r
Prakata Paeninsula adalah novel maya oleh Ihsan Abdul Aziz (itu saya sendiri, untuk yang belum kenal) yang diedarkan di internet tanpa profit. Daftar Isi 1. Langkah Awal dari Kisah ini a. Sang Traceur Elegan Beraksi rilis Agustus 7, 2011 | revisi terakhir Maret 29, 2012 b. Jakarta, Berita, dan Transportasi rilis Februari 3, 2012 | revisi terakhir April 3, 2012 c. Ibarat Sebuah Kisah Epik Fantasi rilis Maret 29, 2012 | revisi terakhir April 9, 2012 Keterangan a. Daftar istilah
b. Ringkasan cerita 1. Langkah Awal dari Suatu Kisah a. Sang Traceur Elegan Beraksi Realita, fantasi, dan parkour. Kegagalan yang dihadapi, imajinasi yang dicari, dan hasrat yang dikehendaki. Gue ingin bangkit, lepas dari kungkungan akan sosok bayangan yang berada di sebuah alam semu bernama dunia, panggung sandiwara, di mana dia sulit untuk melepaskan diri dari cangkangnya agar bisa menjalani kisah sesungguhnya dengan penuh kebahagiaan. Eh, panas benar ya. Gue mau lepas jaket dulu yang bikin sesak dada ini. Oh ya, yang dimaksud tuh bukan suasana hati lho. Pagi-pagi buta di pinggir jalan, tepat di luar Gelora Bung Karno yang tak jauh dari Balai Sidang Jakarta, Redina belum bisa masuk karena belum dibuka untuk pengunjung. Duduk di atas Honda Tiger merah dengan jaket cokelat kembungnya yang diletakkan di atas lubang kunci, dilihatnya jalanan masih lenggang yang dihiasi keredupan sang mentari karena diselimuti oleh langit biru tua. Selain stadion bola yang memang tak dibuka untuk kendaraan, tempat lainnya yang dibuka sekitar jam tujuh pagi di antaranya seperti kolam renang Senayan di mana taman Kridaloka terletak tepat di belakangnya. Dinginnya pagi ini tak bisa menembus korset karbon hitam dan kemeja kotak-kotak lengan panjangnya, sebaliknya telapak tangan Redina tidak tahan dingin. Dia masih belum ingin melepas kedua sarung tangan hitam yang dipakainya dari kemarin malam.
Kemudian dilihatlah parasnya sendiri di spion motornya. Terlihatlah wajah seorang wanita dengan rambut pendek cokelat kemerahan, dan di sebelah kirinya dicepak tapi ditutupi oleh rambut yang memanjang dari atas kepala. Alis dan bulu matanya sedang, dan bola matanya hitam cerah walau tidak menggunakan kontak lensa. Mengenai umurnya, dia baru berumur 19 tahun. Namun dengan badannya yang tinggi besar, Redina terlihat sudah seperti dewasa. Dan dengan busana seperti itu, kecuali sarung tangan yang selalu digunakannya ketika berkendaraan dan sepatu bootnya yang stylish hampir setinggi lutut, sekilas Redina terlihat mirip wanita punk. Sekedar menghabiskan waktu, Redina melepas sarung tangan kirinya lalu menyalakan pemantik api untuk menempelkan apinya ke tangannya yang terasa beku. Tak lama, Redina mematikan pemantiknya karena takut isinya habis lebih cepat dari biasanya. Nyaman, tapi tangan gue bisa kebakar, pikirnya. Di hari Minggu ini, orang-orang yang akan mengunjungi Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, menikmati hari ini dengan olahraga dan tamasya. Dan di dalam taman Kridaloka, selain untuk lari pagi untuk pengunjung, tempat itu digunakan para traceur atau praktisi parkour untuk berkumpul lalu berlatih bersama seperti biasanya. Sementara itu, Redina akan duduk-duduk di luar taman, di tempat makan yang ada di halaman luar kolam renang Senayan. Tempatnya agak lebih tinggi dari permukaan tanah setinggi satu orang dewasa, jadi cocok untuk melihat-lihat.
Tanpa terasa, waktu cepat berlalu. Jika begini terus, hari bisa cepat berganti nanti, keluhnya. Semoga tidak benar-benar terjadi, tapi bisa saja kejadian sih. Telepon genggamnya sekarang menunjukkan jam sembilan pagi. Redina masih termenung sembari menikmati hangatnya matahari di pagi hari. Kemudian setelah puas dengan sambutan sang mentari, diparkirlah motornya itu tak jauh dari depan gerbang taman Kridaloka yang tak begitu besar karena dikhususkan untuk dilalui oleh orang dan motor.
(Ilustrasi dan karakter karya Ihsan Abdul Aziz.)
Sesuai rencananya, Redina duduk di tempat yang sudah dibayangkannya. Sama seperti terakhir dia lihat ketika terakhir kali ikut berlatih, di taman itu pohon-pohonnya rimbun, banyak rumput hijau, dan biasanya ada beberapa meja diletakkan di sana khusus untuk latihan vaulting; gerakan melewati suatu benda yang menghalangi alur berlari. Caranya bermacam-macam, namun pemula biasanya akan memulai dari teknik yang paling ringan; yaitu lazy vault.
