Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 21 No. 1 April 2011: 43 – 59
PREDIKSI LANDAAN TSUNAMI UNTUK WILAYAH PANTAI DI KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR Yudhicara Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi – Badan Geologi
Sari Wilayah Kabupaten Pacitan memiliki garis pantai yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, yang secara geologis merupakan daerah tepian benua aktif yang dicirikan dengan aktivitas kegempaan yang intensif dan sebagian berpotensi menimbulkan tsunami. Wilayah pantai daerah penelitian umumnya berbentuk teluk, baik terbuka maupun semi tertutup. Pantai berteluk tersebut memiliki dataran pesisir dengan morfologi yang relatif datar dan dimanfaatkan penduduk sebagai pemukiman dengan segala aktivitasnya. Kondisi pantai demikian memiliki risiko terkena dampak tsunami lebih tinggi dibandingkan dengan pantai lurus atau pantai yang membentuk tanjung. Pemodelan tsunami yang digunakan untuk membuat prediksi landaan tsunami di wilayah Kabupaten Pacitan ini mengacu pada tiga model sumber gempa bumi yang pernah terjadi dengan magnitudo bervariasi (Mw7,8; Mw8,0 dan Mw8,5). Gempa bumi tersebut pernah terjadi di Samudra Hindia di selatan Jawa, yaitu gempa bumi Banyuwangi 3 Juni 1994 (model 1) dan gempa bumi selatan Jawa tanggal 20 Oktober 1859 (model 2). Sementara model ketiga menggunakan parameter gempa bumi yang terjadi pada tanggal 11 September 1921 yang ditempatkan tegak lurus di selatan daerah penelitian. Berdasarkan hasil pemodelan diperoleh ketinggian tsunami maksimum untuk model 1 sebesar 4,16 m, model 2 sebesar 22,30 m dan model 3 sebesar 43,20 m. Lokasi yang mengalami ketinggian tsunami maksimum terdapat di Teluk Pacitan bagian timur. Jarak jangkauan tsunami maksimum yang dihasilkan oleh model 1 mencapai 0,421 km, model 2 sebesar 2,9 km, sedangkan model 3 sebesar 6,17 km. Waktu perjalanan gelombang tsunami di darat paling cepat adalah 26 menit setelah kejadian gempa utama. Kata kunci: Pacitan, morfologi pantai, tsunami, pemodelan tsunami.
Abstract Pacitan region has a coastline facing the Indian Ocean, which is geologically an active continental margin and characterized by an intense earthquake activity and has a potential of tsunami. Generally the coastal area has a bay shape, either open or semi closed (enclosed) bay. This area has a relatively flat morphology and people utilizes it for settlement with accompanying activities. The coastal condition has a higher tsunami risk than a straight or headland coastline. A tsunami modeling of three historical earthquakes was used with varying magnitudes (Mw7.8; Mw8.0 and Mw8.5) to predict the tsunami prone areas along the southern coast of Pacitan. Two models had happened in the Indian Ocean, south of Java, namely Banyuwangi Earthquake on June 3, 1994 (model 1) and South of Java Earthquake on October 20, 1859 (model 2); the third model uses the September 11, 1921 earthquake, but the location is shifted exactly perpendicular to the studied area. Based on the tsunami modeling, the maximum tsunami height is 4.16 meters for model 1, 22.30 meters for model 2 and 43.20 meters for model 3. The location which has the maximum tsunami height is on the east bay of Pacitan. The maximum tsunami inundation resulting by model 1 is 0.421 km from the coastline landward; 2.9 km for model 2; and 6.17 km for model 3. The first tsunami arrival time is 26 minutes after the earthquake event. Keywords: Pacitan, coastal morphology, tsunami, tsunami modeling.
PENDAHULUAN Kabupaten Pacitan terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur. Secara administratif Kabupaten Pacitan berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo di utara, Kabupaten Trenggalek di timur, Kabupaten Wonogiri di barat dan berbatasan dengan Samudra Hindia di selatan. Wilayah Kabupaten Pacitan memiliki garis pantai yang berhadapan langsung dengan Samudra
Hindia, yang secara geologis merupakan daerah tepian benua aktif karena merupakan pertemuan antara lempeng samudra Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia yang dicirikan dengan aktivitas kegempaan yang sangat intensif. Sebagian besar gempa bumi berpusat di dasar laut, dan beberapa di antaranya pernah menimbulkan tsunami (gempa bumi Banyuwangi 1994 dan gempa bumi Pangandaran 2006). Pantai Pacitan yang memiliki morfologi relatif landai dengan
43
Prediksi Landaan Tsunami untuk Kawasan Pantai di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Yudhicara) bentuk pantai berteluk dan berkantong memiliki potensi terkena dampak tsunami cukup signifikan. Wilayah Kabupaten Pacitan memiliki ibukota yang berada di kawasan pantai yang memiliki morfologi landai dengan bentuk pantai berteluk. Kawasan di sepanjang pantai yang termasuk ke dalam wilayah Pacitan lainnya memiliki beragam aktivitas perekonomian dari tempat pelelangan ikan hingga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kondisi pantai Pacitan yang bersih dengan keindahan yang alami, sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai tempat kunjungan wisata bahari yang telah banyak dikunjungi, baik wisatawan domestik maupun luar negeri. Berdasarkan kondisi tersebut, daerah penelitian sangat menarik untuk dikaji potensi bahayanya, terutama dalam hal tsunami. Hasil penelitian lapangan yang dikombinasikan dengan pemodelan tsunami menghasilkan perkiraan dampak landaan tsunami di kawasan pantai daerah penelitian. Data ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai dasar dan informasi dalam perencanaan dan pengembangan kawasan pantai di wilayah Kabupaten Pacitan. Selain itu untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya tsunami yang dapat terjadi setiap saat, sehingga dapat memperkecil dampak (mitigasi) dan mengantisipasi langkahlangkah penye lamatan diri dengan memanfaatkan potensi alami yang dimiliki kawasan pantai.
