Praktik dan Riset... (Abdul Fattah)
PRAKTIK DAN RISET GLOBAL TENTANG DIMENSI RELIGIUS, MORAL, DAN SPIRITUAL DALAM PENDIDIKAN LINTAS AGAMA DAN BENUA Abdul Fattah∗
Judul Buku Penulis Penerbit Cetakan Jumlah
: International Handbook of the Religious, Moral, and Spiritual Dimensions in Education : Marian de Souza, et. al. : Springer Science, Belanda : Kedua, 2008 : 545 halaman + xvii (pengantar dan daftar isi)
D
alam kehidupan dunia yang semakin kompleks dan mengerucut belakangan ini, khususnya di dalam Kebudayaan Barat, terdapat perubahan yang dapat diidentifikasi terjadi pada hubungan individual dengan tradisi-tradisi keagamaan, dan sebagian perubahan tersebut juga menjangkiti tradisi-tradisi kebudayaan Bangsa Timur sebagaimana telah terungkap selama ini akibat dipengaruhi oleh gaya hidup Bangsa Barat dan dalam konteks pengembangan komunikasi dan teknologi. Hal ini cenderung berakibat lahirnya kebudayaan sekuler dan materialistic dimana perhatian dan kepentingan dalam pendidikan semata-mata difokuskan pada pengembangan aspek luar dari kehidupan individu serta pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi hanya mengarah pada diperolehnya status dan kesuksesan. Hasil capaian lainnya adalah bertambahnya ∗
Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram. Sekarang sedang menempuh Program Doktor Teknologi Pendidikan kerjasama Universitas Negeri Jakarta dan Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram. Email:
[email protected].
109
El-HIKMAH, Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
keanekaragaman budaya dan agama dalam masyarakat yang sebelumnya hanya berpolakan satu budaya dan satu agama. Namun pada saat semakin bertambahnya keragaman agama dan budaya yang tentunya membawa dampak positif dalam mencampurkan ekspresi kebudayaan dan berkembangnya masyarakat yang inklusif (terbuka), namun terdapat juga fakta yang tidak dapat dipungkiri tentang menyebarnya sikap cauvinisme dan intoleransi keagamaan. Di luar konteks ini telah muncul sebuah kepentingan yang kuat dan vital dalam religiusitas, spiritualitas, dan nilai-nilai kemanusiaan, dan belakangan ini sebagiannya mencari makna di dalam dan di luar tradisi-tradisi keagamaan untuk menemukan jawaban-jawaban terkait sejumlah pertanyaan-pertanyaan etis dan moral akibat terjadinya ledakan pengetahuan dan teknologi. Gerakan ini telah berupaya memperbaharui kepentingannya di dalam aspek pendidikan seumur hidup yang melekat pada dimensi _ontribut, moral, dan spiritual dalam pendidikan. Di lain sisi, hal tersebut juga menimbulkan perdebatan sengit seputar alam, tujuan dan praktik pendidikan agama; tempat dan karakteristik pendidikan agama di masyarakat-masyarakat sekuler; hubungan antara agama dan spiritualitas; bahkan diskusi-diskusi seputar pendidikan agama dikembangkan terlepas dari edeologi tertentu; peran kewarganegaraan, pendidikan etis dan nilai, dan aplikasi keseluruhan hal tersebut dalam konteks isu global. Inilah wilayah yang disiapkan dan difokuskan serta yang menjadi isi buku yang berjudul “The International Handbook of the Religious, Moral, dan Spiritual Dimensions in Education” ini. Para penulisnya menampilkan riset-riset dan praktik-praktik professional para ilmuwan yang terlibat setiap hari dalam mempertimbangkan aspek pendidikan dan pengajaran. Hasilnya adalah berupa terwujudnya sekumpulan essei yang memiliki cakupan yang luas, analitis, dan ilmiah yang merefleksikan pemikiran-pemikiran kontemporer seputar dimensi-dimensi tersebut dalam pendidikan dalam cakupan yang luas yang bersifat internasional sebagaiamana apa adanya pada masa kini. Begitu juga, ia menawarkan refleksi110
Praktik dan Riset... (Abdul Fattah)
refleksi dan pemahaman-pemahaman baru yang memiliki jangkauan futuris (masa depan) yang akan mempermaklumkan dan memperkenalkan dimensi-dimensi pendidikan tersebut dengan menerapkan strategi-strategi inovatif, menarik, sekaligus menantang. Essei-essei ini memiliki kepentingan dan relasi kuat dengan para akademisi, para guru, para murid, dan kalangan lain yang memiliki hubungan dan kepentingan dengan dimensi-dimensi pendidikan menyangkut agama, moral, dan spiritual melalui lingkaran hidup. Singkat kata, mereka akan menginformasikan riset dan praktik terkini, dan hendak menawarkan prinsip-prinsip yang akan menjadi petunjuk pengembangan kurikulum masa depan dalam disiplin tersebut. Dalam salah satu bab buku ini, Karl Ernst Nipkow (salah satu kontibutor tulisan yang merupakan peneliti di Protestant Faculty of Theology, University of Tubingen) menyediakan diskusi luas untuk mengidentifikasi dan menganalisis seputar teori dan praktek pendidikan agama di seluruh Eropa. Dia membahas ketegangan antara aspek individu dan komunitas agama dan bagaimana interaksi dalam masyarakat terkait dengan kepentingan privat dan public dalam