution of Society, Giddens menekankan peran onterpretasi dan sistem makna dalam hidup manusia. Manusia adalah subjek dan pelaku sebagai dualitas yang saling mendukung. Manusia adalah subjek yang aktif dan kreatif. Giddens menlak pendapat bahwa manusia adalah boneka ciptaan aturan-aturan dan struktur-struktur eksternal. Menurutnya struktur berada diluar individu. Struktur memiliki keberadaan yang sebenarnya dalam pola-pola pikir, berisi aturan-aturan dan sumber-sumber (pengetahuan, kemampuan, dan kecakapan praktis) yang diperoleh seseorang melalui sosialisasi. Struktur sebagai medium dan hasil dari tindakan.5 Menurut teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas kemasyarakatan, melainkan praktik-praktik sosial yang terjadi di sepanjang ruang dan waktu. 6 Aktivitas sosial memiliki tujuan bahwa aktivitas sosial tidak dilaksanakan oleh aktor sosial melainkan secara terus menerus mereka ciptakan melalui alat-alat yang digunakan untuk mengekspresikan dirinya sendiri sebagari aktor. Dalam teori strukturasi, Giddens mengungkapkan agen atau aktor memiliki tiga tingkatan kesadaran: 1. Kesadaran diskursif (discursive consciousness). Yaitu, apa yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentag kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif.
5 6
Sutrisno, Mudji dan Purtanto, Hendar. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 187 Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
150
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
2. Kesadaran praktis (practical consciousness). Yaitu, apa yang aktor diketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial dari tindakannya sendiri. Namum hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara diskursif. Bedanya dengan kasus ketidaksadaran (unconscious) adalah, tidak ada tabir represi yang menutupi kesadaran praktis. 3. Motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives/cognition). Motif lebih merujuk ke potensial bagi tindakan, ketimbang cara (mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar dari tindakantindakan agen sehari-hari tidaklah secara langsung dilandaskan pada motivasi tertentu. Giddens memberikan penekanan terhadap pemaknaan agen. Menurutnya agen mempunyai kemampuan untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan social. Serta agen tidak berarti apa-apa tanpa kekuasaan yang artinya aktor berhenti menjadi agen bila ia kehilangan kemampuan untuk menciptakan pertentangan. Dalam pengertian aktor, Giddens mengakuai adanya paksaan atau pembatas terhadap aktor, tetapi tidak berarti bahwa aktor tidak mempunyai pilihan dan tidak mempunyai peluang untuk membuat pertentangan. Dalam agensi seringkali ada anggapan bahwa agensi manusia hanya bisa ditetapkan berdasarkan maksud-maksud, yang artinya agar sebuah perilaku bisa dianggap sebagai tindakan, siapa pun yang melakukannya harus bermaksud melakukan tindakan itu, jika tidak maka perilaku itu hanyalah sekedar respons reaktif semata. Hal ini didukung oleh fakta bahwa ada sejumlah tindakan yang tidak bisa terjadi kecuali jika si agen memang ingin melakukan tindakan itu. Bentuk refleksif jangkauan pengetahuan pelaku-pelaku/agen-agen manusialah yang paling banyak terlibat dalam penataan rekursif praktek-praktek sosial. Kesinambungan praktek-praktek menduga adanya refleksivitas, namun pada gilirannya refleksivitas itu hanya mungkin terwujud bila ada kesinambungan praktek-praktek yang membuatnya jelas ‘sama’ disepanjang ruang dan waktu. Oleh karena itu, ‘refleksivitas’ hendaknya dipahami tidak hanya sebagai ‘kesadaran diri’ melainkan sebagai sifat arus kehidupan sosial yang sedang berlangsung yang senantiasa dimonitor. Menjadi manusia berarti menjadi agen pelaku bertujuan, yang keduanya memiliki alasan-alasan atas atifitas-aktifitasnya dan mampu, jika diminta untuk menguraikannya secara berulang alasan-alasan itu (termasuk berbohong mengenai alasan-alasan itu). Refleksivitas adalah dasar introspeksi monitoring secara terus menerus terhadap tindakan yang ditampilkan manusia dan juga diharapkan dapat diperlihatkan kepada orang lain. Introspeksi dan mawas diri (reflexsive monitoring of action) tergantung pada rasionalisasi. Aktor-aktor tidak hanya senantiasa memonitor arus aktivitas-aktivitas dan mengharapkan orang lain berbuat yang sama dengan aktifitasnya sendiri, mereka juga secara rutin memonitor aspek-aspek, baik sosial maupun fisik konteks tempat bergerak dirinya sendiri. Rasionalisasi tindakan adalah behwa para aktor juga secara rutin dan kebanyakan tanpa banya percekcokan mempertahankan suatu ‘pemahaman teoritis’ yang terus menerus atas dasar-dasar aktifitasnya. Suatu ontology ruang-waktu sebagai penentu praktek-praktek sosial bersifat mendasar bagi konsepsi strukturasi, dimulai dari temporalitas dan dengan demikian dalam satu pengertian disebut ‘sejarah’. Menurut Giddens tidak ada pembedaan antara kesadaran praktis dan kesadaran diskursif yaitu pembedaan tidak bisa dibelokan. Sebaliknya pembagian antara kedua jenis kesadaran itu bisa diubah oleh banyak aspek sosialisasi dan pengalaman belajar dari agen. Antara kesadaran praktif dan diskursif tidak ada batasan, hanya ada perbedaan-perbedaan
151
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
antara apa yang dapat dikatakan dan apa yang secara khas dapat dilakukan. Ada hambatana-hambatan yang berpusat pada represi, antara kesadaran diskursif dan alam bawah sadar. Giddens menawarkan konsep tersebut sebagai pengganti tri tunggal psikoanalitis Freud. Pemahaman tentang kesadaran praktis ini sangat fundamental bagi teori strukturasi. Struktur dibentuk oleh kesadaran praktis, berupa tindakan berulang-ulang, yang tidak memerlukan proses perenungan (refleksif), dan tidak ada “pengambilan jarak” oleh si agen terhadap struktur. Ketika makin banyak agen mengadopsi cara-cara mapan atau rutinitas keseharian dalam melakukan sesuatu, mereka sebenarnya telah memperkuat tatanan struktur (order). Perubahan (change) struktur bisa terjadi jika semakin banyak aktor/agen yang mengadopsi kesadaran diskursif. Yaitu, manakala si agen “mengambil jarak” dari struktur, dan melakukan sesuatu tindakan dengan mencari makna/nilai dari tindakannya tersebut. Hasilnya bisa berupa tindakan yang menyimpang dari rutinitas atau kemapanan, dan praktis telah mengubah struktur tersebut. Perubahan juga bisa terjadi karena konsekuensi dari tindakan, yang hasilnya sebenarnya tidak diniatkan sebelumnya (unintended consequences). Unintended consequences mungkin secara sistematis menjadi umpan balik, ke arah kondisi-kondisi yang tidak diketahui bagi munculnya tindakan-tindakan lain lebih jauh. Dalam kasus unintended consequences ini, bukan adanya atau tidak-adanya niat (intensi) yang penting. Namun, adanya kompetensi atau kapabilitas di pihak si agen untuk melakukan perubahan. Jadi, hal ini sebenarnya berkaitan dengan kuasa atau power. Giddens menekankan pentingnya power, yang merupakan sarana mencapai tujuan, dan karenanya terlibat secara langsung dalam tindakan-tindakan setiap orang. Power adalah kapasitas transformatif seseorang untuk mengubah dunia sosial dan material. KONDISI KOMODITAS SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN NGANJUK Sektor Pertanian merupakan sector dominan yang masih dipertahankan oleh Kabupaten Nganjuk terutama pada pertanian tanaman pangan. Hal ini tercermin pada sumbangan sector ini dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) masih sangat besar bila dibandingkan dengan sector lain seperti perkebunan dan perhutanan. Dinas Pertanian merilis data dari sector pertanian di kabupaten Nganjuk ini dari tahun-ketahun mengalami fluktuatif hasil produksi. Padi dari tahun 2013 ke tahun 2014 ada penurunan dari 5.525.594.95 kwintal turun sekitar 0,3% menjadi 5.508.811.95 kwintal. Sedangkan rata-rata produksi padi sawah adalah 67.25 kw/Ha 55.68 kw/Ha untuk padi tegal/gogo. Tabel Realisai Luas Panen Produktivitas dan Produksi Kabupaten Nganjuk Tahun 2015 PADI No KECAMATAN PANEN PROVITAS PRODUKSI (HA) KW/HA TON 1 Sawahan 60,80 29.190,08 4,801 2 Ngetos 61,52 17.766,98 2,888 3 Berbek 64,85 33.683,09 5,194 4 Loceret 68,57 36.129,53 5,269 5 Pace 68,71 37.172,53 5,410 6 Tanjunganom 69,35 70.508,15 10,167
