NASKAH PUBLIKASI
PENGARUH PELATIHAN BECOMING A GOOD CONSUMER MELALUI PERSONAL DEVELOPMENT PLANNING (PDP) TERHADAP INTENSI PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI
Oleh : PRATIWI DAMAYANTI THOBAGUS MUH. NU’ MAN
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
1
2
PENGARUH PELATIHAN BECOMING A GOOD CONSUMER MELALUI PERSONAL DEVELOPMENT PLANNING (PDP) TERHADAP INTENSI PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI
Pratiwi Damayanti Thobagus Moh. Nu’ man
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh pelatihan becoming a good consumer melalui personal development planning (PDP) terhadap intensi perilaku konsumtif pada remaja putri. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan selisih skor pre test dan post test antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dan ada perbedaan skor pre test dan post test pada kelompok eksperimen. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja putri usia 16-18 tahun yang merupakan siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah 1 dan 2 Yogyakarta kelas XI. Subjek dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah metode purposive sampling. Adapun skala yang digunakan merupakan hasil penyusunan peneliti yang berjumlah 28 item, mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Mangkunegara (2002) dan Hidayati (2001). Metode Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 10,0 untuk menguji apakah terdapat pengaruh pelatihan becoming a good consumer melalui personal development planning (PDP) terhadap intensi perilaku konsumtif pada remaja putri. Independent t-test menunjukkan probabilitas sebesar 0,359 yang artinya tidak ada perbedaan selisih skor pre test dan post test antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Paired sample t-test menunjukkan probabilitas sebesar 0,349 yang artinya tidak ada perbedaan perbedaan skor pre test dan post test pada kelompok eksperimen. Jadi hipotesis penelitian ditolak. Kata Kunci : pelatihan becoming a good consumer, personal development planning (PDP), intensi perilaku konsumtif
Pengantar
3
Perkembangan zaman telah membawa implikasi pada perilaku membeli yang dilakukan individu. Membanjirnya barang-barang yang di pasarkan mempengaruhi perilaku pembelian dan pemakaian barang. Pembelian suatu produk bukan lagi didasari untuk memenuhi kebutuhan melainkan karena keinginan semata. Lubis mengatakan bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku membeli yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan yang rasional melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang sudah tidak rasional lagi (Lina&Rosyid, 1997). Dahlan menyebutkan bahwa pola konsumsi seperti ini terjadi pada hampir semua lapisan masyarakat, meskipun dengan kadar berbedabeda. Hampir tidak ada golongan yang luput dari hal tersebut (Mahdalela, 1998). Remaja sebagai salah satu golongan dalam masyarakat, tidak lepas dari pengaruh konsumtivisme ini sehingga tidaklah aneh jika remaja menjadi sasaran berbagai produk perusahaan (Jatman dalam Mahdalela, 1998). Konsumen muda berpotensi besar bagi dunia bisnis dan industri. Konsumen muda adalah sasaran potensial karena belum mampu menentukan prioritas kebutuhannya sendiri. Umumnya dalam memutuskan sesuatu, konsumen muda lebih mengandalkan emosi daripada rasionya. Konsumen muda cenderung menelan informasi secara langsung tanpa menyaringnya terlebih dahulu. Hidup dalam pola dan arus konsumtivisime membuat individu merasa tidak puas jika produk atau barang yang diinginkan belum dimiliki. Konsumen muda mengutamakan gaya hidup bertolak pada felt need saat membeli suatu produk yang ditawarkan daripada membeli kebutuhan yang memang diperlukan (real need). Pola hidup seperti itu
4
