PRAKTIK PENASIHAT SPIRITUAL POLITIK DI SULAWESI SELATAN THE PRACTICES OF A POLITICAL SPIRITUAL COUNSELOR IN SOUTH SULAWESI
Hadisaputra, Nurul Ilmi Idrus, Tasrifin Tahara Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin,
Alamat Korespondensi
Hadisaputra Kantor Redaksi Majalah Khittah Jalan Perintis Kemerdekaan KM. 10 No. 38 Makassar Telp (0411) 586018 Hp. 085255955385 Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilatari oleh masih terbatasnya penelitian yang mengaitkan antara aktivitas supranatural dengan dunia politik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan praktik salah seorang penasihat spiritual politik di Sulawesi Selatan. Metode penelitian ini adalah metode kualitatif yang bertujuan untuk memberikan deskripsi secara rinci, seputar praktik yang dijalankan oleh penasihat spiritual politik. Jenis penelitian adalah studi kasus, yaitu proses pengkajian dan pengumpulan data secara mendalam dan detail seputar kejadian khusus. Lokasi penelitian ini di Makassar, dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penasihat spiritual politik yang diwawancarai telah mendampingi ratusan politisi, baik calon kepala daerah maupun calon anggota legislatif di berbagai tingkatan. Dalam menjalankan praktiknya, penasihat spiritual melakukan ritual zikir berjamaah dan kurban (maccera’). Tahapan zikir berjamaah yang dilakukan terdiri dari: 1) Zikir Mappateppe, untuk memprediksi peluang awal kemenangan; 2) Zikir Hajat, untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas; 3) Zikir “Sapu Mata”, untuk menerawang hasil akhir Pemilu. Semua tahapan zikir tersebut mempersyaratkan peserta zikir dari kalangan anak yatim piatu. Biaya operasional zikir tersebut bervariasi, bergantung pada level kontestasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa praktik penasihat spiritual lebih berorientasi magi, daripada agama. Kata Kunci: penasihat spiritual, zikir, magi Abstract The background of this research was the existence of the limited research which related the supernatural activities to the political world. Therefore, this research aimed to explain the practices of a political spiritual councelor in South Sulawesi. The research method was the qualitative method which intended to present a detailed description about the practices carried out by the political spiritual councelor. The type of the research was the case study, i.e. the study process and the in-depth and detailed data collection were about the special events. The research location was in Makassar, and the data were collected through observation and in-depth interviews. The research results revealed that the political spiritual councelor who was interviewed had assisted hundred of politicians, either the candidates for the local heads or the candidates for legislative of the various levels. In implementing her practices, spiritual counselor performed the ritual of the group zikir which she performed consist of (1) Zikir Mappateppe’, to predict the chance of initial victory; 2) Zikir Hajat, to increase the popularity and electability; 3) Zikir "Sapu Mata", to gaze the final result of the election. All of the zikir phases required the zikir participants to be chosen from the orphaned children. The operational costs of the zikir varied, depending on the contestant levels. Therefore, this research concluded that the practices of the spiritual councelor was more magi-oriented than religion oriented. Key Words: Spiritual Councelor, Recitation, magi
1
PENDAHULUAN Tribun Timur (2013), pada halaman
“Tribun Pemilu”
menurunkan judul berita
headline “Jimat Maccaleg Rp 10 M”. Berita tersebut mengulas sepak terjang paranormal Ki Joko Bodo dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden. Ki Joko Bodo mengemukakan sejumlah ritual yang mesti dijalankan kliennya. Ritual ini nampaknya bernuansa sinkretis. Misalnya, para klien diminta untuk berpuasa, tidak minum minuman keras dan tidak melakukan hubungan seksual. “Biasanya aku berikan jimat, mandi kembang, diberikan keris atau apapun itu. Masyarakat kita masih percaya jimat-jimat ini. Jimatnya itu bisa keris, batu akik, kemudian Al-Quran,” pungkas Ki Joko Bodo. Di samping itu,
ia secara vulgar,
