PRAKTIK PELAKSANAAN ROYA HAK TANGGUNGAN PADA KANTOR PERTANAHAN KOTA SAMARINDA
JURNAL ILMIAH
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat-syarat memperoleh Gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum Bidang Konsentrasi Hukum Agraria
Diajukan Oleh : MIRANDA FITRAYA NIM.0810015051
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2012
PRAKTIK PELAKSANAAN ROYA HAK TANGGUNGAN PADA KANTOR PERTANAHAN KOTA SAMARINDA Miranda Fitraya
Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda Pada prinsipnya, kegiatan Roya Hak Tanggungan sudah diatur dalam ketentuan pasal 22 (ayat 1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT)). Walaupun dalam prakteknya Roya Hak Tanggungan wajib dilaksanakan apabila debitur telah melunasi hutangnya pada kreditur (Bank), tetapi tidak ada aturan yang tegas menyatakan bahwa pihak yang tidak segera melakukan Roya akan diberikan sanksi. Oleh karena itulah, Kantor Pertanahan selaku pihak yang berwenang melakukan Roya Hak Tanggungan dapat menemui kendala dalam Pelaksanaan Roya tersebut.
PENDAHULUAN Saat ini, Bank dan lembaga keuangan lainnya berfungsi antara lain untuk memberikan kredit. Kredit ialah suatu fasilitas untuk mempteroleh pinjaman uang. Pinjaman uang ini akan menyebabkan timbulnya utang, yang harus dibayar oleh debitur menurut menurut syarat-syarat yang ditetapkan dalam suatu perjanjian pinjaman atau persetujuan untuk membuka kredit. Salah satu barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit adalah tanah. Tentu saja tidak semua tanah memiliki sifat atau dalam keadaan sebagai disebut diatas. Tanah yang sukar dijual harganya terus menurun, mudah digelapkan tidak mempunyai tanda bukti hak dan tidak dapat dibebani hak tanggungan, biasanya tidak dapat diterima oleh kreditur sebagai jaminan pembayaran uang. Agar tanah sebagai jaminan kredit dapat memberikan kepastian hukum terhadap kreditur maka diperlukan sebuah lembaga jaminan, dimana hal yang dimaksudkan ini adalah lembaga jaminan Hak Tanggungan yang mampu memberikan jaminan perlindungan hukum baik kepada debitur maupun kreditur. Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan. Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT)). Namun dalam prakteknya, ketika Debitur telah melunasi hutangnya kepada Bank dan mendapat surat Roya, tetapi pada Sertifikat tanahnya masih memuat catatan pembebanan Hak Tanggungan sekalipun kenyataannya tanah tersebut sudah bersih dari beban. Hal ini terjadi karena pihak debitur tidak segera melakukan permohonan Roya yang diberikan kreditur (Bank) ke Kantor Pertanahan untuk segera melakukan pencoretan catatan beban Hak Tanggungan
pada Buku tanah dan Sertifikat Hak Atas Tanahnya. Hal ini jelas merugikan si debitur sendiri karena seolah-olah debitur masih memilik hutang di Bank tempat ia meminjam jaminan kredit dengan Hak Tanggungan, padahal kenyataannya hutang tersebut telah lunas dibayar. Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengambil judul “PRAKTIK PELAKSANAAN ROYA HAK TANGGUNGAN PADA KANTOR PERTANAHAN KOTA SAMARINDA”. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana Pelaksanaan Roya Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan Kota Samarinda ? 2. Hambatan apa yang dihadapi Kantor Pertanahan Kota Samarinda dalam Pelaksanaan Roya Hak Tanggungan ? METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini tergolong penelitian yuridis-empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro dalam Soerjono Soekanto, yuridis empiris adalah mengidentifikasikan dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang mempola. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian adalah tempat atau lokasi dimana penelitian akan dilaksanakan. Pada penelitian ini, tempat atau lokasi dilakukannya penelitian adalah pada Kantor Pertanahan Kota Samarinda, yang terletak di Jl. Dahlia No.83, Kota Samarinda. Sumber Data 1. 2.
Data Primer adalah data empiris yang diperoleh langsung dari sumber data. Data Sekunder adalah data normatif terutama yang bersumber dari perundang-undangan. Data sekunder meliputi bahan hukum primer (bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum), bahan hukum sekunder (bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer), dan bila perlu bahan hukum tersier (bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder).