LOKASI DAERAH PENELITIAN Lokasi daerah penelitian adalah kawasan sepanjang pantai yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur, dengan
Gambar 1. Lokasi Daerah Penelitian
44
posisi geografis antara 111°00’BT – 111°30’BT dan 8°10’LS – 8°20’LS (Gambar 1). Lokasi penelitian dapat dicapai menggunakan kendaraan bermotor roda empat, untuk mencapai daerah-daerah tertentu yang sulit dijangkau dilakukan dengan berjalan kaki.
KONDISI UMUM Tatanan Tektonik Jawa Tektonik regional wilayah Jawa dikontrol oleh tektonik zona subduksi lempeng IndoAustralia terhadap lempeng Eurasia di selatan Jawa. Tektonik zona tunjaman lempeng di selatan Jawa ini, mengakibatkan terbentuknya strukturstruktur geologi regional di wilayah daratan Jawa, berupa pensesaran permukaan dengan mekanisme sesar naik, sesar normal dan sesar mendatar. Gambar 2 memperlihatkan sebaran kegempaan dan solusi mekanisme gempa bumi yang menggambarkan keterkaitannya dengan kondisi tektonik regional di wilayah Jawa dan sekitarnya. Kegempaan Regional Berdasarkan pembagian zona tektonik oleh Holing dan Ferner (1978), wilayah Jawa memiliki potensi kegempaan dengan besaran magnitudo hingga 8 Skala Richter. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi sumber gempa bumi, baik yang terdapat pada pertemuan antarlempeng tektonik (interplate tectonic) di selatan Jawa, maupun gempa bumi yang terdapat pada lempeng tektonik (intraplate tectonic) di daratan Jawa. Berdasarkan pembagian seismotektonik tersebut, daerah penelitian termasuk ke dalam wilayah busur aktif hingga sangat aktif.
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 21 No. 1 April 2011: 43 – 59
Gambar 2. Peta Seismotektonik Jawa dan Bali (Soehami dan Sofyan, 2007) Gempa-gempa dengan mekanisme vertikal (sesar naik dan sesar normal) yang terjadi pada zona subduksi dengan kriteria tertentu (magnitudo > 7 Skala Richter dan kedalaman dangkal 0 – 60 km) berpotensi menimbulkan tsunami seperti yang pernah terjadi di selatan Jawa, diantaranya tanggal 3 Juni 1994 (Gempa bumi Banyuwangi) dan 17 Juli 2006 (Gempa bumi Pangandaran). Sementara tsunami yang pernah terjadi di selatan Pacitan adalah tanggal 20 Oktober 1859 (Soloviev dan Go, 1974).
METODOLOGI Metodologi penelitian antara lain pengumpulan data sekunder, kegiatan lapangan, pemodelan dan pengolahan data. Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan sebelum pelaksanaan kegiatan lapangan, melalui studi pustaka hasil penelitian terdahulu. Di antaranya berasal dari peta geologi, peta rupa bumi, peta batimetri analog, data kegempaan, data seismotektonik, sejarah tsunami, dan data lainnya. Data sekunder tersebut diharapkan memberikan gambaran umum mengenai daerah penelitian,
diantaranya: bentuk garis pantai, morfologi dan geologi kawasan pantai. Kegiatan Lapangan Kegiatan lapangan meliputi pengukuran terhadap wilayah penelitian, di antaranya penentuan posisi, pengamatan karakteristik pantai, pengukuran penampang pantai secara lateral dan vertikal, dan pencarian jejak-jejak tsunami yang mungkin masih tertinggal dari kejadian tsunami di masa lampau. Pemodelan Tsunami dan Pengolahan Data Pengerjaan pemodelan tsunami meliputi penyiapan daerah perhitungan, mengekstrak dan menganalisis data batimetri, menentukan parameter kegempaan dan menggunakan kedua input tersebut dalam pemodelan perambatan tsunami untuk mendapatkan nilai ketinggian dan jarak jangkauan gelombang tsunami di darat. Hasil pemodelan ini dikorelasikan dengan data lapangan dan menjadi dasar penentuan tingkat kerawanan bencana tsunami. Data topografi darat dan kedalaman dasar laut (batimetri) yang digunakan sebagai input pemodelan adalah data yang diperoleh dari data global GEBCO (General Bathymetric Chart of the
45
Prediksi Landaan Tsunami untuk Kawasan Pantai di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Yudhicara) Ocean) dengan akurasi 1 menit. Langkah pertama yang dilakukan adalah meng-ekstrak data batimetri global sesuai dengan batasan daerah perhitungan, menginterpolasi data tersebut untuk membuat daerah perhitungan dengan ukuran grid yang lebih kecil, dan dengan bahasa matlab secara 2 dimensi dan 3 dimensi. Sebagai input dalam pemodelan tsunami, data batimetri dibagi menjadi tiga ukuran grid, yaitu grid A, grid B, dan grid C. Grid A untuk ukuran grid lebih kasar, diperuntukkan untuk daerah yang lebih luas tempat sumber tsunami termasuk di dalamnya. Grid B memiliki ukuran grid lebih halus dengan akurasi lebih rinci, dan diperuntukkan bagi daerah yang akan dihitung ketinggian dan genangan tsunami ke daratan. Grid C diperuntukkan untuk data topografi dan batimetri detail, yang diperoleh dari Dinas Hidro-oseanografi yang dimasukkan sebagai data input, diaplikasikan untuk daerah Teluk Pacitan yang dianggap memiliki tingkat kerawanan tsunami paling besar. Daerah ini merupakan daerah pedataran pantai yang sangat
luas, dan sebagai ibukota Kabupaten Pacitan yang sarat dengan aktivitas penduduk. Penentuan Parameter Sumber Tsunami Pemodelan tsunami yang digunakan untuk memprediksi landaan tsunami di wilayah Kabupaten Pacitan ini mengacu pada tiga model sumber gempa bumi dengan magnitudo bervariasi (Mw7,8; Mw8,0 dan Mw8,5). Parameter gempa bumi untuk dua model sumber pertama mengacu pada kejadian tsunami yang pernah terjadi di Samudra Hindia selatan Jawa, yaitu gempa Banyuwangi 3 Juni 1994 (model 1) dan gempa selatan Jawa tanggal 20 Oktober 1859 (model 2). Sementara model ketiga menggunakan parameter gempa bumi yang terjadi pada tanggal 11 September 1921 namun dengan lokasi yang ditempatkan tegak lurus di selatan daerah penelitian (Gambar 3). Selanjutnya adalah memasukkan parameter input kegempaan dan input data topografi darat dan laut ke dalam program numerik yang menggunakan dasar teori perairan dangkal (shallow water theory).