menyebut tarif yang ia kenakan terhadap para klien yang akan berkompetisi dalam momentum politik. Untuk Caleg DPR-RI, ia kenakan tarif antara 1-10 Milyar. Sedangkan untuk Calon Presiden, biasanya 1-5 juta dollar AS, atau sekitar 11 sampai 60 milliar rupiah. Mantan Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar, juga telah mensinyalir fenomena diatas. Menurutnya, di era reformasi dan globalisasi dewasa ini, ada fenomena makin menguatnya praktik perdukunan menjelang Pemilihan Kepala Daerah. Para dukun menyadari semakin signifikannya fungsi dan peran mereka yang dulu ditutup-tutupi, sekarang profesi ini dipertontonkan secara terbuka (Harian Haluan, 2012). Dahulu, kiprah mereka cenderung ditutup-tutupi, ruang mereka berada pada back stage (panggung belakang), dalam istilah Erving Goffman (Mulyana, 2002). Namun kini, tanpa tedeng aling-aling mereka tampil di front stage (panggung depan) dalam menawarkan jasa. Analoginya seperti penata rias, yang selama ini hanya bersembunyi di belakang panggung, kini merias sang aktor di depan panggung. Kini mereka berani tampil di muka umum dan memasang iklan di media cetak atau elektronik. Penelitian yang membahas tentang penasihat spiritual dalam kancah politik lokal masih cukup langka, bahkan dalam ruang lingkup Sulawesi Selatan belum pernah saya temukan, berbeda dengan kajian seputar praktik perdukunan. Misalnya Geertz (1983), mengungkapkan bahwa dalam masyarakat tradisional, dukun adalah spesialis magi umum yang berguna untuk orang sakit, baik fisik maupun psikologis, meramal kejadian masa depan, penemu barangbarang hilang, pemberi jaminan tentang peruntungan yang baik, tidak segan-segan mempraktikkan sihir, jikalau itu diminta seseorang. Bennett (2005), dalam studinya di masyarakat Sasak, menemukan bahwa sihir sering berdampingan dengan Islam, terutama terjadi pada orang saleh yang sangat percaya dengan takhayul. Namun, ritual ibadah tidak terlibat dalam menyembuhkan sihir, sebaliknya ritual sihir dianggap tidak tepat dalam konteks ibadah. Pelras (2006), juga menggambarkan bahwa ritual pra-Islam juga dapat berdampingan 2
dengan ritual Islam yang proporsinya berbeda antara satu ritual dengan ritual yang lain. Bahkan dalam temuan Pelras, muslim yang rajin datang ke masjid sekalipun, masih sering terlibat dalam praktik sinkretisme. Studi Said (1996), menunjukkan bahwa pengobatan dukun masih tetap digunakan oleh sebagian masyarakat perkotaan seperti Makassar, karena mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan perkotaan. Fenomena tersebut dipandang oleh Said dengan pendekatan strategi adaptasi, misalnya dukun selalu menyediakan waktu bagi pasien, bahkan pada waktu tengah malam sekalipun. Kajian Syuhudi (2013), memfokuskan kajiannya pada jaringan sosial yang dimiliki dukun untuk mempertahankan eksistensinya di Kota Makassar. Penelitian yang mengurai dinamika politik lokal juga sudah sering dilakukan, seperti studi yang dilakukan. Roth (2007), menekankan pentingnya pendekatan sosio-historis dan etno-religius dalam studi politik lokal. Penelitian Bakti (2007), lebih menyoroti posisi kaum bangsawan dalam struktur pemerintahan Wajo, sejak akhir pemerintahan Orde Baru hingga Pemilihan Umum tahun 2004. Fahmid (2011), menyorot proses pembentukan elit etnis Bugis dan Makassar. Penelitian yang secara spesifik mengaitkan kiprah paranormal/dukun dengan dunia politik, masih berkisar di Pulau Jawa, seperti temuan Schele dalam Simamora (2012), yang menunjukkan signifikannya nilai ekonomi paranormal dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Sahlan (2010), juga meneliti tentang peran dukun politik di Banyuwangi melihat bahwa dukun di ranah politik memainkan peran penting tidak sekedar pada aspek spritualitas, tapi juga menjadi public speaker ketika melakukan praktik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan praktik salah seorang penasihat spiritual politik di Sulawesi Selatan. Kontribusi baru penelitian ini adalah pada aspek praktik perdukunan kontemporer, pengayaan bagi studi seputar dinamika politik lokal, serta menjadi kajian ilmiah yang menghubungkan keterkaitan dunia spiritual dengan aktivitas politik di tingkat lokal Sulawesi Selatan.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Desain Penelitian Lokasi penelitian ini di Makassar. Desain penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Studi Kasus dalam penelitian ini adalah proses pengkajian dan pengumpulan data secara mendalam dan detail seputar praktik salah seorang penasihat spiritual politik di Sulawesi Selatan.