mendorong orang selalu ingin berlebihan tanpa peduli bagaimana cara mendapatkannya (www.kcm.co.id, 2006). Konsumen remaja mempunyai keinginan membeli yang tinggi, karena pada umumnya remaja mempunyai ciri khas dalam berpakaian, berdandan, gaya rambut, tingkah laku, kesenangan musik, dalam pertemuan dan pesta. Remaja ingin selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain terutama teman sebaya, sehingga remaja kebanyakan membelanjakan uang untuk keperluan tersebut (Monks dalam Mahdalela, 1998). Keinginan membeli yang tinggi pada remaja ditandai dengan adanya data yang menunjukkan bahwa pada tahun 1987, belanja tahunan remaja diperkirakan $234 miliar dan naik dengan kecepatan $7 miliar setahun (Engel dkk, 1995). Hal ini didukung dengan adanya data dunia yang menunjukkan bahwa pada tahun 2004, gedung bioskop menerima uang dari penjualan karcis sebanyak $ 9.4 milyar. Tahun 1999 penjualan melalui toko-toko perhiasan senilai $23.9 milyar. Tahun 1993 penjualan kosmetik sebesar $20 milyar. Data diatas menunjukkan bahwa mengeluarkan uang berlebihan untuk konsumsi dianggap sebagai suatu yang wajar dan memang harus dilakukan (Santoso, 2006). Kenyataan menunjukkan bahwa gerakan gaya hidup mewah atau konsumtif ini juga dilakukan kaum muda dan remaja putri (Wahyono dalam Lina&Rosyid, 1997). Kenyataan lain yang banyak dijumpai ialah kecenderungan di kalangan remaja Indonesia untuk meniru gaya hidup mewah dan perilaku yang sedang mewabah di negara-negara maju. Di kota-kota besar tampak banyaknya diskotik, rumah makan fast food kelas atas yang menawarkan makanan dan pelayanan berharga mahal dengan sasaran utama para remaja,
5
dan bila pengamatan dilakukan lebih jeli lagi ternyata tempat-tempat tersebut memang dijejali konsumen remaja (Lina&Rosyid, 1997). Menurut ACNielsen, 93 persen konsumen Indonesia termasuk recreational shoppers (pembelanja rekreasi). Mereka berbelanja bukan karena kebutuhan, tetapi lebih untuk kesenangan. Amerika Serikat (AS) yang masyarakatnya terkenal konsumtif hanya memiliki 68 persen konsumen yang recreational shoppers. Fenomena remaja yang sudah menyadari merek merupakan contoh lain dari gaya hidup konsumtif yang menghinggapi masyarakat Indonesia, seperti juga merayakan ulang tahun di hotel, menikmati segelas cokelat panas di kafe atau sekadar berkumpul di mal. Bahkan, remaja saat ini sudah mampu menghafal nama-nama merek asing seperti Gucci, Louis Vuitton, Armani, Prada, Dunhill, Zegna, Ferragamo, Tiffani & Co, Tuleh, Mulberry, Issey Miyake, Kate Spade, Escada, Cartier, Fendi, Chanel, Diesel, Chloe, Hermes, Coach, Polo, Ralph Lauren (www.kcm.co.id, 2006). Produk-produk yang dipandang sebagai lambang dan simbol status di kalangan remaja sangat mempengaruhi kebutuhan dan sikap hidup mereka (Lina&Rosyid, 1997). Loudon dan Bitta (1993) menyatakan bahwa remaja adalah kelompok yang berorientasi konsumtif, karena kelompok ini suka mencoba halhal yang dianggap baru dan bermerek. Remaja akan cenderung meniru modemode baru. Pola perilaku ini diperkuat dengan menjamurnya majalah remaja, iklan, dan media lain yang langsung maupun tidak langsung mengeksploitasi gaya hidup mewah secara mencolok dan bila diamati lebih jauh ternyata memang sebagian besar majalah dan iklan tersebut memang ditujukan bagi remaja putri. Majalah-majalah yang disajikan di pasaran, sebut saja cosmo girl, gadis, aneka dan kawanku memang telah menetapkan sasaran pasarnya pada
6
remaja putri sehingga tanpa disadari hal tersebut mendorong remaja putri untuk membeli dan terus membeli sehingga menyebabkan remaja putri semakin terjerat dalam perilaku konsumtif. Hadipranata
mengamati
bahwa
konsumen
wanita
mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk berperilaku konsumtif dibanding konsumen laki-laki, hal ini disebabkan konsumen wanita cenderung lebih emosional, sedangkan konsumen laki-laki lebih menggunakan nalar (Lina&Rosyid, 1997). Phares (Lina&Rosyid, 1997) menemukan bahwa dalam hal jumlah uang yang dibelanjakan, remaja putri membelanjakan uangnya hampir dua kali lebih banyak dari pada remaja pria. Reynold, Scott dan Warshaw (Lina&Rosyid, 1997) menambahkan bahwa remaja putri usia antara 16 sampai dengan 19 tahun membelanjakan uangnya lebih banyak untuk keperluan menunjang penampilan diri seperti sepatu, pakaian, kosmetik dan asesoris. Kekhawatiran terhadap gejala konsumtivisme lebih karena alasan bahwa konsumtivisme yang berlebihan cenderung menghancurkan