152
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
70,82 41.613,83 Prambon 5,876 70,42 25.865,27 Nggrogot 3,673 67,61 9.634,43 Kertosono 1,425 66,82 30.396,43 Patianrowo 4,549 70,03 41.625,83 Baron 5,944 66,76 40.783,68 Gondang 6,109 70,45 32.407,00 Sukomoro 4,600 69,83 16.319,27 Nganjuk 2,337 69,47 34.401,54 Bagor 4,952 68,46 22.495,96 Wilangan 3,286 69,27 51.509,17 Rejoso 7,436 61,82 11.319,24 Ngluyu 1,831 64,37 17.836,93 Lengkong 2,771 61,03 17.680,39 Jatikalen 2,897 67,60 618.338,89 JUMLAH 91,415 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Nganjuk 2015
PEMBAHASAN III.1. Keterlibatan Babinsa dalam Mengawasi Program Pendampingan Pertanian Perintah Presiden No.2 Tahun 2015 adalah upaya gebrakan baru oleh Presiden Joko Widodo untuk menargetkan upaya swasembada pangan. Target yang diinginkan adalah mencapai produksi Padi 82 juta ton, Jagung 24,1 juta ton, Kedelai 2,6 juta ton, Gula 3,8 juta ton, Daging Sapi 755,1 ribu ton, Ikan 18,8 juta ton, dan Garam 4,5 juta ton. Akan tetapi dalam tiga tahun pertamanya. Presiden Joko Widodo menargetkan bisa mencapai target swasembada pangan untuk tiga komoditas yaitu Padi, Jagung dan Kedelai. Strategi yang dilakukan adalah membangun jaringan irigasi 1 juta hektar, merehabilitasi 3 juta hektar jaringan irigasi untuk mengembalikan layanan irigasi, beroperasi dan terpeliharanya jaringan irigasi 7,3 juta hektar, membangun 115 ribu hektar jaringan tata air tambak untuk mendukung pengembangan ekonomi maritime dan kelautan, dan membangun 49 waduk baru, tidak cuma itu saja, pemerintah pun membagi pupuk dan benih secara gratis kepada para petani terutama di sentra-sentra produksi padi, jagung dan kedelai. Bahkan pemerintah juga membagikan 1000 hand traktor, combine harvester dan alat penanam padi jajar legowo kepada para petani. Pemerintah juga menyiapkan anggaran Rp 16,9 triliun yang merupakan dana pengalihan subsidi BBM. Namun di tengah pekerjaan besar tersebut, tentu saja ada tantangan di dalam upaya mencapai target swasembada pangan selama tiga tahun tersebut. Dapat kita memahami bahwa waktu tiga tahun bukanlah waktu yang panjang apalagi banyak sekali infrastuktur pertanian yang sudah rusak seperti saluran irigasi, belum lagi persoalan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan sebagai areal permukiman penduduk. Dan yang paling krusial adalah menurunnya tenaga kerja di sektor pertanian yang mulai menganggap bahwa sektor ini kurang menjamin masa depan. 7 Seiring dengan berjalannya program tersebut, Presiden Joko Widodo dan juga Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengajak TNI AD untuk mewujudkan 7
Latief, Aflam. “Babinsa TNI-AD Bukan Penyuluh Pertanian” Minggu, 13 April 2016. Diakses dari http://kodim1402.kodam-wirabuana.mil.id/ 10 Juni 2016 pukul 05.44
153
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
program swasembada pangan yang diwujudkan dalam nota kesepahaman yang ditandatangani oleh Mentan bersama KSAD Jendral TNI Gatot Nurmayanto pada 07 Januari 2015. Kesepakatan ini adalah wujud responsive akan kekhawatiran yang dihadapi pemerintah Indonesia mengapa swasembada yang dimotori oleh Revitalisasi Pertanian dan juga pewujudan swasembada pangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak juga kunjung terwujud. Guna menyelesaikan masalah tersebut, swasembada pangan diharapkan dapat terjadi pada 3 tahun ke depan dan TNI AD menyiapkan seluruh kekuatan termasuk Babinsa TNI AD di seluruh Indonesia guna mendukung program tersebut. Keterlibatan TNI AD melalui Babinsa dalam ketahanan pangan memang bukan hanya baru-baru ini saja dilaksanakan. Sebelumnya mereka juga memiliki program pendampingan dalam membantu petani-petani di desa. Babinsa ini memiliki kewajiban melaporkan Data Teritorial yang ada di desa binaannya serta menjaga agar desa tetap dalam kondisi yang aman. Melalui program partnership ini merupaka suatu trobosan baru yang dianggap mampu mempercepat tujuan swasembada pangan. Namun tugas yang diemban mereka tidak lebih adalah sebagai pendamping yang mengawasi distribusi pupuk dan bibit agar bisa sampai ke tangan petani tepat sasaran dan tepat waktu. Selain itu juga, mereka dilatih untuk dapat mengerti tentang komponen-komponen yang mampu menunjang keberhasilan ketahanan pangan dan bercocok tanam. Berikut ulasan yang diberikan oleh bapak Muljoko selaku Danramil Candirejo. “jadi begini… mulai dari tahun 2000 yang lalu mas ya. Ini memang untuk diketahui saja. TNI ini secara umum seluruh Indonesia perintah dari presiden yang MOU dengan TNI yak an gitu, melaksanakan swasembada pangan. Swasebada menyeluruh, perkiraannya tahun 2015, 206, 2017 selesai 3 tahun. Dalam rangka upaya swasembada pangan dianggap selesai dan dianggap lunas begitu. Dalam era eee pak Presiden Jokowi menggandeng TNI. Awalnya bukan ke Bulognya (dari pertanyaan mengapa ada babinsa jaga di gudang bulog Candirejo), awalnya ke masalah pertaniannya. Sebenarnya pertanian, kalau bulog ini bukan karena di Bulog, karena nanti rangkaiannya ke Bulog yang MOU-annya itu di pertanian. Sehingga kita bekerjasama dengan pertanian artinya kita sebagai pendamping dipertanian bukan sebagai mengalih PPL tidak, bukan mengambil alih tugas TNI eh Pertanian. Kita ini pendamping dari pertanian, mendampingi eh kalau misalnya dari pemerintah sana sudah… sudah ehh bekerja sama sama PT pembuat pabrik pupuk begitu ya didrop sekian, sekian, sekian, tidak ada yang kurang supaya tidak diselewengkan……. Istilahnya tidak ada petani yang terlambat pupuk.” Dari penejelasan yang diungkap oleh beliau, memang terlihat dari peranan Babinsa ini berbeda seperti yang dikhawatirkan dari berbagai pihak tentang romantisme masa orde baru. Babinsa TNI AD diharap menjadi ujung tombak dalam fungsinya sebagai pengaman dan juga sebagai solutor dibidang pertanian. Namun tugasnya hanya sebagai pendamping untuk membantu petani agar kapasitas produksinya meningkat bukan sebagai pengganti lembaga penyuluh pertanian. Babinsa dibekali oleh pemerintah dengan beberapa alat pertanian seperti mesin tanam dan traktor ketika ada masalah di kelompok tani ketika ada sumbangan bantuan tenaga mesin tidak difungsikan dengan baik atau dengan kata lain ada upaya kepemilikan hak milik alat oleh ketua kelompok tani sehingga petani lain tidak dapat menggunakannya. Dari hasil observasi, disekitar markas koramil memang ada segelintir mesin pertanian seperti mesin tanam dan juga tractor yang siap digunakan ketika memang benarbenar dibutuhkan.
