Prarencana Laporan dan Rekomendasi Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan untuk Aceh Green Thomas B. Fricke Consultant Sanur, Bali, Indonesia Dipresentasikan kepada: Graeme Harris, Bruce Wise, Ernst Bethe International Finance Corporation Advisory Services Program Jakarta, Indonesia 21 Desember 2008
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Daftar Isi Ringkasan Eksekutif…………………………………………………………………. 3 Pendahuluan………………………………………………………………………….. 4 I. Analisa Situasi……………..……………………………………………..……….. 7 II. Permasalahan Utama………..………………………………………………….. 14 III. Rekomendasi Utama dan Sekunder untuk tindakan.………………………… 20
Annexes: 1. Proyek perintis percobaan……………………………………………………….. 31 2. Peta & Illustrasi Aceh Green …..………………………………………………. 38 3. Ringkasan dari rapat mejabundar untuk Minyak Kelapa Sawit berkelanjutan (RSPO)………………………………………………………..………………….…… 40 4. Sebagian dari daftar Organisasi dan Nara sumber… …………………….…… 44
2
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Ringkasan Eksekutif: Laporan ini memberikan penemuan awal dan rekomendasi untuk pengembangan suatu strategi guna minyak kelapa sawit yang berkelanjutan dibawah visi Aceh Green. Visi Aceh Green, yang dibentuk oleh Gubernur Irwandi Yusuf, member kerangka kerja untuk pemulihan ekonomi yang berkelanjutan untuk propinsi Aceh, Indonesia, pasca kerusakan Tsunami yang menghancurkan dan konflik berkepanjangan yang baru berakhir di tahun 2005 dengan kesepakatan perdamaian. Minyak Kelapa Sawit adalah tanaman panen dengan nilai ekspor paling tinggi di Aceh, melibatkan lebih dari 260,000 hektar dan member keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada sekitar 200,000 orang. Minyak Kelapa Sawit di produksi di 12 dari 23 kabupaten Aceh sepanjang pesisir Barat dan Tengara. Nilai FOB dari minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang diekspor dari Aceh di saat ini -yang sedang mengalamidepresi harga globalmasih diperkirakan bernilai lebih dari US$150 juta dollar Amerika. Oleh sebab itu, pengembangan sector minyak kelapa sawit sebagai sumber penghasilan utama untuk produkproduk makanan dan bahan bakar merupakan salah satu prioritas tertinggi visi Aceh Green yang dinyatakan. Sektor minyak kelapa sawit Aceh, yang belum pulih dari dampak kekacauan dan kehancuran konflik dan bencana alam, menghadapi beberapa permasalahan genting. Agar produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan dan sukses dibawah Aceh Green, 6 dari 15 permasalahan ini perlu ditangani sebagai prioritas terlebih dahulu: - Kurangnya pengertian, kesadaran dan pengalaman dalam lahan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan -Kurangnya dukungan terhadap kebijakan dan kerangka peraturan-peraturan -Minimnya pendanaan dan dukungan teknis untuk perkebunan kecil yang ada maupun yang prospektif - Ancaman terhadap hutan konservasi bernilai tinggi (HCVFs) dan ekosistim rawa gambus yang kritis didalam konsesi yang baru diusulkan maupun yang sudah ada (HGUs), -Tidak memadainya pengadaan dari biji bersertifikas yang berkualitas tinggi dan materi tanaman, dan, - Rendahnya harga di batas perkebunan serta kurangnya penggilingan untuk kelapa sawit mentah membatasi perluasan perkebunan besar dan kecil. Agar menganggapi permasalahan-permasalahan ini, penelitian ini menawarkan rekomendasi berikut sebagai tindak lanjut: 1. Menciptakan kelompok kerja Minyak Kelapa Sawit Aceh yang berkelanjutan untuk mendukung Gubernur Irwandi untuk membimbing proses sekitar minyak kelapa sawit berkelanjutan dan rapat meja bundar untuk minyak kelapa sawit (RSPO) dengan pemerintah, sector swasta, LSM dan petani kecil. 2. Memperbarui dan memperbaiki regulasi propinsi Aceh Qanun tentang perkebunan untuk menciptakan kapasitas dan consensus tentang perencanaan tanah, konsensi persetujuan dan proses monitoring, perlindungan lingkungan dan tenaga kerja, serta produksi dan proses minyak kelapa berkelanjutan. 3. Menciptakan contoh-model perintis kerjasama public-swasta minyak kelapa sawit antara investor perusahaan swasta untuk minyak kelapa sawitdan perusahaan kecil yang dapat menjadi
3
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
contoh landasan untuk kerjasama di Aceh. Berbagai pendana seperti Departemen Perkebunan Propinsi, Menteri Keuangan untuk program Revitalisasi Kebun, UNDP, etc. harus terlibat dan bekerja sama untuk member dukungan yang supplemental kepada proyek-proyek perintis semacam ini. 4. Menciptakan initiative khusus di seluruh propinsi Aceh untuk menanggapi dan pengembangkan mechanism kompensasi untuk ancaman kepada hutan yang nilai konservasinya tinggi (HCVFs) dan ekosistem kritis rawa gambut oleh penanaman minyak kelapa sawit dibawah sponsor sekreatriat Aceh Green,yang didanai oleh upaya khusus seperti IFC’s Biodiversity and Agricultural Commodities Program (BACP); program IFC untuk biodiversifikasi dan Komoditas budidaya tanaman. 5. Menciptakan program di tingkat propinsi untuk program sertifikasi dan distribusi bibit minyak kelapa sawit dalam kerjasama antara Departemen Perkebunan dan Asosiasi Produsen Tanaman Aceh (Gaperda). 6. Memperbaiki rantai pengadaan dengan mempromosikan tanaman dan diversifikasi penghasilan di perkebunan, mempromosikan perbaikan yang berkualitas, member insentif untuk pengembangan penggilingan, dan menciptakan transparansi harga.
Pendahuluan: Program Penghidupan IFC di Aceh & Nias, sebuah komponen dari program jasa IFC Advisory, mengimplementasikan proyek-proyek untuk memperbaiki penghidupan dari usaha-usaha yang terkena dampak dari konflik dan bencana tsunami di dalam sector-sektor perkebunan, budidaya air dan Pariwisata. Program ini memfokuskan diri kepada memperbaiki produktifitas, hubungan – hubungan ke pasar, dan memberikan fasilitas akses terhadap pendanaan ke sector-sektor ini. Di April 2008, IFC menciptakan tiga kontrak-kontrak konsultasi untuk membantu dalam mengembangkan strategi dan guna mengidentifikasikan kesempatan-kesempatan investasi baru untuk tiga komoditas kunci— minyak kelapa sawit, kopi, dan cacao— dibawah kerangka kerja ‘Visi Aceh Green’ Gubernur Aceh Irwandi Yusuf’s (see Annex 2). Penunjukkan tugas-tugas ini berada dibawah komponen 3 Aceh Green’s (Petani Akar Rumput dan Pembangunan Perkebunan Tanaman Kecil dalam kerjasama dengan sector swasta dan Perkebunan dan Asosiasi Infrastruktur),didalam area tema utama dari Achieving Food and Livelihood/Income Security through Sustainable Economic Development (MencapaiMakanan dan Penghidupan/ Keamanan Pendapatan melalui Pengembangan Ekonomi Berkelanjutan). Tugas ini secara khusus utamanya memfokuskan diri terhadap rehabilitasi dan perluasan/ekspansi dari perkebunan kecil dan besar di sector minyak kelapa sawit di Aceh. Pembangunan dari perkebunan minyak kelapa sawit dan infrastruktur terkait dapat diperkirakan sebagai sebuat tujuan yang memimpin dalam menciptakan kesempatan penghidupan jangka panjang dan mendukung proses perdamaian di propinsi yang kaya akan sumbernya. Adalah diusulkan bahwa sector minyak kelapa sawit dikembangkan melalui perluasan perkebunan swasta besar (inti) dan perkebunan kecil outgrower dan koperasi perkebunan(plasma). Perkebunan inti akan menyiapkan manajemen, sumber capital, dukungan teknis sementara perkebunan plasma akan memiliki (e.g., hak) dan menjalankan perkebunan outgrower mereka sendiri. Bagian dari kerangka kerja asli ‘Aceh Green’nya Gubernur Aceh melibatkan pembentukan badan khusus yang dinamakan Aceh Plantation Development Authority (APDA): Autoritas
4
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Pembangunan Perkebunan Aceh, yang dimodelkan serupa dengan organisasi pemerintahan Malaysia FELDA (Federal Land Development Agency). FELDA memiliki lebih dari 45 tahun pengalaman mengelola perkebunan kecil untuk proyek-proyek minyak kelapa sawit, karet dan cocoa di Malaysia. Bapak Gubernur tadinya berharap untuk menanda-tangani kesepakatan kerja sama atau Memorandum of Understanding (MOU) untuk dukungan teknis dan manajemen dengan FELDA, tetapi hal ini belum terjadi karena berbagai alas an politis dan operasional. Bapak Gubernur ingin memastikan bahwa baik pengembang minyak kelapa sawit yang sudah ada dan yang baru di Aceh— pemerintah, swasta atau perkebunan kecil—akan mengikuti dengan seksama prinsip-prinsip dan criteria dari rapat meja bundar tentang Minyak Kelapa Sawit yang berkelanjutan (RSPO), dengan basis di Kuala Lumpur, Malaysia (Annex 3). Inisiatif global untuk usaha, pemerintah dan LSM ini mencipatakan standar yang tinggi dan insentif yang kuat untuk tanggung jawab lingkungan dan social dalam industry global minyak kelapa sawit. Oleh sebab itu, Aceh Green berupaya untuk menstimulasikan kerjasama antara para pelaku di Aceh agar dapat memaksimalkan kesamaan dengan RSPO dan untuk meminimalkan permasalahanpermasalahan utama yang berhubungan dengan perluasan minyak kelapa sawit di Indonesia dan tempat lainnya. Permasalahan ini termasuk hutan dan perusakan pada habitat, emisi/hilangnya karbon dan konflik penggunaan tanah. Bila prinsip-prinsip RSPO dan criteria nya disebarluaskan dan di-institusikan, Aceh dapat menjadi contoh-model untuk produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan di seluruh dunia. Oleh sebab itu, seorang konsultan tehnis di pekerjakan pada April 2008 untuk membantu mengidentifikasikan kebijakan dan legislative yang mendukung, merencanakan perkebunan dan rehabilitasi penggilingan serta strategi pembangunannya, dan mengusulkan kesempatan investasi untuk sector minyak kelapa sawit untuk propinsi Aceh. Dalam beberapa bulan yang lalu, konsultasi yang ekstensif dengan pelaku pemerintah, sector swasta dan LSM utama di Jakarta, Medan, Banda Aceh, dan berbagai area produksi lainnya di Aceh telah berjalan. Tujuan utama dari penelitian adalah untuk: -Mengembangkan strategi untuk mengimplementasikan visi pengembangan perkebunan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan,
“Aceh
Green”
melalui
-Mengidentifikasikan kesempatan penghasilan dan pekerjaan untuk mendorong perekonomian dan menjaga kedamaian, -Mengaktifasikan industry minyak kelapa sawit sebagai mesin pertumbuhan baik untuk makanan dan tanaman yang dapat menjadi perluasan bahan bakar, dan, -Mendukung peluncur dari pendekatan beragam klien yang menyertakan bisnis, pemerintah, para petani kecil, dan LSM. Dalam menjalankan tugas ini, si konsultan telah secara aktif melibatkan beberapa pelaku utama: -Beberapa pimpinan utama dan badan pemerintah di tingkat propinsi, termasuk:
Bapak Gubernur Irwandi sendiri, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Tim Ekonomi Gubernur, Otoritas Pembangunan Perkebunan Aceh (APDA) Tim Pembentuk Ulang Kehutanan (TIPERESKA), dan,
5
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Badan Manajemen Ekosistem Leuser (BPKEL-Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser),
-Beberapa institusi nasional dan internasional, seperti Rapat Meja Bundar untuk Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO) di Kuala Lumpur dan Jakarta, United Nations Development Program (UNDP): Program Pembangunan PBB, the Reconstruction and Rehabilitation Agency for Aceh and Nias (BRR): Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi untuk Aceh dan Nias , Menteri Keuangan, dan the International Organization on Migration (IOM) : Organisasi Internasional untuk Migrasi. -Pemimpin local dan Kabupaten serta pegawai pemerintah di dalam area produksi utama sepanjang pesisir bagian Barat dan Timur dari propinsi, termasuk Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subullusalam, Bireun, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. -Berbagai ragam pembangunan, lingkungan dan advokasi LSM, termasuk Oxfam, Eye on Aceh, Aceh Social Development (ASD), Flora and Fauna International (FFI), PanEco/Yayasan Ekosistim Leuser (YEL), Worldwide Fund for Nature (WWF), dan Conservation International. -Organisasi-organisasi petani dan koperasi diberbagai kabupaten Aceh, termasuk badan-badan local maupun perwakilan propinsi di Bireun, Aceh Utara, Nagan Raya, and Aceh Jaya. -Asosiasi produsen perkebunan sector swasta, Gabungan Pengusaha Perkebunan Daerah Aceh (Gaperda) dan perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit lokal, nasional dan internasional lainnya. Secara khusus, saya telah mengunjungi perkebunan-perkebunan dan penggilingan dari beberapa perusahaan kunci yang saat in aktif di Aceh, termasuk Socfindo, Mopoli Raya, Risjadson Sejahtera Agrobusiness (RSA), Astra Agro Lestari, dan Minamas/Sime Darby. -Berbagai ragam organisasi dan inisiatif-inisiatif pendanaan, termasuk program rehabilitasi perkebunan dari Menteri Keuangan (Menkeu Revit Kebun), dan juga institusi swasta, Pemerintah Indonesia, dan institusi-institusi multilateral. Sejak beberapa bulan yang lalu, penelitian ini memfokuskan diri kepada aktifitas berikut ini:
Berkonsultasi dengan beberapa badan pemerintah utama di tingkat propinsi dan kabupaten mengenai tantangan pada saat ini, kesempatan dan dukungan teknis yang diperlukan didalam rehabilitasi dan ekspansi sektor minyak kelapa sawit Aceh.
Kerjasama dengan para direktur dan anggota-anggota dari Gaperda dalam memperkenalkan visi “Aceh Green” dan prinsip-prinsip RSPO serta criteria nya (P & C).
Membaca ulang data dan analisa lapangan yang dilakukan oleh LSM lokal dan internasional, khususnya dalam mengingat kebutuhan dan perspektif petani kecil.
Melakukan penilaian lapangan untuk petani kecil yang sekarang ada serta perkebunan besar di berbagai area produksi minyak kelapa sawit, baik yang saat ini sudah ada maupun yang potensial (Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, Subulusalam, Singkil, Aceh Selatan, Nagan Raya, and Aceh Jaya).
6
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Bertemu dengan pejabat-pejabat senior di lembaga keuangan nasional maupun internasional dan bank-bank swasta (ie. Kementerian Keuangan, IFC, Rabobank, HSBC) untuk memastikan bahwa kepentingan dan sumber-sumber yang ada untuk investasi langsung di sector minyak kelapa sawit Aceh.
Mengidentifikasikan calon-calon area produksi dan mitra koperasi untuk proyek lapangan perintis yang dapat menunjukkan cara untuk maju kedepan yang efisien biaya.
Memfasilitasi pertukaran antara partisipan pemerintah, LSM dan sector swasta dari Aceh yang memiliki mitra kerja yang dari Indonesia maupun Internasional lainnya pada saat rapat meja bundar tahunan untuk minyak kelapa sawit berkelanjutan (RSPO) di Nusa Dua, Bali pada November 2008.
Mendukung kerja dari Steering Committee untuk Minyak Kelapa Sawit berkelanjutan guna mengorganisasikan dan melaksanakan Workshop pertama Aceh untuk Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan yang telah dilaksanakan secara sukses pada 12-13 December 2008 di the Hermes Hotel, Banda Aceh.
Sesuai dengan hal itu, ringkasan awal dari laporan ini menyajikan penemuan dari studi tersebut dengan sekelompok rekomendasi-rekomendasi yang kronkret. Penemuan dan rekomendasi-rekomendasi dari penelitian ini telah dipresentasikan dalam bentuk awal secara langsung kepada para pelaku usaha dan klien serta di acara-acara seperti Reconstruction and Rehabilitation Agency (BRR): Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi untuk Aceh dan Nias, Workshop Visi “Aceh Green” dan konferensi RSPO di Bali pada November 2008, serta Workshop Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh, di Banda Aceh pada December 2008. Setelah pembahasan yang mendalam, laporan ini dan rekomendasinya akan disertakan dalam perencanaan, pembuatan program dan proses rencana keuangan Visi “Aceh Green” yang terus berjalan.
7
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
I. Analisa Situasi A. Fakta mendasar tentang Sektor Minyak Kelapa Sawit Aceh: Aceh memiliki sekitar 261,000 hektar perkebunan minyak kelapa sawit dari perkebunan besar dan kecil, yang secara kolektif memproduksi 2 juta ton buah segarnya (FFB) pada tahun 2007. Industri ini terkonsentrasi pada lima kabupaten (districts) sepanjang daerah pesisir di Barat dan Tenggara : Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Nagan Raya, dan Aceh Singkil (termasuk daerah kepemerintahan baru Kotamadya dari Subullusalam). Ke enam kabupaten dan kotamadya ini merupakan 84% dari total hektar yang ditanami dan produksi, dan telah menjadi focus dari kebanyakan usulan konsesi baru dan skema perluasan petani kecil. Empat kabupaten laiinnya (Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Bireun) juga dipertimbangkan sebagai calon daerah pertumbuhan yang kokoh, sementara lima kabupaten dan kotamadya tambahan lainnya adalah potensi yang lebih rendah. Masa depan perluasan minyak kelapa sawit di Aceh di dipertinggi oleh factor-faktor berikut ini: 1. Kandungan tanah yang mendukung, cuaca dan pola-pola hujan 2. Menunjukkan hasil yang tinggi dengan manajemen dan masukan yang optimal 3. Permintaan pasar yang kuat di tingkat nasional dan internasional, baik untuk aplikasi ke bahan makanan maupun bahan bakar, dan 4. Dukungan pemerintah di tingkat propinsi dan kabupaten untuk pembangunan petani kecil. Tabel berikut ini adalah berdasarkan komposisi data tahun composite 2007 oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan propinsi (Dishutbun) dan Departemen Perkebunan, yang memberikan ringkasan pendek dari status sektor minyak kelapa sawit Aceh pada saat ini. Nilai-nilai ini berdasarkan data yang diperoleh dari kantor-kantor Dishutbun di tingkat kabupaten. Juga berdasarkan data lokal, di Table 2 halaman tersebut merincikan distribusi perkebunan minyak kelapa sawit di Aceh dari setiap kabupaten. Data data ini memiliki persamaan dengan data hektar perkebunan besar maupun petani kecil, walaupun kerja lapangan menunjukkan akurasi yang tidak dapat di validasikan pada tingkat kabupaten. Total Palm Oil Plantations (2006/2007)
Total
Productive
Unproductive
Total
Average
Estimated
Source: Dishutbun NAD
Hectares
Hectares
Hectares
FFB
FFB/Ha.
