Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Preliminary Conclusive Report Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc Kasus Tanjung Priok
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat [ELSAM]
Jl Siaga II No 31 Pejatien Barat, Jakarta 12510 Telp (021) 7972662, 79192564 Fax : (021) 79192519 Website : www.elsam.or.id
1
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Pengantar “Peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin disana. Melaksanakan keyakinan dan syari’at agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya, tentunya harus diambil tindakan”. ( Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, 1989) Peristiwa Tanjung Priok terjadi pada tanggal 12 September 1984. Peristiwa tersebut diawali dengan penahanan terhadap empat orang pengurus mesjid di daerah Tanjung Priok, dan kemudian ceramah yang dilakukan oleh beberapa Muballigh, diantaranya Amir Biki, yang dihadiri ribuan massa. Ceramah tersebut mengulas berbagai persoalan social politik yang terjadi di Indonesia, seperti masalah asas tunggal, dominasi China atas perekonomian Indonesia, pembatasan izin dakwah dan permintaan untuk membebaskan orang-orang yang ditangkap tersebut. Setelah ceramah usai, massa bergerak menuju Polsek dan Koramil setempat. Namun, sebelum massa tiba di tempat yang dituju, secara tiba-tiba mereka telah dikepung oleh pasukan bersenjata berat, dan kemudian diikuti dengan suara tembakan yang membabi buta terhadap kerumunan massa. Tidak lama kemudian, korbanpun bergelimpangan menjadi mayat. Menurut versi pemerintah, korban yang jatuh dalam peristiwa tersebut adalah 28 orang. Sedangkan, menurut pihak korban menyebutkan bahwa korban yang jatuh sekitar 700an orang. Kemudian setelah peristiwa tersebut terjadi penangkapan-penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat, seperti Abdul Qodir Jaelani, Tony Ardi, Mawardi Noor dan Oesmany Al Hamidy. Peristiwa di wilayah Tanjung Priok 12 September 1984 inilah yang saat ini sedang digelar di Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat. Peristiwa ini sendiri diawali dengan sebuah pengajian yang kemudian dilanjutkan dengan aksi massa yang menuntut pembebasan 4 (empat) orang warga Tanjung Priok yang beberapa hari sebelumnya ditahan di Kodim Jakarta Utara. Dalam aksi massa dilaporkan puluhan orang meninggal dunia dan luka-luka, bahkan kemudian peristiwa tersebut diikuti pula dengan penangkapan dan penahanan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat dalam aksi massa tanggal 12 September 1984 tersebut. Pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia di Tanjung Priok yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan implementasi dari Undang-undang (UU) Nomor. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 43 ayat 2 UU No. 26 tahun 2000 mengatur mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui Keputusan Presiden (Keppres). Namun, dalam proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran berat HAM di Tanjung Priok ternyata diperlukan dua buah Keppres yaitu Keppres No.53 tahun 2001 dan Keppres No.96 tahun 2001. Hal ini terjadi karena Keppres Nomor
2
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
53 tahun 2001, oleh pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun waktunya) 1. Undang-undang No.26 tahun 2000 sendiri dalam beberapa bagian, terutama mengenai definisi konsep-konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, dan tentang tanggung jawab komando mengambil pengertian yang terdapat dalam Rome Statute for International Criminal Court. Sayangnya adopsi tersebut dilakukan dengan beberapa distorsi yang pada akhirnya secara teoretis melemahkan konsep kejahatan terhadap kemanusian yang menjadi sandaran bagi proses pengadilan HAM itu sendiri 2. Saat ini seluruh berkas perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok tengah memasuki tahap pembuktian, yaitu pemeriksaan saksi-saksi dan barang bukti. Artinya, dari 4 (empat) berkas perkara yang sedang diadili dan diperiksa tersebut telah memasuki saat-saat yang menentukan bagi pengadilan, terutama jaksa penuntut umum untuk menggali bukti-bukti dari keterangan saksi-saksi yang dihadirkan. Untuk membuktikan apakah para terdakwa yang diajukan ke pengadilan tersebut (14 orang terdakwa dari 4 berkas) dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya dalam peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 tersebut. Laporan ini menyoroti proses persidangan Pengadilan HAM Tanjung Priok yang sudah berjalan hampir 4 (empat) bulan, yakni mulai dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum, sampai pada proses pembuktian.
Hasil Temuan KPP HAM Tanjung Priok (KP3T) Pada tanggal 8 Maret 2000 Ketua Komnas HAM mengeluarkan keputusan tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T). KP3T tersebut bertugas, antara lain untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan Agustus sampai September 1984 3.
1
Lihat Preliminary Conclussive Report Pengadilan HAM Tim-tim Elsam, 4 Juli 2002. Sebenarnya dikeluarkannya Keppres No. 96 tahun 2001 adalah terutama untuk mempersempit locus dan tempus delicti peristiwa pelanggaran HAM berat di Timor-timur pasca referendum 1999. Dalam Keppres No. 96 tahun 2001 tersebut ditetapkan wilayah dan waktu yang menjadi yurisdiksi Pengadilan HAM Tim-tim menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April dan September 1999. Sedangkan untuk kasus Tanjung Priok ditetapkan locus dan tempus delicti-nya pada wilayah Tanjung Priok bulan September 1984. Namun, penyempitan yurisdiksi ini menimbulkan konsekuensi serius yaitu terhalangnya kesempatan untuk membuktikan adanya unsur sistematik dan meluas dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-timur dan peristiwa Tanjung Priok. 2
Ibid, hal 2-3
Lihat Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan KP3T 15 Juni 2000. KP3T bertugas selama 3 bulan, yaitu mulai tanggal 8 Maret sampai dengan 7 Juni 2000 3
3
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Dalam laporannya tersebut, KP3T menyatakan bahwa latar belakang sebelum peristiwa tanggal 12 September 1984 dikarenakan oleh adanya kebijaksanaan politik nasional dengan keluarnya TAP MPR No. IV Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang kemudian mendapat tanggapan dari sebagian umat Islam sebagai gejala untuk mengecilkan umat islam dan mengagamakan Pancasila. Reaksi semakin keras dengan rencana dan pengundangan UU tentang Ormas/Orpol (organisasi kemasyarakatan/organisasi politik) yang berisi penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kondisi-kondisi inilah yang kemudian memperuncing perbedaan antara sebagian umat Islam tertentu dengan aparat yang akan menegakkan ideologi negara dan kebijaksanaan politik nasional. Selanjutnya KP3T menyatakan bahwa tak mustahil peristiwa tanggal 12 September 1984 meledak sebagai puncak yang dipicu oleh kasus yang dianggap sebagai penghinaan terhadap rumah ibadah oleh Babinsa Sertu Hermanu dan penahanan empat orang warga sebagai rangkaian kasus pembakaran sepeda motor milik Babinsa Sertu Hermanu. 4 KP3T menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan baik oleh kelompok massa maupun oleh aparat keamanan. Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh kelompok massa, KP3T menyatakan bahwa terhadap para pelaku yang melakukan tindak pidana telah diberikan hukuman yang diputuskan oleh pengadilan. Sedangkan, pelangggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh petugas keamanan di lapangan, KP3T menyatakan bahwa terhadap para pelaku belum pernah diberikan, baik dalam bentuk pidana maupun yang lain 5. Setelah menyelesaikan penyelidikannya, pada tanggal 7 Juli 2000 Ketua Komnas HAM menyerahkan Hasil Laporan KP3T tersebut kepada Jaksa Agung Republik Indonesia agar hasil penyelidikan KP3T tersebut ditindaklanjuti Jaksa Agung dengan melakukan penyidikan. Namun, karena Jaksa Agung menganggap ada beberapa hal yang kurang dalam Hasil Laporan KP3T tersebut, maka Jaksa Agung mengembalikan hasil Penyelidikan KP3T Komnas HAM tersebut dan meminta Komnas HAM untuk melengkapi kekurangan tersebut. Hal-hal yang dianggap kurang oleh Jaksa Agung tersebut, antara lain 6 : 1. Mengenai perlunya dilakukan penggalian terhadap kuburan korban untuk memastikan jumlah korban 2. Pemeriksaan dokumen di RSUP
7/2000
4
Lihat Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan KP3T Jakarta Tahun 12 Juni 2000 hal 5
5
Ibid, hal 23
6
Surat Jaksa Agung RI kepada Ketua Komnas HAM tanggal 11 July 2000 No. R-29/E-
4
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
3. Kelengkapan kesaksian dan bukti tentang jatuhnya 9 (sembilan) korban dari keluarga Tan Kiee Lim 4. Nama-nama yang diduga sebagai pelaku dan nama penangggungjawab garis komando ketika peristiwa itu terjadi 5. Perumusan ulang Rekomendasi mengacu ke UU No. 39 tahun 1999 dan instrumen internasional. Setelah menerima surat dari Jaksa Agung RI tersebut, kemudian pada tanggal 12 Juli 2000 Ketua Komnas HAM mengeluarkan Surat Keputusan No : 012/Komnas HAM/VII/2000 yang menetapkan Pembentukan Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T yang tugasnya untuk memenuhi kekurangan-kekurangan sebagaimana disampaikan surat Jaksa Agung tersebut di atas. Dalam laporannya Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam peristiwa Tanjung Priok antara lain, berupa: Pertama, pembunuhan kilat (summary killing). Tindakan pembunuhan kilat (summary killing) ini terjadi depan Mapolres Jakarta Utara akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh satu regu dibawah pimpinan Sutrisno Mascung dkk. Para anggota pasukan ini masing-masing membawa peluru tajam 5-10. Akibat tindakan ini telah mengakibatkan 24 orang tewas, 54 luka berat dan ringan. Kedua, adalah Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention). Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dilakukan aparat TNI setelah terjadinya peristiwa Tanjung Priok yang dilakukan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Semua korban berjumlah 160 orang yang ditangkap tidak sesuai prosedur dan tanpa surat perintah. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis. Ketiga, Penyiksaan (torture) Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Mapomdam Guntur dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Keempat adalah Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearance) Fakta-fakta tindakan ini antara lain: Lokasi pemakaman bagi 24 jenasah dari RSPAD yang tidak dapat diidentifikasi dimakamkan terpisah jauh dari lokasi kejadian, Pemakaman dilakukan pada malam hari di tiga tempat terpisah tanpa berupaya untuk memberikan identitas baik tanda-tanda pada makam (nisan dan keterangan) dan pencatatan administratif, Keluarga korban dilarang untuk mengetahui keberadaan dan kondisi korban. Selanjutnya Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T menyebutkan orang-orang yang patut dimintai pertanggungjawabannya sehubungan dengan peristiwa Tanjung Priok tersebut, yakni : (lihat Tabel 1)
5
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Dari Satuan Arhanud Tanjung Priok
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Serda Sutrisno Mascung Pratu Yajit Prada Siswoyo Prada Asrori Prada Kartijo Prada Zulfata Prada Muhson Prada Abdul Halim Prada Sofyan Hadi Prada Parnu Prada Winarko Prada Idrus Sumitro Prayogi
Dari jajaran Kodim Jakarta Utara 1. Letkol. RA. Butar-Butar, Dandim Jakarta Utara 2. Kapten Sriyanto, Pasi Ops II Kodim Jakarta Utara
Dari Jajaran Kodam Jaya
Dari Jajaran Mabes TNI-AD
Dari Mabes TNI
1. Mayjend TNI. Tri Sutrisno, Pangdam V Jaya 2. Kol. CPM Pranowo, Kapomdam Jaya 3. Kapten Auha Kusin, BA, Rohisdam V Jaya 4. Kapten Mattaoni, BA, Rohisdam V Jaya
1. Brigjend. TNI. Dr. Soemardi, Kepala RSPAD Gatot Subroto 2. Mayor TNI Darminto, Bagpam RSPAD Gatot Soebroto
1. Jend TNI. Benny Moerdani, Panglima TNIPangkopka mtib
6
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Bab I Substansi Dakwaan
7
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Surat
dakwaan merupakan dasar penting dalam hukum acara pidana, karena
berdasarkan hal yang termuat dalam surat dakwaan itulah hakim akan memeriksa perkara. Artinya pemeriksaan di pengadilan akan terfokus pada fakta-fakta yang diuraikan dalam surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum. Demikian juga dengan putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang ada dalam surat dakwaan. Disamping itu, perumusan dakwaan juga harus didasarkan pada hasil pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) yang didasarkan pada keterangan saksi-saksi dan alat bukti yang lain, termasuk keterangan ahli atau visum. Berdasarkan keterangan dan bukti itulah perbuatan yang dilakukan terdakwa sungguh-sungguh ditemukan dan kemudian dituangkan dalam surat dakwaan. Dua berkas dakwaan masing-masing untuk terdakwa Mayjend TNI (Purn). Pranowo dan Mayjend TNI (Purn). Rudolf A. Butar-Butar disusun dalam bentuk dakwaan kumulasi. Sedangkan surat dakwaan untuk terdakwa Mayjend TNI Sriyanto Muntasram dan Sutrisno Mascung dkk disusun campuran (kumulasi dan subsider). Dakwaan terhadap Mayjend TNI (Purn). Pranowo dan Mayjend TNI (Purn). Rudolf A. Butar-Butar berisi dakwaan untuk bertanggungjawab secara pidana atas pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh bawahannya (pertanggungjawaban komando) 7. Selain itu, khusus untuk terdakwa Mayjend TNI (Purn). Pranowo didakwakan juga terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukannya karena pelaku langsung ( pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf e, pasal 37 UU No. 26 tahun 2000). Sedangkan dakwaan untuk terdakwa Mayjend TNI Sriyanto Muntasram dan Sutrisno Mascung dkk yang mempunyai konstruksi dakwaan yang sama, yaitu dianggap bertanggungjawab secara individual (commission) atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukannya 8.
Mayjend TNI (Purn). Pranowo didakwa telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang diancam dengan pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf e, pasal 37 Undang-undang No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP 9, pasal 64 KUHP.
Pasal 42 ayat 1 UU No. 26 tahun 2000 berbunyi “komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif,………” 7
8
Lihat tabel 5 dan 6
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP : dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan. 9
8
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Disamping itu, Mayjend TNI (Purn). Pranowo juga dianggap tidak melakukan pengendalian secara patut terhadap pasukan dibawah pengendaliannya yang efektif atau dibawah dibawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, yaitu terdakwa mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu itu seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa penyiksaan yang diancam dengan pasal 42 ayat (1) huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf f, pasal 39 Undang-undang No. 26 tahun 2000, pasal 64 KUHP. Tabel . 2 Detail dakwaan dan pasal yang dipergunakan sebagai dasar dakwaan terhadap Mayjen TNI (Purn) Pranowo Bentuk Dakwaan : Kumulasi
Mayjend TNI (Purn). Pranowo 10
Dakwaan I : Perampasan Kemerdekaan Sewenangwenang
Dakwaan II : Penyiksaan
Tempus Delicti
Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf e, pasal 37 UU No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat 1 ke-1, pasal 64 KUHP • POMDAM V Jaya Guntur Jl. Sultan Agung NO. 33 Jakarta Selatan • Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Jakarta Timur 13 September 1984 sampai dengan 8 Oktober 1984
Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf f, pasal 39 UU No. 26 tahun 2000, pasal 64 KUHP • POMDAM V Jaya Guntur Jl. Sultan Agung NO. 33 Jakarta Selatan • Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Jakarta Timur 13 September 1984 sampai dengan 8 Oktober 1984
Jumlah Korban
169 orang
14 orang
Pasal yang diancamkan
Locus Delicti
10
Lihat surat dakwaan atas nama Pranowo No. Reg.Perkara 03/HAM/TJ-Priok/09/2003
9
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip Materi Dakwaan
•
•
•
Terdakwa telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat Melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa perampasan kemerdekaan secara atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas hukum internasional yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan terhadap penduduk sipil Perbuatan yang dilakukan terdakwa mengakibatkan para tahanan mengalami stress dan sulit menggerakkan anggota tubuhnya
•
•
•
•
Bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukannya bawahannya Mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat Tidak melakukan pengendalian secara patut terhadap pasukan dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif Tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukan/anggotanya atau menyerahkan pelakukanya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Dakwaan terhadap Mayjend TNI (Purn). Rudolf A. Butar-Butar berisi dakwaan untuk bertanggung jawab secara pidana atas pelanggaran ham berat yang dilakukan bawahannya (tanggung jawab komando). Sebagai Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara tidak melakukan pengendalian efektif secara patut dan benar dengan mengabaikan informasi yang menunjukkan bahwa bawahannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran ham berat serta tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan untuk menghentikan perbuatan tersebut (pasal 42 ayat (1) huruf a dan b) . Adapun pelanggaran HAM berat yang didakwakan terhadap Mayjend TNI (Purn). Rudolf A. Butar-Butar adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 7 UU No 26 Tahun 2000) berupa pembunuhan (pasal 9 huruf a), penganiayaan (pasal 9 huruf h) dan (pasal 9 huruf e).
