PENGADILAN HAM AD HOC TIMOR TIMUR DIBAWAH STANDAR
Preliminary Conclusive Report Perkara Timbul Silaen, Abilio Soares dan Herman Sediyono dkk.
PENGANTAR Timor-Timur yang tadinya adalah provinsi ke 27 Republik Indonesia, kini telah menjadi negara baru. Kofi Annan, Sekjen PBB dalam sambutannya ketika penyerahan kedaulatan dari UNTAET kepada Presiden terpilih Republik Rakyat Demokratik Timor Lorosae (RDTL), Kay Rala Xanana Gusmao menyatakan negara baru yang menempati setengah dari pulau tandus Timor itu telah mendatangkan inspirasi baru bagi umat manusia di dunia. Tak terlepas bagi Indonesia, kehadiran negara Timor Lorosae juga mendatangkan inspirasi baru. Hal itu terjelma dengan digelarnya pengadilan HAM ad hoc atas dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusian di Timor Lorosae menjelang, selama dan sesudah Jejak Pendapat. Bagi Indonesia, dikatakan inspirasi karena pengadilan HAM ad Hoc ini akan menjadi tonggak sejarah hukum dan sekaligus proses pemenuhan keadilan bagi korban kesewenangwenangan aparat negara. Pengadilan ini juga sekaligus akan memperlihatkan bahwa perlindungan dan pemenuhan atas hak asasi manusia Indonesia mulai mencercahkan cahaya terang. Oleh karena itu banyak orang berharap proses pengadilan HAM ad hoc ini mampu memperjelas apa yang sesunguhnya terjadi di Timor Lorosae dan apa bentuk pertanggungjawabannya. Pengadilan HAM ad hoc yang kini telah berjalan lebih dari 4 bulan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada dasarnya adalah memeriksa seluruh dugaan yang ada itu dan sekaligus juga menentukan siapa pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosae menjelang, selama dan sesudah Jejak Pendapat di tahun 1999. Laporan ini menyoroti formulasi element of crimes kejahatan terhadap kemanusiaan yang terdapat dalam UU No.26/2000 ke dalam surat dakwaan. Kedua adalah bagaimana element of crimes itu bisa dielaborasi oleh jaksa dan hakim dalam proses perkara (due process of law).
I. KETENTUAN HUKUM YANG MENJADI DASAR PENGADILAN Pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Timur yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan implementasi dari Undang-undang (UU) nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sebagai instrumen dasar pembentuk pengadilan, maka UU ini memegang
peranan penting, karena kelemahan isi UU no.26/2000 terutama yang bersifat konseptual akan berimbas pada tingkat implementasinya. Pasal 43 ayat 2 UU no.26/2000 mengatur mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad hoc melalui Keputusan Presiden (Keppres). Namun dalam proses pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur ternyata diperlukan dua buah Keppres yaitu Keppres No.53 tahun 2001 dan Keppres No.96 tahun 2001. Hal ini terjadi karena Keppres Nomor 53 tahun 2001, oleh pemerintah dianggap mempunyai wilayah yurisdiksi yang terlalu luas (tidak membatasi secara spesifik baik wilayah maupun waktunya). Kemudian wilayah dan waktu ini dipersempit dengan Keppres No. 96 tahun 2001 dan yuridiksi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah Liquica, Dili, dan Suai dengan batasan waktu antara bulan April dan September 1999. Penyempitan yurisdiksi ini menimbulkan konsekuensi serius yaitu terhalangnya kesempatan untuk membuktikan adanya unsur sistematik dan meluas dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur dalam rentang antara pra dan pasca jajak pendapat. UU No.26/2000 sendiri dalam beberapa bagian, terutama mengenai definisi konsep-konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, dan tentang tanggung jawab komando mengambil pengertian yang terdapat dalam Rome Statute for International Criminal Court. 1 Sayangnya adopsi tersebut dilakukan dengan beberapa distorsi yang pada akhirnya secara teoretis melemahkan konsep kejahatan terhadap kemanusian yang menjadi sandaran bagi proses pengadilan HAM itu sendiri. a. Tentang Konsep Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Tim-Tim ini, tuduhan yang digunakan terhadap para pelaku ialah kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat dalam pasal 9 UU No 26 tahun 2000 yang berbunyi : “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, …” Rumusan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma dimana “intension” didefinisikan dengan tegas. 2 ) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama 3 menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir. Dalam praktek hukum yang menangani kejahatan terhadap kemanusiaan seperti misalnya di pengadilan Nuremberg, ICTR, dan ICTY, para hakim melakukan interpretasi terhadap unsur meluas dengan menekankan pada luasan geografis dan massivitas jumlah korban; sementara terhadap unsur sistematik implementasi kebijakan diindikasikan melalui adanya pola yang
1
Selanjutnya disebut “Statuta Roma”.
2
Lihat Pasal 30 ayat 2 & 3, Statuta Roma, yang mengatur mengenai mental element: For the purposes of ths article, a person has intent where: (20) (a) In relation to conduct, that person means to engage in the conduct; (b) In relation to a consequence that person means to cause that consequence or is aware that it will occur ordinary course of events. (3) For the purposes of this article,”knowledge” means awareness that a circumstance exists or consequence will occur in thw ondinary course of events. “Know” and “knowingly” shall be construed accordingly.
3
Pasal 9 UU no.26/2000
sama dan berulang-ulang dan metodik. 4 Mengingat bahwa tidak ada aturan yang secara eksplisit mengharuskan pengadilan untuk mengadopsi praktek-praktek hukum internasional, maka tidak ada kepastian apakah interpretasi semacam ini juga akan digunakan dalam pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Timor Timur. Kondisi yang sama juga berlaku terhadap elemen “diketahui”. Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population (bahasa Inggris, pengertian ini berasal Statuta Roma pasal 7) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata “langsung” ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku diatasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Penggunaan kata “penduduk” dan bukannya “populasi” sendiri telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung. Majelis hakim pada ICTY dan ICTR mengadopsi pengertian yang luas mengenai “populasi sipil”. Untuk melindungi mereka yang potensial menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan, pengertian populasi sipil diartikan juga sebagai siapa saja yang dalam batasan waktu tertentu secara aktif terlibat dalam kejadian dimana ia berada dalam posisi mempertahankan diri dalam kondisi tertentu dapat dianggap sebagai korban kejahatan terhadap kemanusiaan. Termasuk didalamnya anggota “gerakan perlawanan” yang telah menyerah dan tidak bersenjata. 5 Adopsi definisi yang seperti ini sulit diharapkan terjadi dalam Pengadilan HAM kasus Timor Timur mengingat anggota gerakan perlawanan di Indonesia cenderung dianggap sebagai “pemberontak” dan tidak dianggap sebagai “penduduk sipil”. Selain itu juga distorsi penerjemahan konsep dalam klasifikasi perbuatan di bawah definisi kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan penerjemahan “persecution” menjadi “penganiayaan” dalam UU No 26 tahun 2000 juga merupakan tantangan pembuktian yang tak mudah bagi jaksa. Karena tidak ada penjelasan definitif yang detail, maka acuan definisi dirujuk kepada definisi “penganiayaan” dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Persecution memiliki arti yang lebih luas merujuk pada perlakuan diskriminatif yang menghasilkan kerugian mental maupun fisik ataupun ekonomis. Artinya tidak mensyaratkan perbuatan yang langsung secara ditujukan pada fisik seseorang. 6 Dengan digunakannya kata “penganiayaan” maka tindakan teror dan intimidasi atas seseorang atau kelompok sipil tertentu berdasar kepercayaan politik menjadi tidak termasuk dalam kategori tersebut, dan Jaksa harus membuktikan 4
Lihat antara lain keputusan hakim dalam kasus Akayesu, ICTR (Case no.ICTR-96-4-T), 2 September 1998, paragraf 580; kasus Tihomir Blaskic, ICTY (Case no. IT-95-14-T), 3 Maret 2000, paragraf 203 dan 206. Lihat juga penegasan pengertian serupa dalam Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind, Laporan International Law Commission dalam sidang sessi ke 48, (UN Doc. A/51/10) paragraf 94-95 (Commentary on Article18 part 4): “…committed in a systematic manner meaning pursuant to a preconceived plan or policy. The implementation of this plan or policy could result in the repeated or continuous commission of inhumane acts… committed on a large scale meaning that the acts are directed against a multiplicity of victims.”
5
Lihat “Opinion and Judgment” dalam kasus Tadic (ICTY). Masih dalam ICTY, lihat juga Keputusan Peninjauan Kembali Dakwaan berkaitan dengan aturan nomor 61 dalam Rules of Procedures and Evidence, ICTY Case no. IT-95-13-R61 (Kasus Vukovar), 3 April 1996, Bab I paragraf 29. Secara subsekuen, ICTR dalam kasus Akayesu juga mengadopsi definisi yang secara substansial serupa.
6
Bandingkan pengertian “persecution” dalam ICC atau ICTY Statute dengan pengertian “penganiayaan” dalam UU No 26/2000 pasal 9(h). Penganiayaan sebagaimana pengertian dalam KUHP dalam bahasa Inggris setara dengan pengertian “assault” yang menunjuk pada penyerangan secara langsung terhadap fisik seseorang. Lihat juga Bassiouni, Crimes Against Humanity in the International Law, Kluwer Law International , 1999, hal 247.
adanya tindakan fisik yang terjadi dan bukan hanya akibat yang ditimbulkan. Pada hal secara factual akibat dari kejahatan terhadap kemanusian yang telah terjadi di Timtim menjelang dan sesudah jejak pendapat tak bisa disangkal oleh siapa pun. b. Konsep Tanggung Jawab Komando Ketentuan pidana dalam UU no.26/2000 juga melingkupi tanggung jawab komando (command responsibility). Namun pasal 42 ayat 1 UU ini mempunyai beberapa kelemahan dengan konsekuensi hukum yang besar. Pengertian tanggung jawab komando dalam pasal ini dijabarkan sebagai berikut: “komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada dibawah komando dan pengendaliannya yang efektif, …” Pengertian di atas, yang menggunakan kata “dapat” (should) dan bukannya “akan” atau “harus” (shall), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang diatur melalui UU ini bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 9 yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya “keperluan” (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku lapangan saja. Lebih lanjut, pasal 42 ayat 1 (a) mensyaratkan penanggung jawab komando untuk “seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.” Padahal, sumber dari pasal spesifik tersebut, yaitu pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma secara tegas menyatakan bahwa komandan militer seharusnya “mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan…” 7 Distorsi ini mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun dalam pasal 42 ayat 1 (b) pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat “komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, …” namun tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang “layak” dan “perlu” dilakukan oleh penanggung jawab komando. 8 Selain itu, pasal ini berimplikasi pada pengadilan terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak atau tidak, apakah perlu atau tidak (obligation of conduct), dan secara otomatis mengabaikan pada kenyataan apakah tindakan yang diambil oleh penanggung jawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, selain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk “kealpaan” dan “kelalaian” dalam arti yang luas menyatakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab secara pidana jika: (1) ia seharusnya mengetahui (should have had knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah dan atau sedang terjadi, atau 7
Pasal 28 ayat 1 (a) Statuta Roma: “That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crimes;” (garis bawah dari penulis)
8
Batasan definitif tanggung jawab komando yang kabur ini juga diulangi pada pasal 42 ayat 2 yang mengatur tentang tanggung jawab atasan (polisi dan pejabat sipil).