beragama, antara pengembangan dan permulaan; antara pencarian individual dan penerapan agama terhadap isu-isu sosial. Kompleksitas praktik pendidikan agama menjadi isu penting yang dibahas dalam kerangka pendidikan Eropa kontemporer dengan latar belakang sejarah Protestan. Perbandingan Teori Pendidikan Agama dan Semantik: Lemahnya Penelitian Komparatif Sejak tahun 1978 Seminar Internasional tentang Pendidikan Agama dan Nilai (International Seminar on Religious Education and Values, selanjutnya disebutu ISREV), diselenggarakan oleh John M. Hull, Birmingham, Inggris telah menjadi instrumen utama para sarjana untuk melakukan pertukaran tentang teori dan semantik dalam pendidikan agama. Seminar ini secara bertahap, yang semula yang hanya melibatkan Anglo-Saxon dan Eropa Barat 111
El-HIKMAH, Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
ke skala yang sifatnya global, dengan pelibatan para ilmuan dari benua lain. Namun demikian masih kurang _ontributor_ve karena Eropa Timur (Rusia) dan dan beberapa Negara yang menggunakan bahasa Perancis dan Spanyol (Perancis, Eropa Selatan, Amerika Latin) tidak mengambil bagian. Masyarakat internasional seperti ISREV merupakan wadah bagi penelitian pengetahuan komparatif dan lintas-budaya. International Academy of Practical Theology (IAPT, sejak tahun 1991) menambahkan sumber daya baru agar jaringan komunikasi lebih memiliki greget seperti European Forum for Teacher of Religious Education (EFTRE) (www.EFTR.org), Inter-European Commission for Church and School ( (ICCS) (www.iccsweb.org) dan Coordinating Group for Religious Education (CoGREE) (www.cogree.com.) Namun, penelitian internasional yang beraifat komparatif dalam pendidikan agama masih datar (Osmer & Schweitzer, 2003a). Pembahasan yang lebih spesifik tentang pendidikan di di Eropa pertama kali diterbitkan pada tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan oleh Comenius Institute (Muenster, Jerman) (www.comenius.de). Deskripsi teranyar dapat ditemukan di Mette/Rickers, 2001. Pertukaran pengalaman praktis dan penelitian juga dapat ditemukan dalam berbagai jurnal, terutama Journal of Empirical Theology (JET, sejak tahun 1988) dengan fokus pada studi empiris dan Panorama International Journal of Comparative Religious Education and Values (sejak 1989), yang terinspirasi oleh konferensi yang diinisiasi oleh ISREV. Assymmetry in the Command of Languages and Semantic Fluctuation of Key Constructs Faktor utama yang berperan dalam saling pengertian dan kerjasama adalah pluralisme semantik, dan fluktuasi yang berkaitan dengan istilah kunci. Perkembangan dalam gaya Barat berurusan dengan pendidikan agama, untuk sebagian besar, menolak permainan bahasa teologis, dan menggantinya dengan istilah yang mampu menjembatani orang-orang beriman dari semua agama di 112
Praktik dan Riset... (Abdul Fattah)
dunia, dan untuk memantik model keberagamaan yang individualistis dan yang tidak beragama dalam pencarian makan di tengah masyarakat yang secular. Kata kunci yang dimaksudkan di sini adalah spiritualitas. Banyak suara kritis yang mengomentari kawah candradimuka spiritualitas dan pada akhirnya menyimpulkan bahwa pendidikan agama harus mempersiapkan orang untuk masuk ke dalam pusaran ini untuk belajar bagaimana membedakan kualitas sumber-sumber spiritual. Bahkan istilah agama sendiri, sejauh ini dianggap teralu sempit. Di mana kriteria untuk pemeriksaan kualitas yang ketat dari semua ini? Sampai sejauh mana kita dibenarkan menjelaskan identitas teologis tiap-tiap agama, dan selanjutnya memperkenalkannya buat anak-anak? Model pendidikan agama di dunia yang semakin plural ada dua; tradisi keagamaan yang dikenal dan yang diyakini; dan dialog yang benar antara berbagai budaya dan agama (Nipkow, 1998) di mana Barat bukanlah satu-satunya rujukan (Panikkar, 1987, hal. 123). Pluralisme dalam arti utamanya bukanlah system toleransi keragaman yang tunduk di bawah payung besar yang tidak memungkinkan untuk setiap suprastruktur berkembang (Panikkar, hal 125.). Payung dapat dibangun pada level objektif dan atau subjektif. Sisi obyektivitas mungkin saja mengadopsi konstruksi rasional Kantian “The Real an sich” yang tergabung dalam kepribadian ilahi (Hick, 1989, p. 246). Pada tataran subjektivitas, tingkat spiritualitas merupakan istilah yang paling umum untuk menjelaskan transendesi-diri (selftranscending) individual seseorang. Awalnya, kata spiritualitas, sejatinya bahasa yang dipergunakan oleh Teologi Katolik Monastik, spiritualite, yang merupakan derivasi dari bahasa Latin spiritus yang berarti Roh Kudus dalam iman Kristen. Sekarang, spiritualitas berkaitan dengan preferensi masing-masing individu atau gaya hidup suatu kelompok dan pergerakan. Ekstensi ini membuka pintu untuk fluktuasi, kesenjangan dan ketidakjelasan bahasa dalam wacana pendidikan agama.