Redina melihat ada beberapa pemula yang sudah mencapai tingkat menengah karena mampu meletakkan tangannya di atas meja itu tanpa ikut menapak hingga gerakannya pun mengalir bagaikan air yang menembus dan meresap ke dalam tanah. Sedangkan yang belum, kurasa mereka masih perlu menuntut ilmu. Gerakannya tergolong patah dan belum masuk dalam satu gerakan, karena mereka memanjat penghalangnya dulu untuk bisa melewati. Selain vaulting, ada rolling atau mengguling diagonal, lalu ada precision untuk melompat dengan tepat ke tempat tujuan mendarat, dan climb-up (memanjat dari posisi menggantung di dinding, batang, cabang pohon, dan lain-lain). Itulah macam-macam gerakan parkour. Untuk latihan fisiknya, salah satunya ada quadropedal; yaitu melatih otot badan dengan cara melangkah menggunakan kedua kaki dan kedua tangan, dan latihan itu juga ditujukan untuk menstimulasi otak koordinasi dalam mengkoordinasi gerak badan. Lalu, di lain tempat dia lihat ada pula yang melakukan latihan fisik saja berupa push-up, angkat badan, dan sit-up. Sementara para wanita yang ikut berlatih di sana, gerak-geriknya mirip dengan gaya breakdance. Entah sudah berapa lama waktu berlalu, Redina tidak ikut berlatih, dan hanya memperhatikan mereka dari kejauhan. Sendirian di tempat itu terlalu lama mulai membuatnya terasa tersiksa. Redina yang berdarah panas rupanya tak menjadikannya sebagai orang yang mudah bergaul. Dia jadi teringat salah satu sahabat terdekatnya yang pendiam tapi bisa memiliki banyak teman. Menjelang siang harinya, para traceur bersiap-siap untuk selesai berlatih. Redina pun bangkit dari tempat duduknya. Ada yang
perlu ditaruh di motor sebelum beraksi. Dompet, telepon genggam, dan barang-barang lain yang mengisi kantong pun ditaruhnya ke dalam tas, sementara kedua lengan bajunya sudah dilipat sampai ke siku. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam sebelum dikeluarkan pelan-pelan. Redina pun mulai berlari. Dan di tiap langkahnya, kepalanya ditundukkan sedikit dan mengikuti irama gerakan kaki yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Seharusnya berlari yang baik itu membusung,
alasannya
adalah
untuk
memperlancar
proses
pernapasan. Tapi dengan caranya sendiri, Redina bisa mengubah arah kapan saja untuk di tempat terbuka. Dilangkahkannyalah kaki seribu menuju gerbang taman Kridaloka yang merupakan tempat untuk membayar karcis masuk ke dalam. Begitu sudah dekat, Redina langsung melompat untuk melakukan tic-tac ke dinding yang berada di pinggir gerbang. Kakinya pun ditempelkan dengan bantuan daya dorong dari hasil berlari tadi. Dan dalam hitungan kurang dari satu detik, matanya diarahkan dengan cepat menuju sebatang pagar biru di depan yang tak jauh dari pintu gerbang taman. Lalu Redina memantulkan diri dari dinding itu untuk melakukan precision ke batang pagar itu. Kedua kakinya pun dengan tepat mendarat di atas batang itu, dan menimbulkan bunyi dari besi yang bergetar hebat. Selama kira-kira satu detik, Redina tentu tak bisa berlama-lama dengan stabil berdiri di atas, maka dia langsung melakukan salto untuk lepas landas dari permukaan yang bergoyang.
Redina pun berputar di udara sebelum mendarat di atas rumput untuk dilanjutkan dengan rolling. Begitu berdiri, dia kembali berlari. Gue masih bisa lebih dari ini, batinnya sambil mulai mengucurkan keringat. Sekarang Redina menuju tempat para traceur berlatih climb-up (memanjat). Letaknya berada di
tengah-tengah antara tempat
duduknya tadi yang posisinya lebih tinggi dari tempat biasa para traceur berlatih angkat badan. Namun Redina perlu melangkahkan kakinya ke tempat latihan angkat badan dulu agar bisa melakukan pemanjatan, jadi posisinya saat ini membelakangi tujuannya berikutnya. Maka selangkah sebelum mencapai tempat angkat badan, kaki selanjutnya digunakan untuk mengubah arah dan mengalirkan daya dorong ke tanah. Saat membelok tajam, mata kakinya berguncang menahan hempasan. Kecepatannya menurun setelah berubah arah, tapi langsung naik drastis kembali begitu mendekati dinding yang menjulang cukup tinggi. Kakinya lalu dijejakkan di dinding itu untuk memantul ke atas. Saat kedua tangannya mencengkram pinggiran dinding, Redina melakukan caranya sendiri dalam memanjat di tempat yang satu ini. Dengan bantuan daya dorong ke atas, diangkatlah dirinya hingga memutar di udara dengan tangannya sebagai titik putarannya. Redina pun mendarat di permukaan yang dipanjat, tapi ini belum selesai. Setelah menarik napas dan beristirahat sepersekian detik, Redina akan menutupnya dengan melompat harimau. Redina melakukannya hampir seperti atlet renang yang langsung menyelam