akan terjadi dan dilakukan oleh bawahannya; (2) ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan; dan (3) ia gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. 9 Tentang apakah seseorang tersebut “seharusnya mengetahui” harus diuji sesuai keadaan yang terjadi dan dengan melihat juga orang/pejabat lain yang setara dengan tertuduh. Pasal 7(3) Statuta ICTY juga secara interpretatif mencerminkan standar kebiasaan internasional tersebut. Pasal tersebut mengakui adanya pertanggungjawaban pidana jika seseorang “mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu” (knew or had reason to know) kelakuan bawahannya. Kalimat ini berkaitan dengan adanya kegagalan untuk mencegah suatu kejahatan atau menghalangi tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh bawahannya atau menghukum mereka yang telah melakukan tindak pidana. Meskipun pasal ini memfokuskan pada keadaan dimana seorang bawahan akan melakukan suatu tindak pidana atau telah melakukannya, tidak ada indikasi bahwa tanggung jawab pidana tersebut akan dihilangkan jika ada tindakan yang telah dilakukan oleh si atasan namun pelanggaran / kejahatan oleh bawahan tetap terjadi. 10 c. Hukum Acara Tak Bersesuaian. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tidak secara spesifik mencakup semua hal yang dibutuhkan untuk memenuhi asas-asas dan menjamin terjadinya pengadilan yang adil (fair trial). Meskipun menjadi dasar dari pengadilan yang menangani perkara pidana luar biasa (extra ordinary crimes) namun UU ini tidak dilengkapi dengan aturan hukum acara pidana luar biasa. Sebaliknya, undang-undang ini secara eksplisit merujukkan hukum acaranya kepada hukum acara pidana biasa yang diatur melalui Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lebih jauh lagi, Undang-undang ini menutup kemungkinan digunakannya hukum acara lain kecuali hukum acara pidana yang tercantum dalam KUHAP tersebut. 11 Padahal idealnya, sebuah pengadilan ad hoc yang dibentuk melalui tata cara khusus, dan menangani kasus-kasus yang khusus, selayaknya menggunakan hukum acara yang khusus pula. Sementara itu, KUHAP sebagai dasar hukum acara yang digunakan oleh pengadilan HAM ad hoc ini memiliki beberapa kelemahan mendasar jika dipakai dalam menyidangkan kasuskasus kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena memang KUHAP tidak dibuat dalam konteks untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat yang sifat hukum acaranya lebih khusus. Pasal-pasal dalam KUHAP sangat jauh tingkat kesesuaiannya dengan standarstandar hukum internasional dalam mengadili para pelanggaran HAM berat seperti prosedur hukum acara yang digunakan oleh beberapa tribunal Internasional misalnya dalam Pengadilan di Nurenberg, Tokyo dan Yugoslavia. Tingkat ketidaksesuaian yang paling jauh adalah yang menyangkut tentang masalah pembuktian, termasuk di dalamnya adalah alat bukti, standar alat bukti dan prosedur pembuktian. KUHAP dalam hal pembuktian mengaturnya di dalam pasal 184-190. Di dalam pasal-pasal tersebut yang dijadikan alat bukti ialah: (1)keterangan saksi, (2)keterangan ahli, (3)surat, (4)petunjuk, dan (5)keterangan terdakwa. Kelima hal yang dijadikan alat bukti dalam KUHAP ini sangat tidak memadai untuk persidangan kasus pelanggaran HAM berat, karena penuntut umum dituntut membuktikan tiga elemen
9
Lihat artikel Jordan J. Paust “Superior Orders and Command Responsibility” dalam M Cherif Bassiouni (ed.), International Criminal Law, Volume I, Kluwer International, 1999, hal 236-237; Lihat juga artikel Anthony D’Amato, Superior Orders vs Command Responsibility, American Journal of International Law, edisi 80 (1986), hal. 604, 607-608; Penjelasan yang lebih panjang lebar dapat dilihat pada tulisan William Eckhardt, Command Criminal Responsibility: A Plea for a Workable Standard, Military Law Review, edisi 97 (1982).
10
Seperti yang ditegaskan kembali dalam Laporan Sekjen PBB tentang Resolusi Konflik Keamanan 808, UN Doc. S/25704 (1993) paragraf 56. 11
Pasal 10 UU no.26/2000
kejahatan terhadap kemanusiaan yang proses pembuktiannya membutuhkan ruang lebih luas. Pengalaman-pengalaman internasional dalam menyidangkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat justru lebih banyak menggunakan alat-alat bukti diluar yang diatur oleh KUHAP. Misalnya: rekaman, baik itu yang berbentuk film atau kaset yang berisi pidato, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat kejadian dan sebagainya. Kemudian alat bukti yang dipakai juga diperbolehkan berbentuk dokumendokumen salinan, kliping koran, artikel lepas, sampai pada suatu opini yang terkait dengan kasus yang disidangkan. Dalam sidang selama ini hal-hal itu kelihatannya belum diterima. Begitu juga dengan masalah prosedur pembuktian, apakah para saksi dan semua alat bukti harus dihadirkan di persidangan. Ini bisa menjadi kendala karena peristiwa pidana (tempus delicti) berada jauh di Timor Timur. KUHAP tidak mengatur tentang adanya kemungkinan menggunakan cara kesaksian jarak jauh (teleconference maupun videoconference). 12 Bukan itu saja, saksi tidak akan dapat secara leluasa memberikan keterangan langsung di pengadilan karena tidak ada rumusan aturan spesifik tentang akomodasi dan perlindungan saksi. Belum lagi masalah-masalah yang mungkin timbul akibat persoalan extradisi saksi yang berasal dari Timor Timur ke Indonesia.
II. SUBSTANSI DAN KUALITAS DAKWAAN Surat dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana, karena berdasarkan hal yang termuat dalam surat dakwaan itulah hakim akan memeriksa perkara. Artinya pemeriksaan oleh hakim dipengadilan dibatasi oleh dakwaan yang dibuat oleh Jaksa dan putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang ada dalam dakwaan. Dengan demikian siterdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti melakukan delik yang disebut dalam surat dakwaan. Disamping itu perumusan dakwaan didasarkan pada hasil pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) yang didasari oleh keterangan terdakwa mau pun keterangan saksi dan alat bukti yang lain termasuk keterangan ahli atau visum. Bedasarkan keterangan dan bukti itulah perbuatan yang dilakukan terdakwa sunguh-sunguh ditemukan dan kemudian dituangkan dalam surat dakwaan. 13 Dengan asumsi diatas maka surat dakwaan yang baik hanya dimungkin jika ada ketentuan hukum yang mampu memberikan payung bagi penysusunan dakwaan. Berdasarkan uraian pada bagian kelemahan-kelemahan substansi UU No.26/2000 dan hukum acara yang menyertainya maka surat dakwaan untuk para tersangka dalam pengadilan HAM ad hoc ini juga mengandung kelemahan mendasar. Ketiga surat dakwaan secara substantif menunjukkan bahwa para terdakwa didakwa Pertama menyangkut bentuk perbuatan Kejahatan kemanusiaan (pasal 7 UU No 26/2000). Perbuatan ini dalam dakwaan yang disusun oleh jaksa penuntut ad hoc dilakukan dalam dua bentuk berupa pembunuhan dan penganiayaan (pasal 9 UU No 26/2000) sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik (yang diketahui bahwa serangan) ditujukan pada penduduk sipil. Kedua berkaitan dengan tanggung jawab komando (command responsibility) dari para terdakwa baik yang berasal dari kalangan militer ataupun sipil. Para terdakwa sebagai pemegang otoritas memiliki tanggung jawab secara pidana atas terjadinya kejahatan 12
Perlu dicatat bahwa meskipun tidak diatur dalam KUHAP, ternyata dalam kasus pidana Korupsi Bulog, Majelis Hakim yang diketuai Lalu Mariyun membuat terobosan dengan mengizinkan dilakukan teleconference atau video conference untuk kesaksian BJ Habibie yang bermukim di Jerman (Lihat antara lain Hukum Online, 5 Juni 2002). Hal ini dapat menjadi sebuah preseden dalam sistem hukum pidana di Indonesia. 13
Mengenai ini lebih jauh lihat Dr. Andi Hamzah, SH., Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha jaya, Jakarta, 1996. hlm.172-173.