nilai-nilai luhur budaya lokal, lunturnya identitas bangsa dan kesetiakawanan sosial, hancurnya industri nasional serta hancurnya lingkungan. Kekhawatiran itu beralasan karena konsumtivisme sudah seperti virus ganas, yang tidak saja menghinggapi kaum kaya di perkotaan, tapi juga mereka yang sehari-hari masih berkutat dengan masalah kebutuhan pangan (www.kcm.co.id, 2006). Perilaku konsumtif menjadi berbahaya karena akan terus mengakar dalam kehidupan remaja hingga dewasa. Gaya hidup konsumtif membutuhkan dana yang besar dan akan menjadi masalah pelik, jika ketika dewasa mereka berusaha melakukan apa saja untuk dapat memenuhi keinginan tersebut dan salah satu jalan pintas yang dapat ditempuh
7
adalah melalui korupsi. Perilaku konsumtif juga tidak hanya berdampak pada ekonomi, tapi juga berdampak pada psikologis, sosial, bahkan etika. Tidak sedikit remaja yang frustasi karena orang tua tidak mampu memenuhi segala keinginan mereka (www.kcm.co.id, 2005). Perlu disadari bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia khususnya remaja putri yang tergolong konsumtif saat ini sangat jauh dari konsep pembelian ideal yang seharusnya dilakukan oleh seorang konsumen. Idealnya, proses pengambilan keputusan pembelian melewati lima tahapan, tahapantahapan tersebut adalah analisa keinginan dan kebutuhan, penyelidikkan sumber eksternal, penilaian alternatif, proses pembelian nyata dan penilaian setelah pembelian (Swastha & Handoko, 2002). Proses pembelian yang tidak melalui tahapan-tahapan yang sempurna seperti yang dijelaskan diatas termasuk salah satu pola pembelian yang lebih dipengaruhi oleh emosi dan ini identik dengan perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif sendiri adalah perilaku pembelian yang ditandai dengan adanya pemborosan, tindakan impulsif, pencarian kesenangan (pleasure seeking) dan pencarian kepuasan (satisfaction seeking) (Hidayati, 2001). Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan diatas dapat dipahami bahwa perilaku konsumtif yang menjangkiti masyarakat indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun. Munculnya perilaku sendiri awalnya dimulai dengan adanya niat (intensi) karena niat adalah perantara faktor-faktor motivasional yang berdampak pada perilaku (Sukirno, 2005). Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa intensi perilaku konsumtif dipengaruhi oleh sikap terhadap faktor internal dan eksternal
8
(contohnya evaluasi positif atau negatif konsumen terhadap pengalaman belajar), norma-norma
subjektif
terhadap
faktor
internal
dan
eksternal
(contohnya persepsi kelompok sosial apakah akan menyetujui atau menolak tindakan konsumen ketika membeli barang obralan) dan kontrol terhadap perilaku yang dipersepsikan terhadap faktor internal dan eksternal (contohnya penilaian terhadap sikap konsumen untuk mampu membeli barang bermerek import di dalam mal). Ketiga hal ini akan memunculkan atau mengurungkan niat konsumen untuk melakukan perilaku konsumtif. Salah satu faktor yang mempengaruhi intensi perilaku konsumtif konsumen adalah sikap dan pembentukan sikap dapat dilakukan melalui pembelajaran atau pengalaman belajar. Pengalaman belajar konsumen akan menentukan tindakan dan pengambilan keputusan membeli. Belajar sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan perilaku akibat pengalaman sebelumnya (Swastha & Handoko, 2002). Perilaku konsumtif termasuk salah satu perilaku yang dapat mengakibatkan dampak negatif dalam diri konsumen, oleh karena itu untuk melakukan perubahan yang lebih baik bagi konsumen diperlukan suatu cara yang dapat mengatasi hal tersebut. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi intensi perilaku konsumtif adalah melalui pelatihan Becoming A Good Consumer Melalui Personal Development Planning (PDP), karena dengan adanya pelatihan ini konsumen akan diberikan pemahaman tentang proses pembelian secara rasional berdasarkan tahapan-tahapan pembelian yang sempurna bukan hanya mengedepankan emosi belaka. Selain itu, melalui pelatihan ini konsumen dapat melakukan perubahan melalui suatu proses pembelajaran.