154
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
“......sampai-sampai pemerintah memberikan kepercayaan kepada TNI Mas, eh pemerintah itu membantu diberi apa, diberi bantuan kepada traktor, itu saya ada (sambil menunjuk ke belakang) punya. Itu kita berikan kepada masyarakat, gawenen iyo gawenen pakek silahkan. Bukan cuma traktor gini saja, traktor yang besar itu roda 4 itu eskafator itu punya, diberi dari pemerintah untuk membantu petani barangkali membuat pengairan daripada nyangkul. Itu kita punya sampai pompa air disel itu kita punya, cuma diberikan ke koramil-koramil lalu kita bantukan ke kelompok tani yang mana yang perlu bantuan. ……. Semua gentian cuma biayanya cari operator dan beli solarnya itu jadi tanggungan petani kan gitu Mas.” Secara keseluruhan, tentang tugas dan fungsi Babinsa TNI AD sebagai berikut menurut sumber: 1. Mengikuti dan atau melakukan sosialisasi untuk menyamakan persepsi bagi para pelaku dan pemangku kepentingan tentang pengawalan dan pendampingan terpadu penyuluh dan Babinsa. 2. Mengikuti Diklat teknis (jika dapat penugasan) bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dalam memfasilitasi pengawalan dan pendampingan kepada petani/penerima manfaat agar mampu menerapkan teknologi yang direkomendasikan. Selain penyuluh dan THL-TBPP, penyuluh swadaya dan Babinsa juga akan mendapat pelatihan, tentunya dengan kurikulum yang berbeda. 3. Meningkatkan Koordinasi Pelaksanaan Pengawalan dan Pendampingan di setiap tingkatan. Kegiatan Koordinasi Pelaksanaan Pengawalan dan Pendampingan dimaksudkan untuk membangun persamaan persepsi, meningkatkan koordinasi, integrasi, dan sinergitas antar lembaga/instansi yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan pencapaian swasembada berkelanjutan. 4. Menyiapkan Calon Petani Calon Lokasi (CP/CL). Kegiatan ini dilakukan secara terpadu oleh penyuluh, mantri tani/UPTD dan Babinsa dengan ruang Iingkup kegiatan di antaranya: a. Mengecek ulang persyaratan kelompok penerima manfaat (potensi kenaikan IP, luas lahan dan berada dalam daerah irigasi), b. pemberkasan administrasi bantuan di tingkat kelompok (RUKK), c. Penyusunan rencana pelaksanaan kegiatan. 5. Memfasilitasi Penyusunan, RDK/RDKK. Format dan tahapan pelaksanaan penyusunan RDK/RDKK mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 82/Permentan/OT.140/8/2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani. 6. Pengawalan dan Pengamanan Penyaluran Benih, Pupuk dan Alsintan. Pengawalan dan pengamanan penyaluran benih, pupuk dan alsintan dikoordinasikan oleh Babinsa bersama mantri tani/kepala UPTD dan penyuluh pertanian, dengan kegiatan, yaitu: a. Validasi ulang penerima manfaat (nama Poktan/P3A/Gapoktan/GP3A, alamat dan jenis bantuan yang dialokasikan); b) Koordinasi dengan dinas yang menangani pertanian di kabupaten tentang jenis, jumlah dan waktu penyaluran benih, pupuk dan alsintan; c) Mengawasi pelaksanaan penyaluran di lokasi titik bagi; d) Meneliti kebenaran berita acara penyaluran benih, pupuk dan alsintan. 7. Menggerakkan Tanam Serentak. Kegiatan ini bertujuan untuk: a. Mempermudah pemberantasan hama; b. Mengurangi resiko kehilangan hasil akibat serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT); c. Memutus siklus organisme pengganggu tanaman dan menghemat penggunaan air.
155
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
8. Menggerakkan Pengamanan, Perbaikan Jaringan Irigasi. Babinsa mengkoordinasikan pelaksanaan gerakan perbaikan jaringan irigasi tersier dibantu oleh penyuluh. 9. Menggerakkan Pengamanan Pertanaman dari serangan OPT. Gerakan Pengamanan Pertanaman dari Serangan OPT secara teknis dikoordinasikan oleh Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT) dan penyuluh. Khusus untuk gerakan yang melibatkan masyarakat maka kegiatan mobilisasi dikoordinasikan oleh Babinsa yang dibantu oleh petugas PPL. 10. Mendiseminasi Informasi dan Teknologi Pertanian. Pelaksanaan diseminasi informasi dan teknologi pertanian disinergikan dengan kegiatan latihan di BP3K, kunjungan penyuluh di kelompoktani, rembug tani, kursus tani, demfarm dan hari temu lapangan/farm field day. 11. Melaksanakan Kursus Tani. Kegiatan kursus tani dikoordinasikan oleh penyuluh pertanian dibantu penyuluh swadaya dan Babinsa. Waktu pelaksanaan kursus tani disesuaikan dengan jadwal dan materi yang telah disepakati dan disinergikan dengan kunjungan penyuluh ke kelompoktani/P3A/gapoktan/GP3A. 12. Menggerakkan Panen dan Pengamanan Hasil. Gerakan panen dan pengamanan hasil secara teknis dikoordinasikan oleh penyuluh pertanian yang mencakup: a. Penetapan lokasi dan luasan panen, b. Teknik panen yang akan dilaksanakan, c. Persiapan lokasi ubinan, d. Persiapan penggunaan mesin panen apabila akan mengadakan demonstrasi dengan menggunakan mesin combine harvester, Penyiapan pengangkutan, perontokan, penjemuran dan penyimpanan. Khusus untuk pengamanan hasil panen yaitu keamanan dalam penyimpanan, transportasi dari sawah menuju rumah petani/gudang dikoordinasikan oleh Babinsa. 13. Mengembangkan Jejaring dan Kemitraan Usaha. Pengembangan jejaring dan kemitraan usaha dikoordinasikan oleh penyuluh pertanian dibantu oleh mahasiswa dengan pelaku usaha yang memiliki tujuan untuk mengembangkan usaha bersama para petani dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. 14. Melaporkan Kegiatan Pendampingan Kepada Kepala Balai Penyuluhan Kecamatan/KCD (untuk penyuluh yang mengawal di desa). Tugas diatas kemudian semakin diperjelas dengan opini Muljoko bahwa TNI hanya sebatan mengawasi dan membantu melalui kutiban berikut: “jadi TNI itu tidak memaksa mereka harus menjual ke Bulog. Tidak ada keharusan, tapi mereka mbok yo ngerti bagi mereka yang mendapatkan bantuan, dan mereka sudah disosialisasikan pupuk, benih dibantu sama pemerintah dan obat-obatan sampai gratis. Ada hama kita laporkan ke dinas dapat bantuan, ada kurang pupuk kita calling terus ada bantuan. Nah kalau sudah kaya begitu kalau mereka tidak ragat? Kalau mereka harus jual lagi ke tengkulak itu namanya mereka nggak tahu diri. Walaupun harga tengkulak lebih mahal sedikit dari pembelian Bulog.” Jika dikaitkan dengan topik permasalah, gabah dari petani memang sebagian diserap oleh bulog melalui program sergab yang bermitra dengan Babinsa. Ketika panen raya, ada upaya dari TNI untuk membantu petani dalam mendistribusikan hasil produksinya untuk dijual ke Bulog dengan Harga maksimum Rp. 3600,- sesuai Inpres No.5 Tahun 2015 untuk gabah dengan kadar air 15% atau masih basah atau bahkan dengan harga yang lebih murah dari harga tersebut. Posisi Babinsa disini memang tidak dapat memaksa untuk mempengaruhi rational choice petani kemana hasilnya akan dijual. Sementara di lain pihak seolah Bulog juga memiliki alasan untuk tidak membeli seluruh
156
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