terhadap kemanusiaan yaitu pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan bawahannya. Sebagai atasan para terdakwa didakwa tidak mampu melakukan pengendalian yang efektif secara patut dan benar (pasal 42 UU No 26/2000). 14 Dengan dua substansi diatas maka kewajiban dari jaksa adalah menunjukkan bukti dan saksi secara meyakinkan atas apa yang didakwakan. Sehingga berbagai bukti dan keterangan saksi yang diperiksa ketika penyidikan menjadi dasar bagi penyusunan element of crimes dari surat dakwaan. Namun sangat disayangkan ketiga surat dakwaan ini memiliki persoalan serius karena seluruh uraiannya tidak mampu menunjukkan element of crimes dari apa yang didakwakan oleh jaksa. Hal ini terjadi karena surat dakwaan jaksa penuntut tidak secara tegas menujukan apakah kejahatan terhadap kemusiaan yang terjadi di Timtim itu meluas atau hanya sistematik atau karena pengetahuan atasnya (intension). Jaksa dalam surat dakwaannya gagal secara menyakinkan menunjukkan bahwa pembunuhan dan penganiayaan yang terjadi memenuhi unsur meluas karena tidak mampu menunjukkan akibat dari peristiwa secara faktual. Padahal bukti-bukti lapangan pasca peristiwa begitu banyak dan sangat terbuka. Disamping itu surat dakwaan juga tidak bisa mengambarkan keluasan peristiwa secara geografis dan jumlah korban dari berbagai peristiwa yang saling berakaitan. Akibatnya beberapa peristiwa yang ditampilkan dalam surat dakwaan seakan tidak saling berkait satu sama lain. Begitu juga dengan elemen sistematis. Hal itu terjadi karena jaksa dalam menyusun dakwaan tidak mampu mendeskripsikan apa yang dimaksud “suatu rangkaian perbuatan yang yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi”. 15 Akibatnya dalam seluruh surat dakwaan kita tidak bisa mendapatkan keterangan seluruh kejahatan terhadap kemanusian yang tejadi di Timtim itu sebagai kelanjutan dari kebijakan penguasa atau organisasi. Pada hal substansi untuk menunjukkan element of crimes yang sistematis tulang pungung pertama yang harus diajukan jaksa dalam tuntutannya adalah adanya peristiwa akibat adanya kebijakan penguasa atau berhubungan dengan organisasi. Akibat tidak mampunya jaksa dalam merumuskan apa yang dimaksud oleh penjelasan pasal 9 diatas maka dakwaan dirumuskan pada pelanggaran secara omission, yaitu pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan bawahannya dengan tidak diambilnya tindakan yang seharusnya dilakukan, yaitu mencegah, menghentikan, dan menghukum bawahannya yang telah melakukan pelanggaran pidana. Oleh karena itu dakwaan dalam pengadilan HAM ad hoc ini bisa dikatakan dakwaan minimal, meskipun pasal-pasal saksi pidananya kelihatan gagah dengan ancaman hukuman diatas 20 tahun. Dalam menunjukkan tanggungjawab komando surat dakwaan juga tidak memiliki rumusan yang akurat. Hal itu terjadi karena jaksa dalam surat dakwaannya hanya menyandarkan tanggungjawab komando hanya sebatas pada ketentuan formal, misalnya terhadap Timbul Silaen dinyatakan hanya sebagai Komandan dari Komando Pengendalian Keamanan di Timtim Pasca New York Agreement 5 Mei 1999. Padahal untuk menunjukkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan tanggungjawab komando tidak cukup dengan yang formal, melainkan lebih dari itu yaitu keseluruhan kewenangan yang dimilikinya dalam menjalankan komando yang ada pada dirinya. Oleh karena itu dakwaan mestinya bisa menunjukkan seluruh jaring komando itu dengan memaparkan seluruh kekuatan yang dipakai dan juga fasilitas yang digunakan, 16 kalau perlu seluruh pernyataan terbuka dan 14
Lihat progress report Monitoring Pengadilan HAM Ad Hoc 1&2 (Tim Monitoring ELSAM); Ketidakmampuan melakukan pengendalian ini dilakukan dengan mengabaikan informasi yang menunjukkan bahwa bawahannya baru saja melakukan pelanggaran berat HAM ( pasal 42 ayat 1(a) untuk militer dan ayat 2(a) untuk pejabat sipil serta tidak mengambil tindakan yang layak untuk menghentikan perbuatan tersebut [pasal 42 ayat 1 b dan 2 (b)] 15
Penjelasan Pasal 9 UU no.26/2000
16
Supra Note 9
dokumen yang mendukung pernyataan tersebut. Dengan kata lain surat dakwaan mestinya menunjukkan tanggungjawab komando dalam artian riil bagaimana ia bekerja. Secara gamblang tidak jelasnya tanggungjawab komando itu bisa dilihat dari surat dakwaan terhadap Abilio Soares sebagai Gubernur. Dakwaan terhadap Abilio Soares didasarkan pada peristiwa penyerangan terhadap Gereja Liquisa pada tgl 6 April 1999, kediaman Manuel Viegas Carrascalao tgl 17 April 1999, terhadap Diosis Dili tgl 4-5 September 1999, terhadap kediaman Uskup Bello tgl 6 September 1999, terhadap Gereja Ave Maria, Suai tgl 6 September 1999. Sedangkan dakwaan terhadap Timbul Silaen disusun berdasarkan peristiwa-peristiwa penyerangan gereja Liquisa, kediaman Manuel Carrascalao, penyerangan Diosis Dili, kediaman Uskup Bello, Gereja Ave Maria Suai, Sedangkan terhadap Herman Sediyono dkk perisitwa yang didakwakan hanya terbatas penyerangan terhadap Gereja Ave maria Suai. Dalam penyerangan tehadap beberapa tempat (Liquisa, Suai dan Dili) yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang yaitu 6 bulan telah jatuh beberapa korban jiwa. Dakwaan yang dituduhkan atas terjadinya penyerangan itu terhadap Abilio Soares terdiri dari telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa tindakan pembunuhan dan penganiayaan sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusian (pasal 7 ayat b, UU No.26/2000). Pembunuhan dan penganiayaan terjadi di lokasi perisitwa yang terurai diatas. Dimana dakwaan tersebut diformulasi sebagai berikut: Terdakwa “ mengetahui secara sadar, mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahannya yaitu Bupati Liquisa, Cavalima, Wakil Panglima PPI, Eurico Guterres dan organisasi massa lainnya antara lain Pam Swakarsa yang berada dibawah pembinaan Pemerintah TK I di Dili sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat berupa pembunuhan terhadap penduduk pro-kemerdekaan baik yang berada dalam komplek gereja Liquisa, Komplek gereja Ave Maria atau Atau tempat-tempat lain di wilayah Tk I Timtim. Atas kejadian tersebut terdakwa tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangan untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut, dimana terdakwa tidak melakukan pencegahan, atau langkah-langkah berupa memerintahkan kepada aparat keamanan untuk mencegah terjadinya bentrokan antara kelompok prointegrasi dan pro kemerdekaan atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk penyelidikan. penyidikan dan penunututan.” Dakwaan Terhadap Timbul Silaen dan Herman Sediyono dkk diformulasikan dalam bentuk yang berbeda tetapi dengan substansi sama dengan dakwaan terhadap Abilio Soares yaitu mengacu pada pasal 42 ayat 1 dan 2. Terhadap Abilio Jose Soares misalnya Jaksa Penuntut membuat konstruksi dakwaannya dengan menguraikan beberapa peristiwa terutama di gereja Liquisa, di kediaman Manuel Viegas Carrascalao dan kediaman Uskup Bello, distrik Dili, dan Gereja Ave Maria, Suai, Kovalima. Dalam semua peristiwa itu Abilio dinyatakan terkait karena (1) Adanya rapat yang dihadiri oleh semua Bupati yang dipimpin Gubernur dan memberikan pengarahan perlunya dibentuk organisasi politik untuk mewadahi aspirasi politik pro-integrasi. Rapat Muspida 17 yang dipimpin Abilio memutuskan dibentuknya organisasi politik kelompok prointegrasi di setiap kabupaten dengan nama FPDK. Kelompok-kelompok politik pro-integrasi ini kemudian dikenal dengan nama Pamswakarsa (milisi sipil bersenjata dengan menunjuk seorang panglima perang dan wakil panglima). (2) Seluruh kegiatan Pamswakarsa didanai oleh APBD masing-masing daerah TK II.
17
Rapat Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) biasanya dihadiri oleh para petinggi daerah dari berbagai unsur yaitu Gubernur, Danrem, Kapolda, Kejaksaan dan Kehakiman. Bisa dinyatakan rapat Muspida adalah forum pengambilan kebijakan politik strategis di daerah TK I.
Namun dalam dakwaan dua keterangan kunci tersebut dikaburkan oleh Jaksa. Kekaburan itu terjadi karena jaksa hanya mendakwa Abilio Soares, Timbul Silaen dan Herman Sediyono dkk hanya sebagai pihak yang “mengetahui secara sadar, mengabaikan informasi “ dan…”tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan 18 dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan tersebut, dimana terdakwa tidak melakukan pencegahan.” Dengan menyimpulkan dakwaan seperti itu maka jaksa dengan sendirinya mengingkari keterangan kunci yang dijadikan dasar dakwaan, karena terdakwa diajukan ke depan sidang hanya sekedar lalai bukan terlibat aktif dalam seluruh peristiwa itu sebagai aktor kunci yang mensponsori, memfasilitasi dan mengkoordinasikan gerakan dari kelompok-kelompok milisi itu demi memenangkan pro-integrasi. Karena menekankan pada kelalaian akibatnya jaksa penuntut dalam dakwaannya sama sekali tidak mampu menunjukkan apa motif dari rapat Muspida dan mengucuran dana bagi hadirnya kelompok pamswakarsa bersenjata itu. Ketiadaan motif ini menjadikan kelompok Pamswakarsa yang bersenjata hanya sekedar sekelompok orang yang berkerumun tanpa motif yang bisa dikaitan secara langsung kepada para terdakwa sebagai pimpinan demi upaya memenangkan hasil jejak pendapat dan mempertahankan kedudukan dengan cara teror dan intimidasi, pada hal kelompok milisi (pam-swakarsa) didirikan hampir di semua kabupaten dan disokong oleh APBD. Sehingga dakwaan bahwa Abilio, Timbul Silaen dan Herman Sediyono dkk “mengetahui secara sadar, mengabaikan informasi dan tidak menggunakan kewenangannya untuk mencegah” menyesatkan, karena kewenangan Abilio Soares sebagai Gubernur, Timbul Silaen sebagai Kapolda dan Herman Sediyono sebagai Bupati telah ia gunakan untuk mensponsori dan memfasilitasi Pamswakarsa demi kemenangan Pro-integrasi. Jadi dengan sendirinya dia tidak mungkin lagi mengunakan kewenangannya untuk mencegah dan mengambil tindakan yang layak dan diperlukan. Ketidakmungkinan Abilio, Timbul Silaen dan Herman Sediyono dkk mengunakan kewenangannya itu lah yang menimbulkan seluruh kejadian yang telah diuraikan panjang lebar oleh Jaksa dalam surat dakwaan jadi bukan sebaliknya. Dalam kerangka tanggung jawab komando sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 42(a) “seorang atasan………. bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang diberat oleh bawahannya yang berada dibawah kekuasaan dan pengendalian yang efektif” dalam kontek pelanggaran HAM berat di Timtim ini semestinya dipahami bukan karena tidak berjalannya kendali itu secara efektif melainkan Abilio Soares, Timbul Silaen dan Herman Sediyono dkk telah berada dalam pengendalian yang efektif karena secara jelas telah membentuk, mendukung, dan mendanai kegiatan Pam-swakarsa di setiap kabupaten dan seluruhnya itu telah dibicarakan dalam rapat Muspida dan pertemuan seluruh Bupati dengan Gubernur. Jaksa dalam pengadilan semestinya membuktikan bagaimana jaring komando yang telah menjalankan hasil rapat Muspida dan pertemuan seluruh Bupati itu. Rendahnya kualitas dakwaan ini sangat berakibat negatif terhadap elaborasi jaksa dan hakim dalam pemeriksaan sakasi.
III. PROSES DAN KUALITAS KESAKSIAN Keterangan saksi adalah alat bukti yang sangat penting untuk memperkuat dakwaan Jaksa atas terdakwa. Oleh karena itu setiap saksi dan kwalitas kesaksiannya menjadi kunci bagi hakim dalam menilai dakwaan. Menurut KUHAP pasal 184 alat-alat bukti adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu saksi harus orang yang betul-betul relevan dengan perisitwa yang disidangkan, memiliki pengetahuan atau mengetahui langsung, melihat langsung dan mendengar langsung terjadinya perisitwa. Artinya saksi mestinya orang-orang yang mengenal lokasi peristiwa 18
Cetak tebal dari penulis.
