PERKAWINAN POLITIK DAN PEWARISAN KEKUASAAN DI AJATAPPARENG, SULAWESI SELATAN POLITICAL MARRIAGE AND POWER INHERITANCE IN AJATAPPARENG, SOUTH SULAWESI Abd. Latif Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin Jalan Perintis Kemerdekaan, Km. 10 Makassar Handpone: 08124212387 Pos-el:
[email protected] Diterima: 12 Februari 2014; Direvisi: 18 Maret 2014; Disetujui: 19 Mei 2014 ABSTRACT This article aims to assess the nobility marriage pattern, especially the rulers Buginese, and the pattern of political power inheritence in Ajattappareng Confederation, South Sulawesi. The method used is content analysis of the four manuscripts of lontaraq (local manuscripts) as the primary source of this study. The result of analysis ¿QGVRXWWKDWWKHQRELOLW\RUWKHUXOHUVRIWKH$MDWWDSSDHQJ&RQIHGHUDWLRQGLGQRWIROORZWKHSDWWHUQRIWKHLGHDO marriage, but a pattern of Buginese marriage with close relation. Marriages of the rulers in Ajattappareng Confederation are power motivated and less visible marriages based on economic motivation. The rulers got marriage with the same ruler or pure generation of Tomanurung, because only the nobles of pure generation of Tomanurung could be inducted to be a king. In addition, it is also found that there were 32 kings replacing his close relation, 55 kings replacing his father, and 25 kings replacing his mother. Keywords: Political marriage, political power, power inheritance, Ajattappareng Confederation of South Sulawesi ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pola perkawinan bangsawan, terutama para penguasa Bugis, dan pola pewarisan kekuasaan politik di Konfederasi Ajatappareng, Sulawesi Selatan. Metode yang digunakan adalah analisis kandungan terhadap empat naskah lontaraq (manuskrip lokal) sebagai sumber utama kajian. Hasil kajian menemukan bahwa bangsawan atau para penguasa di Konfederasi Ajatappareng tidak mengikuti pola perkawinan ideal Bugis, tetapi pola perkawinan dengan kerabat dekat. Perkawinan para penguasa di Konfederasi Ajatappareng bermotivasikan kekuasaan dan kurang terlihat perkawinan yang didasarkan pada motivasi ekonomi. Para penguasa melakukan perkawinan dengan sesama penguasa atau bangsawaan yang murni generasi Tomanurung, karena para bangsawan generasi Tomanurung saja yang dapat dilantik menjadi raja. Selain itu, ditemukan pula 32 raja yang menggantikan kerabat dekatnya, 55 raja yang menggantikan ayahnya, dan 25 raja yang menggantikan ibunya. Kata kunci: Perkawinan politik, politik kekuasaan, pewarisan kekuasaan, Konfederasi Ajatappareng, Sulawesi Selatan
PENDAHULUAN Berdasarkan sejumlah literatur disebutkan bahwa perkawinan ideal orang Bugis Makassar adalah perkawinan antara sepupu sekali, sepupu dua kali, dan sepupu tiga kali (Taba S.A, 1973:6364, Mattulada, 1982:267). Pola perkawinan ideal ini ternyata tidak sesuai dengan apa yang ditemukan dalam hampir semua lontaraq yang menjadi
sumber utama kajian ini. Pola menyimpang dari perkawinan ideal justeru ditemukan di kalangan para bangsawan. Penyimpangan itu terjadi karena perkawinan di kalangan bangsawan lebih sering bermotif politik dibanding bermotif ekonomi. Perkawinan yang bermotif politik lebih mengutamakan perkawinan itu terjadi dengan
1
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 1—15 memperhatikan kepentingan politik dan peran politik yang terjadi sebagai akibat dari perkawinan itu. Sehubungan dengan pola perkawinan di kalangan bangsawan yang bermotivasikan politik, maka ada dua pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam kajian ini. Pertanyaan pertama yang akan dijawab dalam kajian ini adalah apakah motivasi dari perkawinan politik di Sulawesi Selatan, khususnya di lima kerajaan Bugis yang menjadi anggota Konfederasi Ajatappareng? Pertanyaan kedua yang akan dijawab adalah bagaimanakah bentuk perkawinan politik jika dikaitkan dengan pola pewarisan kekuasaan yang berlaku di Konfederasi Ajatappareng? Jawabatan terhadap kedua pertanyaan ini menjadi tujuan utama kajian ini. Beberapa sarjana telah mengkaji tentang budaya politik Bugis di Sulawesi Selatan. Di antaranya adalah Mattulada (1995), Heddy Shri Ahimsa Putra (1988) dan Shelly Errington (1989). Mattulada telah mengkaji satu manuskrip lokal yang disebut“Latoa”. Manuskrip ini menjelaskan bagaimana cara orang Bugis menjalankan pemerintahan dan kekuasaan. Manuskrip ini juga menjelaskan asas-asas yang bisa digunakan oleh seorang raja untuk membesarkan kerajaan. Lebih khusus Heddy melihat bahwa kharisma politik seorang bangsawan di Sulawesi Selatan pada masa sistem kerajaan masih berlaku adalah mengamati seberapa banyak orang yang menjadi pengikut yang setia kepadanya. Hubungan antara seorang bangsawan, baik seorang raja maupun bangsawan bukan raja dengan para pengikutnya oleh Heddy disebut sebagai salah satu bentuk hubungan patron-client yang pernah berlaku di Sulawesi Selatan. Heddy Shri Ahimsa Putra menyebutkan hubungan patron-client sebagai faktor yang penting dikaji dalam menguraikan sistem politik Bugis. Sementara itu, Errington berpendapat bahwa untuk memahami dinamika politik yang pernah berlaku di Sulawesi Selatan harus didasarkan kepada pemahaman mengenai bentuk dan dinamika internal yang terjadi pada kelompok sosial politik yang terwujud dalam sistem status-lambang. Sistem status lambang ini berhubungan dengan kepentingan semua pihak, umumnya terdapat dalam sistem 2
perkawinan yang membolehkan poligami (Kamus Dewan, 2010:222) bagi laki-laki dan pensyaratan hipergami (Kamus Besar Bahsa Indonesia, 1995:353) bagi wanita. Errington memaksudkan kelompok-kelompok sosial itu sebagai kumpulan pengabdian kepada para pemimpin mereka atau lebih tepat disebut sebagai kelompok pengabdi kepada kualitas yang lebih unggul yang diyakini sebagai ciri khas yang terdapat dalam diri para bangsawan atau pemimpin. Selanjutnya Errington menguraikan bahwa salah satu cara yang umum digunakan orangorang Bugis untuk menguraikan kejayaan atau kegagalan seorang pemimpin adalah tingkah lakunya yang khas, sikap hormat yang nampak atau tidak nampak, dan tingkatan darah putih yang dimiliki seseorang. Kedudukan seseorang itu mempunyai kaitan yang erat dengan kemurnian darah bangsawan yang dimiliki dan juga berkaitan erat dengan kekuatan spritual di mana ciri-ciri ini akan menimbulkan sikap hormat masyarakat terhadapnya. Jika secara konsisten tidak demikian, maka orang itu dianggap tidak memiliki tingkatan darah bangsawan yang murni seperti anggapannya atau pengawalan diri yang dimiliki orang itu. Dengan demikian penguasaan terhadap orang lain kurang sempurna dan tidak setaraf untuk pangkat atau status yang dimilikinya sejak lahir itu. Ian Caldwell (1988) menulis tentang Bugis abad ke-14 sampai permulaan abad ke17. Ian dalam kajiannya menggunakan sepuluh manuskrip lontaraq. Ian menguraikan bahwa banyak atau sedikit jumlah pengikut tidak hanya dimiliki bangsawan di kerajaan-kerajaan besar tetapi para bangsawan di kerajaan-kerajaan kecil juga memiliki cara yang khas untuk memperoleh pengikut dan kadang unit politik mereka bersifat independen. Ian juga menguraikan secara tegas bahwa status kebangsawanan adalah berhubungan dengan kekuatan dan pengaruh politik. Dalam perkara ideologi, kualitas seseorang yang diperlukan dalam kepemimpinan adalah hasilnya bukan penyebabnya sehingga seseorang itu memiliki status yang demikian itu. Hal ini tidak bermakna bahwa prestasi individu tidak memainkan peranan penting dalam seleksi kepemimpinan dalam pergantian raja. Secara umum di Sulawesi Selatan kekerabatan bersifat bilateral dan ini jelas diuraikan secara
Perkawinan Politik dan Pewarisan..., Abd. Latif