CPO/Ha.
Perkebunan Rakyat (Smallholders)
89,199
58,520
30,679
589,700
10.08
2.02
-Private Plantations
132,392
97,705
34,687
-BUMN (State-Owned Plantations)
39,353
29,043
10,310
Total Estate Plantations
171,745
126,758
44,987
1,432,254
11.30
2.26
Totals
260,944
185,278
75,666
2,021,954
10.91
2.19
Perkebunan Besar (Estate Plantations):
Table 1: Total Perkebunan Minyak Kelapa Sawit di Propinsi Aceh 2007 Data keseluruhan diatas menunjukkan bahwa hasil dasar per hektar di Aceh adalah 10.08 ton untuk petani kecil dan 11.30 ton untuk perkebunan besar sesungguhnya masih sangant dibawah rata-rata dari kemampuan Indonesia 14-17 ton/ha untuk petani kecil dan 18-20 ton/ha untuk
8
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
perkebunan besar. Data ini mengkonfirmasikan bahwa sektor minyak kelapa sawit Aceh belum pulih dari dampak-dampak konflik di era tahun 1990-an hingga ke masa Perdamaian tercatat di tahun 2005. Banyak dari petani kecil dan perkebunan besar tidak memiliki dana atau sumber tenaga kerja untuk menanam atau merehabilitasi kembali perkebunan mereka. Banyak yang tidak mampu untuk memperbaiki input dan menjalankan praktek-praktek yang paling baik untuk memperbaiki fertilitas, rumput liar dan pengelolaan hama untuk meningkatkan hasil. Di masa konflik, diperkirakan total sebanyak 85,000 hektar atau 33% dari total perkebunan (52,712 hektar dari petani kecil dan 32,316 hektar dari perkebunan besar) pada dasarnya di terlantarkan atau diabaikan (Eye on Aceh, 2007). Kebanyakan dari petani kecil, khusus nya transmigrasi dari luar Aceh, tidak dapat bertetap tinggal di perkebunan. Kebanyakan dari area produksi minyak kelapa sawit terkena dampak, sampai di batas tertentu, dari konflik tersebut dimana terdapat 21,000 hektar tambahan yang sebagian atau secara signifikan terkena bencana Tsunami. Yang ditunjukkan oleh data tersebut sekitar 75,666 hektar atau sekitar 29% dari total perkebunan di perkirakan sebagai lahan tidak produktif atau masih belum direhabilitasi sejak masa konflik. Salah satu dari peninggalan masa konflik adalah kesulitan yang terus ada dalam masalah keuangan yang dihadapi oleh kebanyakan perusahaan perkebunan minyak kelapa sawit di propinsi tersebut. Banyak dari mereka tidak dapat membayar kembali atau memberikan jasanya hutangnya kembali ke bank swasta dan pemerintah. Dengan penumpukan dari bunga yang tidak terbayar serta dasar hutang prinsipnya, banyak dari perusahaan-perusahaan ini masuk dalam “daftar hitam” bank-bank tersebut. Hal ini merupakan kesulitan dasar dalam memulihkan dan menumbuhkan sektor minyak kelapa sawit di Aceh. Distribution of Palm Oil Plantations by Kapubaten Aceh Province Source: Eye-on-Aceh/Dishutbun (2007)
Kabupaten
Large Estates (Kebon Besar) Ha
Smallholder (Kebon Rakyat) Ha
Subtotals
%
Aceh Besar Aceh Jaya
1,140 1,720
5,311
1,140 7,031
0.44% 2.73%
Aceh Barat
11,202
3,892
15,094
5.86%
Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Selatan
36,525 4,968 3,842
13,112 1,250 2,410
49,637 6,218 6,252
19.26% 2.41% 2.43%
Singkil (Incl. Subulussalam) Aceh Tenggara Pidie Bireun
24,522
19,046 1,253 81 3,138
43,568 1,253 91 3,520
16.90% 0.49% 0.04% 1.37%
Aceh Utara Lhok Seumaweh Bener Meriah Aceh Timur
14,353
14,834 90 2 4,493
29,187 90 2
11.32% 0.03% 0.00% 18.87%
10 382
44,153
9
2008
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
48,646 Aceh Tamiang
Totals
30,128
15,876
46,004
17.85%
172,945
84,788
257,733
100.00%
Table 2: Distribusi perkebunan minyak kelapa sawit Aceh (2007) Fitur lain dari sektor perkebunan minyak kelapa sawit di Aceh adalah data yang tidak lengkap dan terkadang kontras di dalam sektor swasta dan konsesi parastatal (HGU or Hak Guna Usaha). Hal ini dapat terlihat dari data yang terdapat di Table 3 oleh Dishutbun untuk kabupaten Nagan Raya, yang peringkatnya adalah merupakan dua atau tiga kabupaten teratas dari total hektar yagn di tanamkan. Ringkasan ini diambil dari laporan tahunan untuk 2005 yang dikeluarkan setelah era konflik mengindikasikan bahwa hanya 36,735 hektar atau sedikit diatas separuh area konsesi yang diberikan dari 72,067 hektar yang sesungguhnya di tanamkan. Dishutbun lokal juga mengkelompokkan sekitar 15,000 hektar dari perkebunan besar dan 4,000 hektar dari perkebunan kecil yang statusnya “tidak aktif”. Dalam masa penelitian ini, peninjauan ulang dan pemetaan dari 99 tanah HGUs yang diberikan dijalankan oleh LSM Eye on Aceh, Oxfam, dan FFI, bekerja sama dengan the Forestry Redesign Team (TIPERESKA) yang merupakan bagian dalam kantor utama Dishutbun di Banda Aceh. Diperkirakan laporan ini, penemuannya, serta pemetaan digitalnya akan selesai pada February 2009. Nagan Raya Concession (HGU) and Small-
Total HGU
Planted
Active
Inactive
Holder Data: Dishutbun Nagan Raya 2005
Area Ha.
Area Ha.
Area Ha.
Area Ha.
PBSN (Domestic Large Plantations)
59,209
24,439
44,272
14,937
PBSA (Foreign Large Plantations)
9,372
8,997
9,372
-
BUMN (State-Owned Plantations)
3,486
3,299
3,486
-
Total Large Estates:
72,067
36,735
57,130
14,937
Swadaya Murni (Independent)
8,310
6,909
1,401
Swadaya Berbantuan (Assisted)
5,500
2,767
2,733
PIR/NES (Nucleus Estate/Plasma)
138
123
15
Total Smallholders:
13,948
9,799
4,149
TOTAL HGUs and Smallholders:
86,015
66,929
19,086
Table 3: Konsesi Nagan Raya (HGU) dan data petani kecil 2005 Menurut data yang diambil dari tim survey Departemen Perkebunan tingkat nasional pada May 2008, fasilitas pasca panen minyak kelapa sawit Aceht termasuk 23 penggilingan minyak kelapa sawit mentah (CPO/ PKS or pabrik kelapa sawit). Fasilitas-fasilitas ini memiliki komposisi
10
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
kapasitas 715 ton/hari atau rata-rata kapasitas pengilingan sekitar 31 ton/jam. Tim ini member indikasi bahwa 494 ton dari penggilingan ini sekarang digunakan, atau 69% dari kapasitas. Kelebihan akses kapasitas ini sesungguhnya bukan hal yang dihadapi oleh banyak area lainnya dimana banyk perkebunan tidak terpanenkan atau hasilnya di transportasikan dengan kendaraan truk dengan jarak yang begitu panjang dikarenakan masalah logistic seperti kurangnya tenaga kerja, kurangnya akses jalanan, dan kurangnya infrastruktur system panen. Karena kualitas yang tidak konsisten, petani kecil produksi FFB production sering di berikan harga diskon atau dibeli dengan kuantitas yang terbatas oleh penggilingan perkebunan besar. Berdasarkan rata-rata hasil CPO Aceh dari buah segar gelondongan (FFB) dari sekitar 19% (Source: Gaperda), laporan panen akan memberikan hasil sekitar 384,000 ton CPO. Pada saat penelitian ini di mulai pada May 2008, output akan menghasilkan nilai di sekitar US $320-$350 juta dolar. Tetapi, sejak itu harga CPO telah turun secara tajam dikarenakan pengadaan yang berlebih dari minyak sayur secara global dari US$1,000/ton lebih turun dibawah US $500/ton. Nilai saat ini dari pengeluaran Aceh dinilai sekitar US$150-$180 million. Harga-harga diperbatasan perkebunan di banyak area dari Aceh telah turun ke tingkatan (Rp300-500/kg for FFBs) yang hanya memiliki keuntungan marginal yang sedikit atau tidak menarik kepada para petani kecil. Saat ini tidak terdapat tempat untuk memproses di tingkat sekunder untuk biji kelapa sawit (PKO) atau penyaringan di Aceh. Pelabuhan untuk penyetoran atau tangki perkebunan untuk penyimpanan nyaris tidak ada. Hal ini merupakan kontras yang sangat tajam terhadap beragarm infrastruktur pasca-panen di Sumatera Utara dan Riau yang begitu dekat, termasuk industryindustri makanan yang berbasis kelapa sawit, biodiesel, bahan kimia oleo serta tanaman surfactant, dan fasilitas pelabuhan yang ekstensif. Akibatnya, Aceh tetap menjadi produsen bahan mentah, dengan harga lokal yang relatif lebih tertekan karena keterbatasan logistic dan hasil kualitas yang disebutkan diatas. Sebagai hasil, secara virtual semua dari produksi saat ini di jual sebagai produk domestic dan secara tidak langsung di ekspor melalui pelabuhan Belawan di Sumatera Utara. Walaupun dengan segala tantangan dan keterbatasan, penelitian ini mendapatkan secerah sinar harapan untuk masa depan sektor minyak kelapa sawit Aceh yang sepertinya depresi menyebar merata di seluruh propinsinya. Dimana kebanyakan dari petani kecil dan beberapa perkebunan besar masih tertinggal dalam produktivitas dan penghasilan, beberapa dari perusahaan swasta besar di Aceh, terutama Socfindo, Astra Agro, Mopoli Raya, dan Minamas/Sime Darby, telah memiliki perkebunan yang berjalan dengan baik dan memproduksi lebih dari 20 tons of FFBs per hektar, serta penggilingan yang berjalan dengan efisien dan baik. Socfindo,perusahaan asing/internasional murni terbesar yang sudah berdiri di Aceh sejak 1930s, memproduksi rata-rata hamper 7 ton CPO per hektar dalam perkebunannya yang sudah berdiri sejak lama di Nagan Raya. Sebagai estimasi kasar pribadi, lima dari perusahaan yang memimpin di Aceh sepertinya memproduksi sekitar 65% dari total produksi di sekitar 25% dari tanah yang diperuntukkan bagi minyak kelapa sawit. Dua dari perusahaan ini, Socfindo dan Minamas/Sime Darby, merupakan anggota dari RSPO dan sedang dalam process mengejar sertifikasi untuk perkebunan dan penggilingan di Aceh dan Indonesia secara menyeluruh. Juga, beberapa dari hal ini dan perusahaan-perusahaan lain secara aktif mengejar kerjasama dengan petani kecil (plasma) sebagai bagian dari skema perluasan mereka. Secara menyeluruh, sepertinya industry minyak kelapa sawit memberikan lapangan kerja dan penghasilan baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berdampak terhadap lebih dari 200,000 orang di Aceh, atau sekitar 5% dari populasi. Hal ini termasuk petani kecil serta
11
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
keluarganya, perkebunan dan manajer penggilingan serta pekerjanya, transportasi dan anggota jasa industry yang berlokasi di area yang mewakili lebih dari 50% massa tanah di Aceh. Sebagaimana di visikan dalam strategi pembangunan dan investasi “Aceh Green”, industri minyak kelapa sawit memiliki potensi untuk memberikan kesempatan ekonomi yang luas dan mendukung proses kedamaian bila jalan dan cara ditemukan utnuk membuka potensinya. B. Inisiatif-inisiatif Minyak Kelapa Sawit saat ini di Aceh Saat ini terdapat beberapa inisiatif di Aceh yang telah berupaya untuk menangani tantangan dan potensi dari sektor minyak kelapa sawit. Seperti sektor-sektor ekonomi lainnya, kebanyakan dari upaya ini berjalan secara individual dengan koordinasi yang minimal. Hal yang masuk dalam kategori adalah:
Upaya Networking atau membuat jaringan, Rehabilitasi dan perluasan perkebunan pemerintah untuk petani kecil, Skrema investasi swasta, Program-program bantuan teknis, dan Proyek-proyek penelitian.
Inisiatif-inisiatif khusus yang berbasis di atau relevan ke Aceh termasuk: 1. Komite Pengendalian Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh Diluncurkan awal tahun 2008 oleh kelompok LSM gabungan (Eye on Aceh, Oxfam, FFI, dan lainnya), kelompok ini sekarang telah menyertakan badan-badan utama pemerintah dan organisasi sektor swasta di Aceh, termasuk Dishutbun dan Gaperda. Kelompok ini diketuai secara bersama oleh Pak Masnun, Direktur Dishutbun – Departemen Perkebunan dan Pak Samsul Bahri, dari LSM Advokat Eye on Aceh. Setelah beberapa perencanaan dan rapat organisasi dari May-October 2008, komite pengendalian bisa secara sukses mengatur dan menjalankan lokakarya selama 2 hari di Banda Aceh pada December 2008 yang membawa 200 peserta dari pemerintah propinsi dan lokal, sektor swasta, LSM-LSM dan produsen. Lokakarya ini berupaya untuk mempresentasikan konsep dari minyak kelapa sawit berkelanjutan dan RSPO serta membuat fondasi untuk upaya jangka panjang. Lokakarya tersebut juga menjadi contoh dari kolaborasi beragam pemangku kepentingan, termasuk kepemimpinan yang mendukung dari kepala Dishutbun Pak Hanifah, Sekretaris Jendral Gaperda, Pak Sabri Basyah, Pak Hasan Sastra dan Pak Yakob dari Tim Ekonomi Bapak Gubernur Irwand, dan pimpinanpimpinan LSM utama seperti Eye on Aceh’s; Bahri dan Ian Singleton dari PanEco. Di hari pertama dan pagi pada hari kedua, terdapat beberapa presentasi yang luar biasa bersumber dari orang-orang diluar Aceh dan orang-orang kunci dari Aceh. Beberapa pakar utama dalam bidang minyak kelapa sawit berkelanjutan memberikan presentasi, termasuk Desi Kusumadewi dari RSPO Indonesia Liaison Office (RILO), Muhammad Salim dari Unilever, Arifin Lambaga dari PT Mutuagung Lestari, Andi Kiki dari Kalimantan Tengah RSPO Sustainable Palm Oil Working Group, Amol Titus dari IndonesiaWISE, dan Mohamad Parabaharan dari PT Minamas/Sime Darby Sdn Bhd. Pada sesi sore di hari terakhir, lokakarya dibagi menjadi 4 grup diskusi (Masalah Lingkungan, Masalah sosial, Mekanisme Koordinasi/Kebijakan dan Regulasi, Ekonomi dan Pemasaran). Sesi-
12
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
sesi ini penuh semangat dan menghasilkan beberapa rekomendasi yang akan di kompilasikan oleh panitia lokakaryanya sebentar lagi. Pandangan konsensus antara panitia dan partisipan adalah acara ini memberikan dorongan besar kepada komponen minyak kelapa sawit berkelanjutan dari Visi “Aceh Green” Bapak Gubernur.