9
Pelatihan Becoming A Good Consumer ditujukan agar individu dapat melakukan analisa kebutuhan yang notabene dilakukan untuk menanamkan pemahaman konsumen untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan sehingga konsumen dapat mengurungkan niat untuk melakukan pemborosan melalui pembentukan sikap negatif terhadap pemborosan tersebut. Konsumen juga diajarkan untuk melakukan pencarian informasi, penilaian dan seleksi terhadap alternatif pembelian. Melalui proses ini konsumen akan membentuk sikap negatif terhadap tindakan impulsif melalui pemahaman tentang pentingnya evaluasi sebagai suatu langkah proteksi diri dalam melakukan pembelian. Konsumen juga diberikan pemahaman tentang pentingnya membuat keputusan untuk membeli dengan tepat sehingga konsumen dapat membentuk sikap negatif terhadap pemborosan. Konsumen juga diajarkan untuk memperhatikan perilaku
sesudah
pembelian
hal
menumbuhkan sikap negatif terhadap
ini
ditujukan
agar
konsumen
dapat
pencarian kepuasan serta kesenangan
dalam membeli karena dengan mengevaluasi pasca pembelian konsumen dapat mengambil pelajaran dari tindakan pembelian yang sebelumnya telah mereka lakukan. Personal Development Planning (PDP) membantu peserta belajar membuat tujuan hidup, perencanaan, melakukan pencatatan terhadap potensi yang dimiliki, melakukan review serta evaluasi terhadap potensi dirinya serta mampu mengambil makna dan pelajaran dari hal-hal yang telah dipelajari sehingga mereka mampu memupuskan niat dalam melakukan pemborosan, tindakan impulsif, pencarian kesenangan serta pencarian kepuasan. Melalui tahapan-tahapan tersebut individu mampu melakukan pembelian secara rasional
10
dengan didasari perencanaan serta pemikiran yang matang. Dengan adanya pelatihan ini peserta akan melakukan pembelajaran secara kognitif, dan melalui kegiatan belajar ini peserta akan memiliki sikap terhadap perilaku konsumtif hingga akhirnya akan mempengaruhi intensi perilaku konsumtif dalam diri peserta. Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian secara empirik mengenai pengaruh Pelatihan Becoming A Good Consumer Melalui Personal Development Planning (PDP) terhadap intensi perilaku konsumtif pada remaja putri. Penelitian tentang perilaku konsumtif yang telah dilakukan sebelumnya diantaranya adalah Hubungan Tingkat Religiusitas Dengan Sikap Konsumtif Pada Ibu Rumah Tangga, Rika Ekaningdyah Anggarasari (1997) yang menyatakan semakin tinggi tingkat religiusitas akan semakin rendah tingkat konsumtif. Penelitian lainnya adalah penelitian yang berjudul Hubungan antara Harga Diri dan Interaksi Sosial dengan Perilaku Konsumtif Terhadap Produk Fashion Pada Remaja, Indah Lestari (1996) yang menghasilkan hubungan negatif yang sangat signifikan antara harga diri dan interaksi sosial dengan perilaku konsumtif terhadap produk fashion. Penelitian yang lainnya meneliti tentang Hubungan antara Sikap Peduli Lingkungan dengan Kecenderungan Perilaku Konsumtif pada Mahasiswi Universitas Gajah Mada, Liesye Zulfia Rahmah (2000) yang menghasilkan hubungan negatif antara sikap peduli lingkungan dengan kecenderungan perilaku konsumtif.