Metode Pengumpulan data a. Penelitian di lapangan, yakni pengumpulan data dengan melakukan wawancara dengan Pejabat Kantor Pertanahan Kota Samarinda yang bertugas menangani Roya. b. Penelitian kepustakaan, yakni pengumpulan data yang diperlukan dengan melakukan penelaahan kepustakaan melalui Peraturan Perundang-undangan,
majalah, literatur, internet, buku-buku, kamus bahasa, kamus hukum dan bahan kepustakaan lainnya terkait masalah yang diteliti. Analisis Data a. Analisis Kualitatif Yaitu data-data yang diperoleh baik dari penelitian lapangan maupun dari penelitian kepustakaan dikelompokkan dan dipilih kemudian digabungkan dengan masalah yang akan diteliti menurut kualitas dan kebenaran sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang ada. b. Analisis Kuantitatif Yaitu data merupakan gejala yang terdiri dari angka-angka yang diambil dengan metode yang cermat dan teliti dan mempunyai hubungan antara variable yang sangat jelas. PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Pencoretan Hak Tanggungan (Roya) Pada Kantor Pertanahan Kota Samarinda. Pelaksanaan Pencoretan Hak Tanggungan (Roya) pada Kantor Pertanahan Kota Samarinda diawali dengan adanya suatu permohonan untuk meroya yang diajukan dari pihak yang berkepentingan (dalam hal ini adalah debitur). Pencoretan yang dilakukan atas permohonan pihak yang berkepentingan ini dilakukan dengan melampirkan Sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberikan catatan oleh kreditur bahwa Hak Tanggungan sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas, atau karena kreditur melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan. Setelah diberi materai dan ditanda tangani oleh kreditur, maka kemudian surat permohonan roya tersebut diserahkan kepada Kantor Pertanahan Kota Samarinda. Kemudian setelah dilakukan pencoretan catatan beban hak tanggungan tanah debitur, buku tanah tetap ditinggal diKantor Pertanahan Samarinda, sedangkan Sertifikat Hak Tanggungan ditarik oleh Kantor Pertanahan Samarinda dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Dafriansyah selaku Kepala Seksi Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan Kota Samarinda, Pencoretan Hak Tanggungan dapat dilakukan dalam hal : a. Perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pihak yang berkepentingan apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan b. Pernyataan Roya sebagian/parsial apabila diperjanjikan pelunasan utang dilakukan dengan acara angsuran c. Objek Hak Tanggungan dilelang atau dijual melalui/secara dibawah tangan. Dengan adanya roya maka si pembeli tanah atau kreditor dapat mengetahui bahwa tanah bangunan yang akan dibeli atau yang akan dijaminkan
tersebut telah benar-benar bersih dari segala beban hutang dan Hak Tanggungan. Apabila benar-benar bersih tidak dibebani Hak Tanggungan barulah si pembeli atau kreditur bersedia untuk membeli atau menjaminkan tanah tersebut karena benar-benar aman, terjamin dan terlindungi dari kepentingan pihak ketiga. Aspek hukum yang timbul dari penghapusan Hak Tanggungan (Roya) terhadap sertifikat tanahnya adalah bahwa dengan adanya penghapusan Hak Tanggungan / Roya terhadap sertifikat tanahnya, maka hal ini dapat diketahui oleh umum dan masyarakat akan tahu bahwa tanah yang telah dibebankan tadi telah bebas dan kembali dalam keadaan yang semula. Selain itu roya tersebut dilakukan demi ketertiban administrasi dan tidak mempunyai pengaruh hukum terhadap Hak Tanggungan yang sudah dihapus. Dan apabila sertifikat hak atas tanah tersebut tidak segera diroya atau dihapus, maka sertifikat hak atas tanah masih atas nama pemegang Hak Tanggungan dalam hal ini adalah pihak kreditur (Bank). Karena masih atas nama pihak kreditur (Bank), maka pemilik sertifikat hak atas tanah tidak bisa melakukan perbuatan hukum, sebelum sertifikat hak atas tanah tersebut dihapus/diroya. Pelaksanaan pencoretan Hak Tanggungan (Roya) pada Kantor Pertanahan Kota Samarinda sebenarnya sudah sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah khususnya Pasal 22, namun dalam prakteknya ketika debitur telah melunasi hutangnya pada Bank dan mendapat surat roya, tetapi pada sertifikat hak atas tanahnya masih memuat catatan pembebanan Hak Tanggungan sekalipun kenyataannya tanah itu sudah bersih dari beban. Hal ini terjadi karena pihak debitur tidak segera mengajukan permohonan