2. Program Ekspansi dan Rehabilitasi perkebunan petani kecil Di koordinasi oleh Departemen Perkebunan propinsi, program-program ini telah mentargetkan pembangunan dan rehabilitasi lebih dari 37,000 hektar perkebunan minyak kelapa sawit independen dari periode tahun 2007-2010 kepada sekitar 12 kabupaten di Aceh. Kebanyakan dari pendanaan adalah bagian dari anggaran belanja Departemen untuk propinsi, dengan pendanaan awal dari Asian Development Bank (ADB) dan BRR di area-area yang terkena dengan Tsunami. Kegiatannya termasuk pengembangan pembibitan, penanaman lagi, dan rehabilitasi untuk perkebunan yang ada maupun yang baru. Anggaran belanja per hektar diantara Rp 5 ke 10 juta, yang hanya cukup untuk menutupi biaya dari pembersihan tanah, persiapan dan penanaman dari bibit untuk petani kecil. Permasalahan dan keterbatasan dari pendekatan ini dijelaskan di bagian laporan berikut ini. 3. Menyelidiki Kesempatan Investasi Sektor Swasta Sejak dua tahun terakhir, beberapa perusahaan swasta telah mencari kesempatan untuk menggiatkan kembali atau mengambil HGU yang ada dan mengembangkan konsesi baru minyak kelapa sawit. Keadaan ini termasuk perusahaan lokal, nasional dan terkadang internasional, kebanyakan dari Malaysia. Kebanyakan, walaupun tidak semuanya, dari perusahaan ini adalah anggota dari Gaperda dan/atau dari Indonesian Palm Oil Producer’s Association (GAPKI). Mereka secara aktif menjalankan survey, bertindah sebagai penghubung dengan kabupaten local setingkat kepala dan pegawai Dinas, serta menyaring calon mitra kerja lokal. Di beberapa kesempatan, para pejabat lokal telah mengeluarkan Izin Prinsip untuk area-area seperti 4 konsesi privat baru sebesar 20,000 hektar di kotapraja baru Subullusalam. Tetapi tidak ada HGU baru yang di setujui oleh Gubernur Irwandi sejak dia menjabat menjadi Gubernur. 4. Otoritas Pembangunan Perkebunan Aceh (APDA) Badan yang masih dalam pembentukan diri, hanya ada kemajuan yang sedikit dengan adanya penunjukkan interim Direktur Eksekutif, Ir. Rustam Effendi dari University of Syiah Kuala pada awal 2008. Seperti yang dibayangkan oleh Gubernur Irwandi, APDA akan membawa dengannya pengalaman-pengalamannya dari dulu dan keahliannya dengan rehabilitasi dan pengembangan perkebunan kecil minyak kelapa sawit dari Badan pemerintah Malaysia FELDA (Federal Lands Development Authority), FELCRA (Federal Land Consolidation and Rehabilitation Authority), dan Yapeim (Islamic Development Foundation). Tetapi, ada Memorandum of Understanding (MOU) yang masih belum dijalankan antara pemerintah Aceh dan Badan-badan pemerintah Malaysia telah terhalang dengan tidak adanya kesepakatan dengan pemerintah Indonesia. 5. Kebijakan Pembaharuan Sektor Perkebunan Aceh dan Inisiatif Perencanaan Strategis Tim Ekonomi Gubernur Irwandi, di danai oleh UNDP, telah membuat rancangan proposal untuk proyek perencanaan kebijakan dan strategi khusus tertuju pada perkebunan dan implementasi pembangunan minyak kelapa sawit pada tahun 2009-2010. Setelah konsultasi dengan UNDP dan ketua Tim ekonomi, Ir. Hassan Sastra, direktur yang ditunjuk oleh Sekretariat “Aceh Green”,telah
13
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
memutuskan untuk menyatukan semua upaya ini kedalam satu badan sekretariat. Sekretariat ini juga akan menggiatkan kembali Draft Qanun (Regulations): rancangan regulasi, tentang perkebunan yang telah menempa oleh berbagai konsultasi ekstensifantara Dishutbun, LSM internasional WWF, dan beberapa pemangku kepentingan lainnya pada tahun 2004-2005. 6. Revitalisasi Kebun/Bahan Bakar Nabati, Menteri Keuangan (Revitalisasi Perkebunan / Biofuels). Skema pendanaan nasional dari Indonesia ini telah mengalokasikan lebih dari US$4 billion untuk pengembangan dari petani kecil untuk perkebunan minyak kelapa sawit, karet dan cocoa. Yang akan di administrasikan oleh empat bank pemerintah (Bank Mandiri, BRI, Bukopin, dan BNI), program pinjaman bunga rendah ini diperuntukkan untuk disalurkan melalui perusahaan sektor swasta yang dapat bertindak sebagai penjamin dan pemberi bantuan teknis untuk koperasi pertani kecil yang terasosiasi. Target awal ditentukan untuk 40,000 hektar perkebunan baru dan 5,000 hektares untuk rehabilitasi dengan sekitar 15 perusahaan diseluruh Aceh. Akan tetapi, progresnya pelan di tingkat nasional maupun di tingkat lokalnya Aceh, dengan hanya 20% sumbangan nasional dan belum adanya pinjaman yang dibayarkan di Aceh hingga hari ini. 7. Konsesi Penilaian (HGU) dan inisiatif Pemetaan Di awal tahun 2008, sebuah gabungan LSM yang dipimpin oleh FFI, Oxfam, dan Eye on Aceh memulai sebuah peninjauan ulang status dan pemetaan dari ke-99 HGU yang dikabulkan yang sebelumnya dibagikan untuk sektor swasta dan perkebunan parastatal serta penggilingan di Aceh. Upaya ini berbasis di kantor pusat Dishutbun di Banda Aceh. Diharapkan bahwa laporan, penemuan, dan peta digital yang komprehensif dapat selesai pada December tahun ini. Pemerintah mengharapkan untuk menggunakan hasilnya untuk membuat keputusan yang berdasarkan informasi tentang HGU tersebut, termasuk mengkonfirmasikan lagi mereka yang patuh dengan peraturan yang berlaku atau kemungkinan untuk menggantungkan pemberian hak khusus kepada mereka yang tidak patuh. Upaya ini menghadapi batasan dengan adanya kekurangan data antara peta dan document, serta terkadang adanya kontradiksi antara konsesi asli, batasan dan praktek yang aktual.
8. Penilitian LSM untuk Petani kecil dan Proyek-proyek Pembangunan Beberapa LSM telah mensponsori penelitian dan proyek-proyek pembangunan yang dapat menaksirkan kelanjutan dari sektor minyak kelapa sawit Aceh dan/atau memberikan contoh alternative untuk pengembangan perkebunan minyak kelapa sawit. Yang sudah selesai atau saat ini sedang berlangsung termasuk: - Eye on Aceh Studi penelitian tentang Sektor minyak kelapa sawit di Aceh, diselenggarakan dari 2006-2007, menghasilkan publikasi pada September 2007 dan sosialisasi dari The Golden Crop? – Palm Oil in Post-Tsunami Aceh. Penelitian ini terdokumentasi dengan baik dan cukup komprehensif dalam mengulas dan memberi kritik terhadap industry minyak kelapa sawit di Aceh. Bahan penelitiannya member analisa social, lingkungan dan permasalahan politik, serta memberikan rekomendasi kebijakan yang jelas. Penelitian ini member perspektif yang cukup kritis kepada sektor swasta, dan mengekspresikan preferensi yang kuat untuk pembangunan koperasi dan petani kecil.
14
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
- Skema Pembangunan Minyak Kelapa Sawit, Aceh Utara, Bireun, dan Bener Meriah Kabupaten. Melibatkan sekitar 3,000 para mantan pejuang tempur, proyek 6,000 hektar ini akan diimplementasikan oleh the International Organization for Migration (IOM) dari tahun 20082010. Proyek ini akan member pendanaan untuk usaha perkebunan, bantuan teknis dan pelatihan, serta pengembangan organisasi koperasi. Para penerima bantuannya akan menjadi petani kecil yang independen menerima bantuannya, tidak terkaik secara langsung ke perusahaan perkebunan. - Proyek perintis Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan, Kabupaten Nagan Raya. Diciptakan dan diimplementasikan oleh Yayasan Ekosistem Leuser (YEL) dan didanai oleh LSM dari Swiss PanEco, proyek ini merupakan demonstrasi upaya skala kecil petani kecil. Melibatkan sekitar 35 petani di 70 hektar yang berlokasi di hutan belukar diluar dari area kritis rawa Kuala Tripa, salah satu wilayah yang memiliki kepadatan binatang orangutan di dunia. Proyek ini kerjasama dengan perusahaan asing Socfindo yang telah dengan lama memberikan dukungan teknis dan bibit tanaman yang berhasil tinggi. - Proyek Pembangunan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Biofuel Feedstock, Aceh Singkil Kabupaten. Dikembangkan oleh LSM internasional Conservation International (CI) dan didanai oleh U.S. Department of Energy (DOE) Kementrian Tenaga & Energi Amerika, proyek ini umumnya merupakan proyek penelitian dan kebijakan. Proyek ini akan menjalankan surveysurvei yang usaha pertanian yang ekologis, latihan-latihan perencanaan wilayah, dan penelitian kebijakan dengan petani kecil, perusahaan swasta dan pemerintah lokal. 9. Inisiatif-inisiatif untuk organisasi petani kecil dan koperasi Dalam masa setelah proses perdamaian, organisasi-organisasi dari petani kecil minyak kelapa sawit telah terbentuk di tingkatan lokal, kabupaten dan regional. Hal ini termasuk upaya mendirikan: -Koperasi Tani (Koptan) Batee Meuasah, sebuah kelompok yang memiliki1,500 anggota mantan pejuang tempur dan korban konflik di Paya Bakong Kecamatan, Aceh Utara Kabupaten, yang telah secara aktif mengejar sebuah proyek pembangunan minyak kelapa sawit di area 6,000 sendirian (Pilot Project 1B on P. 33). -Koperasi Tani Meugoh, sebuah organisasi petani kecil yang baru dibentuk dan berada di Kecamatan Peudada di Biereun, yang mencoba mendirikan sebuah skema petani kecil di 7,000 hektar tanah bekas konsesi. Mereka telah mengadakan diskusi-diskusi awal dengan IK Plantations Sdn Bhd, sebuah investor minyak kelapa sawit Malaysia yang berada di Aceh dan perwakilan dari Dishutbut Bireun tentang bentuk kolaborasi yang memungkinkan. -Upaya organisasi sepanjang propinsi dan asosiasi-asosiasinya di tingkat kabupaten seperti Koperasi Koridor Utama, based in Alue Bilie, Nagan Raya dan Lembaga Kelompok Perkebunan Rakyat Nanggroe Aceh Darussalam/Kelompok Perkebunan Sawit Rakyat (LKPR/KPSR) di Langsa.
II. Permasalahan Utama Walaupun terdapat potensi-potensi yang sebelumnya di kemukakan dalam sektor minyak kelapa sawit sebagai contributor utama dalam pemulihan ekonomi Aceh, terdapat permasalahan yang signifikan serta hambatan yang nyata dan perlu di tangani, baik dalam jangka pendek maupun
15
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
jangka panjang. Untuk produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan tetap sukses di bawah visi “Aceh Green” maka permasalahan-permasalahan berikut ini perlu mendapatkan perhatian yang serius: A. Permasalahan Utama 1. Kurangnya Pemahaman, Kesadaran dan Pengalaman di bidang Minyak Kelapa Sawit yang berkelanjutan dan Rapat Meja Bundar dari Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan (RSPO). Aceh baru saja mulai keluar dari isolasinya dari bagian seluruh Indonesia maupun dari bagian dunia lainnya. Dengan perkecualian oleh beberapa perusahaan yang sudah matang dan LSMLSM dengan jaringan dalam negeri dan luar negeri yang kuat, umunnya konsep-konsep dari minyak kelapa sawit yang berkelanjutan masih belum diketahui di Aceh. Untuk menanggapi hal ini, pemerintah, sektor swasta dan LSM secara bersamaan menyatakan minat yang kuat untuk menjadi hafal dan sejajar dengan standar RSPO serta proses dari beragam pemangku kepentingan lainnya (Annex 3). Sebagai langkah-langkah pertama, Komite Penentu Minyak Kelapa sawit Berkelanjutan (Pokja Sawit Berkelanjutan) didirikan pada tahun 2008, terdiri dari pemerintah, industri, dan komunitas kemasyarakatan sektoral/LSM. Seorang pejabat senior pemerintah, Direktur Dishutbun Perkebunan, Bapak Masnun hadir dalam rapat tahunan RSPO di Bali pada November 2008, bersamaan dengan beberapa LSM dan perwakilan sektor-sektor swasta. Setelah beberapa penundaan, lokakarya 2 hari untuk Minyak Kelapa Sawit berkelanjutan akhirnya dilaksanakan dengan partisipasi yang penuh, dan dilakukan di Banda Aceh pada pertengahan December didanai oleh FFI dan Oxfam. Upaya jangka pangjang yang focus diperluakan untuk menjembatani kekosongan-kekosongan yang ada dalam pengetahuan dan implementasi. 2. Kurangnya Kebijakan yang Mendukung dan Kerangka Peraturan untuk Minyak Kelapa Sawit di propinsi Aceh. Peraturan legislative Quanuns Aceh dan kebijakannya kurang memiliki spesifikasi dan “gigi” dalam menekankan prinsip dan praktek berkelanjutan dalam hubungannya kepada perkebunan secara umum dan minyak kelapa sawit secara khusus. Contohnya, peraturan perlu di kuatkan di area tentang konsesi (HGU) perizinan dan prosedur perpanjangan, manajemen kehutanan dengan nilai konservasi tinggi (HCVFs), pengosongan tanah/ land clearing, tempat kerja yang sehat dan aman, dan transparansi harga. Khususnya, peraturan koordinasi dan kebijakan diperlukan pada area-area yang dekat dengan konservasi hutan, manajemen air (watershed management), perencanaan lahan, serta pertanian dan tanaman perkebunan. Sebagai tambahan, larangan penebangan Unilateral yang dideklarasikan olebh Gubernur Irwandi pada Juni 2007 perlu di perbaharui, dikode kan dan diintegrasikan ke berbagai peraturan legislative dan paket-paket kebijakan. Peraturan yang menjanjikan sebelumnya untuk hal ini telah diciptakan dengan upaya kolaborasi yang menyertakan Dishutbun dan beragam pemangku kepentingan yang di fasilitasi oleh WWF sebelum bencana Tsunami pada tahun 2004.
16
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
3. Bantuan Pembangunan untuk Pemerintah dan Pejabat (ODA)- dan proyek proyek pembangunan minyak kelapa sawit yang didanai untuk petani kecil tidak memberikan pendanaan yang komprehensif ataupun jasa teknis. Departemen Perkebunan pemerintah Aceh dan badan-badan internasional seperti BRR telah mendirikan proyek-proyek pembangunan minyak kelapa sawit untuk petani kecil setelah kesepakatan perdamaian. Hal-hal ini telah mentargetkan 37,000 hektar kreasi perkebunan baru dan 5,000 hektar untuk rehabilitasi dari tahun 2007-2010. Pendanaan dan pemasukan teknis seperti tanah titling, pengosongan tanah dan tunas seedlings diberikan oleh otoritas sentral, bersamaan dengan mengidentifikasi dan koordinasi dari petani kecil yang dituju dan lokasinya tentukan oleh kantor Dishutbun kabupaten lokal. Total dana yang disediakan sekitar Rp5-10 billion per kabupaten atau sekitar Rp 5-10 million per hektar. Wawancara di lapangan dengan pejabat lokal, LSM dan para petani menunjukkan terdapatnya prosedur-prosedur yang saling kontradiktif, dimana prosedurnya sendiri tidak selalu terintegrasi dan dapat mengakibatkan seleksi lokasi yang tidak efektif atau layanan yang tidak cocok. Di Bireun, contohnya, terdapat laporan bahwa hanya 500 dari 1,000 hektar yang masih dirawat oleh petani kecil satu tahun setelah penanaman awal di tahun planting in 2007. Rata-rata biaya per hektar saat ini untuk mendirikan perkebunan dari persiapan lahan hingga panen awal secara komersial 5-6 tahun kemudian mulai di batasan Rp 35-45 million. Hal ini berarti bahwa petani kecil menghadapi beban keuangan yang serius selama masa tahun-tahun kritis dalam perawatannya dan perlu mendapatkan penghasilan tambahan atau pendanaan melalui cara yang lain. 4. Ancaman besar terhadap Hutan Belukar (HCVFs) dan area kritis rawa ekosistem Kuala Tripa tetap ada dalam konsesi yang ada maupun yang baru akan tawarkan (HGUs). Sekalipun dengan larangan total terhadap penebangan oleh Gubernur Irwandi pada June 2007, koservasi pada hutan residual dan ekosistem rawa yang rentan tetap menjadi permasalahan utama dalam konsesi yang ada maupun konsesi yang baru di anjurkan (HGUs) di Aceh. Tindakan Gubernur yang unilateral telah berhasil dalam menghentikan konsesi penebangan yang ada (HPH) di seluruh Aceh dan secara signifikan menurunkan –walaupun tidak menghentikan – penebangan liar di kebanyakan keadaan. Walaupun konsesi yang berdiri kebanyakan telah didatakan ke kebanyakan dari area nya pada tahun 1990 an ataupun sebelumnya, ada hutan alam residual di beberapa batas wilayah yang tidak dikonversikan karena kemiringan, tidak dapat di akses, atau karena konflik. Tantangan yang signifikan ada didalam wilayah konsesi yang berada di tiga area rawa berlumpur sepanjang pantai Barat dari Aceh, Kuala Tripa di Nagan Raya/Aceh Barat Daya (30,000 hektar), Rawa Bakongan di Aceh Selatan, dan Rawa Singkil (100,000 hektar). Wilayah-wilayah ini terdapat menyimpanan karbon terbesar di Sumatra, dengan 3,000 ton/hektar Karbon terpolakan dibandingkan dengan 150-300 ton/hektar untuk lahan tanah yang diperuntukan tanaman. Ketiga wilayah kritis menjadi porsi besar dari habitat populasi Orangutan Sumatera yang berjumlah 4,500 buah. Dapat ditambahkan, beberapa area konsesi baru yang diteliti pada masa penelitian lapangan saya telah di tawarkan untuk menjadi wilayah Izin Prinsip sepertinya telah menjadi hutan produksi (HP) atau hutan lindung (HL), daripada menjadikannya kategori umum yang masuk dalam kelompok “areal penggunaan lain” (APL). Walaupun Although mekanism- mechanism ada di tingkat propinsi untuk menghentikan perizinan status
17
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