3
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan dan wawancara. Pengamatan ini diistilahkan Idrus (2003), dengan sebutan “watching” dan “listening”. Menurutnya, ini adalah cara terbaik untuk belajar dari masyarakat. Selanjutnya, untuk menggali makna atau apa yang dipikirkan masyarakat yang menjadi subyek penelitian, saya menggunakan metode wawancara mendalam. Teknik Analisis Data Setelah proses memeroleh data-data dari hasil observasi dan wawancara, langkah selanjutnya adalah membuat transkrip hasil wawancara dan laporan hasil observasi. Data diklasifikasikan sesuai dengan tema-tema yang muncul dan permasalahan yang diteliti.
HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus salah seorang penasihat spiritual politik di Sulawesi Selatan yang bernama Bunda (nama samaran, usia 40 tahun). Ia memiliki perangkat ritual yang ia ciptakan sendiri. Bunda menyebutnya ritual zikir, yang terdiri atas tiga rangkaian: 1) Zikir Ma’pateppe’, 2) Zikir Mohon Hajat), 3) Zikir “Sapu Mata”. Proses zikir pendahuluan yang disebut ma’pateppe’, dengan mendudukkan seratus orang untuk berzikir selama tiga kali berturut-turut. Tujuan Zikir Ma’pateppe’ ini untuk memperoleh petunjuk apakah sang politisi punya peluang terpilih atau tidak, juga untuk menakar apakah perjuangan yang akan dilalui berat atau ringan. Proses Zikir Ma’pateppe’ ini mirip dengan survei pemetaan, yang sering dilakukan oleh sejumlah lembaga survei sebelum memutuskan mendampingi kandidat kepala Daerah. Kalau modal popularitas dan elektabilitasnya cukup besar, biasanya lembaga survei akan menawarkan jasa konsultan pemenangan. Bunda memaparkan: Saya lihat namanya, begini, begini. Kalau ada harapan, kuzikirkan maki dulu. Kalau memang ada bayanganta maju maki terus. Kalau tidak ada, nanti saya tanya-ki’ dulu. Biar dia bilang bagus surveinya, saya bilang tidak bisa. Atau biar juga rendah hasil surveinya, kalau memang bisa saya bantu, saya bantu (Wawancara, 14 April 2014).