Tabel 1. Parameter kegempaan yang digunakan dalam pemodelan tsunami Parameter Gempa Koordinat Titik Acuan Panjang Rupture Area (km) Lebar Rupture Area (km) Kedalaman (km) Strike (°) Dip (°) Slip (m) Rake (°) Magnitudo (Mw)
Model 1 113,4°BT 10,85°LS 125.89 61,38 18 280 15 16,29 90 7,8
Model 2 111,70°BT 9,63°LS 162,18 70,79 10 275 15 21,88 90 7,9
Model 3 112,437°BT 10,575°LS 305,48 101,16 20 280 15 45,7 90 8,5
P. JAWA
SAMUDERA HINDIA
Gambar 3. Lokasi tiga model sumber gempa bumi (Yudhicara dan Cipta, 2009).
46
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 21 No. 1 April 2011: 43 – 59 Teori Perairan Theory)
Dangkal
(Shallow
Water
Teori perairan dangkal adalah pendekatan yang digunakan dalam melakukan pemodelan tsunami secara numerik. Tiga persamaan matematika dasar yang digunakan adalah persamaan gerak (equation of motion) dan persamaan kontinuitas (equation of continuity) (Ortiz dan Tanioka, 2005), yaitu:
u u u x u v g 0 t x y x
(1)
u h v h 0 t x y
(2)
v v v y u v g 0 t x y y
(3)
y
percepatan
gravitasi,
dan
x
f u u2 v2 D
dan
(4)
f v u2 v2 D
D adalah kedalaman total yang dihasilkan oleh h + dan f adalah koefisien gesek. Program ini mengacu pada kekasaran Manning (n) yang lebih populer digunakan di kalangan Teknik Sipil, yaitu :
n
fD 1 / 3 , sehingga kekasaran dasar laut 2g
kemudian diekspresikan sebagai berikut:
x dan y adalah koordinat horizontal, t adalah waktu, h adalah kedalaman air, adalah perpindahan tinggi air di atas permukaan laut, u dan v adalah kecepatan partikel air arah x dan y, g adalah
x 1 2g y 1 2g
dan
adalah gesekan dasar laut arah x dan y.
Gesekan dasar laut diekspresikan dalam bentuk sebagai berikut:
x gn 2 4/3 u u2 v2 D
(5)
dan
y gn 2 4/3 v u2 v2 D
(6)
Langkah berikutnya adalah memperkenalkan pelepasan flux dalam arah x dan y, yaitu M dan N yang dihubungkan dengan kecepatan u dan v.
M u(h ) uD , dan N v(h ) vD
(7)
Integrasi persamaan (1) dan (3) dari dasar laut ke permukaan laut, maka teori perairan dangkal (shallow water theory) yang dihasilkan oleh pelepasan flux M dan N adalah sebagai berikut:
M N 0 t x y
(8)
MN gn 2 7/3 M M 2 N 2 0 gD x D y D N MN N 2 gn 2 gD 7/3 N M 2 N 2 0 t x D y D y D M M2 t x D
Ketiga persamaan ini menjadi persamaan dasar yang digunakan pada perhitungan tsunami dalam laporan ini. Pengolahan Data Lapangan dan Penunjang Data lapangan dan data penunjang diolah dan dianalisis dengan cara sebagai berikut: 1. Menyiakan peta dasar digital, dan memindahkan data lapangan ke dalam peta; 2. Membuat penampang lateral pantai dengan skala vertikal dan horizontal yang disesuaikan dengan kondisi sebenarnya di lapangan; 3. Menganalisis data topografi darat dan kedalaman dasar laut di daerah penelitian
4. 5.
(9) (10)
sebagai dasar penentuan waktu tiba gelombang tsunami di daerah penelitian; Menentukan jalur-jalur rute evakuasi dan lokasi pengungsian; dan Memberikan rekomendasi teknis dalam upaya mitigasi bencana tsunami.
DATA DAN PERALATAN 1.
Data yang digunakan antara lain adalah: Peta topografi dari US Army (AMS), edisi tahun 1964, skala 1 : 50.000, lembar 5118-I Giritontro, lembar 5218-IV Punung dan lembar 5218-III Patjitan;
47
Prediksi Landaan Tsunami untuk Kawasan Pantai di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Yudhicara) 2.