terperinci dalam banyak manuskrip lokal yang mendeskripsikan silsilah para raja. Dalam manuskrip tentang silsilah ini bisa difahami bahwa salah satu dari anak raja, lelaki atau pun perempuan dapat dipilih untuk menggantikan ayahandanya atau ibundanya.Ian mungkin kurang memperhatikan sturuktur politik di semua kerajaan di Sulawesi Selatan. Dalam struktur politik di semua kerajaan nampak dengan jelas bahwa yang duduk di struktur puncak atau raja hanyalah mereka yang mempunyai dara takku (bangsawan murni). Ketika raja lemah atau kurang pandai memimpin, maka yang mesti berperanan penting adalah para penasihat raja atau para menteri. Itulah sebabnya para penasihat dan para menteri biasanya adalah kerabat dekat raja itu sendiri. Stephen C. Druce (2009) telah menulis satu buku terbaik yang mengkaji secara khusus lima kerajaan yang tergabung dalam Konfederasi Ajatappareng. Sumber utama yang digunakan oleh Stephen ialah manuskrip lokal dan tradisi lisan. Stephen menguraikan letak geografi masing-masing kerajaan mengikut pada aliran sungai, gunung, dan dataran rendah yang menjadi lahan padi sawah di masing-masing kerajaan di .RQIHGHUDVL$MDWDSSDUHQJ3HQGHNDWDQJHRJUD¿ sangat membantu Stephen dalam menguraikan sistem politik dan terutama sistem ekonomi tradisional kerajaan-kerajaan di Konfederasi Atajappareng. METODE Kajian ini dilakukan dengan cara analisis kandungan terhadap manuskrip lokal yang disebut lontaraq. Sumber-sumber yang digunakan dalam kajian ini diperoleh di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Di yayasan ini diperoleh sebanyak empat manuskrip lokal yang berhubungan dengan kerajaan-kerajaan di Konfederasi Ajatappareng. Terdapat dua lontaraq yang berhubungan dengan Sawitto yang disalin dari pemiliknya yaitu Lontaraq Sawitto dan Lontaraq Adeq-Adeqna Sawitto. Dalam melakukan kajian sejarah diperlukan metode pendekatan multi disiplin, khususnya bantuan dari ilmu-ilmu sosial yaitu antropologi, VRVLRORJLSROLWLNGDQ¿ORORJL6DUWRQR.DUWRGLUGMR
1992:3-4). Kajian filologi dapat menjelaskan apakah sebuah manuskrip asli atau salinan dan kapankah manuskrip itu mulai ditulis. Ilmu ¿ORORJLMXJDGDSDWPHPEDQWXPHPDKDPLPDNQD satu kalimat atau satu paragraf, walaupun dalam kalimat itu atau paragraf itu terdapat satu kata yang tidak dapat dibaca lagi. Pengecualian lontaraq bilang (diary), hampir semua lontaraq jarang menggunakan penanggalan. Misalnya, semua lontaraq yang digunakan dalam kajian ini tidak menggunakan penanggalan masa berkuasa setiap raja. Untuk menentukan masa berkuasa setiap raja, maka ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, menemukan penanggalan masa yang sesuai dengan masa berkuasa para raja di kerajaan lain. Daftar para raja di Sulawesi Selatan yang agak sempurna penanggalan masa berkuasanya dari raja pertama sampai raja terakhir ialah Gowa, Bone, dan Wajo. Kedua, bisa juga dilakukan perkiraan ke masa lampau dimulai dari raja yang dikenal pasti masa berkuasanya (Caldwell, 1988:164; Caldwell, 2005:63). Seorang pengkaji perlu berhati-hati apabila menggunakan manuskrip lokal atau lontaraq sebagai sumber sejarah. Menurut Gijs Kosters, menjadikan teks-teks lokal sebagai “teks sejarah’ akan menyebabkan para pengkaji gagal mengapresiasikan tujuan-tujuan lebih tinggi yang terdapat dalam teks-teks yang termaktub. Bahkan, Henk Schulte Nordholt menyatakan sangat penting memahami situasi yang menyebabkan terjadinya isu yang tertulis dalam teks-teks lokal (Andaya, 2010:19-20). Situasi yang dimaksud adalah latar belakang sejarah, budaya, dan tujuan yang sebenarnya yang mempengaruhi dan menyebabkan manuskrip itu ditulis. Pemahaman yang kuat tentang semua ini akan membantu para pengkaji untuk memahami apa yang tertulis dalam manuskrip lokal. Kajian antropologi dapat membantu untuk melakukan analisis berkaitan dengan kebudayaan masyarakat. Berkaitan dengan manuskrip lokal, kajian antropologi dapat dilakukan secara bersamaan dengan kajian filologi. Misalnya, mengapa manuskrip menggunakan kata noqe rakkalana (menurunkan bajaknya) tidak menggunakan kata mammulani maggalung (mulai membajak sawah). Lontaraq juga menggunakan
3
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 1—15 kata palili bassi (kerajaan bawahan yang bertugas sebagai angkatan perang) tidak menggunakan kata palili passikanna (pasukan perang) atau palili passiuno (pasukan pembunuh). Diksi ini hanya bisa difahami jika dilakukan kajian antropologi budaya secara bersama-sama dengan kajian filologi. Kajian antropologi juga bermanfaat untuk melihat stuktur dan budaya politik sebagai sistem yang terfokus dalam satu komunitas politik. Struktur dan budaya politik ini perlu dilihat dampaknya dalam realitas sejarah (Sutherland, 1980:230-244), karena sejarah adalah apa yang terjadi dan bukan apa yang terfokus dalam sebuah sistem budaya. Satu lagi bantuan antropologi terhadap pengkajian sejarah adalah ketika kita melakukan kajian terhadap tradisi lisan. Dalam ilmu antropologi tradisi lisan sebagai sumber data penelitian sudah dipergunakan sejak awal ilmu tersebut. Namun dalam ilmu sejarah penggunaan tradisi lisan masih merupakan hal yang baru (Kuntowijoyo, 1993:21). PEMBAHASAN Perkawinan Politik Sistem politik tradisional Bugis melahirkan banyak penguasa wanita bila dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan di tempat lainnya di dunia. Walau bagaimanapun, gelar kaum elit dalam sistem politik tradisional Bugis tetap diturunkan secara patrilineal dengan prinsip-prinsip keturunan yang berhubungan dengan sistem bilateral. Contohnya, seorang raja atau bangsawan tinggi kawin dengan seorang perempuan bangsawan tinggi, maka anak yang dilahirkannya disebut anak pattola.1 Seorang bangsawan tinggi kawin dengan bangsawan menengah, maka anak yang dilahirkannya disebut anak rajeng.2 Seorang bangsawan tinggi kawin dengan seorang perempuan biasa atau perempuan bukan bangsawan, maka anak yang dilahirkannya disebut anak ceraq3 (Mattulada, 1995:28-29). Sistem kekerabatan yang selektif ini semakin menguntungkan para bangsawan atau kaum elit untuk menguasai sumber-sumber kekuasaan 1
Putra mahkota atau calon pengganti raja yang diutamakan. 2 Bangsawan menengah atau calon pengganti raja bila tidak ada anak pattola. 3 Bangsawan kelas bawah atau calon pengganti raja bila tidak ada anak pattola dan tidak ada anak rajeng.
4
dan sumber-sumber ekonomi. Walaupun gelar kebangsawanan tertinggi di Bugis, terutamanya di Ajatappareng, diperoleh melalui sistem patrilineal yang mempertahankan pewarisan kemurnian darah Tomanurung, tetapi prinsip sistem keturunan bilateral menyebabkan perempuan tertentu dapat menjadi penguasa atau ratu. Sebagaimana tercatat dalam lontaraq4 dapat diketahui bahwa organisasi sosial dalam masyarakan Ajatappareng tertata ke dalam serangkaian pertalian yang unik dan rumit. Individu-individu dapat memilih afiliasi ke pihak ayah atau ke pihak ibu yang terwujud dan terbentuknya jaringan unik dan rumit antar individu yang punya hubungan tertentu. Tinggi atau rendah derajat kebangsawanan seseorang ditentukan apakah dia berada dalam jaringan kekerabatan yang semakin rumit dan semakin luas atau tidak (Errington, 1989:94-103). Sistem inilah yang menyebabkan para raja di Ajatappareng melakukan perkawinan dengan sesamanya raja, baik dalam lingkungan Ajatappareng maupun di luar Ajatappareng. L o n t a r a q A d d i t u a n g S i d e n re n g menceriterakan bahwa dari 20 orang yang pernah menjadi Raja Sidenreng ada 15 orang yang kawin tidak dengan kerabt dekat, 3 orang kawin dengan sepupu satu kali, 1 orang kawin dengan sepupu dua kali, dan 1 orang kawin dengan kemanakan dari sepupu satu kalinya. Tiga orang kawin dengan bangsawan dalam lingkungan Sidenreng yaitu Tomanurung di Bulu Lowa Raja Sidenreng ke-1, Songkopulawengnge Raja Sidenreng ke-2, dan We Yabeng Ratu Sidenreng ke-7. Enam orang kawin dengan bangsawan dalam lingkungan Ajatappareng. Dua orang kawin dengan bangsawan Sawitto yaitu La Pateddungi Raja Sidenreng ke-5 dan La Sadapotto Raja Sidenreng ke-19 (istri kedua). Dua orang kawin dengan bangsawan Rappang yaitu La Patiroi Raja Sidenreng ke-6 (istri kedua) dan La Panguriseng Raja Sidenreng ke-17 (istri pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Alitta yaitu La Suni Raja Sidenreng ke-9 (istri pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Suppa yaitu La Suni Raja Sidenreng ke-9 (istri keempat). Tujuh orang 4 Lontaraq ialah sistem aksra Bugis-Makassar yang digunakan dalam penulisan manuskrip lokal di Sulawesi Selatan.