ke dalam air. Dan setelah menyelesaikan gerakan itu, rasa puasnya tak kunjung tiba. Mungkin Redina belum merasa cukup, dan ingin benar-benar mengakhirinya dengan leap of faith; lompatan keyakinan dari gerakan jungkir balik Redina yang berjuang mengadu kemampuannya dengan kenyataan. Dengan arah badannya yang masih mengarah ke depan, dengan kecepatan maksimal Redina kembali menghempaskan diri ke udara. Selagi berputar balik diagonal untuk selanjutnya ditarik ke belakang sejauh-jauhnya tanpa menyentuh permukaan lantai, semuanya terasa melambat dengan sekujur tubuhnya yang mulai terasa lenyap tak berbekas. Lalu didaratkanlah kakinya setelah udara tak bisa membawanya pergi untuk selamanya. Di permukaan tempat Redina berpijak, daya dorong dari kecepatan yang belum berhenti rupanya masih menariknya agar Redina terjatuh dan terpeleset. Erangannya cukup lama, tapi langsung terhenti begitu mengingat dia tidak ingin menarik perhatian orang-orang sekarang. Terlalu lama meninggalkan motornya pun bisa memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Setelah menepuk-nepuk celana jins yang tertempel oleh debu dan sempat tidak bisa berdiri dengan benar, Redina pun buru-buru pergi. Namun, ada yang memanggilnya dari belakang. “Red! Redina!” Redina pun menoleh ke orang yang memanggilnya. Dia gadis berjilbab, tingginya 172 cm, dan itu baru setinggi posisi mata Redina
karena tingginya sendiri mencapai 183 cm dengan ukuran badannya yang juga lebih besar, tapi pergelangan tangan dan leher gue ramping kali! Selain itu, gadis berjilbab itu mengenakan celana olahraga yang tidak biasa. Celana lebarnya dikenakan hingga melebihi tinggi pinggangnya, berbeda dengan yang dilihatnya terakhir kali saat masih olahraga bersamanya di SMA Garuda. Salihah masih mengenakan baju olahraga seragam sekolah saat itu. Sementara parasnya, dia bermata bulat besar. Jika dia dilukiskan di selembar kertas, ibaratnya dia adalah wanita berwajah anime. Sementara Redina sendiri berdarah campuran, hingga perawakannya jika digambarkan lebih cocok dibilang seperti ilustrasi dari komik barat. “Salihah? Wah, nggak nyangka gue ketemu elo di sini, Sal!?”
b. Jakarta, Berita dan Transportasi “Salihah? Wah, nggak nyangka gue ketemu elo di sini, Sal!?” Rasa senangnya sudah hilang dan tenggelam begitu saja. Lho? Sekarang sudah sore!? Tadi gue lagi ngapain sih, gerutunya saat menyadari dia sudah tak berada di Senayan lagi. Ah, benaran kejadian kan. Berlalunya waktu, cepat sekali! Di hari Minggu sore dengan hujan rintik-rintik mengiringi salah satu senja di bulan Februari penuh hujan badai, di Dinas Pemakaman Umum DKI, tempat biasa mangkal para kru pemburu berita piket malam, karena di sanalah mereka bertugas untuk menunggu pihak Dinas Pemakaman mendapat panggilan darurat.
Untung bukan pihak Dinas Kebersihan yang ditunggui, kalau kucing mati diangkut untuk dibuang sih wajar, batinnya. Terus kalau manusia.. kalau manusia itu tentu harus dikubur dengan cara baikbaik bukan? Matahari sudah terbenam, tapi separuh awal malam hari itu masih disebut sore. Jalanan di sekitar Dinas Pemakaman itu masih agak ramai saat ini oleh mereka yang tengah pulang menuju rumah mereka masing-masing. Ya begitulah transportasi di Jakarta, belum malam namanya kalau lalu-lalang kendaraannya masih tanpa henti melintasi jalanan ibukota. Redina yang sudah sampai ke tempat ini lalu memarkir motor merah Tigernya dekat warung kaki lima untuk memesan kopi. Begadang jangan begadang, karena tak ada artinya.. seingat gue sih gitu liriknya. Selagi dibuatkan, dia menghampiri kenalannya yang ternyata sudah ada di sini. Dia juga berambut pendek, tapi tak sependek Redina. Lalu warna rambutnya kuning gelap, sementara Redina sendiri coklat kemerahan. Umurnya pun jauh lebih tua, tapi perbedaan itu tak begitu terlihat karena Redina sendiri sudah tampak sangat dewasa. Saat sudah hampir dekat, Redina sempat berhenti sejenak untuk mengingat nama kenalannya. Ramal adalah julukannya di antara para pemburu berita malam hari. Dia seorang wartawati veteran dari stasiun televisi MOTV yang diperkirakan telah memiliki jam terbang selama sepuluh tahun. Dia sangat disegani sebagai pemburu berita di malam hari, dan dia juga
jago menebak apakah informasi yang diterima bisa dijadikan berita besar atau berita kecil. Entah sudah berapa lama ya sejak gue terakhir ketemu sama dia?
(Karakter karya Go King dan diilustrasikan oleh Matto dari Lesehan Studio.)