113
El-HIKMAH, Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
Religious Education (RE) and Church Schools as Selected Topics Against the Background of the Public Relevance of Religion Paradigms of Structural Educational Patterns Pendidikan berlangsung dalam berbagai bentuk pembelajaran. Yang paling efektif tampaknya adalah pembelajaran informal dalam kehidupan suatu kelompok, komunitas atau masyarakat. Generasi muda mengadopsi norma, keyakinan dan sikap yang dipegang oleh mayoritas, yang diperkuat oleh lagi oleh lingkungan _ontri, terutama pada tingkat bawah sadar. Dalam ranah agama misalnya dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk terlibat secara emosional dalam ritual keberagaman yang relijius dalam keluarga, liturgi, dan festival gereja didasarkan pada pengetahuan bahwa ‘bentuk kehidupan’ dengan ‘permainanbahasa’ (Wittgenstein, 1958) memberikan pengaruh yang kuat pada anak atau pada kebanyakan orang (paradigm of unintentional functional education). Saluran utama adalah belajar agama dengan tatap muka kontak dan melalui imitasi. Dalam masyarakat modern, ekologi agama mantan keluarga adalah lebih atau kurang denAtas dasar itulah, pendidik agama seperti John Westerhoff (1976) berupaya untuk membangun kembali fungsi pendidikan masyarakat religius, “Dia mendukung pergeseran paradigma dalam kongregasi pendidikan, menyerukan penghapusan paradigma instruksional sekolah dan menggantinya dengan sosialisasi keberagamaan dan paradigm pembudayaan iman (religious socialization and faith enculturation paradigm) (Osmer & Schweitzer, 2003a, hal. 175). Hanya dengan kesadaran akan identitas, komunitas agama dapat membantu anak-anak untuk mengetahui siapa mereka. Sekolah merupakan bentuk klasik dari organisasi pendidikan yang disengaja dirancang untuk pembelajaran formal yang mencakup; semua prosedur pendidikan yang disengaja, terutama prosedur instruksional (paradigm of intentional-direct education). Model ketiga adalah dengan mennggabungkan kelebihan kedua
114
Praktik dan Riset... (Abdul Fattah)
jenis paradiga pendidikan sebelumnya dengan membangun lingkungan pendidikan secara sengaja Iparadigm of intentionalfungtional). Dalam praktik pendidikan modern agama, model langsung atau tidak langsung dapat diamati di mana-mana, dalam pelbagai lingkaran agama (Hull, 1996; Grimmett, 2000) atau dengan mengembangkan budaya yang spesifik di dalam kelas dan di sekolah secara keseluruhan. Banyak metode pendidikan saat ini, dalam pengertian ini, kembali ke Reformasi pedagogi-dari dekade pertama abad kedua puluh. Religion Between Privatised Individualistic Spirituality and Public Responsibility Analisis berikut berfokus pada pendidikan agama langsung formal dalam dua lembaga: sekolah negeri dan sekolah keagamaan. Yang terakhir ini mencoba menerapkan perspektif agama dalam kurikulum. Argumen dari bab ini bergeser keluar dari semua fenomena pendidikan agama informal. Hal ini didasarkan oleh pertama; perkembangan sejarah di Eropa yang sangat dipengaruhi oleh teologi Reformasi, dan kedua, mengikuti argumen yang sistematis. Pada abad ke-16 Martin Luther (1483-1546) dan Philipp Melanchthon (1497-1560) yang menuntut pemisahan laki-laki dan perempuan untuk semua sekolah untuk dua mata pelajaran dalam seminggu. Inovasi ini menjadi titik awal pendidikan agama di Eropa sejak Katolik Roma berada di tengah gerakan KontraReformasi Protestan menginisiasi strateginya sangat mirip transmisi Katekismus yang menekanakan pendidikan agama pada pemuda. Di sisi Protestan tujuannya adalah untuk menginformasikan tentang pendekatan baru teologi dalam kepercayaan Kristen pada terma-terma kunci yang memungkinkan setiap orang menjelaskan dan membenarkan keyakinannya dengan caranya sendiri secara reflektif. Keberagamaan reflektif-individual diri ini menjadi sumber penting dari konsep pendidikan secular (Selbstbildung) pada masa Pencerahan dan Idealisme. Dengan
115
El-HIKMAH, Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
