PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA
PRINGGO WIBOWO PUTRO
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRAK
PRINGGO WIBOWO PUTRO. Preferensi Makan Tikus Riul (Rattus norvegicus Berk.) terhadap Jenis dan Variasi Pengolahan Pakan yang Berbeda serta Pengujian Rodentisida. Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO. Uji pakan pada tikus riul (Rattus norvegicus) dengan beberapa variasi pengolahan dan uji rodentisida dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Museum Zoologi Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dengan tujuan untuk mengetahui preferensi tikus riul pada beberapa variasi pengolahan pakan dan ketertarikan tikus riul terhadap rodentisida. Penelitian ini dilakukan dengan pengujian pilihan (choice test) pada empat umpan berbeda (mie siap saji, umbi kentang, kacang hijau, dan beras ketan hitam) dengan variasi pengolahan (kering, basah, dan basah berbumbu), pengujian rodentisida (akut dan kronis), dan identifikasi ciri morfologi dan anatomi pada tikus riul. Tikus riul yang diuji lebih menyukai umpan berbahan umbi kentang dibandingkan umpan lainnya. Sedangkan untuk variasi pengolahan umpan yang disukai tikus riul adalah variasi basah berbumbu yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan variasi basah dan berbeda nyata dengan variasi kering. Pada uji rodentisida terdapat perbedaan yang nyata terhadap konsumsi racun akut dengan racun kronis dan tidak ada perbedaan yang nyata pada pengujian racun kronis serta kecenderungan tikus riul lebih menyukai umpan kentang dibandingkan umpan kentang basah berbumbu plus seng fosfida. Berdasarkan identifikasi ciri morfologi dan anatomi tikus yang didapatkan di sekitar permukiman manusia dipastikan jenisnya adalah tikus riul. Umpan dengan nutrisi karbohidrat tinggi dan berbahan variasi basah berbumbu serta variasi basah dapat dijadikan sebagai umpan pelengkap atau umpan pendahuluan (prebaiting) selain umpan beracun di sekitar permukiman. Dengan lebih banyak penelitian mengenai uji ketertarikan tikus riul terhadap umpan, maka proses pengendalian dapat berjalan lebih efektif dan efisien serta lebih tepat sasaran. Kata kunci: Rattus norvegicus, mie siap saji, umbi kentang, kacang hijau, dan beras ketan hitam, rodentisida (akut dan kronis).
PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA
PRINGGO WIBOWO PUTRO A34052047
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Preferensi Makan Tikus Riul (Rattus norvegicus Berk.) terhadap Jenis dan Variasi Pengolahan Pakan yang Berbeda serta Pengujian Rodentisida
Nama Mahasiswa
: Pringgo Wibowo Putro
NRP
: A34052047
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, MSi. NIP 19630226 198703 1 001
Diketahui, Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Dr. Ir. Dadang, MSc. NIP 19640204 199002 1 002
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi, Jawa Barat pada tanggal 29 Oktober 1986 sebagai putra ke-5 dari lima bersaudara dari pasangan Alm. Bapak Adam Setiawan dan Ibu Tini Kartini. Tahun 2005 penulis menyelesaikan sekolah menengah di SMA PGRI 1 Bekasi dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun yang sama. Pada tingkat dua penulis memilih Program Studi Proteksi Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman (PTN), Fakultas Pertanian, IPB. Semasa kuliah penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai KOMTI (komandan tingkat) Angkatan 42 PTN pada tahun 2006-2009, tahun 2006-2007 menjadi staf Departemen Keprofesian HIMASITA (Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman), tahun 2006-2007 menjadi Ketua Divisi Konservasi Insekta (DKI) UKM UKF-IPB (Unit Kegiatan Mahasiswa Uni Konservasi Fauna), tahun 2007-2008 menjadi Ketua BPA HIMASITA (Badan Perwakilan Angkatan), tahun 2007-2008 terpilih kembali menjadi Ketua DKI UKM UKF-IPB, tahun 2008-2009 menjadi Ketua UMUM UKM UKF-IPB. Penulis juga pernah magang di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, PTN pada tahun 2007. Kemudian penulis pernah mengikuti “Training in Tropical Ecology and Rapid Biodiversity Assessment Bogor Agricultural University and University of Vienna (Austria)” di Taman Nasional Ujung Kulon Banten (TNUK), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat (TNGP), dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat (TNGHS) pada tahun 2008. Selain itu, penulis juga aktif sebagai asisten praktikum matakuliah Vertebrata Hama pada Semester Genap 2007-2008 dan matakuliah Entomologi Umum pada Semester Ganjil 2008-2009. Pada tahun 2009 penulis juga pernah menjadi penyaji makalah dalam Seminar Nasional Perlindungan Tanaman yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu (PKPHT).
PRAKATA Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada ALLAH SWT serta syafaat
Baginda Rasulullah
Muhammad
SAW
sehingga penulis
dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Preferensi Makan Tikus Riul (Rattus norvegicus Berk.) terhadap Jenis dan Variasi Pengolahan Pakan yang Berbeda serta Pengujian Rodentisida” sebagai syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian, Departemen Proteksi Tanaman. Untuk itu dengan penuh hormat, cinta, kasih, dan sayang penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Alm. Bapa dan Mama serta keluargaku yang senantiasa memberikan dukungan moral, materil serta semangat dan doa restu. 2. Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, MSi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, semangat, dan nasehat kepada penulis. 3. Dr. Ir. Tri Asmira Damayanti, MAgr.Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah berperan besar di awal masa kuliah. 4. Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan arahan dan nasehat kepada penulis. 5.
Bapak Ahmad Soban serta staf, dosen, dan administrasi Departemen Proteksi Tanaman.
6.
Safinah Surya Hakim atas semangat dan doanya.
7.
Keluargaku di UKM UKF IPB (penghuni
Shelter UKF, Erlina,
Kolina, Gilang, Fachrunissa, Kurniyatus, dll). 8.
Teman-teman seperjuangan di Laboratorium Vertebrata Hama (Supatmi, Purwanto, Johan, dan Halidya).
9.
Rekan-rekan mahasiswa PTN 42 atas bantuan dan dukungannya selama ini. Penulis sadar skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis
berharap skripsi ini dapat menjadi ladang amal bagi semua orang yang memanfaatkannya untuk kebaikan.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………..
viii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….
ix
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..
x
PENDAHULUAN………………………………………………………..
1
Latar Belakang………………………………………………….
1
Perumusan Masalah....………………………………………….
3
Tujuan Penelitian……………………………………………….
3
Manfaat Penelitian………………………………………………
3
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….
4
Tikus Riul (Rattus norvegicus Berk.)…………………………….
4
Pakan…………………………………………………………….
5
Serealia…………………………………………………..
5
Kacang-Kacangan……………………………………….
6
Umbi-umbian…………………………………………...
7
Rodentisida……………………………………………………...
8
Rodentisida Akut………………………………………..
8
Seng fosfida……………………………………..
9
Rodentisida Kronis……………………………………...
9
Brodifakum……………………………………...
10
Bromadiolon…………………………………….
10
Kumatetralil……………………………………..
10
Warfarin………………………………………….
10
Identifikasi………………………………………………………
11
Kunci Pengenal Tingkat Genus untuk Famili Muridae di Jawa……………………………………………..……....
11
Ciri Pengenal Tikus Riul…………………………………. 12 BAHAN DAN METODE………………………………………………… 13 Waktu dan Tempat………………………………………………. 13
Bahan dan Alat…………………………………………………..
13
Kandang…………………………………………………… 13 Hewan Uji…………………………………………………. 14 Timbangan………………………………………………… 14 Umpan……………………………………………………..
14
Rodentisida………………………………………………..
15
Perangkap…………………………………………………
16
Peralatan Tambahan………………………………………
16
Metode…………………………………………………………..
17
Persiapan Hewan Uji…………………………………….. .. 17 Persiapan Umpan…………………………………………
17
Pengujian Umpan…………………………………………
18
Pengujian Rodentisida…………………………………….
19
Identifikasi Tikus Riul…………………………………….
19
Konversi Data……………………………………………..
23
Analisis Data………………………………………………
23
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………… 24 Pengujian Umpan………………………………………………..
24
Pengujian Rodentisida…………………………………………..
27
Umpan Kentang (Basah dan Basah Berbumbu) versus Umpan Kentang (Basah Berbumbu Plus Seng Fosfida)….
27
Racun Kronis (Racun Antikoagulan Pertama versus Kedua)…………………………………………….
27
Racun Kronis versus Akut (Umpan Kentang Basah Berbumbu Plus Seng Fosfida)……………………………
28
Hasil Identifikasi Tikus Riul dari Daerah Permukiman di Kota dan Kabupaten Bogor………………………………
29
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………..
33
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
34
LAMPIRAN………………………………………………………………
35
DAFTAR TABEL Halaman 1 Konsumsi (g) tikus riul terhadap umpan dengan beberapa variasi pengolahan…………………………………………………………............
24
2 Konsumsi (g) tikus riul terhadap kentang dan seng fosfida ……………….
27
3 Konsumsi (g) tikus riul terhadap berbagai macam rodentisida kronis….....
28
4 Konsumsi (g) tikus riul terhadap racun kronis versus racun akut …………
29
5 Identifikasi tikus riul berdasarkan ciri morfologi…………………………...
30
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB………………………………………………….