Peta Rupabumi Digital lembar P. Jawa dari Bakosurtanal edisi tahun 2004. 3. Data topografi darat global dari Suttle Radar Topographical Mapping (SRTM); 4. Peta Batimetri digital lokal dari Dinas HidroOseangrafi TNI-AL dan global dari GEBCO (General Bathymetric Chart of the Ocean) dengan akurasi 1 menit; 5. Data Kegempaan dari Incorporated Research Institute for Seismology (IRIS), (2009); 6. Data Tektonik Regional dari Hamilton (1979); 7. Prediksi pasang surut tahun 2009 dari Hidro Oseanografi (HIDROS) TNI-AL pada buku laporan tahun 2008; 8. Tulisan hasil penelitian terdahulu yang telah terbit maupun yang belum terbit. Peralatan yang digunakan dalam kegiatan lapangan antara lain adalah: 1. Seperangkat Total Station TS 1200 2. GPS (Global Positioning System) 3. Palu dan Kompas Geologi 4. Skala ukur (meteran) 5. Kamera 6. Alat Tulis
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Morfologi / Relief dan Karakter Garis Pantai Morfologi pantai di daerah penelitian dapat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu morfologi pedataran pantai yang landai dengan relief rendah; morfologi pantai landai hingga bergelombang dengan relief menengah; dan morfologi pantai perbukitan berbatu yang terjal dengan relief tinggi (Yudhicara dan Cipta 2009). Morfologi pedataran pantai landai dengan relief rendah dijumpai di daerah pantai Teleng Ria hingga Barean di Teluk Pacitan (Gambar 4), Pantai Taman (Gambar 5) dan Pantai Bawur. Pantai dengan morfologi demikian umumnya memiliki garis pantai yang membentuk teluk terbuka (open bay). Pantai yang memiliki morfologi landai ini memiliki potensi jangkauan
Gambar 4. Morfologi pedataran pantai Teluk Pacitan.
48
gelombang tsunami ke arah darat cukup jauh. Karena pedataran pantai yang luas, maka rute evakuasi harus diarahkan ke lokasi yang memiliki elevasi lebih tinggi, baik itu ke arah perbukitan maupun bangunan pantai yang dibuat tinggi dan kokoh ke arah vertikal. Sementara pantai dengan morfologi landai hingga menengah terdapat di pantai Klayar, Watukarung, Srau, sepanjang pantai sebelah timur Teluk Pacitan hingga Wawaran (Gambar 6a), dan pantai Tawang. Umumnya pantai-pantai ini membentuk kantong-kantong pantai dan teluk setengah tertutup (semienclosed bay). Kiri dan kanan pantai disusun oleh batuan dasar dan batugamping terumbu yang bersifat menahan gelombang. Pada pantai dengan morfologi rendah hingga menengah tersebut, potensi jangkauan tsunami tidak akan jauh masuk ke daratan, karena akan tereduksi oleh dinding perbukitan yang membentuk morfologi pantai. Namun, dataran pantai yang dimanfaatkan oleh penduduk sebagai tempat pemukiman nelayan cukup rawan karena akan segera tersapu oleh gelombang begitu tsunami datang. Sebagai kebalikan dari daerah pantai bermorfologi rendah, di daerah dengan morfologi tinggi rute evakuasi dapat diarahkan secara langsung menuju perbukitan yang terdapat di sekeliling pantai. Morfologi yang ketiga adalah morfologi terjal dengan relief tinggi, seperti yang terdapat di pantai Karang Bolong (Gambar 6b). Pemanfaatan Lahan Pemanfaatan lahan di daerah penelitian antara lain sebagai daerah wisata seperti di Teluk Pacitan (Pantai Teleng Ria), Pantai Srau, dan Pantai Klayar. Pantai-pantai ini memiliki beberapa kesamaan, antara lain disusun oleh endapan pasir berwarna putih dengan kandungan cangkang moluska dan fosil shumbergerella; dataran pantai yang luas; ombak besar yang dapat dimanfaatkan untuk berselancar, dan warung-warung wisata yang umumnya merupakan bangunan semi permanen yang terbuat dari kayu, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 7a.
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 21 No. 1 April 2011: 43 – 59
Gambar 5. Morfologi pedataran pantai di Teluk Taman
(a)
(b)
Gambar 6. Morfologi pantai rendah hingga menengah di Teluk Wawaran (a) dan pantai dengan morfologi tinggi di Karang Bolong (b). Di beberapa lokasi pantai telah dikembangkan dengan dibangunnya penginapan dan arena bermain seperti di Pantai Teleng Ria, sehingga apabila terjadi tsunami kerusakan akan dialami oleh bangunan-bangunan wisata ini. Sementara Pantai Srau merupakan pantai dengan panorama yang indah dan bersih, namun bangunan pantai dan aktivitas lainnya belum tampak di lokasi ini (Gambar 7b). Kondisi ombak di Pantai Srau ini cukup tinggi, sehingga dimanfaatkan oleh wisatawan
baik asing maupun domestik sebagai tempat untuk berselancar. Pemukiman di pantai Teleng Ria dibangun jauh dari pantai; di pantai Barean pemukiman bahkan dibangun di belakang gumuk pasir, sehingga relatif aman dari jangkauan tsunami. Di pantai Wawaran dan Tawang, lokasi pemukiman dan tempat pelelangan ikan (TPI) sangat dekat dengan garis pantai. Tempat tambat perahu nelayanpun dapat berpotensi menjadi penghancur bangunan rumah penduduk apabila tsunami datang, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 8a dan 8b.
(a)
(b)
Gambar 7. Warung-warung wisata di pantai Teleng Ria (a) dan pantai Srau (b)
49
Prediksi Landaan Tsunami untuk Kawasan Pantai di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Yudhicara)
(b)
(a)
Gambar 8. Pemukiman nelayan di pantai Watukarung (a) dan Wawaran (b)
(b)
(a)
Gambar 9. Bangunan industri (a) dan pelabuhan (b) di Teluk Pacitan Di Teluk Pacitan bagian barat dijumpai bangunan industri (Gambar 9a) dan pelabuhan (Gambar 9b), sedangkan di pantai Bawur dibangun kawasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) (Gambar 10).
