berdiam diri. Itu kebiasaan orang Indian. Setelah kira-kira lima menit maka orang Comanche yang sudah saya kenal itu berkata: “Saudara-saudara saya sudah kami nanti-nantikan. Vupa Umugi sudah hampir tidak sabar lagi menunggu Anda.” “Seorang prajurit tidak boleh kehilangan kesabaran, bukankah begitu,” tanya salah seorang yang baru datang itu. “Boleh, asalkan dia tidak memperlihatkannya. Kami sudah hampir setengah hari lamanya ada di sini. Anda datang sebagai pelopor? Apabila Nale Masiuv akan datang?” “Ia akan menyusul hari ini juga. Kami tidak datang sebagai pelopor, melainkan sebagai utusan. Bawalah kami ke Vupa Umugi, kami hendak berbicara dengan dia.” “Sabarlah dahulu. Saudara-saudara tahu, bahwa ketua suku kami mempercayai saya sepenuhnya. Agar Vupa Umugi tidak akan marah, sebaiknya pesan itu Anda sampaikan kepada saya, supaya dapat saya teruskan kepada ketua suku kami.” Kedua utusan itu berpandang-pandangan. Kemudian pembicara tadi menyambung: “Ya, kami tahu bahwa Anda adalah mulut dan telinga ketua suku Vupa Umugi. Karena itu Anda boleh mendengar apa yang sesungguhnya hanya boleh kami sampaikan kepada ketua suku Anda. Nale Masiuv tidak dapat datang dengan seratus orang prajuritnya.” “Uf! Mengapa tidak?” “Oleh karena di jalan ia terbentur pada pasukan orang kulit putih, sehingga ia harus berperang.” “Ada orang kulit putih di dekat sini?” “Tidak di dekat tempat ini, melainkan di seberang Mistake Canyon. Di sana kami menjumpai serdadu-serdadu kulit putih yang menyerang kami. Jumlah mereka sedemikian banyaknya sehingga kami harus lari. Banyak prajurit kami kena luka, bahkan banyak pula yang mati. Kami di kejar oleh serdadu-serdadu kulit putih itu, sehingga terpaksa kami memencar. Pada malam hari dari pasukan kami hanya tinggal limapuluh orang prajurit belaka.” “Uf, uf, uf! Bukan kabar baik untuk Vupa Umugi! Barangkali ia terpaksa menunda perjalanannya ke Llano Estacado; boleh jadi ia akan pergi ke Mistake Canyon untuk membalas.” “Justru itu jangan hendaknya diperbuat! Itulah pesan Nale Masiuv yang harus saya sampaikan kepada Vupa Umugi. Pasukan kulit putih itu bukan penjelajah hutan, melainkan tentara. Sekiranya kita dapat mengalahkan mereka dan ada satu orang saja dari mereka dapat meloloskan diri serta pulang ke bentengnya, maka tentara orang kulit putih akan mengirimkan beratus-ratus serdadu baru untuk menghukum kita. Ya, kami pun insaf bahwa kami harus membalas, akan tetapi harus sedemikian sehingga tak seorang serdadupun akan balik ke pangkalannya, melainkan mereka harus mati semuanya.” “Jadi Nale Masiuv sudah mempunyai rencana?” “Ya, rencana itu harus saya sampaikan kepada Vupa Umugi.” “Bolehkah saya mendengarnya?” “Anda sekalian boleh mendengarnya. Serdadu-serdadu orang kulit putih itu harus dipikat mengikuti kita ke Llano Estacado supaya di sana mati kehausan.” “Uf, uf! Itu suatu rencana yang tentu akan disetujui oleh ketua suku kami.
Anjing-anjing kulit putih ini harus binasa semuanya. Tidak seorangpun boleh balik ke bentengnya untuk menceriterakan apa yang terjadi.” “Pendapat saudaraku itu benar. Karena itu perjalanan ke Llano Estacado tidak boleh ditangguhkan, melainkan harus kita mulai dengan segera. Jikalau kita hendak membawa orang-orang kulit putih itu ke padang pasir yang kering, maka kita sendiri tidak boleh kehausan, kita memerlukan air dan air itu akan kita dapati di rumah Bloody Fox. Tempat tinggal Fox yang mengandung air itu harus kita rebut sebelum serdadu-serdadu orang kulit putih itu kita bawa ke Llano Estacado.” “Bagaimana caranya memikat mereka sampai ke padang pasir itu?” “Schiba Bigk sudah sampai ke mari?” “Petang tadi ia datang dengan duapuluh orang prajurit.” “Itu bagus. Ia tahu jalan ke tempat air di padang pasir itu. Vupa Umugi harus memberikan kepadanya sejumlah prajurit yang diperlukan untuk merebut tempat air itu dan menangkap Bloody Fox. Sementara itu Vupa Umugi harus menunggu di sini sampai Nale Masiuv datang untuk menggabungkan diri dengan dia. Nale Masiuv telah mengirimkan dua orang utusan ke kampungnya yang harus mengambil seratus orang prajurit lagi. Pasukan baru itu harus mengikuti tentara kulit putih dari belakang, tetapi tidak boleh menampakkan diri sampai orang-orang kulit putih itu sudah ada di padang pasir. Kini ia sudah mengumpulkan sisa prajurit-prajuritnya yang terpencar dan segera ia akan menyerang tentara orang kulit putih itu. Akan tetapi ia akan menghindari peperangan yang sebenarnya; tujuannya ialah akan berangsur-angsur mengundurkan diri sampai ke Air Biru dan apabila sudah sampai ke sana maka ia akan berjalan mengeliling serta menggabungkan diri dengan balabantuannya yang seratus orang itu. Itu tidak sukar, sebab kita berhadapan dengan serdadu, bukan dengan penjelajah hutan. Orang-orang kulit putih itu akan mengira bahwa pasukan Vupa Umugi adalah pasukan yang dikejarnya dan mereka akan tetap mengira bahwa yang dikejarnya itu ialah Nale Masiuv dengan prajurit-prajuritnya. Pasukan Anda harus mengundurkan diri juga, akan tetapi orang-orang kulit putih itu harus selalu dapat melihat Anda. Akan tetapi jikalau mereka datang menyerang maka, Anda menyingkir sampai anjing-anjing kulit putih itu dapat Anda bawa ke gurun. Vupa Umugi harus berjalan terus, Nale Masiuv mengikuti pasukan orang kulit putih itu dari belakang; dengan demikian maka tentara orang kulit putih itu terjepit antara dua pasukan kulit merah. Vupa Umugi harus terus-menerus mengundurkan diri; ia tak perlu merasa khawatir, karena kita mempunyai air; orang kulit putih itu tidak. Mereka semuanya akan mati kehausan, tetapi kedua suku kita tidak akan kehilangan seorangpun. Bagaimana pikiran saudara, maukah kiranya Vupa Umugi menyetujui rencana ini?” “Pasti. Dan sekiranya ia menaruh keberatan, maka saya yakin bahwa ia akan dipaksa oleh rapat kaum tua.” “Kalau begitu marilah kita segera pergi ke Air Biru, agar saya dapat berbicara dengan ketua suku Anda Saya tergesa-gesa sekali, oleh karena Nale Masiuv menunggu jawab Vupa Umugi.” “Saudara saya harus menaruh sabar sebentar. Rencana itu baik sekali. Pasukan orang kulit putih itu tak dapat tidak tentu akan binasa, akan tetapi masih ada kesulitan yang harus kita selesaikan. Schiba Bigk akan berangkat lebih dahulu untuk merebut waha di padang pasir. Akan tetapi saya belum mengerti bagaimana kita akan mendapatkan tempat air itu?” “Schiba Bigk akan kembali untuk menunjukkan jalan itu kepada kita.” “Dapatkah ia berbuat begitu? Bagaimana kalau ia menjumpai halangan?” “Itu sudah dipikirkan juga oleh Nale Masiuv. Di sebuah bukit yang akan kita lalui sebelum kita masuk ke Llano, ada sebuah kolam yang bernama Suksma Lestavi. Di antara prajurit-prajurit Comanche Anda tentu ada yang mengetahui tempat itu.”