13
2 Kandang perlakuan (A) tampak depan dan (B) tampak samping............. 13 3 Tikus riul (R. norvegicus)........................................................................ 14 4 Timbangan elektronik................................................................................ 14 5 Umpan tikus riul (A) beras ketan hitam, (B) kacang hijau (C) kentang, (D) mie siap saji…………………………………………………………. 15 6 Jenis rodentisida kronis: (A) warfarin 0.105%, (B) kumatetralil 0.0375% (C) brodifakum 0.005% (D) bromadiolon 0.005% dan jenis rodentisida akut:(E) seng fosfida........................................................................……. 16 7 Posisi foramina incisivum pada Genus Maxomys dan Rattus.................. 21 8 Posisi palatum belakang pada Genus Maxomys dan Rattus..................... 21
9 Ukuran tengkorak dan gigi geligi………………………………………. 22 10 Posisi crista parietalis pada tengkorak (a) R. rattus dan (b) R. norvegicus.............................................................................…… 31 11 Posisi foramina incisivum dan palatum belakang pada tengkorak R. norvegicus dan (b) perbandingan tengkorak R. rattus, R. tiomanicus, dan R. norvegicus................................................................................... 31 12 Spesimen dan ukuran tengkorak B. indica……………………………….. 32 13 Spesimen dan ukuran tengkorak R. norvegicus………………………..
32
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap mie siap saji……………..
36
2 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap kacang hijau……………
36
3 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap kentang…………………
36
4 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap beras ketan hitam……...
36
5 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap rodentisida akut vs umpan (kentang variasi berbumbu plus seng fosida vs kentang)……………….. 37 6 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap rodentisida kronis (antikoagulan generasi ke-1 vs ke-2)…………………………………… 37 7 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap rodentisida akut vs rodentisida kronis………………………………………………………
37
PENDAHULUAN Latar Belakang Tikus merupakan hewan liar yang sudah sangat beradaptasi dengan kehidupan manusia, seperti halnya kecoa (untuk serangga). Kehidupan tikus (untuk spesies tertentu) sudah sangat tergantung pada kehidupan manusia (Priyambodo 2003). Dilihat dari asosiasi yang dekat dengan manusia beberapa tikus yang sering ditemui pada habitat rumah, pekarangan, dan gudang (tempat penyimpanan makanan) adalah tikus riul (Rattus norvegicus), tikus rumah (R. rattus), mencit rumah (Mus musculus), dan tikus wirok (Bandicota indica). Tiga spesies tikus yang disebut pertama disebut sebagai rodens komensal (commensal rodents) (Priyambodo 2003). Salah satu tikus yang disebut sebagai rodens komensal dan tikus got karena habitatnya berada di selokan, baik di selokan kecil di sekitar perumahan maupun selokan besar yang berada di bawah tanah di daerah perkotaan, yaitu tikus riul (R. norvegicus). Tikus riul merupakan hewan omnivora yang dapat mengonsumsi hampir semua jenis makanan (Priyambodo 2002). Tikus riul merupakan hewan mamalia yang tergolong Ordo Rodentia, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae. Tikus riul memiliki tubuh yang besar, rambut berwarna coklat keabu-abuan, dan bentuk moncong kepala seperti kerucut terpotong (Freye 1976). Menurut Suyanto 2006, habitat R. norvegicus adalah di sekitar rumah, gedung perkantoran, gudang, pasar, saluran-saluran air, dan sawah dekat pelabuhan. Selain itu, tikus riul memiliki status tikus yang terintroduksi, yaitu masuk ke Indonesia melalui kapal-kapal yang datang dari Eropa, sehingga persebaran tikus di Indonesia cukup luas yang terdapat di daerah Bogor, Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya, dan Cilacap. Dengan melihat persebaran yang luas, maka rikus riul bersama R. rattus, dan M. musculus sering disebut sebagai hewan kosmopolit yang artinya sebagai hewan yang mempunyai distribusi geografi yang menyebar di seluruh dunia (Priyambodo 2003). Kehidupan tikus riul yang sudah bergantung terhadap kehidupan manusia menimbulkan banyak gangguan terhadap aktivitas manusia dalam berbagai hal. Di
bidang kesehatan, seringkali tikus riul menjadi agen pembawa beberapa penyakit pada manusia dan hewan peliharaan yang secara umum dikenal sebagai zoonosis. Adapun beberapa penyakit yang dapat ditularkan oleh tikus riul adalah pes (plague), salmonellosis, leptospirosis, murine typhus, rickettsial pox, lassa, lymphocytic choriomeningitis, rabies, rat-bite fever, dan trichinosis. Di bidang rumah tangga, tikus riul seringkali membuat keonaran dan menimbulkan kotoran pada bagian tertentu dari ruangan kita serta merusak peralatan rumah tangga (Priyambodo 2003). Pada bidang peternakan, tikus riul sering menggangu ayam, bebek, sapi, babi, dan angsa. Gangguan yang ditimbulkan bersifat mengonsumsi pakan dan melukai tubuh ternak, seperti menggigit hewan ternak dan menimbulkan kematian secara tidak langsung akibat luka infeksi (Freye 1976). Selain itu di bidang pertanian atau tempat penyimpanan, terutama hasil pertanian yang disimpan di dalam gudang penyimpanan, tikus riul seringkali menjadi hama gudang. Menurut Meyer 1994, gangguan yang ditimbulkan oleh tikus riul di tempat penyimpanan, yaitu konsumsi langsung terhadap bahan makanan, kontaminasi, merusak bahan makanan, sumber reinfestasi penyakit bagi daerah sekitarnya, dan menambah biaya pengendalian tikus. Berdasarkan permasalahan yang ditimbulkan oleh tikus riul terhadap aktivitas manusia, maka diperlukan usaha pengendalian terhadap tikus riul yang lebih banyak dianggap sebagai hama permukiman. Banyak metode yang telah dilakukan dalam usaha pengendalian, seperti metode kimiawi dan menggunakan rodentisida yang dinilai lebih efektif dibandingkan dengan metode lainnya walaupun dianggap tidak ramah lingkungan dan dapat menyebabkan kematian terhadap hewan bukan sasaran. Secara umum rodentisida bekerja dengan menggunakan umpan, yaitu komponen bahan aktif dicampurkan bahan dasar umpan yang dapat dimakan dan menarik bagi tikus (Buckle 1994). Secara umum pengendalian tikus riul di lapangan terdapat umpan lainnya di sekitar umpan beracun yang menarik perhatian dan mencegah tikus riul mengonsumsi umpan beracun. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang umpan dasar yang disukai tikus riul agar pengendalian dengan menggunakan umpan dasar dan umpan beracun dapat lebih efektif.
Perumusan Masalah Berdasarkan sebutan tikus riul sebagai hewan kosmopolit, yang berarti distribusi geografinya yang tersebar ke seluruh dunia, maka di Indonesia sudah dapat dipastikan bahwa tikus riul tersebar hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia, terutama kota-kota yang memiliki pelabuhan kapal antar daerah dan pulau. Dengan demikian, bentuk kerugian yang ditimbulkan oleh tikus riul di daerah permukiman akan menjadi permasalahan besar nantinya, karena proses pembangunan yang terus berlangsung di berbagai daerah memungkinkan menjadi habitat alternatif bagi tikus riul. Melihat keadaan tersebut, tikus riul berpotensi menjadi hama permukiman yang merugikan aktivitas manusia. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai perilaku dan pengendalian terhadap tikus riul. Terutama mengenai penelitian umpan-umpan yang menarik dan disukai tikus riul, yang dikaitkan dengan pemanfaatan rodentisida dalam upaya pengendaliannya.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi makan tikus riul terhadap jenis dan variasi pengolahan pakan yang berbeda, serta pengujian rodentisida.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jenis umpan yang disukai oleh tikus riul dan rodentisida yang efektif, sehingga menjadi rekomendasi kepada pihak-pihak yang menjadi ahli di bidang pengendalian pada habitat permukiman.