Bahkan Bunda pernah berbeda pendapat dengan hasil yang dirilis sebuah lembaga survei. Seorang caleg yang telah mengantongi hasil survei pernah datang kepadanya. Caleg tersebut datang dalam keadaan mental pesimis, karena angka elektabilitas surveinya rendah. Bunda meyakinkannya, bahwa si Caleg tersebut akan berhasil mendapatkan kursi ketiga atau keempat di Daerah Pemilihannya. Ternyata prediksi Bunda lebih akurat. Si Caleg duduk
4
sebagai anggota legislatif. Ia mendapatkan kursi keempat dari enam kursi yang diperebutkan di Dapilnya. Setelah menjalani ritual Ma’ppatappe’, mulailah Bunda melakukan proses zikir secara rutin untuk pemenuhan hajat sang politisi meraih kursi Kepala Daerah/ Anggota Legislatif. Adapun bacaan-bacaan zikir yang dibaca dalam zikir bersama, antara lain: Yasin Fadhilah (surah Yasin dengan model pembacaan yang khas, disertasi sejumlah doa tambahan). Setelah itu, dibacakan Tujuh Ayat Munjiyat, seperti Surah At-Taubah ayat 51, Surah Yunus ayat 107, Surah Huud ayat 6, Surat Huud ayat 56, Surah Al-Ankabut ayat 60, Surah Al-Faathir ayat 2, serta surrah Az-Zumar ayat 38. Lalu dilanjutkan dengan pembacaan “Ayat Kursi” dan pembacaan Shalawat Nariyyah Tafrijiyyah dan Shalawat Munjiyat. Sesudah itu, dilanjutkan dengan membacakan doa tolak bala dan doa memohon ampunan untuk kedua orang tua. Rangkaian doa selanjutnya membaca Istighfar, dan disambung dengan Shalawat Badar. Barulah setelahnya, membaca surah Al-Fatihah, surah An-Nashr, surah Al-Ikhlas, surah AlFalaq, dan surah An-Naas. Lalu membaca Asmaul Husna (99 nama Allah), dan ditutup dengan membaca, “Yaa Allah, Yaa Allah, Yaa Allah, Yaa Allah, Yaa Allah. Amiin yaa arhamarraahimiin. Amiin ya rabbal ‘alamiin”. Selain itu, Bunda juga sering membaca barzanji untuk sang klien. Bahkan ia menyatakan proses pembacaan barzanji dapat dilakukan sampai empat kali setiap hari. Fase terakhir dari rangkaian zikir disebut Zikir “Sapu Mata” atau “Tolak Bala Penampakan” (Penerawangan). Namun zikir jenis ini biasanya hanya digunakan oleh Calon Presiden atau Calon Kepala Daerah. Belum pernah ada caleg yang memanfaatkan jasa ini, karena biayanya yang tergolong mahal. Dalam ritual penerawangan yang dilakukan Bunda, ia membutuhkan sekitar seratus ekor ayam. Biaya ritual ini cukup besar, yaitu 77 juta Rupiah. Biaya itu sepenuhnya merupakan biaya operasional, termasuk ongkos konsumsi selama pelaksanaan zikir. Namun Bunda mengelak, kalau ritual yang ia lakukan adalah hasil ciptaannya sendiri. Menurutnya, tradisi dalam masyarakat Bugis ketika seorang anak berhasil menamatkan Al-Quran, orang tuanya harus menyembelih beberapa ekor ayam. Tujuannya agar mendapatkan berkah (mabbarakka’). Demikian pula semua doa yang dipanjatkan Bunda, ia sertai dengan berkurban, seperti jika membaca 99 asmaul husna (nama-nama Allah), maka ia berkurban 99 ekor ayam. Dalam praktik Bunda, intensitas dan jumlah peserta zikir bersama, berbeda untuk masing-masing perhelatan. Perbedaan tersebut karena jumlah suara yang dibutuhkan juga berbeda. Bunda menegaskan:
5
Kalau orang memancing umpannya kecil pasti ikannya kecil. Umpamanya-kan Provinsi tiga puluh ribu suara atau lima puluh ribu suara. Kalau Caleg DPRD Kabupaten kan tiga ribu sampai lima ribu saja (Wawancara, 14 April 2014).
Untuk mencapai target suara yang lebih besar, maka Bunda membutuhkan peserta zikir dari kalangan anak yatim yang jauh lebih banyak. Selain itu, Bunda sangat mempercayai kekuatan sedekah, yaitu berbagi kepada orang-orang yang tidak mampu atau orang-orang yang membutuhkan. Bunda begitu “boros” dalam bersedekah, bahkan kepada orang yang tidak meminta sekalipun. Secara ideal, Bunda memiliki rumus sendiri untuk menghitung jumlah biaya ritual. Pola umumnya, kalau menargetkan seribu suara, berarti mesti menggunakan partisipan dzikir dari 250 orang anak yatim. Setiap anak yatim tersebut mesti diberi makan, dan mendapatkan “salam tempel”. Biaya rata-rata untuk makan dan amplop tersebut, sekitar Rp. 50.000,-/ anak. Jadi untuk 1000 suara, dibutuhkan biaya ritual sekitar Rp. 12.500.000,-.
PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan praktik yang dilakukan salah seorang penasihat spiritual politik di Sulawesi Selatan terdiri dari ritual doa/zikir dan kurban yang diciptakan sendiri. Pelras (2006), mensinyalir bahwa sanro (dukun) di masyarakat Bugis mendasarkan praktik menurut tata cara yang diciptakan sendiri, meski ada yang mengaku mendapatkan ilham atau diterima melalui mimpi (sehingga terkesan tidak dibuat-buat). Keberhasilan doa sering dikaitkan dengan ketepatan formulasi doa yang diucapkan (baik dalam urutan doa maupun banyaknya ungkapan-ungkapan doa tertentu). Jika dalam bahasa keseharian dituturkan dengan memerhatikan efektifitas dan diksi yang disesuaikan dengan siapa lawan bicara yang dijumpai oleh si penutur, maka bahasa agama justru sudah dikonstruksi oleh “yang diajak bicara”, atau oleh seseorang yang secara kolektif dianggap manusia pilihan yang telah diajarkan bagaimana bahasa agama digunakan oleh manusia. Dalam konteks ibadah khusus, sudah ditentukan bacaan-bacaan yang harus dibaca, misalnya pada saat melaksanakan ritual salat (Solihat, 2012). Selain zikir, penasihat spiritual seperti Bunda juga mengamalkan praktik barzanji. Dalam masyarakat Bugis, barzanji adalah salah satu ritual yang tak terpisahkan dari sejumlah acara seremonial, seperti perkawinan, aqiqah, upacara memasuki rumah baru, dan lain-lain. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, pembacaan barzanji merupakan pengganti pembacaan naskah-naskah La-Galigo dalam upacara-upacara syukuran (Pelras, 2006). Hal ini
6
merupakan strategi dakwah yang dikembangkan oleh para pembawa Islam ke jazirah Sulawesi. Ritual kurban yang dilakukan oleh Bunda, mengonfirmasi temuan Pelras (2006), bahwa salah satu contoh ritual pra-Islam yang masih berlangsung hingga kini adalah pengurapan dengan darah (maccera’) ayam atau dari binatang kurban lainnya. Ritual ini dilakukan kepada seseorang atau terhadap sebuah benda keramat. Tujuannya untuk memasukkan atau meningkatkan energi vital (sumange’). Pemaknaan terhadap ritual kurban, bukan hanya menunjukkan suatu proses penyatuan antara sesuatu yang metafisik dengan subyek manusia. Akan tetapi, di dalam praktik tersebut terjadi pula suatu proses ulang alik dari kondisi sakral ke profan dan sebaliknya (Mauss dan Hubert dalam Ardhianto, 2012). Kisah penasihat spiritual politik ini juga membenarkan pandangan Frazer tentang keserupaan magi dan ilmu pengetahuan. Frazer dalam Dharvamony (1995), menganggap bahwa ahli magi lebih dekat dengan ilmuwan daripada agamawan. Praktik yang dijalankan Bunda memiliki beberapa kesamaan dengan praktik yang dilakoni lembaga survei dan konsultan politik. Misalnya, Zikir Mappatappe’ sama dengan tahapan survei pemetaan, dzikir reguler yang dilakukan bunda, memiliki keserupaan dengan tahapan membangun popularitas yang biasa dilakukan lembaga konsultan politik. Dzikir “Sapu Mata” dapat dianalogikan dengan “Survei Elektabilitas” yang biasa dilakukan lembaga survei menjelang hari H pemilihan. Mungkin karena keserupaan itu, Bunda pernah dipinang oleh salah satu lembaga survei dan konsultan poitik untuk membuat kerjasama dalam pemenangan kandidat Kepala Daerah. Namun Bunda menolak dengan alasan tetap ingin menjalankan praktik secara mandiri.