demikian, pendidikan agama dalam perspektif Protestan mempromosikan pemahaman yang kritis atas agama. Seseorang secara mandiri dapat mendefinisikan keimannya terkait dengan firman Tuhan dalam Bible. Teolog Kalvinis terbesar Eropa, Karl Barth merupakan tokoh yang paling menonjol melakukan perlawanan terhadap Adolf Hitler (lihat Deklarasi Teologi Barfnen, 1934). Ide sistematis kedua yang paling berpengaruh bagi kalangan penganut teologi Protestan yang merupakan apresiasi spiritual baru atas suara-suara individual Kristen di tengah dunia profesional sekuler yang dipahami sebagai panggilan Tuhan untuk bertanggungjawab apa yang dianggap sebagai kebaikan bersama. Ini dengan sendirinya menghapus hierakhis spiritualitas gereja Abad Pertengahan, yang menganggap monastik sebagai jalan mulia untuk menuju kesempurnaan agama. Sekarang, Tuhan bersifat ganda; rohaninya di sisi kanan dan sekuler di sisi kiri, menyebabkan dunia pendidikan (baru) harus mengadopsi kedua model teologis tersebut di atas. Artinya, pendidikan yang baik keterampilan, profesionalisme, dan pengetahuan sangat dibutuhkan untuk menjembatani kehendak Tuhan sebagai Pencipta, dan fungsi agama dalam kehidupan sosial. Pendidikan secara umum, tidak hanya pendidikan agama, menjadi instrumen utama untuk melindungi manusjia dari perbuatan dosa sekaligus sebagai modal utama dalam melawan godaan setan Pada abad ke-17 John Amos Comenius (1592-1670) menekankan bahwa ini tidak sekedar melestarikan, tapi sesungguhnya kebangkitan Yesus demi kepentingan semua manusia. Dengan demikian, ada _ontrib teologis; refleksi diri otonomi Kristen tentang keberimanan individual seseorang dan co-responsibiltas Gereja bagi kualitas kemanusiaan dalam masyarakat yang merupakan _ontrib asasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri dan seminari dalam dunia Protestan hari ini. Selalu ada sayap liberal dan konservatif dalam semua agama besar di Eropa dan di seluruh dunia, sekalipun tidak semua agama 116
Praktik dan Riset... (Abdul Fattah)
berada pada kondisi dan situasi yang demikian. Sejak awal kemunculannya, pendidikan kekristenan dalam tradisi gereja Timur beraneka ragam. Gereja Ortodoks Rusia misalnya masih mengadopsi model _ontrib dan masih menganggap kehidupan monastik sebagai model spiritual yang ideal. Ide tentang tanggung jawab publik, perlawanan terhadap arogansi, dan fundamentalisme dalam Gereja mereka sendiri (Fedorov, 1998) atau kepentingan antar-denominasi dan pemahaman (Kozyrev, 2001) tak lebih dari bentuk minoritas spiritualitas. Pandangan resmi dari Gereja Ortodoks Rusia yang mengharapkan semua warga negara Rusia untuk menjadi orang Kristen Ortodoks, di tengah ateisme sebagai akibat dari komunis, tidak lebih dari sebuah ilusi (Minney, 2000). Wacana bersama yang berkembang dalam wacana publik Eropa adalah pandangan bahwa agama, moral, dan spiritual dari pendidikan agama tidak boleh secara sepihak diarahkan pada pengembangan spiritualitas individu. Keterlibatan politik dan dampak agama dalam konflik global, regional dan intra-masyarakat terlalu jelas. Fakta ini menjelaskan mengapa agama (perlu) direkonstruksi untuk melawan kekerasan dan mempromosikan perdamaian (Nipkow, 2003). The Interests of the European Council in Religious Education Dalam deklarasi beberapa Dewan Eropa telah menyatakan minatnya terhadap toleransi antarumat beragama dan kontribusi konstruktif agama untuk kepentingan umum. Dalam hal ini, kebijakan pendidikan agama memainkan peran penting. Pada tahun 1993 Majelis Dewan Eropa menerbitkan rekomendasinya No. 1202 tentang Toleransi Agama dalam Masyarakat Demokratis. Deklarasi sebelumnya menunjuk kebutuhan dasar yang sama: Rekomendasi 963 (1983) tentang Cara Mereduksi Kekerasan, Rekomendasi 885 (1987) pada Kontribusi Budaya Yahudi Eropa, Rekomendasi No. 1086 (1988) tentang Situasi Gereja dan Kebebasan Beragama di Eropa Timur; rekomendasi No. 1162 (1991) pada Kontribusi 117
El-HIKMAH, Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