konsesi akhir (HGU), ada beberapa operator tidak baik atau elemen pihak ketiga yang memulaikan konsersi yang tanpa persetujuan sebelumnya. 5. Pengadaan dari biji berkualitas tinggi bersertifikasi dan materi tanaman tidak memadai untuk memenuhi permintaan untuk perluasan perkebunan minyak kelapa sawit. Rencana ambisius untuk meningkatkan sektor minyak kelapa sawit Aceh dengan penanaman di 200,000 hektar atau lebih dalam lima tahun kedepan mengakibatkan kekurangan yang besar dalam biji kualitas tinggi bersertifikasi (kecamba) dan bibit di berbagai pelosok propinsi. Dengan kecepatan pertumbuhan saat ini, lebih dari 6.3 million kecamba dan/atau bibit dibutuhkan per tahun hingga 5 tahun kedepan dengan densitas rata-rata dari 137 pohon per hektar dan kebutuhan untuk menelan 15% kerugian. Kualitas bibit, ketahanan, dan produktifitas merupakan salah satu factor penentu dari kesuksesan perkebunan minyak kelapa sawit. Di masa lalu, banyak perkebunan di Aceh memiliki pengadaan dan/atau kontrak bantuan teknis dengan PPKS-Pusat Penelitian Kelapa Sawit pemerintah dan Stasiun Penelitian Marihat di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Menurut sumber Gaperda, produksi bibit tahunan Marihat sekitar15 juga bibit, yang perlu di alokasikan ke tiga propinsi (Sumatera Utara, Riau, dan Aceh). Pada saat ini, banyak perusahaan dan petani kecil mencari untuk membeli bibit hybrid yang memiliki hasil dasar tinggi dan variasi tahan penyakit Tenera yang diproduksi oleh Socfindo dan LonSum di tempat pembibitan mereka di masing masih daerah Aceh Tamiang dan Pematang Siantar. Kedua perusahaan ini member prioritas kepada perluasan perkebunan besar dan kebutuhan penanaman mereka sendiri, dan sisa stok mereka ini menjadi permintaan tinggi. Apapun sumbernya, sangat penting bagi semua bibit bersertifikasi sebagai Grade 1 dan dengan garansi germination rate. Ada laporan yang beredar tentang para kontraktor yang menjual kelas bibit yang lebih rendah atau menukarkan materi tanaman sebagai kelas 1 agar melindungi dan meningkatkan margin keuntungan mereka. 6. Harga rendah di batasan perkebunan dan tidak mudahnya mendapatkan akses ke penggilingan CPO membatasi perkebunan besar dan ekspansi perkebunan minyak kelapa sawit bagi petani kecil. Dalam kurun waktu diadakannya penelitian ini, harga CPO mengalami penurunan besar-besaran, baik di tingkat ekspor maupun di perkebunan. Pada pertengahan April 2008, Biro pengukuran global dari Derivitas Malaysia (BMD) tingkat harga CPO mencapai nilai batasan tinggi dengan lebih dari MYR 4000 Malaysian Ringgits (MYR) atau US$ 1,200 per metric ton. Hal ini dapat diterjemahkan sebagai \Rp1,300-1,700 per kilo dari FFB di batas perkebunan di Aceh, tergantung lokasi. Setelah Agustus, pengukuran BMD mulai turun melongsor ke tingkat yang sekarang pada akhir Oktober yang berada di nilai MYR 1,400 (US$400). Harga di batas perkebunan telah menurun hingga Rp 300-500 per kg FFB, yang biasanya menurut kebanyakan petani kecil dan pedagang lokal berada dibatasan atau dibawah titik modal balik (breakeven point). Situasi ini lebih diperburuk lagi dengan penurunan harga di petani kecil dan kebanyakan perkebunan besar menghadapi kurangnya penggilingan lokal, dan kebijakan pembelian yang selektif pada penggilingan yang ada merupakan kerugian pada pihak petani kecil. Hal ini berakibatkan pada penurunan harga di nilai Rp 200-300/kg untuk menaikannya pada kendaraan, handling, diskon
18
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
kualitas, dan margin perdagangan. Pada dasarnya, harga turun CPO pada saat ini dan kemungkinan harga fluktuasi di masa mendatang, dikombinasikan dengan ketidak efisiensi dan inequitable mekasnisme harga rantai pengadaan barang menenggelamkan prospek dari industry minyak kelapa sawit dan petani kecil untuk ekspansi. B. Permasalahan berikut juga merupakan hal signifikan, tetapi sekunder dalam kepentingan: 7. Terdapat tekanan yang bertambah pada tingkat kabupaten lokal untuk ekspansi konsesi minyak kelapa sawit baru tanpa perencanaan dan penilaian yang baik. Sejak tiga tahun terakhir sejak hostilities beruntun setelah Kesepakatan Perdamaian ditanda tangani, tekanan untuk menghasilkan pemasukan legal dan extralegal serta kesempatan bekerja telah meningkat di berbagai tempat di Aceh. Hal ini terutama di area yang terkena dampak Tsunami dan bantuan pasca-bencana terbatas. Katerlalu bupaten yang mendekati batasan seperti Singkil, Subulussalam, Aceh Timur, dan Aceh Utara, yang juga termasuk sebagai area yang tingkat pertumbuhan minyak kelapa sawitnya terbesar di dalam kategori ini, sebagaimana banyaknya area tanah rendah di pedalaman yang tidak memakan korban manusia atau harta terlalu besar semasa Tsunami. Karena meningkatnya desentralisasi dari otoritas di Aceh dan Indonesia secara keseluruhan, kepemerintahan lokal secara aktif mencari kelapa sawit serta pengembangan tanaman perkebunan lainnya tanpa tergantung pada bimbingan dari tingkat propinsi atau nasional sebagaimana sebelumnya. Contohnya, mantan bupati dan kepala Departemen Perkebunan dari kotamadya yang baru diciptakan, Subulussalam, saat ini menunjukkan pada sebuah wawancara bahwa ada rencana yang sudah berjalan untuk meningkatkan wilayah/konsesi untuk meningkatkan kelapa sawit (HGUs) dari jumlah yang sekarang 25,000 hektar ke lebih dari 50,000 hectares, dari seluruh total tanah area 112,000 hektar. Pembangunan semacam ini terjadi dengan pengenalan keadaan lokal yang minim terhadap RSPO dan prinsip-prinsip serta praktek-praktek untuk minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. 8. Keberadaan dari sumber investasi dalam ekspansi minyak kelapa sawit berkelanjutan di Aceh pelan dan diganggu oleh persepsi resiko tinggi/tidak aman, penumpukan pinjaman yang tidak berjalan, serta kurangnya promosi dan koordinasi investor yang efektif. Aceh tidak dianggap sebagai prioritas tinggi dalam urutan prioritas investasi dibandingkan dengan bagian Sumatera lainnya yang pertumbuhannya dianggap cepat seperti Riau dan kebanyakan dari Kalimantan. Hal ini merupakan keadaannya untuk banyak bagian dari Aceh karena tidak stabilnya keadaan politik, meningkatnya kompleksitasnya dan biaya operasional yang lebih tinggi di daerah-daerah pasca konflik Aceh. Seperti disebutkan sebelumnya, menumpuknya pinjaman yang tidak berjalan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan yang kebanyakan dikarenakan era konflik terus menghambat pemulihan dan pertumbuhan industrinya. Dengan perkecualian daerah diperbatasan seperti Singkil, kebanyakan dari pemain industry sektor minyak kelapa sawit berupaya untuk memperluas lebih lanjut d Aceh merupakan mereka yang sudah berdiri dengan perkebunan yang besar seperti Astra Agro, Socfindo, Ubertraco, dan Boswa Megalopolis. Dengan perkecualian perusahaan Malaysia IK Plantations dan Express Reliance
19
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
yang telah mendapatkan Izin Prinsips atau memiliki HGU yang ada sejak tahun terakhir. Perusahaan-perusahaan ini telah memilih untuk berinvestasi setelah upaya yang gigih untuk membina hubungan yang baik dengan pemimpin pemerintah Aceh serta diskon harga asset yang besar dibandingkan ke bagian lain dari Indonesia. Tetapi, mereka dan para pemain lokal yang sudah mapan menerima dukungan teknis dan administrasi yang minimal dari badan-badan promosi investasi propinsi seperti the Investment Coordination Agency (BKPMD)atau the Investor Outreach Office (IOO). 9. Infrastruktur public yang mendukung untuk pembangunan sektor kelapa sawit berkelanjutan seperti saluran pipa feeder, tank farms, dan jalanan panen difisien. Pada saat ini, kebanyakan Bandar kota kecil yang dianggap kunci tempat berlabuh (ie., Calang, Meulaboh, Singkil, and Langsa) tidak siap untuk menangani CPO yang ada dan yang diproyeksikan untuk diproduksi dalam beberapa tahun kedepan, dengan pengertian peralatan percampuran (blending), kapasitas penyimpanan tank, serta drayage pelabuhan untuk dapat menerima kapal pengangkut barang yang lebih besar. Sebagai konsekwensi, kebanyakan CPO dikirimkan keluar dari Aceh melalui darat dengan kendaraan truk-truk dalam keadaan mentah atau bentuk CPO, sering melalui jarak yang begitu panjang. Hal ini berarti kualitas produk dapat dikurangi dan sering berakibat pengurangan harga pada terminal obral harga di Sumatera Utara. 10. Kurangnya konsistensi dalam kesehatan dan keamanan pekerjaan, udara, air, control polusi tanah, efisiensi energy antara fasilitas proses pasca-panen di Aceh. Dengan beberapa perkecualian, kebanyakan dari 23 CPO Penggilingan di Aceh (PKS) sudah mulai beroperasi lagi are. Studi ini memperkirakan bahwa separuh dari penggilingan yang ada tidak memiliki dasar standar kualitas dan keamanan termasuk kesehatan dan keamanan pada pekerjaan, serta kontrol polusi udara dan air. Sisanya adalah penggilingan-penggilingan yang berjalan dengan baik, dan merupakan penggilingan yang secara efisien di jalankan oleh perusahaan-perusahaan besar swasta. Perusahaan-perusahaan ini mencapai hasil 22-25% CPO dengan tingkat Free Fatty Acid (FFA): tingkat asam yang tidak berlemak di bilangan 1-4%. Mereka mengelola sampah padat dan cairnya dalam batasan minimal polusi air, udara dan tanah. Banyak telah membongkar pembakaran abu mereka, yang masih digunakan oleh penggilingan lama untuk membuang kelopak kosong buah dengan pembakaran. Dengan beberapa perbaikan dan modifikasi, banyak dari penggilingan ini telah menjadi RSPO-proses penggilingan CPO yang patuh dan mendemonstrasikan praktek efisiensi energy, teknologi bersih serta praktek-praktek manufakur/pabrik yang baik (GMP). 11. Informasi, pengetahuan dan pengalaman dalam menjalankan praktek produksi yang paling baik relative tidak tersedia untuk petani kecil dan bervariasi antara perkebunan. Karena factor-faktor sejarah yang dijelaskan diatas, sektor minyak kelapa sawit petani kecil di Aceh belum mendapatkan keuntungan dari pelatihan, bantuan teknis dan inisiatif-inisiatif pembangunan infrastruktur dari badan-badan pemerintah, perusahaan swasta atau LSM-LSM. Kebanyakan dari proyek-proyek inti-plasma sebelumnya, kalau tidak membantu petani kecil atau
20
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
tipe transmigrasi, justru tidak sukses atau terhalang konflik. Karena isolasi yang relative terjadi terhadap propinsi ini, sedikit dari inovasi/pembaharuan teknologi pembibitan dalam industry minyak kelapa sawit Indonesia, manajemen terintegrasi untuk hama, perputaran nutrisi telah di pindahkan selain ke beberapa perkebunan besar yang sangat produktif. Inovasi-inovasi ini dapat memperbaiki hasil dasar dan pemasukan dengan estimasi 30-75%. 12. Data untuk konsesi perkebunan yang ada (HGUs) dan perkebunan kecil sering tidak benar dan tidak akurat. Kurangnya data yang akurat tentang konsesi minyak kelapa sawit (HGUs) dan perkebunan merupakan kekurangan dalam menyelesaikan permasalahan penggunaan tanah dan menciptakan proses perencanaan yang rasional. Walaupun ada perkembangan data digital/system inforamsi geografis dan dan proyek-proyek perencanaan pengaturan tanah di Aceh setelah Tsunami, masih terdapat kekosongan data yang utama diarea kritis ini. Menurut beberapa sumber, beberapa celah ini merupakan hasil dari dokumentasi yang tidak baik pada dasar aslinya atau kehilangan yang di alami karena bencana Tsunami dan pasca. Faktor lain yang sering disebutkan adalah beberapa pemegang konsesi tanah secara tida baik memperluas diri melewati batas asli awal HGU. Apapun alasannya, akan memakan banyak waktu dan biaya untuk mengisi kekosongan data tersebut. Tetapi, hal ini merupakan investasi yang di butuhkan untuk secara akurat menilai kepatuhan HGU dengan standar RSPO atau secara aktif mengejar penekanan dari legislative baru (Qanun) di perkebunan. 13. Pengunaan tanah dan kepemilikan sering tidak diakui secara hukum atau demarkasi, sehingga menimbulkan persengketaan tanah dan mengekang investasi perluasan perkebunan. Kebanyakan pemilik tanah yang merupakan petani kecil dan banyaknya area yang masih dalam pertimbangan sebagai prospek perkebunan besar di Aceh tidak memiliki bukti hak sertifikat tanah atau status hukum yang jelas. Bukit kepemilikan ini sering didaftarkan secara tidak formal dengan pejabat lokal dan tradisional dan tidak memiliki perlindungan hukum. Untungnya untuk Aceh, system pemukiman tradisional dan and pemimpin desa (ie., mukim, geuchik, kejeurang blang, etc.) telah mendapatkan pengesahan di Aceh selama beberapa tahun. Namun, masih sulit untuk menyelesaikan sengketa tanah atau menyelesaikan kesempatan-kesempatan investasi tanpa memiliki fondasi hukum yang kokoh untuk bertumpu kepada.
21
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
14. Ketersediaan tenaga kerja lokal dan kapasitas organisasi petani kecil merintangi di beberapa hal dan dapat menekan atau mengalihkan pembangunan perkebunan. Ketersediaan tenaga kerja untuk rehabilitasi dan perluasan dari sektor minyak kelapa sawit di Aceh sangat bervariasi di tingkat lokal dan propinsi. Tidak seperti tanaman perkebunan lainnya seperti kopi dan coklat (cocoa) yang memiliki orientasi musiman, kebutuhan tenaga kerja untuk operasional produksi minyak kelapa sawit contohnya: memanen, penyiangan, aplikasi pemupukan (fertilizer), dan pekerjaan pabrik biasanya konstan sepanjang tahun. Hal ini membutuhkan pangkalan tenaga kerja yang konsisten atau kerja keluarga petani kecil yang stabil, yang tidak ada di beberapa area produksi minyak kelapa sawit tertentu. Karena waktu yang lebih lama yang dibutuhkan perkebunan tersebut untuk mencapai kematangan dan ketergantungan dari industry minyak kelapa sawit untuk teknologi, transportasi, dan infrastruktur, perkebunan besar sering mencapai efisiensi yang lebih besar dari petani kecil. Agar banyak dari petani kecil dapat mencapai hasil dasar yang baik serta penghasilan, mereka perlu membentuk perkebunannya dalam pola yang terkoordinasi dengan baik dengan petani kecil lainnya melalui koperasi atau asosiasi. Studi ini menemukan beberapa area dengan kekurangan tenaga kerja yang trampil untuk perkebunan besar dan organisasi petani kecil yang relative lemah. Di masa lalu, perkebunan besar bergantung kepada tenaga kerja eksternal atau transmigran, yang sering menimbulkan konflik social dalam populasi lokal. Kebanyakan dari tenaga kerja eksternal ini segan untuk kembali ke Aceh setelah era konflik. Ada juga persepsi menyebar di Aceh bahwa orang etnik Aceh sendiri lebih berorientasi kepada usaha kecil, perikanan dan sektor pemerintah daripada sektor perkebunan, khususnya dalam industri minyak kelapa sawit yang bentuk industrinya sangat intensif kepada tenaga kerja. Dengan itu, masalah kekurangan tenaga kerja dan kapasitas organisasi petani kecil perlu di tanggapi agar industrinya dapat maju kedepan. 15. Peran dan status dari badan koordinasi untuk Pembangunan Perkebunan Aceh (APDA): Aceh Plantation Development Authority, tidak jelas. APDA merupakan komponen kunci dalam pembentukan awal visi “Aceh Green”. Diskusi awal di tahun 2007 dengan kandidat organisasi Malaysia FELDA, Felcra, dan YAPEIM yang semunya menurut hasil adalah positif dan menjanjikan were. Konsep dari badan koordinasi yang dinamis untuk sektor minyak kelapa sawit Aceh yang didasari oleh sejarah pengalaman sukses Malaysia dalam menciptakan kesempatan untuk petani kecil sangat menarik. Tetapi, kemajuan sangat minimal sejak waktu itu, menumpuk dengan penahanan di pihak pemerintah Indonesia melalui Memorandum of Understanding (MOU) dan organisasi-organisasi Malaysia pada July 2008. Sebagai tambahan ke factor eksternal, tidak terdapat konsensus di Aceh tentang peran APDA dan hubungannya dengan Departemen Perkebunan Dishutbun. Ini telah dipersulit dengan komunikasi dan koordinasi antara direktur yang ditunjuk untuk APDA director- dan badan-badan propinsi lainnya, termasuk Tim ekonomi Gubernur. Oleh sebab itu, APDA tidak dapat memainkan peran sebagai pemimpin atau menjalankan peran sebagai fasilitator dalam komponen perkebunan visi “Aceh Green”.
22
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
III. Rekomendasi Tindakan Prioritas dan Sekunder A. Rekomendasi-rekomendasi Prioritas Rekomendasi-rekomendasi berikut berhubungan dengan enam masalah pertama yang di jabarkan di bagian sebelumnya: Permasalahan No 1: Kurangnya Pengertian, Kesadaran dan Pengalaman dalam bidang Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan dan Rapat meja bundar akan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO).
Rekomendasi No. 1: Menciptakan Kelompok Kerja untuk Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh (Pokja Perkebunan Sawit Berkelanjutan Aceh) untuk membimbing proses beragam pemangku kepentingan dengan pemerintah, sektor swasta, LSM-LSM dan petani kecil dalam tema Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan.