gabah dengan alasan keterbatasan modal dan juga tidak ada instruksi dari Kadivre SubDolog untuk melakukan serap gabah melebihi jumlah yang sudah ditargetkan. Alhasil tengkulaklah yang kembali merebut hati petani untuk mau memberikan gabahnya dibeli oleh mereka dengan harga yang sedikit lebih mahal. Permasalahan antara jaringan-jaringan yang terbentuk dalam tata niaga beras ini memang sungguh rumit untuk dijelaskan. Me-Neoliberalkan jalur tata niaga ini memiliki dampak yang cukup tidak karuan. Bulog sebagai perum yang wajib harus mencari keuntungan-pun ada kemungkinan menjual beras-beras petani yang sudah dibeli untuk dioper ke distributor dengan harga mahal. Walaupun ketika kepala gudang Bulog sebagai ujung informasi ini masih bungkam tentang kemana beras-beras dari gudang ini didistribusikan, namun jawaban menarik diungkap oleh Danramil yang memperoleh informasi dari anak buahnya yang juga ditempatkan di Sub gudang Bulog sebagai berikut: “iya mendampingi, dari petani. Jadi ada yang dari sawah langsung, nanti kira-kita 2 bulan lagi 1 bulan setengah lagi boleh main ke nganjuk begitu ada panen raya itu tentara buwanyak di sisi sawah. Mari-mari dikumpulkan, panen dikumpulkan Bulog datang. Kita sudah calling Bulog tanggal sekian ini misalnya di desa A, panen kapan? Saya kordinir mau panen kumpulkan, siang kita sudah calling Bulog, datangkan harga sekian beli sudah. Nanti kan diolah juga berasnya, nah nanti keluar tidaknya beras itu apa kata pemerintah juga jadi ini untu raskin sekian ratus ton, ini untuk diperbantukan, ini untuk perusahaan sekian dan lain-lain saya kurang tahu, ini dipasarkan ini untuk konsumsi dan lain sebagainya.” Memang sedikit memberikan arti yang multitafsir, namun adanya kemungkinan dari Bulog sendiri untuk mendistribusikan berasnya ke distributor pengolahan beras juga menjadi kenyataan. Memang tidak menjadi masalah, namun dalam penelitian ini menandakan bahwa Bulog merupakan salah satu jaringan actor yang terbentuk dalam tata niaga beras. Bulog disini memerankan dua peranan yaitu sebagai ketahanan pangan dan penstabil harga kala terjadi gejolak lejitan harga beras di pasaran karena peranannya dibawah tuntutan pemerintah, dilain sisi dia juga memainkan peran untuk mencari keuntungan layaknya swasta-swasta pada umumnya. Pada tahun 2015 terjadi perubahan harga dasar atau HPP. Dari Januari hingga Februari 2015, HPP masih menggunakan Inpres RI No. 3 Tahun 2012. Dan mulai Maret 2015, HPP berpedoman pada Inpres RI No. 5 tahun 2015. Tabel berikut menunjukkan perubahan HPP yang telah ditetapkan oleh Inpres. Tabel III. 1 Perubahan Harga Gabah Kualitas Januari - Februari 2015 Maret 2015 Gabah HPP HPP HPP HPP Tingkat Tingkat Tingkat Tingkat Petani Penggiling Petani Penggiling Gabah Kering Rp 4150,Rp 4600,Giling /Kg /Kg Gabah Kering Rp 3300,- Rp 3350,Rp ,Rp 3750,Panen /Kg /Kg /Kg3700 /Kg Sumber: Inpres No. 3 Tahun 2012 dan Inpres No. 5 tahun 2015
157
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
Bentuk struktur yang tercipta dalam tata niaga pertanian ini tidak dibentuk begitu saja secara sekilas. Kedekatan hubungan antara petani dengan para pemilik usaha pengolaan padi dan pemilik modal sudah lama terjadi. Rutinitas kegiatan tersebut yang selalu berulanglah yang kemudian struktur tata niaga ini semakin kokoh dan erat dalam bekerja. Sebanarnya tidak ada masalah dalam mekanisme ekonomi, namun problematikanya adalah tidak ada jaminan akankah produksi gabah bisa dibayar dengan harga yang relative stabil dengan range yang tidak jauh pula dari harga beras di pasaran yang cukup tinggi. Inpres No. 5 Tahun 2015 ini memang menjadi acuan bagaimana pemerintah menetapkan harga tawar yang sesuai dengan hasil produksi petani. Namun selama menjalankan system pasar yang liberal, maka pasar pun akan menciptakan sendiri bagaimana posisi tawar mereka terhadap petani dengan caranya. Dari data yang diulas oleh BPS menemukan beberapa adanya laporan tentang pembelian dibawah HPP sebagai berikut. Tabel III. 2 Jumlah Kasus Harga Gabah di Bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Gabah Kering Gabah Panen Panen Tingkat Kering Tingkat Penggilingan Giling Petani Tahun/Bula n Jumla Jumlah Jumlah h Observ (%) Observ (%) (%) Obser asi asi vasi 20 Januari 584 0.00 584 0.00 131 0.00 16 Februar 625 0.00 625 0.00 153 0.00 i 11.0 Maret 791 791 11.13 112 7.14 0 10.3 April 1,268 1,268 11.20 116 0.00 3 Mei 788 1.02 788 1.02 118 0.00 Juni 732 0.14 732 0.4 114 7.9 20 15
Januari
667
0.00
667
0.00
98
0.00
Februar i
738
0.00
738
0.00
135
0.00
Maret
1,036
1,036
11.78
118
April
1,536
1,536
22.92
90
Mei
919
5.55
919
4.13
125
Juni Juli
691 949
0.87 0.00
691 949
0.87 0.00
137 117
11.2 0 23.2 4
11.8 6 16.6 7 15.2 0 4.38 5.98
158
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
Agustu 1,165 0.34 1,165 0.34 86 5.81 s Septem 945 0.63 945 0.00 137 0.00 ber Oktobe 928 0.00 928 0.00 148 3.38 r Novem 909 0.00 909 0.00 180 0.00 ber Desem 815 0.00 815 0.00 146 0.00 ber Sumber: BPS Indonesia 2016 Semenjak diberlakukannya Impres No. 5 Tahun 2015 ini menunjukkan adanya penurunan di beberapa bulan nonproduktif pertanian karena memang kondisinya dalam masa tanam. Namun jika dilihat dari musim panen laporan pembelian dibawah seolah melejit tinggi. Memang tidak bisa di pungkiri bahwa hukum supply and demand menjadi acuan yang cukup teoritis dalam menilai harga barang disamping harga produksi. Tapi gabah dan beras adalah kebutuhan yang sangat penting dan pasti dibutuhkan publik. Tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa penetapan HPP yang diinstruksikan oleh presiden itu bisa mendongkrak harga pembelian di tingkat tengkulak. Harapan dengan penetapan harga minimum pemerintah itu menjadi isapan jempol belaka. Bulog tidak mampu menampung seluruh gabah petani dengan alibi keterbatasan modal. Di lain pihak, petani pun juga membutuhkan suntikan dana yang cepat untuk mempersiapkan masa tanam berikutnya. Alhasil kesempatan inilah yang menjadikan tengkulak menjadi rational choice petani. Sebenarnya kalau kita menarik sedikit ke belakang ada actor penting yang dapat mengambil peran untuk menjaga stabilitas harga gabah dan beras petani. Satgas Dolog dan juga KUD yang memiliki kedekatan ekstra dengan petani. KUD yang dimiliki oleh setiap desa bisa menjadi pilihan petani dalam menjual gabahnya dibandingkan dengan tengkulak maupun penebas. Hal ini diungkap oleh seorang petani bernama Suhandoko dan Paniran dari Ds. Mojorembun. “Njual gabah teng tengkulak tengkulak, nek adol sekawan ewu….. rugi okeh to mas…… kalau KUD berfungsi nggeh sae nyaingi tengkulak to mas, kalau harganya sama pasti dikasih KUD nah kalau kacek yo di kekno tengkulak. Jane tiap deso niku wonten mas kantor KUD, gudang KUD wonten sedoyo tapi nyatanya kosong” Peran KUD yang hilang kini sebagai actor menjadikan tengkulak primadona petani untuk menjual gabahnya. KUD dirasa petani mampu menjaga harga dibandingkan dengan tengkulak. Namun kini KUD justru mati suri, dari beberapa desa seperti di Ds. Ngadiboyo, Ds. Talun, Ds. Mojorembun mengisyaratkan bahwa keberadaan KUD sudah tidak ada. Penampung yang lebih dekat di kecamatan ini adalah di beberapa penggiling besar yang dimiliki oleh Bu Noh dan Imorudin. Tabel III. 3 Rata-Rata Harga Gabah Menurut Kualitas, Komponen Mutu dan HPP di Tingkat Provinsi
159
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