Budaya Islam untuk Kebudayaan Eropa, dan rekomendasi No. 1178 (1992) pada Sekte dan Gerakan Agama Baru. Dalam masingmasing deklarasi menyatakan keyakinan bahwa semua agama besar di Eropa-Yudaisme, Kristen dan Islam-dapat membantu secara positif bagi pengembangan toleransi yang dengan sendirinya bahwa agama cukup konstributif dan konstruktif untuk melawan sikap intoleran. Ini dengan sendirinya menjalaskan bahwa agama, pun memiliki potensi destruktif; rekonsiliasi dan konflik, cinta dan benci, rasa hormat dan mengabaikan martabat manusia, baik pemberian dan mencekik kebebasan beragama. New Challenges in the Context of Present European Politics Dua volume baru-baru diterbitkan yang secara spesifik berbicara tentang pendidikan agama di mana salah satu kompilasi merupakan produk dari Simposium Internasional di Istanbul dari 28-30 Maret 2001 (Dil Ogretimi Genel Mudurlugu, 2003), sedangkan yang satunya lagi merupakan antologi artikel yang secara spesifik membahas tentang Eropa Timur (Polandia, Rusia, Ukraina, yang diterbitkan di Polandia) (Kucha, 2004) mengungkapkan upaya kedua negara untuk membuktikan kompetensi mereka dalam konteks sosio-politik dan budaya di tengah masyarakat Eropa. Sebuah pertanyaan terbuka adalah apakah Turki milik Eropa dan harus menjadi anggota masyarakat. Sudut kesepahaman demi masa depan Eropa. Pendidikan agama harus berjuang melawan prasangka. Argumen yang diberikan di atas menjelaskan mengapa gereja-terkait sekolah, dan pendidikan agama di sekolah negeri, keduanya dianggap sebagai lembaga penting dalam ruang publik. Di Jermam, dan di tempat lain di Eropa, pendidikan agama Kristen dan sekolah gereja memahami diri mereka terutama sebagai bagian penting dari sistem sekolah-umum dalam suatu masyarakat sipil, bukan sebagai alat gereja-gereja untuk setiap kepentingan administrasi atau dogmatical egoistik.
118
Praktik dan Riset... (Abdul Fattah)
Legal Frame, work and Educational Organisation: Separation of State and Religion and the Basic Right of Religious Freedom Di Eropa, gereja dan negara dipisahkan. Sebuah demokrasi pluralistik liberal melarang identifikasi negara dengan agama tertentu. Namun cara pelaksanaannya bervariasi. Di Inggris ada gereja negara (Church of England) serta di Norwegia. Di ujung lain dari spektrum ini, Perancis memiliki pemisahan ketat antara negara dan agama di mana pendidikan agama ditiadakan dalam kurikulum sekolah. Di Negara-negara komunis, Eropa Timur; Uni Soviet Sosialis Negara, Polandia, Republik Demokratik Jerman, Cekoslowakia, Hungaria, Rumania; pendidikan agama di sekolah juga ditiadakan. Karl Marx yang mengasumsikan bahwa agama adalah candu tidak sesuai dengan materialisme historis. Namun, di beberapa Negara bekas komunis tersebut, pendidikan agama mulai dihadirkan kembali. Di tengah-tengah spektrum ini, di Negaranegara yang berbahasa Jerman (Republik Federal Jerman, Austria, Swiss), terdapat model pemisahan yang sifatnya koperatifakomodasionis di mana Negara bersikap netral terhadap agama dan kebebasan beragama negatif untuk menolak pemanfaatan agama oleh _ontri. Pada saat yang sama konstitusi memberikan peluang pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, fakultas teologi, dan lembaga-lembaga pendidikan untuk anak-anak (TK) dan dewasa (Protestan dan Katolik Akademi) yang didukung secara finansial. Ini merupakan kebebasan beragama yang positif di mana _ontri bersikap apresiasif. Dewasa ini, Negara-negara di Eropa memiliki persoalan yang sama: pluralisme agama yang berkembang yang melampaui warisan Kristen tradisional. Semua solusi pendidikan agama harus mematuhi hak dasar fundamental kebebasan beragama. Perbedaan akan menghasilkan aspek negatif atau aspek positif dari kebebasan beragama mungkin saja menjadi prinsip utama. Secara historis dan logis, ada beberapa solusi yang barangkali dapat dipertimbangkan: a. Solusi laicist tanpa pendidikan agama (Perancis) 119
El-HIKMAH, Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