roya yang diberikan kreditur/Bank ke Kantor Pertanahan Kota Samarinda untuk segera melakukan pencoretan catatan beban Hak tanggungan pada buku tanah dan sertifikat Hak Atas Tanahnya. Hal ini jelas merugikan si debitur sendiri karena seolah-olah debitur masih memiliki hutang ke Bank tempat ia meminjam kredit dengan jaminan Hak Tanggungan, padahal kenyataannya hutang telah dibayar lunas. Sehingga implementasi dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT) menjadi belum efektif dalam mengatur pelaksanaan Roya Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kota Samarinda. Pengaturan mengenai Roya Hak Tanggungan ini seharusnya bersifat prediktabel, artinya harus ditentukan aturan yang tegas bahwa pihak yang tidak segera melaksanakan Roya Hak Tanggungan akan dikenakan sanksi, agar debitur tidak merasa dirugikan dikemudian hari apabila ingin menjaminkan kembali hak atas tanahnya Dalam PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran hapusnya hak Tanggungan ini merupakan bagian dari bentuk pemeliharaan data pendaftaran tanah. Oleh karena itu pelaksanaan Roya Hak Tanggungan juga harus dilaksanakan berdasarakan asas-asas yang diatur dalam sistem pendaftaran tanah yaitu sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
2. Hambatan Yang Dihadapi Kantor Pertanahan Kota Samarinda Dalam Pelaksanaan Roya Hak Tanggungan. a. Kelengkapan Persyaratan Roya Tidak Dipenuhi. Dalam praktek, ada kalanyanya permohonan Roya Hak Tanggungan dilakukan oleh Notaris / PPAT untuk kepentingan debitur. Berkaitan dengan permohonan ini tidak jarang ditemukan adanya permohonan yang dikembalikan untuk dilengkapi, atau diperbaiki, atau ditolak atas dasar ketentuan hukum yang berlaku. Beberapa keadaan yang sering muncul pada Kantor Pertanahan Kota Samarinda adalah : 1. Roya tanpa melampirkan pengantar kreditur. 2. Roya tanpa melampirkan sertifikat Hak Tanggungan / konsen / laporan. 3. Roya tanpa pendaftaran perubahan nama yang sudah terjadi. 4. Roya tanpa pendaftaran Cessie yang sudah terjadi. 5. Roya tanpa perubahan nama dan cesssie yang sudah terjadi. Banyak hambatan yang ditemui dalam praktek untuk pelaksanaan Roya Hak Tanggungan ini. Hambatan-hambatan yang dijumpai terutama berkas untuk kelengkapan roya yang belum diterima. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa untuk pelaksanaan roya harus melengkapi persyaratan sebagai berikut : 1. Surat permohonan. 2. Surat Roya Hak Tanggungan dari kreditur. 3. Sertifikat Hak Atas Tanah. 4. Sertifikat Hak Tanggungan. 5. Fotocopy KTP atau identitas diri pemohon. 6. Fotocopy KTP atau identitas diri penerima kuasa yang disertai surat kuasa jika permohonan dikuasakan. Diantara persyaratan-persyaratan tersebut yang kerapkali belum dilengkapi pemohon Roya di Kantor Pertanahan Samarinda adalah : 1. Surat Roya Hak Tanggungan dari kreditur. 2. Sertifikat Hak Atas Tanah. 3. Sertifikat Hak Tanggungan. 4. Fotocopy KTP atau Identitas diri pemohon. Banyak hal yang mengakibatkan surat roya Hak Tanggungan dari kreditur tidak dilengkapi oleh pemohon. Pertama, pemohon tidak memintakan surat roya dari Bank selaku kreditur sementara pelunasan kredit sudah berlangsung lama. Kedua, surat roya Hak Tanggungan yang diterbitkan Bank selaku kreditur hilang. Hambatan pertama ini disebabkan karena pada saat kredit sudah lunas, Bank selaku kreditur tidak langsung menerbitkan surat royanya. Debitur selaku pemohon pada saat itu juga tidak memintakan Bank untuk segera menerbitkan surat royanya. Hal mengakibatkan kerugian bagi debitur, karena surat roya sebagai persyaratan untuk pelaksanaan roya di Kantor Pertanahan Kota Samarinda tidak ada, maka pelaksanaan roya tidak dapat dilakukan dan menjadi terhambat. Saat pemohon memintakan kembali dari Bank, maka Bank juga memerlukan waktu untuk melakukan verifikasi data kredit debitur yang sudah lunas tersebut. Untuk surat pengantar Roya, sebenarnya dapat kembali dimintakan bantuan Bank selaku kreditur untuk menerbitkannya. Apabila kredit sudah lunas,