Sumber: Publikasi BPS Indonesia 2015 Di tingkat penggiling harga memang lebih sedikit mahal karena bentuk gabah yang sudah sedikit susut kadar airnya. Menurut Bu Noh juga memang tidak semua mampu beliau tampung karena juga memerlukan modal yang besar pula. Beliau membeli sedikit lebih mahal pada GKG karena tak perlu lagi menjemur gabah. Keterbatasan inilah yang kemudian masih menguatkan opini bahwa tengkulak dan penebas masih menjadi primadona walau harganya sedikit bermain. Menurut Paniran: “pernah nego tapi tetep kalah, gimana wong harga di patok. Harga wes segini, petani mung yo ngene tok. Yo jatuh ya pernah berhasil ya pernah, tapi tahun-tahun ini yo jatuh mas” Menurut beliau yang bertani di Ds. Mojorembun bahwa tengkulak lebih sering menjadi sasaran penjualan gabah mereka saat panen. Beliau tidak menjual ke penggiling karena butuh waktu untuk menjemur dan juga biaya untuk mengirim gabah ke tempat penggilingan. Sebagai petani tradisional, menjual saat panen saja dirasa sudah sangat cukup memuaskan. Jika harga sedang turun pilihannya hanya ada dua, menunda penjualan atau menjual sebagian. KUD di desanya dibuka setelah 4 bulan masa panen, hal ini tentu saja berimplikasi pada gabah yang beliau simpan. Jika tidak segera di kupas kulit maka gabah tersebut akan melapuk dan membusuk. Sementara Satgas Dolog yang menggembor-gemborkan serap gabah hanyalah isu belaka. Walaupun menurut Danramil Muljoko, Babinsa selalu mendampingi dalam masa panen agar harga gabah tidak anjlog hanyha berlaku pada pembelian Bulog bukan pada tengkulak. “endi hayo lek bulog nyerang-nyerang deso-deso yo ra ene, nek sabene niku tahun tahun disek wonten….” Alhamdulillah kalau di tingkat penggiling harganya tinggi penggiling tapi nggak banyak” Menurut Suhandoko. Tabel III. 4 Rata-Rata Harga Gabah Menurut Kualitas, Komponen Mutu dan HPP di Tingkat Penggiling
160
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
Sumber: Sub Direktorat Statistik Harga Produsen-BPS Bukti statistic yang dikeluarkan oleh BPS ini di beberapa lapangan sangat berbeda. Hal ini dikarenakan bahwa para pembeli gabah bermain spekulasi dalam menawar. Kemampuan mereka dalam menaksir nilai yang pantas dari jumlah perkiraan berapa kwintal yang akan mereka dapat dari sepetak tanah petani. Bermainnya pukul rata dalam pembelian ini akhirnya member keuntungan pada pembelinya. Jika hasilnya baik maka perolehan keuntungannya dalam wujud beras akan sedikit lebih mahal sesuai dengan klasifikasi varietas beras di pasaran. Tabel III. 5 Rata-rata Harga Jual Gabah Petani 2000-2014 di Pasar Tingkat Petani Tingkat Penggilingan Tahu Kelompok Kualitas Kelompok Kualitas HPP HP n Renda Renda GK GK P GKG GKP GKG GKP h h G P 1371.9 2000 1351.6 981.52 905.03 998.63 923.49 1230 1700 2 1438.0 1105.6 1467.1 1127.3 1008.9 2001 984.37 1230 1700 2 1 4 1 8 1558.1 1089.0 1580.5 1224.7 1120.3 2002 1202.3 1700 1230 8 1 8 1 5 1204.8 1110.9 1629.3 1229.8 1136.5 2003 1604.8 1700 1230 9 9 2 9 9 1562.6 1200.7 1063.2 1590.7 1232.6 1094.9 2004 1700 1230 6 2 7 7 3 4 2005 1784.8 1498.1 1273.4 1813.5 1537.4 1310.2 1740 1330
161
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
5 2377.2 3 2650.8 1 2811.9 5 2987.2 2 3547.9 3 4046.0 3 4463.0 4 4592.5
2 2016.6 4 2315.5 9 2438.1 1 2687.5 9 3096.5 2 3543.4 2 3891.9 9 3962.7 8 4268.0 5
5 1699.1
-
2083.9 5 2090.3 1 2340.0 4
200 0 220 0 240 0 264 0 264 0 330 0 330 0 330 0
2677.2 3024.0 2 3459.1 3556.4 3 3693.5 4
6 2417.6 4 2707.8 2869.1 3048.7 3614.2 9 4118.2 8 4541.7 1 4671.5 5 4846.9 5
1 2063.3 7 2366.2 7 2493.1 3 2745.0 6 3162.1 5 3605.8 6 3963.0 8 4036.6 7 4347.0 5
9 1748.8 2 2135.8 5 2144.7 7 2399.8 9 2745.4 6 3096.0 9 3528.3 3630.0 7 3774.5 3
2250
1730
2575
2035
2800
2240
3000
2440
3300
2685
3300
2685
4150
3350
4150
3350
4766.5 4150 3350 8 Sumber: BPS 2015 Dari penjelasan diatas tentang ekonomi pasar gabah kini dapat dilihat bahwa ada struktur yang tercipta dalam pasar gabah. Actor ekonomi dalam distribusi tersebut memiliki masing-masing kelebihan. Gabah itu mau diserahkan tengkulak besar atau kecil, penggiling atau penebas, Bulog atau KUD. Pola relasi petani seringkali berkutat pada actor actor ekonomi tersebut berlaku pada petani tradisional. 2014
Gambar III. 1 Bagan Distribusi Beras di Kabupaten Nganjuk
162
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
Dari table tersebut dari strata yang paling bawah adalah kedekatan petani dengan tengkulak kecil dengan satgas Bulog. Namun di lain sisi tengkulak besar pun nyatanya ikut dalam proses perebutan untuk memperoleh gabah dari petani secara langsung. Perlu diketahui, bahwa kebanyakan dari tingkat ini hasil produksi yang dijual adalah masih dalam bentuk GKP. Biasanya proses terjadinya penawaran secara langsung bertatap muka antara petani dan tengkulak di sawah. Sedangkan satgas Bulog hanya turun ketika ada datangnya musim panen saja walau tidak menyerap seluruh gabah di petani. “pun dadi gabah, hla pas panen baru di dol. Tengkulak sekitar daerah mriki mawon. Hla wong di dol teng nggene Bulog regane rendah kok. Wes petani niku rugi bulog tukune rendah padahal didol teng nggene tengkulak local ae wes rugi. Yo biasane 3000-3200 teng Bulog…. Tengkulak bisa 3.800 4.000….. pernah anjlog walah.. sampe 1000-1500. Gabah niku anjlog e 200 rupiyah sampek 3 kali nggak abis, aa petani mek begini.” “Kalau panen, kadang-kadang ada tengkulak lewat dipanggil, di jual nggak? Harganya segini, barengnya bagus nggak? Yo deloken elek po apik. Harga iku yo ndelok apik ora e barang misal e apik yo mundak titik misal e 3000 iso dadi 3100 lek jelek yo 2900. Iyo harga basah belum kering, yo petani mung seperti saya ini kan sedikit toh klo mau ngeringin pake layar (terpal). Ada yang nyimpan tapi untuk makan sendiri.” Cuplikan tersebut adalah opini dari wawancara dengan petani di sekitar kecamatan Rejoso yang membenarkan bahwa kebanyakan dari petani lebih memilih menjual gabahnya ke tengkulak. Gabah di tangan tengkulak memang naik turun dari mulai Rp 2800,- hingga Rp 4000,-/Kg. Selipun harga di tangan tengkulak anjlog yang mereka sendiri tidak tahu sebabnya, mereka akhirnya juga akan tetap memilih menjual ke tengkulak karena faktanya Bulog-pun tidak pernah mereka temui di lapangan. “kenyataan e nggak enek mas, endi bulog ono nyerang-nyerang deso. Lek sabene tahun-tahun ndisek ono, KUD masih berfungsi..Lek KUD wonten nggeh sae soale nyaingi tengkulak to mas. Kalau harganya sama petani pasti
163
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
dikekno KUD mas lek kacek yo dikekno tengkulak. Padahal jan e tiap deso niku kantor KUD tapi sakniki kosong. “dulu pernah jual ke KUD, dulu saya masih kecil. KUD sama penggiling iku belinya sama pernah, mahal KUD pernah. Jaman dulu kacek 100 rupiyah tahun 85-87. Yo makmur dulu waktu saya masih joko. Faktanya para petani miskin ini masih merindukan adanya KUD yang dulu sempat menjadi ujung tombak swasembada beras. Mereka menganggap bahwa keberadaan tengkulak sekarang ini justru membuat mereka semakin sengsara. Posisi tawar mereka terhadap tengkulak pun sangat rendah. Tengkulak kecil, tengkulak besar sudah mematok harga sehingga negosiasi hanya seputar tingkat barang kualitas barang saja yang berbeda Rp 100,-. Sementara Bulog memanfaatkan moment dengan membeli GKP mereka dengan harga yang dirasa jauh dari tengkulak yang menjadikan tidak seimbang antara kerja keras mereka dengan harga tawarnya. “pernah nego karo tengkulak tapi harga wes di patok e mas dadi raiso nawar. Tapi tahun tahun ini kebanyakan jatuh. Beras iku nggak tau mas kemana… tengkulak kecil ya ada tengkulak besar yo ada…. Yo kadangkadang tengkulak besar turun ke lapangan yo ada. Alah harga e yo sama