dan mengalami perisitwa itu secara langsung. 19 Dalam konteks kejahatan terhadap kemanusian untuk membuktikan sistematik atau meluas maka orang-orang yang terkait langsung dengan pembuatan kebijakan dan menjalankan kebijakan di lapangan harus pula hendaknya menjadi saksi karena diduga kuat mengetahui perisitwa. Mengingat pemeriksaan perkara didasari prosedur beracara sebagaimana diatur dalam KUHAP, maka kesaksian memiliki peran yang vital. Kesaksian di depan persidangan merupakan salah satu alat bukti terkuat yang mempengaruhi penilaian hakim atas dakwaan yang diajukan kepada para terdakwa. Dengan merujuk pada proses beracara ini, fakta dipersidangan merupakan hal yang utama yang akan dijadikan landasan bagi hakim dalam mengambil keputusan atas perkara. Dengan demikian dalam tahap ini kemampuan jaksa penuntut umum untuk merumuskan secara jelas unsur kejahatan dari dakwaan yang telah dirumuskan menjadi salah satu faktor penting. Sebab sebagaimana juga diatur dalam aturan pembuktian KUHAP, keterangan saksi merupakan alat bukti yang utama dalam proses persidangan. 20 Terdapat beberapa hal penting yang akan diuraikan lebih lanjut pada laporan ini, yang secara umum mencakup pengamatan keseluruhan proses pemeriksaan saksi, isi kesaksian, dan hak-hak saksi dalam persidangan-khususnya berkaitan dengan saksi korban. a. Pembuktian element of crime dalam pemeriksaan saksi Proses pemeriksaan saksi ini pertama-tama di dasarkan pada usaha untuk memperoleh keterangan mengenai fakta hukum yang berkaitan dengan butir-butir yang di dakwakan dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum ad hoc. Upaya ini dilakukan melalui pertanyaanpertanyaan yang diajukan pada saksi di muka sidang pengadilan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diturunkan dalam upaya menemukan element of crime dari dakwaan dalam hal ini kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan tanggung jawab komando (command responsibility). 21 Diharapkan pengetahuan saksi atas peristiwa dapat membantu menemukan fakta hukum yang dibutuhkan dalam pencarian kebenaran di muka persidangan. Proses pembuktian dakwaan ini, memiliki beberapa perhatian penting khususnya berkaitan dengan upaya jaksa penuntu ad hoc untuk menurunkan element of crime dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan tanggung jawab komando dalam pemeriksaan terhadap saksi. Dalam unsur kejahatan pada kejahatan terhadap kemanusiaan, tantangan terbesar adalah pembuktian mengenai unsur sistematik dan meluas. 22 Selain itu jaksa juga harus mampu melakukan pembedaan pengertian pembunuhan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dengan pengertian umum pembunuhan sebagai kejahatan pidana biasa. Dalam kejahatan pidana biasa pelaku biasanya adalah orang yang bertanggung jawab atas perbuatan itu baik dalam kedudukannya sebagai pelaku langsung maupun sebagai penganjur atau pembantu melakukan kegiatan. 23 Sementara dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, perbuatanmeskipun dilakukan secara individual- namun ada sebagai hasil dari aksi kolektif (collective action). 24 Dalam pengertian ini pula terdapat elemen yang merupakan fondasi penting yakni adanya pemegang otoritas kebijakan yang membuat terbentuknya rangkaian kejadian yang
19
Kecuali saksi ahli.
20
Tata cara pemeriksaan saksi di pengadilan HAM ad hoc ini mengacu pada aturan pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pemeriksaan saksi ini diatur dalam pasal 159-182 KUHAP. Lihat juga secara spesifik tentang kesaksian sebagai alat bukti dalam KUHAP pasal 184 (1) 21
Lihat Progress report 1&2 ELSAM atas pengadilan HAM Ad hoc kasus Timor Timur, ELSAM 2002 .
22
Pengertian menyangkut pembuktian adanya perencanaan yang sistematis yang dalam banyak kasus hampir selalu melibatkan kewenangan pemegang otoritas birokrasi. 23 24
Lihat pengaturan dalam KUHP buku kedua
Lihat M. Cherif Bassiouni, Crimes Against Humanity in The International Law, Kluwer Law International , 1999, hal 247.
menyebabkan perbuatan individu tersebut dapat dikategorikan dalam pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu dengan mempertimbangkan lemahnya penyusunan dakwaan dalam memperlihatkan unsur-unsur tersebut, proses pemeriksaan saksi menjadi pilar penting pembuktian atas elemen kejahatan dalam perkara ini. Terlebih lagi, mengingat pengaturan dalam KUHAP mengenai pemeriksaan saksi, memberikan pengakuan pentingnya fakta persidangan dalam pemeriksaan saksi. Keterangan saksi yang dipergunakan sebagai alat bukti adalah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. 25 Proses pemeriksaan saksi ini diwarnai dengan pencabutan beberapa isi penting kesaksian dalam Berita Acara Pemeriksaan (selanjutnya disebut BAP) yang dilakukan oleh para saksi. Dalam perkara untuk Herman sedyono dkk, hampir semua saksi mencabut kesaksian mereka sebagaimana tercantum di BAP untuk beberapa butir pembuktian yang signifikan seperti pengakuan adanya penyerangan, rapat koordinasi antar pejabat pemerintah dan pejabat militer, suara letusan senjata dan pembentukan kelompok-kelompok pengamanan sipil di cabut dalam pemeriksaan persidangan. 26 Adapun alasan pencabutan mulai dari adanya tekanan ataupun pernyataan bahwa keterangan sebelumnya merupakan pendapat saksi sehingga tidak memenuhi kualifikasi sebagai kesaksian. Atas hal ini majelis hakim maupun jaksa penuntut umum sendiri tidak mengelaborasi lebih lanjut dalam pemeriksaan di persidangan. Dalam berkas terdakwa Abilio dan Timbul Silaen, hal yang serupa terjadi. Pencabutan kesaksian juga dilakukan pada beberapa bagian penting yang berkaitan dengan pengakuan adanya keterkaitan antara pembentukan satuan keamanan sipil dengan kebijakan ataupun dukungan dari pemegang otoritas kekuasaan di tingkat daerah baik dalam hubungan administrasi maupun dalam hubungan teknis seperti pembinaan dan pelatihan. Sehingga dalam pemeriksaan saksi hampir tidak ditemukan pengakuan akan adanya penyerangan. Dalam perkembangan selanjutnya hakim maupun penuntut umum bahkan juga turut menggunakan kata “bentrokan” atau “kerusuhan” sebagai pengganti pengertian akan penyerangan ini. Penggunaan kata ini sendiri berimplikasi pada pemenuhan dan pembuktian unsur kejahatan dalam dakwaan. 27 Sebagai contoh yang lain, dalam pemeriksaan saksi Adam Damiri, misalnya pengertian satuan keamanan sipil bersenjata (milisi) bahkan dinyatakan tidak ada.28 Lebih jauh dalam pemeriksaan yang sama, saksi juga mencabut keterangan yang menyatakan bahwa Pam Swakarsa adalah perubahan bentuk dari Pejuang Pro Integrasi. 29 Keterangan saksi seharusnya adalah keterangan dari seseorang atas suatu peristiwa pidana, yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya tersebut. Keterangan saksi tidak dapat berupa pendapat/opini atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikirannya saja. Atau pengetahuannya tentang suatu peristiwa dia peroleh dengan cara, mendengar cerita dari orang lain (testimonium de auditu). Namun, 25
Lihat pasal 185 (1) KUHAP; pengaturan ini memperkecil kemungkinan penggunaan model alternatif dalam pemeriksaan saksi oleh hakim, khususnya berkaitan dengan kehadiran saksi korban.
26
Lihat Laporan Harian Observasi Pengadilan HAM ad hoc (ELSAM); Saksi Sonny Iskandar mencabut seluruh BAP dengan alasan berada di bawah tekanan. Dalam pemeriksaan tersebut pengakuan saksi sangat signifikan mengenai keterlibatan saksi dalam penyerangan di gereja Ave Maria Suai. I wayan Suka Antara mencabut hasip pemeriksaan di Bap berkaitan dengan bunyi suara tembak menembak, rapat koordinasi bupati dengan Kodim pada saat kejadian, serta kata penyerangan. Jehezkiel Berek mencabut kesaksian yang mengatakan bahwa pembentukan milisi sipil itu dikukuhkan oleh kebijakan Bupati setempat. 27
Apabila merujuk pada pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam UU No 26/2000 maka disyaratkan bahwa perbuatan tersebut (pembunuhan dan penganiayaan) merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahui secara langsung ditujukan pada penduduk sipil. 28 29
Lihat Laporan pemeriksaan saksi Adam Damiri untuk berkas Abilio J. Osorio Soares tanggal 8 Mei 2002
ibid. Pencabutan kesaksian ini tanpa disertai alasan yang cukup memadai, dan hakim maupun jaksa penuntut ad hoc juga tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
dalam beberapa bagian, isi kesaksian banyak diwarnai dengan pernyataan yang dapat diklasifikasikan sebagai pendapat atau opini bahkan perasaan. 30 Hal ini tidak terlepas dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bahkan oleh hakim sendiri kepada para saksi. Beberapa pertanyaan yang diajukan baik oleh penuntut umum sendiri ataupun oleh jaksa tidak seluruhnya mengarah pada adanya jawaban yang berupa fakta hukum mengenai element of crimes yang menjadi dasar dakwaan. Hal itu terjadi karena saksi yang paling banyak diperiksa dalam tiga berkas ini adalah juga terdakwa. Sehingga informasi baru atau informasi yang memperkuat dakwaan tak bisa dihadirkan dipersidangan secara maksimal. Karena pemeriksaan saksi pertama kali didominasi oleh saksi yang juga adalah terdakwa maka kebanyakan saksi membantah atau mengenyampingkan hal-hal yang diajukan oleh Jaksa. Bahkan saksi bisa mengatakan jaksa tidak mengerti persoalan. Akibatnya jalan pemeriksaan saksi lebih mengarah kepada pledoi dari para terdakwa yang bersaksi atas terdakwa lainnya dengan menekankan begitu gentingnya keadaan di Timtim waktu itu akibat hadirnya secara sontak dua kelompok yang saling menyerang. Akibatnya jaksa dan hakim terbawa kedalam skenario bentrokan atau kerusuhan yang telah digalang lama oleh para terdakwa dalam berbagai kesempatan. Akibatnya keterangan saksi menjadi sama sekali tidak berguna bagi jaksa untuk memperkuat dakwaan sehingga jaksa juga menjadi kehilangan pegangan ketika hendak mengelaborasi pertanyaan dari jawab-jawaban atau opini yang disampaikan oleh apra saksi. Padahal dari seluruh saksi yang juga terdakwa semestinya jaksa dan hakim menggali lebih jauh bagaimana rantai komando dan alur dari perintah yang ada pada saat menjelang, selama, dan sesudah jejak pendapat. Dalam konteks rantai Komando ini elaborasi mengenai keberadaan kesatuan-kesatuan yang hadir di lapangan, penanggung jawab operasi intelijen dan pengendali oprasi pusat tidak ditanyakan. Akibatnya kesaksian lebih banyak menjadi “ajang kampanye” dari para terdakwa dan upaya melindungi terdakwa yang lain. Sedangkan saksi yang didatangkan dari Timtim sebagai saksi korban diperiksa belakangan dengan jumlah yang sangat tidak memadai yaitu hanya 3 orang. Ketiga orang ini juga berasal dari peristiwa yang berbeda salah satunya adalah dari Suai yaitu Domiggas dos Santos Mauzinho unutk Herman Sudiyono. 31 Dua orang saksi lagi yaitu Emilio Bareto dan Joao Perreira untuk pemeriksaan Timbul Silaen dan keduanya kemudian dijadikan juga saksi bagi Abilio Soares. Dalam peristiwa di Suai yang dituduhkan adalah adanya pembunuhan tetapi kepada saksi tidak ditanyakan lebih jauh oleh jaksa dan hakim bagaimana pembunuhan itu terjadi. Malah saksi dibiarkan oleh jaksa dan hakim diintimidasi oleh kuasa hukum terdakwa sehingga saksi yang tidak fasih berbahasa Indonesia itu menjadi grogi. 32 Secara umum seluruh proses dan kualitas keterangan saksi sama sekali tidak memperkuat materi dakwaan yang berupa pemunuhan dan penganiyaan dan lebih jauh lagi tidak bisa digunakan untuk membuktikan terjadinya kejahatan terhadap kemanusian yang sistematis dan meluas serta “adanya pengabaian informasi dan tidak diambilnya tindakan yang patut dan layak. Jadi seluruh kesaksian lebih merupakan keterangan yang memperkuat posisi para terdakwa yang menyatakan seluruh peristiwa di Timtim menjelang dan sesudah jejak pendapat adalah tindakan spontan dari orang-orang yang kecewa akibat adanya kecurangan. b. Prosedur pemeriksaan saksi Dalam pemantauan terhadap proses pemeriksaan saksi, pengamat menemukan beberapa masalah mendasar yang tidak sesuai dengan asas ketentuan pemeriksaan saksi dalam hukum
30
Lihat antara lain catatan kesaksian Wiranto dan Adam Damiri untuk berkas Abilio Soares.