10
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Detail dakwaan dan pasal yang dipergunakan sebagai dasar dakwaan terhadap Mayjen TNI (purn) Rudolph Butar-butar
Mayjend TNI (Purn). Rudolf A. Butar-Butar 11
Bentuk Dakwaan : Kumulasi Dakwaan III : perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf e UU No. 26 tahun 2000
Dakwaan I : pembunuhan
Dakwaan II : penganiayaan
Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf a, pasal 37 UU No. 26 tahun 2000
Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h, pasal 40 UU No. 26 tahun 2000
Jl. Yos Sudarso, depan Mapolres Jakarta Utara
Jl. Yos Sudarso, depan Mapolres Jakarta Utara
Makodim 0502/Jakarta Utara
Tempus Delicti
12 September 1984
12 September 1984
10-18 September 1984
Jumlah Korban
23 orang
4 orang
4 orang
Pasal yang diancam kan
Locus Delicti
Lihat surat dakwaan atas nama Rudolf A. Butar-Butar No. Reg. Perkara 02/HAM/TJPriok/09/20003 11
11
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip Materi Dakwaan
• Bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukannya bawahannya. • Mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat. • Tidak melakukan pengendalian secara patut terhadap pasukan dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif. • Tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukan/anggotanya atau menyerahkan pelakukanya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
• Bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukannya bawahannya. • Mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat. • Tidak melakukan pengendalian secara patut terhadap pasukan dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif. • Tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukan/anggota nya atau menyerahkan pelakukanya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
• Bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukannya bawahannya. • Mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya sedang atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat. • Tidak melakukan pengendalian secara patut terhadap pasukan dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif. • Tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukan/anggota nya atau menyerahkan pelakukanya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
Selanjutnya Sutrisno Mascung dkk oleh jaksa penuntut umum didakwa telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, sehingga perbuatan terdakwa Sutrisno Mascung dkk telah melanggar ketentuan pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a, pasal 37 Undangundang No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
12
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Jaksa penuntut umum juga mendakwa Sutrisno Mascung dkk telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa percobaan pembunuhan yang diancam dengan pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a, pasal 41, pasal 37 Undang-undang No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, pasal 53 ayat (1) KUHP. Disamping pembunuhan dan percobaan pembunuhan, Sutrisno Mascung dkk juga didakwa telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan yang diancam dengan pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf h, pasal 40 Undang-undang No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Tabel 4 Detail dakwaan dan pasal yang dipergunakan sebagai dasar dakwaan terhadap Sutrsino Mascung dkk Nama Terdakwa Sutrisno Mascung dkk 12
Bentuk Dakwaan : Campuran Dakwaan I : Pembunuhan
Dakwaan II Primer : Percobaan Pembunuhan
Dakwaan II Subsider : Penganiayaan
Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a, pasal 37 UU No. 26/2000 pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP
Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a, pasal 41, pasal 37 UU No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat 1 ke-1, pasal 53 ayat 1 KUHP
Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf h, pasal 40 UU No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP
Jl. Yos Sudarso, depan Mapolres Jakarta Utara
Jl. Yos Sudarso, depan Mapolres Jakarta Utara
Jl. Yos Sudarso, depan Mapolres Jakarta Utara
Tempus Delicti
12 September 1984
12 September 1984
12 September 1984
Jumlah Korban
23 orang
64 orang
64 orang
Pasal yang diancamkan
Locus Delicti
Lihat Priok/08/2003 12
Surat dakwaan a.n Sutrisno Mascung dkk No. Reg. Perkara 01/HAM/TJ-
13
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Materi Dakwaan
• Secara bersama-sama dan bersekutu ataupun bertindak secara sendiri-sendiri telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat • Telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang diketahuinyabahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan kepada penduduk sipil berupa pembunuhan
• Secara bersama-sama dan bersekutu ataupun bertindak secara sendiri-sendiri telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat • Telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan kepada penduduk sipil berupa percobaan pembunuhan • Percobaan para terdakwa tersebut tidak selesai dengan tidak timbulnya akibat hilangnya nyawa orang lain bukan karena kehendak para terdakwa
• Secara bersamasama dan bersekutu ataupun bertindak secara sendiri-sendiri telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat • Telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan kepada penduduk sipil berupa penganiayaan
Mayjend TNI Sriyanto Muntasram didakwa telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas berupa pembunuhan sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 7 huruf b jis pasal huruf a, pasal 37 UU No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP; percobaan pembunuhan sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a, pasal 41, pasal 37 UU No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, pasal 53 ayat 1 KUHP; penganiayaan sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf h, pasal 40 UU No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
14
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Tabel 5 Detail dakwaan dan pasal yang dipergunakan sebagai dasar dakwaan terhadap Sriyanto Nama Terdakwa Sriyanto 13
Pasal yang diancam kan
Locus Delicti Tempus Delicti Jumlah Korban
Materi Dakwaan
Bentuk Dakwaan : Campuran Dakwaan I : Pembunuhan
Dakwaan II Primer : Percobaan Pembunuhan
Dakwaan II Subsider : Penganiayaan
Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a, pasal 37 UU No. 26/2000 pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP
Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a, pasal 41, pasal 37 UU No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat 1 ke-1, pasal 53 ayat (1) KUHP
Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf h, pasal 40 UU No. 26 tahun 2000, pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP
Jl. Yos Sudarso, depan Mapolres Jakarta Utara 12 September 1984 23 orang • Secara bersamasama dan bersekutu ataupun bertindak secara sendirisendiri telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. • Telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan kepada penduduk sipil berupa pembunuhan.
Jl. Yos Sudarso, depan Mapolres Jakarta Utara 12 September 1984 64 orang • Secara bersama-sama dan bersekutu ataupun bertindak secara sendiri-sendiri telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. • Telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan kepada penduduk sipil berupa percobaan pembunuhan. • Perbuatan tersebut tidak selesai/terlaksana dengan tidak timbulnya akibat hilangnya nyawa orang lain bukan karena kehendak terdakwa sendiri.
Jl. Yos Sudarso, depan Mapolres Jakarta Utara 12 September 1984 11 orang • Secara bersama-sama dan bersekutu ataupun bertindak secara sendiri-sendiri telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat. • Telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan kepada penduduk sipil berupa penganiayaan.
Namun demikian, apabila dicermati lebih lanjut ternyata surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum tersebut masih menyimpan beberapa kelemahan yang pada 13
Lihat Surat dakwaan a.n Sriyanto dkk No. Reg. Perkara 04/HAM/TJ-Priok/09/2003
15
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
akhirnya akan menyulitkan jaksa penuntut umum dalam membuktikan dakwaannya. Lebih jauh lagi akan menyulitkan untuk meminta pertanggungjawaban para terdakwa dalam peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 14. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum tersebut meliputi, diantaranya :
a. Mengenai Perumusan Unsur Meluas atau Sistematis Mengenai unsur meluas, dalam surat dakwaannya, jaksa penuntut umum menunjukkannya dengan besarnya (massivitas) korban yang jatuh dalam peristiwa tersebut 15. Ini ditunjukkannya dengan menyebutkan jumlah orang yang meninggal dunia, yang mengalami penyiksaan dan yang mengalami penahanan sewenangwenang. Namun untuk luasan geografis, jaksa penuntut umum tidak menyebutkannya secara lengkap, karena hanya dibatasi pada wilayah Tanjung Priok, Mapomdam V Guntur Jakarta Pusat dan Rumah Tahanan Militer Cimanggis Jakarta Selatan. Seharusnya Jaksa Penuntut Umum juga menguraikan mengenai unsur meluas (widespread) ini melalui luasan geografis secara lebih lengkap, yaitu bahwa akibat dari peristiwa Tanjung Priok itu menyebar ke wilayah-wilayah lain diluar Tanjung Priok Jakarta Utara, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, seperti Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Lampung dan Ujung Pandang 16. Dimana terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi diluar wilayah Kodim 0502 Jakarta Utara tersebut harus dianggap sebagai satu kesatuan dari rangkaian peristiwa utamanya, yaitu peristiwa tanggal 12 September 1984 di wilayah Kodim 0502 Jakarta Utara. Oleh karena itu, sangat mengherankan persfektif yang digunakan jaksa penuntut umum dalam memaparkan unsur “meluas” ini, karena tanpa menghubungkan peristiwa Tanjung Priok dengan rangkaian peristiwa lainnya di luar wilayah Tanjung Priok Pengantar Elemen of Crimes Pasal 7 Statura Roma, Elsam. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan paling serius terhadap keberadaan komunitas internasional sebagai suatu keseluruhan, menjamin sekaligus memprasyaratkan adanya tanggung jawab pidana secara individual, dan menuntut tindakan yang tidak diperbolehkan di bawah hukum internasional yang dapat diterapkan secara umum, sebagaimana diakui oleh sistem-sistem hukum utama di dunia ini. 14
Walaupun hal ini telah memenuhi salah satu pengertian “meluas” sebagaimana disebutkan dalam Putusan Abilio Soares hal 153-154, bahwa yang dimaksud “meluas” karena pada peristiwa-peristiwa yang didakwakan terbukti terjadi pembunuhan secara besar-besaran, berulang-ulang dalam skala yang besar (massive, frequent, large scale),yang dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat serius berupa jumlah korban nyawa yang besar. 15
16 Kontras, April 2001, ”Sakralisasi Ideologi Memakan Korban” (Sebuah Laporan Investigasi Tanjung Priok), hal 20. Yang ditangkap dan ditahan di daerah-daerah tersebut adalah orangorang yang ditangkap karena aktivitasnya yang dikaitkan dengan Peristiwa Tanjung Priok. Orang-orang tersebut ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang serta diadili dalam suatu Pengadilan yang tidak fair.
16
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
(Kodim 0502 Jakarta Utara), akan mengakibatkan tidak terungkapnya kejahatan terhadap kemanusiaan di beberapa wilayah sebagaimana disebutkan di atas. Lebih jauh lagi, tidak dapat diajukannya orang-orang yang dianggap (diduga) bertanggungjawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah-wilayah diluar wilayah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Upaya menghubungkan rangkaian peristiwa Tanjung Priok dan rangkaian peristiwa di wilayah lainnya sebenarnya merupakan suatu hal yang penting untuk mengungkap lebih komprehensif mengenai peristiwa Tanjung Priok dan penanggungjawab atas terjadinya peristiwa tersebut. Selanjutnya mengenai unsur sistematis, dari 4 (empat) surat dakwaan yang diajukan ke Pengadilan HAM Jakarta Pusat, jaksa penuntut umum secara seragam dan sumir memaparkan unsur sistematis dengan menyatakan bahwa : “ antara bulan Juli sampai dengan Agustus 1984 atau pada hari-hari sebelum awal bulan September 1984 Kondisi Politik di wilayah kodim 0502 Jakarta Utara cukup panas khususnya di bidang sosial budaya dan agama karena di picu oleh penceramahpenceramah yang menghasut jamaahnya dan memanaskan situasi yang cenderung melawan kebijakan pemerintah dalam bentuk ceramah ekstrim di Mesjid-mesjid yang isinya menghujat pemerintah atau aparat seperti Kodim dan Polisi dengan menggunakan sarana agama sehingga bentuk opini untuk melawan kebijakan pemerintah saat itu 17”. Jaksa penuntut umum secara singkat memaparkan bahwa kebijakan pemerintah yang ditentang oleh para penceramah yang berada di kelurahan Koja Tanjung Priok tersebut adalah mengenai pemberlakuan azas tunggal Pancasila, adanya pelarangan penggunaan jilbab bagi pelajar putri dan program keluarga berencana. Padahal untuk lebih memberikan persfektif secara komprehenif mengenai pengertian unsur “sistematis” dalam peristiwa Tanjung Priok, selain dari UU No. 26 tahun 2000, seharusnya jaksa penuntut umum mengambil pengertian unsur “sistematis” dari beberapa putusan-putusan Pengadilan HAM yang sudah ada, seperti putusan-putusan pengadilan HAM Tim-tim dan praktek peradilan internasional. Dapat pula ditambahkan beberapa pendapat para ahli (doktrin) untuk lebih memahami mengenai pengertian “sistematis” tersebut. Contohnya, majelis hakim dalam perkara Abilio Soares menyatakan pengertian “sistematis’ ini sebagai : “terbentuknya sebuah ide atau prinsip berdasarkan penelitian atau observasi yang terencana dengan prosedur yang sudah umum. Dalam kaitannya dengan pelanggaran berat HAM, 17 Lihat Surat dakwaan a.n Sutrisno Mascung dkk No. Reg. Perkara 01/HAM/TJPriok/08/2003 hal 4; surat dakwaan a.n Sriyanto dkk No. Reg. Perkara 04/HAM/TJPriok/09/2003 hal 2; surat dakwaan atas nama Rudolf A. Butar-Butar No. Reg. Perkara 02/HAM/TJ-Priok/09/20003 hal 2; surat dakwaan atas nama Pranowo No. Reg.Perkara 03/HAM/TJ-Priok/09/2003 hal 2
17
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
definisi sistematik dapat berarti kegiatan berpola sama dengan konsisten (berulang-ulang). Pola disini berarti sebuah gagasan yang ditandai dengan tidak berubahnya posisi atau saling berhubungan, bisa juga karakter tertentu yang sudah terbentuk dan ditunjukan secara berulang-ulang” 18. Dalam Pengadilan Internasional Ad Hoc untuk Rwanda dalam kasus Jean Paul Akayesu (ICTR), pengertian unsur sistematis merupakan tindakan yang teratur dan berpola berdasarkan kebijakan yang melibatkan sumber-sumber publik maupun swasta. Unsur sistematik tidak mengharuskan bahwa kebijakan tersebut diformulasikan secara formal sebagai kebijakan negara, tetapi cukup merujuk terdapatnya perencanaan. Oleh karena itu, sangat mengherankan mencermati pemahaman jaksa penuntut mengenai unsur “sistematis” dalam peristiwa pelanggaran HAM berat Tanjung Priok tersebut. Jaksa penuntut umum terkesan “menyederhanakan” situasi dan kondisi di wilayah Kodim 0502 Jakarta Utara sebagai suatu hal yang “ujug-ujug” atau “dengan seketika ada”, tanpa menguraikan penyebab (causa) atau latar belakang memanasnya situasi di wilayah Kodim 0502 Jakarta Utara tersebut sebagai dampak (implikasi) dari dikeluarkannya kebijakan tentang pemberlakuan azas tunggal Pancasila. Seharusnya jaksa penuntut umum dapat menguraikan lebih baik mengenai pengertian unsur “sistematis” tersebut, misalnya dengan tidak “hanya” memaparkan situasi sosial politik di wilayah Kodim 1502 Jakarta Utara. Tetapi dapat juga dengan menguraikan unsur “sistematis” ini mulai dari latar belakang pemberlakuan azas tunggal Pancasila dan kondisi sosial politik Indonesia pada tahun 1980-an. Hal ini dapat ditelusuri, misalnya dengan melihat atau mengkaji kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, dalam hal ini Presiden Soeharto dan anggota kabinetnya maupun dari pernyataan-pernyataan pejabat pemerintah mengenai pemberlakukan azas tunggal Pancasila 19. Perspektif yang digunakan jaksa penuntut umum dalam dakwaan ini justru akan menghilangkan penyebab (causa) dan keterkaitan antara memanasnya suhu politik di wilayah Kodim 0502 Jakarta Utara dengan adanya kebijakan pemberlakuan azas tunggal Pancasila. Dengan hilangnya konteks penyebab (causa) dan keterkaitan antara memanasnya suhu politik di wilayah Kodim 0502 Jakarta Utara dengan adanya kebijakan pemberlakuan azas tunggal Pancasila tersebut, akan menyebabkan putusnya mata rantai untuk memperlihatkan bahwa memang ada keterkaitan antara peristiwa Tanjung Priok dengan dikeluarkannya kebijakan pemberlakuan azas tunggal Pancasila.
18 Putusan Abilio Soares hal 145-146, hal yang sama dapat dilihat dalam putusan Adam damiri 153-154 19 Lihat Laporan Akhir Tim Pengkajian Komnas HAM mengenai Kasus Tanjung Priok, Januari-Mei 2003; Laporan Kontras yang memaparkan secara panjang lebar mengenai latar belakang pemberlakuan azas tunggal Pancasila. Pemberlakuan azas tunggal Pancasila ini mulai dikonsolidasikan Presiden Soeharto dan kabinetnya pada awal 1980-an. Hal ini dilakukannya dengan cara penyederhanaan partai dan de-ideologisasi partai, yang pada akhirnya dapat mengkonsolidasikan kekuasaannya.
18
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Implikasi lebih jauhnya adalah mengakibatkan tidak dapat diketahuinya siapa seharusnya yang harus bertanggungjawab atas terjadinya peristiwa Tanjung Priok. Hal-hal yang dipaparkan di atas inilah yang dapat menjadi titik lemah dari surat dakwaan jaksa penuntut umum, mengingat pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan mensyaratkan bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari serangan terhadap penduduk sipil yang bersifat meluas atau sistematik. Meluas mengacu pada besaran luasan geografis atau massivitas korban sedangkan sistematik mengacu pada adanya kebijakan yang tersistematisir yang membiarkan atau bahkan menganjurkan terjadinya pelanggaran berat HAM. Unsur-unsur ini akan sulit dipenuhi jika peristiwa pelanggaran berat ham yang terjadi tersebut dilepaskan dari dinamika perkembangan yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1980-an.
b. Konsistensi dengan hasil KP3T Secara garis besar dapat dikatakan bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah sesuai (konsisten) atau memiliki persamaan dengan hasil penyelidikan KP3T Komnas HAM. Kesesuaian tersebut misalnya dapat dilihat dari jumlah korban tewas dalam peristiwa Tanjung Priok, yaitu sebanyak 23 orang. Selanjutnya kesesuaian juga dapat dilihat dari jumlah orang yang ditahan secara sewenang-wenang dan korban penyiksaan aparat keamanan 20. Namun, selain konsisten dengan hasil Laporan KP3T, Jaksa Penuntut Umum juga telah inkonsisten ketika mengungkapkan “siapa saja” individu-individu atau pejabat-pejabat militer Indonesia yang harus bertanggungjawab atau patut dimintai pertanggungjawabannya atas terjadinya peristiwa Tanjung Priok. Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya “secara sengaja” tidak memasukkan individuindividu atau pejabat-pejabat militer Indonesia yang seharusnya dapat dimintai atau patut bertanggungjawab atas terjadinya peristiwa Tanjung Priok. Dalam Laporan KP3T, selain para terdakwa yang sekarang ini sedang disidangkan, telah disebutkan juga orang-orang yang seharusnya dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam peristiwa Tanjung Priok tersebut. Mereka adalah 21: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jend TNI. Benny Moerdani, Panglima TNI-Pangkopkamtib Mayjend TNI. Tri Sutrisno, Pangdam V Jaya Brigjend. TNI. Dr. Soemardi, Kepala RSPAD Gatot Subroto Mayor TNI Darminto, Bagpam RSPAD Gatot Soebroto Kapten Auha Kusin, BA, Rohisdam V Jaya Kapten Mattaoni, BA, Rohisdam V Jaya
Untuk korban penahanan sewenang-wenang jumlahnya adalah sekitar 169 orang, sedangkan korban penyiksaan sekitar 14 orang. 20
21
Ringkasan Eksekutf Laporan Tim Tindak Lanjut KP3T, Oktober 2000 hal 8-9
19
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Inkonsistensi inilah yang menyebabkan tidak dapat diajukannya para pembuat kebijakan atau penanggungjawab (high command responsibility) atas terjadinya peristiwa Tanjung Priok.
c. Penggunaan Pasal-Pasal KUHP Pasal-pasal dalam KUHP yang digunakan adalah pasal-pasal yang terdapat dalam Ketentuan Umum KUHP (buku 1). Dalam surat dakwaan terhadap terdakwa Sutrisno Mascung dkk, pasal dalam KUHP yang juga digunakan dalam dakwaan kesatu dan kedua adalah pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sedangkan dalam surat dakwaan terhadap Pranowo dalam dakwaan pertama menggunakan pasal 55 ayat 1 ke 1 dan pasal 64 KUHP, dakwaan kedua menggunakan pasal 64 KUHP. Terhadap penggunaan pasal-pasal dalam KUHP tersebut menunjukkan bahwa pengadilan HAM sebetulnya adalah juga pengadilan pidana. Tetapi yang perlu dipertanyakan adalah berkenaan dengan konstruksi penggunaan pasal-pasal tersebut dalam dakwaan yang diajukan. Konteks penggunaan pasal-pasal dalam KUHP tersebut sangat penting untuk melihat beban pembuktian yang harus dilakukan oleh jaksa penuntut umum. 22 Penggunaan pasal-pasal dalam KUHP ini jika tidak dilandasi dengan dasar argumentasi yang jelas akan melemahkan dakwaan dari penuntut umum itu sendiri. Pasal 64 KUHP yang tercantum dalam surat dakwaan terhadap Pranowo merupakan pasal yang mengatur tentang perbuatan berlanjut atau pasal yang mengatur tentang rangkaian beberapa perbuatan yang mempunyai hubungan sehingga harus dianggap sebagai suatu tindakan yang harus dilanjutkan. Ketentuan dalam pasal ini dalam pembuktiannya memiliki syarat-syarat tertentu yang juga akan berimplikasi atas tidak terbuktinya dakwaan jika syarat tersebut tidak terpenuhi. Dari surat dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut umum menunjukkan bahwa pasal 64 KUHP ini relevansinya adalah melihat keterkaitan antara peristiwa tanggal 12 September 1984 di Tanjung Priok dengan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa yaitu melakukan perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang (dalam dakwaan ke 1) dan penyiksaan (dalam dakwaan ke 2). Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain dan terjadinya penyiksaan yang dilakukan dan sepengetahuan terdakwa terjadi tanggal 13 September 1984 sampai dengan bulan-bulan lain setelah September merupakan kelanjutan dari kejadian Tanjung Priok pada tanggal 12 September 2003. Jaksa penuntut umum seharusnya menunjukkan bahwa kelanjutan atas perkara Tanjung Priok dengan 22 Contoh kasus dalam Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Pelanggaran HAM yang berat di Timor-timur dalam kasus Penyerangan Gereja Ave Maria Suai para terdakwa juga didakwa dengan pasal 55 ayat 2 KUHP. Dalam tuntutan pidana pasal ini dibuktikan terlebih dahulu dan ketika ternyata tidak terbukti maka jaksa menyatakan bahwa karena salah satu unsure dari pasal yang didakwakan tidak terbukti maka unsur-unsur lain tidak perlu dibuktikan dan berkesimpulan bahwa dakwaan primairnya tidak terbukti.