11
Metode Penelitian
Subjek Penelitian Subyek penelitian ini ialah siswi SMU yang berusia antara 16 tahun sampai 18 tahun dengan uang saku Rp 150.000 sampai dengan Rp 450.000.
Prosedur Eksperimen Penelitian ini dilakukan secara eksperimental. Peneliti memberikan perlakuan berupa pelatihan yang berjudul Becoming A Good Consumer dan penelitian ini juga diperkuat dengan menggunakan Personal Development Planning yang diwujudkan dalam bentuk buku panduan yang harus diisi secara berkala oleh subjek penelitian dan dapat dibawa kemana pun subjek pergi. Perlakuan ini diberikan kepada subjek selama kurun waktu tiga kali pertemuan dengan disertai proses evaluasi setiap pertemuan, alokasi waktu untuk tiap-tiap pertemuan adalah 120 menit. Buku panduan yang digunakan dalam penelitian ini berjudul “Buku Pengembangan Diri Untuk Menjadi Konsumen Bijak”. Buku panduan tersebut terdiri dari enam proses yang menjadi inti dari personal development planning. Proses yang pertama adalah pengisian daftar kemampuan. Proses yang kedua adalah penentuan tujuan serta perencanaan. Proses yang ketiga adalah audit terhadap kunci-kunci kemampuan yang dimilikinya. Proses yang keempat adalah pencatatan kunci kekuatan dan pengarahan kekuatan tersebut untuk dapat mencegah, mengurangi dan menghindari tindakan konsumtif. Proses yang kelima adalah pengisian kunci pengembangan. Proses yang keenam adalah pengisian lembar using knowledge gained, pada lembar ini peserta diharapkan dapat
12
merubah pola pikir dan peserta diminta untuk merencanakan tindakan di masa akan
datang
untuk
dapat
mengatasi
pemborosan,
impulsif,
pencarian
kesenangan, pencarian kepuasan dalam melakukan proses pembelian. Penelitian ini menggunakan desain The Pre-test-Post-Test Control Group Design. Bentuk rancangan tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 1 Rancangan Eksperimen Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Subjek Pre-test Perlakuan Post-test Kelompok Eksperimen T0 X T1 Kelompok Kontrol T0 T1 Keterangan: T0 = pengukuran perilaku konsumtif yang dilakukan terhadap subjek sebelum adanya perlakuan X = perlakuan berupa pelatihan personal development planning T1 = pengkuran perilaku konsumtif yang dilakukan terhadap subjek setelah adanya perlakuan
Metode Pengumpulan Data Skala intensi perilaku konsumtif dimaksudkan untuk mengungkap seberapa besar niat subjek (peserta) untuk melakukan perilaku konsumtif. Aspek-aspek dari variabel ini adalah pemborosan, impulsif, mencari kesenangan dan pencarian kepuasan. Skala intensi perilaku konsumtif ini diberikan pada dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Skala ini diberikan sebanyak dua kali yaitu pada saat pre-test dan post-test. Untuk kelompok eksperimen pemberian skala yang kedua (post test) dilakukan setelah adanya perlakuan, sedangkan untuk kelompok kontrol post test diberikan pada saat yang sama dengan kelompok eksperimen hanya saja kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan.
13
Intensi Perilaku konsumtif diukur dengan menggunakan skala intensi perilaku konsumtif yang dibuat sendiri oleh peneliti. Jumlah item pada skala ini sebanyak 40 butir, terdiri dari 20 item favorabel dan 20 item unfavorabel.
Metode Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh pelatihan becoming a good consumer melalui PDP terhadap intensi perilaku konsumtif dilakukan penghitungan terhadap besarnya selisih post test dan pre test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (gain score) menggunakan metode independent t-test. Untuk mengetahui perbedaan skor pre test dan post test kelompok eksperimen dengan menggunakan metode paired sample t-test. Untuk mengetahui perbedaan skor pre test dan post test kelompok kontrol dengan menggunakan metode paired sample t-test dengan bantuan SPSS versi 10.0.