Perkawinan Politik dan Pewarisan..., Abd. Latif
kawin dengan bangsawan Gowa yaitu La Patiroi Raja Sidenreng ke-6 (istri pertama, istri kedua, dan istri ketiga), La Makkaraka Raja Sidenreng ke-8 (istri pertama), Todani Raja Sidenreng 10 (istri kedua), We Rukiya Karaeng Kanjenne Ratu Sidenreng ke-13 (suami kedua dan suami keempat), La Wawo Raja Sidenreng ke-16 (istri pertama) dan La Sadapotto Raja Sidenreng ke19 (istri pertama). Empat orang kawin dengan bangsawan Bone yaitu La Suni Raja Sidenreng ke-9 (istri pertama), Todani Raja Sidenreng ke-10 (istri keempat), We Rukiya Karaeng Kanjenne Ratu Sidenreng ke-13 (suami ketiga) dan Towappo Raja Sidenreng ke-15 (istri kedua dan istri ketiga). Dua orang kawin dengan bangsawan Berru yaitu La Tenritippe Towalennae Raja Sidenreng ke-11 (istri pertama) dan La Wawo Raja Sidenreng ke-16 (istri kedua). Satu orang kawin dengan bangsawan Sumbawa yaitu We Rukiya Karaeng Kanjenne Ratu Sidenreng ke-13 (suami pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Maiwa yaitu Towappo Raja Sidenreng ke-15 (istri pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Nepo yaitu Sumange Rukka Raja Sidenreng ke-18 (istri pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Enrekang yaitu La Cibu Raja Sidenreng ke-20 (istri pertama). Lontaraq Akkarungeng Sawitto menceritakan bahwa dari 24 orang yang pernah menjadi Raja Sawitto ada 12 orang yang kawin tidak dengan kerabat dekat, 5 orang kawin dengan sepupu sekali, 5 orang kawin dengan sepupu dua kali, 2 orang kawin dengan kemanakan dari sepupu sekalinya, dan 1 orang kawin dengan kemanakan dari sepupu dua kalinya. Dua orang kawin dalam lingkungan Sawitto yaitu La Teddungloppo Raja Sawitto ke-2 (istri pertama) dan La Doko Raja Sawitto ke-15 (istri pertama). Sebelas orang kawin dalam lingkungan Ajatappareng. Tiga orang kawin dengan bangsawan Suppa yaitu La Bangenge5 5
Pada umumnya Tomanurung di Sulawesi Selatan tidak mempunyai nama diri. Contoh Tomanurung di Gowa dan Tomanurung di Bone. Tomanurung di Bone mempunyai gelaran yaitu Matasilompoe (bermata besar), karena dia mempunyai pengetahuan yang luas dan cepat dapat menghitung jumlah orang ramai yang berkumpul di sebuah lapangan (Lontaraq Akkarungeng Bone, hlm. 1). Karena itu, Tomanurung di Bacukiki yang mempunyai nama diri La Bangenge Raja Sawitto ke-1 ada kemungkinan dia bukan Tomanurung, tetapi penulis Lontaraq Akkarungeng Sawitto mengikuti trandisi
Tomanurung di Bacukiki Raja Sawitto ke-1 istri pertamanya ialah Ratu Suppa merangkap Ratu Rappang bernama We Teppulinge, La Cella Mata Raja Sawitto ke-6 (istri pertama), dan La Tenritatta Daeng Tomaming Raja Sawitto ke-14 (istri kedua). Tujuh orang kawin dengan bangsawan Sidenreng yaitu La Putebulu Raja Sawitto ke-3 (istri pertama), La Paleteang Raja Sawitto ke-4 (istri pertama), We Gempo Ratu Sawitto ke-5 (suami pertama), La Pancaitana Raja Sawitto ke-7 (istri pertama), We Time Petta Battowae Ratu Sawitto ke-11 (suami pertama), La Tenritatta Daeng Tomaming Raja Sawitto ke-14 (istri pertama), dan We Beda Ratu Sawitto ke-23 (suami pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Alitta yaitu We Passulle Datu Bissue Ratu Sawitto ke-8 (suami kedua). Tiga orang kawin dengan bangsawan Soppeng yaitu La Putebulu Raja Sawitto ke-3 (istri kedua), La Tenripau Raja Sawitto ke-9 (istri kedua), dan We Timeng Ratu Sawitto ke-17 (suami pertama). Empat orang kawin dengan bangsawan Wajo yaitu We Passulle Datu Bissue Ratu Sawitto ke-8 (suami pertama), La Kuneng Raja Sawitto ke-16 (istri pertama), We Tenri Ratu Sawitto ke-24 (suami pertama), dan We Rukiya Bau Bocco Ratu Sawitto ke-25 (suami pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Balanipa yaitu La Tenripau Raja Sawitto ke-9( istri pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Bone yaitu La Kuneng Raja Sawitto ke-16 (istri kedua). Satu orang kawin dengan bangsawan Tanete yaitu We Passulle Daeng Bulaeng Ratu Sawitto ke-20 (suami pertama). Lontaraq Akkarungeng Suppa menceriterakan bahwa dari 29 orang yang pernah menjadi Raja Suppa ada 18 orang yang kawin tidak dengan kerabat dekat, 8 orang kawin dengan sepupu sekali, 1 orang kawin dengan sepupu dua kali, 2 orang kawin dengan kemanakan sepupu sekalinya, dan 1 orang kawin dengan pamannya atau sepupu sekali ayahnya. Tiga orang kawin dalam lingkungan Suppa yaitu La Teddungloppo Raja Suppa ke-2 (istri pertama), La Tenritatta Daeng Tomaming Raja Suppa ke-13 (istri kedua), dan La Temmasonge Abdullah Bau Massepe Raja Suppa ke-26 (istri pertama). Sepuluh orang penulisan lontaraq di Sulawesi Selatan bahwa umumnya raja pertama di semua kerajaan besar adalah Tomanurung.
5
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 1—15 kawin dalam lingkungan Ajatappareng. Tiga orang kawin dengan bangsawan Sawitto yaitu We Teppulinge Ratu Suppa ke-1 (suami pertama), We Lampeweluwa Ratu Suppa ke-5 (suami pertama), dan La Doko Raja Suppa ke-14 (istri pertama). Enam orang kawin dengan bangsawan Sidenreng yaitu La Putebulu Raja Suppa ke-3 (istri pertama), La Makkarawi Raja Suppa ke-4 (istri pertama), We Tosappai Ratu Suppa ke-6 (suami pertama), La Pancaitana Raja Suppa ke-7 (istri pertama), La Tenritatta Daeng Tomaming Raja Suppa ke13 (istri pertama), dan La Parenrengi Karaeng Tinggimae Raja Suppa ke-24 (istri kedua). Satu orang kawin dengan bangsawan Alitta yaitu We Passulle Datu Bissue Ratu Suppa ke-8 (suami kedua). Satu orang kawin dengan bangsawan Wajo yaitu We Passulle Datu Bissue Ratu Suppa ke-8 (suami pertama). Tiga orang kawin dengan bangsawan Soppeng yaitu La Tenrisessu Raja Suppa ke-9 (istri pertama), We Tasi’ Petta Maubbengnge Ratu Suppa ke-11 (suami pertama), dan We Bubeng Ratu Suppa ke-21 (suami pertama). Empat orang kawin dengan bangsawan Gowa yaitu La Pamessangi Raja Suppa ke-16 (istri pertama), La Tenrilengka Raja Suppa ke-18 (istri pertama), La Parenrengi Karaeng Tinggimae Raja Suppa ke-24 (istri pertama), dan La Makkasau Raja Suppa ke-25 (istri pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Balanipa yaitu La Pamessangi Raja Suppa ke-16 (istri kedua). Tiga orang kawin dengan bangsawan Bone yaitu La Kuneng Raja Suppa ke-18 (istri kedua), We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara6 Ratu Suppa ke-20 (suami pertama), dan La Mappanyukki7 6
Sebelum beliau menjadi Ratu Suppa, maka beliau menjadi Ratu Bone ke-30 (1857-1860). Setelah Belanda menaklukan Bone pada tahun 1860, maka We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara melarikan diri ke Ajatappareng dan setelah Belanda memberi pengampunan kepada dirinya, maka Dewan Hadat Suppa melantik beliau menjadi Ratu Suppa ke-20 (Lontaraq Akkarungeng Bone, hlm. 159-162, Lontaraq Akkarungeng Suppa, hlm. 27). 7 Ayahnya ialah I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Raja Gowa ke-34 (18951906). Ibunya ialah We Cella Raja Alitta ke-16 (1862-1900). Ayah dari We Cella Raja Alitta ialah La Parenrengi Raja Bone ke-29 (1845-1857) dan ibundanya ialah We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Ratu Bone ke-30 (1857-1860) dan Ratu Suppa ke-20 (1861-1874). Dengan geanologi
6
Raja Suppa ke-22 (istri pertama). Lontaraq Akkarungeng Alitta menceriterakan bahwa dari 18 orang yang pernah menjadi Raja Alitta ada 10 orang yang kawin tidak dengan kerabat dekat, 4 orang kawin dengan sepupu sekali, 1 orang kawin dengan paman atau sepupu sekali ibunya, dan 1 orang kawin dengan kemanakan dari sepupu sekalinya. Satu orang kawin dengan bidadari yaitu La Massora Raja Alitta ke-3 (istri pertama). Tujuh orang kawin dalam lingkungan Ajatappareng. Empat orang kawin dengan bangsawan Sidenreng yaitu We Cella Ratu Alitta ke-1 (suami pertama), La Posi’ Raja Alitta ke-12 (istri pertama), We Cella Ratu Alitta ke-6 (suami kedua), dan La Bode Raja Alitta ke-18 (istri pertama). Dua orang kawin dengan bangsawan Sawitto yaitu La Massora Raja Alitta ke-3 (istri kedua) dan La Bode Raja Alitta ke-18 (istri kedua). Satu orang kawin dengan bangsawan Rappang yaitu We Tenrilekka Ratu Alitta ke-4 (suami pertama). Tiga orang kawin dengan bangsawan Wajo yaitu We Cella Ratu Alitta ke-6 (suami pertama), La Pamessangi Raja Alitta ke-9 (istri pertama), dan We Mappalewa Ratu Alitta ke-14 (suami pertama). Tiga orang kawin dengan bangsawan Gowa yaitu La Toware Raja Alitta ke-8 (istri pertama), We Cella Ratu Alitta ke-16 (suami pertama) dan La Pangoriseng Raja Alitta ke-17 (istri pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Balanipa yaitu La Pamessangi Raja Alitta ke-9 (istri kedua). Satu orang kawin dengan bangsawan Soppeng yaitu Tosibengareng Raja Alitta ke-13 (istri pertama). Satu orang kawin dengan bangsawan Tanete yaitu Tosibengareng Raja Alitta ke-13 (istri kedua). Fakta sejarah yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa raja-raja di Konfederasi Ajatappareng yang melakukan perkawinan bukan dengan kerabat dekat sebanyak 56 orang, melakukan perkawinan dengan sepupu sekali sebanyak 21 orang, dan melakukan perkawinan dengan sepupu dua kali sebanyak 7 orang. Berdasarkan fakta ini, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan raja-raja di Konfederasi Ajatappareng tidak mengikuti pola atau konsep perkawinan ideal Bugis yaitu perkawinan dengan sepupu sekali atau perkawinan dengan seperti inilah yang memungkinkan La Mappanyukki dilantik menjadi Raja Bone ke-34 (1930-1946).