Hasil Pengukuran Lateral Pantai Kondisi morfologi pantai merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi tingginya run up gelombang tsunami pada saat mencapai daratan. Gelombang tersebut merayap mengikuti kelandaian pantai dengan kecepatan yang relatif cepat dan menghanyutkan, merobohkan rumahrumah nelayan, serta menyeret benda-benda sampai ke daratan. Berdasarkan hasil pengukuran lateral pantai, kondisi topografi di beberapa lokasi pengamatan tercantum pada Tabel 2. Hasil pengukuran di atas, setelah dikoreksi dengan nilai duduk tengah muka laut (mean sea level) / MSL hasil prediksi pasang surut tahunan dari Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL untuk
50
tahun 2009, merupakan nilai beda tinggi yang sebenarnya. Nilai pengamatan pasang surut mengacu pada stasiun Teluk Perigi yang terletak pada koordinat 08°17’14”LS – 111°43’44”BT. Berdasarkan hasil pengukuran lateral pantai diketahui bahwa beda tinggi maksimum pedataran pantai terhadap MSL diperoleh di pantai Barean, Teluk Pacitan sebesar 2,6 m. Hal ini berarti apabila gelombang tsunami tiba di daerah ini ketinggian air setelah tiba di darat dikurangi dengan nilai tersebut (contoh: untuk ketinggian gelombang tsunami hasil pemodelan 5 m, setelah mencapai lokasi ini, ketinggian air hanya sebesar 2,4 m di atas permukaan tanah). Beda tinggi minimum suatu dataran pantai terhadap MSL terdapat di pantai Klayar sebesar 1,23 m. Ini berarti bahwa saat gelombang tsunami datang ketingian air yang datang ke darat ditambahkan dengan nilai tersebut.
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 21 No. 1 April 2011: 43 – 59
Gambar 10. pembangunan kawasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Teluk Bawur Tabel 2. Hasil Pengukuran Lateral Pantai (Yudhicara dan Cipta, 2009) Posisi Koordinat No. Sta.
Lokasi Pengamatan
BT (°)
LS (°)
Slope Pantai (°)
MSL (m)
Jarak Horizontal (m)
Beda Tinggi (m)
BT-MSL (m)
1
Teleng Ria
111,0756
8,22340
5
0,6
95,2724
2,6226
2,0226
2
Teleng Ria
111,0796
8,22108
4
0,5
124,588
2,0396
1,5396
4
Barean
111.0892
8,22007
10
0,4
222,2796
3,0142
2,6142
5
Srau
111,0161
8,25218
27
0,5
17,0519
0,9606
0,4606
6
Watukarung
110,9784
8,24018
10
1,1
77,8153
3,2192
2,1192
7
Pantai Klayar
110,9333
8,22300
12
1,4
30,8605
0,1677
-1,2323
8
Wawaran
111,2007
8,26533
3
0,7
47,6018
2,1158
1,4158
9
Tawang
111,2882
8,25967
3
0,3
17,9907
1,0148
0,7148
10
Teluk Bawur
111,3752
8,26585
10
0,2
9,4308
2,3536
2,1536
Jarak horizontal yang diperoleh dari pengukuran menunjukkan jarak bangunan pantai yang terdekat yang dibangun terhadap garis pantai. Jarak horizontal maksimum terdapat di pantai Barean sebesar 222,3 m, hal ini berarti bahwa jarak jangkauan tsunami setinggi nilai ketinggian yang telah dikurangi dengan beda tinggi terhadap MSL akan mencapai lokasi ini. Sedangkan jarak horizontal minimum bangunan yang paling dekat dibangun terhadap garis pantai terdapat di daerah pantai Srau, yaitu sebesar 17,05 m. Namun, bangunan ini bukanlah pemukiman penduduk, melainkan bangunan wisata.
Hasil Analisis Batimetri Gelombang tsunami sangat dipengaruhi oleh kedalaman dasar laut yang akan memengaruhi kecepatan perambatan gelombang tsunami. Gelombang tsunami yang melalui dasar laut yang dalam akan memiliki kecepatan rambat lebih besar dibandingkan dengan apabila melalui dasar laut dangkal. Amplitudo gelombang tsunami akan lebih tinggi di laut dangkal dibandingkan dengan
di laut dalam. Kecepatan rambat gelombang tsunami adalah akar kuadrat dari kedalaman dasar laut dikalikan dengan gaya tarik bumi. Data batimetri selatan Jawa yang diperlihatkan pada Gambar 11, menunjukkan bahwa perairan selatan Pacitan memiliki pola sejajar pantai dengan kedalaman dangkal yang berangsur makin dalam ke arah laut lepas (Soeprapto, 2004).
Prediksi Landaan Tsunami Gelombang tsunami akan sangat dipengaruhi oleh geometri pantai (arah lateral). Di daerah penelitian, pantai yang berbentuk teluk atau berkantong (pocket beach) akan berpotensi memiliki tinggi gelombang lebih tinggi dibandingkan dengan pantai memanjang tanpa lekukan. Hal ini karena penumpukkan massa air akan terjadi di daerah teluk atau kantong pantai. Sementara pada pantai memanjang, massa air disebarkan ke segala arah saat mencapai garis pantai. Daerah penelitian yang didominasi bentuk teluk dan kantong pantai akan berisiko memiliki ketinggian tsunami tinggi, misalnya di Teluk Pacitan, Teluk Wawaran dan Teluk Bawur.
51
Prediksi Landaan Tsunami untuk Kawasan Pantai di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Yudhicara)
Gambar 11. Gambaran topografi dan batimetri di perairan selatan Jawa (Soeprapto, 2004) Kelandaian pantai (arah vertikal); jangkauan gelombang tsunami akan semakin besar dan bertambah pada daerah pantai yang relatif landai dengan kemiringan bibir pantai yang kecil dibandingkan dengan pantai yang relatif dalam dan curam atau yang memiliki kemiringan bibir pantai yang lebih besar. Kemiringan bibir pantai di daerah penelitian berkisar antara 3° (di Pantai Wawaran dan Tawang) hingga 27° (di Pantai Srau). Pantai yang tersusun oleh endapan aluvium dengan morfologi landai seperti di Teluk Pacitan akan berpotensi memiliki jarak jangkauan tsunami terjauh dibandingkan dengan di daerah pantai yang memiliki morfologi curam seperti di Pantai Wawaran dan Srau. Hal ini disebabkan morfologi terjal tersebut dapat mereduksi energi gelombang tsunami yang datang, sehingga energinya berkurang atau terlebih dahulu pecah sebelum jauh merambat masuk ke arah daratan. Pencapaian gelombang tsunami akan ditentukan oleh lokasi sumber tsunami. Apabila sumber berada sangat jauh dari daerah penelitian, maka jangkauan gelombang tsunami akan lebih kecil dibandingkan apabila lokasi sumber tsunami yang dekat.