31
Terdapat tiga orang saksi korban atau keluarga korban yang batal hadir, yaitu Armendo de Deus Granan Deiro, Frez da Costa, dan Tobias dos Santos (semuanya untuk perkara Herman Sedyono, dkk). 32
Lihat penjelasan tentang “hak saksi mendapatkan penterjemah” di bagian lain Laporan ini
acara yang secara langsung berkaitan dengan suatu sistem adminstrasi pengadilan berjalan Pengadilan Ham ad hoc. 33 Berdasarkan asas ketentuan pemeriksaan saksi, dinyatakan bahwa saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang (dilakukan satu per satu). Para saksi tidak sekaligus diminta masuk ke ruang sidang. Tidak dibenarkan saksi diperiksa secara bersama-sama, sepanjang hal itu tidak diperlukan. Pemeriksaan saksi secara satu persatu ditujukan agar keterangan yang mereka tetap bersifat bebas, sehingga jangan sampai terjadi keterangan seorang saksi dapat didengar oleh saksi yang lain, yang berakibat mempengaruhi saksi yang bersangkutan. Dalam prakteknya, asas-asas tersebut di atas seringkali dilanggar. Para saksi yang seharusnya tidak boleh masuk ke sidang karena akan diperiksa sebagai saksi sering kali masuk ke persidangan untuk melihat pemeriksaan saksi lain, atau duduk di luar ruangan sambil mendengarkan proses pemeriksaan saksi lainnya. 34 Pengadilan Ham ad hoc di PN Jakarta Pusat tidak memiliki ruang tunggu khusus untuk saksi yang dijaga ketat oleh para petugas, agar saksi tidak dapat masuk ke ruang sidang atau setidak-tidaknya dilarang mendengar proses pemeriksaan kesaksian sebelumnya. 35 Ini menunjukkan bahwa pengadilan HAM tidak memiliki mekanisme yang membatasi agar orang-orang yang seharusnya dikualifikasi tidak diperbolehkan masuk ke persidangan (mendengar kesaksian) dilarang karena orang tersebut merupakan calon saksi Berdasarkan aturan mengenai tata urutan pemberian kesaksian, yang seharusnya diperiksa terlebih dahulu sebagai saksi adalah saksi korban (Pasal 160 ayat 1 sub b KUHAP). Tapi, dari saksi-saksi yang telah diperiksa dipersidangan sampai dengan akhir April 2002, tidak ada satupun saksi yang merupakan saksi korban. Saksi-saksi yang diajukan adalah Terdakwa lain dalam berkas perkara yang berbeda dalam kasus Pelanggaran Ham yang Berat yang terjadi di Timor-timur atau Mereka yang masih ada atau pernah memiliki hubungan kerja dengan para Terdakwa baik sebagai atasan atau bawahan. Dalam pengamatan atas beberapa pemeriksaaan saksi di pengadilan, yang terjadi justru sebaliknya, dimana pada saksi-saksi yang memegang kedudukan penting dalam struktur organisasi ABRI/POLRI yang diperiksa di awal-awal proses pemeriksaan saksi. 36 Para Saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum juga lebih tepat dianggap sebagai Saksi a de charge (yang meringankan Terdakwa – yang seharusnya diajukan oleh Terdakwa atau Penasihat hukumnya) bukan saksi a charge (yang memberatkan – saksi yang seharusnya diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum). Contohnya: keterangan Saksi yang menyatakan bahwa tidak ada anggota TNI/Polri yang terlibat dalam “kerusuhan”. Atau saksi yang mengatakan bahwa Para Terdakwa telah melakukan pekerjaan pencegahan maupun tindakan pengusutan sehingga kerusuhan dapat dilokalisir dsb. Padahal dari pihak penasehat hukum sendiri telah pula diajukan saksi-saksi meringankan (a decharge) bagi terdakwa. Berdasarkan pengamatan dalam proses persidangan khususnya dalam tahap pemeriksaan saksi dipersidangan, terutama yang berkaitan dengan saksi korban, terdapat beberapa pokok perhatian khusus. Paling tidak ada tiga hal penting berkaitan dengan prosedur 33
Asas ketentuan pemeriksaan saksi terdapat dalam KUHAP pasal 159 dan 160.
34
Pengamat sering kali melihat beberapa saksi yang selalu mengikuti persidangan, bahkan ada saksi yang hadir 2 sampai 3 kali selama proses pemeriksaan saksi lainnya dalam berkas yang sama, terlebih dalam berkas yang berbeda. 35
Biasanya para saksi yang menunggu giliran untuk diperiksa di persidangan tidak ditempatkan di ruang khusus tetapi di beri keleluasaan untuk duduk di kursi yang terletak di luar ruangan sidang. Padahal, proses pemeriksaan kesaksian dapat terdengar dengan bebas di luar persidangan karena dipasang alat pengeras suara sehingga saksi lain yang belum di periksa dapat mendengarkan pemeriksaan saksi lainnya. 36
Lihat laporan observasi monitoring pengadilan HAM ad hoc ELSAM untuk pemeriksaan Jend. Wiranto, Abdul Muis, dimana proses dipenuhi sorak sorai dari pengunjung yang mendukung loyalitas terdakwa pada Indonesia, dan mengecam PBB dan dunia internasional dalam persoalan timtim, April-Mei 2002.
pemeriksaan saksi ini, meliputi (1) jaminan keamanan, (2) hak-hak saksi dalam persidangan, (3) jadual persidangan. Sampai dengan akhir bulan Juni 2002, dari seluruh 31 orang saksi, hanya ada tiga orang saksi korban / keluarga korban yang bersaksi di muka pengadilan atas pengajuan Jaksa Penuntut Umum. Masing-masing adalah: Dominggas dos Santos Muzinho (untuk perkara Herman Sedyono, dkk), Joao Perreira dan Emilio Bareto (untuk perkara Timbul Silaen). Sebagian besar saksi yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, berasal dari kesatuan ABRI atau Kepolisian yang cenderung memberikan keterangan yang tidak memperkuat dakwaan yang telah disusun oleh jaksa penuntut umum. Ini sangat jauh dari proporsi yang ideal, mengingat banyaknya korban yang jatuh sebagaimana didakwakan oleh jaksa. Kegagalan Jaksa Penuntut Umum RI untuk menghadirkan para saksi korban yang lain membuat komposisi kesaksian menjadi tidak seimbang untuk dapat disebut sebagai sebuah proses kesaksian yang adil. Ketidakmampuan menghadirkan saksi korban secara berimbang dengan saksi lainnya sebenarnya menuntut kebijakan hakim untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan, seperti menggantikan kehadiran dengan pembacaan berita acara kesaksian atau bahkan menemukan terobosan-terobosan yang dapat mempermudah jalannya pemeriksaan perkara. 37 Dalam pemeriksaan saksi korban dalam berkas Timbul Silaen yang bernama Emilio Bareto dan Juao Perreira, Jaksa penuntut umum ternyata tidak melakukan proses pemanggilan sesuai prosedur dalam hukum acara. Dua orang saksi, Emilio Bareto dan Joao Perreira, yang saat itu sedang hadir di pengadilan untuk memberikan kesaksian untuk berkas Abilio Soares secara tiba-tiba diajukan oleh jaksa penuntut umum dalam kasus Timbul Silaen tanpa konfirmasi terlebih dahulu dan kemudian diperiksa. Proses pemeriksaannya dilakukan secara bergantian dalam kedua berkas tersebut (Timbul Silaen dan Abilio Soares), ketika Emilio Bareto diperiksa di persidangan kasus Timbul Silaen maka Juao Fereira diperiksa di persidangan kasus Abilio dan sebaliknya. c. Jaminan Keamanan untuk Saksi Korban Selama proses pemeriksaan saksi dalam hal ini kesaksian korban, dari tiga berkas kasus tersebut direncanakan ada 14 saksi korban yang akan dihadirkan oleh Kejaksaan bekerjasama dengan UNTAET 38 , dengan rincian sebagai berikut : Berkas
Timbul Silaen
Rencana
10 orang 1. Emilio Bareto 2. Joao Fareira 3. Jose Menez Soares 4. joao Bernandido 5. Maria Fereira Soares 6. Nelio Mesquita da Costa Rego 7. Vicente AG Sousa
Yang diperiksa
2 orang 1. Joao Fareira 2. Emilio Bareto
Alasan ketidakhadiran Masalah keamanan: 5 orang (dari Timtim) dan alamat tidak diketahui: 3 orang (dari NTT)
37
Lihat juga pasal 162 (1) KUHAP,”… atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya, …maka keterangan yang telah diberikan itu dibacakan”. 38
Untuk memperlancar pemeriksaan kasus pelanggaran HAM yang berat di Timtim pihak kejaksaan Agung Indonesia mengadakan kerjasama dengan UNTAET yang dituangkan dalam suatu MoU yang pada intinya menyebutkan kesiapan pihak UNTAET untuk membantu Pihak Kejaksaan Agung Indonesia dalam memeriksa kasus tersebut baik dalam hal menghadirkan saksi maupun pemeriksaan saksi di timtim.
8. Jose Gaetano Da Costa 9. Don Bosco Salganya 10. Marecelino Martins Ximenez
Herman S, dkk
4 orang 1. Dominggos dos Santos Mauzinho 2. Fres Da Costa 3. Tobias Dos Santos 4. Armando De Deus Granadaero
Abilio Soares
Tidak dijelaskan oleh Penuntut 2 orang (diambil Umum siapa saja yang menjadi dari saksi untuk saksi korban berkas lain: berkas Timbul silaen) yaitu 1. Emelio Bareto 2. Joao Fereira
Mengundurkan diri 1 orang 1. Dominggos Dos karena masalah Santos keamanan Mauzinho
Tidak jelas
Rincian diatas menunjukkan bahwa ketidakhadiran saksi korban untuk pemeriksan ketiga berkas terutama adalah mengenai masalah keamanan yang mencakup keamanan fisik dan keamanan psikologis. Hal ini dipertegas oleh surat penjelasan Jaksa Agung RDTL, Longhuinos Monteiro, yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum persidangan tanggal 5 Juni 2002, adalah karena alasan tidak adanya jaminan keamanan bagi para saksi korban.Walaupun pada saat pemeriksaan beberapa saksi yang pernah dihadirkan di pengadilan pada tanggal 30 Mei 2002, pihak keamanan telah mempersiapkan tiga peleton pasukan keamanan (satu peleton Brimob, satu peleton Polda dan satu peleton pasukan perintis Polri), tetap saja sebagian besar saksi korban takut untuk diperiksa di Indonesia. 39 Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Barman Zahir SH, dalam siaran persnya tanggal 5 Juni 2002 menganggap keberatan Jaksa Agung Monteiro tidak beralasan, karena pemerintah RI secara khusus telah menjamin keselamatan mereka, tidak hanya di ruang sidang, tetapi juga di penginapan dan perjalanan. Selain perlindungan fisik, prinsip-prinsip tentang peradilan yang adil mensyaratkan juga adanya perlindungan terhadap ancaman psikologis yang mungkin saja terjadi. 40 Selain itu pasal 34 ayat 1 UU no.26 tahun 2000 juga menyatakan: “Setiap korban dan saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.” Sayangnya PP no.2 tahun 2002 yang mengatur tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak dilengkapi dengan aturan mengenai prosedur pengamanan yang baku.