Perkawinan Politik dan Pewarisan... Abd. Latif
sepupu dua kali (Mattulada, 1982:267; Taba S.A, 1973:63-64). Kalau demikian faktanya, maka pertanyaannya adalah bagaimanakah konsep perkawinan ideal bagi raja-raja atau para bangsawan di Konfederasi Ajatappareng? Berdasarkan fakta-fakta perkawinan yang dikaji itu menunjukkan bahwa perkawinan para raja di Ajatappareng adalah terutama bermotivasikan kekuasaan atau sekurang-kurangnya perluasan pengaruh kekuasaan. Faktor kekuasaanlah yang menjadi motivasi utama para raja di Ajatappereng melakukan perkawinan dengan bangsawan lainnya, baik dalam lingkungan kerajaannya maupun yang berasal dari kerajaan lainnya. Mengapa demikian, karena hanya para bangsawan tinggi atau hanya yang murni generasi Tomanurung yang bisa dilantik menjadi raja.8 Berdasarkan kepada konsep perkawinan ideal Bugis, maka tentu perkawinan itu akan lebih baik lagi kalau dilakukan dengan kerabat dekat. Perkawinan dengan kerabat dekat menyebabkan harta warisan tidak akan jatuh kepada pihak yang bukan kerabat dekat. Akan tetapi, kajian ini membuktikan bahwa kekayaan bukan motivasi yang utama dalam perkawinan di Ajatappareng.9 Tomanurung di Bacukiki yang bernama La Bangenge Raja Sawitto ke-1 kawin dengan Tomanurung di Suppa yang bernama We Teppulinge Ratu Suppa ke-1 dan Ratu Rappang 8 Dalam lontaraq dijelaskan bahwa yang bisa dilantik menjadi raja adalah yang maddara takku (berdarah putih). Ada pun yang maddara takku adalah yang ayah dan ibunya memiliki darah murni generasi Tomanurung. Hanya mereka yang maddara takku yang bisa dilantik menjadi anaq pattola (calon pengganti raja) atau arung lolo (Raja Muda) (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm 3). 9 Sebanyak 52 orang raja di Ajatappareng yang kawin dengan bangsawan di luar Ajatappareng. Kawin dengan bangsawan Gowa sebanyak 14 orang, kawin dengan bangsawan Soppeng sebanyak 10 orang, kawin dengan bangsawan Bone sebanyak 8 orang, kawin dengan bangsawan Wajo sebanyak 9 orang, kawin dengan bangsawan Balanipa sebanyak 3 orang, kawin dengan bangsawan Barru sebanyak 2 orang, kawin dengan bangsawan Tanete sebanyak 2 orang, kawin dengan bangsawan Sumbawa, Maiwa, Nepo, dan Enrekang masing-masing satu orang. Sesungguhnya para raja di Ajatappareng adalah orang kaya, karena tanah sebagai sumber utama ekonomi adalah milik penguasa, ada pun rakyat biasa hanya mempunyai hak guna tanah. Bangsawan yang berjasa kepada kerajaan juga biasanya diberi hadiah berupa tanah.
ke-1. Ada pun Tomanurung di Bulu Lowa Raja Sidenreng ke-1 dalam lontaraq tidak disebutkan nama dirinya, tetapi anak mereka yang bernama Songkopulawengnge Raja Sidenreng ke-2 kawin dengan We Pawawoi Ratu Rappang ke-2 anak dari La Bangenge Raja Sawitto ke-1 dan We Teppulinge Ratu Suppa ke-1 dan Ratu Rappang ke-1. Fakta ini menunjukkan bahwa sejak awal para raja di Ajatappareng melakukan perkawinan antarbangsawan dan antarkerajaan dalam lingkungan Konfederasi Ajatappareng. Perkawinan dengan luar Ajatappareng diawali oleh La Putebulu Raja Sawitto ke-3 dan Raja Suppa ke-3 dengan istri keduanya yang bernama We Tappatana Datu 10 Mario Riwawo dari Soppeng yang melahirkan La Makkarawi Raja Suppa ke-4 (1519-1564). Setelah We Tappatana bercerai dengan La Putebulu, maka dia kawin lagi mempersuamikan La Pasampoi Raja Sidenreng ke-4. Mengapakah Soppeng menjadi target pertama perkawinan bangsawan Ajatappareng dengan kerajaan di luarnya. Hal ini membuktikan bahwa Bacukiki, Suppa dan Soppeng adalah tiga kerajaan yang memegang peranan penting dalam dinamika politik dan ekonomi pada abad ke-13 (Pelras, 2006; Caldwell, 1988; Druce, 2009). Tambahan pula Suppa dan Sidenreng bertetangga dengan Soppeng. Apabila La Putebulu Raja Sawitto ke-3 dan Raja Suppa ke-3 kawin dengan bangsawan Soppeng, maka anaknya yang bernama La Paleteang Raja Sawitto ke-4 kawin dengan We Wasse Arung11 Belawa dari Wajo yang melahirkan La Cella Mata dan We Gimpo. We Gimpo kawin dengan La Pateddungi Raja Sidenreng ke-5 yang melahirkan La Patiroi dan We Renritana (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 5, Lontaraq Akkarungeng Sawitto, hlm. 11). Fakta ini membuktikan bahwa setelah Soppeng, maka para raja di Ajatappareng melihat bahwa Wajo utamanya Belawa mempunyai peranan sangat penting pada awal abad ke-15. Mengapakah Wajo sangat penting peranannya pada pertengahan abad ke-15? Oleh karena pada masa itu Wajo yang terletak antara Luwu di utaranya dan Bone di selatannya menyebabkan beberapa bangsawan Luwu dan bangsawan Bone kawin dengan Raja 10 11
Raja bawahan di Kerajaan Soppeng. Raja bawahan di Kerajaan Wajo.