20
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
ditangkapnya dan kemudian ditahannya penduduk sipil secara sewenang-wenang yang selanjutnya terjadi penyiksaan selama dalam tahanan adalah bagian dari rangkaian kejadian yang dilakukan secara sistematis dan terpola. Jaksa harus melihat konteks ini dalam menggunakan ketentuan pasal 64 KUHP. Implikasi jika jaksa tidak melihat proses penahanan secara sewenang-wenang dan terjadinya penyiksaan dalam tahanan dikaitkan sebagai kelanjutan dari peristiwa Tanjung Priok tanggal 12 september 1984 maka akan menjadikan dakwaan sulit untuk dibuktikan. Unsur sistematik atau meluas yang menjadi syarat adanya kejahatan terhadap kemanusiaan akan menjadi sulit dibuktikan jika penerapan pasal 64 KUHP ini juga tidak mempunyai argumentasi yang kuat terutama dikaitkan dengan posisi dan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa 23.
23 Dalam eksepsi dengan terdakwa Pranowo, Penasehat hukum terdakwa jelas menyatakan bahwa peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa adalah terjadi di luar locus delicti dan tempus delicti dalam Keppres No. 96 Tahun 2001 yang menyatakan pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok mengadili perkara yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984.
21
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Bab II Eksepsi dan Putusan Sela
22
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
A. Eksepsi Terhadap dakwaan jaksa penuntut umum tersebut, tim penasehat hukum terdakwa yang diwakili dari Babinkum TNI mengajukan keberatan (eksepsi) yang pada pokoknya menyatakan bahwa 24:
1. Pengadilan HAM Ad Hoc tidak mempunyai kewenangan absolut dalam menyidangkan perkara ini Tim penasehat hukum terdakwa menyatakan bahwa dalam mengeluarkan Keppres No. 96 tahun 2001, presiden tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR RI, secara sepihak telah melakukan perubahan atas Keppres RI No. 53 tahun 2001 menjadi Keppres RI No. 96 tahun 2001 yang menjadi landasan hukum Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Perubahan terhadap Keppres RI No. 53 tahun 2001 menjadi Keppres RI No. 96 tahun 2001 adalah bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 43 ayat (2) UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang secara tegas mengatur perlunya usul/rekomendasi DPR RI dalam pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. 2. Penyidikan tidak sah secara hukum Untuk menyatakan bahwa penyidikan pelanggaran HAM berat Tanjung Priok tidak sah, tim penasehat hukum mengemukakan argumentasinya berdasarkan proses penanganan peristiwa Tanjung Priok mulai dari proses penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM, sampai dengan proses penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Tim penasehat hukum menyatakan bahwa “KP3T yang bekerja berdasarkan Keputusan No. 003/Komnas HAM/III/2000 tidak mempunyai mandat pro justitia, maka hasil penyelidikannya juga tidak bersifat pro justitia, melainkan hanya bersifat pemantauan. Oleh karena itu, harus disimpulkan bahwa hasil penyelidikan yang tidak pro justitia tidak dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan, penuntutan, apalagi persidangan.
3. Dasar hukum perpanjangan waktu penyidikan tidak sah Untuk argumentasi ini, tim penasehat hukum dengan mengutip surat Tim Penasehat Hukum TNI No. B/54/TPHPT/VIII/2001 tanggal 3 Agustus 2001 kepada Ketua Mahkamah Agung, menyatakan bahwa kewenangan memperpanjang waktu penyidikan terhadap perkara sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 adalah 24 Lihat eksepsi tim penasehat hukum Sutrisni Mascung dkk tanggal 29 September 2003; R. Butar-Butar tanggal 8 Oktober 2003; Pranowo 7 Oktober 2003 dan Sriyanto 30 Oktober 2003. Dari 4 (empat) berkas yang diajukan, semua eksepsi (keberatan) yang diajukan tim penasehat hukum terdakwa mengajukan eksepsi (keberatan) yang isinya hampir sama. Dari 4 (empat) berkas yang diajukan, semua eksepsi (keberatan) yang diajukan tim penasehat hukum terdakwa mengajukan eksepsi (keberatan) yang isinya hampir sama.
23
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
ada pada Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok 1984, bukan pada Pengadilan HAM yang secara otomatis memiliki kewenangan mengadili perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sesudah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tersebut, karena Pengadilan HAM yang dibentuk berdasarkan UU No. 26 tahun 2000, tidak serta merta berwenang untuk memperpanjang waktu penyidikan terhadap perkara pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
4. Peristiwa Tanjung Priok 1984 bukan merupakan pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 •
Tindakan para terdakwa semata-mata adalah suatu tindakan pembelaan diri pada saat pelaksanaan tugas.
Keberatan tim penasehat hukum ini diajukan dengan menyandarkan pada siaran pers Komnas HAM setelah KP3T menyelesaikan laporannya. Dalam siaran pers itu, Komnas HAM, sebagaimana dikutip tim penasehat hukum, menyatakan bahwa “ penembakan yang terjadi oleh para petugas keamanan adalah dalam keadaan terdesak dan terpaksa (force majeur) setelah adanya tindakan dan perlawanan dari massa terhadap ajakan damai dari pimpinan pasukan dan adanya usaha perebutan senjata petugas oleh beberapa warga massa secara melawan hukum”. Dengan demikian, menurut tim penasehat hukum, tindakan para petugas dalam keadaan yang demikian tidak dapat dihukum. •
Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 telah diselesaikan secara komprehensif, baik aspek hukum dan aspek politik maupun aspek sosial budaya.
Dalam keberatannya tim penasehat hukum menyatakan bahwa peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 telah diselesaikan secara komprehensif, baik aspek hukum dan aspek politik maupun aspek sosial budaya. Pada tataran eksekutif, peristiwa tersebut telah dipertanggungjawabkan dalam sidang kabinet terbatas pada bulan Oktober 1984. Pada tataran legislatif, peristiwa tersebut telah dipertanggungjawabkan dalam Rapat Kerja Gabungan Komisi I, II. III dan IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada bulan Oktober 1984, yang kesimpulannya antara lain menerima dan mendukung tindakan tegas dari aparat keamanan, dengan pertimbangan bahwa kalau tidak diambil tindakan tegas seperti itu, diperkirakan akan timbul korban yang lebih banyak lagi, bahkan dapat mengganggu stabilitas nasional. Dalam tataran yudikatif telah dilakukan pada tahun 1984-1985, dengan penyidangan atas para pelaku yang disangka terlibat pada peristiwa tersebut. Kepada mereka yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, telah dijatuhi hukuman sesuai dengan jenis dan bobot kesalahannya. Pada persidangan kasus tersebut, sejumlah anggota aparat keamanan yang bertugas dan dilibatkan saat terjadinya peristiwa, semuanya telah diperiksa oleh pengadilan dalam kapasitasnya sebagai saksi. Baik jaksa maupun majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut, tidak pernah
24
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
merekomendasikan para saksi prajurit TNI tersebut untuk pemeriksaan pro justicia lebih lanjut sebagai tersangka. Lebih lanjut, tim penasehat hukum mengemukakan bahwa dalam perkembangannya, yaitu pada tahun 2001 para pihak pelaku aksi massa dan pihak aparat merasa bahwa kondisi negara yang carut-marut dan tercabik-cabik serta dilanda oleh krisis multidimensional yang berkepanjangan, seyogyanya kedua belah pihak menaruh kepedulian untuk turut meringankan beban negara dari berbagai macam persoalan, yaitu dengan memberikan kontribusi menuju penyelesaian masalah Tanjung Priok 1984 melalui semacam rekonsiliasi dari sisi agama Islam, yang diharapkan dapat membawa angin kedamaian bagi tercapainya keadilan sejati yang dirasakan oleh kedua belah pihak, yaitu dengan melalui Ishlah 25. 5. Asas retroaktif yang diberlakukan bertentangan dengan hukum dan keadilan. Tim penasehat hukum menyatakan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum terhadap para terdakwa “sungguh merupakan suatu proses persidangan yang sangat tidak masuk akal bila dilihat dari waktu persidangan. Bahkan dari berbagai data yang ada, persidangan ini memecahkan rekor peristiwa terlama yang pernah disidangkan di negara manapun. Karena dalam waktu dua dasa warsa baru dipaksakan disidangkan. Padahal peristiwa tersebut pada tahun 1984-1985 telah diselesaikan baik pada tataran eksekutif, legislatif maupun judikatif. Selain itu, tim penasehat hukum juga menyatakan bahwa ketentuan pasal 4 jo pasal 43 UU No. 26 tahun 2000 yang menjadi dasar untuk mengadili perkara ini bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 28 (i) amandemen ke-2 yang menegaskan “kepada setiap warga negara tidak boleh diberlakukan hukum yang berlaku surut dalam keadaan apapun”. Disamping bertentangan dengan UUD 1945, tim penasehat hukum juga menyatakan bahwa pemberlakuan asas retroaktif tersebut bertentangan juga dengan “asas yang paling mendasar dalam hukum pidana, yaitu asas legalitas”. Prinsip hukum yang mendasar (basic principles of law) dalam hukum pidana tersebut diatur dalam pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) KUHP, yaitu : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Selanjutnya tim penasehat hukum terdakwa mengemukakan keberatannya berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang diakui secara universal, yaitu bahwa asas retroaktif bertentangan dengan asas universalitas, dimana asas ini diterima sebagai asas fundamental yang mutlak keberlakuannya oleh masyarakat internasional. Penerimaan atas asas ini oleh masyarakat internasional yang beradab, diwujudkan dalam bentuk Universal Declaration of Human Rights, tepatnya pada article 11 ayat (2). 25
Uraian lebih lanjut mengenai ishlah akan diuraikan dalam Bab II Conclussion Report ini.
25
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Khusus mengenai surat dakwaan terhadap Mayjend TNI (Purn) Pranowo, dimana jaksa penuntut umum menyatakan “bahwa bertempat di kantor terdakwa POM DAM V Jaya (Guntur) Jalan Sultan Agung Nomor 33 Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimanggis Jakarta Timur sekarang Jalan Raya RTM Cimanggis RT.008/RW.11 Kelapa Dua Depok Jawa Barat atau setidaktidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Timur Sekarang Pengadilan Negeri Cibinong Jawa Barat...telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa perampasan kemerdekaan sewenang-wenang atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang dan penyiksaan 26”. Terhadap dakwaan yang ditujukan terhadap Pranowo tersebut, tim penasehat hukum berpendapat bahwa dengan dibuatnya dakwaan terhadap terdakwa, jaksa penuntut umum telah melanggar locus sebagaimana ditetapkan dalam Keppres No. 96 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres No. 53 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tepat. Hal ini disebabkan karena, jaksa penuntut umum telah membuat dakwaan untuk peristiwa yang tidak terjadi di Tanjung Priok 27. Padahal secara tegas pasal 1 Keppres No. 96 tahun 2001 menyatakan : “Ketentuan Pasal 2 Keppres RI Nomor 53 Tahun 2001 tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diubah sehingga berbunyi sebagai berikut, Pasal 2: “Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dili, dan Suai pada bulan April 1999 dan bulan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok bulan September 1984. Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, tim penasehat hukum Pranowo menyatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc tidak mempunyai kewenangan absolut dalam menyidangkan perkara ini 28. Setelah menguraikan secara panjang lebar keberatannya (eksepsi) sebagaimana dipaparkan di atas, tim penasehat hukum menyimpulkan bahwa : “Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang digunakan sebagai dasar hukum mengadili peristiwa Tanjung Priok dua dasa warsa yang lalu adalah perangkat hukum yang penuh controversial dan kental permasalahan poltiknya”. 26
Lihat surat dakwaan No. Reg. Perkara : 03/HAM/TJ-Priok/09/2003 atas nama Pranowo
27
Lihat eksepsi tim penasehat hukum Pranowo tanggal 7 Oktober 2003, hal 15
28
Ibid, hal 12-17
26
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Dalam bagian akhir keberatannya, tim penasehat hukum mengajukan permohonan kepada majelis hakim agar menyatakan bahwa: “Pengadilan HAM Ad Hoc Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara ini; serta menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum ad hoc batal demi hukum”.
B. Putusan Sela Terhadap eksepsi (keberatan) yang diajukan tim penasehat hukum terdakwa, majelis hakim pengadilan ad hoc yang menangani keempat berkas perkara tersebut, memutuskan menolak permohonan tim penasehat hukum terdakwa dan sebaliknya, memutuskan untuk melanjutkan proses persidangan pada pemeriksaan pokok perkara. Berkaitan dengan keberatan tim penasehat hukum mengenai kompetensi absolut dan kompetensi relatif Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat untuk mengadili perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok, majelis hakim berpendapat bahwa keberatan tim penasehat hukum tidak beralasan hukum dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Selanjutnya, berkaitan dengan surat dakwaan jaksa penuntut umum yang menurut tim penasehat hukum tidak cermat, tidak jelas (obscuur libel) dan error in persona, majelis hakim berpendapat bahwa apa yang disampaikan tim penasehat hukum tersebut telah memasuki ruang lingkup pokok perkara yang akan dibuktikan kebenarannya dalam proses persidangan nanti. Khusus mengenai keberatan tim penasehat hukum Pranowo mengenai locus delicti peristiwa pelanggaran HAM berat yang didakwakan kepadanya, majelis hakim dalam putusan selanya menetapkan bahwa walaupun locus delicti tersebut berada diluar wilayah Tanjung Priok, namun locus personal dan peristiwanya masih merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984 29. Sebagai bahan perbandingan, berikut dapat dilihat keberatan tim penasehat hukum dan pertimbangan yang diberikan majelis hakim dalam putusan selanya. ]
Tabel 6. Putusan Sela Pranowo Keberatan Tim Penasehat Hukum 1. Berkaitan dengan kompetensi 29
Pertimbangan hakim atas keberatan tim penasehat hukum terdakwa
Walaupun Locus delicti-nya berada diluar wilayah Tanjung Priok, namun locus personal dan
Transkrip Putusan Sela No. 02/Pid. HAM/Ad Hoc/2003/PN Jakarta Posit, hal 5
27
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip peristiwa-nya masih merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984 2. Berkaitan dengan Keppres No. 96 tahun 2001 sebagai dasar hukum Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc 3. Proses penyidikan 1. Penyidikan tidak sah secara hukum 1.
Masa penyidikan melampaui batas waktu
4. Peristiwa Tanjung Priok 1984 bukan merupakan pelanggaran HAM berat 5. Azas retroaktive yang diberlakukan bertentangan dengan hukum dan keadilan
Kewenangan untuk melakukan uji materiil terhadap Keppres No. 96 tahun 2001 berada pada tangan Mahkamah Konstitusi.
Keberatan yang diajukan tim penasehat hukum berada diluar materi dari ruang lingkup keberatan sebagaimana diatur dalam pasal 156 ayat 1 KUHAP. Ketua Pengadilan HAM Jakarta Pusat telah mengeluarkan penetapan perpanjangan waktu penyidikan sesuai dengan ketentuan pasal 22 ayat 3 UU No. 26 tahun 2000. Eksepsi yang diajukan tim penasehat hukum sudah menyangkut pokok perkara.
6. Dakwaan 1. Dakwaan error in persona 2. Pertanggungjawaban komando 3. Dakwaan tidak cermat, obscure libel, tidak lengkap
Nilai keadilan tidak diperoleh dari tingginya nilai kepastian hukum, melainkan dari keseimbangan perlindungan hukum atas korban dan pelaku kejahatan; Semakin serius bentuk kejahatan, maka semakin besar nilai keadilan harus dipertahankan, lebih besar dari nilai kepastian hukum.
Hal-hal tersebut sudah merupakan materi pokok perkara; • Keberatan tim penasehat hukum tidak beralasan hukum; dan •
28
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Tabel 7. Putusan Sela R. Butar-Butar Keberatan Tim Penasehat Hukum 1. Kompetensi Absolut 1. Peristiwa Tanjung Priok bukan merupakan pelanggaran HAM berat
2.
Berkaitan dengan Keppres No. 96 tahun 2001 sebagai dasar hukum Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc dikeluarkan tanpa mendapat persetujuan DPR
Pertimbangan hakim atas keberatan tim penasehat hukum terdakwa
Keberatan tim penasehat hukum telah memasuki pokok perkara; Mengenai hal-hal yang terjadi serta perbuatan melanggar hukum akan dibuktikan dalam pembahasan unsur-unsur dakwaan, yaitu pokok perkara.