39
kendala utama sehingga saksi korban takut untuk hadir di persidangan adalah yang berkaitan dengan keamanan psikologis. Ada beberapa faktor yang terlihat dalam pemantauan yang menjadi sumber ketidakamanan psiologis saksi korban. Yang pertama adalah saksi takut berhadapan dengan terdakwa karena satatus terdakwa merupakan mantan orang yang berkuasa didaerahnya. Kedua adalah saksi takut terhadap para pengacara (menyangkut jumlah pengacara di persidangan dan intimidasi yang mungkin diterima selama pemeriksaan) Ketiga, terhadap pengujung sidang terutama beberapa masyarakat pro integrasi yang hadir dipersidangan dan pers. 40
Lihat Fair Trial Manual Amnesty International
Memang tidak terjadi serangan secara fisik maupun ancaman langsung yang dialami oleh para saksi korban yang bersedia melakukan kesaksian. Meskipun demikian, saksi akan kesulitan untuk memberikan keterangan dengan leluasa kalau pengunjung sidang bisa berteriak-teriak dan mencemooh, sementara di luar pengadilan ada kelompok-kelompok yang terus melakukan unjuk rasa. Persidangan kasus pelanggaran berat HAM Timor Timur, pada awalnya dihadiri Panglima TNI dan jajaran pimpinan teras TNI. Kemudian, dalam setiap persidangan selalu didatangi kelompok pro-integrasi dan penonton yang bisa menyoraki saksi. Kondisi seperti ini dapat dikategorikan sebagai bentuk tekanan. Keadaan seperti ini seharusnya bisa ditertibkan oleh otoritas pengadilan. Harus ada usaha nyata dari otoritas pengadilan untuk memberikan ketenangan dalam proses peradilan. Persoalan lain berkaitan dengan keamanan ini adalah pertanyaan-pertanyaan penasehat hukum yang dalam banyak kesempatan menyudutkan dan cenderung berisi ancaman bagi saksi. Terhadap kejadian ini, majelis hakim dalam beberapa kesempatan telah memperingatkan penasehat hukum. Dalam salah satu pemeriksaan saksi bahkan saksi terlihat dalam situasi tidak rileks dan tertekan, tidak bersedia berhadapan muka dengan penasehat hukum. 41 Lebih lanjut, bahkan tidak bersedia menjawab sebagian besar pertanyaan yang datang dari salah satu penasehat hukum, sementara terhadap pertanyaan yang datang dari beberapa penasehat hukum yang lain dengan lancar dapat dijawab. Selain masalah keamanan saksi korban, masalah lain yang menyulitkan untuk mendatangkan saksi korban atau keluarga korban adalah masalah tidak adanya biaya. Pengadilan HAM tidak dibekali dengan dukungan dana yang memadai untuk melakukan prosedur ini, sementara pihak PBB melalui UNMISET (United Nations Mission of Support in East Timor) tidak dapat memberikan bantuan biaya karena dapat menjadi preseden bagi kasuskasus serupa di masa datang. Selain itu, belum ada perjanjian ekstradisi yang jelas antara pihak pemerintah Indonesia dengan Timor Timur. Selama ini proses yang berkaitan dengan ekstradisi dilakukan berdasarkan memorandum of understanding (MOU) antara pihak Deplu RI dengan UNTAET. Saat ini Timor Timur tidak lagi ditangani oleh UNTAET melainkan telah membentuk pemerintahan sendiri dengan dukungan PBB melalui UNMISET, dan tidak ada penjelasan mengenai pelimpahan wewenang masalah ekstradisi dari UNTAET berdasarkan MOU tersebut kepada pemerintah Timor Timur maupun UNMISET. Berkaitan dengan masalah keamanan tersebut sebenarnya pihak Kejaksaan Timtim telah berusaha memberikan masukan terhadap proses pemeriksaan saksi korban yang tidak bisa didatangkan langsung ke persidangan di Indonesia, yaitu dengan cara melakukan pemeriksaan kesaksian melalui teleconference atau melalui rekaman video atau audio.42 Namun tawaran dari Kejaksaan Timtim itu tidak ditanggapi dalam pengadilan ini. d. Hak saksi untuk mendapatkan penerjemah Seorang penerjemah merupakan suatu hal yang penting dalam proses pemeriksaan kesaksian khususnya saksi-saksi korban yang berasal dari Timor Timur yang tidak menguasai dengan baik bahasa yang digunakan dalam persidangan, yaitu bahasa Indonesia. Oleh karena itu untuk Pengadilan HAM ad hoc ini perlu disediakannya penerjemah yang mengerti bahasa Indonesia dan bahasa Tetun. Dalam persidangan tanggal 28 Mei 2002, untuk perkara Herman Sedyono, dkk dihadirkan saksi Dominggas dos Santos Mauzinho. Terhadap saksi ini, jaksa penuntut umum 41 42
Dokumentasi audio visual ELSAM pada pemeriksaan saksi Dominggas Dos Santos Mauzinho, 28/5/2002
Hak untuk tidak berhadapan langsung kepada terdakwa sebenarnya sudah tertuang di dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah mengenai perlindungan saksi. Dan korban pelanggaran HAM yang berat
menginformasikan bahwa saksi kurang begitu lancar berbahasa Indonesia sehingga disiapkan seorang penerjemah bahasa Tetun dari Timor Timur. Namun pada kenyataannya, tidak ada upaya untuk menpersiapkan penerjemah secara sungguh-sungguh oleh pengadilan HAM ad hoc dalam persidangan ini. Pihak UNMISET berinisiatif dengan membawa penerjemah bahasa Tetun-Indonesia dari Timor Timur. Jasa penerjemah ini pun kemudian tidak dapat digunakan karena terhalang oleh keputusan dari hakim persidangan. Majelis Hakim yang diketuai oleh Cicut Sutiarso menolak penerjemah yang disediakan dengan alasan tidak adanya surat pengantar dan sertifikat sebagai seorang penerjemah. Majelis Hakim akhirnya memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dan hanya akan menggunakan penerjemah jika dirasa dibutuhkan, tanpa kriteria ataupun batasan yang jelas tentang skala kebutuhan tersebut. Sampai berakhirnya sidang pemeriksaan saksi tersebut, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan saksi tidak bisa menjawab secara lancar dan tersendat-sendat ketika ditanya dengan intonasi yang cepat dan istilah yang tidak familiar. Sehingga, baik Hakim, Jaksa Penuntut Umum, maupun Penasehat Hukum Terdakwa seringkali harus mengulang pertanyaan. Saksi pun, dalam sebagian besar kesempatan terpaksa dikondisikan pada pertanyaan berjawaban “ya” dan “tidak” akibat keterbatasannya berbahasa Indonesia. Kondisi ini secara otomatis telah mengurangi kedalaman eksplorasi kesaksian. Alasan penolakan Majelis Hakim terhadap pendampingan seorang penerjemah ini kurang tepat, mengingat bahasa Tetun adalah bahasa yang tidak lazim digunakan sebagai bahasa komunikasi standar dalam hubungan internasional. Sehingga pensyaratan sertifikat penerjemah merupakan permintaan yang tidak bisa dipenuhi. Padahal, hak seseorang untuk mendapatkan seorang penterjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan merupakan salah satu bentuk jaminan pengadilan yang adil, sebagaimana juga tercantum dalam pasal 14 ayat 3 (f) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). 43 Selain itu dalam pengaturan tentang saksi menurut KUHAP pasal 177, hakim dapat menunjuk seorang penerjemah apabila saksi atau terdakwa tidak paham bahasa Indonesia. e. Jadwal Persidangan Proses Pemeriksaan Saksi Dalam persidangan tanggal 29 Mei 2002 dalam perkara Herman Sedyono, dkk, Majelis Hakim yang diketuai oleh Cicut Sutiarso memberikan ultimatum kepada Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan seluruh saksi korban yang mungkin hadir dan menyelesaikan proses kesaksian dalam jangka waktu satu minggu. Perintah hakim ini merupakan konsekuensi dari pasal 31 UU no. 26 tahun 2000 yang menyatakan bahwa perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan ke Pengadilan. Perintah hakim tersebut akan membawa konsekuensi lain yaitu “dipertentangkannya” asas keadilan dengan asas kepastian hukum. Melihat kesulitan pihak Jaksa Penuntut Umum untuk mendatangkan saksi korban, maka kemungkinan besar seluruh saksi korban yang dibutuhkan untuk bersaksi tidak akan dapat melakukan kesaksian dalam jangka waktu satu minggu tersebut. Akibatnya, komposisi kesaksian menjadi semakin menjauh dari proporsional. Dan peradilan yang adil pun kemungkinan besar tidak akan dapat terlaksana dengan baik. 43
Lihat juga Amnesty Internasional, Fair Trial, Blackmore Ltd. Dorset, 1998. Meskipun diutamakan unutk terdakwa namun juga berlaku dalam kasus saksi yang tidak dapat menggunakan bahasa lokal yang digunakan di persidangan.
Sementara itu, jika demi memenuhi asas proporsionalitas kesaksian pengadilan memutuskan untuk memberi waktu yang luas pada Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan seluruh saksi korban yang dibutuhkannya untuk bersaksi, dan demikian juga terhadap para saksi yang diajukan oleh Penasehat Hukum Terdakwa nantinya, maka jalannya pengadilan akan memakan waktu yang lebih lama. Dan jika sampai dengan 180 hari sejak dilimpahkannya perkara ke pengadilan ternyata belum dapat diputuskan oleh Majelis Hakim, bukan tidak mungkin pengadilan “batal demi hukum”.