maka Bank seyogyanya berkewajiban untuk membuat pengantar Roya sertifikat tanah yang menjadi jaminan Bank untuk kepentingan debitur. Meskipun Bank sudah pernah menerbitkan Surat Roya dan ternyata karena kelalaian debitur surat roya tersebut hilang maka bantuan Bank sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Penyelesaian yang dapat dilakukan adalah dengan menerbitkan yang baru atau dengan melagalisasi pertimbangan surat roya yang terdapat di Bank dengan bantuan Notaris. Sedangkan dalam hal sertifikat tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan hilang, hal ini dapat diatasi dengan menerbitkan sertifikat pengganti. Proses penertiban sertifikat pengganti mengacu kepada ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tanggal 8 Juli 1997 yang berlaku setelah 3 (tiga) bulan berikutnya. Selain itu secara lebih terperinci diperjelas dalam Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tanggal 1 Oktober 1997 yang mulai berlaku tanggal 8 Oktober 1997. Penerbitan sertifkat pengganti ini diatur dalam pasal 57 sampai pasal 60 PP Nomor 24 Tahun 1997 dan juga pasal 137 sampai dengan pasal 139 PMNA / KBPN Nomor 3 Tahun 1997. Permohonan penggantian sertifikat tanah ini diajukan oleh pemilik sertifikat tanah atau kuasanya atau mungkin pula ahli warisnya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Samarinda. Pemegang Hak Atas Tanah tersebut juga harus membuat pernyataan dibawah sumpah dari yang bersangkutan dihadapan Kepala Kantor Pertanahan Kota Samarinda atau Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan. Selanjutnya dilakukan pengumuman 1 (satu) kali dalam salah satu surat kabar setempat atas biaya pemohon. Berkenaan dengan tata cara pengumuman ini, Kepala Kantor Pertanahan Kota Samarinda dapat menentukan bahwa pengumuman akan diterbitkan sertifikat tersebut ditempatkan dipapan pengumuman Kantor Pertanahan dan dijalan masuk tanah yang sertifikatnya hilang dengan papan pengumuman yang cukup jelas untuk dibaca orang yang berada diluar bidang tanah tersebut. Jika dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari dihitung sejak hari pengumuman tidak ada yang mengajukan keberatan mengenai akan diterbitkannya sertifikat pengganti atau ada yang mengajukan keberatan tetapi menurut pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan Kota Samarinda keberatan tersebut tidak beralasan, diterbitkan sertifikat baru. Sedangkan jika keberatan tersebut beralasan oleh Kepala Kantor Pertanahan maka ia dapat menolak penerbitan sertifikat pengganti tersebut. Untuk penerbitan sertifikat pengganti tidak dilakukan pengukuran maupun pemeriksaan tanah dan nomor hak tidak berubah. Selanjutnya sertifikat pengganti yang diterbitkan, diserahkan kepada pemohon atau orang lain yang diberi kuasa untuk menerimanya. Kemudian Apabila sertifikat Hak Tanggungan karena suatu sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan Kota Samarinda, maka hal ini dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan (pasal 22 ayat 3 UU Nomor 4 Tahun 1996). Ketentuan ini memberikan kemudahan jika Sertifikat Hak Tanggungan tidak dapat dikembalikan, maka dengan pernyataan lain baik dengan suatu Konsen
Roya yang dibuat dihadapan Notaris dan menyerahkannya kepada Kantor Pertanahan Kota Samarinda dan memohon Hak Tanggungan tersebut agar di Roya pada buku tanah dan sertifikat tanahnya karena utang sudah dihapuskan sebab-sebabnya yang harus dijelaskan apakah karena lunas ataukah karena suatu dan lain hal. Untuk memberikan jalan keluar terhadap masalah ini, dapat dilakukan upaya-upaya berikut : a. Adanya surat tanda bukti penghapusan Hak Tanggungan yang berdasarkan pasal 1195 KUH Perdata dibuat secara otentik. b. Dengan membuat akte konsen roya dihadapan Notaris atau Kreditur dengan membawa Surat Keterangan Kehilangan dari Kepolisian dan datang kehadapan Kepala Kantor Pertanahan Kota Samarinda dan membuat pernyataan tertulis tentang hilangnya sertfikat hak tanggungan tersebut serta sudah lunasnya hutang yang dimaksud. Dalam hal ini Kepala Kantor Pertanahan Samarinda mengetahui dan kemudian membenarkan pernyataan tersebut. Konsen Roya dibuat dengan akte otentik oleh Notaris. Dalam suatu akte Konsen Roya terdapat beberapa klausula yaitu : 1) Bahwa pemegang Hak Atas Tanah memiliki bidang tanah sebagaimana tersebut dalam sertifikat hak atas tanah tertentu. 2) Bahwa sertifikat hak atas tanah tersebut sudah dijaminkan pada kreditur dan telah dibebani Hak Tanggungan sebagaimana tersebut dalam APHT. 3) Bahwa kreditur sudah menyetujui untuk menghapus Hak Tanggungan sebagaimana surat dari kreditur. 4) Bahwa para pihak (debitur dan kreditur) bermaksud untuk melakukan penghapusan pembebanan Hak Tanggungan atas hak atas tanah tersebut. 