Bahwa menurut UUD 1945 dan Tap MPR tahun 2000 pasal 5 ayat 2 presiden berwenang untuk mengeluarkan Keppres; Bahwa pembuatan Keppres oleh Presiden tidak disyaratkan untuk meminta persetujuan DPR; Bahwa Keppres No. 96 tahun 2001 jo Keppres No. 53 Tahun 2001 sampai saat ini masih berlaku, karena tidak ada undangundang atau peraturan yang sederajat yang menyatakan bahwa Keppres tersebut dicabut. 3. Asas retroaktif yang diberlakukan bertentangan dengan UUD 1945, hukum dan keadilan Pasal 4 jo pasal 43 UU No. 26 Tidak benar bahwa pasal 4 jo pasal 43 UU No. 26 tahun 2000 tahun 2000 bertentangan bertentangan dengan UUD 1945. dengan UUD 1945; Penerapan asas retroaktif justru sejalan dengan asas nullum Asas retroaktif bertentangan crimen sine iure. dengan asas nullum crimen sine Penerapan asas retroaktif secara internasional pernah terjadi lege; dalam pengadilan di bekas negara Yugoslavia (ICTY) dan Asas retroaktif bertentangan Rwanda (ICTR), karena pada dasarnya penerapan asas ini dengan asas universalitas. justru untuk menghapuskan parktik impunity terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. 4. Surat dakwaan error in persona, Keberatan yang diajukan tim penasehat hukum telah tidak cermat, tidak jelas, tidak memasuki hal-hal yang menyangkut materi pokok perkara lengkap (obscuur libel) yang akan dibuktikan di dalam pembuktian unsur dakwaan. 5. Peristiwa Tanjung Priok bukan Mengenai hal-hal yang terjadi serta perbuatan melanggar merupakan peristiwa pelanggaran hukum akan dibuktikan dalam pemeriksaan pokok perkara HAM berat sebagaimana diatur Keberatan tim penasehat hukum sudah masuk dalam dalam UU No. 26 tahun 2000 pembahasan pokok perkaranya, yang sudah diluar ketentuan pasal 156 ayat 1 KUHAP 6. Pengadilan HAM Jakarta Pusat Keberatan tim penasehat hukum tidak beralasan hukum dan tidak mempunyai kewenangan sebaliknya pendapat penuntut umum sebagai tanggapan atas relatif untuk mengadili perkara keberatan tersebut dapat diterima. pelanggaran HAM Tanjung Priok 7. Surat dakwaan tidak dapat Bukan merupakan alasan tidak dapat diterimanya dakwaan diterima karena pelaku materiil penuntut umum, karena tidak ada ketentuan yang mengatur belum pernah diperiksa dan diadili siapa yang harus didahulukan dan diputus perkaranya. 8. Tidak terpenuhinya unsur Telah memasuki pembahasan materi dakwaan yang harus command responsibility dibuktikan dalam pemeriksaan materi pokok perkara. 9. Proses penyidikan melebihi batas Alasan tersebut menjadi tidak penting setelah perkara ini waktu dilimpahkan ke pengadilan sesuai dengan prosedur hukum acara pidana yang berlaku
29
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Tabel 8. Putusan Sela Sutrsino Mascung dkk Keberatan tim penasehat hukum 1. Kompetensi absolut Keppres No. 96 tahun 2001 yang digunakan sebagai dasar hukum pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc adalah cacat hukum karena tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR
Pertimbangan majelis hakim
Pendapat tim penasehat hukum adalah keliru dan tidak cermat, karena dengan adanya perubahan terhadap Keppres No. 53 tahun 2001 menjadi Keppres No. 96 tahun 2001, telah secara tegas menyebutkan locus dan tempus delicte untuk kedua peristiwa Timor-timur dan Tanjung Priok. Proses penerbitan Keppres RI No. 53 tahun 2001 telah didahului dengan usulan DPR RI berdasarkan keputusannya No. 44/DPR RI/III/2001. Oleh karena itu, dikeluarkannya Keppres No. 96 tahun 2001 tidak perlu lagi mendapat persetujuan dari DPR RI, akrena sumber penerbitan Keppres No. 96 tahun 2001 adalah Keppres NO. 53 tahun 2001 yang sebelumnya telah mendapat persetujuan dari DPR RI Dengan demikian, pembentukan Pengadilan HAM Tanjung Priok berdasarkan Keppres No. 96 tahun 2001 adalah tidak cacat hukum, melainkan sah demi hukum. Penyidikan tidak sah secara hukum Setelah membaca eksepsi tim penasehat hukum mengenai penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung dalam tahapan pro justitia, telah berada diluar pokok eksepsi sesuai pasal 156 ayat 1 KUHAP, sehingga eksepsi tim penasehat hukum irrelevan untuk dipertimbangkan. 3. Dasar hukum perpanjangan waktu Sesuai jurisdiksi Pengadilan HAM Jakarta Pusat, secara serta merta penyidikan tidak sah Ketua Pengadilan HAM Jakarta Pusat berwenang untuk memperpanjang waktu penyiidikan terhadap perkara pelanggaran HAM Tanjung Priok yang terjadi sesudah UU No. 26 tahun 2000 diundangkan, sekalipun penyidikan terhadap terdakwa dilakukan sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000. 4. Peristiwa Tanjung Priok 1984 bukan Eksepsi tim penasehat hukum telah memasuki substansi materi merupakan peristiwa pelanggaran pokok perkara yang akan dibuktikan kebenarannya dalam HAM berat sebagaimana diatur dalam pemeriksaan pokok perkara nanti, sehingga eksepsi ini harus UU No. 26 tahun 2000 dinyatakan tidak dapat diterima. 5. Asas retroaktif yang diberlakukan bertentangan dengan UUD, hukum dan keadilan Pasal 4 jo pasal 43 UU No. 26 tahun Majelis hakim sependapat dengan pendapat jaksa penuntut umum 2000 bertentangan UUD 1945 yang menyatakan bahwa asas retroaktif tersebut tidak bertentangan Asas retroaktif bertentangan dengan UUD 1945, hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilihat dalam dengan asas nullum crimen sine lege penjelasan umum UU No. 26 tahun 2000, pasal 28 (j) ayat (2) UUD 1945, pasal 15 ayat (2) Kovenan hak-hak sipil dan politik serta Asas retroaktif bertentangan praktek peradilan. dengan asas universalitas Pendapat tim penasehat hukum yang menpersoalkan bahwa asas retroaktif bertentangan dengan asas nullum crimen sine lege dalam hukum pidana dan bertentangan dengan azas universalitas, menurut majelis pendapat tersebut tidaklah tepat bahwa khusus mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan yang banyak berkaitan dengan pelanggaran HAM berat dianggap tidak melanggar azas standar legalitas didalam pidana internasional. Asas legalitas dapat disimpangi dalam hal menyangkut pelanggaran HAM berat sebagai
30
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
6. Surat dakwaan kabur, tidak jelas dan tidak cermat
extra ordinary crime. bahwa tujuan tertib hukum tidaklah semata-mata untuk mewujudkan kepastian hukum, melainkan untuk menegakan atau menciptakan keadilan bagi semuanya accept justice for all yang mengacu pada prinsip-prinsip universal HAM yang berlaku. Bahwa dalam penegakan keadilan tidak didasarkan pada adagium nullum delictum nula poena sine lege, melainkan didasarkan pada nullum delictum nula poena sine iure. Dengan prinsip ini terkandung maksud untuk menghapus atau mengakhiri upaya praktek upaya impunitas, yaitu sikap mengabaikan tanpa memberi hukuman terhadap pelanggaran HAM yang berat. keberatan tim penasehat hukum terdakwa telah memasuki materi pokok perkara yang akan dibuktikan kebenarannya dalam proses persidangan nanti
31
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Bab III Pembuktian
32
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyebutkan bahwa hukum acara yang dipergunakan
untuk prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM adalah menurut ketentuan hukum acara pidana dalam hal ini adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM ad hoc ini menggunakan ketentuan dalam KUHAP yang diatur dalam pasal 184- 190. Dalam pasal-pasal tersebut yang yang dijadikan alat bukti adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Pasal-pasal tersebut juga mengatur tentang standar alat bukti dan prosedur pembuktian. Namun kelima alat bukti yang diatur dalam KUHAP tersebut sangat tidak memadai untuk pelanggaran HAM yang berat dimana dalam pengalaman peradilan internasional untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan, alat-alat bukti yang lain diluar yang ditentukan oleh KUHAP juga diperkenankan. Alat-alat bukti lainnya tersebut adalah misalnya rekaman, baik itu yang berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat kejadian dan sebagainya, kemudian alat-alat bukti yang juga bisa dipakai dan diperbolehkan adalah dokumen-dokumen salinan, kliping koran, artikel lepas, sampai pada suatu opini yang terkait dengan kasus yang disidangkan. 30 Khusus terhadap alat bukti keterangan saksi mempunyai kedudukan penting selama proses pembuktian perkara pidana. Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memposisikan kedudukan saksi dalam urutan pertama disamping alat bukti lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa keterangan saksi merupakan alat bukti yang cukup kuat untuk membuktikan surat dakwaan jaksa penuntut umum. Keterangan saksi ini akan menjadi fakta hukum bagi hakim dalam menentukan putusan pada akhirnya, yang sebelumnya juga menjadi acuan bagi jaksa untuk melakukan penuntutan (requisitoir) dan penasehat hukum untuk menyusun pembelaan (pledooi). Keterangan saksi akan sangat mempengaruhi tercapainya pencapaian kebenaran materiil yang merupakan proses yang paling signifikan dalam perkara pidana. Upaya kearah pencapaian kebenaran materiil inilah yang akan menjadi titik krusial dari seluruh proses persidangan. Kualitas keterangan saksi oleh majelis hakim akan diuji dengan menggunakan standar atau prosedur berdasarkan ketentuan dalam KUHP. Kitab undang-undang hukum acara pidana memberikan pedoman tentang bagaimana cara hakim akan menilai kebenaran dan keterangan saksi. 31 Ketentuan pasal 185 KUHAP menyatakan bahwa Lihat Preliminary Conclusive Report pengadilan HAM ad hoc Timor-timur, Elsam, 4 Juli 2002. hal. 6. 30
31 Pedoman untuk menilai kebenaran dan keterangan saksi adalah a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lainnya, b) persesuaian antara keterangan saksi dengan bukti lain, c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu, d) cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
33
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Selain itu juga adanya pengaturan tentang saksi-saksi yang memberikan keterangan yang bukan merupakan pengetahuan langsung atau keterangan saksi tersebut dari pihak lain (testimonum de auditu). Keterangan yang berupa pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi. 32 Saksi-saksi yang telah dilakukan sumpah pada saat penyidikan karena dengan khawatirkan tidak dapat menghadiri persidangan dapat dijadikan atau dipersamakan sebagai alah bukti yang sah di pengadilan. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM berat Timor-Timur menunjukkan bahwa salah satu faktor kegagalan pencapaian kearah pencapaian kebenaran materiil adalah minimnya saksi korban yang memberikan keterangan di depan persidangan. Dalam setiap berkas perkara dalam persidangan pengadilan HAM ad hoc Timor Timur saksi korban tidak pernah mencapai jumlah yang sama dengan saksi-saksi yang bukan korban. Kondisi ini mendesak jaksa maupun hakim untuk melihat kesaksian korban dalam berita acara pemeriksaan dan melakukan perpanjangan waktu pemeriksaan karena pencarian kebenaran materiil tidak terpenuhi sehingga perlu ada perpanjangan dan mendengarkan lebih banyak saksi korban. 33 Pada akhirnya banyak keputusan dari majelis hakim yang mendasarkan pada kesaksian korban yang dibacakan di sidang pengadilan. Hal ini berbeda dengan pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok dimana cukup banyak saksi yang dikategorikan sebagai saksi korban memberikan keterangan di muka persidangan. Asumsi awal bahwa dengan banyaknya saksi korban yang memberikan keterangan di persidangan akan memperkuat surat dakwaa jaksa ternyata dalam persidangan menunjukkan gejala yang sebaliknya dimana banyaknya saksi korban yang merevisi keterangannya. Implikasi dari keterangan yang semacam ini adalah menjadikan kesulitan bagi jaksa untuk membuktikan dakwaannya dan bagi hakim untuk mencari kebenaran materiil.
1. Pembuktian surat dakwaan dalam pemeriksaan saksi Secara umum proses pembuktian ini diarahkan untuk membuktikan dakwaan jaksa untuk para terdakwa. Para terdakwa didakwa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, penganiayaan, penyiksaan dan penahanan sewenang-wenang. Dalam konteks ini sangat penting untuk menemukan atau menguraikan element of crimes dari tiap dakwaan. Selain itu terdapat juga beberapa terdakwa yang didakwa dengan melakukan pembiaran (omission) dalam kapasitasnya 32
Pasal 185 ayat 5 KUHAP.
33 Dalam beberapa berkas perkara, diantara perkara dengan terdakwa Adam Rafael Damiri, Tono Suratman dan Hulman Gultom, majelis hakim membuat surat penetapan untuk melakukan perpanjangan waktu persidangan melampaui waktu 180 hari sesuai dengan ketentuan UU No. 26 Tahun 2000. Alasan utama adanya perpanjangan waktu pemeriksaan ini adalah berkaitan dengan tidak tercapainya atau kurangnya fakta bagi hakim untuk mencari kebenaran material.
34
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
sebagai komandan yang melakukan pembiaran terhadap bawahannya yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan atau dengan kata lain para terdakwa ini dijerat dengan pasal tentang tanggung jawab komando (command responsibility). 34 Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan mempunyai unsur meluas atau sistematik sebagai elemen utama (general element) dalam tiap kategori kejahatan yang terjadi. 35 Sistematik atau meluas ini selalu menjadi bagian dalam pembuktian ada atau tidaknya kejahatan terhadap kemanusiaan baik berupa pembunuhan, penganiayaan, penyiksaan maupun perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang. Kelemahan UU No. 26 Tahun 2000 berkenaan dengan sistematik atau meluas ini adalah tidak ada definisi yang jelas sehingga dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. 36 Definisi atas sistematik dan meluas yang tidak jelas ini akan menjadi kendala dalam proses pembuktian dalam artian akan menyulitkan jaksa penuntut umum maupun hakim dalam memfokuskan pertanyaan kepada saksi.
a.
Pemeriksaan saksi terhadap unsur meluas atau sistematik
Selama pemeriksaan saksi, eksplorasi atas unsur meluas atau sistematik tidak tercakup secara memadai. Unsur meluas lebih banyak ditunjukkan dengan jumlah korban yang jatuh baik korban pembunuhan, penganiayaan, penyiksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Uraian dalam subtansi dakwaan menunjukkan bahwa dalam surat dakwaan sendiri massivitas jumlah korban menjadi faktor kuat untuk membuktikan unsur meluas, sedangkan unsur sistematik tidak dapat diuraikan secara jelas dan lengkap yang hanya membatasi pada keadaan-keadaan yang terjadi atau situasi sosial politik di wilayah kodim 0502 Jakarta Utara. Peristiwa yang terjadi tidak dikaitkan dengan adanya pola kebijakan pemberlakuan asas tunggal pancasila dan kondisi sosial politik indonesia pada tahun 1980 an sehingga tidak kelihatan betul bagaimana pola pengamanan kebijakan pemerintah tersebut dengan adanya peristiwa tanjung priok. Terdakwa yang dikenai pasal 42 ayat 1 UU No. 26 Tahun 2000 tentang tanggung jawab komando adalah Mayjend. (Purn) Rudolf A. Butar-butar (saat itu sebagai komandan kodim) dan Mayjend. Pranowo (saat itu sebgai kepala rutan cimanggis). 34
Tidak jelasnya definisi atas meluas dan sistematik ini juga termasuk pengertian tentang istilah “diketahuinya”. Lihat Preliminary Conclusive Report, Pengadilan HAM ad hoc Timor-timur dibawah standar, 4 Juli 2002. 35
Pengalaman pengadilan HAM ad hoc Timor-timur menunjukkan bahwa penafsiran atas sistematik atau meluas bisa sangat berbeda antara Jaksa penuntut umum dengan penasehat hukum terdakwa, bahwa antar majelis hakim dalam memberikan keputusan juga mempunyai pendapat yang berbeda berkenaan dengan unsur sistematik dan meluas ini. Dalam menjelaskan istilan sistematik atau meluas para pihak diantaranya jaksa penuntut umum, penasehat hukum terdakwa dan majelis hakim mengacu pada referensi yang berbeda, refensi yang sering digunakan adalah dari berbagai putusan pengadilan internasional. Lihat juga dokumendokumen pengadilan dalam pengadilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur 36
35
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Unsur sistematik juga seharusnya dilihat dalam kontek terjadinya peristiwa Tanjung Priok sebagai pola atau agenda yang berlanjut atas pengamanan kebijakan pemerintah sehingga jelas relevansinya antara tindakan represif aparat dengan para penentang kebijakan tersebut. Rangkaian kejadian pasca tanggal 12 september juga harus secara jelas diuraikan diantaranya dengan adanya penangkapan terhadap penduduk sipil, penguburan mayat dan penghilangan jenazah para korban dari keluarganya, penyiksaan yang terjadi dalam tahanan sampai para korban tersebut diajukan ke pengadilan. 37 Dari uraian itu akan telihat secara nyata bahwa adanya kebijakan atau pola yang sistematis dalam hal pengamanan terhadap kebijakan pemerintan pada waktu itu. Melihat proses kesaksian sampai saat ini, eksplorasi atas unsur meluas atau sistematik hanya dilakukan dengan melihat jumlah korban yang terbunuh dan jumlah korban yang mengalami penyiksaan, penganiayaan dan penahanan sewenang-wenang. Para saksi tidak bisa menyatakan secara pasti tentang jumlah korban karena pada umumnya mereka saat terjadinya peristiwa tidak mempunyai akses atau pengetahuan tentang berapa secara pasti korban yang meninggal mengingat tertutupnya informasi pada saat itu. 38 Majelis hakim dan jaksa seharusnya lebih jeli melihat faktor atau pola pengamanan secara garis besar yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam mengamankan kebijakan pemerintah sehingga akan dapat menentukan apakah peristiwa Tanjung Priok itu berdiri sendiri atau merupakan bagian dari upaya untuk pengamanan kebijakan. Majelis hakim agar lebih melihat beberapa point penting atas rangkaian peritiwa Tanjung Priok diantara kebijakan tentang penguburan mayat korban penembakan yang tidak transparan (juga termasuk apakah ada upaya penghilangan mayat tersebut) 39, kebijakan atas penahanan sewenang-wenang tanpa surat bukti, dan kebijakan adanya penyiksaan terhadap para tahanan yang melanggar asas-asas hukum internasional. Majelis hakim harus dapat menemukan pola atau rangkaian kejadian tersebut dalam sebuah pola yang memang sudah tersistematis dan terencana.
37 Dalam kejahatan terhadap kemanusiaan perbuatan-perbuatan dilakukan secara individual, namun ada pula sebagai hasil collective action. Dalam pengertian ini terdapat elemen yang merupakan fondasi penting yaitu adanya pemegang otoritas kebijakan yang membuat terbentuknya rangkaian kejadian yang menyebabkan perbuatan individu tersebut dikategorikan dalam pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan.
Salah satu saksi yang secara jelas mengetahui jumlah korban adalah saksi Try Sutrisno yang bersaksi untuk terdakwa Rudolf A Butar-butar pada tanggal 12 Januari 2004 yang menyebut jumlah korban sebanyak 32 orang (22 orang ditambah 10 oranga dari warga keturunan akibat amukan massa). 38
39
Ketentuan yang menjadi acuan adalah bagaimana sebetulnya para korban tersebut seharusnya diperlakukan dalam artian sebagai korban mereka perlu dilakukan otopsi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan atau dapat secara langsung dan cepat dilakukan penguburan untuk menutup-nutupi fakta atas kejadian yang menimpa korban tersebut.
36
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip Jumlah korban : No 1
b.
Kejahatan terhadap kemanusiaan Pembunuhan
2
Percobaan Pembunuhan
3
Penganiayaan
4 5
Penyiksaan Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
Jumlah korban dalam surat dakwaan 23 orang atau setidak-tidaknya 14 orang meninggal 64 orang atau setidak-tidaknya 11 orang menderita luka tembak 64 orang atau setidak-tidaknya 11 orang menderita luka tembak 13 orang 4 orang (di kodim) kurang lebih 169 orang atau setidak-tidaknya 125 orang (Rutan Guntur dan RTM Cimanggis)
Pemeriksaan saksi tentang tanggung Jawab Komando
Delik tanggung jawab komando ini berdasarkan ketentuan pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000. 40 Para terdakwa yang dituduh melanggar ketentuan ini adalah Pranowo dan Rudolf Butar-butar yang dalam dakwaan jaksa para terdakwa ini adalah komandan militer yang mempunyai bawahan dan anak buah terdakwa melakukan pelanggaran HAM yang berat. Terdakwa Rudolf A Butar-butar dianggap tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan yang dilakukan oleh anak buahnya dan atau menyerahkan pelakunya tersebut kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Butar-butar juga seharusnya mengetahui atau atas dasar saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukannya telah melakukan pelanggaran HAM berat berupa penganiayaan dan terdakwa tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM berat berupa penganiayaan dan atau menyerahkan pelakunya tersebut kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 41 Khusus tenhadap komandan militer adalah pasal 42 ayat 1 huruf a dan belum UU No. 26 Tahun 2000 yang unsur-unsurnya adalah a) komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer, b) pengendalian yang efektif, c) sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk pembunuhan, d) tidak dilakukannya pengendalian pasukan secara patut, e) mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui. 40
41
Lihat surat dakwaan terhadap Mayjend. Rudolf A Butar-butar.