TINJAUAN PUSTAKA Tikus Riul (Rattus norvegicus Berk.) Dalam genus Rattus terdapat beberapa spesies yang ada di Indonesia diantaranya R. argentiventer (tikus sawah), R. rattus (tikus rumah), R. tiomanicus (tikus pohon), R. exulans (tikus ladang), dan R. norvegicus (tikus riul). Beberapa spesies tersebut memiliki ukuran tubuh, habitat, dan penyebaran yang relatif berbeda. Tikus riul atau yang biasa disebut tikus got termasuk salah satu hewan mamalia dari Ordo Rodentia, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae. Menurut Freye 1976, tikus riul atau brown rats memiliki tubuh yang besar dan kuat serta memiliki warna rambut yang umumnya coklat keabu-abuan pada samping atas dan putih kusam pada bagian bawah. Ekor selalu lebih pendek dibandingkan dengan panjang tubuh. Tikus riul putih (albino rats) sering digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium dan masih merupakan keturunan dari tikus riul pada umumnya. Habitat asli dari hewan ini terdapat di padang rumput Asia, kemungkinan terdapat di daerah Cina Utara dan Mongolia, dimana tikus tersebut masih hidup dengan cara menggali di bawah tanah. Hanya saja waktu ketika tikus riul dapat menyesuaikan diri dan cocok dengan kehidupan manusia masih belum jelas, hal ini mungkin saja sudah terjadi beberapa abad yang lalu. Tikus riul digambarkan keadaannya pada tahun 1553 oleh Konrad Gesner dalam bukunya mengenai hewan yang kemungkinan sudah bernama brown rats, jadi spesies ini sudah berada di Eropa Tengah pada waktu tersebut. Pada sekitar tahun 1775 tikus riul sudah terbawa ke Amerika dengan sebuah kapal yang berlayar dari Eropa melewati Samudera Atlantik. Kapal dan perdagangan melalui jalur laut sudah seharusnya bertanggungjawab besar terhadap distribusi yang meningkat dari hewan tersebut, dan sekarang tikus riul sudah dapat ditemukan hampir di setiap pelabuhan di seluruh dunia (Freye 1976). Menurut Adler 1996, tikus riul hidup dekat dan berasosiasi dengan manusia. Seperti tikus lainnya, tikus riul bersembunyi di jaringan di bawah gedung, sekitar sungai mengalir, sekitar kolam, dan tempat sampah serta tempat lainnya yang
sesuai. Tikus riul merupakan hewan yang aktif pada malam hari (nocturnal), tikus tersebut dapat dihindari dengan berada jauh dari daerah jelajahnya pada malam hari. Tikus riul umumnya menjadi aktif saat menjelang senja, waktu tersebut digunakan tikus riul untuk memulai mencari makanan dan minuman. Hal yang dicari oleh tikus riul adalah makanan yang umumnya kecil dan sederhana, karena tikus riul dapat makan berbagai macam jenis makanan, bagaimanapun tikus riul lebih suka serealia, daging dan ikan, kacang-kacangan, dan beberapa jenis buahbuahan. Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih sebanyak 10% dari bobot tubuhnya, jika pakan tersebut berupa pakan kering. Hal ini dapat ditingkatkan sampai 15% dari bobot tubuhnya jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Kebutuhan minum seekor tikus setiap hari kira-kira 15-30 ml air. Jumlah ini dapat berkurang jika pakan yang dikonsumsi sudah mengandung banyak air (Priyambodo 2003). Seekor tikus riul betina bisa dikawini dalam sekali masa subur yang lamanya enam jam saja. Siklus estrus terjadi setiap empat hari. Dalam percobaan di laboratorium dengan makanan yang tidak terbatas, sepasang tikus riul bisa menghasilkan 800 ekor keturunan dalam setahun. Di permukiman tikus ini sering mencuri telur unggas dan bahkan menyerang juga anak ayam. Tikus ini dilaporkan juga pandai berenang dan menangkap ikan. Habitat tikus ini terdapat di rumah, gedung perkantoran, gudang, pasar, saluran-saluran air, dan sawah dekat pelabuhan. Selain itu persebarannya di Indonesia terdapat di daerah Bogor, Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya, dan Cilacap. Status tikus ini di Indonesia digolongkan sebagai tikus terintroduksi, masuk ke Indonesia melalui kapal-kapal yang datang dari Eropa (Suyanto 2006). Selain itu, untuk membedakan antara tikus riul dengan tikus wirok besar dapat dipastikan dari habitatnya. Habitat yang disukai tikus riul umumnya basah dan berair sedangkan tikus wirok besar menyukai habitat kering.
Pakan Serealia Pakan utama tikus riul adalah bahan pangan yang mengandung karbohidrat tinggi, seperti serealia, dan umbi kentang. Beberapa bahan pangan lain yang
menjadi pakan tikus riul, seperti pakan yang mengandung protein, lemak, dan mineral. Namun terdapat perbedaan perilaku makan tikus riul antara yang di Eropa dengan di Indonesia. Tikus riul di Eropa menjadikan bahan pangan serealia (gandum) sebagai pakan utamanya sedangkan di Indonesia pakan utamanya berasal dari sisa makanan manusia (Priyambodo 2009 komunikasi pribadi). Serealia (cereal), dikenal juga sebagai sereal atau biji-bijian merupakan sekelompok tanaman yang ditanam untuk dipanen biji atau bulirnya sebagai sumber karbohidrat atau pati. Kebanyakan serealia merupakan anggota dari famili padi-padian dan disebut sebagai serealia sejati. Anggota yang paling dikenal dan memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga dikenal sebagai serealia utama adalah padi, jagung, gandum, jelai, dan gandum hitam. Beberapa tanaman penghasil bijian yang bukan padi-padian juga sering disebut serealia semu (pseudocereals) mencakup buckwheat, bayam biji (seed amaranth), dan kinoa. Beberapa serealia juga dikenal sebagai pakan burung berkicau, seperti jewawut dan berbagai jenis milet. Walaupun menghasilkan pati, tanaman seperti sagu, ketela pohon, atau kentang tidak digolongkan sebagai serealia karena bukan dipanen bulir atau bijinya. Serealia dibudidayakan secara besar-besaran di seluruh dunia, melebihi semua jenis tanaman lain dan menjadi sumber energi bagi manusia dan ternak. Di sebagian negara berkembang, serealia seringkali merupakan satu-satunya sumber karbohidrat (Anonim 2009).
Kacang-Kacangan Tikus riul merupakan hewan omnivora yang umumnya mau mengonsumsi semua makanan yang dapat dimakan oleh manusia. Bahan pangan yang juga dapat menjadi pakan bagi tikus riul adalah kacang-kacangan, umbi-umbian, daging dan ikan, telur, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Kacang-kacangan telah lama dikenal sebagai sumber protein yang saling melengkapi dengan biji-bijian, seperti beras dan gandum. Komoditas ini juga ternyata potensial sebagai sumber gizi lain selain protein, yaitu mineral, vitamin B, karbohidrat kompleks, dan serat makanan. Kacang-kacangan memberikan sekitar 135 kkal/100 g, maka jumlah itu akan mencukupi sekitar 20% protein dan 20% kebutuhan serat per hari bagi manusia. Jika dilihat dari segi gizi, maka kacang-kacangan mempunyai banyak keunggulan,
antara lain sumber protein yang murah, kaya asam amino (jika dicampur dengan biji-bijian, misalnya beras, gandum, jagung, yang kekurangan asam amino lisin, akan membentuk susunan asam amino yang seimbang), rendah lemak, sumber vitamin B, dan sumber kalsium serta besi, seng, tembaga (Koswara 2009). Kacang hijau (Phaseolus radiatus) atau dikenal juga dengan nama green gram, mung bean, atau green soy, memiliki kandungan vitamin dan gizi yang padat. Vitamin yang paling menonjol di dalam kacang hijau adalah B1 dan B2, di mana pada awalnya vitamin B1 (tiamin) dikenal sebagai anti beri-beri serta dinilai bermanfaat juga untuk membantu proses pertumbuhan seorang manusia. Di samping itu, vitamin B1 juga berfungsi untuk memaksimalkan pengubahan karbohidrat menjadi energi, sehingga kacang hijau bisa menjadi sumber pembangkit stamina. Demikian pula vitamin B2 (riboflavin) yang juga berperan penting dalam pertumbuhan. Sebagai salah satu Famili Leguminoceae, kacang hijau mengandung protein tinggi yaitu 24%. Protein kacang-kacangan (nabati) umumnya memiliki asam amino pembatas lebih banyak sehingga pemanfaatannya oleh tubuh tidak dapat menandingi protein hewani (Anonim 2009).
Umbi-umbian Penggunaan umbi kentang sebagai pakan tikus riul dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bahan pangan lain yang mengandung karbohidrat tinggi selain serealia. Selain karbohidrat, kentang juga kaya vitamin C. Hanya dengan makan 200 gram kentang, kebutuhan vitamin C sehari bagi manusia terpenuhi. Kentang merupakan lima kelompok besar makanan pokok dunia selain gandum, jagung, beras, dan terigu. Bagian utama kentang yang menjadi bahan makanan adalah umbi, yang merupakan sumber karbohidrat, mengandung vitamin dan mineral cukup tinggi. Tanaman kentang (Solanum tuberosum Linn.) berasal dari daerah subtropika, yaitu dataran tinggi Andes Amerika Utara. Daerah yang cocok untuk budidaya kentang adalah dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian 1.000-1.300 meter di atas permukaan laut, curah hujan 1.500 ml/tahun, suhu ratarata harian 18-21 ºC, serta kelembaban udara 80-90%. Kentang memiliki kadar air cukup tinggi, yaitu sekitar 80%. Itulah yang menyebabkan kentang segar mudah rusak, sehingga harus disimpan dan ditangani
dengan baik. Kandungan karbohidrat pada kentang mencapai sekitar 18% , protein 2.4% dan lemak 0.1%. Total energi yang diperoleh dari 100 gram kentang adalah sekitar 80 kkal. Dibandingkan beras, kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan energi kentang lebih rendah. Namun, jika dibandingkan dengan umbi-umbian lain seperti singkong, ubi jalar, dan talas, komposisi gizi kentang masih relatif lebih baik. Kentang merupakan satu-satunya jenis umbi yang kaya vitamin C, kadarnya mencapai 31 mg/100 g bagian kentang yang dapat dimakan. Umbi-umbian lainnya sangat miskin akan vitamin C. Kebutuhan vitamin C sehari 60 mg, untuk memenuhinya cukup dengan 200 gram kentang. Kadar vitamin lain yang cukup menonjol adalah niasin dan B1 (tiamin). Dengan mengkonsumsi sebuah umbi kentang yang berukuran sedang, sepertiga kebutuhan vitamin C (33%) telah tercapai. Demikian juga halnya dengan sebagian besar kebutuhan akan vitamin B dan zat besi. Kentang juga merupakan sumber yang baik akan berbagai mineral, seperti kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe) dan kalium (K), masing-masing 26.0; 49.0; 1.1; dan 449 mg/100 g. Di lain pihak, kandungan natriumnya sangat rendah, yaitu 0.4 mg/100 g. Kentang merupakan bahan pangan yang sangat kaya kalium (449 mg/100 g). Selain kentang, bahan lain yang cukup kaya kalium adalah tomat dan pisang. Rasio natrium terhadap kalium pada kentang dan tomat segar adalah sangat rendah, masing-masing 1:1.100 dan 1:100 (Astawan 2004).