Hasil Penelitian
Deskripsi Data Penelitian Berdasarkan analisis data penelitian, didapatkan deskripsi data penelitian sebagai berikut: Deskripsi Data Penelitian Skor Hipotetik
Variabel X Min
X Max
Pre Test 0 84 Post Test 0 84 Gain Score 0 84 Keterangan : X Min = Skor Total Minimal X Max = Skor Total Maksimal
Skor Empirik Ratarata 42 42 42
X Min
X Max
11 13 -24
45 43 13
Ratarata 28,25 28,13 0,13
14
Peneliti kemudian menggunakan deskripsi data penelitian yang ada untuk mengkategorisasikan skor yang diperoleh tiap-tiap subjek penelitian. Kategori dibagi menjadi lima bagian yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Kategorisasi Pre Test Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Variabel Rentang Nilai Kategori Frekuensi Pre Test X < 21 Sgt rendah 3 KE & KK 21 = X < 35 Rendah 15 35 = X < 49 Sedang 6 49 = X < 63 Tinggi 0 63 = X Sangat 0 Tinggi
Persentase 12,5 62,5 25 0 0
Kategorisasi Post Test Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Variabel Rentang Nilai Kategori Frekuensi Post Test X < 21 Sgt rendah 2 KE & KK 21 = X < 35 Rendah 12 35 = X < 49 Sedang 10 49 = X < 63 Tinggi 0 63 = X Sangat 0 Tinggi
Persentase 8,33 50 41,67 0 0
Uji Asumsi Uji Normalitas Uji normalitas menggunakan teknik statistik non parametrik one sample Kolmogorov-Smirnov. Uji normalitas untuk kelompok eksperimen menghasilkan nilai Z sebesar 0,484 dengan p=0,973 untuk variabel pre test dan nilai Z sebesar 0,470 dengan p=0,980 untuk variabel post test. Berdasarkan hasil analisis ini, maka dapat dikatakan bahwa sebaran data untuk kelompok eksperimen adalah normal. Uji normalitas untuk kelompok kontrol menghasilkan nilai Z sebesar 0,450 dengan p=0,987 untuk variabel pre test dan nilai Z sebesar 0,772 dengan
15
p=0,674 untuk variabel post test. Berdasarkan hasil analisis ini, maka dapat dikatakan bahwa sebaran data untuk kelompok kontrol adalah normal. Uji Homogenitas Uji homogenitas berdasarkan selisih skor pre test dan post test (gainscor) memperlihatkan Levene Test hitung adalah 1,092 dengan nilai probabilitas p=0,307. Oleh karena p > 0,05 maka dapat dikatakan bahwa varians dari populasi yang ada adalah homogen. Uji Hipotesis Hipotesis pertama yang berbunyi ada perbedaan selisih skor pre test dan post test antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dihitung dengan menggunakan teknik statistik independent sample t-test. Terlihat bahwa t hitung dengan Equal variances assumed adalah 0,938 dengan probabilitas p=0,359. Oleh karena p > 0,05 maka hipotesis ditolak, artinya tidak ada perbedaan selisih skor pre test dan post test pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil Uji-t Selisih Pre Test dan Post Test Pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Variabel Klp Eksperimen dan Klp Kontrol
Nilai t 0,938
Nilai p Hitung 0,359
p >0,05
Keterangan Tidak Signifikan
Hipotesis kedua yang berbunyi ada perbedaan pre test dan post test kelompok eksperimen dihitung dengan menggunakan teknik statistik paired sample t-test. Hasil analisis paired sample t-test antara pre test dan post test pada kelompok eksperimen menghasilkan t hitung 0,979 dengan p=0,349. Oleh karena p > 0,05 maka hipotesis ditolak, artinya tidak ada perbedaan antara skor pre test dan post test pada kelompok eksperimen.