“Eh, Red. Lama tak jumpa. Ke mana aja lo?” tanya seorang wartawati yang satu-satunya di tempat itu yang memakai sepatu boot hitam mirip sepatu tentara, seolah-olah dia siap untuk berperang kapan saja. “Ya ke tempat kerja dan ke rumah,” sahut Redina dengan senyum sebelum ikut duduk di sampingnya di pinggiran trotoar, di
bawah pohon-pohon rimbun. “Nih, makanya sekarang gue main-main ke sini.. Eh, lo meliput nggak berita besar tentang mobil maut barubaru ini?” tanyanya sembari merenggang-renggangkan sepatu bootnya yang nyatanya terasa tak nyaman. “Berita besar tuh? Yang orang tuanya sampai nangis-nangis itu?” Ada nada sinis terdengar di kalimat Ramal. Kedua matanya menyipit saat mengucapkan akhir kalimatnya. “Eh, bukan ya?” Redina memasang wajah pura-pura bodoh. “Itu bukan berita besar lagi, tapi gosip. Lagipula kejadiannya bukan saat waktu gue kerja. Dan malamnya.. berita malam pilihan sampai kalah rating dengan liputan terkini mobil maut, mirip seperti acara debat yang kurang diminati dengan tayangan-tayangan acara sinetron di jam prime time. Namun ya gitulah, biasalah itu. Memangnya mau seperti apa?” Redina mengiyakan. “Terus, gimana perkembangan parkour lo, Red?” Pertanyaannya tak sempat disahuti karena yang bersangkutan sedang menguap hingga tidak sempat menjawab. “Wah, sori-sori gue soalnya belum minum kopi nih. Tunggu bentar ya.” Tak sampai semenit dia mengambil pesanannya di warung kaki lima itu. Setelah merasa lebih segar, Redina lalu menaruhnya di atas trotoar dekat tempat dia duduk-duduk. Kemudian tak lama pula para pemburu berita yang sedang piket malam semakin bertambah jumlahnya di sini. “Ramal, tumpangan lo sekarang ke lokasi berita bareng siapa?” Tanpa
disadarinya,
Redina
melakukan
kebiasaannya
dalam
memperhatikan jam di telepon genggam miliknya di saat-saat tertentu. Untuk saat ini, dia begitu karena akan pulang ke rumahnya yang berada di kawasan Jakarta Selatan tengah malam nanti. “Ya bisa siapa aja,” sahutnya dengan kedua alis yang terangkat dan dua kelopak matanya hampir menutup hingga mengesankan wajah usil. “Oh, elo masih mau jadi ojek gue ya?” Redina menggeleng pelan. “Jadi kacung kali maksud lo. Tapi kalau bisa, ya.. kenapa nggak?” Keduanya pun tertawa. Mereka berdua kemudian mengikuti perbincangan orang-orang yang berkumpul di sana untuk menghabiskan waktu atau mungkin karena tidak tujuan lain lagi selain bersosialisasi, sementara hujan semakin deras saja. Tongkrongan itu pun bubar dan masing-masing dari mereka lalu mencari tempat berteduh. Di hujan badai seperti malam ini, angin kencang menerpa dan menyapu ibukota Jakarta. Dan sekarang sudah tengah malam, Redina semakin khawatir dengan kondisi orang di rumah. “Hoi Red, ada kecelakaan. Seorang pengendara motor tewas karena tertimpa pohon besar di daerah Pasar Minggu. Rumah lo di Jakarta Selatan juga kan?” ucap Ramal saat menemui Redina di tenda tempat memesan kopi sebelumnya. Tak jauh dari tempat mereka berada, ada perdebatan di antara kru reporter yang setuju dengan yang tidak untuk mengejar berita di kondisi hujan yang bisa mengancam nyawa bagi mereka yang tidak menggunakan alat transportasi selain mobil. “Terus tumpangan biasa lo?” Redina pun bangkit dari tempat duduknya. Diliriknya sekilas mobil ambulans dari pihak Dinas
Pemakaman telah keluar dari sarangnya untuk menjemput sang target berita yang kematiannya masih saja dibebani oleh lika-liku kehidupan. “Gak berani, bisa kena nasib yang sama kayak tuh pengendara motor di hujan parah gini. Kebetulan gue ngajakin lo, karena elo pernah jadi campers. Alatnya entar dipinjemin ke elo. Tinggal merekam aja apa susahnya sih? Ayo jangan dipikir kelamaan, ambulansnya udah jalan dari tadi.” Ramal yakin Redina pasti bisa melakukannya, sebagaimana Ramal pun yakin dengan dirinya sendiri untuk menggunakan kendaraan bermotor di cuaca ekstrem ini. Maka, bersiap-siaplah mereka. Redina pun menggunakan jaket cokelat tebalnya yang kembung—membuat dia tak ubahnya tukang ojek—serta
helm
standar
SNI
biarpun
pelindung
matanya
menggunakan kacamata helm berbingkai hitam. Bukannya memang yang penting menutupi kepala hingga tengkuk, dengan bahannya yang keras ya? Tak lupa, dia mengenakan masker hitamnya bergambar mulut tengkorak. Sementara Ramal sendiri, sudah siap dari tadi. Tas hitam berukuran sedang yang disampirkannya berisi alat-alat seperti handycam, mik, dan lainnya. Sedangkan yang perlu dipakainya, dia cukup memakai helm, itu saja. “Gue liat lo masih sangar nih penampilannya,” ejeknya. Sebelum mereka berdua menerobos ganasnya hujan, Redina menyalakan motor Tiger merahnya terlebih dahulu. Tertembaklah sorotan cahaya dari lampunya. “Siap?”