Rodentisida Rodentisida Akut Karakteristik dari rodentisida akut dapat bermacam-macam jenisnya, tetapi semuanya memiliki ciri yang sama. Secara umum, gejala yang ditimbulkan memerlukan waktu kurang dari 24 jam dan dengan tambahan beberapa senyawa di dalamnya hanya membutuhkan beberapa menit. Tentu saja, kurun waktu tersebut berhubungan dengan tingkat dosis yang diberikan, akibat dari peracunan dapat terlihat nyata dengan waktu yang sangat cepat ketika diberikan rodentisida dalam jumlah yang besar. Pengertian dari rodentisida akut merupakan kelompok rodentisida yang dapat menyebabkan kematian, setelah pemberian dari dosis yang mematikan dalam 24 jam atau kurang (Buckle 1994).
Seng fosfida (Zn3P2) Seng fosfida umum digunakan sebagai rodentisida akut dan merupakan satu-satunya yang tersedia sangat luas dan dilarang digunakan oleh yang tidak ahli. Jenis ini umumnya tersedia dalam bentuk serbuk berwarna hitam atau abuabu dengan kemurnian 80-95%, mempunyai bau yang menyengat dan merupakan racun dengan kisaran luas pada hama hewan pengerat. Seng fosfida diaplikasikan menggunakan umpan dengan kisaran konsentrasi dari 1-5%, walaupun konsentarsi 2% merupakan yang paling banyak digunakan. Formulasi yang tersedia merupakan bentuk siap pakai untuk langsung digunakan (Ready-for-use), khususnya di Amerika Serikat. Cara kerja dari seng fosfida berasal dari perkembangan gas fosfin, gas ini ini masuk ke aliran darah dan menyebabkan kerusakan pada hati dan merusak pada organ dalam. Tidak ada penawar (antidote) khusus dan campuran racun pada vertebrata lainnya; angka LD50 untuk babi, anjing, kucing, ayam dan bebek terdapat pada kisaran 20-40 mg/kg. Hal yang mengkhawatirkan bahwa seng fosfida sudah tersebar luas untuk digunakan dan hanya sedikit informasi yang terdapat pada seng fosfida dari pengadaan percobaan di setiap laboratorium atau di lapangan. Rennison (1976 dalam Buckle 1994) mengadakan percobaan pada lahan pertanian di Inggris dan pengendalian terhadap R. norvegicus mencapai 84% dengan menggunakan 2.5% seng fosfida dengan umpan pendahuluan (prebaiting) (Buckle 1994).
Rodentisida Kronis Penemuan rodentisida antikoagulan merupakan langkah penting yang pernah dan banyak dilakukan untuk mendapatkan racun hasil buatan yang aman dan lebih efektif dalam pengendalian hewan pengerat. Kronis merupakan cara kerja dari antikoagulan dan merupakan kunci untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. MacNicoll (1986 dalam Buckle 1994) menjelaskan cara kerja rodentisida kronis dengan memutuskan siklus vitamin K di dalam mikrosom hati.
1.
Brodifakum Brodifakum, 3-[3-(4’-bromobiphenyl-4-yl)-1,2,3,4-tetrahdro-1-naphthyl]-4-
hydroxycoumarin [56073-10-0], C31H23BrO3, merupakan racun yang ampuh pada golongan antikoagulan generasi kedua. Brodifakum digunakan pada umpan dengan konsentrasi 0.005%. Cara kerjanya ditunjukkan dengan aktivitas dari senyawanya yang dapat membuat tikus mati setelah mengonsumsi hanya satu hari umpan yang merupakan bagian dari makanannya. Beberapa populasi tikus riul yang ditemukan di Denmark dan Inggris kurang lebih sudah tahan (resisten) dibandingkan dengan pemberian secara normal dari brodifakum ketika diuji menggunakan umpan (Buckle 1994). 2.
Bromadiolon Bromadiolon, 3-[3-(4’-bromobiphenyl-4-yl)-3-hydroxy-1-phenylpropyl]-4-
hydroxycoumarin [28772-56-7], C10H23BrO4, sudah dipatenkan pada tahun 1968 dan masuk ke pasar sebagai rodentisida pada tahun 1976. Secara umum bromadiolon digunakan dengan konsentrasi 0.005% dan sudah efektif di lapangan terhadap tikus yang tahan antikoagulan generasi pertama. Bromadiolon digunakan secara luas untuk mengendalikan tikus di permukiman dan pertanian (Buckle 1994). 3.
Kumatetralil Kumatetralil,
4-hydroxy-3-(1,2,3,4-tetrahydro-1-naphthyl)
coumarin
[58836-29-3], C19H16O3, pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956 dan sekarang merupakan salah satu dari sekian banyak rodentisida antikoagulan generasi pertama yang tersebar luas, meskipun racun tersebut tidak tersedia di Amerika Serikat. Akut oral LD50 untuk tikus riul mencapai 16.6 mg/kg (Buckle 1994). 4.
Warfarin Warfarin,
4-hydroxy-3-(3-oxo-1-phenylbutyl)
coumarin
[81-81-2],
C19H16O4, merupakan antikoagulan generasi pertama yang tersebar luas digunakan sebagai rodentisida. Senyawa ini diperkenalkan pada tahun 1950. Nilai yang harus diberikan untuk oral akut LD50 terhadap tikus riul bervariasi antara 1.5 dan 323
mg/kg. Pada umumnya yang seharusnya diperkirakan untuk sekarang pada LD50 untuk warfarin terhadap tikus riul antara 10 dan 20 mg/kg (Buckle 1994) Identifikasi Di dunia, Famili Muridae merupakan famili anggota mamalia yang jumlah anggota jenisnya terbesar ada 2.052 spesies. Di Indonesia ada 171 spesies. Di Indonesia, Famili Muridae terdiri atas tiga subfamili, yaitu Murinae, Hydromyinae, dan Rhizomyinae (Suyanto 2006).
Kunci Pengenal Tingkat Genus untuk Famili Muridae di Jawa 1 A.
Ibu jari kaki belakang berkuku (nail)………………………...……….2
B.
Ibu jari kaki belakang bercakar (claw)………………….…………….4
2 A. (1A) Ujung ekor berambut panjang Seperti sikat……………………………………………...Chiropdomys B.
Ujung ekor tidak berambut panjang…………………………………..3
3 A. (2B) Kaki belakang berambut lebat…………………………....…Pithecheir B.
Kaki belakang tidak berambut lebat……………………Kadarsanomys
4 A. (1B) m¹ > ½ panjang m¹ - m³…………………………………………...Mus B.
m¹ < ½ panjang m¹ - m³………………………………………...…….5
5 A. (4B) Palatum posterior dibelakang m³……………………………..………6 B. 6 A.
Palatum posterior tidak di belakang m³……………………..………10 Ukuran sedang, panjang KB < 40 mm……………………………………………….…….Rattus
B.
Ukuran besar, panjang KB > 40 mm…………………….……………7
7 A. (6B) Lempeng tonjolan molar lurus………………………………Bandicota B.
Lempeng tonjolan molar berlekuk…………………...……………….8
8 A. (7B) Crista parietalis sejajar……………………….…….Rattus norvegicus B.
Crista parietalis tidak sejajar…………………………..……………..9
9 A. (8B) Kaki belakang panjang dan lebar KB > 50 mm………………………………….……………...Sundamys B.
Kaki belakang panjang dan lebar KB > 50 mm…………………………………………..…Leopoldamys
10 A. (5B) Foramina incisivum sejajar m¹………….…………………..Niviventer
B.
Foramina incisivum di depan m¹…………...……………..…Maxomys
Ciri Pengenal Tikus riul (Rattus norvegicus, Berk.) Tikus berukuran besar, warna permukaan atas dan bawah serupa, coklat tua keabu-abuan, rambut pendek dan jarang, rambut pengawal bentuk duri pipih tidak ada, ekor pendek, crista parietalis sejajar, tepi depan lempeng zigomatik mencembung ke depan. Rumus puting susu M= 3 + 3. Jumlah kromosom 21 pasang terdiri atas empat pasang autosom berbentuk submeta-subakrosentrik, sembilan pasang berbentuk akrosentrik, tujuh pasang berbentuk metasentrik, kromosom X dan Y berbentuk akrosentrik FN=64 (Suyanto 2006).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Laboratorium Museum Zoologi Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong, dari bulan Maret sampai Juni 2009.
Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB Bahan dan Alat Kandang Kandang yang digunakan untuk pemeliharaan dan perlakuan terbuat dari alumunium berukuran 50 x 50 x 40 cm (p x l x t) dengan skala kekerasan geologi bahan kurang dari 5.5. Setiap kandang dilengkapi dengan peralatan tambahan seperti tempat minum, tempat umpan, dan penampung kotoran.
(A) (B) Gambar 2 Kandang perlakuan (A) tampak depan dan (B) tampak samping
Hewan Uji Hewan uji yang digunakan adalah tikus riul (R. norvegicus) yang berasal dari penangkapan di permukiman penduduk Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Tikus riul yang digunakan sebanyak 15 ekor yang terdiri dari tujuh jantan dan delapan betina, kisaran berat 250-600 gram dengan kriteria sehat, tidak bunting, dewasa, dan perbandingan jenis kelamin 1:1.
Gambar 3 Tikus riul (R. norvegicus) http://www.discoverlife.org/IM/I_RB/0000/320/Rattus_norvegicus,I_RB27.jpg Timbangan Alat yang digunakan untuk menghitung bobot suatu bahan adalah timbangan elektronik. Kegunaan yang sesuai diperlukan saat penelitian adalah menimbang dan menghitung bobot tubuh hewan uji dan sisa konsumsi pakan hewan uji.
Gambar 4 Timbangan elektronik Umpan
Umpan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri tiga kelompok dengan variasi bentuk pengolahan dan merupakan pakan yang menjadi makanan yang dikonsumsi oleh manusia dan dapat menjadi sisa atau sampah yang merupakan sumber pakan bagi R. norvegicus di sekitar permukiman manusia. Pengelompokan pakan berdasarkan pembagian bahan pangan secara umum, yaitu: 1. Serealia Pakan berbahan dasar ini adalah mie siap saji (gandum-ganduman) dengan nama dagang Mie Sedap Goreng1 dan beras ketan hitam (padi-padian). 2. Kacang-kacangan Pakan berbahan dasar kacang-kacangan adalah kacang hijau. 3. Umbi-umbian Pakan berbahan dasar ini adalah umbi kentang.
(A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 5 Umpan tikus riul; (A) beras ketan hitam, (B) kacang hijau (C) kentang, (D) mie siap saji Rodentisida Racun tikus yang digunakan terbagi atas dua mekanisme kerja, yaitu racun akut dan racun kronis. Racun akut yang digunakan adalah racun berbahan aktif seng fosfida, sedangkan untuk racun kronis yang digunakan berbahan aktif brodifakum 0.005% berbentuk kotak (blok) dengan nama dagang Klerat RM-B1,
bromadiolon 0.005% berbentuk kotak dengan nama dagang Contrac1, warfarin 0.105% berbentuk granul dengan nama dagang Dora1, dan kumatetralil 0.0375% berbentuk pasta dengan nama dagang Racumin Pasta1.
(A)
(B)
(D)
(C)
(E)
Gambar 6 Jenis rodentisida kronis:(A) warfarin 0.105%, (B) kumatetralil 0.0375% (C) brodifakum 0.005% (D) bromadiolon 0.005% dan jenis rodentisida akut: (E) seng fosfida Perangkap Perangkap merupakan alat pelengkap sebelum dilakukan perlakuan terhadap hewan uji. Jenis perangkap yang digunakan adalah perangkap hidup ganda (multiple-live traps) yang dapat memerangkap dan menampung lebih dari satu hewan uji dalam satu kali pemerangkapan dan memungkinkan hewan uji untuk hidup. Perangkap ini merupakan salah satu jenis dari perangkap hidup (live traps).
Peralatan tambahan Peralatan tambahan yang juga digunakan dalam penelitian terdiri atas mangkuk dan gelas sebagai wadah pakan dan minum, alat bedah untuk otopsi dan identifikasi tikus yang mati, alat memasak (kompor gas, rice cooker, dan pemanas air). 1 Penyebutan nama dagang bahan pangan dan rodentisida tidak dimaksudkan untuk mempromosikan bahan tersebut.
Metode Persiapan Hewan Uji Tikus riul (R. norvegicus) yang digunakan dalam perlakuan diperoleh dari lapang (permukiman penduduk), kemudian dilakukan proses adaptasi di kandang tunggal (kurungan perlakuan) terhadap kondisi Laboratorium Vertebrata Hama IPB selama 2-4 hari dengan diberi pakan nasi putih berkuah sayur dan minum setiap hari secara melimpah. Tikus riul yang sudah diadaptasikan langsung diberikan perlakuan umpan tanpa adanya proses pemuasaan selama 24 jam.
Persiapan Umpan Persiapan umpan dilakukan dengan beberapa variasi proses pengolahan dan untuk memisahkan antara bahan variasi basah dan basah berbumbu digunakan pewarna makanan sebagai pembeda. Jenis umpan yang diujikan, yaitu mie siap saji, kacang hijau, kentang, dan beras ketan hitam. Sedangkan untuk jenis variasi pengolahan adalah: 1.
Berbahan variasi kering digunakan umpan tanpa diolah lagi. Untuk mie siap saji dikeluarkan dari kemasannya dan kentang dipotong seperti blok ukuran 20 x 20 x 20 mm dipisahkan dari kulitnya.
2. Berbahan variasi basah digunakan umpan yang telah siap dilakukan pengolahan (sama dengan variasi kering) kemudian dilakukan proses pemasakan dengan cara direbus (mie siap saji selama tiga menit, sedangkan kacang hijau, kentang, dan beras ketan hitam selama 15-20 menit) tanpa dicampurkan bumbu dan ditiriskan selama beberapa menit. 3. Berbahan variasi basah berbumbu sama dengan proses pada variasi basah dan selanjutnya ditambahkan bumbu penyedap (mie siap saji dengan bumbu pelengkapnya; kacang hijau dengan gula merah 72 g, daun pandan 3 g, dan santan kelapa 65 ml; kentang dengan penyedap makanan rasa sapi; beras ketan
hitam dengan gula merah 62 g, vanili 0.7 g, dan santan kelapa 65 ml), kemudian ditiriskan selama beberapa menit.
Pengujian Umpan Tujuan dari dilakukannya pengujian umpan pada tikus riul (R. norvegicus) adalah untuk mengetahui dan mendapatkan jenis pakan dan olahan pakan yang disukai. Langkah awal dalam melakukan pengujian umpan adalah melakukan pengukuran terhadap perubahan bobot tubuh tikus riul dan penentuan jumlah pakan yang harus diberikan dengan menggunakan timbangan elektronik. Rumus untuk menghubungkan antara bobot tubuh dengan jumlah pakan yang harus diberikan, yaitu
Σ Pakan = 10% x bobot tubuh
Setelah langkah penentuan bobot tubuh dan jumlah pakan yang harus diberikan, maka untuk setiap pakan ditimbang sesuai dengan hasil perhitungan. Penempatan pakan dipisahkan dalam tempat umpan (mangkuk) yang berbeda untuk masing-masing pakan yang sama berdasarkan jenis olahannya, misalkan perlakukan mie cepat saji dibandingkan dalam variasi kering dengan variasi basah dan variasi basah berbumbu. Pengujian umpan dilakukan dengan metode pilihan (choice test) selama lima hari berturut-turut untuk setiap hewan uji. Penimbangan dilakukan setiap hari terhadap empat jenis pakan berdasarkan jenis olahannya. Agar hasil yang diperoleh dapat akurat dan dipercaya maka diperlukan kontrol sebagai pembandingnya, terutama pakan yang jenis olahannya berbahan basah untuk menghitung besar persentase penyusutan. Untuk kontrol digunakan pakan yang ditempatkan di kandang terpisah tanpa disertai tikus riul di dalamnya. Kontrol juga ditimbang dan diganti setiap hari. Mekanisme pengamatan pengujian umpan ini adalah:
1. Penentuan bobot tubuh tikus riul, yaitu dilakukan dua kali penimbangan pada sebelum hari pertama perlakuan umpan dan setelah hari terakhir perlakuan umpan. 2. Umpan yang diberikan ditimbang, dilakukan setiap hari selama perlakuan, untuk mendapatkan tingkat konsumsi.
Pengujian Rodentisida Pengujian rodentisida terhadap tikus riul dibagi menjadi dua jenis, yaitu racun akut dan racun kronis. Pengujian untuk racun kronis tanpa dilakukan pencampuran dengan umpan. Racun yang digunakan berbahan aktif brodifakum, bromadiolon, warfarin, dan kumatetralil. Pengujian terhadap semua racun kronis dimaksudkan untuk melihat jenis racun kronis mana yang disukai atau menarik bagi tikus riul. Jumlah racun kronis yang diberikan pada tikus riul adalah:
Σ Rodentisida = 10% x bobot tubuh
Sedangkan untuk jenis racun akut digunakan racun berbahan aktif seng fosfida. Racun tersebut dicampurkan dengan umpan
yang disukai oleh tikus
dengan mengetahuinya dari hasil pengujian umpan, jumlah racun akut yang diberikan pada tikus riul adalah:
Rodentisida
= 1% x jumlah umpan x 10% bobot tubuh
Pengamatan untuk pengujian rodentisida ini, yaitu: 1. Jenis dan jumlah rodentisida yang dikonsumsi, dilakukan dengan cara menimbang bobot awal dan bobot akhir rodentisida akut dan kronis. 2. Bobot tikus riul di awal dan di akhir perlakuan. 3. Tikus riul yang mati diambil beberapa contoh sebagai sampel dilakukan otopsi untuk mengetahui bagian tubuh yang rusak akibat keracunan.