wong tengkulak kecil masuk e yok e tengkulak besar. Tengkulak besar malah sakngisore tengkulak kecil… iya tengkulak kecil dikasih harga upah. Misal e tengkulak besar 3000 tengkulak kecil 2800 punya keutungan 200. Kalau masuk nggak wani diatas tengkulak kecil tengkulak besar. “yo nggak adil, jaman pak harto kuia nu mas Pelita iki makmur, beras kerja imbang, harga jual juga tinggi dan beras g mahal. Sejatine yo imbang…. Bulog iku nggak pernah nek di sini mbuh nek di sana-sana.” Kondisi ini akan sangat berbeda dengan petani modern yang dapat melejit langsung ke tangan konsumen entah itu ke rumah makan ataupun distributor. Sekalipun hasil tanam mereka tidak banyak tapi mereka selalu mengusahakan untuk menjaga kualitas produksi tanam mereka. Petani modern ini saya temukan di daerah Desa Talun. Sekalipun didekatnya terlihat ada tempat penggilingan beliau tidak memilih menjual hasil panennya ke tengkulak maupun penggiling. Berikut opini dari Sumanto: “Iya pernah dulu ke tengulak karena kebutuhan, itu tadi misalnya pupuk pinjam waktunya bayar akhirnya dijual murah-murah” “Ada juga yang jual masih dalam bentuk padi berdiri, atau ijon” “Banyak tengkulak sampe dari Jember, Banyuwangi situ penggilingan padi yang besar. Itu kan dia beli dari penebas terus di jemur terus dijual beras terus tengkulaknya di oper ke Bulog……Kalau di jual ke tengkulak kurang hasil, ya dulu pernah Cuma di distributor juga kurang hasil, Kan enak sekam di jual sendiri terus katulnya bisa dipake pakan ternak atau dijual.” Beliau memilih untuk menjual ke tengkulak karena memang kurang hasil sementara kalau beliau bisa mampu mencapai pasar dirasa mendapat profit yang cukup baik. Sumanto ini adalah salah seorang petani yang tergolong dalam Petani Tanah karena kepemilikan lahannya sendiri walau dalam mengelola masih mengandalkan buruh. Akan tetapi paling tidak di posisi yang seperti ini posisi tawar mereka dalam menjual hasil produksi kala mampu menjaring relasi dengan pihak-pihak diluar tata niaga ini secara langsung. “Dulu belajar, kadang warungnya tahu dari temannya terus kadang beli nasi sambil menawarkan. Kalau dijual? Beras e di jual di took-toko warungwarung, kalau di jual di took selisih e karo warung yo sekitar 200-150
164
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
minimal 100. Jualnya ya ke warung makan…..belum pernah menjual ke distributor, Distributor belinya 74. Jual kalo di toko kecil itu bisa 77 nanti kalau ke warung 79. Kan dari took ke warung ambil untung 500. Kan untung mas kalau langsung jual ke toko.” “Kalau jual gabah, aku sendiri bisa 4700, saya telponkan satu truk untuk njual nanti pecah kulit nanti masuk ke supermarket Cuma kirimnya ke Banyuwangi” Ada hal menarik yang dikutib dari Sumanto selaku petani modern yang membenarkan bahwa adanya kemitraan tersebut tidak memiliki imbas dari posisi tawar petani menjadi naik yang justru semakin anjlog. Jaman mbah Harto sama sekarang itu lain. Jaman pak harto dulu kan kalau Bulog terus pupuk itu kan di sediakan semua harga gabah tidak terlalu menurun kalau sekarang kan enggak, dikuasai distributor. Jadi Bulog nggak mau turun ke lapangan nanti Bulog minta sesorang, la seseorang itu sendiri nggak memilih. Sepengamatan saya loh ya, beras ini itu dijadikan satu. Kalau tidak memenuhi syarat ada kopi-kopi masuk. Rusaknya kan disitu, beras yang nggak layak untuk raskin. Beras yang diturunkan yang nggak layak yak arena itu tadi. Apabila barangnya tidak memenuhi syarat, nah yang jaga bulog itu kan perlu kopi semua akhirnya kan masuk akhirnya jadi raskin berasnya nggak layak” “kalau Bulognya saya percaya tapi kalau orang-orangnya saya nggak percaya, mereka kan butuh kopi butuh makan. Bulog kan nggak mau dari petani langsung maunya dari distributor kan kalo distributor mau memberi kopi-kopi. Nanti lain dari petani selain dari petani ananti takut ketahuan kalo ketahuan ngasih. Rekanan kan ya yang itu itu saja yang mau ngasih kopi” Jadi kalau dilihat dari diskusi teoritis selama ini, struktur yang tercipta ini sudah lama terbentuk dan dilakukan secara relativitas atau berulang. Hasilnya menjadikan pola relasi petani sudah terikat sangat lama dengan actor ekonomi distributor gabah baik itu tengkulak, penggiling, penebas, aparat pemerintahan desa dan juga bulog. Tiap terjadi panen raya, terlihat rutinitas tengkulak hilir mudik mencoba menawar padi langsung ke petani. Begitu juga petani dalam menjual menggunakan azas untung dan tidak menguntungkan serta mendesak atau tidak mendesak untu memilih dikemanakan gabah tersebut. Keinginan pemerintah dalam merevitaisasi pertanian mulai muncul sejak jaman Presiden Susiolo bambang Yudhoyon yang kemudian kini dilanjutkan dengan impian swasembada beras oleh pemerintah Presiden Joko Widodo. Melalui penetapan Impress No. 5 Tahun 2015, pemerintah menetapkan HPP yang baru, diharapkan mampu memancing pasar gabah di tingkat petani untuk naik. Di sisi lain upaya ini adalah cara yang dianggap mampu mengubah pola piker petani untuk mau menjual gabahnya kepada pemerintah melalui Bulog. Dari cara ini terlihat bahwa pemerintah menggunakan paradigm strukturalis dengan mencari kode yang hilang untuk memperbaiki kegagalan pasar dalam menjamin harga gabah petani dan menekan peranan tengkulak untuk menjalankan tata niaga gabah. Padahal menurut Giddens, structuralism selalu mengorbankan actor dan mengabaikan ruang dan waktu. Tingkat keberhasilan dari impian yang dituju akan cenderung minimalis. Giddens menjelaskan bahwa actor itu tidak bodoh, justru dalam system ini masih bisa memampukan posisi tengkulak sebagai actor ekonomi untuk tetap
165
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
berada dalam struktur pasar dan juga relasi petani. Setidaknya ada 3 layers dalam melihat pola relasi petani dengan actor ekonomi distributor gabah ini. 1. Pemerintah dengan Petani Pemerintah melalui Bulog dan dinas pertanian tentu sangat dekat dengan petani. Bulog memiliki peranan dalam menjaga ketahanan pangan dan juga stabilitas harga pangan di pasaran. Sementara dinas pertanian berusaha bagaimana cara meningkatkan hasil dan kualitas dari produksi pertanian. Relasi antara Bulog dan petani hanya terbatas pada penyaluran hasil produksi. Hukum yang dibuat pemerintah dengan mengatur ulang HPP tidak begitu signifikan menuai hasil untuk menarik petani menjual gabahnya ke Bulog. Hal ini dikarenakan di lapangan terjadi inkonsistensi dalam menerapkan HPP (strukur). Bulog adalah lembaga yang diwajibkan mencari keuntungan pasti juga memiliki akal hitam untuk bagaimana caranya mendapatkan pasokan beras dengan harga yang sedikit lebih murah dan sesuai target. Serap gabah dalam masa panen raya menjadi jalan yang dirasa relevan untuk mencegah bagaimana tengkulak ini tidak mengambil start terlebih dahulu. Namun faktanya tengkulak ini bereaksi guna mencegah dan melawan struktur ini. Mereka memiliki cara yang lebih jitu yaitu system ijon. Sistem ijon ini adalah system membeli padi sebelum waktu panen. Hal ini dibenarkan keberadaannya oleh Kepala BPP dan juga petani sekelas Sumanto. Sistem ijon ini biasanya dilakukan oleh penebas dengan banyak modal. Petani seperti ini biasanya menjual karena terdesak oleh suatu hal yang dirasa urgen atau kekhawatiran mereka terhadap anjlognya harga gabah nanti tidak