7
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 1—15 Wajo atau bangsawan Wajo (Andi Zainal Abidin, 1985, Caldwell, 2005). Pada masa kekuasaan We Lampewelua Ratu Suppa ke-5 (1564-1574) Gowa menaklukan Suppa dan Sawitto. Setelah penaklukan ini, maka Tunipallanga Ulaweng Raja Gowa ke-10 (1546-1565) melantik anaknya yang bernama We Tosappai menjadi Ratu Suppa ke-6 (Lontaraq Akkarungeng Suppa, hlm. 3). We Tosappai kawin dengan La Patiroi Raja Sidenreng ke-6 (1564-1612) (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 6). Ini bermakna perkawinan antara raja di Ajatappareng dengan bangsawan Gowa diawali dengan penaklukan Gowa terhadap Suppa dan Sawitto pada pertengahan abad ke-16. Sementara itu perkawinan antara bangsawan di Ajatappareng dengan bangsawan Bone diawali oleh We Bungabau anak dari La Suni Karaeng Massepe Raja Sidenreng ke-9. We Bungabau kawin dengan Towaccalo Arung12 Amali merangkap Panglima Perang Bone. Perkawinan dengan bangsawan Bone diperkuat oleh Todani (1677-1681) yang berkuasa di lima kerajaan di Ajatappareng yaitu Sidenreng, Sawitto, Suppa, Rappang dan Alitta kawin dengan We Kacimpureng kakak perempuan dari Arung Palakka Raja Bone ke-17 (1672-1696). Todani ialah anak dari We Tasi’ Ratu Rappang ke-10 dan Ratu Suppa ke-11 dengan La Pabila Datu13 Citta dari Soppeng. Perkawinan ini menyebabkan Citta menjadi taklukan Bone (Lontaraq Akkarungeng Sawitto, hlm. 18). Mengapakah para bangsawan dan para raja di Ajatappareng perlu kawin dengan bangsawan atau raja Bone. Oleh karena setelah Perang Makassar 1666-166914 Bone muncul sebagai satu-satunya kerajaan yang memegang peranan politik yang sangat penting. Peranan penting Bone dalam dinamika politik pada masa itu menyebabkan para raja dari beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan melakukan perkawinan dengan bangsawan atau raja Bone. La Patau Raja Bone ke-18 (169612
Raja bawahan di Kerajaan Bone. Raja bawahan di Kerajaan Soppeng. 14 Perang Makassar adalah perang antara Gowa bersama sekutu-sekutu lokalnya dengan Belanda yang mendapat dukungan dari Bone dan sekutu-sekutu lokalnya. Akibat perang ini, maka Gowa takluk dan Bone menggatikan peran politik Gowa dalam menata percaturan politik di Sulawesi Selatan (Andaya, 2004) 13
8
1714) kawin dengan We Ummung Arung 15 Larompong anak dari Settiaraja Sultan Alimuddin Raja Luwu (Lontaraq Akkarungeng Bone, hlm 104, Abdurrazak Daeng Patunru, 1989:195). La Patau juga kawin dengan I Mariama Karaeng Pattukangan anak dari I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrabone Sultan Abdul Jalil Raja Gowa ke-19 (Lontaraq Akkarungeng Bone, hlm. 106-107, Abdurrazak, 1993:70). Perkawinan para bangsawan atau para raja di Ajatappareng dengan bangsawan atau raja Soppeng, raja Wajo, raja Gowa, raja Luwu, dan raja Bone pada akhirnya menyebabkan para raja di Ajatappareng mempunyai hubungan kerabat dekat dengan semua raja pada kerajaan di Sulawesi Selatan, baik kerajaan besar maupun kerajaan kecil atau daerah bawahan. Mengapa demikian, sebagaimana yang terjadi di lima kerajaan di Ajatappareng membuktikan bahwa hubungan kerabat dekat dimulai dari perkawinan antarbangsawan atau para raja dari beberapa kerajaan. Jadi perkawinan antarbangsawan yang bermotivasikan kekuasaan akhirnya menyebabkan para bangsawan atau para raja di Sulawesi Selatan mempunyai hubungan kerabat dekat antara satu dengan yang lainnya. Pola Pewarisan Kekuasaan Sumber lontaraq dan sumber lisan menggunakan tiga istilah tentang putra mahkota atau calon pengganti raja di Ajatappareng yaitu Arung Lolo, Datu Lolo, dan Sullewatang. Kajian ini menemukan bahwa putra mahkota tidak mesti anak kandung dari raja yang berkuasa. Putra mahkota dapat juga saudara atau kemanakan dari raja yang berkuasa. Contoh saudara yang menjadi putra mahkota ialah La Makkaraka saudara sekandung dengan We Yabeng Ratu Sidenreng ke-7. We Yabeng yang belum bersuami berhenti menjadi Ratu Sidenreng atas kemauan sendiri. Beliau melantik putra mahkota yang tidak lain adalah saudara sekandungnya yaitu La Makkaraka menjadi Raja Sidenreng ke-7. Mengapakah We Yabeng menyerahkan kekuasaannya kepada saudaranya? Lontaraq menjelaskan bahwa We Yabeng bersepakat dengan saudaranya supaya La Makkaraka menggantinya menjadi Raja 15
Raja bawahan di Kerajaan Luwu.
Perkawinan Politik dan Pewarisan... Abd. Latif
Sidenreng, sedangkan dia bersama pengawalnya akan pergi ke Bulubangi (daerah bawahan dari Sidenreng) untuk menjadi arung16 di sana dan menjadi Tellu Lette atau ketua Dewan Hadat Sidenreng (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 8-9). Di Bulubangi We Yabeng kawin dengan La Saliu anak dari La Sangaji Arung17 Lowa (daerah bawahan dari Sidenreng) dengan We Camma yang melahirkan We Mappadudu Idappage yang nantinya menjadi Arung18 Bulubangi, La Tabusassa dan We Tenriseno Idaweru yang nantinya menjadi Arung19 Ganra dari Soppeng. We Mappadudu Idappage kawin dengan Taranatie Daeng Mabela Datu20 Pammana dari Wajo anak dari La Mappasilli dengan We Tenriseno Datu21 Bunne dari Bone yang melahirkan La Tenrisessu yang nantinya menjadi Datu Pammana, La Tenritippe Towalennae yang nantinya menjadi Raja Sidenreng ke-11, We Kutana, La Tenriseppe Tosabbuoe, dan La Paubbari alias La Parengki (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 11-12). Ini bermakna bahwa cucu We Yabeng yang dilahirkan oleh We Mappadudu Idappage mewarisi kekuasaan di Sidenreng. Ada pun anak dari We Yabeng yang bernama We Tenriseno Idaweru Arung22 Ganra kawin dengan La Tenripau alias La Sampocaca Raja Sawitto ke-9 anak dari We Passulle Datu Bissue Ratu Sawitto ke-8 dengan Topatekkeng Panglima Perang Wajo. We Tenriseno Idaweru melahirkan We Timeng Petta Battowae yang nantinya menjadi Arung Ganra dan Ratu Sawitto ke-11 dan La Tenritatta Daeng Tomaming yang nantinya menjadi Raja Suppa ke-13 (Lontaraq Akkarungeng Sawitto, hlm. 17). Ini bermakna bahwa cucu We Yabeng yang dilahirkan oleh We Tenriseno Idaweru mewarisi kekuasaan di Sawitto dan di Suppa. Contoh kemanakan yang menjadi putra mahkota ialah La Parenrengi Karaeng Tinggimae anak dari Ishak Manggabarani Karaeng Mangeppe Raja Wajo ke-42 (1900-1916) dan We Dalawittoi 16
Raja bawahan di Kerajaan Sidenreng. Raja bawahan di Kerajaan Sidenreng. 18 Raja bawahan di Kerajaan Sidenreng. 19 Raja bawahan di Kerajaan Soppeng. 20 Raja bawahan di Kerajaan Wajo. 21 Raja bawahan di Kerajaan Bone. 22 Raja bawahan di Kerajaan Soppeng. 17
Karaeng Kanjenne saudari dari La Sadapotto. La Sadapotto Raja Sidenreng ke-19 (1900-1906) melantik kemanakannya menjadi putra mahkota (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 88). Ketika La Sadapotto mangkat, maka yang menggantinya menjadi Raja Sidenreng ialah La Cibu anak dari La Sadapotto dengan istri keduanya yang bernama We Beda Ratu Sawitto ke-23. Pertanyaannya mengapa bukan La Parenrengi Karaeng Tinggimae sebagai putra mahkota yang menggantikan La Sadapotto? Lontaraq menjelaskan bahwa salah seorang anak dari La Sadapotto bernama La Pateddungi meninggal sebelum dewasa. Pada masa itu La Pateddungi bersama La Parenrengi Karaeng Tinggimae pergi ke Makassar untuk mengantar cendra mata dalam rangka memperingati hari lahir Ratu Belanda. Tidak jelas apa sebab-musababnya sehingga La Pateddungi meninggal di Makassar. Lontaraq hanya menjelaskan bahwa kematian La Pateddungi menyebabkan nyaris terjadi perang antara Suppa dengan Sidenreng, sebab ketika peti mayat La Pateddungi tiba di Sidenreng tidak EROHKGLEXNDGDQODQJVXQJGLNXEXUNDQ.RQÀLN dapat dihindari karena Belanda segera datang ke Sidenreng menghadiri upacara penguburan La Pateddungi. Pada waktu itu Belanda juga mengusulkan kepada Dewan Hadat Suppa supaya La Parenrengi Karaeng Tinggimae dilantik menjadi Raja Suppa untuk menggantikan anaknya yang bernama We Madellu (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 90-91). We Madellu ialah istri dari La Mappanyukki Raja Suppa ke-22 (19001906) dan Raja Bone ke-34 (1930-1946). La Mappanyukki adalah anak dari I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Raja Gowa ke-34 (1895-1906) dengan We Cella Ratu Alitta ke-16 (1862-1900). Adapun We Cella ialah anak dari La Parenrengi Raja Bone ke-29 (1845-1857) dengan We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Ratu Bone ke-30 (1857-1860) dan Ratu Suppa ke-20 (1862-1874). Ini bermakna bahwa pada akhir abad ke-19 dua kerajaan besar yaitu Bone dan Gowa semakin memperkuat peran politiknya di Ajatappareng, terutamanya di Alitta dan Suppa. L o n t a r a q A d d i t u a n g S i d e n re n g menceritakan bahwa dari 20 orang yang pernah menjadi Raja Sidenreng ada 2 orang perempuan yaitu We Yabeng Ratu Sidenreng ke-7 dan We 9