“Suksma Lestavi? Saya tahu tempat itu, sebab sudah beberapa kali saya mengunjunginya.” “Nah, tugas Schiba Bigk yang pertama ialah membuat persiapan yang kita perlukan agar dari sana kita nanti dapat mencari jalan ke tempat air itu. Di sana banyak semak belukar dan pohon-pohonan; Schiba Bigk dan prajurit-prajuritnya akan memotong sejumlah tonggak yang nanti akan dipancangkan di pasir dengan maksud untuk menunjukkan kepada Vupa Umugi jalan yang menuju ke rumah Bloody Fox.” “Uf! Jadi dengan cara penjahat-penjahat kulit putih menyesatkan musafir di padang pasir!” “Ya, tepat! Jadi kalau kita sampai ke Suksma Lestavi maka kita akan mendapati tonggak-tonggak yang akan menunjukkan jalan.” “Serdadu-serdadu kulit putih akan mengikuti kita dari belakang dan dengan demikian mereka akan sampai pula ke tempat air.” “Tidak! Tadi saudara saya telah menyebut cara penyamun-penyamun kulit putih menyesatkan musafir yang hendak menyeberangi Llano Estacado. Tentu ia tahu pula bagaimana mereka menyesatkan musafir-musafir itu!” “Ya, tonggak-tonggak itu dicabutnya dan dipancangkannya kembali di tempat lain.” “Nah, kita harus meniru cara orang kulit putih itu. Saya ulang sekali lagi siasat kita: kita pergi ke waha Bloody Fox, minum sepuas-puasnya serta mengisi kantong air kita dan memberi kuda kita kesempatan untuk minum, lalu kita balik kembali sampai beberapa jauh. Di sana kita mencabut tonggak Schiba Bigk, lalu kita pancangkan kembali ke arah yang berlainan, yakni ke arah di mana serdaduserdadu itu tidak akan mendapatkan air. Kalau Vupa Umugi mau menyetujui rencana menjadi milik orang Comanche untuk selama-lamanya, melainkan kita akan menangkap Bloody Fox dan membinasakan sekalian serdadu kulit putih itu.” “Percayalah, bahwa Vupa Umugi akan menyetujui rencana Nale Masiuv. Howgh!” “Marilah kita segera berangkat ke Air Biru, sebab kami harus lekas-lekas kembali ke tempat di mana Nale Masiuv menunggu kami.” “Ya, tetapi api ini harus kita padamkan dahulu. Kalau prajurit-prajurit Anda tidak akan datang hari ini, maka tak ada gunanya kami menunggu di sini. Anda akan kami antarkan menyeberangi sungai.” Maka keempat orang Indian itu pergilah; kedua orang prajurit Nale Masiuv menunggangi kuda dan kedua prajurit Vupa Umugi berjalan kaki. Old Surehand dan saya berpandang-pandangan, walaupun dalam gelap gulita itu kami tak dapat melihat muka masing-masing. Apa yang telah kami dengar tadi adalah sangat penting bagi kami. “Sekiranya saya seorang Indian, maka saya berseru Uf, uf, uf!” kata Old Surehand. “Nah, tidakkah sudah saya katakan tadi bahwa kita akan mendengar sesuatu yang penting?” “Itu benar. Nale Masiuv bukan orang yang bodoh!” “Saya sudah pernah bermalam di perkemahan tentara yang dimaksud tadi. Hm, jadi mereka sudah menyerang Nale Masiuv! Komandan tentara itu tidak sangat simpatik; ia seorang yang tinggi hati, yang patut mendapat pelajaran. Akan tetapi apa yang direncanakan oleh Nale Masiuv itu tidak boleh kita biarkan.” “Jadi Anda sudah bertemu dan berbicara dengan dia?”