Ramal
menyeringai,
jalan
yang
dipilihnya
benar-benar
menantang. “Let’s go out tonight. Show me the way you move your bike.” “Iya-iya, terus lo sudah bener belum cara duduknya?” Redina mengecek apakah Ramal sudah duduk dengan menggunakan kedua tangannya untuk memegang batang belakang motor dan ikat pinggang pengendaranya serta memberi ruang gerak untuknya dengan mundur sedikit ke belakang. Ternyata dia sudah tahu dan mengerti. Ditembuslah medan perang ini dengan modal keberanian, kemampuannya dalam mengendarai motor, serta doa dalam hati mereka masing-masing untuk diberi keselamatan. Saat meninggalkan kawasan Dinas Pemakaman Umum DKI, terpaan menusuk dari hujan badai terasa seperti menampar kedua wajah mereka. Belum lagi jarak pandang menjadi sangat pendek karena yang terlihat di depan seolah hanya ada guyuran air yang deras disertai angin kencang yang bisa menumbangkan kendaraan mereka kapan saja. Lalu dipilihlah jalan yang paling menguntungkan. Jalan yang mereka lalui adalah jalan-jalan kecil untuk menghindari angin yang lebih besar skalanya di daerah terbuka. Dengan begitu, bangunanbangunan yang mengelilingi mereka akan mengurangi daya hembus angin, tapi ya tetap saja tindakan ini berbahaya. Jalanannya yang tidak rata menjadi motor Tiger itu berguncang-guncang hebat. Di saat mereka yang berteduh dan beristirahat, Ramal bisa sampai lebih cepat karena sudah berangkat terlebih dulu menuju lokasi. Lalu direkamlah kejadian itu untuk ditayangkan sebagai berita malam pilihan di salah satu stasiun televisi. Sambil memegangi
handycam,
Redina
menyimak
laporan
berita
Ramal.
Yang
diucapkannya terasa singkat karena tempo bicaranya yang relatif cepat, tapi Ramal tetap penuh dengan ketelitiannya dalam memilih kata-katanya. Hujan badai selesai, tinggal nunggu reda aja, tapi ini udah kemalaman. Duh, gimana ya? “Sip, terima kasih ya Redina.” Ramal sangat puas dan mengacungkan jempol kepadanya setelah proses peliputan berita selesai. “Yuk, makan nasi goreng. Gue yang traktir.” “Wah, mangstab!” Sebuah reaksi yang diartikan Ramal sebagai kebohongan karena dilihatnya berlawanan dengan bahasa tubuh yang ditunjukkan Redina sebelumnya secara naluriah saat menjelang tengah malam tadi. Red, aneh lo. Gue hargain elu orangnya baik, tapi ngapain sih lu pura-pura? Ramal diam saja selagi raut mukanya berubah menjadi datar dengan sedikit sendu dan kesal, tapi hanya seseorang yang memiliki mata hati yang bisa melihat ekspresi subtil itu. Terima ya terima, nggak ya nggak. Namun begitulah semua, semuak-muaknya dengan kebohongan yang ada di dunia, dia sudah terbiasa biarpun tetap saja ada rasa sedih untuk hal itu. “Iya—yang penting nggak pake lama lah, mal! Lama lu ah! Mau buru-buru pulang gue. Eh, jadi kan ngebayarinnya?” Senyumnya merekah dan wajah usilnya kembali muncul. “Baru jam satu malam, belum tutup kali.” Pergilah mereka sesantai-santainya untuk menikmati angin malam, menuju tenda kaki lima terdekat yang menjual nasi goreng.
Selalu sama setiap kali Redina kelayapan sampai larut malam dan pergi ke kaki lima di salah satu sudut Jakarta; hanya ada dia, Ramal, dan si tukang nasi goreng serta beberapa warga sekitar yang bermain kartu di tempat makan itu. Kemudian dilahapnya nasi goreng yang disajikan, dan habis begitu saja dalam hitungan menit. “Ramal, terima kasih banyak ya.” “Wah, makanmu banyak ya.” Ramal selalu saja mengatakan maksudnya secara tersirat. Dia secara batin tentu mengatakan, Eh buset, baru tahu gue elo makannya cepat banget. “Iya,” sahutnya dengan tersenyum. “Oh ya, kapan ya kita bakal ketemu lagi?” Ada nada sedih di ucapan Redina. “Soalnya elo sekarang bukan kerja sebagai campers lagi sih ya.” “Tapi malam ini buat gue sangat berkesan lho, kapan lagi coba menerobos hujan nggak pake mikir-mikir dua kali? Itu salah elo tuh, mal.. kalau kita sampai kecelakaan tadi.” Mereka berdua tertawa puas lalu menghabiskan air minum yang tadi disuguhkan si tukang nasi goreng. “Ya, memang pasti salah gue—tapi kan nyatanya kita nggak apa-apa.” Sementara itu, jemputannya sudah datang dengan motor bebeknya sebagai kendaraannya. “Eh, sudah ya. Gue mau balik lanjut kerja, malam ini masih panjang. Dan, Red.. kadang gue suka lupa kalau elu tuh masih muda belia. Umur lo jauh banget di bawah gue.” Dibayarlah tukang nasi goreng itu, dan pergilah dia bersama tumpangannya yang tampak cemas.