KESIMPULAN DAN SARAN Praktik yang dilakukan oleh penasihat spiritual politik di Sulawesi Selatan lebih dekat pada magi, daripada agama. Semua yang dilakukannya bermotif instrumental. Membantu orang sakit, mengungkap kasus kriminal, membantu tersangka korupsi, menyelamatkan pesawat yang hampir jatuh, sampai membantu memenangkan pemilukada semuanya berwatak instrumental. Bahkan membantu anak yatim sekalipun masih berwatak instrumental, demi mendapatkan keuntungan politik semata. Saya menyarankan agar kekurangan penelitian, ataupun hal-hal yang belum tercakup dalam penelitian ini dapat menjadi tantangan bagi peneliti lain yang tertarik mempelajari tema serupa.
7
DAFTAR PUSTAKA Ardhianto Imam. (2012). Hubungan Relasional dan Ontologi Moralitas: Meninjau Beberapa Tulisan Antropologi Mengenai Ritus Kurban, dalam Tony Rudiansjah (Penyunting). Antropologi Agama: Wacana-wacana Mutakhir dalam Kajian Religi dan Budaya. UI Press: Jakarta. Bakti Andi Faisal. (2007). Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selatan, dalam Henk Schulte Nordholt, dkk. (Editor). Politik Lokal di Indonesia. KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Bennett Linda Rae. (2005). Women, Islam and Modernity: Single Women, Sexuality and Reproductive Health in Contemporary Indonesia. RoutledgeCurzon: New York. Dharvamony Mariasusai. (1995). Fenomenologi Agama. Kanisius: Yogyakarta. Fahmid Mujahidin. (2011). Pembentukan Elite Politik di dalam Etnis Bugis dan Makassar Menuju Hibriditas Budaya Politik. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: Bogor. Geertz Clifford. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. PT Dunia Pustaka Jaya: Jakarta. Harian Haluan. (2012). Jelang Pilkada Dukun Laris. Diakses 03 Februari 2014, Available from: http://harianhaluan.com/index.php/khas/11782-jelang-pilkada-dukun-laris Idrus Nurul Ilmi. (2003). To Take Each Other: Bugis Practice of Gender, Sexuality and Marriage. Disertasi. Australian National University: Canberra. Mulyana Deddy. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. Pelras Christian. (2006). Manusia Bugis. Nalar kerjasama dengan Forum Jakarta Paris: Jakarta. Roth Dik. (2007). Gubernur Banyak, Provinsi Tak Ada: Berebut Provinsi di Daerah LuwuTana Toraja di Sulawesi Selatan, dalam Henk Schulte Nordholt, dkk. (Editor). Politik Lokal di Indonesia. KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Said Basir. (1996). Dukun, Suatu Kajian Sosial Budaya tentang Fungsi Dukun Bugis Makassar di Kotamadya Ujung Pandang. Tesis. Universitas Indonesia: Jakarta. Syuhudi Irfan. (2013). Etnografi Dukun: Studi Antropologi tentang Praktik Pengobatan Dukun di Kota Makassar. Tesis. Pascasarjana Universitas Hasanuddin: Makassar. Sahlan Muhammad. (2010). Dukun dan Politik: Peran Dukun Dalam Pemilukada Di Banyuwangi Tahun 2010. Diakses 03 Februari 2014. Available from: http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=vi ew&typ=html&buku_id=58877&obyek_id=4 Simamora Franciscus Chrismanto. (2012). Paranormal, Seks dan Pilkada. Diakses 03 Februari 2014. Available from: http://crcs.ugm.ac.id/wednesday forum/334/Paranormal-Seksdan-Pilkada.html Solihat Ade. (2012). Memahami Bahasa Agama dalam Perspektif Antropologi, dalam Tony Rudiansjah (Penyunting). Antropologi Agama: Wacana-wacana Mutakhir dalam Kajian Religi dan Budaya. UI Press: Jakarta. Tribun Timur. (2013). Jimat Maccaleg Rp 10 M. Tribun Timur, Oktober 23; Tribun Pemilu hal. 17.
8