“Ya.” “Adakah ia mengetahui juga siapa Anda?” “Tidak.” “Kalau begitu saya dapat mengerti mengapa ia bersikap congkak terhadap Anda, sebab Anda pandai benar memperolok-olokkan orang. Bagaimana pendapat Anda tentang rencana Nale Masiuv itu?” “Tidak dapat saya katakan rencana yang lihai.” “Ya, penjelajah hutan tidak akan dapat terjebak dalam perangkap itu, akan tetapi lain halnya dengan seorang opsir kavaleri. Pada hemat saya mungkin sekali ia tertipu oleh orang-orang Comanche itu.” “Bukan hanya mungkin sekali, melainkan saya yakin bahwa mereka akan mengikuti orang-orang Comanche itu ke padang pasir. Jikalau saya katakan bahwa rencana itu bukan rencana yang lihai, maka maksud saya ialah bahwa rencana itu belum sempurna. Sekiranya kita yang membuat rencana serupa itu, niscaya kita atur lebih sempurna.” “Bagaimana kalau Vupa Umugi tidak menyetujui rencana itu?” “O, mustahil ia akan menolaknya.” “Sebenarnya kita harus pergi ke Air Biru untuk melihat atau kalau dapat, mendengarkan apa yang akan diputuskan. Bagaimana pendapat Anda?” “Itu sudah sewajarnya, akan tetapi ada dua sebab yang melarang kita berbuat begitu.” “Apakah sebab-sebab itu?” “Pertama saya sudah yakin bahwa Vupa Umugi akan menyetujuinya, jadi kita tidak usah bersusah-susah mendengarkan percakapan mereka. Kedua kita tidak boleh membuang-buang waktu. Saya yakin bahwa Schiba Bigk besok pagi-pagi, bahkan mungkin malam ini juga, akan berangkat ke Suksma Lestavi. Kita harus mendahului dia. Kita harus cepat-cepat pergi ke Nargoletch Tsil untuk mengetahui adakah orang-orang Apache sudah ada di sana. Sekiranya mereka sudah ada, maka kita akan berhenti sebentar di sana sekedar untuk memberi kuda kita kesempatan melepaskan lelahnya, akan tetapi sebelum fajar menyingsing kita harus meneruskan perjalanan kita ke Llano Estacado.” “Anda tahu tempat yang oleh orang Comanche itu disebut Suksma Lestavi?” “Lebih daripada itu. Jikalau saya pergi ke rumah Bloody Fox atau pulang dari sana, maka saya selalu berhenti di situ. Dalam bahasa Apache tempat itu disebut Gutesnonti Khai, artinya sama benar, yakni Pohon Seratus.” “Menilik namanya, di sana ada hutan!” “Bukan hutan sebenarnya hutan. Jumlah pohon-pohonan tidak seberapa banyak, kebanyakan pohon den, semacam cemara yang banyak bercabang. Ranting pohon itu baik sekali untuk dipergunakan sebagai tongkat yang dapat dipancangkan ke dalam pasir. Tetapi, marilah kita kembali ke tempat kita. Kita harus menyeberangi sungai ini selama tempat penyeberangan itu tidak terjaga.” “Hampir setengah abad kami menunggu,” demikian Old Wabble menyambut kami. “Sekiranya kami harus menunggu lebih lama lagi, maka saya akan menyusul Anda.” “Untuk membahayakan kami?” jawab saya. “Justru itulah kebiasaan yang harus Anda tinggalkan mulai dari saat ini. Itu suatu cacat yang akan dapat membinasakan
Anda!” “Tidak mungkin! Saya masih mempunyai akal sehat.” Ya, ia tidak insaf bahwa sikap yang sedemikian itu adalah suatu cacat. Walaupun usianya sudah lanjut sekali, akan tetapi ia masih sangat tidak hati-hati, seperti seorang cowboy yang masih muda. Kami menyeberang, lalu berjalan dengan perlahan-lahan menyusur tepi sungai. Bintang gemerlapan di langit sehingga kuda kami dengan mudah sekali dapat mencari jalan yang baik. Lagi pula kami dapat berjalan dengan langsung ke Gunung Hujan tanpa berjalan mengeliling. Menjelang tengah malam sampailah kami kepada tempat yang terjadi daripada beberapa bukit yang sangat rendah. Kaki bukit itu ditumbuhi dengan semak-semak. Demi kami memasuki semak-semak itu, maka kami mendengar orang berseru dalam bahasa Apache; “Tarku — siapa itu?” “Old Shatterhand,” jawab saya. “Orvan ustah orkon da — kemarilah!” Seorang Indian tampil ke muka untuk mengamat-amati saya. “Ya, itu Old Shatterhand, pemimpin besar orang Apache,” katanya. “Kami telah memasang penjagaan pada beberapa tempat untuk menghadang Anda.” “Prajurit-prajurit Apache sudah ada semuanya?” “Ya, semuanya tigaratus orang.” “Dengan membawa bekal perjalanan?” “Daging dan tepung cukup untuk perjalanan beberapa minggu.” “Siapa pemimpin Anda.” “Entschar Ko, Api Besar, sahabat Winnetou. Saudara saya Old Shatterhand telah mengenal dia.” “Pisau Panjang dengan dua orang kulit putih sudah ada di tengah-tengah Anda?” “Ya, mereka sudah datang dan sudah menceriterakan segala perbuatan Old Shatterhand. Saudara-saudara saya boleh mengikuti saya.” Kami dibawanya memasuki sebuah lembah dan sebentar kemudian sampailah kami pada perkemahan orang Apache. Entschar Ko bukan saja sahabat Winnetou, melainkan sahabat saya juga. Kami berpeluk-pelukan, kemudian ia menerangkan bahwa seluruh pasukan Apache itu diserahkannya kepada pimpinan saya. Kami ceriterakan dengan singkat bagaimana kami berhasil membebaskan Bob. Karena lama sekali mereka menunggu kedatangan kami, maka mereka merasa cemas; karena itu makin bertambah besar kegirangan hati mereka sekarang. Kami tidak usah berunding. Semuanya tahu bahwa kami harus pergi ke Llano Estacado. Entschar Ko kami beritahu apa yang kami dengar dari keempat orang Comanche tadi dan oleh karena kami harus lekas-lekas tidur, maka Entschar Ko membuat persiapan sedemikian sehingga apabila kami bangun segera kami dapat berangkat. Ketika keesokan harinya matahari terbit, kami sudah jauh dari Gunung Hujan dan pasukan kami bergerak dengan kecepatan yang lebih daripada lumayan melalui dataran ke puncak bukit dari mana kami menurun ke padang pasir. Di antara bukitbukit itu ada beberapa sungai kecil-kecil yang memuntahkan airnya ke dalam tanah pasir: air itu seakan-akan merembes masuk ke tanah di bawah pasir yang timbul