IV. EKSPLORASI JAKSA PENUNTUT UMUM DAN MAJELIS HAKIM DALAM MENGUNGKAP KEBENARAN MATERIIL. Dalam persidangan, terdakwa, saksi, dan pengacara membangun wacana bahwa apa yang terjadi di Timor Timur adalah sebuah kerusuhan spontan sebagai pelampiasan rasa tidak senang karena adanya kecurangan UNAMET atau adanya provokasi dari pihak prokemerdekaan. Argumen kecurangan UNAMET sebenarnya telah gugur karena pemerintah Indonesiatelah menyetujui hasil jajak pendapat dan juga telah diberikan kesempatan menyampaikan keberatan. Disamping itu, penyerangan-penyerangan telah lama ada sebelum hasil jajak pendapat diketahui, yaitu sejak bulan April 2002. Sayangnya, sepanjang persidangan Jaksa dan Hakim mengamini dan bahkan terjebak dalam argumentasi terdakwa dan saksi. Akibatnya hal utama dalam dakwaan yaitu pembunuhan dan penganiayaan sebagai bagian dari serangan hilang dalam elaborasi Jaksa dan Hakim. Sebagai pihak yang bertanggung-jawab untuk membuktikan unsur-unsur dakwaannya Jaksa Penuntut Umum sampai akhir April 2002, belum mampu menghadirkan saksi-saksi yang diharapkan dapat membuktikan unsur-unsur tersebut. Jaksa Penuntut Umum lemah dalam memakai atau menggunakan data sebagai bahan rujukan atau pembanding dari keterangan saksi-saksi, beberapa contoh dapat dikemukakan disini: Tentang Penyebab “Kerusuhan” Jaksa penuntut umum tidak mencoba menggali lebih jauh pengetahuan saksi tentang penyebab “kerusuhan”. Jaksa penuntut umum seharusnya mengejar dengan pertanyaan lebih lanjut, tentang sumber pengetahuan saksi-saksi yang menyatakan bahwa “kerusuhan” tersebut disebabkan oleh diajukannya pengumuman jajak-pendapat serta terjadi kecurangan dan tidak ada tanggapan yang memuaskan atas klaim tersebut. Sehingga dapat diketahui apakah ini memang fakta ataukah hanya hasil analisis dari para Saksi. Tentang Keterlibatan TNI atau Polri dalam “kerusuhan” Ada saksi yang mengatakan bahwa selama kurun waktu persiapan sampai dilaksanakan Jajak Pendapat memang terdapat anggota TNI atau Polri yang melakukan pelanggaran. Jaksa Penuntut Umum tidak menanyakan lebih lanjut tentang siapa-siapa anggota yang dimaksud. Kalau memang saksi tidak mengetahui persis, Jaksa Penuntut Umum seharusnya menanyakan sumber pengetahuan Saksi. Dan apabila dalam bentuk laporan atau hasil pemeriksaan, seharusnya Jaksa Penuntut Umum menanyakan di mana laporan atau berkas pemeriksaan tersebut dapat diperoleh, sehingga Jaksa Penuntut Umum dapat mengetahui: identitas Anggota TNI dan Polri yang melakukan pelanggaran, mengetahui hubungan antara anggota TNI dan Polri dengan Para Terdakwa serta jenis pelanggaran yang sudah dilakukan. Majelis Hakim dalam kasus pidana atau pelanggaran HAM berat harus bertindak pro-aktif dalam menguak kebenaran materiil. Dan Majelis Hakim juga memiliki kewenangan untuk menolak kehadiran Saksi yang tidak relevan dengan dakwaan atau pengetahuan yang diperolehnya bukan dalam kapasitas sebagai saksi yang dikehendaki oleh undang-undang. Contohnya sebagai-berikut :
1. Keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, sebagian mereka peroleh dari laporan. Berarti saksi ini tidak mengetahui secara langsung peristiwa pelanggaran ham yang didakwakan JPU, dengan demikian saksi seperti ini tidak relevan untuk dihadirkan. Selain itu, keterangan saksi yang diharapkan disampai dalam persidangan, berkaitan dengan unsur-unsur dakwaan bukan keterangan lainnya. Oleh karena itu daripada membuang-buang waktu, seharusnya Majelis Hakim menolak kehadiran saksi-saksi yang hanya memperoleh keterangan dari pihak lain atau tidak mengetahui peristiwa pelanggaran ham yang didakwakan. 2. Selain itu, Majelis Hakim juga tidak mencoba menguak lebih lanjut keterangan Saksisaksi seperti: Saksi mengatakan bahwa sudah ada laporan dari Para Terdakwa ke atasannya baik secara tertulis dan lisan (melalui telepon). Seharusnya Majelis Hakim menanyakan yang tertulis bentuknya seperti apa, berapakali laporan tersebut dibuat, dapat ditemukan dimana, apakah bisa diberikan ke JPU. Dan kalau memang dapat diberikan ke JPU, Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk membawa bukti-bukti tersebut kepersidangan. 3. Tentang penanganan yang dilakukan oleh Para Terdakwa, Majelis Hakim seharusnya menanyakan tentang bukti-bukti pendukung bahwa penanganan yang dilakukan memang sudah sesuai protap dan sudah dilaksanakan secara maksimal. Misalnya, ada saksi yang mengatakan bahwa sudah ada pengusutan terhadap pelaku kerusuhan, seharusnya Majelis Hakim menanyakan identitas para pelaku yang diusut, siapa korbannya, apa perbuatan yang telah dilakukan, bukti laporannya apa dsb.
V. MASALAH ADMINISTRASI PENGADILAN Pengadilan yang kompeten, independen dan imparsial merupakan hal yang tak terpisahkan bagi suatu proses pengadilan yang adil. Tanpa prinsip-prinsip itu dapat dipastikan suatu proses pengadilan yang menghasilkan putusan-putusan akan sangat jauh dari rasa keadilan. Prinsip-prinsip ini pun telah banyak diakui dalam berbagai instrumen Internasional misalnya deklarasi Hak Asasi Manusia dan konvensi Sipil dan Politik. 44 Kedua instrumen ini juga telah memberikan masukan yang berharga berkaitan dengan pelaksanaan prinsip ini tentang bagaimana cara menjalankan prinsip-prinsip tersebut ke dalam sistem pengadilan melalui suatu administrasi pengadilan. Administrasi pengadilan yang baik merupakan kunci bagi keberhasilan kerja di pengadilan dan adminsitasi ini hampir meliputi seluruh sistem kerja pengadilan itu sendiri seperti: masalah supervisi dan kontrol terhadap pegawai administrasi, hakim, Penuntut Umum, persiapan anggaran peradilan, perawatan gedung pengadilan, peralatan, registrasi, arsip kasus, publikasi dokumen pengadilan dan lain sebagainya. a. Akses Informasi mengenai sidang-sidang pengadilan Selama berjalannya pengadilan HAM ad hoc kasus Timor-Timur di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dari bulan april sampai dengan Juni tahun 2002, tidak ada mekanisme atau tatacara yang jelas berkaitan dengan akses informasi terhadap sidang-sidang pengadilan, baik itu berupa catatan jadwal sidang maupun melalui papan informasi. Informasi yang berkaitan dengan jadwal persidangan hanya dapat diketahui bila para pengunjung persidangan mengikuti sidang pengadilan sebelumya, karena jadwal sidang lanjutan baru ditetapkan oleh hakim saat menutup satu hari persidangan. Dan penjadwalan hari sidang baru tersebut tidak dikomunikasikan melalui sebuah papan pengumuman yang dapat diakses oleh seluruh pengunjung tanpa kecuali. 45 44 45
Lihat Pasal 10 deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Selebihnya para pengunjung baik itu para jurnalis, observer, maupun masyarakat umum yang ingin menyaksikan persidangan, biasanya mendapatkan informasi mengenai jadwal-jadwal sidang dengan cara bertanya kepada para petugas penyiap ruangan persidangan, bertanya kepada para hakim, jaksa , panitera,
Walaupun Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menyediakan satu buah komputer yang terletak di teras depan pengadilan Jakarta Pusat yang bisa digunakan pengunjung persidangan untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan sidang pengadilan di sana, namun untuk informasi sidang-sidang pengadilan HAM ad-hoc tidak pernah ditemukan, bahkan komputer ini lebih sering dalam kondisi mati sehingga jarang sekali digunakan oleh para pengunjung persidangan. Perkembangan selanjutnya terhadap masalah akses informasi ini terlihat semakin mengkhawatirkan. Khususnya terhadap berkas-berkas baru yang telah dilimpahkan ke Pengadilan HAM ad hoc. Dalam Bulan Juni ini ada 5 berkas baru yang sudah dilimpahkan ke Pengadilan. Namun tak pernah sekalipun di informasikan ke pada publik mengenai jadwal sidang–sidang tersebut dilaksanakan. Sehingga dalam beberapa kali persidangan awal terhadap berkas-berkas baru ini, persidangan ini tidak diketahui oleh publik. 46 Mengingat persidangan yang bersifat terbuka, maka publik seharusnya dapat mengakses sejumlah dokumen mendasar yang berkaitan dengan kasus yang disidangkan misalnya: surat dakwaan, nota keberatan, tanggapan terhadap nota keberatan, sampai putusan pengadilan. Sama halnya dengan masalah informasi persidangan, sangat sulit untuk mengakses dokumen-dokumen pengadilan yang searusnya bersifat publik ini, dan sepertinya tidak ada mekanisme yang ditetapkan untuk memperoleh dokumen-dokumen pengadilan. 47 b. Masalah Perencanaan Pemakaian Ruang Sidang Pengadilan. Pada awalnya sidang Pengadilan HAM ad hoc hanya menggunakan satu ruangan di PN Jakarta Pusat yang terletak di Lt 3 Ruang 1. Ruangan ini digunakan untuk menyidangkan ketiga berkas yaitu: berkas Herman sedyono dkk pada hari Selasa dan dua berkas lagi (Timbul Silaen dan Abilio) pada hari kamis secara bergantian. Namun ketika sidang sudah mulai memasuki taraf pemeriksaan kesaksian maka 1 ruang sidang sudah tidak mungkin lagi mencukupi karena banyaknya saksi yang akan diperiksa. Oleh karena itu maka ditambahkan jadwal/ruang sidang pada hari Rabu sehingga tidak terjadi penumpukan sidang pada satu ruangan pada hari kamis. Kemudian kebutuhan terhadap ruang sidang bertambah karena pemeriksaan sidang hari Selasa dianggap tidak mampu lagi untuk memeriksa para saksi dan ditambahkan pemeriksaan pada hari kamis, sehingga pada waktu-waktu tertentu yang selalu jatuh pada hari kamis bertumpuklah jadwal sidang ketiga berkas pada hari yang sama. Implikasinya dari ketidakteraturan tersebut adalah ruangan sidang akan menjadi rebutan bagi masing-masing berkas. Contoh yang paling terlihat adalah pada persidangan yang terjadi pada tanggal 23 Mei 2002, dimana para jaksa, hakim, pembela, terdakwa, pengunjung, wartawan dan panitera kebingungan menentukan dimana tempat ruang persidangan berlangsung. Para pegawai pengadilan turut juga kebingungan untuk menentukan tempat sidang, sehingga kondisi kacau balau, para jaksa, panitera dan hakim saling menunggu dan bolak-balik naik-turun lantai karena akan mencari ruang sidang dengan didiikuti pula para pengunjung dan wartawan. maupun pengacara terdakwa, mencatat dari media (walaupun masih sangat sedikit yang memberikan informasi mengenai jadwal sidang secara lengkap) atau bertanya kepada siapa saja yang kebetulan berada di Pengadilan. 46
Berdasarkan pengamatan, ada tiga berkas yang disidangkan tanpa ada informasi yang resmi dari pengadilan mengenai jadwal sidang: pembacaan dakwaan yaitu berkas Sudjarwo (tanggal 25 Juni 2002), berkas Asep Kuswani (tanggal 19 Juni 2002 ) dan berkas Endriyartono (tanggal 24 Juni 2002 ), Eurico Guterres (tanggal 27 Juni 2002). Informasi mengenai sidang tersebut sangat terbatas di beberapa kalangan bahkan untuk persidangan Endriartono para jurnalis tidak mengetahui jadwal persidangannya. 47
Dalam beberapa kesempatan, pengamat pernah bertanya kepada beberapa asisten dan jaksa Penuntut Umum mengenai tata cara mendapatkan dokumen-dokumen persidangan, ternyata diperoleh jawaban yang berbedabeda misalnya hanya dapat diperoleh di kejaksaan agung, hanya dapat diperoleh di Kejaksaan Jakarta Barat, hanya dapat diberikan kepada orang-orang tertentu dan lain sebagainya.