terjadi. Azas spekulasi menjadi modal penting bagi petani dan penebas ini untuk menentukan taksiran harga yang pas untuk nilai sepetak tanah garapan. Di jalur lain, para tengkulak ini masuk dalam program kemitraan Bulog yang awalnya memerangi tengkulak justru terjadi negosiasi. Dapat disimpulkan bahwa hubungan petani dengan pemerintah ini kurang dekat dalam fase distribusi. Pemerintah masih berkutat dalam proses peningkatan produksi saja. Terjadinya inkonsistensi pembelian gabah yang rutin kepada petani ini justru tidak akan segera membangun kesadaran petani. Menjualnya kepada tengkulak-pun secara tidak sadar bahwa petani-petani tersebut juga menggerogoti system. Disinilah letak stukturasi terjadi, ketika pemerintah hendak merubah struktur justru mendapat reaksi juga dari actor yang disebut tengkulak. Mereka memiliki cara lain agar struktur itu tidak mengahbisi mereka dengan membius petani dengan menguasai modal sebagai sumber ekonomi. Opini Yani yang membenarkan adanya pembelian beras dari tengkulak ini juga akan membunuh petani. Alasan yang paling relevan bagi mereka adalah tuntutan pemerintahan yang good governance menyertakan swasta. Bayangkan jika ada beberapa persyaratan yang penulis ulas di subbab pertama dalam bab ini mampu mentransformasi tengkulak menjadi lebih kuat karena dasar surat ijin dan juga mampu memenuhi kuota stock beras mereka dengan cepat dan harga yang murah. 2. Aktor Ekonomi dengan Petani Petani dengan actor ekonomi seperti penggiling, pemodal, tengkulak juga sangat dekat. Dengan dominasi peranan modal menjadi suatu daya tarik petani untuk berdekatan dengan mereka. Jalinan yang terlibat keduanya cukup baik. Biasanya para spekulan ini menyediakan bibit tanaman. Secara politis merekas seolah memiliki tindakan timbal balik yang harus dilengkapi. Ada beberapa penggiling mau menerima gabah petani ketika petani itu membeli bibit dan pupuk untuk produksi darinya. Seolah terjalin struktur ikatan yang cukup romantic disini.
166
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
Terbukti di beberapa daerah ada sawah dalam masa pembibitan dengan pemberian nama daru UD tertentu. Menurut Suhandoko memang ada yang seperti itu, kegiatan tersebut juga sudah lama. Biasanya dalam struktur seperti itu didominasi oleh tokohtokoh setempat seperti kepala desa, juragan atau pemilik modal yang dianggap mampu. Jika ditelaah menurut strukturasi Giddens, kondisi seperti ini disebut struktur dominasi yang mencakup skemata penguasaan atas orang dan barang. 8 Anggap saja konsepsi penyediaan bibit dan pupuk ini adalah medium dalam praktik social ini. Dalam praktik ini terjadi jual beli ketika gabah tersebut berasal dari pihak penjual dijual kembali oleh petani ke penjual tersebut. Artinya tidak bolah ada barang lain selain dari barang yang ia tawarkan. Jika tidak diberikan bisa jadi ada sanksi yang berlaku dengan tidak diberikannya pupuk atau bibit. Tindakan yang dilakukan oleh petani adalah bentuk dari struktur dagang. Struktur dagang tersebut dibuat oleh actor ekonomi. Ketika petani tidak menjual kepadanya maka tidak berlaku lagi baginya struktur tersebut ytang kemudian akhirnya menjadikan sanksi. Ketidak ada an bibit dan pupuk tersebut juga akan menjadikan petani merugi sehingga tindakan yang ia lakukan adalah akibat struktur yang dibuat. Sementara pola relasi yang diabuat adalah bentuk dari hasil kerutinanya mengaminkan struktur itu. Terjadi negosiasi juga antar actor ini sehingga membentuk struktur dan struktur terbentuk inilah yang disebut strukturasi. 3. Petani dengan Konsumen Petani mandiri yang direpresentasikan oleh Sumanto ini lebih jauh dalam melangkah dan bereaksi atas struktur. Berdasarkan kesadaran diskursif yang seperti dijelaskan oleh Giddens, beliau menimbang bahwa menjadi petani yang berkutat di struktur tersebut justru merugikan. Sumanto awalnya menjadi petani yang menjual hasil panennya dalam bentuk gabah ke tengkulak dengan harga yang sudah ditentukan. Pilihan yang tersedia waktu itu hanya KUD, Bulog dan tengkulak. Seiring dengan lenyapnya KUD dan juga berkurangnya intensitas dari Bulog untuk melakukan serap gabah. Kondisi tersebut kemudian menjadikan tengkulak memiliki posisi yang lebih baik dari petani, alhasil mau tidak mau tidak mau dia juga menjualnya ke tengkulak karena tidak ada akses lain (struktur). Disitulah kemudian struktur tata niaga dan relasi itu tercipta. Lama- kelamaan seiring dengan impact dari struktur itu yang menjadikan keterbatasan dalam proses tawar-menawar gabah. Sumanto berani memulai untuk melawan struktur saat pada titik tertentu menjadikan dia harus mencari strategi lain agar hasil panenya lebih bernilai. Maksudnya bahwa dia menjual sendiri barang produksinya ke pasar yang lebih real. Hanya dengan merubah bentuk dari gabah menjadi padi beliau merasa bahwa keuntungannya menjadi lebih banyak dibanding dengan bentuk gabah apalagi yang baru panen. Selain itu sisa-sisa panen masih bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak dan juga pupuk. Inilah yang dinakaman kesadaran diskursif ketika struktur tata niaga yang ada justru melemahkan petani, petani modern seperti ini mencoba menjadi actor perubahan dengan langsung menyentuh pasar berbekal informasi yang kuat. Harusnya petani-petani lain mulai memikirkan solusi yang sama bahwa dengan cara bertani tradisional yang kurang ini membuat inovasi baru entah merubah barang produksi atau meningkatkan jumlah produksi untuk keluar dari struktur ini dengan membentuk gapoktan atau sejenisnya untuk bisa merambah pasar yang lebih luas. Walaupun akhirnya juga akan memicu 8
Majalah BASIS Edisi Khusus Anthony Giddens. Nomor 01-02, Tahun Ke-49, Januari-Februari 2000. Hal.20
167
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
munculnya actor dan struktur yang baru sesuang dengan relativitas yang terjadi antara keduanya. Konklusinya, struktur tata niaga dan pola relasi petani ini sudah lama dijalankan bahkan sebagai rutinitan. Saat ada yang mencoba menguatkan struktur maka actor lain akan berusaha bereaksi, baik itu reaksi yang positif atau justru melakukan perlawanan. Upaya untuk menaikkan posisi tawar petani memang tidak bisa sekali dua kali dilakukan melalui struktur melainkan juga adanya konsistensi untuk menyambung struktur dan memicu kondisi kesadaran dari diri petani tersebut. Walaupun dengan kesadaran praktis petani bisa memilih kemana akan menjual gabahnya begitu juga actor ekonomi ini mensuplly barang yang dia beli itu adalah bentuk dari reaksi struktur pada rational choicenya. Kala struktur seperti ini maka mereka berbuat seperti itu, ketika struktur sudah seperti itu maka ada upaya untuk menjadikan seperti yang lain/ tapi itu semua tergantung pada konteks relativisme yang diungkapkan Giddens. Dualitas actor dan struktur tersebut akan saling bekerja seiring dengan intensitas keberlanjutan praktik social-ekonomi mereka untuk saling merespon. KESIMPULAN Pola relasi yang terjadi antara petani dan actor ekonomi distribusi gabah ini memang tercipta sudah cukup lama. Hal ini berakibat pada terbentuknya struktur mekanisme tata niaga pasar gabah yang cukup mapan. Namun disisi lain, struktur ini menjadikan kebanyakan petani menjadi kelompok yang tereksploitasi. Range harga beras yang tinggi di pasaran tidak menjamin