5) Bahwa karena kelalaian para pihak, sertifikat tanah tersebut sudah hilang dan sudah dilaporkan kepada Kepolisian. 6) Bahwa meskipun sudah hilang, para pihak (debitur dan kreditur) mengajukan permohonan kepada Kantor Pertanahan untuk melakukan Roya atas Hak Tanggungan tersebut. 7) Bahwa para pihak (debitur dan kreditur) berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan sertifikat Hak Tanggungan tersebut kepada Kantor Pertanahan apabila ditemukan. Hilangnya sertifikat Hak Tanggungan pada hakikatnya dapat merugikan kedua belah pihak baik kreditur maupun debitur. Kerugian bagi debitur adalah apabila terjadi kredit macet maka kreditur kesulitan untuk mengajukan permohonan lelang atas objek Hak Tanggungan karena sertifikat Hak Tanggungan tidak dapat dilampirkan dalam permohonan lelang kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Sedangkan bagi kreditur adalah kesulitan untuk melakukan roya Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan. Beban biaya atas pembuatan akta Konsen Roya merupakan tanggung jawab dari pihak yang mengakibatkan hilangnya sertifikat Hak Tangungan tersebut. Terdapat beberapa kemungkinan para pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban dari hilangnya sertifikat Hak Tanggungan tersebut. Pertama kreditur, Kedua debitur, Ketiga Notaris, dan Keempat Kantor Pertanahan.
Hilangnya sertifikat Hak Tanggungan oleh kreditur bisa terjadi karena beberapa hal, Pertama dokumentasi kredit yang kurang baik, dan Kedua terjadinya mutasi atau penggantian petugas yang menanganinya secara langsung. Hilangnya sertifikat Hak Tanggungan oleh debitur, dapat pula terjadi dalam hal debitur meminjam kepada kreditur untuk dapat melakukan roya partian atas Hak Tanggungannya karena sudah terdapat pelunasan sebagian atas objek agunan tertentu, tetapi kemudian sertifikat Hak Tanggungan tersebut tidak dikembalikan lagi pada kreditur. Keadaan ini terjadi dalam hal hubungan kredit modal kerja konstruksi. Hilangnya sertifikat Hak Tanggungan oleh Notaris dapat pula terjadi dalam hal pengurusan roya partial oleh jasa Notaris tetapi tidak dikembalikan kepada kreditur. Keadaan ini mungkin disebabkan beberapa hal, Pertama karena dokumentasi Notaris yang kurang baik, Kedua juga disebabkan karena meninggalnya Notaris yang melakukan pengurusan sebelumnya. Dalam praktek beban biaya pembuatan Konsen Roya ini menjadi tanggung jawab debitur karena keperluan yang mendesak dari debitur sendiri untuk menjadikan hak atas tanah tersebut kembali sebagai jaminan kredit atau juga karena alasan kepastian hukum bahwa objek Hak Tanggungan tersebut tidak lagi menjadi jaminan kredit. Dimungkinkannya Notaris membuat Akte Konsen Roya memenuhi kebutuhan praktek dan sebagai wujud dari kebebasan berkontrak dari para pihak yaitu debitur dan kreditur. Hambatan kedua ini terutama disebabkan karena kelalaian dari debitur yang sudah lunas untuk menyimpan arsip Roya Hak Tanggungan yang diterbitkan Bank selaku kreditur. Debitur yang sudah lunas pada saat itu juga tidak langsung mengurus Roya Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kota Samarinda. Hilangnya sertifikat tanah yang akan diroya juga merupakan hambatan dalam pelaksanaan roya Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kota Samarinda. Hilangnya serifikat tanah yang akan diroya ini dapat terjadi di Bank, Notaris/PPAT atau mungkin pula disebabkan karena kelalaian dari pemilik sertifikat tanah sendiri. Sertifikat Hak Tanggungan hilang juga dapat menjadi penyebab hambatan untuk pelaksanaan roya Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kota Samarinda. Atau Identitas pemohon roya Hak Tanggungan kadangkala juga sudah tidak berlaku lagi. Seperti Kartu Tanda Penduduknya sudah tidak berlaku lagi, demikian pula Identitas lainnya. Faktor yang menjadi pengambat dalam hal ini adalah faktor masyarakat, karena masyarakat selaku pemohon Roya Hak Tanggungan tidak teliti dalam melampirkan persyaratan Roya Hak Tanggungan dan kurang memperhatikan aspek-aspek yang sifatnya objektif dari hukum untuk mewujudkan tujuannya. Faktor masyarakat ini sangat berpengaruh, hal ini terkait dengan tempat berlakunya sebuah peraturan yang mana sangat mempengaruhi berjalan atau tidak sebuah aturan hukum, karena jika peraturan diadakan di satu wilayah ataupun dalam lingkungan masyarakat tanpa sosialisasi dan kepahaman, yang sebenarnya peraturan tersebut bertujuan untuk menertibkan masyarakat, maka fungsi memaksa dan mengatur dari peraturan tersebut menjadi tidak terlaksana