b. Pendidikan agama di semua sekolah dengan pendekatan multiiman (Inggris dan Wales); c. Beberapa bentuk pendidikan agama dipisahkan dan dikombinasikan dengan pertukaran dan pembelajaran koperatif (Jerman); d. Pendidikan moral sebagai pengganti kurikulum pendidikan agama. Religious Indifference and Atheism and the Political Interest in Moral Education Eropa merupakan benua yang telah dibentuk oleh Kristen dan Pencerahan termasuk skeptisisme dan ateisme. Di kota-kota besar Jerman (Frankfurt, Hamburg, Berlin) mayoritas penduduk bukan milik gereja. Di Timur keanggotaan gereja Jerman adalah terendah, yang hanya terdiri dari 20-25% dari populasi. Agama non-Kristen terbesar adalah Islam, dengan sekitar 800.000 anakanak Muslim dalam sistem sekolah Jerman. Situasi ini menjelaskan mengapa pendidikan moral memainkan peran yang menentukan. Negara tertarik untuk mentransmisi nilai-nilai moral dan informasi agama tertentu di mana subjek pendidikan moral setidaknya memasukan beberapa materi agama. Alasan lebih lanjut dalam mendukung pendidikan moral dalam kurikulum adalah kepentingan umum budaya di mana agama adalah bagian dari budaya nasional, dan kepentingan politik yang penting dalam pendidikan nilai untuk memastikan koherensi dalam masyarakat. Minat akan politik agama sudah ada sejak zaman Romawi kuno. Di negara-negara dengan bahasa Romantis (Perancis, Italia, Spanyol), pendiidkan moral merupakan bagian dari pendidikan kewarganegaraan (civique, educazione Civica, educacion Civica). Di Rusia dan Republik Slowakia, pendidikan moral merupakan subyek sendiri, bernama eticeskaja grammatika atau Eticka vychova (Bruning, 2002, hal. 396). Di Jerman Ethikuntericht atau Praktische Philosophie juga merupakan subjek independen dalam kurikulum. Para siswa yang beragama Islam menghadiri pendidikan 120
Praktik dan Riset... (Abdul Fattah)
moral dan pendidikan agama Protestan atau Katolik untuk mengembangkan dimensi pendidikan antar-agama dan antarbudaya. Terkdang, orang tua Muslim eksplisit memilih pendidikan agama, dan bukan pendidikan moral arena fakta bahwa kepercayaan kepada Tuhan masih memainkan peran konstitutif. Pada saat ini, tahun 2005, beberapa pemerintah daerah telah mengembangkan pendidikan agama Islam dengan sokongan dari gereja-gereja Protestan dan Katolik. Di negara-negara di mana terdapat agama-agama besar, barangkali dapat mengadopsi model c) dan d) di atas, solusi yang cenderung pola multi-agama, di Inggris dan Wales. Di Norwegia, Pendidikan agama Kristen berdasarkan pada gereja negara Lutheran, menggunakan model ini. Di Swiss, Zurich Kanton, dengan keragaman agama, memperkenalkan materi wajib yang disebut dengan Budaya dan Agama cf. Bakker et al. (2006ff.), Heimbrock, 2004; Larsson & Gustavsson, 2006; Schreiner, Pollard & Sagberg, 2006; Zonne 2006. Religious Schools (Church Schools) Di Eropa sebagian besar sekolah agama yang dibentuk oleh tradisi Kristen (Francis dan Lankshears, 1993; Marggraf, 2004; Schelander, 2004), seperti yang digambarkan oleh statistik berikut; Gereja Inggris memiliki 4.813 sekolah; yaitu 21,74% dari semua sekolah di Inggris. Di Perancis, Sekolah-sekolah Katolik mendominasi. Di Belanda 60% dari semua sekolah telah dibentuk masyarakat agama dan tradisi Reformed 30%, Katolik 30%, tiga sekolah Yahudi, Hindu tiga sekolah, 37 sekolah dasar Islam dan dua sekolah Islam di tingkat menengah. Di Jerman gereja terkait sekolah berjumlah 2.200 sekolah, kelompok terbesar adalah Katolik (1.156). Secara total proporsi siswa menghadiri sekolah-sekolah gereja di Jerman hanya terdiri dari 5%. Faktor-faktor berikut memberikan kontribusi terhadap perbedaan yang disebutkan di atas. Faktor pertama adalah minoritas atau status mayoritas agama, dan kedua mayoritas dan status
121
El-HIKMAH, Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
minoritas agama menyebabkannya mereka mendirikan sekolah sendiri, baik karena tradisi yang kuat dari gereja negara seperti di Inggris, atau karena sekolah sendiri adalah satu-satunya cara untuk hadir dalam lingkup pendidikan publik, seperti di Perancis. Di Jerman Gereja Katolik mencoba untuk mewujudkan kepentingannya dengan memiliki sekolah sendiri, khususnya di daerah-daerah di mana ia berada dalam posisi minoritas, terutama di wilayah Utara (Hamburg) dan Timur tradisional Protestan dengan keluarga Katolik hanya sekitar 4% dari populasi. Faktor lainnya adalah politik. Entah karena negara menghormati hak agama-agama warga negaranya seperti di Belanda, Jerman, Austria dan di tempat lain, atau tidak. Belanda menyediakan setidaknya beberapa sekolah Islam; Inggris dan