Rekomendasi: Mendirikan secara formal kelompok kerja (Pokja Perkebunan Sawit Berkelanjutan Aceh) yang bertindak sebagai pendukung organisasi propinsi untuk mempromosikan kebijakan minyak kelapa sawit berkelanjutan, praktek-prakteknya dan proyekproyek perintis. Konsensus yang kuat timbut pada lokakarya Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan December 2008 lalu, antara partisipan tokoh-tokoh pemerintah, sektor swasta, dan LSM untuk membentuk sebuah mekanisme untuk para pemangku kepentingan, yang diharapkan akan didukung dengan Surat Keputusan (SK) resmi dari Gubernur Irwandi. Kelompok kerja ini dapat dibentuk sejajar dengan kelompok kerja beragam pemangku kepentingan saat ini, yang telah ada di Kalimantan Tengah dengan dukungan kuat dari Gubernur propinsinya. Kelompok kerja ini dapat berlokasi dengan Dishutbun seperti TIPERESKA dan berfungsi dalam kerangka kerja yang fleksibel Komisi Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Pokja Perkebunan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh dapat bekerja sama dengan Rapat meja bundar akan Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO) di Jakarta dan Kuala Lumpur. Kelompok ini dapat mendirikan beberapa objektif dan proyek yang praktis dan dapat dicapai dalam beberapa bulan dan tahun kedepan. Guna mempertahankan momentum yang ada sekarang untuk minyak kelapa sawit berkelanjutan di Aceh, organisasi-organisasi yang berpartisipasi dan individuindividunya dapat berkontribusi kepada pendanaan yang ada maupun sebagai sumber kepegawaian, dan mengakses pendanaan lain dalam jangka panjang. Obyektif: 1) Untuk mendirikan mekanisme pendukung yang berkelanjutan untuk mempromosikan, mengimplementasikan dan mendanai minyak kelapa sawit berkelanjutan di Aceh. 2) Untuk menciptakan kerangka kerja koperasi beragam pemangku berkepentingan yang menghubungkan antara pemerintah, sektor swasta, LSM dan masyarakat umum. Rasionalisasi: Kelompok kerja untuk Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan telah mendapatkan respon positif dari pelaku kunci di pemerintah, sektor swasta dan LSM. Proses ini sekarang perlu untuk mengambil langkah dengan tetap focus tapi fleksibel dalam kerangka kerja organisasi, dengan pendanaan yang memadai, pegawai lokal dan dukungan teknis untuk setidaknya dua-tiga tahun.
23
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Kegiatan: Mengatur sebuah tim inti terdiri dari 8-10 orang yang dari pemerintah, sektor swasta, LSM dan dari kalangan masyarakat yang memiliki pangkat untuk bertindak sebagai koordinator upaya ini. Daftar calon tersebut dapat menyertakan: 1. Samsul Bahri, Eye on Aceh 2. Isa Rahmadi, Aceh Social Development (ASD) 3. Ian Singleton, PanEco/YEL 4. Afridal Darmi, LBH-Aceh 5. Pak Masnun, Dishutbun 6. Ibu Ida, Dishutbun 7. Pak Sastra, Tim Penasehat Ekonomi Gubernur 8. Pak Yakob, Tim Penasehat Ekonomi Gubernur 9. Sabri Basyah, Mopoli Raya/Gaperda 10. Adi Zain, PT Boswa Megalopolis
Mendukung kebijakan dan inisiatif-inisiatif yang absah untuk perkebunan berkelanjutan (Rekomendasi 2) Sosialisasi dan pelatihan dalam prinsip-prinsip perkebunan minyak kelapa sawit berkelanjutan, praktek-praktek, dan sertifikasi, dalam kolaborasi dengan Rapat meja bundar akan minyak kelapa sawit berkelanjutan (RSPO) Pengantar selektif dari praktek-praktek paling baik dan teknik-teknik yang biaya rendah serta teknologi untuk rehabilitasi dan Pengantar selektif dari praktek-praktek yang baik dan teknik yang biaya rendah serta teknologi untuk rehabilitasi, peningkatan produktifitas dan potensi pemasukan di perkebunan yang ada Identifikasi, evaluasi, monitor proyek-proyek perintis kerjasama antara publik dan swasta (Rekomendasi 3) Menciptakan “Pasukan Kerja” (Task Force) untuk pendanaan berkelanjutan. Ide ini direkomendasikan oleh pembicara konferensi, Amol Titus dari IndonesiaWISE, dan di dukung oleh kelompok diskusi untuk ekonomi dan pemasaran.
Hasil yang direncanakan: Menciptakan mekanisme praktis jangka panjang untuk mempromosikan minyak kelapa sawit berkelanjutan di Aceh dan mengimplementasikannya dengan semua pemangku kepentingan utama. Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya: -Badan-badan pemerintah utama, ie. Dishutbun, -Gaperda dan sektor perusahaan swasta lainnya -Lingkungan lokal dan internasional, pembangunan dan kebijakan LSM -Masyarakat madani dan organisasi petani kecil -Badan pendanaan Bilateral dan multilateral, ie. UNDP, EDFF, dan/atau USAID
24
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Permaslahan No. 2. Kurangnya kebijakan mendukung dan kerangka kerja peraturan untuk Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan di propinsi Aceh. Rekomendasi No. 2: Menghidupkan, Merevisi, dan Mempresentasikan Peraturan Qanun dari Perkebunan Berkelanjutan kepada Badan Legislatif Propinsi untuk di perbaharui pada pertengahan -2009
Rekomendasi: Memperbaharui dan memperbaiki Qanun peraturan Aceh untuk perkebunan guna menciptakan kapasitas dan konsensus akan perencanaan penggunaan tanah, konsesi persetujuan dan proses monitor/pengawasan, perlindungan lingkungan dan tenaga kerja, serta produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan dan prosesnya. Rancangan sebelumnya yang diproduksi melalui proses konsultasi melibatkan Dishutbun, WWF-Aceh, dan para pemangku kepentingan lainnya pada tahun 2004 dapat menjadi landasan untuk upaya ini. Bahan materi dan bimbingan teknis yang dihasilkan oleh RSPO dapat membantu lebih lanjut sumber perencanaan dari Qanun. Keanggotaan di RSPO harus digiatkan tetapi tetap dengan dasar voluntary. Rasionalisasi: Sektor perkebunan Aceh dalam fase persimpangan jalan saat ini. Sebuah kerangka kerja yang abash dengan bimbingan aturan jangka panjang untuk kebijakan dan prakteknya diperlukan agar sektor perkebunan Aceh (khususnya minyak kelapa sawit) dapat berkembang deang cara yang strategis dan berkelanjutan. Menjalankan hokum legislative sangat diperlukan sekarang di tingkat propinsi untuk menciptakan kesempatan ekonomi yang efektif dan mempersiapkan diri dari potensi dampak negative dari lingkungan dan masyarakat. Kegiatan: Mendapat mandat tertulis/ resmi berupa surat SK-Surat Keputusan dari Gubernur untuk meluncurkan upaya ini Membentuk kelompok kerja yang padat terdiri dari perwakilan pemerintah, sektor swasta, dan LSM/Masyarakat madani untuk bimbingan perencanaan dan proses konsultasi Menunjuk sebuah tim yang terdiri dari 2-3 fasilitator utama untuk peninjau ulang dan memperbarui rancangan peraturan Qanun 2004 antara WWF-Dishutbun tentang Perkebunan dengan modifikasi khusus untuk prinsip-prinsip produksi yang berkelanjutan, criteria, dan prakteknya, seperti konservasi dari hutan dengan nilai konservasi tinggi (HCVF), dengan menggunakan materi RSPO sebagai sumber Menjalankan konsultasi public dan sesi peninjauan ulang masalah teknis guna mensosialisasikan Qanun dan menjajarkannya dengan prinsip-prinsip upaya berkelanjutan serta visi “Aceh Green” Merangkumkan rancangan Qanun pada Maret 2009 dan menyerahkannya untuk ditinjau dan diratifikasikan oleh baadn legislative propinsi. Hasil yang direncanakan: Mencapai konsensus garis besar dan mendukung peraturan Qanun untuk Perkebunan berkelanjutan, dengan harapan untuk merangkumkan dalam rancangan akhir dan ratifikasi oleh badan legislative Aceh pada pertengahan -2009. Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya: -Pemimpin politik saat ini di Aceh: Gubernur Irwandi, Wakil Gubernur Nazir, dan legislative propinsi -Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan -Sekretariat “Aceh Green”dan kelompok asosiasi pemangku kepentingan -Gaperda dan investor-investor perkebunan potensial
25
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
-Badan pendanaan Bilateral dan multilateral, ie. UNDP and/or USAID
26
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Permasalahan No. 3. Proyek pembangunan pemerintah saat ini untuk petani kecil minyak kelapa sawit tidak memberikan pendanaan yang komprehensif dan tidak memberikan dukungan jasa teknis. Rekomendasi No. 3. Menciptakan model perintis untuk kerjasama minyak kelapa sawit berkelanjutan antara public-swasta dengan badan-badan pemerintah, investor perusahaan swasta minyak kelapa sawit dan petani kecil dapat member contoh untuk Aceh. Beragam lembaga seperti Departemen Perkebunan propinsi, Menteri Keuangan Revitalisasi Kebun program, UNDP, etc. harus terlibat untuk mendukung proyek-proyek perintis. Objektif: Menciptakan beberapa proyek perintis yang memiliki dampak tinggi langsung bagi investor-petani kecil minyak kelapa sawit dalam area-area produksi utama di Aceh (Annex 1) yang akan memberikan jasa komprehensif dan pendanaan kepada seluruh partisipan. Proyek perintis ini akan mendemonstrasikan model kerjasama yang akan menstimulasikan investasi lebih lanjut dalam sektor minyak kelapa sawit dan memberikan keuntungan maksimal untuk ekonomi, social dan ekologi Aceh. Rasionalisasi: Model investasi yang dapat dijalankan, yang secara efektif mengumpulkan sumber-sumber teknis dan keuangan dari pemerintah, sektor swasta dan petani kecil sangat dibutuhkan sekarang dalam industry kelapa minyak sawit Aceh. Proyek-proyek perintis ini dapat terbentuk di 60,000 hektar lebih dalam pusat perkebunan dan lebih dari 50,000 hektar dalam skema petani kecil dalam lima tahun mendatang. Hal ini dapat memberikan konstribusi signifikan ke pemulihan ekonomi Aceh untuk 15 tahun kedepan. Kegiatan:
Menunjukkan satu spesialis minyak kelapa sawit dari Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan untuk bertindak sebagai coordinator upaya ini Mengelola komite peninjauan proyek perintis dan penasehat Mengidentifikasikan dan mengevaluasikan kandidat proyek perintis Penetapan investor untuk proyek khusus dan model kerjasama pembangunan Koordinasi bantuan pendanaan dan teknis dari berbagai sumber, ie., investasi swasta, Departemen Perkebunan, Program Revitalisasi Kebun, etc. Meninjau ulang analisa feasibility, perencanaan bisnis, dan proposal pendanaan Dokumentasi dan monitoring dari proyek dalam portfolio.
Hasil yang direncanakan: Peluncuran dari beberapa proyek perintis dalam kerjasama public-swasta dalam area produksi utama Aceh, dengan potensi seluruh nilai investasi yang dapat lebih dari Rp 5 trillion (US$ 450 million). Setelah lokakarya di Banda Aceh, Sekretaris General dari GAPERDA Pak Sabri Basyah, yang juga merupakan principal dari PT. Basyah Putra Investama (BPI), Nusantara Bio Energy (NBE) dan PT. Mopoli Raya, menganjurkan menstimulasi pembangunan petani kecil di Aceh dengan mengumpulkan sumber pendanaan dari pemerintah Aceh, sektor swasta, dan skema nasional Revitalisasi pemerintah. Hal ini dapat bekerja dengan cara berikut:
27
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
-Dishutbun akan mendistribusikan Rp160 billion ($15 million) per tahun untuk mendirikan 15,000 hektar perkebunan bagi petani kecil per tahun hingga tiga tahun mendatang. Hal ini dapat menjadi equity fund bagi petani kecil -Sektor perusahaan-perusahaan swasta akan komit ke –setidaknya- 35,000 hektar dari perkebunan swasta per tahun, dengan nilai total investasi melebihi $110 million -Dishutbun dan beberapa perusahaan swasta terpilih akan mensponsori dan pada dasarnya menyediakan garansi untuk sekitar Rp480 billion ($44 million) dalam pinjaman per tahun dalam tiga tahun mendatang dari Revit Kebun-bank-bank yang berhubungan kepada skema petani kecil. Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya: - Departmen Perkebunan Aceh - Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan - Perusahaan swasta minyak kelapa sawit lokal, nasional, dan internasional - Organisasi dan koperasi petani kecil -Menteri Keuangan, Program Revitalisasi Kebon -LSM-LSM dan organisasi multilateral Permasalahan No. 4. Walaupun ada Larangan Penebangan (Logging) Total yang diberlakukan oleh Gubernur Irwandi pada Juni 2007, ancaman besar terhadap hutan dengan nilai konservasi tinggi (HCVFs) dan rawa kritis ekosistem kecamba berkualitas tinggi bersertifikat tetap ada. Rekomendasi No. 4: Menciptakan inisiatif diseluruh propinsi dalam menanggapi dan membangun mekanisme kompensasi untuk ancaman kepada hutan dengan nilai
konservasi tinggi (HCVFs) dan rawa kritis ekosistem oleh perkebunan minyak kelapa sawit dibawah sponsor secretariat “Aceh Green”, didanai oleh dana khusus seperti IFC’s Biodiversity and Agricultural Commodities Program (BACP). Objektif: Melalui proses beragam pemangku kepentingan, menunjukkan bahwa industry minyak kelapa sawit Aceh dapat mengejar pertumbuhan efektif dan pengembangkan strategi tanpa konversi hutan lebih lanjut atau degrasi sumber.
Rationalisasi: Inisiatif khusus diperlukan untuk melindungan tanah rendah yang terancam HCVFs dan peat swamps, hingga propinsi Aceh dapat menghindari kerusakan pada deposit carbon utama dan hilangnya habitat margasatwa. Insentif yang efektif, pengendalian dan mekanisme kompensasi akan perlu direncanakan untuk mengumpulkan kerjasama dan dukungan oleh perusahaan sektor swasta dan masyarakat lokal saat bersamaan. Bila upaya ini sukses dalam mencegah hilangnya carbon utama dan melindungi diversifikasi biologis di Aceh, hal ini akan menjadi model lebih luas bagi Indonesia dan Negara tropis lainnya. Kegiatan: Membuat konsep dan mengatur inisiatif dengan beragam pemangku kepentingan pada seluruh propinsi untuk hutan dengan nilai konservasi tinggi (HCVFs) dan rawa kritis ekosistem (Critical Peat Swamp Ecosystems) Menunjukkan pemimpin (pemimpin) tim, staff inti, dan penasehat program Mengumpulkan dan merangkum semua data yang ada, peta dan bahan-bahan tertulis tentang HCVFs dan peat swamps Aceh
28
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Survei organisasi pendanaan untuk carbon yang ada Carbon Conservation, McQuorry Bank dan programs-program seperti the AusAid Forest Carbon Initiative Menjalankan penelitian lapangan di area-area terkena dampak untuk mengukur carbon dan biodiversity valuations Merancang Memoranda of Understanding (MOUs) dan Letters of Intent (LOI) antara organisasi-organisasi pendana, perusahaan swasta minyak kelapa sawit, masyarakat local dan pihak ketiga Sponsor HCVF secara periodic untuk kesadaran –kreasi dan acara pelatihan bagi perusahaan swasta, LSM dan masyarakat lokal, dengan menggunakan keahlian yang ada
Hasil yang direncanakan:: Menciptakan konsensus dan dukungan didalam pemerintah, industry minyak kelapa sawit dan masyarakat madani untuk melindungi ekosistem tanah-rendah kritis di Aceh (hutan dan rawa berlumpur) melalui kombinasi dari insentif, pengendalian, dan mekanisme pendanaan. Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya: - Departemen Perkebunan Aceh - Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan - Pimpinan dan pejabat kabupaten lokal Local -Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), - LSM Konservasi (ie., FFI, PanEco, YEL) - Perusahaan swasta minyak kelapa sawit lokal, nasional, dan internasional - Organisasi dan koperasi petani kecil Permasalahan No. 5. Pengadaan dari bibit berkualitas tinggi bersertifikat dan bahan-bahan penanaman tidak memadai untuk memenuhi permintaan dari perluasan perkebunan minyak kelapa sawit. Rekomendasi No. 5: Menciptakan sertifikasi bibit kelapa sawit propinsi dan program distribusi dalam kerjasama antara Departemen Perkebunan dan Gabungan asosiasi produsen perkebunan Aceh (Gaperda). Objektif: Untuk memberikan kepastian bahwa perusahaan dan petani kecil di propinsi Aceh akan mendapatkan akses ke stok bibit berkualitas tinggi bersertifikat dan kecamba dari produsen bibit yang memiliki kualifikasi dan propagation pembibitan. Untuk menciptakan cara yang dapat dipertanggung jawabkan asal dan kualitas dari semua materi penanaman minyak kelapa sawit yang masuk ke Aceh dalam tahun-tahun. Rationalisasi: Pemerintah Aceh perlu mengambil peran yang aktif dalam mengadakan bahan penanaman minyak kelapa sawit dan integritasnya, karena kualitas bibit, ketahanannya, produktifitasnya merupakan satu-satunya penentu dari suksesnya perkebunan minyak kelapa sawit. Inisiatif ini akan memberikan kontribusi kuat untuk tujuan meningkatkan sektor penanaman minyak kelapa sawit Aceh hingga 200,000 hektar atau lebih dalam lima tahun kedepan Kegiatan:
Mendirikan unit sertifikasi bibit minyak kelapa sawit didalam Dishutbun Departemen Perkebunan di Banda Aceh
29
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Penanda-tanganan Memorandum of Understanding (MOU) antara Dishutbun dan Gaperda untuk menetapkan parameter sebuah kerjasama antara pemerintah dan sektor swasta minyak kelapa sawit Aceh didalam proyek ini Memperkerjakan satu konsultan dari badan sertifikasi/penetapan kualitas SGS International dan/atau Sucofindo dan satu lagi yang merupakan spesialis bibit tanaman perkebunan dari Universitas yang dekat guna membantu dalam pola teknis program tersebut Berkonsultasi dengan produsen besar untuk bibit dan kecamba minyak kelapa sawit berkualitas, Marihat Research Station, PT Lonsum, dan PT Socfindo, untuk mendiskusikan keberadaan, protokoler sertifikasi, dan efisiensi distribusi Menentukan import bibit bagi seluruh propinsi secara tahunan dan target produksi kecamba Menciptakan rencana tindakan dan manual operasional yang sederhana untuk penyimpanan bibit dan distribusi, pola pembibitan, manajemen transportasi, dll Staff recruitment dan peluncuran programmnya di Banda Aceh dan pusat-pusat regional Monitoring yang rutin dari masukan bibit/kecamba minyak kelapa sawit shipments dan penilaian secara berkala untuk produsen bibit Mengamankan pendanaan yang dijanjikan secara internal maupun eksternal untuk mempertahankan program selama setidaknya lima tahun
Hasil yang direncanakan: Menciptakan kerjasama yang memiliki kredibilitas dan efektif pada sektor pemerintah-swasta di Aceh untuk bibit kelapa sawit dan sertifikasi kecamba, kepastian kualitas, dan distribusi. Inisiatif ini akan mampu defray sebagian dari porsi biayanya melalui fee korporat dan kontribusi nya. Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya: - Departemen Perkebunan Dishutbun Aceh - Anggota Gaperda - Perusahaan Produsen Besar Bibit Minyak Kelapa Sawit (Marihat Research Station, Lonsum, and Socfindo) - Organisasi dan koperasi petani kecil - Calon pendanan proyek (ie., Unilever, Nestle, etc.) Permasalahan No. 6: Harga di batas perkebunan yang rendah dan kurang adanya penggilingan CPO yang mudah di akses membatasi perluasan perkebunan besar dan petani kecil perkebunan minyak kelapa sawit. Rekomendasi No. 6: Memperbaiki rantai pengadaan dengan mempromosikan tanaman dan diversifikasi penghasilan di perkebunan, mendukung perbaikan berkualitas, memberikan insentif untuk pembangunan penggilingan lokal dan menciptakan transparensi harga. Objektif: Untuk mengembangkan strategi untuk mendongkrak petani kecil dan produktifitas perkebunan besar dan penghasilan di Aceh yang saat ini berada dibawah tekanan tidak baik untuk masalah harga dan kondisi infrastruktur. Untuk memperbaiki kekayaan rantai pengadaan dan transparansi untuk petani kecil dan perkebunan besar sebagai upaya untuk menanggulangi fluktuasi harga dan pemborosan.