lagi sebagai sebuah kolam di tempat kediaman Bloody Fox. Old Surehand senang sekali bergaul dengan orang-orang Apache. Ia melihat bahwa orang-orang Indian itu mendapat latihan secara militer. Ia merasa kagum melihat orang-orang Apache mengatur pengangkutan dan perbekalan mereka secara efisien. Sedang kami berjalan berdampingan, saya ceriterakan kepadanya betapa besar usaha Winnetou untuk menjadikan pasukan Mescalero itu suatu pasukan pilihan yang berdisiplin. Menjelang petang kami memanjati tanah bukit yang saya sebut di muka tadi. Pasukan itu saya bawa ke sebuah lembah yang sudah saya kenal dari dahulu. Di sana kami berhenti melepaskan lelah. Di lembah itu ada sebuah batang air kecil yang airnya cukup banyak untuk mengisi kantong-kantong air kami. Lembah ini letaknya hampir seperempat hari perjalanan di sebelah selatan Pohon Seratus, yang nanti akan dipergunakan oleh orang-orang Comanche sebagai pangkalan dari mana mereka hendak menyesatkan tentara kulit putih ke padang pasir. Kami segera masuk ke Llano Estacado dan berjalan ke arah Utara. Demi matahari terbenam, kami berhenti di tengah-tengah gurun. Sejauh mata memandang hanya pasir belaka yang tampak sekeliling kami. Walaupun kami tak perlu merasa khawatir akan diserang dengan tiba-tiba oleh musuh, namun kami memasang penjagaan. Kemudian kami pergi tidur setelah kuda kami, kami beri minum dan makan jagung dari perbekalan orang-orang Apache. Karena hawa pada malam hari sejuk sekali, maka nyenyak benar kami tidur dan ketika keesokan harinya kami bangun, maka badan kami sudah segar sekali. Jalan yang kami tempuh ini melalui beberapa hutan kaktus. Kami harus berjalan dengan hati-hati sekali agar kuda kami jangan menyentuh atau menginjak duri kaktus. Akhirnya sampailah kami kepada sebuah hutan kaktus yang luas sekali. Di sini kami terpaksa berhenti karena hutan kaktus itu memanjang seakan-akan tidak ada hingganya. Barangsiapa terbentur pada hutan kaktus yang luas ini dan tidak mengenal daerah padang pasir ini maka celakalah ia, karena ia tidak akan dapat mencari jalan keluar lagi dan tidak akan mendapatkan air untuk melepaskan dahaganya. Siang tadi matahari memancarkan sinarnya yang panas terik. Angin panas yang mengandung butir-butir pasir, seakan-akan menyambuki muka kami. Tugas saya berat sekali; saya adalah satu-satunya yang mengetahui jalan ke rumah Bloody Fox dan saya merasa betapa besar tanggung jawab yang saya pikul. Hawa yang mengandung butir-butir pasir itu sedemikian tebalnya sehingga kami tak dapat melihat lebih daripada sepuluh langkah. Walaupun saya yakin bahwa saya selalu mengikuti arah yang tepat, namun selalu ada faktor yang dapat membingungkan saya. Saya melihat padang kaktus baru, yang dahulu tidak ada di tempat itu, sebaliknya ada pula tempat yang sudah gundul di mana dahulu tumbuh pohon-pohonan kaktus. Betul Bob dapat membantu saya, akan tetapi saya tahu bahwa Bob tidak pernah keluar rumah seorang diri saja, melainkan selalu menemani Bloody Fox dan tidak pernah ia mempergunakan pancainderanya, melainkan selalu percaya saja kepada tuannya. Dengan demikian saya insaf bahwa Bob tidak akan dapat memberi bantuan kepada saya. Walaupun begitu terpaksalah saya berpaling kepada Bob dan menanyai dia. Setelah mengadakan tanya-jawab yang berulang-ulang maka akhirnya dapatlah saya mengetahui apa yang sebenarnya sudah tadi harus diberitahukan kepada saya. Bloody Fox telah memperluas dan memperkuat pagar hutan kaktus yang dipergunakannya untuk menyembunyikan dan melindungi tempat tinggalnya. Dengan segala susah payah ia telah menanam pohon kaktus yang baru. Lagi pula tempat masuk ke pekarangan Bloody Fox, sekarang sudah tertutup oleh pohon kaktus yang baru. Jalan masuk ke pekarangan Bloody Fox itu dahulu ada dua, sebuah di sebelah Barat dan yang sebuah lagi di sebelah Utara, akan tetapi kedua pintu itu sekarang sudah ditutup rapat-rapat. Ia telah membuat jalan masuk yang baru di sebelah Timur. Pintu itu terjadi daripada beberapa sela-sela di antara pohonpohon kaktus yang sedemikian sempitnya sehingga orang asing tidak akan mengira bahwa sela-sela itu adalah pintu masuk ke tempat yang mengandung air. Kini saya mengetahui di mana saya harus mencari jalan masuk itu. Orang-orang
Apache saya suruh menunggu di luar. Karena itu saya suruh mereka membuat tempat berhenti. Teman-teman saya orang kulit putihpun saya minta tinggal di situ juga. Hanya Bob seorang saja yang saya minta menemani saya. Kuda kami pacu dan dengan cepat sekali kami mengelilingi hutan kaktus itu ke arah Timur. Hutan itu sedemikian luasnya sehingga perjalanan mencari tempat masuk itu memakan waktu kira-kira satu jam. Akhirnya kami mendapati celah-celah yang harus kami masuki. Kami harus berjalan perlahan-lahan, kadang-kadang membelok ke kanan, kemudian membelok ke kiri, lalu ke kanan lagi, sesudah itu ke kiri lagi dan begitu seterusnya beberapa kali berulang-ulang. Akhirnya kami melihat pohon-pohonan dan sebentar kemudian kami sudah sampai ke dekat rumah Bloody Fox. Di depan rumah itu kami melihat seorang perempuan. Demi Bob melihat perempuan itu maka ia memacu kudanya sambil berseru: “Ibu Sanna, ibu Sanna! Oh… oh… oh! Ibu Sanna, ini Bob! Bob datang!” Wanita itu menoleh dan demi ia melihat Bob, maka segera ia berlari-lari dengan tangan terbuka. Bob menghentikan kudanya melompat ke tanah, lalu memeluk ibunya. Teriak Bob itu kedengaran orang yang ada di dalam rumah. Pintu rumah dibuka orang dan segera tampillah seseorang yang menyaksikan pertemuan ibu dan anak itu tanpa bergerak sedikitpun. Orang itu berpakaian secara Indian, akan tetapi ia tidak memakai bulu burung rajawali dan tidak memakai tanda-tanda kebesaran, walaupun tampak dengan nyata bahwa ia seorang bangsawan Indian. Rambutnya yang panjang tersanggulkan di atas kepalanya, akan tetapi rambut itu jatuh ke bawah sampai ke