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 1—15 Rakiya Karaeng Kanjenne Ratu Sidenreng ke13. Ada 14 orang yang menggatikan ayah atau ibunya, 3 orang menggantikan saudaranya, dan 2 orang menggantikan kakek atau neneknya. La Pasampoi raja Sidenreng ke-4 ialah anak kedua dari La Batara Raja Sidenreng ke-3 dengan We Cinadiyo Arung23 Bulucenrana (daerah bawahan dari Sidenreng), karena anak pertamanya yang bernama La Mariase telah dilantik menjadi Arung Bulucenrana untuk menggantikan ibunya. We Rakiya Karaeng Kanjenne Ratu Sidenreng ke-13 ialah anak ketiga dari La Mellewai Raja Sidenreng ke-12 dengan I Sabaro Daeng Takotu anak dari Karaeng24 Karunrung dari Gowa, karena anak pertamanya yang bernama We Jora telah kawin dengan La Tenritatta Daeng Tomaming Raja Suppa ke-13 dan Raja Sawitto ke-14. Lontaraq tidak menjelaskan tentang anak keduanya yang bernama Karaeng Bontosia. We Yabeng Ratu Sidenreng ke-7 ialah anak pertama dari La Patiroi Raja Sidenreng ke-6 dengan seorang bangsawan Makassar yang tidak disebutkan nama dirinya. Pertanyaannya mengapakah We Yabeng yang dilantik menggatikan ayahnya pada hal ibunya adalah istri keempat dan tidak jelas pula kebangsawanannya. Istri pertama dari La Patiroi ialah We Dangkau Ratu Rappang ke-8 anak dari La Pakallongi Raja Rappang ke-7 melahirkan La Tonang yang nantinya menjadi Raja Rappang ke-9. Setelah dewasa La Tonang kawin dengan We Tenrilekka Ratu Alitta ke-4. Istri kedua dari La Patiroi ialah We Tosappai Ratu Suppa ke-6 anak dari Tunipallangga Ulaweng Raja Gowa ke-10. Istri ketiga dari La Patiori ialah kemanakan dari raja Gowa melahirkan La Gojeng yang nantinya menjadi Raja Alitta ke-2, Tomalu yang nantinya menjadi Arung25 Belawa, dan La Baeda. Sebetulnya yang semestinya dilantik menggantikan La Patiroi adalah salah satu di antara La Gojeng, Tomalu dan La Baeda. Lontaraq menjelaskan bahwa La Gojeng Raja Alitta lebih duluan mangkat dari ayahnya. Karena itu, sebelum La Patiroi mangkat dia menetapkan anaknya yang bernama We Yabeng sebagai calon penggantinya (Lontaraq Addituang Sidenreng, 23
Raja bawahan di Kerajaan Sidenreng. Raja bawahan di Kerajaan Gowa. 25 Raja bawahan di kerajaan Wajo. 24
10
hlm. 5-8). Taranatie Raja Sidenreng ke-14 ialah anak pertama dari We Rakiya Karaeng Kanjenne Ratu Sidenreng ke-13 dengan Toagamette Panglima Perang Bone. Pertanyaannya mengapakah Taranatie yang dilantik menggantikan ibunya pada hal ayahnya adalah suami kedua. Suami pertama dari We Rakiya Karaeng Kanjenne yang bernama Mas Madina Sultan Sumbawa adalah mantan suami dari We Bataritoja Daeng Talaga Ratu Bone ke-19 dan ke-23 (1714-1715 dan 1724-1749). Pada awalnya We Rakiya Karaeng Kanjenne selingkuh dengan Mas Madina, karena itu We Bataritoja Daeng Talaga Ratu Bone mengasingkan keduanya ke Sumbawa. Di Sumbawa mereka bercerai dengan satu anak bernama We Sugiratu. Pada waktu dalam pengasingan, maka Bataritoja Daeng Talaga Ratu Bone melantik suaminya yang bernama Toagamette Panglima Perang Bone menjadi Raja Sidenreng. Sidenreng pada waktu itu adalah taklukan dari Bone. Namun demikan Toagamette tidak terdapat dalam daftar raja-raja Sidenreng. Setelah bercerai dengan Mas Madina, maka We Rakiya Karaeng Kanjenne kembali ke Sidenreng dan selingkuh dengan Toagamette. Inilah yang menyebabkan We Bataritoja Daeng Talaga Ratu Bone bercerai dengan Toagamette. Setelah perceraian itu, maka We Rakiya Karaeng Kanjenne pun kawin dengan Toagamette (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 24-25). La Cibu Raja Sidenreng ke-20 atau raja terakhir ialah anak pertama dari La Sadapotto Raja Sidenreng ke-19 dengan We Beda Ratu Sawitto ke-23. Pertanyaannya mengapakah La Cibu yang dilantik menggantikan ayahnya pada hal ibunya adalah istri kedua. Istri pertama La Sadapotto ialah We Gawe anak dari Muhammad Daeng Patompo dengan We Mossori yang melahirkan La Paremma yang nantinya menjadi Arung26 Wettae (daerah bawahan dari Sidenreng), We Burru yang nantinya kawin dengan bangsawan Gowa, dan We Mutu’ yang nantinya kawin dengan La Parenrengi Karaeng Tinggimae Raja Suppa ke-24 yang melahirkan La Mappangile. Lontaraq menyebutkan bahwa sebetulnya Muhammad Daeng Patompo bukan bangsawan, 26
Raja bawahan di Kerajaan Sidenreng.
Perkawinan Politik dan Pewarisan... Abd. Latif
tetapi dia adalah orang kaya yang bermukim di Makassar, sebab itu tiga anak La Sadapotto dari istri pertamanaya adalah anaq ceraq atau bukan bangsawan tinggi (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 88-89). Sementara itu istri kedua La Sadapotto yang bernama We Beda jelas adalah maddara takku atau bangsawan tinggi, karena pada masa itu We Beda menjadi Ratu Sawitto ke-23. Tiga Raja Sidenreng yang menggantikan saudaranya. Pertama ialah La Makkaraka Raja Sidenreng ke-8 menggantikan kakak perempuannya yang bernama We Yabeng. We Yabeng belum kawin pada waktu menyerahkan kekuasaannya kepada La Makkaraka. Kedua ialah Towappo Raja Sidenreng ke-15 menggantikan kakak laki-lakinya yang bernama Taranatie. Taranatie mangkat sebelum kawin, karena itu yang menggantikannya ialah adiknya yang bernama Towappo (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 28). Ketiga ialah La Sadapotto Raja Sidenreng ke-19 menggantikan kakak laki-lakinya yang bernama Sumange Rukka. Sumange Rukka kawin dengan We Simatana Ratu Nepo, tetapi karena istrinya mandul maka Sumenge Rukka melantik adiknya yang bernama La Sadapotto menjadi putra mahkota (Lontaraq Addituang Sidenreng,hlm. 83-84). Salah satu contoh cucu yang menggantikan kakeknya ialah La Panguriseng Raja Sidenreng ke-17 menggantikan kakeknya yang bernama La Wawo. La Wawo kawin dengan We Bubeng anak dari I Makkasuma Raja Tallo Mangkubumi Gowa yang melahirkan La Pasanrangi Muhammad Rasyid Petta Cambangnge yang nantinya menjadi Raja Maiwa dan putra mahkota Sidenreng. La Pasanrangi kawin sebanyak dua kali. Istri pertamanya bernama We Mudariya anak dari La Tebba Arung27 Sajoanging dari Wajo yang melahirkan La Patongai yang nantinya menjadi Datu28 Lompulle dari Soppeng, La Unru’ yang nantinya menjadi Arung29 Ujung, We Tabbacina, dan We Batari. Istri keduanya bernama We Noba Datu30 Pammana yang melahirkan La Panguriseng 27
Raja bawahan di Kerajaan Wajo. Raja bawahan di Kerajaan Soppeng. 29 Raja bawahan di Kerajaan Sidenreng. 30 Raja bawahan di kerajaan Wajo. 28
yang nantinya menjadi Raja Sidenreng ke-17, La Cincing yang nantinya menjadi Raja Wajo ke-39, La Waccalo yang nantinya menjadi Raja Maiwa, dan La Mallujengi Karaeng 31 Katangka yang nantinya menjadi Panglima Perang Wajo. Semestinya La Pasanrangi yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Sidenreng, tetapi dia terbunuh dalam perang Sidenreng dengan Sawitto pada tahun 1812. Karena itu, berdasarkan adat kebiasaan Bugis, maka yang semestinya menggantikan La Wawo menjadi Raja Sidenreng ialah La Patongai, sebab ibunya adalah istri pertama dan bangsawan tinggi. Selain itu, semasa hidupnya La Wawo mengusulkan supaya yang menggantikannya nanti menjadi Raja Sidenreng ialah cucunya yang bernama La Potangai (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 40). Pertanyaannya mengapakah Dewan Hadat Sidenreng melantik La Panguriseng menjadi Raja Sidenreng ke-17 untuk menggantikan kakeknya yang wafat pada tahun 1831? Sebetulnya La Panguriseng adalah anak pertama, tetapi ibunya adalah istri kedua dari La Pasanrangi. Sebetulnya VHEHOXP SHODQWLNDQ WHODK WHUMDGL NRQÀLN DQWDUD La Panguriseng dengan La Patongai. Untuk PHPHQDQJNDQ NRQÀLN PDND /D 3DQJXULVHQJ pergi ke Makassar meminta dukungan dan bantuan kepada Belanda. Belanda pun membantu La Panguriseng menaklukkan La Patongai dan memaksa Dewan Hadat Sidenreng melantik La Panguriseng menjadi Raja Sidenreng (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 70). Lontaraq Akkarungeng Sawitto menceriterakan bahwa dari 25 orang yang pernah menjadi Raja Sawitto ada 9 orang perempuan yaitu We Gempo Ratu Sawitto ke-5, We Passulle Datu Bissue Ratu Sawitto ke-8, We Time Petta Battowae Ratu Sawitto ke-11, We Timeng Ratu Sawitto ke-17, We Cinde Ratu Sawitto ke-18, We Passulle Daeng Bulaeng Ratu Sawitto ke-20, We Beda Ratu Sawitto ke-23, We Tenri Ratu Sawitto ke-24, dan We Rukiya Bau Bocco Karaeng Balla Tinggi Ratu Sawitto ke-25. Di samping itu juga terdapat sebanyak 8 orang merangkap menjadi Raja Suppa yaitu La Teddulloppo Raja Sawitto ke-2 dan Raja Suppa ke-2, La Putebulu Raja Sawitto ke-3 dan Raja Suppa ke-3, La Pancaitana 31
Raja bawahan di Kerajaan Gowa.