37
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Terdakwa Pranowo, dalam konteks tanggung jawab komando, seharusnya mengetahui atau atas dasar saat itu seharusnya mengetahui, pasukan atau anggotanya telah atau sedang melakukan pelanggaran HAM yang berat berupa penyiksaan atau dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental, namun terdakwa tidak mencegah atau menghentikan perbuatan pasukannya/anggotanya atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 42 Terhadap dakwaan diatas, hal-hal yang akan atau seharusnya dibuktikan adalah berkenaan dengan istilah “pengedalian yang efektif” dalam artian benar bahwa anak buah yang melakukan pelanggaran adalah anak buah terdakwa. Pengendalian efektif ini mencakup “de yure” maupun “de facto” bahwa terdapat rantai komando dimana komandan dapat memberikan perintah. Hal lainnya adalah berkaitan dengan istilah “mengetahui atau pada saat itu seharusnya mengetahui”, istilah ini mengandung arti bahwa adanya pertanggungjawaban pidana jika seseorang “mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu” (knew or had reason to know) kelakuan bawahannya. Kalimat ini berkaitan dengan adanya kegagalan untuk mencegah suatu kejahatan atau menghalangi tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh bawahannya atau menghukum mereka yang melakukan tindak pidana. Meskipun pasal ini memfokuskan pada keadaan dimana seorang bawahan akan melakukan suatu tindak pidana atau telah melakukannya, tidak ada indikasi bahwa tanggung jawab pidana tersebut akan dihilangkan jika ada tindakan yang telah dilakukan oleh si atasan namun pelanggaran/kejahatan bawahan tetap terjadi. 43 Tindakan “layak” dan “perlu” oleh seorang komandan seperti yang didakwakan terhadap Butar-butar dalam pasal 24 UU No. 26 Tahun 2000 juga tidak ada definisi secara tegas. Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 tidak menjelaskan secara detail dengan batasan yang jelas berkenaan dengan istilah “layak” dan “perlu”. Pasal 42 1 (b) menggunakan definisi bahwa “ komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, …..”. 44 Pasal ini hanya menekankan pada apakah ada tindakan yang dilakukan seudah layak atau tidak. Apakah perlu atau tidak (obligation of conduct), dan secara otomatis mengabaikan pada kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggung jawab komando berhasil mencegah atau menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas 42
Lihat surat dakwaan terhadap Mayjend. Pranowo.
43 Lihat Preliminary Conclusive Report, Pengadilan HAM ad hoc Timor-timur dibawah standar, Elsam, 4 Juli 2002 44
ibid
38
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
kelalaian melaksanakan tugas (direliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar kebiasaan hukum internasional untuk kealpaan dan kelalaian dalam arti yang luas menyetakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: 1) ia seharusnya mengetahui (should have had knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau akan terjadi dan dilakukan oleh bawahannya. 2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan, dan 3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. 45 Pemeriksaan saksi selama persidangan seharusnya diupayakan yang pertama-tama adalah menunjukkan adanya hubungan yang jelas antara komandan dengan pasukannya yang melakukan pelanggaran HAM yang berat dan apakah ada kontrol yang efektif dari komandan dan pasukannya tersebut. Selanjutnya adalah membuktikan bahwa ada atau tidak tindakan yang dilakukan komandan tersebut dalam hal mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan anak buahnya dan bagaimana komandan melakukan koreksi atas pelanggaran HAM berat yang terjadi dengan menyerahkan pelakunya untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Dari pola tersebut akan dapat disimpulkan apakah komandan tersebut melakukan tindakan yang layak dan perlu atau bahkan gagal dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu (failure to act). Selama proses pemeriksaan saksi, posisi para terdakwa apakah sebagai komandan pasukan yang melakukan pengendalian atau dibawah kontrol efektifnya masih menjadi fokus perhatian dari majelis hakim. Pasukan Arhanud 06 menjadi titik sentral dari upaya untuk mencari siapa yang harus bertanggung jawab atas pasukan ini, dan dalam proses pemeriksaan masih menjadi perdebatan tentang posisi pasukan ini apakah sudah di BKO kan ke polres yang otomatis menjadi tanggung jawab Polres Jakarta Utara atau masih merupakan pasukan dibawah pengendalian kodim. Tentang apakan komandan tersebut telah melakukan tugasnya dengan baik, hanya saksi Try sutrisno yang memberikan keterangan bahwa terdakwa telah melakuan tugasnya dengan baik. Terdakwa Pranowo yang juga didakwa dengan delik tanggung jawab komando, juga belum kelihatan jelas hubungannya atau terbukti siapa anak buah pranowo yang melakukan penyiksaan, terkecuali bahwa penyiksaan itu terjadi dalam wilayah yang merupakan otoroitas terdakwa. Demikian pula terhadap terdakwa butar-butar yang belum jelas kelihatan betul nama-nama personel anggota Kodim yang melakukan penyiksaan terhadap para tahanan. Dari fakta ini perlu untuk lebih detail dalam melakukan proses pemeriksaan terhadap saksi terutama untuk mengungkap secara jelas hubungan pelaku lapangan dengan terdakwa dan bagaimana terdakwa mengetahui pelanggaran HAM yang berat yang sedang terjadi dan bagaimana terdakwa melakukan tindakan atas terjadinya pelanggarahan HAM berat tersebut. Hal ini akan memperjelas posisi terdakwa dan
45
Ibid
39
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
kontribusinya atas terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan konteks dia sebagai komandan. 46
c.
Pemeriksaan saksi tentang pembunuhan
Dakwaan tentang pembunuhan dan percobaan pembunuhan ini di dasarkan pada pasal 9 a UU No. 26 Tahun 2000 dan pasal 41 UU No. 26 Tahun 2000. Pasal 9 a UU No. 26 Tahun 2000 dalam penjelasannya menyatakan bahwa pembunuhan yang dimaksud adalah pembunuhan sebagaimana dalam pasal 340 KUHP. Hal ini menjadikan bahwa pembuktian atas adanya pembunuhan mengharuskan memenuhi unsur-unsur dalam pasal 340 KUHP. 47 Terkait dengan peristiwa yang didakwakan yaitu pembunuhan ini, locus delictinya adalah di Jalan Sindang dan waktunya pada saat terjadi penembakan oleh aparat arhanud 06 pada tanggal 12 September 2003. Keterangan saksi seharusnya akan lebih banyak menjelaskan tentang proses terjadinya pembunuhan sesuai dengan pasal 340 KUHP. Para saksi, terutama saksi korban lebih banyak menjelaskan tentang kronologis terjadinya peristiwa tanggal 12 september 2003 tersebut. Unsur dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain coba dibuktikan oleh jaksa penuntut umum maupun majelis hakim. Poin penting dakwaan ini adalah bagaimana membuktikan bahwa penembakan yang terjadi yang mengakibatkan masyarakat sipil adalah apakah ada cukup bukti bahwa tembakan yang dilakukan dilakukan dengan kesengajaan atau niat untuk melakukan pembunuhan. Tetapi upaya ini cukup sulit dilakukan karena adanya beberapa keterangan saksi yang dicabut dan berbeda dengan keterangan sebelumnya seperti di BAP. Unsur pembunuhan dengan sengaja ini terlihat sangat sulit terlihat ketika para saksi menyatakan bahwa jumlah massa yang bergerak dengan menggunakan senjata tajam dan menyerang petugas. Tindakan yang dilakukan oleh petugas seolah-olah adalah pertahanan diri yang sifatnya spontan. Para saksi juga menyatakan bahwa massa juga melakukan perusakan. Tetapi yang menjadi persoalan adalah diantara saksi yang menyatakan adanya massa yang menggunakan senjata tajam dan melakukan perusakan tersebut, diantara mereka tidak ada yang terlibat atau mengakui ikut dalam perusakan atau melawan petugas.
Sebagai perbandingan dapat dilihat dalam perkara pengadilan HAM ad hoc Timor Timur dengan terdakwa Endar Prianto yang dinyatakan tidak bersalah karena tidak ada keterkaitan antara terdakwa dengan pihak yang melakukan penyerangan kerumah Manuel V. Carascalao meskipun secara samar diidentifikasikan ada aparatyang juga terlibat tetapi bukan pasukan terdakwa. lihat putusan pengadilan HAM ad hoc dengan terdakwa Endar Prianto. 46
Dalam beberapa putusan pengadilan HAM ad hoc Timor Timur unsut pembunuhan dalam pasal 340 KUHP ini harus memenuhi unsur-unsur setiap orang, dengan sengaja, dan unsur menghilangkan nyawa orang lain. 47
40
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Disamping itu pemeriksaan saksi juga mengarah pada prosedur yang telah dilakukan oleh patugas dalam menangani massa apakah sudah sesuai dengan ketentuan atau belum. Dalam pemeriksaan ini eksplorasi yang dilakukan oleh majelis hakim adalah mengenai proses terjadinya penembakan berkait dengan lamanya penembakan, arah tembakan dan apakah ada peringatan tembakan terlebih dahulu. Selain itu, faktor jumlah korban yang terbunuh juga digali dari para saksi tetapi para saksi tidak begitu tahu mengetahui jumlahnya dan meskipun tahu keterangan bersifat mendengar dari pihak lain. Untuk membuktikan adanya unsur pembunuhan dengan sengaja ini majelis hakim hendaknya lebih memfokuskan pada tindakan pelaku yang melakukan penembakan dan secara detail mengkonstruksikan peranan para pelaku. Dengan kemampuan untuk menggambarkan konstruksi kejadian secara utuh dan lengkap ini akan jelas menunjukkan secara jelas pula apakah memang kondisi saat itu telah terjadi pembunuhan sesuai dengan yang dituduhkan jaksa kepada para terdakwa. 48
d.
Pemeriksaan saksi tentang penganiayaan
Dakwaan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan ini ditujukan kepada terdakwa Sutrisno Mascung dkk, Sriyanto dan terdakwa Rudolf A. Butar-butar. Dakwaan atas kejahatan kemanusiaan berupa penganiayaan ini berdasarkan jumlah korban yang telah mengalami luka-luka. Penganiayaan pertama adalah pada para tahanan yang ditahan di Makodim 0502 Jakarta Utara yang dilakukan oleh anggota kodim tersebut sedangkan penganiayaan yang kedua adalah korban akibat tembakan dari terdakwa Sutrisno Mascung dkk yang kesemuanya mengalami luka tembak. Pemeriksaan saksi-saksi yang merupakan korban dari penganiayaan relatif mudah dilakukan karena masih adanya bukti nyata diantaranya bekas-bekas luka tembakan pada tubuh korban. Beberapa saksi selama pemeriksaan menunjukkan bekas luka tembakan akibat dari peristiwa Tanjung Priok. Saksi korban penganiayaan selama dalam tahanan lebih banyak mencoba untuk mengurangi adanya penganiayaan yang dilakukan oleh aparat kodim 0506 Jakarta Utara dengan menjelaskan bahwa pemukulan hanya satu dua kali dan mencabut istilah penyiksaan, saksi-saksi juga mencabut atau meluruskan keterangan saat dilakukan penganiayaan.
Sebagai perbandingan putusan pengadilan HAM ad hcoc Timor Timur untuk terdakwa Herman Sedyono dkk. para terdakwa ini diduga terlibat melakukan penyerangan terhadap Gereja Ave Maria Suai, Kovalima yang kondisi dan situasinya hampir mirip dengan kasus Tanjung Priok. Selama persidangan tidak cukup jelas mengenai peranan para pelaku penyerangan terutama dari anak buah para terdakwa, tidak bisa dibuktikan siapa anak buah terdakwa yang melakukan penembakan dan tidak jelas juga mengenai bagaimana pembunuhan terjadi, identifikasi dan kesimpulan penyebab kematian korban hanya dari laporan visum et repertum. Akhirnya para terdakwa dibebaskan. Lihat putusan pengadilan HAM ad hoc dengan terdakwa Herman Sedyono, dkk. 48
41
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Seperti halnya masalah dalam membuktikan adanya pembunuhan, penganiayaan yang terjadi juga perlu untuk juga dibuktikan secara pasti pihak-pihak yang melakukan penganiayaan. Selama pemeriksaan saksi nama-nama, meskipun sudah diidentifikasi sebagai anggota satuan tertentu, tetapi tidak jelas sampai saat ini siapa saja yang telah melakukan penganiayaan. Hal ini menjadi faktor yang perlu diperhatikan oleh hakim maupun jaksa untuk lebih dapat menjelaskan tentang siapa pelaku penganiayaan dan apa hubungannya dengan terdakwa, serta apakah penganiayaan tersebut juga merupakan perintah terdakwa dan paling tidak terdakwa mengetahui adanya penganiayaan tersebut. 49 Hakim : berapa lama saudara di kodim? Saksi : satu minggu Hakim : selama seminggu hanya diperiksa oleh tiga orang itu? Saksi : ya. Hakim: saya tidak mau mengungkit trauma saudara, saudara menggunakan istilah penyiksaan. Saya ingin tahu apa yang saudara rasakan dari penyiksaan? Saksi : Bu hakim, kalau boleh saya katakan bahwa bahasa penyiksaan saya cabut, yang ada pukulan. Hakim : pukulannya satu kali atau dua kali? Saksi : kadang satu kali, kadang dua kali. Hakim : pukulannya memakai apa? Saksi : kadang-kadang memakai kayu, tongkat, kopel. Hakim : berapa kali saudara di kopel? Saksi : sekali. Hakim : disuruh merangkak? Saksi : ya Hakim : hanya memakai celana dalam? Saksi : ya. Transkrip kesaksian Ahmad Sahi untuk terdakwa Rudolf A. Butar-butar, tanggal 5 November 2003
Dalam surat dakwaan terhadap Butar-butar tidak jelas siapa nama-nama dari pelaku penganiayaan yang dilakukan di kodim Jakarta Utara dan hanya disebutkan sebagai anggota kodim. Korban penganiayaan berupa luka tembak telah jelas diidentifikasikan sebagai hasil penembakan yang dilakukan oleh pasukan Sutrisno Mascung dkk. 49
42
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Pola penganiayaan : No 1 2
3 4
5
Penganiayaan yang dilakukan (berdasarkan surat dakwaan) Tubuh atau badannya dipukuli dengan rotan, ditendang dengan sepatu lars TNI, Wajahnya dipukul dengan tangan hingga tangannya patah Tubuhnya dipukuli dengan popor senjata, ditendang dan diinjak-injak hingga mengalami rasa sakit disekujur tubuhnya, tidak bisa membuka mulut dan tidak bisa duduk. Tubuhnya dipukuli, ditendang hingga sesak nafas dan tidak bisa duduk Tubuhnya dipukuli, kadang-kadang dengan gagang senjata, kadang dengan tangan kosong, dengan kayu hingga mengalami gangguan pendengaran dan mengalami sakit dikepala. Korban menderita luka tembak di bagian belakang telinga hingga tembus mata kiri
6
Korban menderita luka di bagian kepala
7
Luka tembak di lambung kiri
8
Luka tembak pada tangan kiri
9
Luka tembak pada kaki kanan di bawah lutut diamputasi Luka tembak pada kaki kanan
10 11 12 13 14 15 16
Luka tembak pada pinggang kanan disebelah atas tembus dada kanan Luka tembak di paha kiri belakang Luka tembak pada atas telinga dan pinggul tembus ke perut Luka tembak pada paha sebelah kanan Luka tembak pada dada sebelah kiri punggung dan tangan kiri Luka tembak pada siku dan pergelangan tangan kiri
43
Korban
Pelaku
M. Nur
Anggota militer dari makodim 0502/Jakarta Utara
Syarifuddin Rambe
Anggota militer dari makodim 0502/Jakarta Utara
Sofwan bin Sulaiman Ahmad Sahi
Anggota militer dari makodim 0502/Jakarta Utara Anggota militer dari makodim 0502/Jakarta Utara
Amir Mahmud bin dul kasan Wasjan bin Sukarno Amran
Pasukan dibawah pengendalian efektif Letkol Butar-butar, Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan. Pasukan dibawah pengendalian efektif Letkol Butar-butar Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan. Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan. Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan. Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan. Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan. Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan. Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan. Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan. Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan. Terdakwa Sutrisno Mascung dkk, akibat tembakan yang dilakukan.
Sudarso bin Rais Muchtar Dewang Hussein Sape Budi Santoso Yudi Wahyudi Tahir Irta Sumitra Yusron Suherman
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
e.
Pemeriksaan saksi tentang penyiksaan
Penyiksaan diatur dalam pasal 9 f UU No. 26 Tahun 2000 yang dalam penjelasannya menyatakan bahwa penyiksaan adalah dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan ataupun seorang yang berada dalam tahanan. Dakwaan atas penyiksaan ini dijatuhkan kepada terdakwa Pranowo yang saat itu menjabat sebagai Kapomdam V Jaya. Pranowo dituduh melakukan pembiaran terhadap anak buahnya yang melakukan penganiayaan terhadap tahanan yang berada dalam pengawasannya. Selama proses kesaksian ini, penyiksaan meskipun mencoba diperhalus dengan adanya istilah-istilah yang sifatnya rebih ringan tetapi dalam beberapa kesaksian terbukti bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap tahanan menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental. Saksi-saksi yang diperiksa secara umum menyetakan bahwa mereka mengalami penyiksaan dan beberapa keterangan saksi lainnya mencoba untuk melakukan pencabutan terhadap beberapa perlakuan petugas terhadap mereka. Secara keseluruhan pembuktian atas adanya penyiksaan dalam tahanan tidak begitu sulit untuk dibuktikan mengingat beberapa tindakan petugas yang melakukan pemukulan dan perbuatan lain yang merendahkan martabat diakui oleh para saksi meskipun tidak persis betul dengan keterangan semula dalam BAP. Penuntut umum : selama di guntur saksi pernah mengalami penyiksaan, betul? Saksi : saya pernah dipukul. Penuntut Umum : yang mukul siapa? Saksi : yang mukul ya petugas. Penuntut umum : petugas kenal? Saksi : tidak kenal ……………. Penuntut umum : pertanyaan nomor 27, selama di guntur apa yang saudara alami?, diguntur kami didata, dikumpulkan di teras dan disuruh buka pakaian, sehingga kami hanya memakai cawat, kemudian oleh petugas kami dipikul kena tulang kering, kaki dan bagian punggung dengan memakai tongkat kayu, kemudian kami disuruh jalan merayap menuju ruang pemeriksaan di bagian belakang, apa betul begitu? Saksi : kalau saya memang dipukul tulang kering. Penuntut Umum : apa betul disuruh merangkak? Saksi : betul Transkrip kesaksian Syarifuddin rambe, dengan terdakwa Pranowo, tanggal 12 November 2003
44
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip Bentuk-bentuk penyiksaan : No
Penyiksaan yang dialami (sesuai dalam surat dakwaan)
Korban
1
Hanya memakai celana dalam selama dalam tahanan, disuruh jalan merangkak dan dijemur ditengah hari bolong Menendang tulang kering kaki kiri 1x dan petugas lainnya dari belakang memukul kepala belakang dengan tangan. Disuruh tidur dilapangan terbuka dan dijemur dibawah sinar matahari hanya memakai celana dalam Memukul badan dan kaki saksi korban dengan menggunakan tongkat Petugas memukul tulang kering, punggung, kepala, dengan tongkat pada saksi korban dan beberapa kawan lainnya disuruh merayap ke tempat pemeriksaan diruang belakang sambil petugas memukul kepala dan menginjak badan saksi korban dkk, apabila badan terangkat. Petugas CPM memukul. Menendang, menginjak badan saksi dan di RTM Cimanggis disuruh merangkak mengelilingi RTM Cimanggis Petugas CPM memukul kepala dan menendang punggung saksi dan rambut dicukur sambil saksi di jemur Saat diperiksa petugas, saksi disuruh push up 200 kali, disuruh koprol ke depan dan kebelakang pada malam hari scaut jump 200 kali sambil tangan kanan memegang telinga kiri lalu berputar dan ditendang oleh petugas kemudian saksi disuruh lari hingga menabrak tembok dan jatuh pingsan Setiap kali makan disuruh push up dan hidung saksi dipukul dengan besi akibatnya tulang hidungnya patah Selama dalam tahanan, petugas CPM memukul, menendang di tengah lapangan pada malam hari secara beramai-ramai sampai saksi pingsan barulah dikembalikan/dimasukkan ke dalam sel, selain itu petugas memberikan makanan dengan cara yang tidak selayaknya sebagai manusia. Diperiksa oleh petugas CPM diarahkan untuk mengakui bersalah, kalau tidak maka akan disiksa Ditelanjangi oleh Kowad dan saksi mendengar teriakan orangorang yang disiksa Selama dalam tahanan saksi di siksa
Rachmad
2 3 4 5
6 7 8
9 10
11 12 13
Budi Santoso Wasjan bin Sukarna Sofwan bin Sulaiman Ahmad Sahi
Yayan Hendrayana Sardi Drs. Ratono
Raharja Abdul Qodir Djaelani
Sudarso bin Rais Aminatun Drs. AM Fatwa
Pembuktian yang perlu dilakukan dan penting adalah mengungkap pola-pola penyiksaaan yang telah dilakukan oleh petugas termasuk mengenai cara dan durasi atau lamanya penyiksaan. Selain itu unsur utama lainnya adalah berkenaan dengan tingkat akibat dari penyiksaan tersebut yang menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik maupun mental, tentu saja kondisi pada saat para korban mengalami perlakuan tersebut dan tidak dalam kondisi saat ini.