punggungnya. Pada lehernya tergantung sebuah kantong jimat yang sangat indah, sebuah pipa perdamaian dan tiga buah kalung daripada kuku dan gigi beruang grizzly yang berasal dari beruang yang pernah dibunuhnya. Kulitnya berwarna kuning coklat. Orang itu ialah Winnetou, ketua suku Apache. Namanya di kenal orang di mana-mana dan sudah menjadi buah bibir di daerah Barat. Setiap orang mengenal sifat dan perangainya; ia terkenal sebagai orang yang jujur yang setia, yang cerdik lagi gagah berani. Ia adalah sahabat dan pelindung daripada setiap orang yang memerlukan pertolongan, baik orang kulit putih maupun orang kulit merah. Sebaliknya ia adalah musuh dan lawan daripada setiap orang yang berperangai jahat dan bersikap tidak jujur. Setiap orang akan merasa berbahagia apabila ia dapat menyebut orang ini sahabatnya! Sementara itu saya mendekat dengan perlahan-lahan. Winnetou mendengar bunyi depak kuda saya. Ia menoleh serta melihat saya. Wajahnya tidak berubah, badannya tidak bergerak, akan tetapi matanya bersinar-sinar dan berseri-seri. Saya turun dari kuda saya. Kami berpeluk-pelukan. Kemudian Winnetou memegang kedua belah tangan saya, mundur selangkah serta melayangkan pandangnya ke seluruh tubuh saya sambil berkata: “Saudara saya Shatterhand masih tetap sehat, segar dan kuat seperti sediakala. Adakah Anda mendapatkan surat saya di Sierra Madre?” Saya menjawab: “Saudara saya Winnetou sudah menyegarkan hati saya lagi. Sudah lebih daripada empat bulan lamanya kita tidak berjumpa. Di Sierra saya telah mendapatkan surat Anda pada batang pohon tahun. Surat itu sudah saya baca dan kini saya datang kemari dengan tigaratus orang Apache, dipimpin oleh Pintschar Ko yang gagah berani, yang sebentar lagi akan menyerahkan pimpinan itu kepada Anda. Bloody Fox tidak ada di rumah?” “Setiap hari ia keluar mengelilingi hutan kaktus untuk menyongsong Anda. Kini ia sedang keluar dan… ha, lihatlah itu!” Ia segera berhenti berbicara sambil menunjuk ke arah dari mana saya tadi datang. Saya melihat beberapa orang menunggang kuda, di antaranya Old Surehand, Old Wabble, Parker, Hawley dan Entschar Ko. Di depan mereka berjalan Bloody Fox, berpakaian sebagai vaqueros Mexico. Ia tidak memakai ikat pinggang, melainkan
membelitkan sebuah selempang merah yang disimpulkannya di sebelah kiri. Pada selempang itu saya melihat sebuah pisau bowie dan dua buah pistol yang bertatahkan perak. Ia memakai topi sombrero dan di atas lututnya ia memegang sebuah bedil Kentucky yang berlaras dua. Di sebelah kiri dan kanan pelananya ada tergantung dua buah kelopak kulit yang melindungi kakinya terhadap tusukan tombak dan panah. Walaupun ia bermisai, namun usianya belum lebih daripada duapuluh tahun. Wajahnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang muda yang baik hati, yang berbudi sabar dan berperangai riang gembira. Sungguhpun begitu Bloody Fox ini ialah anak muda yang di kenal orang di daerah padang prairi sebagai Avenging Ghost, hantu pembalas, yang seluruh pelurunya selalu mengenai setiap perampok padang pasir tepat di tengah-tengah dahinya. Fox melompat dari atas punggung kudanya, lalu berlari-lari ke arah saya dengan mengulurkan tangannya. Setelah ia berjabatan tangan dengan saya dan menyampaikan ucapan selamat datang, maka ia berpaling kepada Winnetou: “Sekali ini saya telah mendapatkan apa yang saya cari. Yang saya dapati bukan saja prajurit-prajurit Apache, melainkan ada juga beberapa orang yang sangat masyhur yang dibawa oleh saudara Shatterhand kemari. Dapatkah Winnetou menerka siapa orang-orang itu?” Ketua suku Apache itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian Fox memperkenalkan teman-teman saya: “Ini Old Surehand, seorang daripada pemburupemburu orang kulit putih yang paling masyhur. Ia datang ke daerah ini sengaja untuk berkenalan dengan ketua suku Apache dan di tengah jalan secara kebetulan sekali ia berjumpa dengan Old Shatterhand.” Kini kedua orang itu berhadapan muka. Mereka pandang-memandangi: kemudian Winnetou mengulurkan tangannya yang segera dijabat oleh Old Surehand. Winnetou berkata: “Barangsiapa dibawa oleh Shatterhand ke mari maka ia saya sambut dengan segala senang hati. Nama Anda tidak asing lagi bagi saya; kini saya merasa berbahagia dapat bertemu muka dengan Anda.” Old Surehand menjawab dengan beberapa perkataan saja. Saya melihat bahwa ia memandang Winnetou dengan rasa hormat. “Dan ini,” demikian Bloody Fox melanjutkan perkataannya. “Ini adalah Old Wabble, raja cowboy. Ia sudah menolong Old Shatterhand dan Old Surehand membebaskan Bob.” Dengan tersenyum Winnetou mengulurkan tangannya sambil berkata: “Nama Old Wabble pun tidak asing bagi ketua suku Apache. Old Wabble terkenal sebagai orang yang sangat cerdik, sebagai pengendara kuda yang ulung dan sebagai orang yang gemar sekali merokok sigaret.” Muka cowboy tua itu bersinar-sinar, akan tetapi baru saja ia mendengar perkataan Winnetou yang paling akhir itu maka dahinya berkerut dan iapun berseru: “Thunderstorm, itu benar sekali! Akan tetapi sudah berbulan-bulan lamanya bibir saya tidak pernah menyentuh sigaret. Ya, siapa membawa sigaret ke daerah yang terpencil ini?” Kemudian Bloody Fox memperkenalkan Parker dan Hawley yang kedua-duanya disambut oleh Winnetou dengan ucapan selamat datang. Bloody Fox baru saja menyelesaikan perjalanannya mengelilingi hutan kaktus untuk menyongsong saya dan orang-orang Apache. Ketika saya dan Bob pergi ke sebelah Timur maka Fox berjalan dari sebelah Utara ke Selatan melalui sebelah Barat. Di sana ia menjumpai orang-orang Apache beserta teman-teman saya orang kulit putih. Orang-orang kulit putih itu segera mengatakan nama mereka, lalu mereka dipersilahkan oleh Bloody Fox untuk mengikuti dia ke rumahnya.