Penentuan ruang sidang yang berubah-ubah menunjukkan bahwa planning atau rencana sidang sangat buruk dan sangat temporer sifatnya, bukan karena direncanakan lebih awal oleh petugas pengadilan. c.Tata Tertib Persidangan Selama jalannya persidangan, ditemukan banyak pelanggaran-pelanggaran yang terhadap ketertiban di persidangan. Sebagian besar pelanggaran tersebut dilakukan oleh pengunjung persidangan, namun disamping itu para penasehat hukum terdakwa dan hakim persidangan juga pernah menyalahi peraturan tata tertib persidangan. Tabel Peraturan Tata terib persidangan KUHAP Pasal 217 9 Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib persidangan. 9 Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib di laksanakan dengan segera dan cermat Pasal 218 9 Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan. 9 Siapapun yang sidang di Pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat Pengadilan dan tidak mentaati tat tertib setelah mendapat peringatan dari hakim Ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan di keluarkan dari ruang sidang. 9 Dalam hal pelangaran tata tertib sebagimana dimaksud dalam ayat diatas bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukannya penuntutan terhadap pelakunya. Pasal 219 9 Siapapun dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang meembawanya wajib menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu. 9 Tanpa surat perintah petugas keamanan pengadilan dapat mengadakan penggeledahan badan 9 Ketentuan tersebut tidak mengurangi kemungkinan untuk dilakukan penuntutan bila ternyata bahwa penguasaan atas benda tersebut bersifat suatu tindak pidana. Pasal 232 9 Sebelum sidang dimulai, Panitera, Penuntut Umum, penasihat hukum dan pengunjung yang sudah ada duduk ditempatnya masing-masing 9 Pada saat hakim memasuki atau meningalkan ruang sidang semua yang hadir berdiri untuk menghormati 9 Selama sidang berlangsung setiap orang yang keluar masuk ruang sidang di wajibkan memberi hormat.
Peraturan Ketua Pengadilan Pengunjung sidang dilarang membawa senjata api/senjata tajam
Pengunjung sidang dilarang memakai jaket/rompi dan topi kecuali peci
Pengunjung sidang dilarang menghidupkan/mengaktifkan telepon genggam (HP)
Pengunjung sidang harus mematuhi tata tertib persidangan.
Tabel Pelanggaran tata tertib Jenis pelanggaran Deskripsi Membawa senjata Beberapa anggota TNI yang hadir Tajam dipersidangan terlihat membawa sangkur yang diletakkan di penggang. 48 Telepon Genggam Memakai Penutup Kepala dan Jaket Makan dan Minum
Membuat Kegaduhan
Merokok
Paling sering terjadi di dalam persidangan. Beberapa anggota TNI dan para pengunjung sidang Sering terjadi, bahkan hakim dan Penasehat Hukum pernah terlihat mengunyah permen karet Sering dilakukan oleh para pengunjung sidang khsusnya para pengunjuk rasa yang masuk kep persidangan pada waktu tahap awal pembacan dakaan sampai kepada tahap putusan sela. Dilakukan oleh para pengunjung yang ada di bagian belakang Paling sering terjadi
Keluar Masuk dengan ruang sidang secara tidak sopan Membaca koran Pernah terlihat dalam beberapa pengamatan
Keterangan Tidak ada nekanisme yang dilakukan dari petugas keamanan Sidang untuk mengingatkan pengunjung tersebut agar menitipkan senjatanya. Jarang di ingatkan oleh hakim dan petugas persidangan Tidak pernah diingatkan oleh hakim dan petugas Jarang diingatkan oleh hakim
Jarang diingatkan
Jarang di ingatkan Pernah diingatkan pada awal sidang
Jarang sekali diingatkan oleh petugas dan hakim sidang
Untuk mengingatkan para pengunjung yang berada di dalam persidangan, di setiap ruang sidang memang selalu ditempelkan peraturan tata tertib persidangan dan peraturan tata tertib yang berasal dari hukum acara pidana 49 tetapi sama sekali peraturan tata tertib tersebut tidak ditaati oleh sebagian besar pengunjung. Dilanggarnya peraturan tata tertib persidangan ini terutama bersumber dari ketidaktegasan para petugas dan hakim yang memimpin persidangan. 50
48
Pada awal-awal persidangan terhadap ketiga berkas: Timbul Silaen, Abilio Soares, dan Herman Sedyono dkk, khusunya pada tahap pembacan dakwaan, pembacaan nota keberatan, pembacan tanggapan dari JPU dan pembacaan putusan sela. Sidang selalu dihadiri oleh anggota dari berbagai kesatuan TNI secara bergiliran. 49
Dalam beberapa sidang-sidang pengadilan HAM ad hoc, pereaturan tata tertib persidangan ini di bacakan oleh panitera persidangan sebelum hakim masuk ke ruang sidang, tapi pembacaan ini dari pengamatan hanya dilakukan sebanyak 6 kali untuk ketiga berkas tersebut dan sselanjutnya tidak pernah lagi dibacakan oleh panitera. 50
Dalam beberapa kesempatan hakim pernah memperingatkan para pengunjung persidangan untuk menaati peraturan tata tertib namun sangat jarang sekali dilakukan dibanding dengan banyaknya jumlah pelanggaran yang ada.
VI. SIMPULAN DAN REKOMENDASI Pengadilan HAM merupakan salah satu proses yang sangat menentukan dalam penegakan ham dan upaya mewujudkan keadilan bagi korban pelanggaran berat ham. Keberhasilan pengadilan ini akan meningkatkan kredibilitas pengadilan khususnya dan sistem hukum Indonesia pada umumnya. Pengadilan ini juga sebetulnya merupakan salah satu sarana pembuktian akuntabilitas publik bagi TNI/ABRI. Kegagalan untuk menjalankan proses peradilan untuk mengungkapkan kebenaran atas fakta hukum yang terjadi di Timor-Timur juga dengan sendirinya menutup kesempatan bagi TNI/ABRI untuk memperbaiki citra dirinya khususnya dalam penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Secara umum, sebagaimana telah dipaparkan dalam preliminary conclusive report, pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus pelanggaran berat HAM di Timor Timur ini berlangsung di bawah standar, bahkan untuk sebuah pengadilan pidana biasa sekalipun. Tidak tampak adanya kemauan “berjuang” dan keseriusan dari setiap elemen pengadilan dalam memeriksa kasus ini, khususnya Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan siapa yang paling bertanggung jawab terhadap kejahatan serius hak asasi manusia yang terjadi di Timor Timur berkaitan dengan Jajak Pendapat tahun 1999. Dikhawatirkan, Jaksa Penuntut Umum yang seharusnya berbicara atas nama korban tidak berhasil membuktikan dakwaannya. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, ada tendensi kalau para jaksa penuntut umum justru berada di garis terdepan untuk membebaskan para terdakwa dari dakwaannya sendiri melalui pembuatan surat dakwaan yang lemah dan proses pembuktian yang tidak sungguhsungguh. Untuk itu, disarankan kepada Jaksa Agung untuk melakukan eksaminasi terhadap para Jaksa yang menangani perkara dalam pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Timur ini. Pengadilan ini sendiri baru berjalan sebagian, dan jika dilihat dari sudut pandang yang optimistik, maka masih ada ruang untuk perbaikan pelaksanaan pengadilan secara keseluruhan. Dalam konteks ini, Tim Monitoring Pengadilan HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, merekomendasikan: Berkaitan dengan dakwaan, beberapa rekomendasi ditujukan pada beberapa bagian khususnya: -
Untuk dakwaan selanjutnya, yang belum dilimpahkan kepada pengadilan, Jaksa Penuntut Umum seharusnya secara spesifik memfokuskan dakwaan pada perbuatanperbuatan yang berkesesuaian dengan element of crimes dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, dan tidak secara membabi buta menerapkan titik fokus dakwaan yang sama pada setiap berkas dakwaan. Oleh sebab itu diperlukan revisi secara signifikan terhadap berkas-berkas dakwaan yang akan datang, untuk menghindarkan terjadinya kesalahan dan kelemahan yang serupa dengan dakwaan sebelumnya.
-
Dakwaan yang diajukan untuk kasus selanjutnya hendaknya sungguh-sungguh secara komprehensif mencakup elemen kejahatan kemanusiaan sebagaimana diatur dalam UU No 26 tahun 2000 pasal 9 yang meliputi mulai dari pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, pemindahan penduduk secara paksa, penyiksaan dan bukan melulu meletakkan dakwaan pada dakwan pembunuhan dan penganiayaan.
-
Demi keadilan dan proses pertanggung jawaban atas pelanggaran HAM berat yang terjadi, dalam melimpahkan surat dakwaan ke pengadilan, Jaksa Penuntut Umum seharusnya menimbang jenjang pembuktian dalam kasus ini secara keseluruhan. Dalam konteks ini, untuk membuktikan tentang adanya unsur sistematik dalam pelanggaran HAM berat di Timor Timur selama dan pasca Jajak Pendapat, yang seharusnya diproses terlebih dahulu adalah mereka yang didakwa atas perbuatan langsung (by commission) baru selanjutnya berjenjang sampai kepada mereka yang
didakwa atas pembiaran (by ommission) sesuai dengan tingkat tanggung jawab sebagai atasan. Berkaitan dengan proses pemeriksaan dalam pengadilan secara umum, beberapa hal yang perlu dijadikan fokus perhatian: -
Jaksa Penuntut Umum harus lebih serius menghadirkan saksi yang memperkuat dakwaan, bukan justru melemahkannya. Perhatian khusus harus diberikan jika saksi adalah saksi korban, terutama seberapa signifikan keberadaan saksi korban dalam fungsinya memperkuat dakwaan. Karena jika dakwaannya adalah command responsibility, dan bukan violations by commission, maka keberadaan saksi korban tidak signifikan dan hanya berimplikasi pada ancaman keamanan korban yang bersaksi. Sebaliknya, jika dakwaan adalah atas tindakan langsung terdakwa sebagai pelaku pelanggaran HAM berat, maka kehadiran saksi korban adalah sebuah kaharusan dan menjadi prioritas.
-
Mengingat pengadilan HAM ini merupakan pengalaman pertama sistem peradilan Indponesia untuk menangani kejahatan hak asasi manusia di masa lalu, Hakim harus memperkaya pengadilan ini dengan secara lebih intensif menggunakan praktekpraktek hukum internasional sebagai rujukan pertimbangan. Hakim juga harus lebih tegas dalam mengatur jalannya pengadilan. Sebaiknya tidak ada toleransi terhadap pelanggaran-pelanggaran tata tertib di ruang sidang.
-
Hakim harus menunjukkan keberanian untuk melakukan terobosan-terobosan hukum yang diperlukan, khususnya dalam proses pemeriksaan saksi. Karena keterbatasan KUHAP yang dipakai sebagai panduan hukum acara di pengadilan ad hoc, maka Hakim dan Jaksa Penuntut Umum harus berinisiatif melaksanakan PP no.2/2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara penuh dalam proses pemeriksaan saksi jika ada hal-hal signifikan yang tidak diakomodasi di dalam KUHAP.
Dikeluarkan di Jakarta, 4 Juli 2002 Tim Monitoring Pengadilan Ad Hoc Untuk kasus Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Tim Monitoring Pengadilan Ad Hoc untuk Kasus Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur
Koordinator
: Agung Yudhawiranata
Analis
: Abdul Haris Semendawai Amiruddin Ifdhal Kasim Indriaswati Dyah Saptaningrum
Koord. Asisten Lapangan
: Supriyadi Widodo Eddyono
Asisten Lapangan
: Fajrimei A. Ghofar Rusmana Wahyu Wagiman Zainal Abidin
Sekretariat dan Humas
: Aviva Nababan