45
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
f. Tentang perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang Pasal 9 huruf e UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau perampasan kemerdekaan fisik lain secara sewenangwenang lain yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional. Hal ini hampir sama dengan jenis kejahatan yang diatur dalam ketentuan Statuta Roma 1998 yaitu kejahatan yang termasuk memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional. Dalam surat dakwaan terhadap kejahatan jenis ini dinyatakan bahwa terdakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa perampasan kemerdekaan arau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil, sehingga mengakibatkan para tahanan mengalami stress dan sulit menggerakkan anggota tubuhnya serta pihak keluarga tidak diberitahukan dimana tempat penahanan para tahanan tersebut. 50 Jaksa penuntut umum secara jelas mengindikasikan bahwa dalam memperlakukan tahanan (yang sekarang menjadi korban) tidak melakukan prosedur penahanan dan perlindungan terhadap para tahanan dengan melakukan penahanan dalam sel yang sempit dan gelap selama 1 sampai dengan 15 hari di Pomdam Jaya Guntur dan kemudian dipindahkan selama 1 hari sampai dengan 3 bulan di Rumah tahana militer (RTM) Cimanggis dalam sel tahanan yang sempit. Selain itu para tahanan tidak mendapatkan surat perintah penahanan dari pihak yang berwenang selama di Pomdan V Jaya Guntur dan baru pada beberapa lama di RTM cimanggis baru terdapat surat perintah penahanan yang sebelumnya dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan oleh tim gabungan. Hal lain yang menyebabkan dakwaan terhadap adanya perampasan kebebasan fisik ini adalah bahwa selama di Pomdan V Jaya Guntur maupun di RTM Cimanggis tidak diperbolehkan keluar dari selnya, dan akibat perbuatan-perbuatan tersebut ada beberapa tahanan yang mengalami stress dan dan sulit menggerakkan anggota tubuhnya/lumpuh dan pihak keluarga tidak diberitahukan dimana tempat penahanan tersebut. Terhadap para tahanan tersebut yang merupakan warga sipil dan prosedur penahanan terhadap warga sipil harus sesuai dengan ketentuan KUHAP. Terhadap argumen jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya ini, terdapat kelamahan dimana hanya mendasarkan pada ketentutan KUHAP yang dilanggar oleh terdakwa, yang seharusnya jaksa bisa juga mengacu pada ketentuan lain dalam hukum internasional mengenai perlakuan dan perlindungan terhadap para tahanan. Pemeriksaan untuk membuktikan kejahatan ini hanya didasarkan pada ada atau tidaknya surat perintah penahanan dan pemberitahuan kepada keluarga korban atau pihak yang ditahan. Pemeriksaan juga difokuskan pada kondisi tempat tahanan. Untuk 50
Lihat dakwaan terhadap Mayjend. Pranowo, tanggal 8 september 20003. hal. 3.
46
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
membuktikan adanya surat penahanan yang dilakukan oleh aparat yang berwenang, pembuktian juga diarahkan kepada tempat penahanan para tahanan. Tentang surat perintah penahanan secara jelas belum tergambarkan dalam beberapa keterangan saksi. Saksi menyatakan bahwa surat penahanan ada yang dari polres Jakarta Utara. Namun belum ada upaya untuk melihat validitas surat penahanan yang ditandatangi oleh saksi. Hakim dalam membuktikan tentang surat penahanan ataupun pemberitahuan kepada keluarga mencoba untuk menggali bukti-bukti lainnya terutama proses persidangan para tahanan tersebut yang akhirnya diajukan ke pengadilan. Proses pengadilan tersebut tentunya akan dapat memberikan gambaran tentang prosedur penahanan yang dilakukan oleh petugas dan akan melihat posisi terdakwa selama proses tersebut. 51 Keterangan saksi menyatakan bahwa saat di tahanan cimanggis saksi berada dalam satu kamar yang terdiri dari 5 orang tahanan. Ukuran kamar sektar 2x2 sampai 2x 3 meter. Fokus dari pemeriksaan saksi berkaitan dengan dakwaan ini adalah mengenai kondisi para saksi korban pada saat diperiksa dirumah tahanan baik di Guntur maupun di RTM Cimanggis, pola pertanyaan yang diajukan adalan mengenai ruangan tahanan, akses saksi untuk keluar sel dan kebutuhan saksi dalam hal makan dan mandi dan hak-hak saksi untuk melakukan ibadah. 52 Secara umum pembuktian untuk adanya dakwaan terjadinya perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dan perampasan fisik lainnya sejauh ini agak sulit dibuktikan kecuali terhadap prosedur yang berkaitan dengan surat penahanan bagi para tahanan. Sedangkan bagaimana kondisi tempat penahanan baik di Pomdam V Guntur maupun RTM Cimanggis sampai saat ini belum ada gambaran secara memadai dan lengkap dari keterangan saksi.
g. Tentang Ishlah : Mewarnai proses pemeriksaan kesaksian Persoalan islah juga menjadi bagian besar proses pemeriksaan saksi. Persoalan islah ini muncul berkaitan dengan banyaknya saksi yang mengajukan permohonan kepada majelis hakim untuk membebaskan terdakwa dengan alasan mereka sudah melakukan islah. Selain itu, islah juga diindikasikan menjadi faktor penyebab atas beberapa keterangan saksi yang dicabut atau diluruskan sehingga berbeda dengan keterangan terdakwa. Hal ini terbukti dengan pertanyaan majelis hakim yang seringkali mengkonfirmasi keterangan saksi yang berbeda ini berkenaan dengan seorang saksi apakah mereka ikut dalam kelompok islah atau bukan.
Para tahanan tersebut sebagian besar kemudian diajukan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah dan menjalani hukuman yang berbeda-beda dengan tuduhan diantaranya melawan petugas. 51
52
Berdasarkan pembuktian tentang tempat penahanan di RTM Cimanggis ini ada silang pendapat berkaitan dangan kondisi sebenarnya tempat tahanan tersebut. Untuk lebih menjelaskan kondisi ini secara tepat muncul usulan agar majelis hakim melakukan sidang ditempat.
47
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Selama proses pemeriksaan terhadap saksi, majelis hakim cenderung menanggapi proses ishlah yang dilakukan oleh sebagian korban secara berlebihan. Hal ini terlihat dari eksplorasi hakim terhadap proses ishlah dan kedudukan saksi dalam proses ishlah tersebut. Tak jarang majelis hakim sampai perlu menanyakan tentang bagaimana ishlah dibuat dan apa yang diterima para korban terhadap sebagai hasil dari ishlah 53. Penggalian latar belakang atau motivasi proses ishlah akan positif apabila hal ini dilakukan untuk mencari motif para saksi dan terdakwa melakukan ishlah. Namun, akan menjadi kontraproduktif apabila eksplorasi terhadap proses ishlah ini malah melupakan pokok perkara yang sedang diperiksa, yaitu perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Seharusnya majelis hakim lebih focus kepada pembuktian perkara, bukan mengeksplorasi proses ishlah secara mendalam. Majelis hakim seharusnya memandang ishlah sebagai suatu mekanisme yang sifatnya privat dan personal antara para korban dengan para terdakwa. Majelis hakim tidak boleh terjebak kepada persoalan ishlah dan non ishlah. Persoalan ishlah haruslah dipandang sebagai suatu “niat baik” (goodwill) atau keinginan para pihak untuk menyelesaikan persoalan secara pribadi diantara mereka tanpa harus melihat apakah proses ishlah tersebut significan atau tidak significan pengaruhnya terhadap proses peradilan. Majelis hakim seharusnya hanya mendudukkan posisi ishlah sebagai sesuatu yang dapat meringankan para terdakwa (apabila dijatuhi pidana), bukan sesuatu yang dapat menghapuskan kesalahan para terdakwa.
2. Prosedur Pemeriksaan Saksi Mekanisme pemeriksaan saksi sampai saat ini menggunakan mekanisme yang biasa dalam artian bahwa saksi-saksi yang diperiksa di panggil di persidangan dan memberikan keterangan di depan persidangan. Belum ada mekanisme pemeriksaan saksi melalui mekanisme tertentu misalnya berkaitan dengan mekanisme pemeriksaan saksi tanpa kehadiran terdakwa atapun melalui video conference sebagaimana halnya pemeriksaan saksi dalam kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Dalam beberapa persidangan, penasehat hukum mengajukan usulan untuk melakukan sidang di tempat untuk lebih memperjelas konstruksi atau gambaran dari peristiwa yang terjadi. Sampai saat ini belum ada indikasi kearah proses persidangan di tempat yang akan dilakukan oleh majelis hakim.
a.
Mendahulukan Saksi korban
Selama 4 bulan pertama persidangan, semua persidangan untuk kasus Tanjung Priok ini mendahulukan saksi korban. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 160 ayat 2 KUHAP yang menyatakan bahwa yang pertama-tama diperiksa adalah korban yang menjadi Transkrip kesaksian Wasjan bin Sukarna dan Ahmad Sahi dalam perkara R. ButarButar tanggal 5 November 2003 53
48
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
saksi. Hal ini mengalami kemajuan jika dikomparasikan dengan proses pemeriksaan saksi pada pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur yang sebagian besar saksi-saksi korban tidak diperiksa pada saat awal persidangan. Dalam pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok ini semuanya menghadirkan saksi korban pada awal persidangan. Namun upaya jaksa untuk menghadirkan saksi korban ini juga banyak mengalami kekurangan diantaranya saksi-saksi yang direncanakan tidak dapat menghadiri persidangan karena persoalan pemanggilan dan alasan saksisaksi yang tidak memberikan keterangan. Hakim kadangkala perlu memperingatkan jaksa penuntut umum secara serius menunjukkan surat pemanggilan kepada saksi. Selama pemantauan saksi-saksi yang dipanggil adalah saksi-saksi memang memberikan keterangan di berita acara pemeriksaan (BAP). Majelis hakim harus terus menjaga prosedur ini dari upaya pengajuan saksi-saksi yang tidak relevan. Yang perlu diperhatikan adalah mengatur atau merencanakan pengaturan untuk proses kesaksian ini akan berlangsung berapa lama dengan memperhitungkan hak-hak terdakwa untuk mengajukan saksi yang meringankan.
b.
Larangan saksi saling berhubungan
Ketentuan pasal KUHAP menyatakan bahwa saksi-saksi yang akan diperiksa dilarang untuk saling berhubungan dan memasuki persidangan. Tetapi dalam faktanya saksisaksi tersebut masih banyak yang berada dalam ruang sidang sebelum diperiksa. Secara umum majelis hakim sering mengingatkan kepada jaksa agar para saksi yang akan diperiksa tidak berada dalam ruang sidang tetapi meskipun demikian saksi-saksi tersebut berada di dalam ruang sidang dan tetap bisa mendengarkan keterangan saksi melalui pengeras suara. Tidak ada upaya yang serius dari jaksa untuk mencoba menghindarkan atau mencegah para saksi saling berhubungan dan mendengarkan kesaksian sebelumnya. Para saksi yang akan diperiksa tampak sekali tidak menjadi bagian perhatian jaksa, saksi tidak mendapatkan fasilitas tertentu berkenaan dengan pencegahan saksi untuk selalu berhubungan. Jaksa terkesan membiarkan saksi melakukan apapun sebelum dipanggil ke ruang sidang. Masalah ini juga dipertanyakan oleh penasehat hukum terdakwa berkenaan dengan saksi-saksi yang akan diperiksa tetapi sebelumnya selalu menghadiri persidangan. 54 Dalam konteks ini jelas kelihatan bahwa jaksa sendiri tidak mempunyai strategi pemeriksaan saksi dan bahkan tidak tahu saksi-saksi yang akan diajukan ke persidangan. Rekomendasi untuk mengeliminir persoalan ini adalah adanya prosedur yang tetap untuk memperlakukan saksi sebelum mereka bersaksi misalnya dengan menyediakan ruangan khusus bagi mereka dengan jaminan pengamanan yang memadai (terutama Lihat transkrip persidangan dengan terdakwa Mayjend. Pranowo, tanggal 2 Desember 2003. penasehat hukum mengajukan keberatan atas saksi-saksi yang sering terlihat dipersidangan dan akan diajukan sebagai saksi. Penasehat hukum terdakwa menyatakan agar prosesnya sesuai dengan ketentuan KUHAP. 54
49
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
bagi saksi korban). Kondisi ini akan juga menunjukkan keadilan ketika melihat bahwa terdakwa juga mendapatkan ruangan khusus untuk mereka.
c.
Saksi yang merupakan terdakwa lainnya
Dalam persidangan, sampai Januari telah diperiksa 3 orang saksi yang juga merupakan terdakwa dalam kasus Tanjung Priok ini, mereka adalah saksi atas nama Adof Rudolf Butar-butar (mantan Komandan Kodim Jakarta Utara) dan Mayjend. Sriyanto (Mantan Kasi Ops Kodim Jakarta Utara). Saksi lainnya adalah Zulfatta yang juga merupakan salah seorang terdakwa dalam kasus Sutrisno Mascung dkk. Hadirnya saksi-saksi yang juga terdakwa ini sama halnya dengan saksi-saksi dalam pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Timur. Pasal 168 ayat 2 KUHAP menyatakan bahwa saksi-saksi yang termasuk saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Saksi-saksi tersebut diatas adalah pihak-pihak yang merupakan terdakwa dalam kasus yang sama tetapi diperiksa secara berbeda. Terdakwa Rudolf Butar-butar didakwa dengan melanggar ketentuan pasal 42 tentang tanggung jawab komando (by omission) berkaitan dengan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan yang dituduhkan oleh anak buahnya atau pasukan dibawah kendalinya yaitu Sutrisno Mascung dkk. Demikian pula dengan Sriyanto dan Butar sendiri juga bersaksi untuk terdakwa Sutrisno Mascung dkk yang merupakan anak buahnya yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap penduduk sipil (by comission) berupa pembunuhan dan penganiayaan. Dari kasus ini jelas kelihatan bahwa pada intinya kasus yang menjadi latar belakang adalah sama tetapi diperiksa dengan berkas perkara yang berbeda. Adanya praktek semacam ini akan menjadikan saksi-saksi diragukan keterangan karena dalam posisi terdakwa dia mempunyai hak ingkar untuk pada akhirnya akan diperiksa tanpa disumpah sedangkan pada sisi lain dia diperiksa sebagai saksi yang disumpah dan berkewajiban memberikan keterangan yang benar terhadap peristiwa yang dialaminya dan peristiwa tersebut juga dituduhkan kepada diri mereka. Pemeriksaan saksi-saksi yang juga merupakan terdakwa lainnya ini dapat dilihat dalam konteks pelanggaran atas asas non self incrimination yang melanggar ketentuan dalam pasal 14 angka 3 huruf g ICCPR yang menyatakan bahwa dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal diantaranya untuk tidak dipaksa memberikan keterangan yang memberatkan dirinya atau dipaksa mengaku bersalah. Dalam persidangan kasus dengan terdakwa Sutrisno Mascung dkk pada tanggal 29 Desember 2003 dimana pada saat itu sebagai saksi adalah Rudolf Butar-butar dan secara tegas menyatakan bahwa anak buahnya tidak bersalah dan kalau ada kesalahan maka seharusnya ditimpakan kepada dirinya. Butar-butar sendiri dalam peristiwa yang dituduhkan kepada Sutrisno Mascung dan kawan-kawan adalah komandan kodim jakarta utara dan saat ini dia sebagai terdakwa dalam kasus yang sama tetapi dalam kapasitas dia sebagai komandan Kodim saat itu. Hal ini berarti bahwa para terdakwa ini
50
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
seharusnya tidak dijadikan sebagai saksi dalam berkas pemeriksaan lainnya karena secara formal mereka adalan para terdakwa dalam kasus yang sama tetapi dalam posisi yang berbeda. Efek lainnya adalah kemandirian saksi-saksi ini akan sangat diragukan karena posisi mereka sebagai terdakwa akan terpengaruh atas kesaksian yang diberikan oleh diri mereka sendiri. Kasus yang relevan untuk menilai proses ini adalah putusan majelis hakim dalam kasus pengadilan HAM ad hoc Timor Timur dengan terdakwa Adam Damiri. Dalam putusannya majelis hakim secara jelas menyatakan bahwa saksi-saksi yang merupakan terdakwa lain dalam rangkaian perkara pengadilan HAM ad hoc keterangan saksi tersebut saling menutupi kesalahan terdakwa atau setidak-tidaknya memberikan kesaksian yang saling menguntungkan. Atas sikap majelis ini maka konsekuensinya adalah bahwa keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi yang merupakan terdakwa lainnya tersebut tidak digunakan sebagai fakta hukum. 55
d. Pencabutan BAP Fenomena pencabutan BAP kembali marak, terutama untuk meluruskan beberapa keterangan yang dianggap oleh saksi tidak benar saat memberikan kesaksian di kejaksaan agung. Namun dalam pencabutan BAP ini, alasan pencabutan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undang dan hanya berdasarkan atas alasan-alasan yang didasarkan pada kondisi saksi. ketentuan KUHAP menyatakan bahwa alasan pencabutan kesaksian adalah berkenaan dengan adanya tekanan atau pengaruh kondisi yang memungkinkan saksi memberikan keterangan yang tidak semestinya. Tidak ada satupun alasan yang menyatakan bahwa pencabutan keterangan yang berbeda dengan BAP tersebut adalah karena adanya tekanan dari penyidik pada saat memberikan keterangan. Pihak yang melakukan pencabutan pun biasanya disertai dengan permohonan untuk pembebasan terdakwa karena telah melakukan islah. Sedangkan saksi-saksi korban yang lain tetap pada keterangannya semula dan tidak ada pencabutan BAP. 56 Proses mengkoreksi (merevisi) atau “perbaikan” keterangan yang seringkali dilakukan oleh para saksi seharusnya mendapat perhatian serius dari majelis hakim sebagai pihak yang bertugas menjaga jalannya persidangan agar sesuai dengan tujuan pengadilan, Lihat putusan terhadap terhadap terdakwa Adam Rafael Damiri pada tanggal 5 Agustus 2003 yang menyatakan bahwa kualitas saksi-saksi tersebut adalah bekas atasan terdakwa, teman sejawat terdakwa ataupun bawahan terdaka maka majelis hakim berpendapat bahwa keterangan-keterangan saksi tersebut saling menutupi dan kesalahan terdakwa atau setidak-tidaknya memberikan keterangan yang saling menguntungkan. hal. 150. 55
56 Catatan menarik adalah adanya pernyataan saksi yang mencabut seluruh keterangannya di BAP karena terdakwa telah menolong saksi dan berkewajiban untuk melakukan itu, tetapi terdakwa tetap bersedia untuk diperiksa dipersidangan. Secara subtansial keterangan saksi ini berbeda dengan keterangan sebelumnya. Lihat keterangan saksi Yusron untuk terdakwa Sriyanto, tanggal 15 Januari 2004.