52
Pemodelan tsunami menggunakan sumber gempa seperti tercantum dalam Tabel 1 akan menghasilkan nilai ketinggian dan jarak jangkauan tsunami yang berbeda-beda. Untuk model 1, ketinggian tsunami maksimum yang dihasilkan adalah sebesar 4,16 m, sedangkan model 2 menghasilkan ketinggian gelombang tsunami maksimum sebesar 22,30 m dan model 3 menghasilkan ketinggian maksimum hingga 43,20 m. Lokasi yang mengalami ketinggian tsunami maksimum terdapat di Teluk Pacitan bagian timur. Jarak jangkauan tsunami maksimum yang dihasilkan oleh model 1 (Gambar 12) mencapai 0,421 km, model 2 (Gambar 13) menghasilkan jarak jangkauan tsunami sebesar 2,9 km, sedangkan model 3 (Gambar 14) menghasilkan jangkauan tsunami maksimum 6,17 km. Waktu tiba gelombang tsunami di darat paling cepat adalah 26 menit setelah kejadian gempa utama, seperti yang diperlihatkan oleh Gambar 15, yang merupakan hasil perambatan model terparah pada model 3. Hasil pemodelan ini menunjukkan jangka waktu yang penting untuk tindakan penyelamatan diri.
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 21 No. 1 April 2011: 43 – 59 Ketiga model digunakan sebagai skenario sumber gempa yang dimodelkan untuk masingmasing tingkat kerawanan tsunami yang digambarkan pada Peta Kerawanan Tsunami (Gambar 16). Untuk tingkat kerawanan tsunami tinggi (zona merah) menggunakan skenario model gempa bumi berdasarkan beberapa kejadian tsunami sesungguhnya di selatan Jawa, dengan intensitas tsunami antara 1,5 hingga 2,5. Untuk tingkat kerawanan tsunami menengah (zona kuning) menggunakan model gempa yang terdapat di selatan Jawa dengan lokasi tegak lurus terhadap daerah penelitian. Untuk tingkat kerawanan tsunami rendah (zona hijau) menggunakan parameter gempa yang sama dengan model kerawanan menengah, namun dengan nilai magnitudo yang diperbesar (Yudhicara dan Cipta, 2009).
Pacitan
Gambar 12. Jangkauan genangan maksimum berdasarkan model 1.
tsunami
Pacitan
Gambar 13. Jangkauan genangan maksimum berdasarkan model 2.
tsunami
Kawasan Rawan Tsunami Tinggi Kawasan rawan tsunami tinggi adalah kawasan yang memiliki tingkat kerawanan terhadap risiko landaan tsunami tinggi, baik dalam hal ketinggian maupun jangkauan genangan tsunami. Kawasan rawan tinggi memiliki potensi kerusakan aset dan risiko keselamatan penduduk lebih besar. Kawasan pantai yang termasuk wilayah ini memiliki jarak jangkauan yang berbeda-beda, jangkauan maksimum terdapat di pantai Wawaran sejauh ~ 1 km. Hal ini disebabkan pantai Wawaran memiliki bentuk teluk sempit dengan morfologi di dalam teluk landai dan kemiringan bibir pantai yang rendah 3°. Kawasan rawan tinggi lainnya adalah Teluk Pacitan yang memiliki bentuk topografi yang landai dan kedalaman dasar laut dekat pantai yang relatif dangkal. Potensi kerusakan aset akan cukup besar mengingat di daerah ini terdapat sarana pelabuhan. Lokasi PLTU di teluk Bawur juga perlu diwaspadai mengingat potensi kerusakan aset akan lumayan besar.
Kawasan Rawan Menengah
Pacitan
Kawasan rawan menengah adalah wilayah yang memiliki potensi landaan dan ketinggian gelombang lebih kecil dan risiko kerusakan aset lebih rendah dari kawasan rawan tinggi. Jarak jangkauan tsunami pada kawasan ini berkisar dari 0,1 hingga ~ 2 km (dari batas kawasan rawan tinggi. Landaan maksimum terdapat di teluk Pacitan dan di pantai Wawaran.
Kawasan Rawan Tsunami Rendah
Gambar 14. Jangkauan genangan maksimum berdasarkan model 3.
tsunami
Kawasan rawan tsunami rendah diperuntukkan bagi wilayah yang memiliki potensi landaan tsunami dan risiko kerusakan akibat tsunami paling kecil. Kawasan ini memiliki morfologi perbukitan dengan relief tinggi yang terdapat di sebelah utara kawasan rawan rendah.
53
Prediksi Landaan Tsunami untuk Kawasan Pantai di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Yudhicara)
0
5
10 km
Kawasan Rawan Tsunami Tinggi: Kawasan ini memiliki tingkat kerawanan tinggi, dalam hal resiko landaan tsunami baik ketinggian maupun jangkauan genangan tsunami, berpotensi terjadi pantai teluk Pacitan bagian timur (Sungai Grindulu) sejauh 6 km dengan ketinggian maksimum mencapai 4 meter. Kawasan ini umumnya memiliki karakteristik pantai yang disusun oleh endapan pasir lepas, morfologi landai, relief rendah, bentuk pantai sebagian teluk dan sebagian pantai lurus, kemiringan pantai berkisar 0° - 5°. Kawasan Rawan Tsunami Menengah: Ketinggian topografi berkisar antara 10 - 25 meter di atas muka laut. Runup tsunami diperkirakan berkisar 1 - 5 meter. Merupakan zona berpotensi terkena landaan tsunami dengan tingkat kerusakan menengah. Karakteristik pantai morfologi bergelombang dengan relief sedang. Rute evakuasi akan diarahkan melalui kawasan rasan tsunami menengah ini. Kawasan Rawan Tsunami Rendah: yaitu daerah dengan ketinggian topografi lebih dari 25 meter di atas muka laut. Runup tsunami diperkirakan berkisar antara 0 - 1 meter. Memiliki potensi kerusakan paling kecil akibat tsunami. Zona ini dapat dijadikan tujuan evakuasi dan lokasi pengungsian apabila terjadi tsunami. Di sepanjang pantai ditandai dengan morfologi yang terjal dengan relief tinggi dan tersingkap batuan.