16
Hasil Uji-t Pre test dan Post Test Pada Kelompok Eksperimen Variabel Kelompok Eksperimen
Nilai t 0,979
Nilai p Hitung 0,349
p >0,05
Keterangan Tidak Signifikan
Pembahasan
Ada beberapa kemungkinan sehubungan dengan tidak tampaknya pengaruh pelatihan becoming a good consumer melalui personal development planning (PDP) terhadap intensi perilaku konsumtif pada remaja putri yaitu pemilihan subjek yang kurang tepat, norma-norma subjektif, kontrol terhadap tingkah laku yang dipersepsikan, kontrol eksternal terhadap remaja, lingkungan serta waktu yang turut berpengaruh ke dalam hasil penelitian. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini sejak awal termasuk dalam kategori rendah, sangat rendah serta sedang sehingga hasil akhir pun tidak akan menunjukkan perubahan yang signifikan karena sejak awal memang keadaan subjek memang telah memiliki skor intensi perilaku konsumtif dalam kategori yang telah disebutkan sebelumnya. Norma subjektif adalah persepsi orang apakah orang lain akan menyetujui atau menolak tingkah laku tertentu (Baron, 2003) yang dalam hal ini adalah perilaku konsumtif, jika orang lain menyetujui subjek untuk melakukan perilaku konsumtif maka subjek akan melakukannya dan begitu pula sebaliknya. Norma subjektif ditentukan oleh persepsi seseorang tentang harapan yang diingini oleh kelompok atau individu acuan dan oleh motivasi individu yang bersangkutan untuk mematuhinya (Dayakisni, 2003). Remaja juga cenderung berusaha untuk konform dengan lingkungan sosial, khususnya lingkungan remaja
17
(Mahdalela, 1998) hal ini menyebabkan remaja sangat memperhatikan persepsi kelompoknya dalam melakukan suatu tindakan serta perilaku termasuk perilaku konsumtif. Dalam pelatihan becoming a good consumer melalui personal development planning (PDP) subjek diarahkan agar mampu belajar memahami serta mengevaluasi bahwa ternyata perilaku konsumtif itu tidak baik sehingga mereka akan membentuk sikap negatif terhadap perilaku konsumtif dan pada akhirnya mereka tidak akan berniat untuk berperilaku konsumtif . Kontrol tingkah laku yang dipersepsikan adalah penilaian terhadap kemampuan sikap untuk menampilkan tingkah laku (Baron, 2003). Dapat dikatakan pula bahwa kontrol tingkah laku yang dipersepsikan merupakan keyakinan subjek untuk mampu melakukan tingkah laku tertentu. Kontrol tingkah laku ini juga turut mempengaruhi terbentuknya intensi perilaku konsumtif. Hal ini didukung dengan karakter remaja yang memiliki kondisi emosional yang labil karena berada pada masa transisi, sehingga mereka mudah dipengaruhi oleh kelompoknya (Hurlock, 1993). Ketika kelompok teman sebayanya menganggap bahwa mereka tidak pantas melakukan sesuatu seperti misalnya perilaku konsumtif maka mereka akan dengan mudahnya terbawa pada asumsi yang mengatakan bahwa mereka mampu untuk menghindari perilaku tersebut. Remaja belum sepenuhnya bisa menumbuhkan kontrol atas keyakinan bahwa mereka bisa menampilkan perilaku tertentu karena pada dasarnya remaja memiliki kontrol eksternal yang lebih tinggi daripada kontrol internalnya sehingga remaja lebih peka terhadap pengaruh kelompoknya, remaja yang berada dalam kelompok yang sama dapat menyebabkan mereka mempunyai prinsip-prinsip dasar yang sama dalam sikap konsumtifnya (Monks dalam Mahdalela, 1998).