harga gabah di tingkat petani juga mahal. Seiring dengan banyaknya informasi dan kesadaran diskrusif oleh petani sendiri dari kondisi merugikan ini menyebabkan munculnya petani-petani mandiri. Sosok Sumanto sebagai representasi petani mandiri menjadikan posisi tawar produk pertaniannya menjadi lebih bernilai. Di lain pihak banyak dengan kekuatan modal banyak pemilik modal maupun petani memutar haluan untuk menjadi pedagang maupun pengelola industry pertanian seperti Bu Noh maupun Imorudin. HPP yang ditetapkan oleh pemerintah tidak banyak membawa dampak bagi berlakunya system perdagangan di pasar. Pasar tetaplah pasar yang memiliki cara sendiri dalam meggerakkan roda ekonominya. Tidak adanya jaminan yang kuat dari berlakunya HPP di tingkat penebas maupun pembeli di sector swasta menjadikan petani tetap terpuruk. Bulog sebagai lembaga hauslah bertransformasi menjadi badan usaha yang kembali kuat dan memiliki kapasitas modal yang kuat. Sehingga usaha mengembalikan swasembada pangan dan pengekspor beras bagi Indonesia bukan lagi sebuah keniscahyaan. Peranan petani sebagai actor penting yang terintregasi pasar yang merugikannya haruslah segera sadar. Entah itu dari bentuk pola pikir atau informasi yang masuk dalam menunjang posisinya untuk lebih kuat dalam pasar. Selama ini petani kita hanya nerimo ing pandum dengan struktur yang tercipta dalam tata niaga pasar gabah dan beras tanpa adanya solusi. Bisa jadi pemerintah yang dengan membiarkan keadaan seperti ini lama kelamaan juga akan menjadi boom waktu. Dimana jumlah petani mulai berkurang, lahan pertanian berubah kita tidak akan kembali berdaulat akan pangan. Percaya atau tidak actor-aktor dari system yang terlibat tersebut merupakan suatu jaringan dimana mereka memiliki kepentingan untuk mengambil untung maupun menguasai sumber daya tersebut. Petani miskin tidak juga kunjung sejahtera karena adanya tengkulak dan actor yang terlibat ini mengambil untung mengatasnamakan ekonomi. Distributor ini bisa untung banyak karena mereka memiliki modal yang besar karena adanya ijin usaha dengan bunga yang kecil. Berbeda dengan petani biasa yang meminjam
168
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
dengan bunga yang cukup besar sehingga permodalan untuk meningkatkan mutu dan jenis barang produksi tidak ada. Hal lain adalah karena petani dalam tekanan untuk mempersiapkan musim tanam berikutnya dengan modal besar harus rela menjual panennya dengan harga kecil. Sementara dengan kondisi yang seperti itu, tengkulak memiliki kuasa untuk membeli gabah dengan harga yang anjlog untuk kemudian ditimbun dan dikeluarkan kala pasar membutuhkan stock beras yang cukup banyak dengan harga yang melejit tinggi. Rekanan yang dibangun bulog yang diharap mampu menjaga stabilitas harga gabah adalah isapan jempol belaka. Adanya jaringan actor ini akan memperluas kemungkinan praktik suap menyuap untuk meuluskan usaha-usahnya. Terlihat bahwa rekanan yang ada di Bulog Nganjuk ada yang dari luar domisili namun pensuplaynya dari dalam Nganjuk dengan harga yang jauh dibawah HPP karena melalui tangan selanjutnya. Petani-petani miskin dan juga buruh tani dalam kondisi tata niaga yang seperti ini selamanya tidak akan mencapai sejahtera karena semua program hanya bius saja agar mereka seolah tidak dibuat khawatir. Ada jasa yang mereka lupakan bahwa padi bukan hanya sekedar komoditas, tapi juga budaya dan kultur yang harusnya lebih mahal dan tak bisa ditukar dengan harga yang cukup murah. Bukankah kalau tidak ada petani kita masih belum mampu untuk cadangan makanan lain.
DAFTAR PUSTAKA Buku Agusyanto, Ruddy. Jaringan Soial Dalam Organisasi. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007. Aini, Nurul dan Ng. Philipus. Sosiologi dan Politik. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004. Ali, Fachry dkk. Beras, Koperasi, dan Politik Orde Baru: Bustanul Arifin 70 Tahun. Jakarta: Sinar Harapan, 1995. Arifin, Bustanul. DIAGNOSIS EKONOMI POLITIK PANGAN dan PERTANIAN. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Arifin, Bustanul. PEMBANGUNAN PERTANIAN: Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Breman, Jan. Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja di Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES, 1986. Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar, 1999. George Ritzer, Douglas J. Goodman. Teori Sosilogi Modern. Jakarta: Prenada Media, 2004. Giddens, Anthony. TEORI STRUKTURASI: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat (Terjemah). Yogyakarta: Pustaka Peajar, 2010. Khudori. “Ironi Negeri Beras”. Yogyakarta: INSISTPress, 2008. Khudori. Kata Pengantar: Dr. H. Husein Sawit. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan. Yogyakarta: Resist Book, 2004 Lisa Harrison. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana Pernada Media Grup. Planck, Ulrich. Sosiologi Pertanian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Rahim, Abd. Hastuti, Diah. EKONOMIKA PERTANIAN: “Pengantar, Teori dan Kasus”. Jakarta: Swadaya, 2007. R.W. Asmarantaka. Pemasaran produk-produk Pertanian. Bunga Rampai Agribisnis: Seri Pemasaran. Bogor: IPB Press, 2009.
169
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 147 - 170
Surbakti, ramlan. Memahami ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. 1992 Suzanne Keller. Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit Penentu dalam Masyarakat Modern. Jakarta: CV Rajawali, 1984. Badan Pusat Statistika: Nganjuk dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistika: Nganjuk dalam Angka 2013. Internet http://bps.nganjukkab.go.id http://kodim0709.com/2016/01/peran-babinsa-dalam-pendampingan-pertanian/ http://ppsp.nawasis.info “MENTAN: Pemerintah Setuju Kembalikan Peran Bulog”. Diakses dari http://www.bulog.co.id/berita/37/3522/10/7/2012/MENTAN:-Pemerintah-SetujuKembalikan-Peran-BULOG.html, pada 1 Juni 2016 pukul 12.48. “Sejarah Kabupaten Nganjuk”. Diakses dari http://nganjukkab.go.id/ pada 3 Juni 2016 pada pukul 20.29 Majalah BASIS Edisi Khusus Anthony Giddens No. 01-02, Tahun Ke-49, Januari- Februari 2000. Jurnal Siti Aminah, “Ekonomi Politik Pangan dan Problema Petani,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th XIII, No 1, Januari 1999 Artikel Hakekat, Data. “Jalur Tengkulak Beras”. Sabtu 30 Mei 2015. Diakses dari http://.datahakekat.blogspot.co.id/2015/05/jalur-tengkulak-beras.html?m=1, pada 25 Maret 2016 pukul 19.48. Husna, Asmaul. ANTARAJATIM.com: “Bupati Nganjuk Berkomitmen Tingkatkan Produksi Pertanian”. Diakses dari http://www.antarajatim.com/lihat/berita/159474/bupati-nganjuk-berkomitmentingkatkan-produksi-pertanian, pada 27 Maret 2016 pada pukul 08.02 Khudori. “Politik Nasi Megawati”. Koran Tempo, 12 Januari 2004. Kohls, R.L. and J.N. Uhl. 2002. Marketing of Agriculture Product. A Prentice-Hall Upper Saddle River, New Jersey. Latief, Aflam. “Babinsa TNI-AD Bukan Penyuluh Pertanian” Minggu, 13 April 2016. Diakses dari http://kodim1402.kodam-wirabuana.mil.id/ 10 Juni 2016 pukul 05.44. Suyanto, Budi. GEOTIMES: “Petani Lebih Memilih Jual Beras ke Tengkulak”. Diakses dari http://geotimes.co.id/petani-lebih-memilih-jual-beras-ke-tengkulak/, pada 27 Maret 2016 pada pukul 07.21. Undang-Undang Inpres No. 5 Tahun 2012 Inpres No. 5 Tahun 2015 UU No. 5 Tahun 1999
170