Gambar 16. Peta Kawasan Rawan Tsunami Pantai Selatan Pacitan, Jawa Timur, (Yudhicara dan Cipta, 2009)
54
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 21 No. 1 April 2011: 43 – 59
Gambar 15. Model perambatan gelombangan tsunami untuk model 3 (M8,5).
LANGKAH-LANGKAH MITIGASI DAN ANTISIPASI DAMPAK TSUNAMI Jalur Hijau Cara yang paling efektif dan aman untuk mengurangi risiko dampak tsunami adalah dengan cara menanami kawasan sepanjang pantai di wilayah rawan tsunami. Di samping itu biaya yang dikeluarkan relatif murah dan pemeliharaan sangat mudah. Keberadaan jalur hijau pada peristiwa tsunami cukup menguntungkan karena dapat: Menghentikan laju benda-benda terapung (perahu, kayu, atau runtuhan bangunan) yang terbawa oleh gelombang tsunami ke darat. Mengurangi kecepatan aliran air dan mengurangi ketinggian genangan. Menyelamatkan orang hanyut (tersangkut di pohon). Meredam angin yang membawa material (pasir) berukuran halus sehingga membentuk gumuk pasir (dune) yang dapat menjadi penghalang tsunami. Di daerah penelitian keberadaan vegetasi di sepanjang pantai kurang begitu memadai, namun di beberapa lokasi terlihat adanya upaya penanaman pohon di sepanjang pantai, terutama yang terdapat di pantai Teleng Ria, Teluk Pacitan. Selain berfungsi sebagai penambah daya tarik
wisata, pepohonan ini dapat melindungi pantai dari terpaan gelombang pasang. Jenis tanaman pantai yang cocok untuk ditanam di daerah penelitian antara lain adalah pohon kelapa, ketapang, waru, pandan, dan nenas pantai.
Pelindung Alami dan Buatan Di daerah penelitian dijumpai pelindung alami berupa gumuk pasir (sand dune) atau sedimentasi akibat penumpukan pasir oleh ombak dan angin (Gambar 17). Pelindung alami tersebut di antaranya dijumpai di bagian timur Teluk Pacitan (pantai Barean). Keberadaan pulau-pulau kecil di hadapan pantai dapat bertindak sebagai penghalang apabila tsunami datang, sehingga pantai beserta penghuninya dapat terlindungi dengan keberadaan pulau-pulau ini. Gambar 18 memperlihatkan keberadaan pulau di hadapan pantai seperti yang dijumpai di pantai Tawang, Sidomulyo. Dinding pantai dan pemecah gelombang adalah jenis pelindung buatan yang efektif mereduksi gelombang, dapat dibangun di sepanjang pantai dengan tujuan untuk mengamankan wilayah pantai, pemukiman dan bangunan lainnya dari abrasi akibat hempasan ombak dan arus sepanjang pantai (longshore current).
55
Prediksi Landaan Tsunami untuk Kawasan Pantai di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Yudhicara)
Gambar 17. Gumuk pasir (sand dune) dijumpai di pantai Barean, Teluk Pacitan.
Gambar 18. Penghalang alami berupa pulau di hadapan pantai (lokasi: Pantai Tawang, Sidomulyo). Meskipun belum memadai, di beberapa tempat dijumpai pemecah gelombang seperti di Teluk Pacitan (Gambar 19a) dan di pantai Bawur yang merupakan lokasi pembangunan PLTU (Gambar 19b). Proyek ini juga telah membangun sistem pemecah gelombang berupa jetty (Gambar 20a). Di daerah penelitian jarang dijumpai adanya dinding pantai sebagai penahan ombak. Sebagai kawasan yang rawan tsunami, sebaiknya dibangun dinding-dinding pantai dengan ketinggian yang memadai dan konstruksi yang cukup baik, seperti yang telah dibangun di
(a)
Pangandaran pasca tsunami tanggal 17 Juli 2006 (Gambar 20b).
Rute Evakuasi dan Lokasi Pengungsian Daerah penelitian umumnya dibentuk oleh morfologi perbukitan, dengan ketinggian elevasi terhadap permukaan laut makin tinggi ke arah utara. Di beberapa tempat di sepanjang pantai daerah penelitian morfologi perbukitan membatasi pantai di bagian kiri dan kanan kantong pantai.
(b)
Gambar 19. Bangunan pemecah gelombang dijumpai di bagian barat Teluk Pacitan (a) dan di pantai Bawur di lokasi PLTU (b).
56
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 21 No. 1 April 2011: 43 – 59
Berdasarkan kondisi demikian, rute-rute evakuasi dan lokasi pengungsian dapat diarahkan ke tempat atau lokasi yang memiliki elevasi lebih tinggi terhadap permukaan laut, atau perbukitan yang ada di tepi pantai seperti di pantai Srau (Gambar 21a) dan pantai Klayar (Gambar 21b). Rute-rute evakuasi yang dilengkapi dengan rambu-rambu penunjuk rute hendaknya disiapkan
sedini mungkin dalam upaya memperkecil risiko terhadap bahaya tsunami seperti yang dijumpai di Teluk Pacitan (Gambar 22a) dan di beberapa tempat di sepanjang pantai. Gambar 22b memperlihatkan contoh papan peringatan tsunami dan prediksi landaan tsunami yang mungkin ditimbulkannya di Pantai Pangandaran, Jawa Barat.