11
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 1—15 Raja Sawitto ke-7 dan Raja Suppa ke-7, We Passulle Datu Bissue Ratu Sawitto ke-8 dan Ratu Suppa ke-8, Todani Raja Sawitto ke-13 dan Raja Suppa ke-12, La Tenritatta Daeng Tomaming Raja Sawitto ke-14 dan Raja Suppa ke-13, La Doko Raja Sawitto ke-15 dan Raja Suppa ke-14, serta La Kuneng Raja Sawitto ke-16 dan Raja Suppa ke-18. Di Sawitto terdapat 15 raja yang menggatikan ayah atau ibunya, 5 orang menggantikan saudaranya, 2 orang menggantikan pamannya atau tantenya, 1 orang menggantikan mertuanya, dan 1 orang menggantikan istrinya. La Tenripau alias La Sampocaca Raja Sawitto ke-9 anak pertama dari We Passulle Datu Bissue Ratu Sawitto ke-8 dan La Massora Raja Alitta ke-3. Pertanyaannya mengapakah La Tenripau alias La Sampocaca yang dilantik menggantikan ibunya pada hal ayahnya adalah suami kedua. Suami pertama We Passulle Datu Bissue bernama Topatekkeng Panglima Perang Wajo melahirkan La Tenrisessu, We Tenripakkiya, dan We Tenriseno. Karena pada waktu itu We Passulle Datu Bissue merangkap sebagai Ratu Suppa ke-8, maka anaknya yang bernama La Tenrisessu dari suami pertamanya ditetapkan menggantikan dirinya menjadi Raja Suppa ke-9. Ada pun anaknya yang bernama La Tenripau alias La Sampocaca dari suami keduanya ditetapkan menggantikan dirinya menjadi Raja Sawitto ke-9. We Timeng Ratu Sawitto ke-17 anak pertama dari La Kuneng Raja Sawitto ke-16 dengan We Madillu anak dari La Balosong bangsawan dari Bone. La Balosong ialah anak dari La Temmasonge Raja Bone ke-24 (1749-1775) dengan I Momang Sitti Aisah (Lontaraq Akkarungeng Sawitto, hlm. 31). Pertanyaannya mengapakah We Timeng yang dilantik menggantikan ayahnya pada hal ibunya adalah istri kedua. Istri pertama La Kuneng ialah We Tenri Arung32 Singkang dari Wajo anak dari La Maddukelleng melahirkan La Pabeyangi alias Cella Belawa yang nantinya menjadi Arung33 Belawa dan Arung Singkang. Pada waktu La Pabeyangi kawin dengan We Tenriampareng Ratu Soppeng, maka istrinya ini melantik La Pabeyangi menjadi Arung34 Ganra (daerah bawahan dari Soppeng). Karena anaknya dari istri pertamanya 32
Raja bawahan di Kerajaan Wajo. Raja bawahan di Kerajaan Wajo. 34 Raja bawahan di Kerajaan Soppeng.
telah menjadi raja bawahan di tiga daerah dan memperistrikan Ratu Soppeng, maka La Kuneng menetapkan We Timeng anak dari istri keduanya menjadi Ratu Sawitto. We Timeng mempunyai saudara sekandung sebanyak empat orang yaitu We Cinde yang nantinya menjadi Ratu Sawitto ke-18, We Maddika yang nantinya kawin dengan La Tenrisukki Arung35 Kajuara dari Bone yang melahirkan We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Ratu Bone ke-30, Muhammad Saleh yang nantinya menjadi Raja Alitta ke-15, La Tenrilengka yang nantinya menjadi Raja Supppa ke-19, dan La Cibu yang nantinya menjadi Panglima Perang Bone dan Raja Sawitto ke-19 (Lontaraq Akkarungeng Sawitto, hlm. 30-31, Lontaraq Akkarungeng Bone, hlm. 159). We Passulle Daeng Bulaeng Ratu Sawitto ke-20 anak dari La Cibu Raja Sawitto ke-19 dengan We Saribulang anak dari Janggo Panincong. Pertanyaannya mengapakah We Passulle Daeng Bulaeng yang dilantik menggantikan ayahnya pada hal ibunya adalah anaq rajeng. Lontaraq menceriterakan bahwa La Cibu Raja Sawitto ke-19 mempunyai banyak istri anaq ceraq dan satu anak rajeng. Karena itu, pada masa tuanya datanglah anggota Dewan Hadat Sawitto menghadap ke La Cibu mengajukan pertanyaan, “bila tiba masanya tuanku mangkat siapakah yang semestinya menggantikan tuanku menjadi Raja Sawitto”? La Cibu menjawab, karena saya tidak mempunyai putra mahkota maka pergilah ke kemanakanku yaitu We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Ratu Suppa, siapa pun yang beliau tunjuk itulah yang kalian lantik menjadi Raja Sawitto. Ternyata Ratu Suppa menunjuk We Passulle Daeng Bulaeng anaq rajeng dari La Cibu (Lontaraq Akkarungeng Sawitto, hlm. 32-33). Lima Raja Sawitto yang menggantikan saudaranya. La Cella Mata Raja Sawitto ke-6 menggantikan kakak perempuannya yang bernama We Gempo, karena anak pertama We Gempo yang bernama La Patiroi telah dilantik menjadi Raja Sidenreng ke-6. La Patiroi mewarisi kekuasaan di Sidenreng dari ayahnya yang bernama La Pateddungi Raja Sidenreng ke-5. We Timeng Petta Battowae Ratu Sawitto ke-11 menggantikan kakak laki-lakinya yang
33
12 12
35
Raja bawahan di Kerajaan Bone.
Perkawinan Politik dan Pewarisan... Abd. Latif
bernama La Makkasau, karena La Makkasau tidak mempunyai anak bangsawan, bahkan tidak mempunyai anaq rajeng dan anaq ceraq. We Cinde Ratu Sawitto ke-18 menggantikan kakak perempuannya yang bernama We Timeng, karena We Timeng tidak mempunyai anak dari suaminya yang bernama Abdullah anak dari La Tenri Arung36 Botto dengan We Patimang Arung37 Batupute. La Cibu Raja Sawitto ke-19 menggantikan kakak perempuannya yang bernama We Cinde, karena We Cinde sehingga wafat tidak pernah kawin. We Beda Ratu Sawitto ke-23 menggantikan kakak laki-lakinya yang bernama La Tamma, karena La Tamma tidak mempunyai putra mahkota dan anaq rajeng. Satu orang anaq ceraq dari La Tamma yang bernama La Sinrang ditangkap oleh Belanda pada bulan Juni 1906 dan diasingkan ke Banyumas, Jawa Tengah (Lontoaraq Akkarungeng Sawitto, hlm. 39-40). La Pallagau Raja Sawitto ke-21 menggantikan istrinya yang bernama We Passulle Daeng Bulaeng. Tidak perlu dijelaskan pola pewarisan kekuasaan yang belaku di Suppa, Rappang dan Alitta, karena polanya sama dengan yang berlaku di Sidenreng dan Sawitto. Walau bagaimanapun ada dua pewarisan kekuasaan di Suppa dan dua di Alitta yang unik. La Parenrengi Karaeng Tinggimae Raja Suppa ke-24 menggantikan anaknya yang bernama We Madillu. Sebenarnya La Parenrengi Karaeng Tinggimae adalah putra mahkota di Sidenreng, tetapi karena dia dicurigai terlibat dalam kematian anak dari La Sadapotto Raja Sidenreng ke-19 yang bernama La Pateddungi di Makassar pada tahun 1904, maka Dewan Hadat Sidenreng memilih melantik La Cibu anak dari La Sadapotto dari istri keduanya. Pelantikan La Cibu menjadi Raja Sidenreng ke-20 menyebabkan La Parenrengi Karaeng Tinggimae marah, karena merasa hak azasinya dilangkahi. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka Belanda memaksakan kepada Dewan Hadat Suppa agar segerah melantik La Parenrengi Karaeng Tinggimae menjadi Raja Suppa untuk menggantikan puterinya yang bernama We Madellu (Lontaraq Addituang Sidenreng, hlm. 90-91, Lontaraq Akkarungeng Suppa, hlm. 38). 36 37
Raja bawahan di Kerajaan Soppeng. Raja bawahan di Kerajaan Luwu.