Identifikasi Tikus Riul
Untuk mengetahui tikus yang didapat dari lapang adalah tikus riul, maka perlu dilakukan identifikasi melalui ciri morfologi dan anatomi. Hal-hal yang perlu diketahui, yaitu 1. Ukuran standar a. Panjang badan dan kepala (BK): Jarak dari anus sampai ujung moncong (mm). b. Panjang ekor (E): Jarak dari pangkal sampai ke ujung ekor (mm). Panjang ekor relatif terhadap badan dan kepala juga sangat penting dalam identifikasi. c. Panjang kaki belakang (KB): Diukur dari ujung tumit sampai ujung jari (mm). Pengukuran KB tanpa cakar disebut sine unguis (s.u.), dengan cakar disebut cum unguis (c.u.). d. Panjang telinga (T): Diukur dari pangkal telinga ke titik yang terjauh di daun telinga (mm). 2. Rambut Ukuran, konsistensi, kepadatan dan warna rambut dapat membantu dalam identifikasi jenis hewan pengerat. Tikus dicirikan dengan adanya rambut ekor sangat pendek sehingga sepintas tampak gundul. Pada tikus dan hewan pengerat atau mamalia pada umumnya rambut ada dua macam, yaitu rambut pengawal (guard hair) dan rambut bawah (under fur). Pada tikus riul dan tikus wirok (B. indica) tidak memiliki bentuk seperti duri pada rambut pengawal. Umumnya rambul pengawal berukuran lebih besar dan panjang daripada rambut bawah. 3. Rumus puting susu Angka depan menunjukkan jumlah pasangan puting susu yang tumbuh di dada, sedang angka belakang menunjukkan jumlah pasangan puting susu yang tumbuh diperut. 4 Gigi Menunjukkan rumus gigi pada separuh rahang. c 0/0 artinya tidak memiliki taring; i 1/1 artinya gigi seri atas dan bawah sama, masing-masing hanya sebuah; pm 0/0 artinya tidak memiliki geraham depan; m 3/3 artinya geraham belakang pada masing-masing separuh rahang tiga buah. 5 Ekor
Beberapa tikus memiliki warna permukaan bawah dan atas ekor tidak sama atau dwiwarna. Selain warna, ukuran ekor relatif terhadap panjang badan dan kepala juga bisa diidentifikasi. Ekor dikatakan panjang kalau ukurannya lebih panjang daripada panjang badan dan kepala, dan pendek kalau lebih pendek daripada panjang badan dan kepala.
6. Foramina incisivum Posisi foramina terhadap geraham pertama atas. Jika ditarik garis lurus maya yang menghubungkan titik yang paling depan geraham pertama atas, maka pada genus Maxomys, foramina incisivum terletak jauh di depan garis maya tadi, sedangkan pada kebanyakan anggota Rattus, foramina incisivum menjorok atau melampaui garis maya.
Gambar 7 Posisi foramina incisivum pada Genus Maxomys dan Rattus 7. Tulang langit-langit (palatum) belakang Posisi palatum belakang terhadap geraham belakang. Posisi ini bervariasi, seperti pada Rattus posisi palatum belakang terletak jauh di belakang pinggir belakang geraham atas terakhir atau dengan kata lain posisi palatum belakang di belakang, sedangkan pada Maxomys terletak di depan pinggir belakang geraham atas terakhir atau dengan kata lain palatum belakang terletak di depan.
Gambar 8 Posisi palatum belakang pada Genus Maxomys dan Rattus 8. Lempeng zigomatik Ukuran lempeng zigomatik juga penting dalam identifikasi, misalnya lempeng zigomatik pada R. argentiventer lebih lebar daripada R. tiomanicus dan R. rattus. Bentuk tepi depan lempeng zigomatik dapat memilahkan jenis tikus. Ada yang tepi depan lurus, ada yang cembung atau cekung. 9. Ukuran tengkorak dan gigi geligi
Gambar 9 Ukuran tengkorak dan gigi geligi Konversi Data Data yang diperoleh pada setiap perlakuan kemudian dilakukan konversi konsumsi ke 100 gram bobot tubuh tikus riul. Untuk kontrol umpan yang berasal dari makanan manusia dilakukan penghitungan penyusutan kadar air dengan rumus:
% Penyusutan = Bobot awal – Bobot akhir x 100% Bobot awal
Setelah
dilakukan
penghitungan
persentase
penyusutan,
kemudian
dilakukan penghitungan konversi bobot konsumsi ke 100 gram bobot tubuh tikus riul. Konversi dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini:
Konversi Konsumsi (KK) =
Bobot konsumsi
x100%
Bobot rerata tikus riul
Analisis Data Analisis ragam dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pada 4 perlakuan dengan 10 ulangan untuk pengujian umpan, 3 perlakuan dengan 10 ulangan untuk pengujian rodentisida akut versus umpan, 4 perlakuan dengan 9 ulangan untuk pengujian rodentisida kronis, dan 5 perlakuan dengan 7 ulangan untuk pengujian rodentisida kronis versus akut. Apabila hasil yang diperoleh berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji selang ganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α=5% dan 1%, menggunakan bantuan program SAS for Windows V.6.12.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Umpan Hasil yang diperoleh dari pengujian masing-masing umpan (mie siap saji, kacang hijau, kentang, dan beras ketan hitam) berdasarkan variasi pengolahan (kering, basah, dan basah berbumbu) pada 40 ulangan (Tabel 1) menunjukkan
bahwa jenis umpan dengan variasi basah berbumbu lebih banyak disukai daripada variasi kering.
Tabel 1 Konsumsi (g) tikus riul terhadap umpan dengan beberapa variasi pengolahan Perlakuan Mie siap saji Kacang Hijau Kentang Beras ketan hitam Rerata Kering 0.0034 cC Basah 9.1265 aA Basah berbumbu 3.5297 bB Rerata 4.2198
0.0007 cC 4.3530 bB 8.2285 aA 4.1940
1.584 bB 11.525 aA 11.141 aA 8.0833
0.004 cC 4.202 bB 8.750 aA 4.3186
0.7960 7.2333 7.9123 5.3138
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar) berdasarkan uji selang ganda duncan
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa konsumsi pada umpan dengan variasi basah berbumbu memiliki nilai tertinggi (7.9123 gram per 100 gram bobot tubuh) dan tidak berbeda nyata dengan umpan variasi basah. Selain itu, umpan variasi basah berbumbu berbeda nyata dengan umpan variasi kering. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu: 1. Umpan dengan variasi basah berbumbu merupakan umpan yang telah diberi bumbu sebagai penyedap di dalam pengolahannya, seperti mie siap saji (saos, kecap, minyak goreng, dan bumbu penyedap), kacang hijau (santan, gula merah, dan daun pandan), kentang (penyedap rasa), dan beras ketan hitam (santan, vanili, dan gula merah) sehingga mempengaruhi rasa bagi tikus riul. Dua bahan yang umumnya biasa digunakan sebagai bahan tambahan makanan (additives), yaitu minyak sayur dan gula, yang keduanya diketahui dapat meningkatkan konsumsi (palatability) terhadap umpan (Meehan 1984). 2. Lokasi tikus riul ditangkap merupakan lokasi di sekitar permukiman manusia, sehingga terdapat kemungkinan tikus riul sudah terbiasa dengan makanan sisa manusia yang menjadi sampah terutama yang basah dan berbumbu. 3. Habitat yang disukai tikus riul juga merupakan habitat yang dengan kondisi basah dan lembab, seperti saluran air pembuangan (got). Dari empat umpan yang diuji, hanya umpan kentang (total dari variasi kering, basah, dan basah berbumbu) yang memiliki tingkat rerata konsumsi tikus riul tertinggi (8.0833 gram per 100 gram bobot tubuh). Umpan lainnya seperti mie siap saji, kacang hijau, dan beras ketan hitam relatif tidak disukai oleh tikus riul
dibandingkan dengan umpan kentang. Beberapa faktor yang mempengaruhi preferensi makan tikus riul, diantaranya perbedaan jenis kelamin, waktu, kandungan nutrisi, dan tempat dilakukannya pengujian (Meehan 1984). Menurut Adler 1996, hal yang dicari oleh tikus riul adalah makanan yang umumnya kecil dan sederhana, karena tikus riul dapat makan berbagai macam jenis makanan, bagaimanapun tikus riul lebih suka serealia, daging dan ikan, kacang-kacangan, dan beberapa jenis buah-buahan. Dengan demikian, umpan yang berbentuk sederhana dan bertekstur kasar menjadi hal yang disukai oleh tikus riul. Umpan kentang mempunyai bentuk menyerupai blok dengan ukuran kurang lebih 20 x 20 x 20 mm dan umumnya pada umpan kentang terdapat tekstur yang kasar walaupun sudah direbus, sehingga tikus riul lebih mudah dalam memakan umpan kentang dibandingkan dengan umpan lainnya. Berbeda halnya dengan umpan mie siap saji, kacang hijau, dan beras ketan hitam bentuknya tergolong lebih kecil dibandingkan dengan umpan kentang. Ketertarikan tikus riul lebih tinggi terhadap variasi basah berbumbu dibandingkan dengan variasi basah pada kacang hijau dan beras ketan hitam. Pada variasi basah berbumbu kacang hijau dan beras ketan hitam ditambahkan gula merah sebagai tambahan pada bumbu penyedapnya. Seperti diketahui bahwa gula merah merupakan salah satu bahan penarik (arrestant) bagi tikus. Gula dengan konsentrasi 5% dapat meningkatkan konsumi (palatability) tikus terhadap umpan 2-3 kali lipat, atau lebih untuk umpan cair. Kelemahan dari penggunaan gula sebagai bahan penarik adalah dapat menarik organisme lain seperti cendawan dan serangga (terutama semut), sehingga menjadi tidak menarik lagi bagi tikus (Priyambodo 2003). Pengamatan terhadap umpan dengan variasi basah berbumbu ternyata tidak mendominasi terhadap umpan mie siap saji dan kentang. Pada kedua umpan tersebut, variasi basah paling disukai dibandingkan dengan variasi basah berbumbu dan variasi kering. Namun hanya pada umpan kentang saja yang variasi basah tidak berbeda nyata dengan variasi basah berbumbu, sedangkan pada umpan mie siap saji variasi basah berbeda nyata dengan variasi basah berbumbu. Hal yang membuat tikus riul tidak menyukai umpan dengan variasi berbumbu, terutama pada umpan mie siap saji, yaitu banyaknya campuran bumbu seperti saos