Redina kemudian mengeluarkan pemantiknya, tapi dia bukan perokok seperti Ramal. Sulut apinya digunakan untuk menghangatkan telapak tangannya. Sambil melakukannya, dipandanginyalah motor kesayangannya itu. Dia harus segera mencucinya besok seperti biasa. Semoga nggak kemalaman nih pulangnya, harapnya. Dan gue ada rasa nggak enak sama Ramal, selama ini gue masih aja bohong kalau gue udah kerja. Padahal sih, gue bisanya hanya coba-coba.
c. Ibarat Sebuah Kisah Epik Fantasi Inilah rumah tempat gue dibesarkan selama 19 tahun. Bentuknya biasa-biasa saja, hanya sebuah rumah berukuran sedang yang tepat berada di pinggir jalan raya di kawasan Jakarta Selatan. Setelah parkir motor di samping mobil Isuzu Panther biru tua punya bokap, gue buka pintu depan kunci yang ada di dompet. Aneh, sebenarnya kenapa gue terlalu mengkhawatirkan kondisi orang di rumah karena pulang kemalaman. Dibesarkan dalam budaya ketimuran, tapi cara pemikiran orang tua gue kebarat-baratan, jadi ini cara mendidik anak macam apa sih. Di rumah, Redina bersegera tidur karena tak ada banyak hal yang bisa dilakukannya di jam dua malam ini. Kepalanya terasa berat, kemampuan berpikirnya pun sudah terbatas. Dia perlu berhenti sebentar sebelum mengumpulkan sisa-sisa konsentrasi yang ada. Tidur di kamar yang seluas 3x3 meter, dindingnya bercat putih polos tanpa ada satu pun poster. Buku-buku miliknya pun tertata rapih. Langit-langit juga terlihat tinggi dengan bentuknya yang setinggi 3
meter untuk bagian tertinggi dan merendah di tengah-tengah ke dua sudut kamar hingga tingginya hanya 2,5 meter. Tak lama, dia sudah berada di dunia mimpi. Secara sadar, Redina tahu betul seperti apa ketika dia tertidur dan mengalami mimpi; awalnya semua terlihat hitam, barulah wujud mimpi muncul setelahnya. Bentuknya seperti ketika membayangkan sesuatu dengan menutup mata, berbeda dengan mereka yang mampu menampilkannya dengan penuh warna dan terlihat nyata.
(Karakter karya Ihsan Abdul Aziz dan diilustrasikan oleh Hanif Sumirat.)
Di awal mimpinya, ingatannya saat bertemu dengan Salihah Fikri Hekmatyar di Senayan tadi siang, kembali terputar. “Salihah? Wah, nggak nyangka gue ketemu elo di sini, Sal!?” ucapnya kepada gadis berjilbab itu.
“Gue baru aja latihan parkour di sini,” ucapnya dengan menekankan nada di awal kalimat. “Tapi kok, gue nggak lihat elo tadi?” “Mungkin, gue tadi kebanyakan istirahat di dekat loker. Tapi tadi gue liat elo kok pas datang ke sini. Lu sih, ngelamunnya kebanyakan..” Redina tersenyum menahan malu. “Eh, Red. Kok nggak ikut latihan bareng?” “Soalnya gue akhir-akhir ini nggak bisa menyempatkan waktu, Sal..” Redina memasang wajah memelas. Ucapannya yang jujur itu justru terkesan seperti berbohong. “Bukannya gue sibuk, tapi nggak bisa mengatur waktunya aja.” “Oh, gitu. Eh, terus gimana kabar elo di Inggris UI?” Redina tak berani sembarangan menjawab. Dia sudah di tingkat 4 sekarang dan masih belum lulus-lulus juga. Nilainya pun hampir di bawah rata-rata. “Baik, kabarnya baik. Eh Sal, elo balik sekarang? Gue antar ya.” “Gue bawa motor sendiri kok.” Salihah menoleh ke motor Honda Mega Pro berwarna biru yang letaknya ada di dalam taman Kridaloka. Ada tiga box hitam penyimpanan di belakangnya, padahal Redina sendiri harus memakai tas jinjing untuk membawa barangbarangnya. “Itu dia punya gue.” Redina diam sebentar seolah baru melihat hal yang tidak mungkin terjadi. “Itu, itu punya elo?” “Motor Honda Beat gue lagi di bengkel, itu punya bokap. Sama-sama pakai box, tapi gue satu aja—nggak banyak-banyak.”