30
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Rationalisasi: Perbaikan yang ditargetkan untuk rantai pengadaan dan mechanism harga diperlukan untuk menanggapi dampak negative dari harga turun CPO saat ini serta fluktuasi harganya. Kegiatan:
Menciptakan gugus kerja perbaikan rantai pengadaan didalam Kelompok kerja Minyak Kelapa Sawit berkelanjutan Conduct an updated province-wide palm oil supply chain assessment workshop in early 2009 involving government, private sector, and NGO/civil society participants Membangun strategi untuk diversifikasi penghasilan dan tanaman didalam petani kecil dan perkebunan minyak kelapa sawit dalam skala besar di proyek perintis kerjasama minyak kelapa sawit terpilih (Rekomendasi 3): -Silang tanaman (Intercropping) dengan tanaman untuk bahan makanan sejak tahun 0-4, contohnya: biji kedelai, maizena, dan biji-bijian (pulses) lainnya, yang dapat menjadi makanan tambahan dan penghasilan untuk keluarga. -Mengembalakan Ternak dibawah pohon kelapa sawit yang matang dapat memberikan Rp 10 million per tahun dalam penghasilan tambahan atau meningkatkan Mengembangkan dan menjalankan pelatihan dan bantuan teknis untuk perbaikan kualitas panen yang dapat meningkatkan harga di perbatasan perkebunan dalam proyek perintis kerjasama yang tertuju secara khusus minyak kelapa sawit Menciptakan program insentif untuk menstimulasikan lebih lanjut pembangunan penggilingan minyak kelapa sawit di Aceh, terutama penggilingan lokal tingkat kecil yang dapat menangani buah sawit yang kematangan atau dengan mutu buah yang rendah especially local level mini-mills which can handle overripe or low-grade fruit (TBS) Mengaktivasikan badan pengawas harga untuk beragam pemangku kepentingan yang di mandatkan di seluruh Indonesia berarti mempromosikan transparasi harga untuk semua pihak yang terkait. Menyertakan hal ini dalam rancangan Qanun untuk perkebunan (Rekomendasi 2)
Hasil yang direncanakan: Inisiatif ini akan menstimulaiskan bebrapa perbaikan dalam rantai pengadaan melalui konsultasi aktif berbagai pemangku kepentingan, kegiatan dukungan teknis di lapangan, dan menguatkan transparansi informasi. Target Pemangku Kepentingan (klien) dan pendukungnya: - Departemen Perkebunan Dishutbun Aceh - Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan - Perusahaan perkebunan besar - Koperasi dan asosiasi petani kecil - Badan pendonor Bilateral dan multilateral ie. UNDP, EDFF, and/or USAID
31
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
B. Rekomendasi prioritas lebih rendah: Permasalahan No. 7: Tekanan mulai terasa di tingkat kabupaten di seluruh Aceh untuk menghibahkan konsesi baru untuk minyak kelapa sawit. Rekomendasi No. 7: Proses persetujuan dan pembaruan untuk menjajarkan kembali konsesi tanah diperlukan untuk menciptakan kapasitas dan konsensus dalam penggunaan perencanaan tanah, produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan, dan model usaha yang bertanggung jawab secara social. Sebagai lanjutan dari lokakarya Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh pada Desember 2008, perlu didirikan sebuah komite peninjau ulang untuk izin konsesi dan pembaharuannya (HGU/Izin Prinsip) yang terdiri dari pegawai Dishutbun di tingkat propinsi dan kabupaten. Komite ini dapat bertemu per kuartal dan membuat rekomendasi ke kantor Gubernur tentang permohonan HGU saat ini dan dimasa mendatang. Prioritas untuk persetujuan harus diberikan ke proyek perintis kerjasama public-swasta yang menyertakan prinsip-prinsip berkelanjutan RSPO dan objektif visi “Aceh Green”. Permaslahan No. 8: Keberadaan dari sumber investasi dalam ekspansi minyak kelapa sawit berkelanjutan di Aceh terhambat oleh resiko tinggi/persepsi ketidak amanan dan kurangnya promosi dan koordinasi investor yang efektif.
Rekomendasi No. 8: Pada tahun 2009, program Investment Climate Advisory Services IFC perlu menciptakan inisiatif khusus untuk memperbaiki iklim usaha untuk minyak kelapa sawit dan tanaman perkebunan lainnya. Pegawai yang sekarang maupun yang sebelumnya, serta konsultan dari Aceh Investor Outreach Office (IOO) dan/atau Badan Promosi dan Investasi Aceh harus saling merangkul dalam upaya ini. Upaya ini harus menyertakan membuat pengertian dan konsensus dalam resolusi untuk masalah hutan sektor swasta, yang saat ini tidak ada, karena adanya konflik . Permasalahan No.9: Infrastruktur public yang mendukung untuk pembangunan sektor kelapa sawit berkelanjutan seperti feeder ports, tank farms, dan harvest roads tidak memadai. Rekomendasi No. 9: Sebelum April 2009, Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan yang baru berdiri perlu membuat komite infrastruktur minyak kelapa sawit dan membuat rancangan induk jangka panjang dengan kerjasama Dishutbun, Gaperda, serta para spesialis teknis kunci di BRR, World Bank, dan UNDP. Untuk batasan paling penuh, investasi swasta untuk perbaikan pelabuhan dan pembangunan pergudangan perlu di dorong melalui insentif pajak dan pengurangan pada batasan birokrasi dan. Issue Number 10: Kurangnya konsistensi dalam keselamatan kesehatan dan pekerjaan, udara, air dan pengendalian polusi tanah, serta efisiensi tenaga energi diantara fasilitas proses pasca panen di Aceh. Rekomendasi No. 10: Peraturan legislatif Qanun untuk perkebunan harus dapat di perkuat dan dimasukkan dalam referensi dari peraturan sekarang untuk keamanan dan kesehatan dalam pekerjaan di propinsi, udara, air dan pengendalian polusi tanah. Masukkan khusus untuk memperkuat pengendalian polusi harus disertakan dalam dukungan dari komponen Pembaharuan Energi yang merupakan bagan dari visi “Aceh Green” dengan menciptakan insentif-insentif
32
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
investasi seperti pendanaan mekanisme pembangunan clean development mechanism (CDM) dan pendanaan carbon. Permasalahan No. 11: Informasi, Pengetahuan, dan pengalaman dalam praktek-praktek produksi paling baik nyaris tidak tersedia untuk petani kecil dan bervariasi antara perkebunan besar. Rekomendasi No. 11: Dalam kerjasama dengan Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Dishutbun dan anggota-anggota pemimpin Gaperda seharusnya mensponsor bersama observasi/studi tur ke perkebunan besar dan petani kecil dan penggilingan di propinsi-propinsi lain Sumatra Utara (ie., LonSum), Riau (ie. WWF/Asian Agri), dan Kalimantan Selatan (ie. PT Minamas/KKPA SHE). Kelompok kerja ini bersama Gaperda bisa mensponsori kontes tahunan dan lokakarya satu hari untuk produksi dan praktek-praktic pasca panen yang inovatif di Aceh. Permasalahan No. 12: Data tentang tanah konsesi yang ada (HGUs) sering tidak memadai dan tidak akurat. Rekomendasi No. 12: Dishutbun Aceh dan mitra-mitra utama dalam Aceh Forest Redesign Team (TIPERESKA) seperti FFI harus mensponsori laporan khusus dan menjalankan analisa kekosongan dari hasil dan laporan ahkir tentang konsesi minyak kelapa sawit pada December 2008. Hal ini seharusnya menjurus kepada identifikasi dari mekanisme kolaborasi untuk berbagi dan memperbarui data mengenai tanah-tanah konsesi. Khususnya, hal ini dapat termasuk kreasi dalam skala kecil dari upaya berlanjut kepada proyek TIPERESKA yang terfokus kepada sektor perkebunan minyak kelapa sawit. Permasalahan No. 13: Penggunaan Tanah dan kepemilikan tanah sering tidak diakui secara legal atau demarkasi, hingga menimbulkan sengketa tanah dan penahanan investasi untuk perluasan perkebunan. Rekomendasi No. 13: Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan seharusnya mensponsori peninjauan untuk sarana perencanaan, teknologi pemetaan, dan mekanisme hukum untuk menstabilkan petani kecil dan sistem hak guna usaha tradisional. Upaya ini harus melibatkan badan-badan pemerintah dan proyek seperti Dishutbun, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan BAPPEDA, serta penelitian dan kebijakan LSM. Peninjauan kembali ini harus menghasilkan rekomendasi yang konkret untuk rancangan Qanun untuk perkebunan (Rekomendasi 2) dan bimbingan teknis untuk proyek perintis publik-swasta. Permasalahan No. 14: Keberadaan tenaga kerja loka dan kapasitas organisasi petani kecil menjadi rintangan di beberapa area dan bisa menghancurkan secara perlahan-lahan atau menahan pembangunan perkebunan. Rekomendasi No. 14: Kelompok kerja dalam kolaborasi dengan badan pemerintah yang terkait dan LSM seperti Eye on Aceh, Oxfam dan Aceh Social Development (ASD) seharusnya menciptakan komite khusus untuk tindakan penelitian dan peninjauan ulang kebijakan untuk
33
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
tema-tema keberadaan tenaga kerja dan pembangunan kapasitas organisasi untuk petani kecil. Komite tersebut harus mensponsori konsultasi-konsultasi pemangku kepentingan dengan sektor swasta, LSM dan masyarakat madani untuk topic-topik berikut ini: a) kebutuhan tenaga kerja minyak kelapa sawit dan adanya kekosongan, b) kontrak resiko tenaga kerja dan penaksiran kesempatan, c) meninjau urang kebutuhan investasi untuk infrastruktur social (perumahan, sekolah, fasilitas keagamaan, jalanan, dll...), dan, d) perkiraan pembangunan kapasitas organisasi petani kecil dan analisa biaya. Pada pertengahan tahun 2009, komite ini akan mengajukan penemuannya melalui forum public dan laporan ringkas.
34
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Permasalahan No. 15: Peran dan status dari badan koordinasi Aceh Plantation Development Authority (APDA)- otoritas pembangunan perkebunan Aceh – tidak jelas. Rekomendasi No. 15: Gugus tugas khusu yang terdiri dari anggota-anggota kunci dari Tim Penasehat Gubernur dan Sekretariat “Aceh Green” perlu bertemu secara terpisah dengan direktur APDA, pejabat senior di Dishutbun Aceh, dan anggota Pokja Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan untuk meninjau progress APDA hingga kini. Gugus tugas ini perlu merumuskan sebuah laporan dan rekomendasi kepada Gubernur mengenai performa APDA, strukturnya dan peran masa depannya sebelum Maret 2009.
35
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Annex 1. Proyek-proyek perintis Beberapa proyek-proyek perintis yang potensial telah diidentifikasikan selama empat bulan terakhir sejak dimulainya tugas konsultasi ini. Semua proyek-proyek ini diperuntukan agar mendukung strategi “Aceh Green” untuk pembangunan sektor minyak kelapa sawit berkelanjutan yang memberikan keuntungan langsung untuk petani kecil, terutama mantan tentara tempur dan para korban konflik. Rencana sementara mengidentifikasikan lokasi-lokasi proyek perintis termasuk area produksi utama yang ada dan yang potensi di beberapa kabupaten di Aceh ini: 1. 2. 3. 4. 5.
Aceh Jaya/Aceh Barat Nagan Raya/Aceh Barat Daya/Aceh Selatan Singkil/Subulussalam Bireun/Aceh Utara/Bener Meriah Aceh Timur/Aceh Tamiang
Acuan di Tabel 4 memberi ringkasa ke beberapa kandidat awal yang akan memerlukan penyelidikan lebih lanjut dan harus diberikan pada tahun 2009. Tabel ini menunjukkan masingmasing lokasi, mitra sektor swasta, estimasi hektar untuk perkebunan inti dan perkebunan plasma, serta ukuran dan status dari rehabilitasi terkait atau penggilingan CPO yang baru dibangun pasca –panen: Sustainable Palm Oil Pilot Project Candidates in Aceh IFC Aceh Green Vision Palm Oil Sector Development October 2008 Kabupaten
Aceh Jaya
Private Sector Partners
PT Boswa Megalopolis
Core
Smallholder
Plantations
Plantations
Total
Mills
(Hectares)
(Hectares)
(Hectares)
(MT/hr)
7,000
3,000
10,000
3,000
12,000
15,000
Status
60
New
Nagan Raya
PT NBE/PT Mopoli Raya
7,000
3,000
10,000
30
New
Singkil
PT Lestari Tunggul Pratama
4,600
5,000
9,600
45
Rehab
Hermes Group
5,000
5,000
45
New
2,000
n.a.
n.a.
Bireun, Bener Meriah
International Organization for
Aceh Utara
Migration (IOM)
Aceh Utara
PT Satya Agung/RSA Group
9,000
4,000
13,000
30
New
Koptan Perk. Batee Meuasah
9,000
6,000
15,000
30
New
PT Cipta Ganda Utama
9,000
3,500
12,500
30
Rehab
5000
10,000
30
New
30
New
Aceh Timur
2,000
IK Plantations Sdn Bhd Aceh Tamiang/
PT Minamas: Padang Palma
5,000
Various Locations
Permai/Perkasa Subur Sakti
15,000
10,000
30,000
73,600
53,500
128,100
TOTALS
36
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Tabel 4: Kandidat-kandidat Proyek Perintis Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Aceh Deskripsi dari empat proyek prospektif untuk perintis kerjasama public-swasta sebagai berikut: Annex 1A: Proyek Perintis Aceh Jaya Deskripsi Proyek: P.T. Boswa Megalopolis, sebuah perusahaan produksi minyak kelapa sawit dari Aceh yang telah mengamankan dukungan investor domestic dan interansional untuk konsolidasi dan memperluas sahamnya di kabupaten Aceh Jaya. Perusahaan ini akan merehabilitasi dan menanam kembali tanah konsesi 7,000 hektar(HGU) yang ada dan membangun skala komersial pertama dengan 60 metric ton per jam, proses penggilingan terkini di kabupaten tersebut. Mereka sudah mengukuhkan 20 hektar tempat pembibitan dangan materi bibit berkualitas yang didapat dari PT London Sumatra di Sumatra Utara dan dari Costa Rica. Perusahaan ini telah memulai kolaborasi dengan sekitar 1,500 petani kecil di dekatnya dengan memberikan mereka kecamba berkualitas dan dukungan teknis. Perluasan tambahan yang diantisipasikan dengan harapan perusahaan untuk menata diri dengan pembentukan ulang dari skema transmigrasi pada perkebunan 15,000 hektar inti-plasma yang dimulai oleh P.T. Tiga Mitra Perdana yang terhenti di pertengahan 1990 an karena konflik penduduk.