cabai, kecap manis, minyak goreng, penyedap gurih, dan penyedap pedas membuat aroma dan rasa yang tidak disukai oleh tikus riul. Selain itu, dengan adanya campuran bumbu-bumbu tersebut akan membuat umpan lebih cepat basi (terkontaminasi oleh bakteri), sehingga tikus riul lebih memilih pada umpan yang cenderung masih segar dan kandungan karbohidratnya sesuai dengan kebutuhan nutrisinya (umpan variasi basah pada mie siap saji). Pada umpan dengan variasi kering yang dikonsumsi tikus riul paling tinggi pada umpan kentang (1.584 gram per 100 gram bobot tubuh) yang relatif lebih disukai dibandingkan dengan tiga umpan variasi kering lainnya (mie siap saji, kacang hijau, dan beras ketan hitam). Hal ini disebabkan pada umpan kentang walaupun dalam kondisi kering tetap mengandung kadar air di dalamnya dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan kadar air pada umpan mie siap saji, kacang hijau, dan beras ketan hitam. Hal yang menarik ketika secara tidak sengaja teramati perilaku tikus riul yang sedang bunting dan melahirkan anaknya dan keesokan harinya saat diamati kembali tikus riul tersebut sudah membunuh dan memakan anak-anaknya yang baru lahir. Hal ini dapat disebabkan kurangnya nutrisi protein pada umpan yang diberikan atau tingkat tekanan (stress) yang dialami tikus di dalam kandang percobaan. Tikus riul tersebut tidak langsung dijadikan sebagai hewan uji dan dilakukan proses adaptasi kembali terutama kondisi setelah bunting dan melahirkan.
Pengujian Rodentisida Umpan kentang (variasi basah dan basah berbumbu) versus racun akut (umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida) Untuk konsumsi tikus riul terhadap kentang dengan campuran kentang dan seng fosfida dapat dilihat pada Tabel 2. Hal yang membuat umpan kentang plus seng fosfida lebih rendah tingkat konsumsinya dibandingkan dengan umpan kentang basah dan basah berbumbu tanpa seng fosfida, yaitu karena seng fosfida mempunyai bau yang menyengat dan merupakan racun yang menyerang syaraf pada hewan mamalia pada umumnya, sehingga dalam waktu singkat saja serbuk yang terhirup lewat saluran oral akan membuat gejala sakit kepala (pusing).
Tabel 2 Konsumsi (g) tikus riul terhadap kentang dan seng fosfida Perlakuan Konsumsi Kentang basah 6.053 aA Kentang basah berbumbu 4.401 aA Kentang basah berbumbu + seng fosfida 1.718 bB Rerata 3.8773 Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar) berdasarkan uji selang ganda duncan
Berdasarkan data konsumsi umpan kentang biasa dan umpan kentang yang dicampurkan seng fosfida dapat dilihat bahwa umpan kentang dengan variasi basah tanpa dicampur seng fosfida (6.053 gram per 100 gram bobot tubuh) dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan umpan kentang yang dicampurkan dengan seng fosfida. Umpan kentang dengan variasi basah biasa berbeda nyata dengan umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida. Sedangkan untuk umpan kentang dengan variasi basah berbumbu tidak berbeda nyata dengan umpan kentang variasi basah.
Racun kronis (antikoagulan) generasi pertama versus kedua Konsumsi tikus riul terhadap racun kronis dapat dilihat pada Tabel 3. Secara umum perbedaan tingkat konsumsi antara racun kronis ini tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, yaitu uji umpan beracun, baik yang berbahan aktif brodifakum ataupun flokumafen, tidak terdapat perbedaan yang nyata. Hal ini dimungkinkan tikus riul kurang tertarik terhadap warna, bentuk, ataupun rasa yang dimiliki umpan beracun tersebut (Nugraha 2004).
Tabel 3 Konsumsi (g) tikus riul terhadap berbagai macam rodentisida kronis Perlakuan Konsumsi Antikoagulan generasi ke-1 Warfarin 0.004667 aA Kumatetralil 0.010222 aA Antikoagulan generasi ke-2 Brodifakum 0.010222 aA Bromadiolon 0.021889 aA Rerata 0.0047
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar) berdasarkan uji selang ganda duncan
Hal lain yang membuat tikus riul tidak terlalu menyukai rodentisida kronis, dikarenakan perlakuan rodentisida kronis dilakukan setelah perlakuan rodentisida akut (umpan kentang plus seng fosfida). Terdapat sepertiga populasi yang mati pada uji rodentisida akut akibat perlakuan racun akut dan sisa populasi yang masih hidup dipakai untuk perlakuan rodentisida kronis, sehingga mempengaruhi metabolisme tikus yang berbanding lurus dengan tingkat konsumsi racun. Hasil yang diperoleh dapat dinyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara rodentisida kronis (antikoagulan) generasi pertama dengan kedua.
Racun kronis versus racun akut Pada Tabel 4 terdapat perbedaan yang nyata antara konsumsi rodentisida akut dengan kronis. Populasi tikus riul yang diuji pada perlakuan ini, merupakan tikus riul yang masih bertahan (escape) setelah diujikan sebelumnya dengan perlakuan umpan kentang versus umpan kentang plus seng fosfida dan perlakuan racun kronis. Dengan demikian, tingkat konsumsi tikus akan menurun bahkan cenderung menderita akibat kelaparan. Berdasarkan data konsumsi racun akut dan kronis didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida dibandingkan dengan racun kronis (brodifakum, bromadiolon, warfarin, dan kumatetralil). Hal ini menunjukkan bahwa tikus riul tetap memilih umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida (0.036714 gram per 100 gram bobot tubuh) dibandingkan dengan racun kronis, meskipun pakan tersebut dirasakan asing, memiliki bau, dan warna yang berbeda, dibandingkan umpan lain yang kurang atau tidak disukai, walaupun umpan beracun lainnya memiliki warna mencolok, dan tidak berbau. Hal lain yang menjadi dasar pemikiran selanjutnya mengenai kandungan air dan bumbu tambahan di dalam umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida yang menjadikannya disukai oleh tikus riul dibandingkan dengan rodentisida kronis.
Tabel 4 Konsumsi (g) tikus riul terhadap racun kronis versus racun akut
Perlakuan Warfarin Kumatetralil Brodifakum Bromadiolon Kentang basah berbumbu + seng fosfida Rerata
Konsumsi 0.000286 bB 0.000571 bB 0.000286 bB 0.001286 bB 0.036714 aA 0.039143
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α=5% (huruf kecil) dan 1% (huruf besar) berdasarkan uji selang ganda duncan
Hasil Identifikasi Tikus Riul dari Daerah Pemukiman di Kota dan Kabupaten Bogor Pada Tabel 5 data morfologi tikus riul sebagai tikus got yang didapatkan di daerah permukiman. Tikus riul yang diuji, berasal dari pemukiman penduduk di Kota dan Kabupaten Bogor. Pada awal pengujian identitas tikus yang didapatkan dari lokasi permukiman tersebut masih belum jelas, dimana masih terbagi dua pendapat besar, yaitu antara B. indica dan R. norvegicus sebagai tikus got. Ciri morfologi kedua spesies tersebut secara umum hampir sama dan seringkali tidak ada perbedaannya saat ditemukan di lapang. Setelah dilakukan identifikasi melalui ciri anatomi, maka dapat dipastikan tikus yang berperan sebagai tikus got adalah tikus riul (R. norvegicus). Hal yang dapat dijadikan dasar sebagai pembeda antara tikus riul dan tikus wirok adalah: 1.
Crista parietalis pada tenggorak sejajar. Hal ini merupakan ciri terpenting pada tikus riul, karena hanya satu-satunya tikus pada genus Rattus yang memiliki crista parietalis sejajar.
2.
Warna rambut pada umumnya walaupun berwarna gelap tetapi masih terdapat rambut yang berwarna terang (putih atau coklat muda).