Wales, sekolah-sekolah Islam mungkin akan merusak pendekatan multi-iman untuk pendidikan agama, sehingga para pendukungnya cenderung menolak sekolah-sekolah Islam. Di Jerman sekolah agama disambut sebagai ekspresi masyarakat plural liberal dan tanggung jawab co-pendidikan agama-agama (Nipkow, Elsenbast & Kast, 2004). Religious Identity and Inter-religious Understanding: Aims and Effects of Various Forms of Religious Education Solusi kelembagaan yang berbeda terkait dengan tujuan yang berbeda dan akan menghasilkan efek yang berbeda. Sebuah pendekatan multi-agama, seperti yang ditunjukkan dalam model b), akan menekankan pembelajaran agama untuk semua siswa, pertemuan ramah dan pengalaman toleransi. Keuntungan dari pendekatan ini adalah jelas, tetapi kerugian diabaikan. Di satu sisi ada kekayaan dari beberapa pendekatan kreatif yang menarik dan pendidikan dengan menggabungkan fenomenologis (Smart, 1981), pengalaman (Grimmitt, 1973), metode interpretative, dan etnografik (Jackson, 1997). Tujuannya adalah pencarian spirittualitas bersama dan spiritualitas yang sifatnya individual Di sisi lain, ini mengurangi peran perbedaan iman tertentu antara 122
Praktik dan Riset... (Abdul Fattah)
agama-agama dunia, meskipun di mata orang-orang percaya ini mungkin sangat penting. Sisi lain-efek adalah kehati-hatian yang diterapkan pada pembuatan pertimbangan nilai tentang agamaagama tertentu. Pendekatan multi-iman didasarkan pada studi agama, teologi yang spesifik, yaitu teologi, Yahudi, Kristen dan Islam, memainkan peran bawahan. Kekuatan pendekatan multi-iman adalah kelemahan model c) di mana pendidikan agama diberikan dalam kelompok denominasi terpisah, seperti di Jerman: pendidikan agama Protestan, Pendidikan agama Katolik, Pendidikan Moral atau filosofis, di beberapa kota pendidikan agama Yahudi, dan upaya awal pendidikan agama Islam; pendidikan agama Islam di Austria telah ada sejak 1912. Argumentasi penolakan atas model c ini akan mengarahkan pada sikap intoleransi. Mayoritas pendidik agama Protestan lebih suka model kooperatif seperti yang ditunjukkan di pola c. Tujuannya adalah siswa akan menjadi akrab dengan agama pilihan mereka dan belajar juga untuk memahami agama-agama lain dan pandangan dunia. Tujuannya adalah realistis; a. Pendidikan agama terpisah untuk masing-masing agama memungkinkan untuk pemahaman yang lebih luas dan lebih dalam dari agama mereka sendiri. b. Ada lebih banyak waktu untuk agama masing-masing sehingga, sejauh mungkin, kedangkalan dihindari; c. Murid masing-masing memiliki hak dan kesempatan untuk menjadi akrab dengan agama warisan budayanya dan tradisi keluarga: d. Banyak anak dan remaja yang belum pernah diperkenalkan ke tradisi keagamaan, tetapi yang secara sukarela menghadiri pendidikan agama sesuai dengan pengakuan (di daerah Jerman Timur hingga 60-70%) dapat belajar paling sekitar satu agama tertentu dengan cara yang lebih dalam; e. Belajar tentang satu agama intensif berarti menjadi sadar akan sifat agama pada umumnya, sebuah fakta yang mendukung 123
El-HIKMAH, Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
pemahaman agama-agama lain; f. Fase instruksional kerjasama antar agama (atau kerja sama antara pendidikan agama dan pendidikan moral) menyediakan pertukaran yang diperlukan sekitar topik yang menjadi kepentingan bersama: g. Dasar klarifikasi teologis adalah konstitutif untuk setiap bentuk pendidikan agama (Kristen, Yahudi, Islam); h. Akibatnya informasi tentang dan diskusi klaim kebenaran agama merupakan bagian konstitutif dari pendekatan tersebut; i. Kebenaran-pengalaman dasarnya milik masing-masing agama, wacana kontroversial tidak dihindari dengan menunda penghakiman; j. Toleransi adalah belajar melalui memahami perbedaan agama dan nilai-sistem. Church Schools in Europe Between Ghetto and Selfsecularisation Di banyak negara Eropa, gereja-gereja terlibat sebagai mitra pendidikan dari negara, tidak hanya berkaitan dengan pendidikan agama. Studi empiris mengkonfirmasi bahwa orang tua yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan institusi Gereja pun tidak mempermasalahkan ini. Dengan kata lain, sejumlah