Rationalisasi: Proyek ini memerlukan investasi strategis oleh perusahaan untuk mengkonsolidasi dan memperluas operasionalnya didalam area yang sebelumnya terasingkan yang diharapkan untuk membangun secara substansial dengan konstruksi jalan raya baru Banda Aceh-Meulaboh. Area ini memiliki potensi pertumbuhan yang sangat, yang telah terhalang selama 15 tahun terakhir oleh karena konflik, lalu oleh kurangnya investasi dan infrastruktur pasca panen. Proyek ini punya potensi untuk member dampak positif kepada 7,500 petani kecil di kabupaten Aceh Jaya. Potensi kolaborasi ini dapat mendukung rencana rehabilitasi dan pembangunan dari sekitar 30,000-40,000 hektar perkebunan minyak kelapa sawit Aceh Jaya berdasarkan prinsip-prinsip berkelanjutan. Project Proponents: -P.T. Boswa Megalopolis, Calang, Aceh Jaya dan Medan, Sumatra Utara serta investor domestic dan internasional yang terasosiasi -Petani kecil independen dan koperasi yang terasosiasi lokal -LSM Lingkungan dan pembangunan seperti Flora and Fauna International (FFI) Pengaturan Manajemen: Skema sektor swasta yang dikelola dengan partisipasi petani kecil yang terarah. Baik perusahaan dan petani kecil tetap memiliki control atas tanah dan asset mereka masing masing. Proyek ini akan mengikuti garis pedoman minyak kelapa sawit berkelanjutan/RSPO untuk praktek manajemen yang baik, informasi dan transparansi harga serta persetujuan terlebih dahulu. Kerangka waktu dan estimasi biaya: Fase 1: Rehabilitasi perkebunan yang ada: 2008-2010 Est. Rp 52.5 billion Konstruksi penggilingan CPO baru: 2009-2010 Est. Rp 100 billion
37
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Fase 2: Pembangunan Petani Kecil: 2009-2012 Rp 45 billion Proyek Rehabilitasi untuk mantan inti-plasma: 2009-2015 Est. 200 billion Total Dana: Rp 397.5 billion (US$35 million)
38
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Annex 1B: Proyek perintis Bireun/Bener Meriah/Aceh Utara Deskripsi Proyek: Proyek Pelayanan Informasi, Konsultasi dan Rujukkan (PIKR-Information, Consulation, and Referral) merupakan skema pembangunan petani kecil yang melibatkan 1,000 mantan tentara yang berpencaran di kabupaten Aceh Utara, Bireun, Bener Meriah. Partisipan proyek akan menerima dukungan keuangan dan teknis, serta pengaturan hak penggunaan tanah yang jelas untuk pengembangkan 2,000 hektar dari perkebunan minyak kelapa sawit: 1. Bireun, 600 Hectares 2. Aceh Utara, 600 Hectares 3. Bener Meriah, 800 Hectares Proyek ini akan di danai dan dijalankan oleh International Organization for Migration (IOM) dari 2008-2010. Proyek ini akan memberikan pendanaan untuk pendirian perkebunan, tempat pembibitan, bantuan teknis dan pelatihan, serta pembangunan organisasi koperasi. Pada awalnya, pendanaan akan diberikan untuk menanam 0.5 hektar jagung atau biji per plot sebelum penanaman kecambah minyak kelapa sawit, untuk mengokohkan komitmen dari partisipan. Para penyandang dana akan menjyang dibantu, tetapi tidak secara langsung terikat ke perusahaan perkebunan besar. Rationalisasi: Proyek ini mencari model untuk member kuasa kepada mantan tentara untuk mendirikan perkebunan kecil di salah satu area yang memiliki potensial tinggi untuk ekspansi minyak kelapa sawit. Memfokus pada pengembangan organisasi koperasi dan pembangunan kapasitas sebagai alat utama untuk mencapai tujuan ini. Proyek ini dapat menjadi sumber contoh upaya serupa untuk mendukung perluasan petani kecil minyak kelapa sawit di wilayah lain Aceh. Pendukung Proyek: -International Organization for Migration (IOM), Aceh Programme -Koperasi petani kecil Bintang Mas Pengaturan Manajemen: Proyek ini akan dikelola koperasi oleh dua pendukung utama : IOM dan koperasi petani kecil baru Bintang Mas. IOM will overakan mengawasi implementasi proyek dan upaya pembangunan kapasitas untuk memastikan bahwa proyek tetap sesuai jalur dan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam dua tahun hidupnya proyek, semua keputusan, keuangan dan laporan program, serta pengendalian asset akan ditransfer ke koperasi. Kerangka waktu dan estimasi biaya: October-December 2008: Pendirian organisasi, mobilisasi partisipan dan identifikasi tanah. January-June 2009: Pengosongan tanah dan penanaman tanaman peserta petani kecil. July-December 2009: Penataan, persiapan, dan pencakokan kecamba kelapa sawit. January-December 2010: Pelatihan dan bantuan teknis dalam manajemen koperasi dan praktekpraktek baik manajemen. Total Estimasi Budget: US$ 4.5 million
39
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Annexes 1C: Proyek Perintis Aceh Utara Deskripsi proyek: Pemerintah kabupaten Aceh Utara telah mentargetkan dan menyisihkan 39,000 hektar dari tanah pertanian yang bukan hutan untuk minyak kelapa sawit dan tanaman lain untuk perkebunan di dalam daerah tersebut. Hal ini termasuk 6,000 hektar tanah yang sebelumnya tidak ditanami di kecamatan Paya Bakong kecamatan, yang ditunjukkan untuk 1,500-anggota koperasi petani kecil Perkebunan Batee Meuasah pada 2007 untuk pembangunan perkebunan minyak kelapa sawit. Sebuah survey lapangan mengidikasikan bahwa area ini terutama terdiri dari daratan datar atau topografi sedikit berbukit, kebanyakan tanaman hijau swidden , dan tanah yang cukup subur. Koperasi Perkebunan Batee Meuasah, terdiri dari para mantan tentara dan korban konflik dan diketuai oleh Teuku Abubakar Sulaiman, telah menanamkan total 980 hektar dengan dukungan dana Proyek Pengembangan Masyarakat Miskin Korban Konflik (PMMK-Poor Conflict Victim Community Project). Beberapa anggotanya memadukan tanaman di perkebunan barunya dengan tanaman seperti kedelai, kacang tanah, cabe dan kunyit. Koperasiny juga telah 45 hektar dari jalanan yang menjadi akses dan mendirikan tempat pembibitan kelapa sawit dengan bibit dari Marihat Research Center. Dishutbun Aceh Utara mencari mitra dari sektor swasta guna kerjasama untuk hal ini serta proyek pengembangan minyak kelapa sawit lainnya yang memiliki keahlian, modal dan komitmen untuk bekerja dengan cara yang kooperatif dengan petani kecil. Mereka mencari perusahaan yang sudah aktif di kabupaten atau tempat lain yang mau untuk berinvestasi di perkebunan inti dan penggilingan dan untuk menjadi pembeli dari produksi petani kecil yang dapat dipercaya. Baik pemerintah lokal dan koperasi menunjukkan bahwa sumber keuangan mereka terbatas untuk melanjutkan penanaman dan mendirikan sepenuhnya 6,000 hektar parcel yang sudah dimulai. Saat ini tidak ada pendanaan baru sama sekali untuk sisa 33,000 hektar, yang bisa menghasilkan paling tidak 20,000 hektar perkebunan inti dan plasma minyak kelapa sawit baru. Beberapa kandidat yang potensial untuk dijadikan mitra dari sektor swasta untuk investasi ke depan di sektor kelapa sawit Aceh Utara telah muncul, termasuk PT. Satria Agungyang dimiliki oleh perusahaan Aceh PT. Risyadson Sejahtera Agrobusiness (RSA). Tanah konsesi RSA’s Satria Agung concession (HGU) sekitar 9,000 hektar untuk minyak kelapa sawit dan 2,000 hektar dari perkebunan karet dan cocoa yang kebanyakan ditinggalkan atau diabaikan pada masa konflik. RSA dalam proses merehabilitasi komplit bagian minyak kelapa sawit dari perkebunan di tanah 3,000 hektar per tahun rata rata mulai tahun ini. Mereka telah membangun tempat pembibitan sebesar 35 hektar dengan stok bibit yang berkualitas tinggi dari PT London Sumatra. Rencana juga sedang berjalan untuk membangun dua penggilingan proses minyak kelapa sawit di tahun 2009. RSA juga telah menyatakan minat untuk mendukung rehabilitasi minyak kelapa sawit di masa mendatang, dan ekspansi 3,000-5,000 hektar dari perkebunan petani kecil di area sekelilingnya. Ada perusahaan swasta lian yang telah menyatakan minat dalam menggali kesempatan untuk perluasan di Aceh Utara dan wilayah lain dari pesisir timur adalah PT. Minamas, yang merupakan dari kelompok perusahaan besar Malaysia Sime Darby. Minamas memiliki PT Padang Palma Permai dan PT Perkasa Subur Sakti, yang mengelola perkebunan inti dan penggilingan yang ada di Aceh Tamiang dan Aceh Timur kabupaten. Seperti saham lainnya dari Sime Darby’s di Malaysia dan Indonesia, ini akan menjadi bersertifikat RSPO dalam dua tahun mendatang. Staff Senior manajemen PT Minamas telah bertemu dengan pemimin Koperasi Petani Sawit Batee Meuasah serta penasehat teknis mereka di Dishutbun lokal pada lokakarya Minyak Kelapa Sawit
40
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
berkelanjutan di Banda Aceh. Tindah lanjut dari kedua pihak ini diharapkan terjadi pada pertengahan Januari di lapangan.
Rationalisasi: Proyek ini berupaya untuk mengkombinasikan sumber dengan minat bersama dari pemerintah lokal, perusahaan-perusahaan dari sektor swasta, dan organisasi petani lokal untuk menstimulasi perkebunan minyak kelapa sawit dan pembangunan penggilingan di area bekas konflik ini. Bila sukses, proeyk akan mendukung rehabilitasi dan pendiriang lebih dari 35,000 hektar perkebunan minyak kelapa sawit dan memberikan kesempatan penghasilan untuk sekitar 20,000 keluarga. Pendukung Proyek: Aceh Utara Kabupaten Dishutbun akan berkoordinasi dan memfasilitasi kerjasamam yang melibatkan Koperasi Perkebunan Batee Meuasah dan koperasi budidaya pertanian/perkebunan petani kecil dengan perusahaan produksi minyak kelapa sawit sektor swasta terpilih seperti PT. Risyadson Sejahtera Agrobusiness (RSA)/ PT. Satria Agung dan PT Minamas/Sime Darby Group. Pendanaan tambahan untuk perkebunan petani kecil akan dating dari program nasional Revitalisasi Kebun. Pengaturan Manajemen: Proyek kerjasama public-swasta ini masih dalam tahan sangat awal tentang pengaturan manajemen. Perusahaan dan petani kecil akan dapat kendali lagi akan tanah dan asset mereka. Proyek ini akan mengikuti acuan untuk minyak kelapa sawit berkelanjutan /RSPO untuk praktek-praktek manajemen yang baik, informasi dan penentuan harga yang transparan, dengan persetujuan sebelumnya. Kerangka Waktu dan perkiraan budget: Kerjasama MOUs, alokasi tanah, persiapan tempat untuk inti dan plasma, 2008-2009 Rp 40 billion Rehabilitasi perkebunan yang ada: 2008-2010 Est. Rp 135 billion Konstruksi penggilingan CPO baru: 2009-2010 Est. Rp 100 billion Pendirian perkebunan inti dan plasma baru 2009-2015 Est. Rp 650 billion Perkiraan Total Budget Rp 925 billion (US$ 95 million)
41
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Photographs of Paya Bakong Field Site, Aceh Utara Kabupaten (Kopbun Batee Meuasah):
42
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Annex 1D: Proyek Perintis Nagan Raya Deskripsi Proyek: PT Nusantara Bio Energy International (NBEI), sebuah perusahaan joint venture (gabungan) yang melibatkan pengusaha Aceh yang berpengalaman di minyak kelapa sawit Sabri Basyah dan investor dari Itali serta Singapore, menawarkan untuk memperluas sumber pengadaan minyak kelapa sawit di kabupaten Nagan Raya untuk aplikasi baik makanan maupun bahan bakar. NBEI akan bermitra dengan dua perusahaan produksi minyak kelapa sawit lokal, PT Mopoli Raya dan usaha gabungan Mr. Basyah: Basyah Putra Investama/Kerjasama Operasional (BPI/KSO) dengan perusahaan milik Negara PTPN1. BPI/KSO secara aktif merehabilitasi dan melakukan ekspansi sekitar 30,000 hektar dari perkebunan minyak kelapa sawit di Aceh Selatan, Nagan Raya, dan kabupaten Aceh Barat. NBEI mengembangkan rehalibitasi perkebunan minyak kelapa sawit jangka panjang dan rencana perluasan dengan perusahaan-perusahaan ini akan mengikuti acuan RSPO dan pada akhirnya akan mengikutsertakan 10,000-20,000 hektar dalam skema asosiasi petani kecil (KKPA-plasma). Proyek khusus ini akan mengembangkan sekitar 7,000 hektar perkebunan inti dan 3,000 hektar perkebunan plasma dari asosiasi petani kecil. Yang terakhir akan kerjasama dengan Dishutbun ditingkat lokal dan propinsi, serta di tingkat nasional dalam skema Revitalisai Kebun petani kecil. NBEI berencana untuk secara keseluruhan menyelesaikan plant biodiesel yang beroperasional penuh di Kuala Tanjung, Sumatra Utara pada akhir 2009 yang akan memproduksi 300,000 ton per tahun. Plant ini akan menggunakan teknologi mutahir proprietary yang dapat menggunakan beragam feedstocks seperti produksi kelapa sawit non-food grade dan pengelolaan sampah diatas CPO untuk produksi palm methyl ester (palm biodiesel). Pendekatan baru produksi biofuel menekankan prinsip-prinsip berkelanjutan dan menekan penggunaan produk food grade sebagai feedstocks. Rationalisasi: NBEI mendukung visi “Aceh Green” untuk strategi berkelanjutan yang baru muncul. Mereka akan menyiapkan pemimpin dan mendukung praktek produksi yang baik, pengendalian kualitas produk dan patuh pada peraturan RSPO dan sertifikasi kepada supplier mereka yang di Aceh, termasuk Mopoli Raya, BPI/PTPN1, dan lain-lain dan secara perlahan menyeluruh dengan estimasi lebih dari 70,000 hektar. NBEI maju sebagai contoh produksi biodiesel lokal dengan menggunakan teknologi mutahir yang dapat dijual secara lokal melalui perusahaan minyak dan gas Negara, Pertamina atau secara internasional. Pendukung proyek: Proyek akan dikelola oleh PT NBEI, Medan, Sumatra Utara dengan kerjasama dengan PT Mopoli Raya, Medan, Sumatra Utara, PTBPI/KSO Blangpidie, Aceh Barat Daya/Medan, Sumatra Utara dan organisasi serta koperasi petani kecil minyak kelapa sawit lokal. Pengaturan Manajeman: Skema pengelolaan konsorsium sektor swasta dengan partisipasi terarah dari petani kecil. Baik perusahaan maupun petani kecil akan mendapatkan pengendalian akan tanah dan asset mereka. Proyek ini akan mengikuti peraturan minyak kelapa sawit berkelanjutan /RSPO untuk praktek-praktek manajemen yang baik, transparansi informasi dan harga dan persetujuan sebelumnya.
43
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Kerangka waktu dan estimasi budget: 2009 pengosongan lahan, pendirian tempat pembibitan, demarkasi tanah petani kecil. Est. Rp 25 billion 2010-2012 Penanaman ulang perkebunan inti yang ada, persiapan/penanaman area plasma Est. 245 billion 2011-2013 Selesainya infrastruktur jalanan, membangun penggilingan baru 30 ton/jam Est. Rp 60 billion Estimasi keseluruhan biaya proyek Rp 330 billion (US$ 33 million)
44
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Annex 2: Aceh Maps and Additional Data MAP OF ACEH
45
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Aceh Green
Existing Forest
3,101,960
Degraded land
804,550
Plantation
209,703
Agriculture/coastal settlements/ urban Total
1,504,112
1. Eternal Forest (existing)
3,101,960
2. Eternal Forest (replanting) 3. Community forestry
5,620,325
250,000 Up to 350,000
4. Land Reform (Smallholder Plantation)
250,000
5. Existing Plantation
200,000
5. Agriculture/ coastal settlements & other use
Total
1,468,000 ± 5,619,960
46
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Annex 3: Ringkasan Rapat Meja Bundar untuk Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO) Rapat Meja Bundar untuk Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO) bermula pada tahun 2002 melalui rapat-rapat informal yang melibatkan perusahaan-perusahaan Eropa Unilever, Aarhus, Migros, dan Sainsbury, produsen minyak kelapa sawit utama di Malaysia , Golden Hope dan the Malaysian Palm Oil Association (MPOA), serta the international environmental organization World Wide Fund for Nature (WWF). Kelompok ini menciptakan kerja dasar untuk formasi RSPO dan mengorganisasikan “Roundtable 1” (RT1), perkumpulan tahunan pertama di Kuala Lumpur, Malaysia tahun 2003. Lebih dari 200 partisipan dari 16 negara mendatangi acara ini dan menanda-tangani Letter of Intent (LOI) yang secara resmi meluncurkan RSPO. LOI menyatakan visi dan misi organisasi sebagai berikut: Visi: RSPO memastikan bahwa produksi minyak kelapa sawit memberi kontribusi untuk dunia yang lebih baik Misi: RSPO mempromosikan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan, pengadaan dan penggunaan melalui pembangunan, implementasi dan verifikasi standard dunia yang dapat dipercaya, didukung oleh interaksi dan komunikasi antara para kunci pemangku kepentingan sepanjang proses rantai pengadaan. Prinsip dasar dan modus operandi dari organisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sifat dan keanggotaannya beragam pemangku kepentingan Sifatnya sukarela dan proaktif Transparan dalam berkomunikasi dan berbagi informasi Menyertakan antara beragam pemangku kepentingan Berdasarkan orientasi tindakan dengan hasil yang dapat diukur Berkomitmen penuh untuk produksi dan utilisasi minyak kelapa sawit berkelanjutan
RSPO telah mengikuti jejak dari beberapa inisiatif komoditas global, seperti berikut: -Forest Stewardship Council -Marine Stewardship Council -Common Code for the Coffee Community (4C) -Roundtable on Responsible Soy -Sustainable Tree Crops Initiative (Cocoa) Semua organisasi ini diciptakan dalam rangka menanggapi permasalahan utama dari lingkungan dan masyarakat dalam hubungannya ke produksi, proses dan pemasaran dari komoditas yang terkait. Kebanyakan dari mereka membawa serta para pelaku industry besar dengan konservasi dan pembangunan LSM sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran besar untuk kehancuran hutanhujan, penangkapan ikan yang berlebihan, hak tanah dan menghapuskan kemiskinan. The Forest Stewardship Council (FSC) adalah salah satu yang pertama, dan menghasilkan system sertifikasi yang diakui dunia interansional untuk produk-produk pohon dan kayu yang berkelanjutan.