Keunikan kedua di Suppa terjadi pada waktu La Parenrengi Karaeng Tinggimae mangkat. Sebenarnya pada waktu itu yang sesui dengan adat kebiasan untuk dilantik menjadi Raja Suppa ialah putranya yang bernama La Mappangile, karena ibunya ialah We Gawe anak dari La Sadapotto Raja Sidenreng ke-19. Lontarq tidak menjelaskan mengapa La Mappangile tidak mau menjadi raja. Mungkin disebabkan beliau mempunyai istri dan anak yang banyak, sehingga khawatir akan terjadi perebutan takhta di antara anak-anaknya. Selain itu La Mappangile menyetujui supaya adik laki-lakinya yang bernama La Makkasau dilantik menjadi Raja Suppa ke-25 walaupun ibunda La Makkasau bukan bangsawan tinggi alis La Makkasau sebenarnya adalah anaq ceraq. Anak pertama dari La Makkasau yang bernama We Nurhani kemudian kawin dengan La Sapada anak dari La Mappangile (Lontaraq Akkarungeng Suppa, hlm. 38-39). Terdapat dua perwarisan kekuasaan di Alitta yang sangat unik. Pertama ialah Moppangnge Raja Alitta ke-5 menggantikan ibunya yang bernama We Tenrilekka. Moppangnge adalah Raja Alitta yang cacat dan bodoh. Sejak lahir dia cacat senantiasa moppang (tengkurap) dan dungu, tetapi ibunya adalah Ratu Alitta ke-4 dan ayahnya yang bernama La Tonang adalah Raja Rappang ke-9. Kakek dan neneknya dari pihak ibunya ialah La Massora Raja Alitta ke-4 dan We Passulle Datu Bissue Ratu Sawitto ke-8 dan Ratu Suppa ke-8. Kakek dan neneknya dari pihak ayahnya ialah La Patiroi Raja Sidenreng ke-6 dan We Dangkau Ratu Rappang ke-8 (Lontaraq Akkarungeng Alitta, hlm. 13). Keunikan kedua ialah Muhammad Saleh Raja Alitta ke-15. Beliau adalah satu-satunya waria atau banci yang pernah berkuasa di Ajatappareng. Beliau bersama La Cibu dari Sawitto membantu saudara kandungnya yang bernama La Tenrilengka Raja Suppa ke-19 berperang melawan Belanda pada tahun 1825. Pada waktu itu Belanda dibantu oleh La Wawo Raja Sidenreng ke-16. Sumber Belanda melukiskan perang ini sangatlah dahsyat dan mengerikan. Para pemberani dari Suppa bersama sekutunya dari Alitta dan Sawitto dengan gagah berani dan tidak takut mati menghadapi pasukan Belanda dan sekutunya dari Sidenreng (Steurs, 1854: 380-386). Manuskrip lokal juga menjelaskan bahwa pada waktu perang Suppa 13
WALASUJI Volume 5, No. 1, Juni 2014: 1—15 terjadi, maka Belanda didukung dan dibantu oleh Sidenreng dan tentara yang didatangkan dari Ambon, Ternate dan Jawa (Lontoraq Toloq Rumpaqna Suppa). Hal inilah yang menyebabkan manuskrip lokal mengabadikan nama Muhammad Saleh Raja Alitta dengan gelaran “calabai tungke’na Alitta” (raja waria dari Alitta), La Cibu diberi gelaran “bakkalolona Sawitto” (ayam jantan dari Sawitto), dan anak dari La Tenrilengka Raja Suppa diberi gelaran “bulusiruanna Suppa” (anjing galak dari Suppa) (Lontaraq Akkarungeng Alitta, hlm. 36-37). PENUTUP Kajian ini menemukan bahwa perkawinan antarraja di Konfederasi Ajatappareng adalah dimaksudkan untuk memperkuat status kebangsawanan generasi Tomanurung, karena hanya bangsawan tinggi atau murni generasi Tomanurung yang dapat dilantik menjadi raja. Tujuan lainnya dari perkawinan antarkerajaan adalah memperluas pengaruh politik melalui jaringan kekerabatan di antara para penguasa. Hubungan kekerabatan tidak dibedakan antara warisan dari pihak ayah dengan warisan dari pihak ibu, karena baik laki-laki maupun perempuan dapat dilantik menjadi raja dan tidak mesti anaknya yang menggantikan ayah atau ibunya. Raja yang berkuasa mempunyai kekuasaan menetapkan siapa di antara bangasawan tinggi yang akan dilantik menggatikan dirinya. Faktor keaslian darah bangsawan generasi Tomanurung dan luasnya jaringan kekerabatan adalah dua faktor yang sangat penting dalam menilai status kebangsawanan dan luas pengaruh politik seorang raja. Dalam idealogi politik orang Bugis yang diutamakan adalah keaslian darah bangsawan Tomanurung. Prestasi individu bukan tidak penting dalam seleksi kepimpinan, tetapi kredibilitas seseorang tampaknya hanya menjadi faktor pelengkap terhadap keaslian darah bangsawan Tomanurung. Kajian ini juga menemukan bahwa pewarisan kekuasaan di Ajatappareng tidak semua raja yang berkuasa mesti digantikan oleh anaknya. Tidak semua putra mahkota dapat dilantik menjadi raja. Perempuan pun dapat dilantik menjadi raja. Bahkan anaq ceraq pun dapat dilantik menjadi 14
raja. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa pewarisan kekuasaan di Ajatappareng bersifat unik. Contohnya cucu dapat menggantikan kakek atau neneknya, ayah dapat menggantikan anaknya, suami dapat menggantikan istrinya atau sebaliknya istri dapat menggantikan suaminya, dan kemanakan dapat menggantikan paman atau tantenya. DAFTAR PUSTAKA Abdurrazak, Daeng Patunru. 1983. Sejarah Wajo. Ujungpandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Abdurrazak, Daeng Patunru. 1989. Sejarah Bone. Ujungpandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Abdurrazak, Daeng Patunru. 1993. Sejarah Gowa. Ujungpandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Abdurrazak, Daeng Patunru. 2004. Bingkisan Patunru: Sejarah Lokal Sulawesi Selatan. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar: Ininnawa. Andaya, Leonard Y. 2010. “Diaspora Bugis, Identitas, dan Islam di Negeri Malaya”. Dalam Andi Faisal Bakti, Diaspora Bugis di Alam Melayu Nusantara. Makassar: Ininnawa. Andi Zainal Abidin Farid. 1985. Wajo Abad XVXVI Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara. Bandung: Alumni. Burhanuddin, Pabitjacara. 2006. “Persekutuan Limae Ajatappareng Abad XVI”. Tesis Magister. Universitas Negeri Makassar. Caldwell, Ian. 1988. “South Sulawesi a.d. 1300-1600: Ten Bugis Texts”. Tesis Ph.D. Australian National University. Caldwell, Ian. 2005. “Kronologi Raja-Raja Luwu’ hingga Tahun 1611”. Dalam Kathryn Robinson dan Mukhlis Paeni. TapakTapak Waktu: Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan. Makassar: Ininnawa. Darwas Rasyid. 1985. “Sejarah Kabupaten Daerah Tk.II Pinrang”. Laporan Penelitian. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Perkawinan Politik dan Pewarisan... Abd. Latif
Ujungpandang. Druce, Stephen C. 2009. The Lands West of the Lakes: A History of the Ajatappareng Kongdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE. Leiden: KITLV. Errington, Shelly. 1989. “Tempat Benda-Benda Pusaka di Luwu”. Dalam, Lorraine Gesiek. Pusat, Simbol, dan Hirarki Kekuasaan: Esaia-Esai tentang Negara-Negara Klasik di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Heddy Shri Ahimsa Putra. 1988. Minawang: Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Cet. keempat. Jakarta: Balai Pustaka. Kamus Dewan. 2010. Edisi Keempat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuntowijoyo. 1993. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lontaraq Addituang Sidenreng. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Lontaraq Adeq-Adeqna Sawitto. Koleksi Pribadi. Lontaraq Akkarungeng Alitta. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Lontaraq Akkarungeng Bone. Koleksi Laboratorium Naskah. Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin. Lontaraq Akkarungeng Sawitto. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Lontaraq Akkarungeng Suppa. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Lontaraq Toloq Rumpaqna Suppa. Koleksi Pribadi. Mattulada. 1982. “Kebudayaan Bugis Makassar”. Dalam Koentjaraningrat. Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan. Mattulada. 1995. Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujungpandang: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Miller, Susan Bolyard. 2009. Perkawinan Bugis: Refleksi Status Sosial dan Budaya di Baliknya. Makassar: Ininnawa. Mukhlis (editor). 1986. Dinamika BugisMakassar. Ujungpandang: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Forum Jakarta-Paris EFEO. Rahilah Omar. 2003. “The History of Bone A.D. 1775-1795: The Diary of Sultan Ahmad asSalleh Syamsuddin”. Tesis Ph.D. University of Hull. Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Stuers, H. van de. 1854. “De Expeditie tegen Tanete en Soeppa in 1824”. Dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, Volume 59. Sutherland, Heather. 1980. “Political Structure and Colonial Control in South Sulawesi”. Dalam. R. Schefold. (editor). Man, Meaning and History: Essay in Honour of H.G. Schulte Nordholt. KITLV. Taba S.A. 1973. “Perkawinan Adat dalam Struktur Masyarakat Bone dan Prospek Pembangunan Keluarga Modern”. Skripsi Sarjana, Universitas Hasanuddin. Walinono. 1974. “Tanete: Suatu Studi Sosiologi Politik”. Tesis Ph.D. Universitas Hasanuddin.
15