Salihah tersenyum simpul. “Eh Redina, kita jalan bareng aja,” ajaknya dengan ucapan yang lemah lembut. “Kita ke Mal Ambassador yuk.” “Ayuk!” Redina menyunggingkan senyumnya selebar-lebarnya. Dengan begitu, mereka berdua dengan motornya masing-masing akan berangkat menembus kemacetan di kota Jakarta dari Gelora Bung Karno, Senayan, menuju ke Mal Ambassador, Kuningan. “Sip, gue ganti pakaian dulu ya.” Redina mengiyakan. “Sal, kamu nanti pakai rok pas naik motor?” “Kalau lagi pakai Honda Beat aja.” Salihah menggeleng pelan sebelum masuk ke tempat untuk mengganti baju yang berada di dalam taman Kridaloka. Mengenai cuaca, sekarang matahari kian terik menyengat. Semua bayangan yang terbentuk dari sinarnya pun jadi terlihat semakin kontras. Jangan bilang karena gue merhatiin tuh siluet-siluet bayangan artinya gue mikirin hal-hal yang nggak penting ya, apalagi bilang itu pertanda gue lagi ngelamun.. Err.. tapi kenyataannya memang sedang merenung sih. Walau sudah ganti pakaian, Salihah masih memakai celana panjang model celana lebar. Biarpun begitu, celananya terlihat cocok dengan baju blus kuningnya yang dia kenakan. Kemudian mereka berdua masing-masing memakai jaket, sarung tangan, dan helm sebelum menaiki motor masing-masing. Di tempat yang dituju, sebuah mal di Jakarta yang tak jauh berbeda dengan mal-mal lainnya, mereka lalu jalan-jalan untuk sekedar menikmati pemandangan dari barang-barang yang dijual di
sana. Sebenarnya tak ada yang menarik, tapi Redina ke sana untuk menemani Salihah yang sudah mengajaknya ke sini. Di sela-sela perjalanan mereka, entah itu berita baik atau buruk—dikatakanlah kepadanya tentang kelulusan kuliahnya, terlebih lagi karena dia akan langsung melanjutkan studinya ke Jerman. Entah seperti apa detilnya dia bilang tentang kelulusannya itu tadi. Dan sebenarnya nggak usah ditebak pun, gue tahu kalau Salihah pasti akan lulus lebih dulu. Ah, sedih gue kalau mikirin masalah itu. Arrgh!! Dari pembicaraan yang menyenangkan, kini berubah menjadi menyesakkan. Redina menjadi murung dan jarang menanggapi ucapan Salihah setiap kali diajak bicara. Melihat kawannya kehilangan semangat, Salihah menegur Redina dan menaikkan tangga nada ucapannya di bagian akhir ucapannya. “Red, hoi Red! Kok bengong sih?” Redina pun tersenyum kecut, sebuah ekpresi yang dipaksakan dan tak enak dilihat karena ditunjukkan di situasi yang canggung ini. “Eh, gue mau nunjukkin ke elu sesuatu deh kalau begitu.” “Kita cabut dulu dari sini, gue mau kasih tantangan ke elo,” jawabnya lebih lanjut ketika ditanya oleh Redina. Di luar, langit terlihat seolah menunjukkan hari sudah berganti menjadi malam hari karena awan-awan mendungnya yang gelap pekat biarpun masih sore hari saat itu. Salihah lalu meminta Redina untuk secepatnya pergi menuju ke tempat selanjutnya. Tempatnya berada di sebuah jalan kecil yang lenggang seluas satu jalur mobil.
“Red, Redina,” panggil Salihah. “Nih, ini dia yang gue maksud..” “Eeehm.. Jadi kita mau apa, Sal.” “Tantangannya, bisa nggak lo menapaki dinding itu?” Salihah menunjuk dinding kasar tinggi menjulang di sebelah kanan mereka. Redina memperkirakan jarak tegaknya, yaitu lebar jalan kecil ini, adalah 2 meter. Berarti jika dia mencoba menapakinya, dia hanya akan berlari serong kira-kira sejarak 2,5 meter. “Hah, mana bisa! Momentumnya nggak akan terkumpul, Sal.. mau seberapa pun cepatnya lari serongnya,” ucap Redina dengan nada gelisah. “Berarti gue duluan ya.” Salihah berlari sedekat mungkin ke dinding sebelah kanan. Cara berlarinya lebih teratur dibanding Redina. Ritme langkahnya pun sempurna. Awalnya Redina belum tahu apa tujuannya, tapi dia langsung mengerti begitu dilihatnya Salihah menyerong dengan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong dirinya sendiri dari dinding yang ada di dekatnya. Kenapa aku tak menyadari teknik yang satu itu. Redina sendiri tak yakin apakah dia bisa melakukan hal yang sama, masalahnya dia jarang berlatih quadropedal untuk melatih koordinasi gerak badannya. Secara detilnya, Salihah meletakkan tangan kirinya ke dinding selagi posisi kaki kirinya di depan dan kaki kanan di belakang dijadikan pembelok serongan patah. Serong itu biasa di kecepatan lari
pelan, tapi akan menjadi lain halnya kalau di kondisi yang hampir menyerempet dinding. Salihah lalu berhasil menapak di dinding itu. Kemudian dia mendarat setelah memantul seperti tic-tac. “Bagaimana? Bisa kan?? Elu juga dong, Red,” ajaknya. Entah apa yang kupikirkan, tanpa menjawab aku langsung mencobanya. Berlari secepat mungkin, aku melirik Salihah yang ada di depanku.