besar orang tua yang tidak terikat dengan kehidupan gereja menghargai gerejaterkait sekolah karena iklim sekolah, interaksi positif antara guru dan siswa, tingginya partisipasi orang tua dalam membentuk sekolah-budaya dan karena standar yang tinggi dan prestasi dalam beberapa mata pelajaran akademik dan kompetensi sosial. Kelompok Konservatif evangelis Kristen menolak konsep ini. Mereka membentuk minoritas yang aktif, dan mengembangkan sekolah sendiri. Mereka mengeluh bahwa ` sekolah gereja tidak mempromosikan iman. Otoritas Gereja mengakui bahwa pertanyaan apakah, misalnya, sekolah Anglikan `akan menghasilkan Anglikan masa depan ‘jelas harus dijawab dengan tidak ‘(Brown, 1988, hal. 166). Penelitian yang luas pada sekolahsekolah Gereja di Inggris (Francis dan Lankshear, 1993) telah 124
Praktik dan Riset... (Abdul Fattah)
memberikan hasil yang realistis dalam hal ini. Dengan demikian situasi umum sekolah Kristen di Eropa adalah, setidaknya di beberapa negara, bahwa antara ‘ghetto dan self-sekularisasi’ (Marggraf, 2004). Di Inggris kecenderungan untuk isolasi diakui: “Masalah isolasi mengetuk pintu semua negara agama sekolah-untuk beberapa hal itu mengetuk lebih keras daripada yang lain. (Brown, 1988, hal. 167). Di satu sisi, gereja otoritas dan kelompok orangtua ingin sekolah mereka sendiri untuk menjadi alternatif iman yang kuat untuk sebagian besar sekolahsekolah sekuler. Di sisi lain, khususnya di Jerman, gereja-terkait sekolah berusaha untuk berbagi tujuan pendidikan modern dan pada saat yang sama untuk menunjukkan profil Kristen mereka. Learning as Individual Self-organisation and Through Difference Pendidikan agama saat ini harus mengatasi dua masalah utama: pertama bagaimana mengatur pembelajaran melalui perbedaan, dan kedua untuk mengakui bahwa semua pembelajaran diri-organisasi (autopoiesis). Untuk mulai dengan kedua: psikologi kognitif, sistem-teori, epistemologi konstruktivistik, dan neurobiologi menunjukkan bahwa kesadaran seorang individu tidak dapat secara langsung dipengaruhi oleh intervensi pendidikan dari luar. Semua persepsi yang diterima dari dunia luar akan diadaptasi dalam kesadaran batin. Efeknya tergantung pada proses transformasional individu setiap orang. Fakta ini, terlepas dari keberatan normatif, melarang gagasan pendidikan sebagai pembentuk yang mungkin merupakan yang tertua. Belajar adalah self-formasi, tetapi terus menerus tergantung pada pertemuan dan interaksi dengan tradisi dari masa lalu, tantangan di masa sekarang, dan visi untuk masa depan. Pola ketiga telah ditemukan dalam sejarah evolusi yang lebih muda dalam beberapa tahap Pencerahan, di mana manusia belajar untuk atribut efek dari perilaku dan tindakan mereka kepada diri mereka sendiri, bukan untuk kekuatan gaib (pendidikan sebagai interaksi dialektis). 125
El-HIKMAH, Volume 6, Nomor 2, Desember 2012
Di atas semuanya, para editor dan kontributor menawarkan kumpulan essei dalam buku ini sebagai sebuah testamen bagi para pendidik dan cendikiawan (lintas agama dan lintas benua) yang telah membantu menjembatani disiplin agama, moral, dan dimensi spiritual pendidikan sebagai khazanah masa kini. Hal yang melekat dengan kumpulan materi tersebut adalah adanya petunjuk-petunjuk berguna untuk masa depan di mana dimensi-dimensi keagamaan, moralitas, dan spiritualitas dalam pendidikan akan mampu menawarkan berbagai strategi untuk menggapai pendidikan yang membawa harapan baru, ketenangan, dan keadilan dalam sebuah dunia yang inklusif dan menyatu.
Daftar Pustaka Coc Bakker, et.al. Religious Diversity and Education in Europe (New York: Waxmann, 2006). H. Heimbrock, Religionsunterricht im Horizont Europas (Stuttgart: Kohlhammer, 2004). Hick, J. An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven and London: Yale University Press, 1989). L. Wittgenstein, Philosophical Investigations (Inggris-Oxford: Blackwell, 1958). R. Jackson, Religious Education: An Interpretive Approach (London: Hodder&Stoughton, 1997). R. Kucha (ed.). European Integration through Education (Lublin: Maria-Sklodowska University Press, 2004).
126
Praktik dan Riset... (Abdul Fattah)
127