dengan maksimal jika sebagian besar masyarakat belum mengetahui perihal peraturan tersebut. Kemudian faktor yang kedua adalah faktor penegak hukum, yaitu peran aparat penegak hukum sangat menentukan efektif atau tidak suatu peraturan perundang-undangan, maka aparat penegak hukum dituntut untuk melaksanakan kewajibannya secara bertanggung jawab sehingga tujuan suatu peraturan dapat tercapai. Namun dalam kenyataannya aparat penegak hukum tidak melakukan tugasnya dengan baik, dimana para aparat penegak hukum (dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan Kota Samarinda) kurang mensosialisasikan mengenai pentingnya suatu Roya Hak Tanggungan agar dapat memberikan ketertiban dan perlindungan hukum masing-masing pihak baik pada debitur maupun kreditur. b. Roya Hak Tanggungan Dalam Hal Bank Dilikuidasi. Pelaksanaan pendaftaran Hak Tanggungan dalam praktek, khususnya yang menyangkut pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan, masih banyak ditemukan kendala-kendala baik yang bersifat teknis maupun adminstratif. Hal demikian juga terjadi pada Kantor Pertanahan Kota Samarinda, kendala admistratif tersebut antara lain adalah ada sertipikat yang mana krediturnya adalah bank yang telah dilikuidasi (dinyatakan pailit). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Ijin Usaha, Pembubaran Dan Likuidasi Bank, yang dimaksud dengan pengertian likuidasi bank adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran bank. Likuidasi bank dapat pula diartikan bank yang bersangkutan dinyatakan pailit. Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Di dalam Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan disebutkan, dalam hal debitor adalah Bank Indonesia, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Menurut Penjelasan Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Kepailitan, yang dimaksud dengan "bank" adalah bank sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam masalah ini, ketika suatu Bank telah dinyatakan dilikudasi padahal debitur sudah melunasi hutang nya, siapa yang bertanggung jawab menerbitkan surat Roya tersebut. Khusus mengenai kreditor bank yang telah dilikuidasi, dalam praktek dilapangan, dalam pelaksanaan pencoretan Hak Tanggungan (Roya) yang berhak mengeluarkan Surat Roya adalah tergantung dari kondisi bank yang dilikuidasi. Artinya apabila aset bank yang dilikuidasi (termasuk piutang) telah ditangani oleh PT. PPA (dahulu BPPN), maka yang berhak mengeluarkan Surat Roya adalah PT. PPA (dahulu BPPN) selaku pemegang atau pengelola aset. Selanjutnya apabila aset bank yang dilikuidasi (termasuk piutang) telah diambil alih oleh bank lain,
maka yang berhak mengeluarkan Surat Roya adalah bank yang bersangkutan (yang mengambil alih). Apabila kreditor yang telah berubah (dilikuidasi dan/atau dialihkan), dalam prakteknya tidak diadakan perubahan catatan pada Sertipikat Hak Tanggungan maupun sertipikat hak atas tanah yang dibebani. Hanya pada saat akan melakukan pencoretan (Roya), maka akan timbul masalah siapa yang berhak mengeluarkan Surat Royanya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dapat diatasi dengan meminta Surat Roya kepada kreditor baru (dalam hal ini PT. PPA atau bank pengelola aset yang telah dilikuidasi). Selain Surat Roya, diperlukan pula dokumen tambahan lainya berupa riwayat peralihan dari kreditor lama (yang pertama) beralih ke kreditor baru. Artinya dokumen yang menyatakan bahwa kreditor lama telah dilikuidasi dan selanjutnya asetnya telah dialihkan kepada pihak lain (kreditor baru) yang dalam hal ini bisa diambil alih oleh PT. PPA (dahulu BPPN) ataupun pihak lain yaitu bank lain. Namun dalam kenyataannya, meskipun Surat Roya telah dikeluarkan oleh kreditor yang baru, akan tetapi dokumen tambahan berupa riwayat peralihan (dalam hal ini yang dilikuidasi dan selanjutnya dikuasai oleh PT.PPA) banyak yang hilang karena terlalu seringnya beralih dari bank lain ke BPPN selanjutnya ke PT. PPA. Sehingga menyulitkan debitor dan pihak yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan pencoretan (Roya) Hak Tanggungan yang membebani tanahnya. Apabila pihak Notaris & PPAT yang mengurus permohonan pencoretan (Roya) tersebut mempunyai dokumennya atau setidaknya dapat mengusahakan, tidak masalah. Akan tetapi bagaimana dengan masyarakat biasa yang hanya ingin mengurus permohonan pencoretan (Roya), maka akan mengalami kesulitan karena keterbatasan informasi mengenai hal tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, untuk mengatasi masalah tersebut, pihak Kantor Pertanahan Samarinda hanya meminta semacam Surat Keterangan dari kreditor baru (PT.PPA) yang menyatakan bahwa kreditor awal telah dilikuidasi dan sekarang asetnya telah dilikuidasi oleh PT.PPA dan menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan telah lunas kreditnya, sehingga Hak Tanggungan menjadi hapus untuk selanjutnya dapat mengajukan permohonan pencoretan (Roya). Menurut penulis, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (4) UUHT yang menyatakan bahwa dalam hal sertipikat Hak Tanggungan tidak dapat diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan telah lunas, dapat diganti dengan suatu pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan telah lunas. Demikian pula apabila Hak Tanggungan hapus karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan, oleh pihak yang berkepentingan harus diupayakan adanya bukti tertulis yang menyatakan bahwa kreditor Hak Tanggungan telah melepaskan Hak Tanggungannya. Selain masalah-masalah tersebut, berdasarkan hasil penelitian dilapangan ditemukan bahwa oleh karena terlalu sering beralih dari satu pihak ke pihak lain (khususnya dari BPPN ke PT. PPA) dan terlalu banyaknya berkas, maka tidak sedikit dokumen yang hilang termasuk Sertipikat Hak Tanggungan. Apabila hal
ini terjadi, untuk mengatasinya pihak kantor Pertanahan Samarinda selain meminta Surat Roya dan riwayat peralihan juga meminta akta Consent Roya yang dibuat dihadapan Notaris atau kreditor, yang tentunya menambah kerepotan dan waktu serta biayanya. Berkaitan dengan hal ini, menurut J. Satrio cukup mengherankan karena Consent Roya biasa dipakai untuk mengganti Surat Roya yang hilang, akan tetapi dalam hal ini digunakan untuk mengganti Sertipikat Hak Tanggungan yang hilang. Apabila pihak kreditor tetap tidak mau memberikan akta Consent Roya, padahal dalam kenyataannya debitor telah melunasi hutangnya, maka pihak yang berkepentingan (khususnya debitor) mengajukan permohonan pencoretan (Roya) Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat yang meliputi terdaftarnya objek Hak Tanggungan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (5) UUHT, untuk selanjutnya berdasarkan putusan Pengadilan Negeri tersebut, pihak BPN - dalam hal ini Kantor Pertanahan Samarinda - melaksanakan pencoretan (Roya) Hak Tanggungan yang dimaksud. Roya hak tanggungan dilakukan oleh agen, apabila bank dalam sindikasi telah menunjuk agen dalam pelaksanaan sindikasi. Apabila bank telah di likuidasi di ambil BPPN atau PT. PPA, maka yang membuat surat permohonan roya adalah PT. PPA. Faktor yang menjadi hambatan dalam hal ini adalah Aturan hukum atau Undang-Undang yang mengaturnya. Dimana dalam hal ini ketika suatu Bank dinyatakan pailit (Likuidasi), padahal debitur telah melunasi utangnya dan akan melakukan roya, tidak ada satupun aturan yang tegas dan jelas yang menyatakan siapa yang berhak dalam mengeluarkan surat Roya apabila suatu Bank telah di Likuidasi. Aturan hukum atau Undang-Undang sering menjadi faktor penghambat sehingga mempengaruhi proses penegakan hukum, karena rumusan normanya tidak jelas menimbulkan penafsiran yang kadang-kadang merugikan atau tidak adil. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pada prinsipnya, pelaksanaan Roya Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan Samarinda sudah sesuai dengan ketentuan pasal 22 (ayat 1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT)). Walaupun dalam prakteknya Roya Hak Tanggungan wajib dilaksanakan apabila debitur telah melunasi hutangnya pada kreditur (Bank), tetapi tidak ada aturan yang tegas menyatakan bahwa pihak yang tidak segera melakukan Roya akan diberikan sanksi sehingga implementasi dari UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT) menjadi belum efektif. Hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan Roya Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kota Samarinda yaitu : a. Kelengkapan persyaratan roya yang tidak dipenuhi oleh pemohon Roya Hak Tanggungan.