Kenapa? Kenapa aku tidak bisa seperti sahabat
terdekatku? Saat membelok aku melakukannya seperti tangkai kayu yang akan patah. Aku merasa malu karena gerakanku jelek. Dan ketika melihat dinding kasar itu, aku bertanya-tanya; apakah aku akan bisa melakukannya seperti Salihah? Redina memakai kata aku yang menggantikan kata gue. Tampaknya dia masih di bawah pengaruh kegalauannya terhadap kelulusan kuliah. “Semangat, Red!” Redina mencoba melakukan wall-run dengan cara yang sama. Ditapakkannyalah kaki kanannya ke dinding, kemudian kaki kirinya menyusul, tapi dia gagal untuk menjejakkan di langkah ketiga. Setelah mendarat, dia lebih terlihat seperti menabrakkan diri ke dinding itu jika dilihat sekilas. Kemudian dihampirilah dia oleh sahabatnya. Sambil tersenyum, Salihah menyodorkan tangan kanannya. “Sini mana tanganmu.” Seolah mengerti, disambutnya ajakan itu dengan genggaman hangat. “Masih kayak anak kecil aja nih, Sal?” Redina terkekeh-kekeh karena merasakan sesuatu yang menggelitik hatinya.
“Iya—eh Red, lu ikut gue aja ke Jerman.. bagaimana?” “Hah?” Redina terdiam sebentar, apa nggak terlalu tiba-tiba ya? “Masalah duit sih nggak masalah, tapi lulus saja gue belum kok?” “Oh, maksud gue begini. Nanti pas elu liburan semester pergantian tahun ajaran baru kan panjang tuh, ada tiga bulanan.. Gue juga ke sana pas liburan musim panas kok. Pas kan?” Redina mengangguk-angguk. “Sekalian ketemuan dengan Nuo, Red. Nuo Sekar Karasuma.” Redina
menurunkan
alisnya
seperti
memasang
muka
mengancam, dan nada bicaranya berubah drastis. “Kayaknya gue kenal, soalnya namanya mirip.” “Memang orang yang sama, tapi itu karena elu belum pernah dengar nama depannya yang diambil dari bahasa Mandarin itu.” Redina tidak basa-basi lagi dan langsung bertanya lebih lanjut. “Memang ada apa sih?” “Dia kan teman dekat kita waktu di SMA Garuda. Nah gue dengar dari keluarganya, dia lagi ada di Jerman dan sudah lama susah dihubungi. Mereka minta gue cariin dia di sana waktu berkunjung untuk ngasih kabar dari rencana lanjut studi ke negeri seberang.” “Memang kebangetan tuh orang, kesel gue.” Mengingat-ingat Sekar, atau Nuo seperti yang dipanggil oleh Salihah, Redina masih menyimpan benci kepadanya. Hubungan keduanya kurang baik, tapi mereka bertiga sekawan dengan perantara Salihah. Seiring selesainya pembicaraan dan pertemuan mereka, dan sebelum dunia mimpi ini berakhir, sesuai seperti di ingatannya, hujan akhirnya turun di Minggu sore bulan Februari penuh hujan badai.
Lho? Sekarang sudah sore!? Tadi gue lagi ngapain sih. Di dalam mimpinya, yang dibatinkannya rupanya masih sama persis. Keterangan a. Daftar istilah traceur: praktisi parkour vaulting: gerakan untuk melewati suatu benda yang menghalangi alur berlari, digunakan untuk memudahkan gerakan rolling: mengguling diagonal, digunakan untuk mengalihkan momentum saat mendarat menyentuh permukaan quadropedal: bergerak dengan menggunakan keempat anggota badan, digunakan untuk melatih koordinasi gerak badan tic-tac: melangkah atau memantulkan diri dari dinding precision: melompat dengan tepat ke tempat tujuan mendarat climb-up: menaikkan diri dari posisi menggantung pada dinding, batang, cabang pohon, dan lain-lain pull-up: angkat badan leap of faith: lompatan keyakinan, terinspirasi dari game Mirror's Edge dan Assassin's Creed rating: peringkat acara televisi prime time: waktu saat banyak orang yang melihat sebuah acara campers: singkatan dari camera person yang artinya adalah juru kamera
b. Ringkasan cerita Red, wanita berdarah panas tapi sulit memiliki teman, kuliah di program studi Inggris Universitas Indonesia tingkat 4 dan masih
belum lulus-lulus. Dia juga seorang praktisi elegan disiplin parkour, dia memperlihatkannya di awal cerita yang mengambil latar di Senayan. Sebelum inti cerita berlanjut, isinya melompat ke malam hari. Bagian tersebut adalah fiksi fans untuk 5 Menit Sebelum Jam Tayang dengan melibatkan Red dengan Ramal si Ratu Malam dalam kisah peliputan berita dengan kendalanya hujan badai. Kembali ke Senayan, Red diberitahu Sal dia telah lulus lebih dulu dan akan melanjutkan studinya ke Jerman. Lalu, Sal memberikan tantangan motivasi kepadanya dan meminta bantuan agar mencari seseorang di Jerman bersama dengannya.