51
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
yaitu mencari kebenaran materiil. Dengan sering terjadinya koreksi (revisi) keterangan oleh para saksi, secara otomatis akan mempengaruhi kualitas persidangan. Lebih jauh lagi koreksi (revisi) keterangan tanpa alasan yang jelas tersebut dapat menyesatkan jalannya proses peradilan (rechtpleging) karena dapat menyebabkan kesalahan pada hakim dalam menjatuhkan putusannya. Selain itu, koreksi (revisi) keterangan tersebut dapat mengakibatkan orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana atau bahkan sebaliknya orang yang bersalah terlepas dari segala tuntutan pidana yang seharusnya diterima. Hal ini disebabkan, karena koreksi, revisi ataupun pencabutan keterangan tersebut dilakukan tanpa alasan yang jelas yang dapat diterima secara yuridis. Dalam hukum acara pidana Indonesia, sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, ditentukan bahwa “sebelum memberikan keterangan, saksi-saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya” 57. Selanjutnya apabila keterangan yang diberikan saksi berbeda dengan keterangan yang terdapat dalam berita acara (BAP), sesuai dengan kewenangannya, Hakim Ketua Sidang (harus) mengingatkan hal itu serta meminta keterangan (penjelasan) mengenai perbedaan yang ada dan mencatatnya dalam berita acara pemeriksaan sidang (Pasal 163 KUHAP). Koreksi (revisi) keterangan dan kemudian diikuti dengan memberikan keterangan baru yang dilakukan para saksi tersebut, apabila ditelaah secara mendalam, apabila ada indikasi saksi memberikan keterangan palsu, sebenarnya merupakan perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai criminal contempt of court, karena koreksi (revisi) keterangan tersebut dapat menghalangi-halangi pengadilan dalam mencari kebenaran dalam suatu perkara yang sedang diadilinya. Menurut doktrin, perbuatan memberikan keterangan palsu dibawah sumpah merupakan kejahatan berat yang ditujukan kepada Tuhan, pada Hakim (Pengadilan) dan sesama manusia. Selain itu, beberapa penulis memandang perbuatan memberikan keterangan palsu dibawah sumpah sebagai tindak pidana yang membahayakan kepercayaan umum terhadap peradilan. Lebih jauh lagi, perbuatan memberikan keterangan palsu merupakan perbuatan yang membahayakan jaminan yang diberikan negara untuk memelihara kepercayaan umum. Pendapat para ahli hukum tersebut sesuai dengan ketentuan hukum pidana Indonesia , sebagaimana diatur dalam pasal 242 KUHP, yang menetapkan bahwa terhadap orang yang memberikan keterangan palsu di dalam suatu persidangan dapat diancam dengan pidana paling lama 9 tahun 58. Namun demikian, walaupun dalam hukum positif Indonesia telah diatur secara jelas mengenai masalah keterangan palsu ini, dalam prakteknya, Hakim Ketua sidang 57
Pasal 160 ayat (3) KUHAP
P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus, Penerbit PT. Mandar Maju, Bandung 1991 halaman 328. Menurut doktrin, perbuatan memberikan keterangan palsu dibawah sumpah merupakan kejahatan berat yang ditujukan kepada Tuhan, pada Hakim (Pengadilan) dan sesama manusia. Selain itu, ada penulis yang memandang perbuatan memberikan keterangan palsu dibawah sumpah sebagai tindak pidana yang membahayakan kepercayaan umum terhadap peradilan.
52
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
memberikan peringatan kepada para saksi yang memberikan keterangan yang berbeda di persidangan, kejadian serupa malah semakin menjadi-jadi dan terulang dalam perkara yang lain dengan saksi yang sama. Sementara itu. Hakim Ketua sidang hanya sebatas memperingatkan. Padahal apabila dicermati secara serius, perbedaan keterangan yang diberikan para saksi tersebut sangat berpengaruh dan significan terhadap pemaknaan element of crimes terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan bila ditarik lebih jauh lagi akan melemahkan substansi dakwaan jaksa penuntut umum. Dengan fenomena seperti ini seharusnya majelis hakim lebih tanggap lagi dengan mencermati latar belakang pencabutan keterangan saksi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui motivasi dan latar belakang saksi melakukan koreksi (revisi) atau perbaikan terhadap keterangan yang telah diberikan dalam BAP 59. Masalah ini perlu digali secara lebih mendalam disebabkan, karena para saksi yang memberikan keterangan yang berbeda dengan BAP atau yang melakukan pencabutan BAP tersebut menyatakan bahwa mereka mencabut BAP-nya karena pada waktu diperiksa di Kejaksaan Agung belum melakukan ishlah dan masih memendam dendam terhadap tentara. Secara yuridis, alasan para saksi mengkoreksi (merevisi) keterangannya tersebut tidak dapat diterima. Hal ini disebabkan karena, sebelum memberikan keterangannya pada waktu diperiksa di Kejaksaan Agung, para saksi tersebut tidak berada dibawah paksaan ataupun tekanan pihak manapun. Bahkan, sebelum menandatanganinya, jaksa penyidik membacakan kembali keterangan yang telah diberikan oleh para saksi tersebut 60. Pencabutan BAP : No
Keterangan di BAP
1
Penyiksaan
2
Berlumuran darah
Keterangan di persidangan Hanya Pemukulan, penyiksaan Percikan darah
mencabut
istilah
M. Yahya Harahap, S.H, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jilid II, Pustaka Kartini Jakarta 1988, Lihat juga laporan observasi dengan saksi Syaiful Hadi tanggal 12 November 2003 dan saksi Hendriyana tanggal 19 November 2003 dalam perkara dengan terdakwa R. Butar-Butar serta Media Indonesia 12 November 2003. Ada kemungkinan saksi memiliki motif atau kepentingan berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa yang sulit diketahui oleh hakim sehingga membuat saksi tersebut cenderung memberikan keterangan palsu dan bohong. Dalam beberapa kesempatan saksi-saksi yang ikut ishlah mengatakan bahwa mereka mendapat uang dari pejabat tentara yang melakukan ishlah yang jumlahnya bervariasi mulai Rp. 2 juta sampai dengan Rp. 300 juta. 59
Hal ini dapat diketahui pada waktu saksi akan memberikan keterangannya di depan sidang, majelis hakim biasanya menanyakan kepada saksi apakah keterangann yang ada dalam BAP adalah keterangannya adalah keterangan saksi atau bukan. 60
53
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
3 4
5
6 7
8
9
10 11 12
Dipukul pakai tongkat, kayu dan pernah disuruh merangkak hanya pakai celana dalam Ada aparat kodim yang memukul dan menyiksa. Dan hampir tiap hari, saya dipukul dan ditendang oleh aparat kodim Akibat siksaan tadi, sekudur badan mengalami rasa sakit, mulut sukar dibuka dan tidak bisa makan, kepala benjol-benjol, bahkan saya tidak bisa duduk Kira-kira 20 orang dan beserta kami berempat, dimasukkan kedalam sel berukuran 3x6 meter Selama dirumah tahanan cimanggis, kami disel dan dikurung selama 45 hari. Tidak keluar sel. Tidak kena matahari dan tidak pernah merasakan air gula. Selama berada di kodim, tindakan apa yang dilakukan letkol Butarbutar? Saya tidak pernah diperiksa oleh letkol butar-butar, kalau tidak salah tanggal 13 september 1984, sekitar pagi hari, dimana kami 23-30 orang ditahan dikumpulkan pada halaman belakang kantor kodim. Selain itu kami juga disetrum dengan tongkat yang ada aliran listriknya pada bagian pinggang dan sekujur tubuh kami sehingga kami berteriak kesakitan Tidak melihat massa membawa senjata tajam Yang ditahan di guntur kira-kira 300 orang lebih dan korban yang masuk sel adalah korban tanjung priok Saat ditahanan ada banyak yang lumpuh
Ada pemukulan tetapi tidak sedramatis itu. Ada dipukul
Agak susah-susah duduk.
Jumlah orangnya sekitar 6-8 orang. Ditahan diruangan besar dan bukan di sel.
Itu karena jarak 20 meter. Mata saya minus. Tidak jelas itu, itu prasangka saya dia itu sebagai komandan yang mengeluarkan perintah itu komandan. Tapi, bukan pasti dia. Minus mata saya.
Itu setrumnya batterai, saya tidak pernah kena setrum. Jadi saya mendengar saja terkejut dan teriak. Terdapat massa yang membawa senjata tajam. Dibawa rame-rame ke cimanggis dan tidak tahu panti jumlahnya. Mencabut keterangan ini, saksi merasa tidak melihat dan hanya mendengar cerita saja.
e. Perlindungan Saksi Persoalan penting lainnya yang selama ini terabaikan adalah berkenaan dengan perlindungan saksi terutama saksi-saksi korban. sebagaimana halnya persidangan pengadilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur. Persoalan perlindungan saksi ini juga muncul dalam kasus tanjung priok ini. Adanya pengaduan
54
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
oleh saksi korban menunjukkan bahwa persoalan perlindungan saksi ini juga telah diabaikan dalam persidangan ini. Perlindungan saksi dan korban selalu menjadi persoalan penting dalam setiap kasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Urgensi atas perlindungan saksi dan korban ini adalah karena jenis kejahatan yang terjadi dan pelaku yang selalu mempunyai kekuatan dan sumber daya yang luar biasa untuk melakukan upaya-upaya intimidasi dan tekanan kepada korban maupun saksi. Regulasi baik dalam statuta untuk internasional tribunal bagi bekas negara Yugoslavia maupun statuta untuk peradilan kejahatan kemanusiaan di Rwanda terdapat pengaturan yang berkenaan dengan perlindungan saksi dan korban. Demikian pula dengan Internasional Criminal Court, yang secara lebih lengkap, mengatur tentang perlindungan korban dan saksi dan menyaratkan adanya suatu unit khusus untuk menangani persoalan saksi dan korban. Dalam regulasi Indonesia, perlindungan terhadap korban dan saksi dalam kajahatan terhadap kemanusiaan juga diatur dalam undang-undang No. 26 Tahun 2000 dan PP No. 2 Tahun 2002. Dibadingkan regulasi dalam Statuta Roma maupun ICTY dan ICTR, regulasi tentang perlindungan saksi dan korban dangat tidak memadai terutama mengenai tidak adanya standar operasi pengamanan terhadap saksi dan korban juga tidak ada sanksi jelas terhadap pihak yang berkewajiban melakukan pengamanan tetapi tidak melakukan pengamanan. Pengalaman pengadilan ham ad hoc untuk kasus pelanggaran ham yang berat di Timortimur menunjukkan bahwa persoalan perlindungan kepada saksi terutama saksi korban menjadi faktor terhambatnya pencarian kebenaran di pengadilan. Para saksi korban dari Tim-tim banyak yang tidak bersedia datang karena khawatir atas ancaman keamanan dirinya. Hal ini berimplikasi kepada hasil atau fakta hukum yang muncul dipersidangan yang rata-rata seragam dan tidak memunculkan suara korban sehingga surat dakwaan sangat susah dibuktikan dan sebagian besar terdakwanya dinyatakan tidak bersalah dan bebas. Apa yang terjadi dalam tahap-tahap awal persidangan menunjukkan persoalan perlindungan saksi juga tidak menjadi bagian yang penting dari proses pengadilan ham ad hoc ini sejak awal. Jaksa penuntut umum sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk membuktikan dakwaannya dan dengan demikian juga berkepentingan dengan saksi dan korban terkesan lepas tangan dan tidak mau tahu tentang kepentingan saksi dan korban. Upaya saksi dan korban untuk meminta perlindungan kepada kejaksaan agung hanya ditanggapi dengan penerimaan prosedur formal dan tidak melihat urgensi atas pentingnya perlindungan kepada mereka. Pada akhirnya korban harus kesana kemari meminta perlindungan ke kepolisian, ke pengadilan bahkan ke polisi militer. 61
Korban mengajukan permohonan perlindungan ke Kejaksaan Agung tanggal 14 Oktober 2003, ke Kepolisian tanggal 28 Oktober 2003., ke Puspom TNI tanggal 30 Oktober 2003. 61
55
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Saksi korban sebagaimana diberitakan oleh beberapa media mengakui merasa diancam oleh pihak-pihak tertentu. 62 Pengakuan saksi korban yang merasa diancam akan dibunuh juga belum menjadi interes dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengadilan ini. Ancaman dan intimidasi yang sudah muncul secara nyata ini juga belum menjadi isu yang penting dari pengadilan dalam hal ini majelis hakim, sampai saat ini juga belum ada langkah-langkah khusus yang diambil oleh majelis hakim dalam hal mengatasi problem perlindungan saksi ini. Melihat proses persidangan dimana setiap persidangan selalu dipenuhi aparat TNI yang jumlahnya sangat banyak, sebetulnya penting juga dicatat bahwa kondisi ini juga akan mempengaruhi keterangan yang akan diberikan kepada saksi korban. Dalam tahap ini perlindungan terhadap saksi korban adalah bukan semata-mata perlindungan yang sifatnya fisik terhadap saksi, tetapi juga perlindungan yang sifatnye psikis dimana saksi akan secara leluasa memberikan keterangan dipersidangan tanpa tekanan dan ancaman maupun ketakutan karena suasana persidangan yang tidak mendukung para saksi ini untuk memberikan kesaksian secara benar. Pengaturan dalam ketentutan PP No. 2 Tahun 2002 memberikan jalan untuk perlindungan saksi dan korban baik secara fisik maupun mental, perlindungan melalui perahasiaan identitas, dan saksi dapat diperiksa tanpa bertatap muka dengan terdakwa. Dengan regulasi ini jika dimaksimalkan oleh pengadilan, dalam artian bahwa pengadilan juga menawarkan atau menggunakan mekanisme perlindungan ini kepada saksi yang merasa terancam maka akan dapat memberikan perlindungan kepada saksi. Sampai saat ini, dimana sudah ada pemeriksaan terhadap beberapa saksi, pemeriksaan saksi juga masih menggunakan cara-cara yang biasa dan tidak ada tawaran atau pertanyaan dari majelis hakim mengenai proses pemeriksaan saksi yang akan dijalankan. Pengadilan ham ad hoc yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan harus tanggap terhadap kemungkinan-kemungkinan intimidasi dan tekanan kepada saksi terutama saksi-saksi yang terancam karena akan memeberikan kesaksian secara benar. Majelis hakim sebagai pilar terakhir harus memberikan atau melakukan langkah-langkah khusus dalam bentuk regulasi untuk dapat melakukan perlindungan kepada saksi.
3. Barang Bukti Sampai saat ini sama sekali belum ada barang bukti yang diajukan oleh jaksa baik dalam persidangan dengan terdakwa Sutrisno Mascung, Sriyanto, Butar-butar maupun Pronowo. Persoalan barang bukti ini muncul berkenaan dengan tidak adanya barang bukti untuk persidangan dengan terdakwa Sutrisno Mascung. Beberapa senjata yang seharusnya menjadi barang bukti dalam membuktikan perkara teranyata tidak dapat dihadirkan dipersidangan. Silang pendapat sempat terjadi antara dugaan penghilangan barang bukti dengan tidak dapat disitanya barang bukti oleh Kejaksaan Agung .
62
Lihat Koran Tempo tanggal 30 Oktober 2003 dan Kompas Tanggal 31 Oktober 2003.
56
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Barang bukti yang seharusnya dihadirkan itu adalah 13 senjata api semiotomatis SKS-45 lengkap dengan bayonet dan selongsong peluru. Kejaksaan agung berargumen bahwa barang bukti tersebut tidak dapat disita karena sudah tidak ada lagi ditempatnya semula yaitu di Yon Arhanudse 06. akibatnya majelis hakim memerintahkan untuk memanggil komandan Batalyon Arhanudse 06 ke pengadilan dan menjelaskan tentang barang bukti tersebut, dan akhirnya komandan batalyon tersebut bersaksi di pengadilan. Namun sampai saat ini tidak jelas posisi atau perkembangan barang bukti ini kapan akan dapat diamajukan ke persidangan. Beberapa pihak terutama saksi mencoba memberikan kepada majelis hakim mengenai barang bukti yaitu berupa rekaman kaset, namun sikap majelis hakim belum jelas apakah akan menerima sebagai barang bukti atau tidak. Upaya saksi yang akan memperdengarkan isi rekaman kaset tersebut pun tidak dikabulkan oleh majelis hakim. Dari kondisi yang terjadi seharusnya majelis hakim lebih tegas memberikan peringatan kapada jaksa penuntut umum untuk secara serius menunjukkan barang-barang bukti yang relevan untuk membuktikan dakwaannya. Kelemahan atau keterangan saksi yang sampai saat ini lebih banyak mendukung para terdakwa yang melemahkan dakwaan jaksa harus disikapi dengan upaya yang lebih serius untuk membuktikan dan salah satunya adalah dengan mencoba menghadirkan barang-barang bukti tersebut.
57
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Bab IV
Administrasi Pengadilan
58
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Pengadilan yang kompeten, independen dan imparsial merupakan hal yang tak
terpisahkan bagi suatu proses pengadilan yang adil. Tanpa prinsip-prinsip itu dapat dipastikan suatu proses pengadilan yang menghasilkan putusan-putusan akan sangat jauh dari rasa keadilan. Administrasi pengadilan yang baik merupakan kunci bagi keberhasilan kerja di pengadilan dan administrasi ini hampir meliputi seluruh sistem kerja pengadilan itu sendiri seperti: masalah supervisi dan kontrol terhadap pegawai administrasi, hakim, Penuntut Umum, persiapan anggaran peradilan, perawatan gedung pengadilan, peralatan, registrasi, arsip kasus, publikasi dokumen pengadilan dan lain sebagainya. Dalam laporan ini, secara spesifik, administrasi pengadilan yang akan dijadikan sorotan dalam proses Pengadilan HAM Tanjung Priok adalah mengenai jadwal persidangan, tata tertib persidangan, akses publik kepada proses persidangan dan akses publik pada dokumen pengadilan.