(b)
(a)
Gambar 20. Bangunan Jetty di pantai Bawur (a) dan contoh dinding pantai di pantai Pangandaran (b)
(a)
(b)
Gambar 21. Perbukitan di sekitar pantai dengan elevasi tinggi dapat dijadikan tempat tujuan evakuasi dan lokasi pengungsian, contoh di pantai Srau (a) dan pantai Klayar (b).
(a)
(b)
Gambar 22. Rambu-rambu tsunami di Teluk Pacitan (a) dan contoh papan peringatan tsunami di Pantai Pangandaran (b).
57
Prediksi Landaan Tsunami untuk Kawasan Pantai di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur (Yudhicara)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
2.
3.
Kawasan sepanjang pantai yang termasuk wilayah Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur, merupakan daerah rawan tsunami. Hal ini dibuktikan dengan catatan sejarah adanya tsunami pada tahun 1859 diakibatkan oleh gempa di selatan Jawa yang berkekuatan Mw8,5; gempa di selatan Jawa tahun 1921 (Mw 7,5) dan gempa Banyuwangi tahun 1994 (Mw7,4). Beberapa faktor yang dapat memengaruhi besarnya landaan tsunami antara lain: karakteristik pantai yang didominasi oleh bentuk pantai berteluk dan berkantong, lokasi pemukiman yang sangat dekat dengan garis pantai, (Pantai Wawaran, Desa Sidomulyo); tutupan vegetasi yang minim, dan keberadaan pelindung buatan yang kurang memadai. Berdasarkan pemodelan tsunami menggunakan tiga model sumber gempa yang berasosiasi dengan zona subduksi Sunda menghasilkan ketinggian tsunami maksimum masing-masing sebesar 4,16 m; 22,3 m dan 43,2 m. Sementara jangkauan genangan tsunami maksimum hasil pemodelan ketiga sumber tersebut adalah sejauh 0,421 km, 2,9 km dan 6,17 km. Waktu tiba gelombang tsunami paling cepat mencapai daerah penelitian adalah 26 menit setelah kejadian gempa utama.
Saran 1.
2.
3.
58
Kawasan sepanjang pantai di daerah penelitian perlu ditingkatkan perlindungannya, yaitu dengan membuat jalur hijau berupa penanaman pohon yang cocok dengan kondisi pantai, seperti jenis pohon kelapa, ketapang, waru, pandan pantai, nenas pantai. Pelindung pantai berupa pemecah gelombang dan pelindung alami berupa pepohonan, pulau-pulau di hadapan pantai dan gumuk pasir yang sudah ada agar dijaga dan dilestarikan. Bangunan lainnya seperti dinding pantai diupayakan untuk dibangun dengan ketinggian minimal 2 m di sepanjang pantai yang peruntukannya digunakan sebagai tempat beraktivitasnya penduduk, baik sebagai pemukiman nelayan maupun tempat wisata, guna memperkecil energi yang dihasilkan oleh gelombang tsunami, sehingga gelombang tsunami akan teredam sebelum mencapai pantai. Penempatan pemukiman sebaiknya diupayakan menjauhi garis pantai, di belakang gumuk pasir atau ditempatkan di belakang
4.
5.
jalur hijau maupun pelindung buatan (dinding pantai). Rute-rute evakuasi dan lokasi pengungsian ke tempat yang lebih tinggi sebaiknya dibangun dan disiapkan sedini mungkin di setiap lokasi yang strategis dan mudah dijangkau oleh masyarakat dilengkapi dengan rambu-rambu penyelamatan. Rambu-rambu peringatan dan langkahlangkah penyelamatan sebaiknya terdapat di kawasan pantai agar baik masyarakat setempat maupun pengunjung (wisatawan) waspada terhadap bahaya tsunami
Ucapan Terimakasih : penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dan Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Gerakan Tanah yang telah memungkinkan penyelidikan ini dapat dilaksanakan. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Athanasius Cipta atas bantuannya. Terima kasih kami sampaikan pula kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pacitan beserta jajarannya, serta masyarakat di wilayah Kabupaten Pacitan telah membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan penyelidikan selama di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, 2004, Peta Rupa Bumi Digital, Skala 1 : 25.000, Lembar P. Jawa, Cibinong, Bogor. CITDB, 2007, The Integrated Tsunami Database for the World Ocean, CD-ROM, Tsunami Laboratory, ICMMG SD RAS, Novosibirsk Russian. Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region, U.S. Geological Survey, Professional Paper, 1078, 345 pp. Hidro-Oseanografi TNI AL, 2008, Buku Prediksi Pasang Surut Tahunan tahun 2009, Jakarta Holing, B.C. dan Ferner, 1978, Indonesian earthquake study : seismic zones for building construction in Indonesia vol. 3, Wellington. Incorporated Research Institute for Seismology (IRIS), 2009, List of Recent Earthquake for Java and Indian Ocean, 1964-2007, http://www.iris.washington.edu, online data Ortiz, M. dan Tanioka, Y., 2005, Catatan Kursus Pemrograman Pemodelan Tsunami, Quezon City, Filipina.
Buletin Geologi Tata Lingkungan (Bulletin of Environmental Geology) Vol. 21 No. 1 April 2011: 43 – 59 Soehaimi, A., dan Sopyan, Y., 2007, Peta Seismotektonik Jawa dan Bali, Pusat Survey Geologi, Bandung Soeprapto, T.A., 2004, Batimetri Selatan Jawa, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung Soloviev dan Ch.N.Go., 1974, Catalogue of Tsunami in the Western Pacific, Translation Russia.
Yudhicara dan Cipta, A., 2009, Laporan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tsunami, Wilayah Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Tidak Terbit.
59