Banyak sekali yang hendak saya ceriterakan kepada Winnetou dan Fox; demikian pula mereka berdua ingin sekali bercakap-cakap dengan saya. Akan tetapi kami tidak sempat berbuat begitu, sebab kami harus segera menaruh perhatian kepada soal orang Comanche. Bob dan Sanna membawa kuda kami ke kolam air untuk memberi mereka minum. Kami hendak masuk ke rumah untuk berunding. Di ruang muka kami melihat sebuah meja dan dua buah bangku, semuanya terbuat daripada papan kayu yang kasar. Kami duduk di atas bangku itu. Fox masuk ke rumahnya untuk menyiapkan hidangan. Walaupun hidangan itu sangat lezat dan minuman yang diberikan kepada kami sangat sejuk, namun perhatian teman-teman saya hanya tertarik oleh alam di luar rumah. Mereka melihat dengan keheran-heranan betapa indahnya firdaus di tengah-tengah gurun pasir itu! Di muka rumah itu ada sebuah kolam yang garis-tengahnya kirakira delapanpuluh langkah panjangnya. Kolam itu penuh berisi air yang bening dan jernih. Di atas air itu beterbangan pelbagai jenis capung yang mengejar-ngejar serangga. Di tepi kolam itu kuda kami sedang makan jenis rumput yang halus, lunak dan segar. Dekat pada kolam itu kami melihat pelbagai jenis pohon-pohonan; ada pohon palma, ada pohon buah-buahan seperti pohon amandel; pohon jeruk dan sebagainya. Di sebelah kanan rumah itu ada sebuah padang jagung yang melurus sampai ke belakang rumah. Beberapa ekor burung kakatua sedang bertengkar memperebutkan butir jagung. Rumah Bloody Fox sebenarnya tidak seberapa besar, akan tetapi cukup besar untuk keperluan Bloody Fox. Pekarangan rumah Fox ini cukup luasnya dan karena Fox membuat saluran ke segala jurusan untuk mengalirkan air kolam itu ke pekarangannya, maka dapatlah ia berkebun dan segala yang ditanamnya tumbuh dengan subur, sehingga hasilnya lebih dari mencukupi untuk memenuhi segala kebutuhan Bloody Fox dan dua orang temannya. Old Surehand, Old Wabble, Parker dan Hawley telah mendengar dari mulut saya betapa indahnya tempat ini, akan tetapi apa yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri melebihi dugaannya. Mereka memuji-muji Bloody Fox. Tuan rumah itu akhirnya mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah untuk melihat isinya. Pintu depan ditumbuhi dengan pelbagai tumbuh-tumbuhan yang merambat. Keempat dinding kamar yang kami masuki itu terbuat daripada rumput kering yang diperkuat dengan lumpur yang berasal dari kolam tadi. Atap rumah terjadi daripada anyaman rumput juga. Lantai kamar itu ditutupi dengan kulit beruang. Pada sebuah dinding tergantung pelbagai jenis senjata api. Beberapa buah peti dipergunakannya sebagai lemari. Di sana kami melihat sebuah meja dengan beberapa buah kursi semuanya buatan Fox sendiri. Perhiasan yang paling indah ialah sebuah tengkorak bison putih yang sangat tebal mulutnya. Inilah “pakaian” Avenging Ghost. Apabila Fox pergi ke padang pasir untuk menghukum “stakemen” (yaitu penyamun dan perampok orang kulit putih, yang menyesatkan dan membunuh musafir yang tidak bersalah), maka selalu ia mengenakan pakaian itu. Karena itulah maka ia selalu dilukiskan orang sebagai hantu Llano Estacado yang bertubuh bison putih! Sebelah-menyebelah tengkorak bison putih itu ada kami lihat pisau dalam jumlah yang besar. Itulah senjata yang dirampasnya daripada stakemen yang telah dibunuhnya dengan tembakan yang tepat mengenai tengah-tengah dahi mereka. Di kamar itu ada pula tiga buah tempat tidur yang terjadi daripada kulit beruang yang diikatkan pada tiang. Di bawah tempat tidur Bloody Fox ada sebuah lubang di mana ia menyimpan peti yang berisi mesiu. Di tembok sebelah utara ada tergantung beberapa kantong air. Kantong air itu selalu dibawanya apabila ia pergi ke padang pasir untuk menyelamatkan musafir yang tersesat. Demikianlah lukisan “pulau di padang pasir” dan rumah yang berdiri di tengah-
tengah pulau itu. Belum sempat kami berunding maka kami dipersilahkan makan di luar. Makanan itu lezat sekali dan kamipun sangat lapar, akan tetapi walaupun begitu kami makan dengan cepat agar segera dapat memulai perundingan. Sebelum itu Bloody Fox masuk ke rumah dan segera kembali membawa sebuah kotak yang terbuat daripada karton. Kotak itu diberikannya kepada Old Wabble sambil berkata: “Mr. Cutter, ini untuk Anda, karena saya menghendaki agar tamu-tamu saya merasa senang di rumah saya.” Old Wabble menerima kotak itu dan ditimbang-timbangnya di atas telapak tangannya. Kemudian ia berkata: “Bagaimana saya akan merasa senang dengan kotak ini? Apakah isinya?” “Bukalah dan lihatlah isinya.” Old Wabble membuka tutup kotak itu lalu… memekik kegirangan. “Astaga! Sigaret, sigaret! Tuan-tuan, ini sigaret! Banyak sekali, saya kira ada limapuluh batang! Ini Anda berikan semuanya kepada saya, Mr. Fox?” “Ya.” “Semuanya? Limapuluh batang? Thunderstorm! Anda adalah anak muda yang sangat dermawan, orang yang sangat mulia! Ke marilah, Anda akan saya peluk.” Benar-benar Bloody Fox dipeluknya. Kemudian ia mengambil sebatang sigaret yang segera disununya (dinyalakan?). Asap sigaret itu dikepul-kepulkannya dengan segala kesenangan. Sesungguhnya sudah sewajarnya ia mengedarkan kotak sigaret itu untuk mengajak teman-temannya merokok juga; akan tetapi ia tidak berbuat begitu, oleh karena sedemikian gemar ia mengisap rokok sehingga tak sampai hati ia membagi-bagi rokok itu dengan teman-temannya. Winnetou memandang saya dengan tersenyum; ia tidak dapat mengerti, bahwa ada orang yang sebesar itu nafsunya sehingga ia melupakan kesopanan.