3. Tikus riul menyukai habitat basah atau berair sedangkan tikus wirok umumnya menyukai habitat yang kering.
Tabel 5 Identifikasi tikus riul berdasarkan ciri morfologi NO KODE BA BK E GSA T 1 B 385.08 240 230 7 25 2 C 286.46 210 200 5 18 3 D 359.59 230 235 5 24 4 E 284.17 210 193 4 22
KB 43 41 42 40
Kl Jantan Betina Jantan Betina
TK 16/4/2009 5/1/2009 27/4/2009 16/4/2009
5
F
353.49
220
215
5
6 H 276.58 210 175 4 7 I 314.02 213 204 3 8 J 284.44 200 155 4 9 K 290.12 222 187 3 10 L 354.01 225 205 4 11 M 354 220 210 3 12 N 361.02 240 185 4 13 O 345.46 220 230 6 14 P 354.3 245 191 4 15 Q 469.29 230 235 4 Keterangan BA : Berat Akhir tubuh (gram) BK : Panjang Badan dan Kepala (mm) E : Panjang Ekor (mm) GSA : Gigi Seri Atas (mm) T : Panjang Telinga (mm) KB : Panjang Telapak Kaki Belakang (mm) Kl : Kelamin TK : Tanggal Kematian
25
43
Jantan
16/4/2009
21 17 18 20 24 12 25 20 24 23
40 40 40 41 40 42 45 42 40 40
Jantan Jantan Betina Betina Betina Jantan Jantan Betina Betina Betina
16/4/2009 30/4/2009 30/4/2009 30/4/2009 16/4/2009 30/4/2009 10/4/2009 4/1/2009 30/4/2009 5/6/2009
Pada Gambar 10 ciri khusus pada R. norvegicus yang ditunjukkan dengan perbedaan posisi crista parietalis dengan R. rattus. Dimana posisi crista parietalis R. norvegicus sejajar. Sedangkan pada Gambar 11 menerangkan posisi foramina incisivum dan palatum belakang pada tengkorak R. norvegicus dan perbandingan ukuran tengkorak R. norvegicus dengan R. tiomanicus dan R. rattus. Ukuran tengkorak tikus riul lebih besar dibandingkan dengan tikus pohon dan tikus rumah. Perbedaan antara ukuran tengkorak dan spesimen pada R. norvegicus dan B. indica (Gambar 12 dan 13). Pada tenggkorak terlihat jelas perbedaan posisi crista parietalis R. norvegicus dalam keadaan sejajar sedangkan pada B. indica tidak sejajar. Sedangkan jika dilihat dari spesimen dapat menjadi tidak jelas karena warna rambut dan bentuk tubuh R. norvegicus dan B. indica relatif sama.
(a)
(b)
Crista parietalis tidak sejajar
Crista parietalis sejajar
Gambar 10 Posisi crista parietalis pada tengkorak (a) R. rattus dan (b) R. norvegicus. (a)
(b)
Foramina incisivum Palatum belakang R. rattus R. tiomanicus
R. norvegicus
Gambar 11 (a) Posisi foramina incisivum dan palatum belakang pada tengkorak R. norvegicus dan (b) perbandingan tengkorak R. rattus, R. tiomanicus, dan R. norvegicus
Gambar 12 Spesimen dan ukuran tengkorak B. indica
Gambar 13 Spesimen dan ukuran tengkorak R. norvegicus
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ketertarikan tikus riul terhadap umpan dengan variasi basah berbumbu lebih tinggi dibandingkan dengan variasi kering dan tidak berbeda nyata dengan variasi basah. Umpan yang disukai adalah kentang. Tingkat konsumsi tikus riul terhadap umpan kentang variasi basah biasa lebih tinggi dibandingkan dengan umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida, karena bau dan warna yang mencolok dari umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida. Pengujian rodentisida kronis (antikoagulan generasi pertama versus kedua) tidak terdapat perbedaaan. Tingkat konsumsi umpan kentang variasi basah berbumbu plus seng fosfida lebih disukai dibandingkan dengan racun kronis. Tikus yang terdapat di sekitar permukiman manusia adalah tikus riul yang umumnya disebut sebagai tikus got.
Saran Diperlukan adanya pengujian lanjutan terhadap preferensi umpan lainnya yang berpotensi sebagai prebaiting pada umpan beracun yang murah dan mudah didapatkan. Selain itu, perlu dihilangkan pengaruh lanjutan dari sisa perlakuan sebelumnya agar efek yang terjadi pada perlakuan berikutnya tidak mempengaruhi tingkat konsumsi tikus riul (metabolismenya). Untuk proses pengendalian hama permukiman dapat terbantukan dengan adanya uji lapang untuk penelitian semacam ini untuk mengetahui faktor-faktor lain (lingkungan) yang berpengaruh terhadap ketertarikan tikus riul pada umpan.
DAFTAR PUSTAKA Adler JR. 1996. Outwitting Mice and Other Rodents. UK: Blandford Book. [Anonim]. 2009. Manfaat kacang hijau on PDF [jurnal on-line].
Http://rapidshare.de/files/26282380/Manfaat_Kacang_Hijau.pdf.html Astawan M. 2004. Kentang: sumber vitamin C dan pencegah hipertensi. [jurnal on-line]. Http://www.kompas.com/kompas cyber media [9 Jul 2009]. Buckle AP. 1994. Rodent control methods: chemical. Di dalam: Buckle AP, editor. Rodent Pest and Their Control. New York: CAB International. Hlm 127. Freye HA. 1976. The rodents. Di dalam: Grzimek B, editor. Animal Life Encyclopedia. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Hlm 191. Koswara S. 2009. Kacang-kacangan sumber serat yang kaya gizi [jurnal on-line]. Http:// www.Ebookpangan.com..pdf [9 Jul 2009]. Meehan AP. 1984. Rats and Mice Their Bioogy and Control. Felcourt, East Grinstead: Rentokil Limited Meyer AN. 1994. Rodent control in practice:food stores. Di dalam: Buckle AP, editor. Rodent Pest and Their Control. New York: CAB International. Hlm 127. Nugraha TPRSD. 2004. Prefernsi makan dan uji rodentisda terhadap wirok (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke dan B. indica) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Priyambodo S. 2002. Studies on the feeding and neophobic behavior in norway rats (Rattus norvegicus Berkenhout, 1769) from farms in Germany [disertasi]. Gottingen: Faculty of Agricultural Sciences, GeorgAugust-University of Gottingen. Priyambodo S. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Ed ke-3. Jakarta: Penebar Swadaya. Suyanto A. 2006. Rodent di Jawa. Jakarta: Pelita Indonesia Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap mie siap saji Sumber db JK KT Nilai F Perlakuan 2 423.29971847 211.64985923 114.39 Galat 27 49.95560300 1.85020752 Total 29 473.25532147 R- Kuadrat= 0.894443 C.V = 32.23380 Duncan 2 3 0.05
1.248
1.311
0.01
1.685
1.758
Lampiran 2 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap kacang hijau Sumber db JK KT Nilai F Perlakuan 2 338.86236127 69.43118063 77.98 Galat 27 58.66133660 2.17264210 Total 29 397.52369787 R- Kuadrat= 0.852433 C.V = 35.14461 Duncan 2 3 0.05
1.353
1.421
0.01
1.826
1.905
Lampiran 3 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap kentang Sumber db JK KT Nilai F Perlakuan 2 634.05451887 317.02725943 61.43 Galat 27 139.34719050 5.16100706 Total 29 773.40170937 R-Kuadrat= 0.819826 C.V = 28.10838 Duncan 2 3 0.05
2.085
2.190
0.01
2.815
2.936
Pr>F 0.0001
Pr>F 0.0001
Pr>F 0.0001
Lampiran 4 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap beras ketan hitam Sumber db JK KT Nilai F Pr>F Perlakuan 2 382.63969327 191.31984663 37.01 0.0001 Galat 27 139.57693770 5.16951621 Total 29 522.21663097 R-Kuadrat= 0.732722 C.V = 52.64760
Duncan
2
3
0.05
2.086
2.192
0.01
2.817
2.938
Lampiran 5 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap rodentisida akut vs umpan (kentang variasi berbumbu plus seng fosfida vs kentang) Sumber db JK KT Nilai F Pr>F Perlakuan 2 76.57944175 38.28972087 2.10 0.1470 Galat 21 82.23247187 18.20154628 Total 23 458.81191362 R-Kuadrat= 0.166908 C.V = 105.1499 Duncan 2 3 0.05
4.436
4.657
0.01
6.040
6.300
Lampiran 6 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap rodentisida kronis (antikoagulan generasi pertama vs kedua) Sumber db JK KT Nilai F Pr>F Perlakuan 3 0.00141875 0.00047292 1.50 0.2346 Galat 32 0.01012200 0.00031631 Total 35 0.01154075 R-Kuadrat= 0.122934 C.V = 151.3632 Duncan 2 3 4 0.05 0.01
0.01708 0.02296
0.01795 0.02394
0.01852 0.02460
Lampiran 7 Analisis ragam konsumsi tikus riul terhadap rodentisida akut vs kronis Sumber db JK KT Nilai F Pr>F Perlakuan 4 0.00730554 0.00182639 31.94 0.0001 Galat 30 0.00171543 0.00005718 Total 34 0.00902097 R-Kuadrat= 0.809840 C.V = 96.59245 Duncan 2 3 4 5 0.05
0.008255
0.01
0.01112
0.008675 0.008947 0.01159
0.01191
0.009142
0.01215