b. Hilangnya sertifikat hak atas tanah atau sertifikat Hak Tanggungan pada saat akan diproses Roya Hak Tanggungan. c. Kewenangan siapa yang berhak mengeluarkan Surat Roya apabila ternyata Bank selaku kreditur telah di likuidasi. Saran Aturan yang mengatur mengenai Roya Hak Tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah) seharusnya bersifat prediktabel, artinya harus ditentukan aturan yang tegas bahwa pihak yang tidak segera melaksanakan Roya Hak Tanggungan akan dikenakan sanksi, agar debitur tidak merasa dirugikan dikemudian hari apabila ingin menjaminkan kembali hak atas tanahnya. Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan Roya Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Samarinda dapat dilakukan upayaupaya sebagai berikut: a. Dalam hal kelengkapan persyaratan roya yang tidak dipenuhi oleh pemohon Roya Hak Tanggungan, seharusnya pihak Kantor Pertanahan Samarinda berupaya mensosialisasikan dan memberikan pemahaman mengenai syarat-syarat Roya Hak Tanggungan yang wajib dilengkapi agar terciptanya ketertiban admininistrasi dan demi kelancaran pelaksanaan Roya Hak Tanggungan itu sendiri. b. Dalam hal hilangnya sertifikat hak atas tanah atau sertifikat Hak Tanggungan pada saat akan diproses Roya Hak Tanggungan, maka dapat dibuatkan sertifikat pengganti atau bisa juga dengan dibuatkannya suatu akte consent roya dihadapan Notaris atau kreditur dengan membawa surat keterangan kehilangan dari Kepolisian dan datang kehadapan Kepala Kantor Pertanahan dan membuat pernyataan tertulis tentang sertifikat Hak Tanggungan tersebut serta lunasnya hutang yang dimaksud. c. Dalam hal kewenangan siapa yang berhak mengeluarkan Surat Roya apabila ternyata Bank selaku kreditur telah di likuidasi, seharusnya perlu adanya persamaan pandangan oleh semua pihak yang terkait dalam mengelola aset bank yang dilikuidasi agar dapat diperoleh kejelasan mengenai pihak mana yang berhak mengeluarkan surat roya apabila suatu Bank telah diluidasi. Selain itu seharusnya pengaturan mengenai roya hak tanggungan dalam hal bank dilkuidasi ini bersifat stability, agar dapat memberikan perlindungan hukum masing-masing pihak, baik kreditur maupun debitur. DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Adjie, Habib. 2000. Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah. Bandung : Mandar Maju. Bahsan, Muhammad.2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit, Jakarta: PT. Rajagrafindo Peus Dipenuhi rsada.
H.S, Salim. 2005. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. Kashadi, Purwahid Patrik. 2000. Hukum Jaminan. Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Kartini Soejendro, J. 2001. Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik. Yogyakarta : Kanisius. Muhammad, Abdul Kadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti. Perangin, Efendi. 1987. Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit. Jakarta : Rajawali Pers. R.M, Suryodiningrat. 1985. Asas-asas Perikatan. Bandung : Tasito. Satrio, J. 2007. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Sjahdeni, Sultan Remy.1999.”Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan”.Jakarta:Alumni Soekanto, Soerjono. 1997. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta. ------------------------- 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia. Sutamo. 2003. Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Bandung : Alfabeta. Usman, Rachmadi. 1999. Pasal-pasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah. Jakarta : Djambatan B. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 05 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 2043). Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 04 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3632). Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3696).