PERCAKAPAN DENGAN SCHIBA BIGK
Angin padang pasir yang panas itu sudah mulai reda. Matahari sudah mengayun. Hari terang cuaca dan tidak lama kemudian kami dapat melihat matahari terbenam sebagai bola merah. Apakah yang besok akan disinari oleh matahari itu di daerah padang pasir ini? Semuanya itu memenuhi hati kami. Kini kami mulai berunding. Lebih dahulu saya menceriterakan kepada Winnetou apa yang telah saya alami sejak kedatangan saya di Sierra Madre. Oleh karena ceritera saya itu meliputi pengalaman teman-teman saya juga, maka untuk memperoleh gambaran yang jelas tak usahlah Winnetou menanyai teman-teman saya lagi. Setelah saya selesai, maka ia berkata: “Jadi Vupa Umugi ada membawa seratus limapuluh orang prajurit di Saskuan Kui.” “Semuanya ada seratus limapuluh empat orang. Jumlah itu harus dikurangi dengan enam, sebab Pisau Panjang telah membunuh enam orang Comanche di Altschese Tschi.”
“Nale Masiuv akan memperkuat mereka dengan seratus orang prajurit?” “Dari jumlah itu banyak yang terbunuh atau kena luka. Akan tetapi ia telah mengirimkan dua orang utusan untuk mengambil seratus orang prajurit lagi.” “Berapa orang prajurit yang dibawa oleh Schiba Bigk?” “Duapuluh orang.” “Dengan demikian maka kita akan menghadapi kira-kira tigaratus orang musuh. Di luar pekarangan ml kita telah menyediakan prajurit Apache yang kira-kira sama besar jumlahnya. Dengan demikian maka kita sudah setanding dengan mereka.” “Bukan hanya setanding saja!” seru Old Wabble. “Bahkan kita lebih unggul daripada mereka. Saya telah melihat prajurit-prajurit Apache: mereka bersenjata lengkap dan mereka sudah terlatih baik sekali. Duaratus orang Apache dapat mengalahkan tigaratus orang Comanche dengan mudah. Lagi pula pasukan Apache itu masih diperkuat dengan beberapa orang kulit putih. Winnetou, Old Shatterhand dan Old Surehand saja sudah dapat mengacau-balaukan sepasukan musuh. Fox, Parker, Hawley dan saya tidak usah disebut-sebut lagi. Biarkanlah mereka datang! Mereka akan kita tembak semuanya sehingga tak seorangpun akan dapat melihat kembali wigwamnya.” Winnetou menatap muka Old Wabble dengan pandang yang mengandung kesungguhan serta menjawab: “Saya tahu, bahwa saudara saya orang kulit putih adalah musuh daripada sekalian orang kulit merah. Ia memandang orang Indian sebagai pencuri, perampok dan pembunuh. Ia lupa bahwa orang kulit merah itu hanya mengangkat senjatanya untuk melindungi hak miliknya atau membalas segala kejahatan yang telah dilakukan terhadapnya. Old Wabble belum pernah memberi ampun kepada orang kulit merah yang jatuh ke tangannya. Ia sudah terkenal di daerah Barat ini sebagai pembunuh Indian, akan tetapi apabila ia menggabungkan diri dengan Old Shatterhand dan Winnetou, maka ia hendaknya mengubah perangainya. Kalau tidak, maka kami akan terpaksa berpisah dengan dia. Kami adalah sahabat dari segala orang kulit merah dan orang kulit putih dan apabila kami menghadapi musuh, maka kami tidak memandang warna kulitnya. Seberapa dapat musuh itu akan kami kalahkan tanpa menumpahkan darah. Old Wabble menyebut dirinya seorang Kristen, akan tetapi mengapa ia gemar sekali menumpahkan darah. Adakah itu sesuai dengan ajaran agama Kristen?” Orang Apache yang biasanya suka berdiam diri itu kini berpidato dengan panjang lebar. Itu adalah bukti bahwa ia menaruh simpati kepada Old Wabble. Cowboy tua itu menundukkan kepalanya. Akhirnya ia mengangkat kepalanya lagi lalu berkata: “Orang kulit merah yang sampai kini saya jumpai adalah bajingan semuanya.” “Itu saya sangsikan. Dan sekiranya itu benar, maka siapakah yang membuat mereka menjadi bajingan?” “Bukan saya.” “Bukan Anda? Mereka itu menjadi bajingan karena tingkah laku orang kulit putih. Bukankah Old Wabble orang kulit putih juga?” “Ya, itu betul. Dan saya kira saya adalah orang kulit putih yang tidak usah merasa malu memandang orang yang jujur!” “Tetapi saya mengira, bahwa sebenarnya jauh lebih baik bagi orang kulit merah sekiranya mereka tidak melihat Anda! Kata Anda, semua orang Comanche harus ditembak mati. Saya berpendapat bahwa seberapa boleh jangan kita membunuh seorangpun. Tiadakah saudara saya Old Shatterhand sependapat dengan saya?”