47
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Kepemerintahan dari RSPO berada di Badan Eksekutifnya (EB) yang terdiri dari 17 anggota mewakili berbagai sektor di dalam organisasi —produsen dan manufaktur minyak kelapa sawit, LSM-LSM masyarakat dan lingkungan, institusi keuangan, dan asosiasi perdagangan. Sejak itu, Presiden dari Badan Eksekutif ini adalah Jan-Kees Vis, wakil presiden untuk Berkelanjutan Unilever, yang juga termasuk industry terbesar didunia untuk konsumsi produk minyak kelapa sawit. Pada April 2004, RSPO secara formal mendirikan secretariat di Kuala Lumpur, Malaysia, ibu kota dari Negara terbesar yang memproduksi minyak kelapa sawit pada saat itu. Kantor kecil ini termasuk Direktur Eksekutif, Koordinator Kegiatan, Direktur Keanggotaan dan staff pendukung lainnya serta konsultan sesuai kebutuhan. December 2006, RSPO mendirikan kantor penghubung Indonesia di Jakarta, ibu kota Negara tetangga yang sekarang telah mengalahkan Malaysia sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Kantor-kantor ini mengelola dan menjalankan tiga rapat meja bundar tahunan berikutnya di Singapore dan Kuala Lumpur. Kegiatan terakhir, RT5 yang diadakan di Kuala Lumpur pada November 2007, menarik lebih dari 800 partisipan lebih dari 35 negara. Pada Juni 2008, RSPO terdiri dari 229 anggota biasa dan 87 anggota afiliasi. Dari 2003-2005, focus utama dari RSPO adalah kreasi dengan konsensus kelompok Prinsipprinsip dan criteria (P & C) yang dapat berlaku sebagai dasar dari sistem sertifikasi yang dapat dipercaya dan komprehensif berkelanjutan. Rancangan pertama diselesaikan pada October 2005, terdiri dari 8 prinsip umum yang menyertakan 39 kriteria khusus (see attachment). Sekali rancangan telah ditetapkan pada RT4 di Singapore, RSPO mengelola beberapa inisiatif National Interpretation (NI) untuk meninjau ulang dan membuat indicator khusus serta peraturan untuk menetapkan P & C global dengan penyesuaian-penyesuaian untuk kondisi lokal. Inisiatif-inisiatif ini dikelola oleh National Interpretation Working Groups (NIWGs) yang terdiri dari perusahaan ketermuka dan LSM-LSM di Negara-negara tersebut. NIs sekarang telah dilengkapi untuk Malaysia, Indonesia, dan Papua New Guinea, dan tengah berjalan untuk beberapa negara lain di Amerika Latin dan Afrika. Sebagai contoh, di Indonesia, kantor penghubung nasional RSPO mendaftarkan empat perusahaan utama (Wilmar International, Sinar Mas, Musim Mas, dan London Sumatra) untuk bertindak sebagai tuan rumah untuk tes lapangan P& C serta indikator pembangunannya, bimbingannya, dan percobaan audit. Bekerja parallel dengan komunikasi terbuka dan pertukaran yang ada ke semua anggota RSPO, mereka menjalankan analisa kekosongan/absen kepaturhan RSPO, membantu membuat peta untuk proses audit, dan tes lapangan RSPO verifikasi dan protokol sertifikasi. Kantor penghubung juga bekerja dengan LSM-LSM utama seperti Sawit Watch untuk mengembangkan analisa kekurangan tersebut, indikator-indikator dan bimbingan untuk petani kecil. Verifikasi dan Sertifikasi Berkelanjutan RSPO Audit dan sistem sertifikasi RSPO diperuntukkan agar diakui secara umum dan menjadi program sertifikasi pihak ketiga terakreditasi untuk produsen, para pelaku proses, produsen bahan makanan dan non-makanan, manufaktur dan orang-orang retail diseluruh dunia. Dari 2005-2007, RSPO mempekerjakan sebuah organisasi konsultan yang di Negara Inggris, ProForest dan beberapa konsultan pribadi untuk menciptakan dasar dari sistem sertifikasi dan Acreditasi nya. Pada RT5 di Kuala Lumpurin November 2007, protokolnya untuk sertifikasi dan akreditasi oleh organisasi-organisasi pihak ketiga di dalam komite yang telah bertemu secara langsung, melalui telekonferensi dan e-mail.
48
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Pada akhir RT5, Eksekutif komite RSPO dan para anggota umum telah menyetujui sistem sertifikasi dan akreditasi yang di tawarkan. Antara waktu itu hingga sekarang, enam perusahaan di Malaysia, Indonesia, dan Brazil telah di akreditaski kan oleh RSPO untuk melakukan sertifikasi audit. Pada May 2008, inspeksi-inspeksi pertama dari perusahaan anggota RSPO dilakukan oleh badan inspeksi terakreditasi di Malaysia dan Indonesia. Jalur untuk audit dan para perusahaan yang memasuki proses sertifikasi secara perlahan bertambah sekarang, seperti yang dikasih lihat pada dokumen RSPO Power Point Update Seventh Generation. Transaksi dan pengiriman pertama dari produk bersertifikasi berkelanjutan siap di lihat pada awal September 2008, dengan menggunakan the Greenpalm Book and Claim system yang akan dijelaskan dibawah ini. Pada saat ini, hanya perkebunan origin-based dan proses operasionalisasi telah disertakan dalam program sertifikasi RSPO. RSPO telah berupaya untuk menciptakan standard an sertifikasi untuk produksi berkelanjutan, proses, dan pemasaran dari minyak kelapa sawit yang relative mudah, dapat di akses dan diimplementasikan diseluruh dunia secara konsisiten. Standar-standar ini diperuntukkan menjadi generic secara global dan memiliki ketentuan untuk beberapa kondisi khusus di tiap Negara. Standards dan sertifikasi diperuntukan agar dapat diadaptasi ke informasi baru, selain efisien dan efektif biaya untuk diukur dan di implementasikan. Seluruh proses auditing san inspeksi akan patuh pada pendekatan RSPOyang transparan dan menggunakan masukan beragam pemangku kepentingannya. Sertifikasi RSPO bertujuan untuk memastikan bahwa produk-produk di produksi sesuai dengan peraturan yang dihormati dengan penjagaan lingkungan dan social yang melindungi lingkungan kehidupan alami, pekerja dan komunitas lokal. Elemen dasar dari standar P & Cyang disebutkan sebelumnya dan terdapat di annex dan Resource CD-Rom. Seperti terlihat terdapat 8 pinsip umum P & C, yang memiliki orientasi aspirasi: Prinsip 1: Komitmen untuk transparan (2 Criteria, 8 Indicators) Prinsip 2: Mengikuti peraturan dan regulasi yang ada (3 Criteria, 9 Indicators) Prinsip 3: Komitmen keberadaan ekonomis dan keuangan yang jangka panjang (1 Criterium, 2 Indicators) Prinsip 4: Menggunakan praktek-praktek yang baik dan sesuai oleh penanam dan penggiling (8 Criteria, 31 Indicators) Prinsip 5: Bertanggung jawab pada lingkungan dan konservasi sumber alam dan biodiversitas (6 Criteria, 17 Indicators) Prinsip 6: Bertanggung jawab kepada pekerja dan kepada individu dan komunitas yang terkena dampak dari penanaman dan penggilingan (11 Criteria, 27 Indicators) Prinsip 7: Pembangunan bertanggung jawab untuk perkebunan baru (7 Criteria, 16 Indicators) Prinsip 8: Komitmen untuk memperbaiki secara terus menerus di area-area utama kegiatan (1 Criterium, 5 Indicators)
49
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Total terdapat 39 kriteria yang telah dikembangkan dalam realitas operasional dan organisasi yang berada di rantai pengadaan. Audit akan dilakukan menurut kriteria, menggunakan indikator yang dikembangkan oleh the National Interpretations (NIs). Kerangka kerja keseluruhannya diarahkan kepada konsep perbaikan yang terus dilakukan daripada kepatuhan utuh yang segera. Hal ini dapat dilihat sebagai kekuatan yang dipersepsikan dan kelemahan dari RSPO, dengan pendukung yang mengatakan prosesnya fleksibel dan realistis, dengan para detractors yang mengkritiknya sebagai proses yang berkompromi dan inkremental. Sertifikasi RSPO untuk produk-produk melalui rantai pengadaan di lakukan dengan tiga pendekatan:
1. Segregasi Total (Total Segregation) Sistem audit rantai pengadaan ini memungkinkan untuk pelacakan total dan tracking untuk semua materi/bahan alami hingga produk akhir melalui produksi, proses, penyimpanan, transport dan proses manufaktur. Saat ini keberadaannya utama di pasar yang bernilai tinggi seperti produkproduk sertifikasi organic. 2. Bobot Masa (Mass Balance) Sistem ini melacak volume dari produk-produk akhir yang dapat disertifikasi (terutama Crude Palm Oil atau Palm Kernel Oil) melalui korelasi hasil dengan masukan materi mentah yang dihasilkan perkebunan dan penggilingan dalam rantai pengadaan yang di audit. Protokol khusu dan acuan untuk audit dibawah sistem ini telah dikembangkan oleh RSPO melalui kontrakkontrak dengan Utz Certification Systems dan konsultan individu. 3. Pembukuan dan Klaim (Book and Claim) Sistem ini menciptakan mekanisme untuk mengeluarkan sertifikat sama dengan volume yang dikalkulasikan dari produk-produk yang diproduksi oleh perkebunan dan penggilingan yang telah di audit dan disertifikasi dalam rantai pengadaan tersebut. Hal ini pada dasarnya menunjukkan kuota penjualan untuk perusahaan bersertifikat dan belum tentu terikat langsung kepada produknya di kirimkan. RSPO telah menanda tangani kontrak dengan perusahaan Inggris yang ahli untuk dasar logistic data dan perdagangan Greenpalm, Ltd. Untuk mengelola sistem on-line ini untuk penjual maupun pembeli. Untuk setiap transaksi, Greenpalm memberikan kontribusi keuangan untuk RSPO. Ketiga pendekatan menunjukkan komplesitas dan kesulitan dari menciptakan sistem yang dapat dipercaya dan efektif biaya yang dapat dilacak untuk minyak kelapa sawit berkelanjutan. Hany track pertama: Segregasi Total (Total Segregation), member kepastian untuk pelacakan dan transparansi. Dua sistem yang melibatkan aggregation, bulking, dan blending di seluruh tingkatan dari kebanyakan rantai konvensional pengadaan minyak kelapa sawit, yang sulit untuk dilacak kembali. Contohnya, dibanyak bagian di dunia, produksi dari penggilingan local dan/atau penyaringan, yang sering merupakan kombinasi produksi dari berratus atau beribu perkebunan besar dan kecil, yang sering di simpan dalam tangki penyimpanan lokal yang di campur. Ini ditambahkan oleh ocean vessels yang dengan sendirinya cenderung mengkombinasikan produkproduk dengan penggunaan ruang dan keuntungan biaya. Rantai pengadaan dipersulit lagi dengan commercial bulking stations yang dimiliki oleh pedagang dan produsen di Negara-negara asal atau tujuan.
50
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Ketiga pendekatan diatas masih dalam tahap awal selagi generasi pertama audit RSPO sedang menunjukkan diri. Model Segregasi Total dianggap mahal kecuali untuk pasar khusus dengan harga premium seperti minyak kelapa sawit organik dan kebanyakan menganggapnya tidak praktis dalam aplikasi konvensional kecuali untuk kasus-kasus luar biasa seperti New Britain di Papua New Guinea. Di wilayah yang relative terisolasi, kebanyakan operasionalisasi dalam proses sertifikasi RSPO dan perusahaan tetap mempertahankan segregated bulking dan sistem penyimpanan. Pendekatan mass balance menawarkan pendekatan yang lebih ilmiah dan berdasarkan data, walaupun juga menawarkan kesempatan untuk pemotongan atau penyalahgunaan yang biasa dalam skema-skema sertifikasi skala. Metode book and claim merupakan sistem yang paling disukai oleh produsen dan pembeli sekarang karena potensinya menawarkan cara yang paling mudah, pragmatis dan efektif biaya untuk memenuhi permintaan untuk produk minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Tetapi metode ini juga sering dikrtitik oleh mereka yang mempertanyakan RSPO karena minimalnya pelacakan terhadap produk dalam rantai pengadaan.
51
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
Annex 4: Sebagian daftar dari organisasi-organisasi dan orang yang di konsultasi . Pemerintah: 1. Gubernur Irwandi Yusuf 2. Wakil Gubernur Muhammad Nazir 3. Ir.Hanifah, Kepala, Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Banda Aceh, Aceh 4. Drs. Masnun, Direktur, Departemen Perkebunan, Dishutbun, Banda Aceh, Aceh 5. Drs. Rustam Effendi, Director-Designate, Aceh Plantation Development Authority (APDA), Banda Aceh, Aceh 6. Ilarius Wibisono, Director, MIS Division Coordinator Assistance Team, Banda Aceh, Aceh 7. Dr. Hasan Sastra, Director, Governor’s Economic Team, Banda Aceh, Aceh 8. Teuku Rafly Pasya, Leader, Governor’s Assistance Team, Jakarta, Indonesia 9. M. Nur Djuli, Director, Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA) 10. Drs. Fauzan Azima, Director, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Banda Aceh, Aceh 11. M. Yakob Ishadamy, Head, Spatial Information and Mapping, BRR, Banda Aceh, Aceh 12. Drs. Nurdin Abdul Rahman, Bupati, Bireun, Aceh 13. Drs. Bupati, Calang, Aceh Jaya, Aceh 14. Drs. Syafruddin, Vice Bupati, Aceh Utara, Aceh 15. Anwar Muhammad, Chairman, Aceh Investment and Promotion Board 16. Ir. Sofyan, Head, Manpower and Mobility Department, Banda Aceh, Aceh 17. Teuku Zulfian Zulfikar, Director, Economic Development Division, BRR, Banda Aceh 18. Dr. M. Lubis, Former Head, BAPPEDA Aceh, Banda Aceh, Aceh 19. Drs. Supardi, Director, Dishutbun Bireun, Bireun, Aceh 20. Fachrida Kesuma, Executive Director, Perushaan Daerah Bireun, Bireun, Aceh 21. Ir. Faisal, Head, Plantations Department, Dishutbun Subullusalam, Subullusalam, Aceh 22. M. Munawar, Assistant Camat, Peudada, Peudada, Bireun, Aceh 23. Sean Stein, Consul, United States of America, Medan, North Sumatra Sektor Swasta: 1. Joeflly Bahroeny, Chairman, Gaperda, Medan, North Sumatra/Executive Director, PT Risyadson Sejahtera Agrobusiness, Medan, North Sumatra 2. Sabri Basyah, Vice Chairman, Gaperda, Medan, North Sumatra/CEO, Basyah Putra Investama/President, PT Nusantara Bio Energy (NBE), Medan, North Sumatra 3. Adi Zain, T.D., President, PT Boswa Megalopolis, Calang, Aceh Jaya and Medan, North Sumatra 4. Franki Anthony, CEO, Minamas Plantation/Sime Darby Group, Jakarta 5. Juddy Arianto, Director, PT Astra Agro Lestari Tbk, Jakarta 6. Ir. Ridwan H. Daud, General Manager, Kerja Sama Operasional (KSO), Blangpidie, Aceh Barat Daya 7. A.J. Tordeur, Principal Director, PT Socfin Indonesia, Medan, North Sumatra
52
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
8. Harold O Williams, Estate Advisor, PT Socfin Indonesia, Medan, North Sumatra 9. Dr. M.S. Kamaruzaman, Managing Director, IK Plantations Sdn Bhd, Kuala Lumpur, Malaysia 10. Mohd Razali, General Manager, Express Reliance Sdn Bhd, Banda Aceh, Aceh/Kuala Lumpur, Malaysia 11. Bryan Dyer, Managing Director, PT London Sumatra Indonesia Tbk, Medan, North Sumatra 12. Bambang Dwi Laksono, Environmental Manager, PT London Sumatra Indonesia Tbk, Medan, North Sumatra 13. Amol Titus, Senior VP, Hongkong Shanghai Banking Corporation Ltd (HSBC), Jakarta, Indonesia 14. Drs. H. Said Umar Husin, Direktor, PT. Kodel/BPR Tapeuna Dana, Jakarta 15. H. Firmandez, Chairman, KADIN-Aceh, Banda Aceh, Aceh 16. Drs. Adi Hussein Huzaifa, Executive Director, PT. Istana Warfin Indonesia, Medan, North Sumatra 17. Rein Meijer, Managing Director, Dynea-Indonesia, Langsa, Aceh/Medan, North Sumatra 18. Syafruddin Chan, Investment Consultant, Banda Aceh, Aceh LSMs: 1. Teuku Samsul Bahri, Executive Director, Eye on Aceh, Banda Aceh, Aceh 2. Lesley McCullough, Research Coordinator, Eye on Aceh, Banda Aceh, Aceh 3. Teuku Nasruddin, Executive Director, Aceh Social Development (ASD), Bireun, Aceh 4. Robert Sillevis, Director Aceh Program, Fauna & Flora International (FFI), Banda Aceh, Aceh 5. E. Abubakar, RSPO Program Head, Yayasan Ekosistim Leuser (YEL), Medan, North Sumatra 6. Ian Singleton, Director Orangutan Conservation Program, PanEco, Medan, North Sumatra 7. Desi Kusumadewi, Indonesia Program Manager, RSPO, Jakarta Indonesia 8. M. Farid, Program Manager, Biofuel Feedstocks Development Project, Conservation International-Indonesia, Jakarta, Indonesia 9. H. Fadlullah Wilmot, Southeast Asia Coordinator, Muslim Aid, Banda Aceh, Aceh 10. Luke Swainson, Policy Advisor, Oxfam, Banda Aceh, Aceh 11. Bachty Siahaan, Manager, FFI Forestry Redesign Team (TIPEREKSA), Banda Aceh 12. Dede Suhendra, Policy Director, Policy Director, WWF-Aceh, Banda Aceh 13. Purwo Susanto, National RSPO Coordinator, WWF-Indonesia, Jakarta, Indonesia 14. Abdurrahman Marzuki, Director, Aceh Development Business, Banda Aceh, Aceh 15. Arief Wicaksono, Policy Director, Greenpeace Southeast Asia, Jakarta, Indonesia 16. Cahyo Nugroho, Manager, RSPO Programs, FFI, Jakarta, Indonesia 17. Denis Ruysshaert, Director, Regional Conservation Programs, PanEco, Zurich, Switzerland Organisasi Bilateral/Multilateral: 1. Simon Field, Head of Office, U N Development Programme (UNDP), Banda Aceh, Aceh 2. LeRoy Hollenbeck, Senior Aceh Green Advisor, UNDP, Jakarta 3. Luc DeMeester, Senior Governance Advisor, GTZ, Banda Aceh, Aceh 4. Anbar Ashabul, Plantations Program Advisor, GTZ, Banda Aceh, Aceh 5. James Bean, Senior Advisor, International Organization on Migration (IOM), Banda Aceh
53
Prarencana, Laporan dan Rekomendasi: Strategi Pembangunan Minyak Kelapa Sawit yang Berkelanjutan untuk Aceh Green
2008
6. Miko Ollikainen, Program Officer, MDF/World Bank, Banda Aceh, Aceh 7. John Pontius, Program Manager, USAID ESP Aceh, Banda Aceh, Aceh
54