18
Dengan kata lain ketika kelompok pergaulan menganggap perilaku konsumtif adalah tindakan yang tidak penting maka anggota kelompok akan sepakat untuk tidak berniat melakukan tindakan tersebut. Dalam pelatihan becoming a good consumer melalui personal development planning (PDP) subjek diarahkan agar mampu belajar memahami cara-cara untuk bisa menghindari perilaku konsumtif namun peneliti telah mengabaikan norma subjektif serta kontrol tingkah laku yang dipersepsikan, yang sebenarnya sejak awal telah membentuk subjek menjadi konsumen yang memiliki intensi yang rendah untuk melakukan perilaku konsumtif. Monks (Mahdalela, 1998) mengemukakan bahwa pada dasarnya remaja memiliki kontrol eksternal yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol internal. Kontrol eksternal yang juga turut mempengaruhi rendahnya tingkat intensi perilaku konsumtif pada remaja putri adalah peran orang tua. Remaja yang tinggal di Indonesia cenderung masih dikendalikan oleh orang tua, termasuk dalam hal pengelolaan uang untuk konsumsi sehari-hari. Remaja cenderung belum memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur keuangan karena memang masih sangat tergantung pada orang tua, oleh karena itu besar kemungkinan ketika remaja memiliki niat untuk melakukan perilaku konsumtif, orang tua cenderung memupuskan niat tersebut karena orang tua sudah mampu memperkirakan dampak negatif yang akan diterima akibat hal tersebut. Lingkungan serta waktu yang kurang kondusif saat pelaksanaan penelitian juga ditengarai memiliki kontribusi terhadap hasil penelitian ini. Pada saat pelaksanaan penelitian sekolah dimana penelitian berlangsung sedang melakukan pembangunan gedung yang baru sehingga menimbulkan kebisingan
19
yang otomatis menganggu konsentrasi subjek dalam pelaksanaan penelitian. Ruangan yang digunakan juga kurang memadai karena tidak memungkinkan untuk diatur hingga membentuk posisi kursi berbentuk U. Hal-hal ini turut mendukung hasil akhir yang diperoleh dalam penelitian ini. Waktu yang kurang kondusif juga turut mempengaruhi hasil dari penelitian ini. Pelaksanaan penelitian ini berlangsung pada saat kegiatan belajar mengajar sehingga subjek harus meninggalkan kelas pada saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung.
Hal
ini
menyebabkan
konsentrasi
subjek
tidak
sepenuhnya terfokus pada pelaksanaan penelitian saja melainkan terbagi pada kegiatan di kelas yang sedang melaksanakan ulangan, presentasi maupun kegiatan olahraga di luar sekolah.
Kesimpulan
1. Tidak ada perbedaan selisih pre test dan post test (gain score) antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. 2. Tidak ada perbedaan pre test dan post test pada kelompok ekperimen.
Saran
1. Bagi Remaja Putri a. Remaja putri hendaknya tetap mempertahankan rendahnya tingkat intensi perilaku konsumtif yang telah dimiliki. b. Remaja putri hendaknya tetap mampu mengaplikasikan kemampuan dalam melakukan analisa kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi
20
alternatif, kegiatan pembelian serta evaluasi pasca pembelian dengan baik sehingga tetap mampu menjadi konsumen yang bijak ditengah himpitan dunia konsumsi serta pemasaran yang semakin menggila dan tidak mengindahkan rasionalitas lagi. c. Remaja putri juga hendaknya tetap menggunakan buku personal development planning agar kehidupan menjadi lebih terarah sehingga tidak terjerat dalam tindakan yang sia-sia, tidak berguna serta tindakan yang dapat menimbulkan penyesalan seperti perilaku konsumtif. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya a. Peneliti selanjutnya sebaiknya memilih subjek penelitian yang telah memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur keuangan pribadinya (seperti misalnya mahasiswa). b. Peneliti selanjutnya juga diharapkan memilih lingkungan yang kondusif dengan setting ruang yang memadai (memungkinkan mengatur letak kursi berbentuk U sehingga penelitian dapat berjalan lancar dan maksimal sehingga dapat memenuhi harapan yang diinginkan dari penelitian. c. Peneliti selanjutnya hendaknya memperhatikan waktu pelaksanaan pelatihan dengan baik karena pelaksanaan pelatihan pada saat jam pelajaran atau sedang berlangsungnya kegiatan belajar mengajar mengakibatkan konsentrasi subjek menjadi terpecah antara kegiatan kelas dengan pelaksanaan pelatihan. d. Peneliti selanjutnya hendaknya melakukan try out modul terlebih dahulu agar pada saat pelatihan tidak ada kesulitan serta kendala yang berarti.