1. Jadwal Persidangan (Court Calendar) Jadwal persidangan yang merupakan rencana majelis hakim untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat yang sedang diperiksa tidak pernah diumumkan secara resmi oleh pengadilan. Mengingat batasan waktu yang disyaratkan dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang membatas masa persidangan selama 180 hari seharusnya rencana persidangan secara keseluruhan yang akan ditempuh oleh mejelis hakim juga diumumkan kepada publik. Sampai saat ini majelis hanya menjelaskan bahwa akan mencoba menyelesaikan persidangan sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pengumuman tentang jadwal persidangan hanya diketahui melalui persidangan terakhir yang akan mengumumkan kapan sidang selanjutnya akan diadakan. Selama ini dalam empat berkas perkara tersebut berjalan setiap hari mulai hari Senin sampai Kamis (lihat tabel). Pengumuman tentang jadwal sidang berikutnya pun kadang tidak disertai dengan pengumuman nama-nama saksi yang akan diperiksa. 63 Dalam 4 (empat) bulan persidangan yang telah berlangsung, masing-masing berkas masih dalam rencana semula yaitu satu kali persidangan setiap minggunya tiap berkas perkara, tetapi ada beberapa majelis hakim yang sudah mulai merencanakan untuk melakukan sidang marathon, dalam arti persidangan akan dilakukan 2 (dua) kali dalam seminggu untuk tiap berkasnya. Satu kasus menunjukkan bahwa dalam satu berkas perkara pernah dilakukan persidangan dua kali dalam seminggu, tetapi hal ini hanya untuk memenuhi target karena pada minggu depannya ada salah satu hakim tidak bisa bersidang karena ada tugas. Target semula adalah bahwa dalam satu bulan terjadi 4 kali persidangan. 64 Tetapi 63
Persidangan dengan terdakwa Sriyanto yang dipimpin oleh Hakim Ketua Herman Heller Hutape hanya menyebutkan sidang minggu depan tetapi jarang menyebutkan nama saksi yang akan di periksa. 64
Persidangan dengan terdakwa Rudolf A Butar-butar.
59
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
tidak semua majelis dalam memenuhi terget ini melakukan hal yang sama dengan mengajukan persidangan menjadi 2 kali seminggu, tetapi hanya mengumumkan ke publik bahwa persidangan tidak dapat dilakukan karena salah satu majelis hakim ada tugas lainnya. Seringkali juga terjadi pergantian susunan majelis hakim karena salah satu hakim tidak bisa bersidang dan digantikan oleh hakim lainnya. 65 Terhadap penundaan persidangan yang terjadi, sampai saat ini belum terlihat adanya penundaan yang sifatnya kesengajaan untuk menggagalkan proses persidangan. Penundaan selain karena ada majelis hakim yang berhalangan, kadanga ada juga saksi yang tidak dapat hadir. Dalam kasus dengan terdakwa Sutrisno Mascung dkk, penundaan akan dilakukan selama 2 bulan kedepan dengan alasan bahwa ada mejelis hakim yang tidak bisa bersidang dalam waktu 2 bulan tersebut. 66 Dari fakta-fakta tersebut di atas, kemungkinan besar bahwa persidangan ini akan mengalami perpanjangan dari waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Proseden yang pernah terjadi adalah beberapa kasus di Pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM di Timor Timur terjadi perpanjangan persidangan melampaui ketentuan undang-undang. 67 Perpanjangan yang akan dilakukan seharusnya sesuai dengan alasan-alasan yang sifatnya juridis dan bukan karena alasan yang sifatnya mismanagement. 68 Melihat kemungkinan tersebut selayaknya saat ini ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mencoba melakukan persidangan sesuai dengan undang-undang. Hal ini mensyaratkan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses persidangan ini untuk mengatur aganda persidangan secara lebih baik. Hal ini mempunyai konsekuensi bahwa mejelis hakim terutama hakim karir agar juga tidak terlalu banyak menangani perkara lain diluar pengadilan HAM ad hoc ini. Jaksa agar lebih serius mempersiapkan saksi dan barang bukti yang akan diajukan dengan melakukan prosedur pemanggilan dan memastikan kehadiran saksi dengan maksimal. Terdakwa harus selalu mematuhi
65
Pergantian ini tidak pernah dijelaskan oleh pengadilan, tetapi berdasarkan pemantauan ada beberapa kali majelis dengan anggota yang berbeda. Kemungkinan terjadinya hal tersebut adalah untuk melanjutkan persidangan dari pada sidang ditunda sedangkan saksi sudah menghadiri persidangan. 66
Alasan penundaan sidang ini adalah karena adanya anggota majelis hakim yang menunaikan ibadah haji dalam waktu sejak pertengahan januari ini sampai dua bulan mendatang. Persidangan sendiri akan dimulai lagi dalam bulan maret mendatang 67
dalam penetapan-penetapan yang dikeluarkan oleh majelis hakim menunjukkan bahwa alasan adanya penundaan adalah bahwa majelis hakim belum cukup mendapatkan fakta-fakta untuk mendapatkan kebenaran materiil. Pencarian kebenaran materiil seharusnya menjadi tujuan utama dalam perkara pidana dan hal ini dapat menyimpangi ketentuan yang sifatnya formil. Namun sampai saat ini penetapanpenetapan tersebut belum diuji oleh pengadilan yang lebih tinggi apakah perpanjangan tersebut sah atau tidak. 68 Mismanagement disini adalah berkaitan dengan alasan penundaan bahwa majelis hakim, jaksa meupun terdakwa tidak dapat mengikuti persidangan sehingga harus ditunda karena alasan ada kepentingan lain yang baik sifatnya kedinasan atau kepentingan keluarga yang tidak dapat ditinggalkan.
60
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
jadual persidangan dan tidak diperbolehkan mengajukan penundaan persidangan dengan alasan-alasan menjalankan tugas atau kepentingan-kepentingan lainnya. 69 Jadwal Persidangan No
Terdakwa
Jadual Persidangan
1 2 3 4
Sutrisno Mascung dkk Pronowo Rudolf Butar-butar Sriyanto
Setiap Senin Setiap Selasa Setiap Rabu Setiap Kamis
2. Tata Tertib Persidangan Selama jalannya persidangan, ditemukan banyak pelanggaran-pelanggaran yang terhadap ketertiban di persidangan. Sebagian besar pelanggaran tersebut dilakukan oleh pengunjung persidangan, namun disamping itu para penasehat hukum terdakwa dan hakim persidangan juga pernah menyalahi peraturan tata tertib persidangan. Tabel Peraturan Tata terib persidangan KUHAP
Peraturan Ketua Pengadilan
Pasal 217 Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib persidangan. Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat Pasal 218 Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan. Siapapun yang sidang di Pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat Pengadilan dan tidak mentaati tat tertib setelah mendapat peringatan dari hakim Ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan di keluarkan dari ruang sidang. Dalam hal pelangaran tata tertib sebagimana dimaksud dalam ayat diatas bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukannya penuntutan terhadap pelakunya. 69
Pengunjung sidang dilarang membawa senjata api/senjata tajam
Pengunjung sidang dilarang memakai jaket/rompi dan topi kecuali peci
Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur menunjukkan bahwa hakim karir juga memeriksa perkara lain dan hal ini sering mengakibatkan persidangan ditunda. Jaksa tidak mampu menghadirkan saksi beberapa kali yang juga berkontribusi untuk penundaan persidangan dan yang lebih parah adalah tertundanya persidangan karena terdakwa menjalankan tugas dan terpaksa tidak bisa menghadiri persidangan. Lihat misalnya agenda pembacaan tuntutan pidana untuk Mayjend. Adam R. Damiri yang sempat tentunda lebih dari 3 kali dengan alasan terdakwa sedang menjalankan tugasnya.
61
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip Pasal 219 Siapapun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang meembawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu. Tanpa surat perintah petugas keamanan pengadilan dapat mengadakan penggeledahan badan Ketentuan tersebut tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan penuntutan bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut bersifat suatu tindak pidana. Pasal 232 Sebelum sidang dimulai, Panitera, Penuntut Umum, penasihat hukum dan pengunjung yang sudah ada duduk ditempatnya masing-masing Pada saat hakim memasuki atau meningalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk menghormati Selama sidang berlangsung setiap orang yang keluar masuk ruang sidang di wajibkan memberi hormat.
Pengunjung sidang dilarang menghidupkan/mengaktifkan telepon genggam (HP)
Pengunjung sidang harus mematuhi tata tertib persidangan.
Tabel Pelanggaran tata tertib Jenis pelanggaran
Deskripsi
Telepon Genggam
Paling sering terjadi di dalam persidangan.
Memakai Penutup Kepala dan Jaket Makan dan Minum
Beberapa anggota TNI dan para pengunjung sidang Sering terjadi pengunjung sidang yang membagikan makanan dan minuman di ruang pengadilan. Bahkan hakim dan Penasehat Hukum pernah terlihat minum aqua dan mengunyah permen karet selama persidangan Sering dilakukan oleh para pengunjung sidang Dilakukan oleh para pengunjung yang ada di bagian belakang ruang pengadilan Paling sering terjadi dilakukan oleh anggota TNI dan pengunjung sidang
Membuat Kegaduhan Merokok Keluar Masuk dengan ruang sidang secara tidak sopan Membaca koran
Pernah terlihat dalam beberapa pengamatan
62
Keterangan Hakim dan petugas pengadilan seringkali tidak mengingatkan pengunjung yang membunyikan telepon genggamnya. Tidak pernah diingatkan oleh hakim dan petugas Seringkali tidak diingatkan oleh hakim
Seringkali tidak diingatkan oleh majelis hakim Seringkali diingatkan oleh majelis hakim Pernah diingatkan pada awal sidang Jarang sekali diingatkan oleh petugas dan hakim sidang
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Untuk mengingatkan para pengunjung yang berada di dalam persidangan, di setiap ruang sidang memang selalu ditempelkan peraturan tata tertib persidangan dan peraturan tata tertib yang berasal dari hukum acara pidana tetapi sama sekali peraturan tata tertib tersebut tidak ditaati oleh sebagian besar pengunjung. Dilanggarnya peraturan tata tertib persidangan ini terutama bersumber dari ketidaktegasan para petugas dan hakim yang memimpin persidangan. 70
3. Akses Publik Ke Persidangan Salah satu asas yang lain yang menopang kemandirian kekuasaan kehakiman adalah asas persidangan yang terbuka untuk umum. Tujuan dari asas ini adalah menjamin publik (masyarakat) dan korban mendapatkan akses informasi terhadap jalannya persidangan secara jelas. Untuk itu bukan berarti setiap orang harus datang ke persidangan untuk mengetahui jalannya persidangan, tetapi masyarakat dapat memperolehnya dari media massa dan sebagainya. Karena itu pengadilan harus menjamin akses media massa meliput persidangan. Asas ini memberikan kontrol publik terhadap putusan-putusan pengadilan. Tetapi agar asas ini dapat diterapkan dengan baik, maka diperlukan pengaturan yang jelas terhadapnya. Hal ini adalah untuk menjaga keluhuran dan wibawa pengadilan sebagai lembaga tempat untuk mencari keadilan. Berdasarkan hasil pemantauan, terlihat dengan gamblang upaya-upaya membatasi akses publik menghadiri persidangan, terutama pada sidang dengan terdakwa Mayjend. Sriyanto. Pada sidang pertama terhadap terdakwa tersebut, suasana persidangan lebih mirip sebuah “operasi militer” di pengadilan dengan indikasinya adalah berbondong-bondongnya aparat militer dari Kopassus. Ruang sidang telah dipenuhi oleh aparat militer, sehingga menutup akses publik mendapatkan tempat di dalam ruangan persidangan. Para korban, dari non islah dan wartawan, tidak dapat memasuki ruangan persidangan dan ada mekanisme “seleksi” terhadap pengunjung secara tidak langsung yang dilakukan oleh anggota kopassus. 71 Pada sidang-sidang selanjutnya nampaknya kondisi seperti ini sudah mulai berkurang dimana tidak ada lagi blokade dari aparat di depat pintu ruangan persidangan dan adanya beberapa anggota polisi militer di persidangan. Dalam sidang-sidang selanjutnya juga terlihat kehadiran aparat dari polisi militer di sekitar ruangan persidangan terutama pada saat persidangan dengan terdakwa Mayjend. Sriyanto.
70
Dalam beberapa kesempatan hakim pernah memperingatkan para pengunjung persidangan untuk menaati peraturan tata tertib namun sangat jarang sekali dilakukan dibanding dengan banyaknya jumlah pelanggaran yang ada. 71
Proses seleksi ini dengan cara melakukan blokade di depan pintu persidangan dan hanya memperbolehkan pihak-pihak tertentu yang keluar pengadilan. Para wartawan hanya dapat diperbolehkan memasuki ruangan sidang setelah persidangan hampir berakhir.
63
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Kondisi persidangan yang demikian akan mengurangi standar pengadilan yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang seharusnya juga mengikuti standar internasional. Pada Pengadilan internasional yang mengenal tentang court management atau dapat dipersamakan dengan adanya administrasi pengadilan yang memadai. Dalam pengadilan ham ad hoc ini, seharusnya administrasi pengadilan dapat dilakukan secara baik dan menjamin bahwa adanya akses yang memadai kepada publik ke pengadilan termasuk korban dan keluarganya, keluarga tersangka dan juga termasuk pemantau dan wartawan. Administrasi pengadilan harus memikul tanggung jawab kelompok-kelompok publik yang akan mengikuti persidangan dan diberikannya informasi kepada publik mengenai pengadilan. Selain itu, berbeda dengan sistem dalam internasional criminal court dimana saksi dan korban selalu mempunyai akses dan informasi mengenai perkembangan pengadilan, dalam pengadilan HAM ad hoc ini yang menggunakan ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak jelas memberikan hak kepada korban dan saksi dalam hal memperoleh informasi pengadilan. Adanya hak untuk mempunyai akses ke pengadilan dan mendapatkan informasi adalah merupakan hak yang penting kepada korban dan saksi. Satu-satunya ketentuan yang memberikan hak ini adalah bahwa persidangan terbuka untuk umum dengan asumsi bahwa semua pihak termasuk korban dan saksi dapat menghadiri persidangan. Selama pemantauan, seperti diuraikan diatas, administrasi yang dijalankan sangat carut marut dan tidak terlihat adanya administrasi pengadilan yang memadai sehingga seolah-olah yang terjadi adalah hukum alam, siapa yang datang dan dalam jumlah yang banyak maka dialah yang akan dapat mengakses ke pengadilan. Pengadilan dengan administrasinya tidak mempunyai cukup daya dan upaya untuk mengusahakan sistem pengaturan terhadap publik yang akan mengakses ke pengadilan. Pengadilan juga terkesan tidak melihat masalah ini sebagai masalahnya dan merupakan bagian dari tugasnya sehingga harus melakukan langkah-langkah serius untuk menanganinya. Kondisi inilah yang cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencoba melakukan upaya penutupan akses publik terutama terhadap korban, pemantau, dan wartawan untuk dapat mengamati jalannya proses pengadilan. Dalam beberapakali persidangan, cara-cara seperti ini sangat jelas terjadi. Pengadilan sebagai suatu lembaga yang otonom seharusnya tanggap mengenai persoalan ini dan menunjukkan otoritasnya terutama berkaitan dengan upaya-upaya untuk mengganggu berjalannya proses peradilan. Disamping itu pengadilan tidak mencoba untuk membuka atau mempersiapkan prasarana bagi publik jika memang ruangan pengadilan tidak cukup memadai untuk dapat tertampungnya pengunjung. Jika dikomparasikan dengan upaya negara untuk melakukan pemindahan ruang persidangan yang lebih representative sebagaimana persidangan kasus korupsi Akbar Tanjung dan kasus bom Bali dimana masyarakat luas dapat menghadiri persidangan secara memadai.
64
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
4. Akses Publik ke Dokumen Pengadilan Disamping masalah akses publik ke pengadilan, juga tidak ada mekanisme yang jelas mengenai mekanisme bagaimana publik dalam hal ini korban, wartawan dan pengamat bisa memperoleh dokumen pengadilan. Publik selama ini hanya mengandalkan pendekatan personal dan kebaikan hati dari jaksa, pengacara ataupun majelis hakim untuk dapat memperoleh salinan dokumen pengadilan. Pemantau selama ini hanya mengandalkan kepada mejelis hakim, jaksa dan pengacara untuk mendapatkan dokumen-dokumen yang telah dibacakan. Publik dengan hanya mendasarkan pada pengamatan dan rekaman kaset tidak cukup memadai untuk melihat bagaimana kasus ini berjalan, terlebih tidak ada transkripsi resmi dari panitera yang dapat diakses publik sebagai pengganti atas tidak dibolehkannya publik menyalin dokumen pengadilan. 72 Dalam beberapa kasus, pemantauan terhadap jalannya peradilan memerlukan dokumen pengadilan misalnya berkaitan dengan berita acara pemeriksaan. Hal itu cukup beralasan mengingat, misalnya banyaknya pencabutan BAP oleh saksi yang berbeda dengan keterangan saksi di persidangan. Publik, pemantau termasuk wartwan sangat kesulitan untuk melihat pada bagian pada pencabutan BAP itu dilakukan tertutama berkenaan dengan pencabutan istilah-istilah tertentu. Administrasi pengadilan bersama dengan majelis hakim seharusnya mengizinkan publik mengakses sejumlah dokumen mendasar tertentu, lebih-lebih dakwaan, perintah pengadilan dan keputusan pengadilan. Harus ada daftar informasi yang memadai mengenai proses pengadilan. Sampai saat ini tidak satupun keputusan ataupun prosedur apapun yang dibuat berkenaan dengan akses publik dan mendapatkan salinan kepada dokumen pengadilan.
72
Dalam banyak kasus ketika publik mempertanyakan tentang bagaimana mendapatkan dokumen pengadilan, pihak yang berkompeten menyatakan bahwa dokumen tersebut sudah dibacakan dan publik sudah mendengar. Alasan lain adalah bahwa pihak yang dapat memperoleh dokumen adalah para pihak yang berperkara dalam hal ini jaksa dan terdakwa sesuai dengan ketentuan KUHAP.
65
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
Bab VI
Kesimpulan Berdasarkan Uraian yang telah dipaparkan tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Konstruksi surat dakwaan yang dibuat jaksa penuntut umum, dalam proses pemeriksaan di Pengadilan menjadi kehilangan fondasinya (unsur meluas atau sistematisnya), karena mengabaikan konteks peristiwa dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini akan mengakibatkan Pengadilan kesulitan untuk membuktikan dan menunjukkan pihak mana (siapa) yang harus bertanggungjawab dalam peristiwa pelanggaran HAM Tanjung Priok. 2. Penggunaan pasal-pasal KUHP dalam dakwaan jaksa penuntut umum, akan berimplikasi pada proses pembuktian dan cara pembuktian dakwaan jaksa penuntut umum tersebut. Dalam kaitan ini, tidak terlihat upaya-upaya yang dilakukan jaksa penuntut umum maupun hakim untuk melakukan pembuktian sesuai dengan cara dan proses pembuktian unsur-unsur dalam pasal-pasal KUHP yang digunakan jaksa penuntut umum tersebut. 3. Kegagalan jaksa penuntut umum untuk memformulasikan unsur meluas atau sistematis dalam surat dakwaannya, berimplikasi pada semakin mengecilnya derajat peristiwa Tanjung Priok. Padahal, peristiwa Tanjung Priok merupakan peristiwa nasional yang telah mengguncang kehidupan politik dan kehidupan umat beragama di Indonesia. 4. Tidak memadainya alat-alat bukti, terutama saksi-saksi, yang diajukan jaksa penuntut umum, akan berimplikasi buruk pada kekuatan alat bukti tersebut sebagai bahan untuk membuktikan surat dakwaannya. 5. Yang dicari dalam kejahatan terhadap kemanusiaan adalah menunjukkan pihak yang paling bertanggungjawab (most responsible). Namun, dalam surat dakwaannya jaksa penuntut umum, gagal untuk menunjukkan pihak mana yang paling bertanggung jawab tersebut. 6. Terfokusnya proses pemeriksaan saksi terhadap proses “ishlah”, menunjukkan sikap permisifitas terhadap terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal ini memperlihatkan upaya untuk mengenyampingkan upaya hukum terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Jakarta, 20 Januari 2004
66
Preliminary Conclusive Report Pengadilan HAM Kasus Tanjung Priok, ELSAM Masih Merupakan Draft : Tidak untuk dikutip
67