“Sama sekali,” jawab saya. “Anda tahu, bahwa saya sependapat dengan Anda.” Old Wabble masih juga mencoba membela diri. “Akan tetapi mereka hendak menyerang Bloody Fox dan kita harus menolong tuan rumah kita. Bukankah itu hanya dapat kita jalankan apabila kita memberi perlawanan?” “Kita dapat memberi perlawanan dengan pelbagai cara, Mr. Cutter,” jawab saya. “Biarkanlah Winnetou berbicara, maka Anda akan mendengar bahwa tanpa mempergunakan kekerasan kita dapat menghalang-halangi rencana orang-orang Comanche itu Saya tahu beberapa akal yang lain.” “Ya, Anda akan mempergunakan akal Anda, yaitu tipu muslihat Anda yang sudah masyhur itu!” Jawabnya itu diucapkannya dengan lagak mengejek. Karena itu tidak dapat saya setujui. Akan tetapi tak usah saya mengecam dia, karena pada saat itu Parker menyela. “Saya kira lebih baik Anda berdiam diri saja, Old Wabble! Anda melihat bahwa sayapun tidak membuka mulut saya. Jikalau Mr. Shatterhand dan Winnetou sedang berbicara, saya kira tidak ada gunanya orang lain memperdengarkan pendapatnya apabila pendapat itu tidak diminta. Anda sudah lebih daripada sepuluh kali berjanji akan menurut kehendak Mr. Shatterhand. Apabila Anda tidak mau menepati janji Anda, maka akan kita lakukan apa yang sudah seringkali kita katakan: kita pergi dan Anda kita tinggalkan di sini!” Istilah “kita tinggalkan” yang sudah pernah saya katakan sekali saja, kini ruparupanya sudah menjadi pemeo. Mendengar Parker mengucapkan perkataan itu maka Old Wabble menjadi marah sekali. Ia berseru: “Tutup mulutmu! Pendapat Anda tidak diminta. Jikalau saya tidak boleh berbicara, maka sudah pasti Anda harus berdiam diri! Saya belum pernah menerima seekor kijang sebagai hadiah dan mengatakan bahwa saya telah menembaknya!” “Dan saya belum pernah menggantang asap, tetapi sungguhpun begitu belum pernah pula saya menjalankan perbuatan yang bodoh seperti yang Anda lakukan di Saskuan Kui, di mana Anda….” “Cukup,” demikian saya menyela, “jangan kita bertengkar mulut tentang perkaraperkara yang remeh. Masih banyak soal-soal yang lebih penting menantikan keputusan kita. Perundingan kita tadi terputus. Kita telah mengetahui bahwa kita mempunyai pasukan yang sama besarnya dengan pasukan orang Comanche. Kekuatan kita setanding dengan kekuatan orang-orang Comanche. Old Wabble tidak salah ketika ia mengatakan bahwa kita lebih unggul. Akan tetapi saya tidak setuju bahwa kita adalah pahlawan yang tak terkalahkan oleh orang kulit merah. Kita lebih unggul oleh karena kita dibantu oleh tigaratus orang prajurit Apache yang semuanya berkumpul di sini, padahal orang Comanche telah memecah pasukan mereka menjadi pasukan-pasukan kecil. Lagi pula musuh kita berhadapan juga dengan tentara kavaleri orang kulit putih.” “Pendapat saudara saya selalu tepat,” ujar Winnetou. “Schiba Bigk akan datang lebih dahulu dengan pasukan kecil yang akan menyerang rumah ini beserta penghuninya dan akan memancangkan tonggak di tanah pasir. Kemudian menyusul Vupa Umugi untuk mengubah tempat tonggak itu dan membawa serdadu-serdadu kulit putih ke tempat di mana mereka akan mati kehausan. Serdadu-serdadu kulit putih itu akan diikuti dari belakang oleh pasukan Nale Masiuv, yang akan menghalanghalangi mereka balik ke tempat asal mereka. Tugas kita yang pertama ialah mengepung pasukan Schiba Bigk serta mengalahkan mereka tanpa menumpahkan darah. Saya kira Old Shatterhand dapat menyetujui perkataan saya.”
“Dengan segala kerelaan hati,” jawab saya. “Saya kira jumlah pasukan Schiba Bigk tidak lebih daripada limapuluh orang. Jikalau pasukan kecil itu dikepung oleh tigaratus orang prajurit Apache, maka mereka akan insaf bahwa tidak ada gunanya sama sekali mereka memberi perlawanan.” Walaupun Old Wabble telah beberapa kali menerima teguran, namun ia tak dapat menutup mulutnya. Ia berkata: “Betulkah jumlah pasukan itu hanya limapuluh orang?” “Anda lupa bahwa orang-orang Comanche tidak tahu bahwa kita ada di sini. Mereka menyangka hanya akan berhadapan dengan penghuni waha ini.” “Hm, ya, itu mungkin. Akan tetapi mengepung pasukan itu bukanlah pekerjaan yang semudah Anda kira.” “Pekerjaan itu mudah sekali. Mereka harus kita giring dan kita desak ke hutan kaktus, di sana mereka akan terjepit sehingga tak akan dapat lolos. Tak perlu kita membuat lingkaran bulat; setengah lingkaran saja sudah cukup. Jikalau mereka tidak gila, maka mereka akan insaf bahwa mereka tak akan dapat memberi perlawanan.” “Bagaimana kalau mereka memberi perlawanan juga?” “Dalam hal yang demikian saya akan berbicara dengan Schiba Bigk. Ia sudah berhutang budi kepada saya. Ia pernah menjadi tamu Fox dan pada ketika itu ia telah memberikan janjinya tidak akan membuka rahasia waha ini. Itu sudah cukup untuk memaksa dia mendengarkan perkataan saya.” “Mudah-mudahan Anda tidak akan salah sangka. Anda mengetahui sendiri bagaimana ia memegang janjinya. Ia berjanji tidak akan membuka rahasia waha ini, akan tetapi ia hendak membawa tigaratus orang prajurit Comanche kemari! Mudah-mudahan tak usah terlalu lama kita menunggu kedatangannya.” “Besok malam ia akan datang.” “Dan kita akan mengepung dia pada malam hari?” “Barangkali mungkin juga pada siang hari. Makin lekas ia datang, makin lekas juga kita dapat mengepung dia.” “Tetapi kita harus mengetahui dengan tepat bilamana ia datang. Jadi kita harus mengirimkan mata-mata yang akan pergi mengintai.” “Itu kesalahan yang besar sekali, sebab jejak pengintai itu akan menimbulkan kecurigaan mereka.” “Hm. Tetapi bagaimana kita dapat mengetahui adakah mereka sudah datang dan bilamana….” Di sini Winnetou memenggal perkataan Old Wabble. “Saudara tua saya boleh percaya bahwa Old Shatterhand tahu apa yang dikatakannya dan apa yang diperbuatnya. Schiba Bigk sudah pernah datang kemari. Dari sini ia langsung pergi ke Gutesnonti Khai. Kini ia ada di tempat itu juga untuk membuat tonggak yang akan dipancangkannya di tanah pasir. Ia akan mengambil jalan yang ditempuhnya juga dahulu. Kita harus menyongsong dia, akan tetapi memilih jalan menyisi yang sejajar dengan jalan itu. Dengan demikian kita akan melihat dia dan tak dapat dilihatnya. Jikalau dia sudah lalu, maka kita berbalik dan akan kita giring dia ke hutan kaktus yang tidak dapat dilintasinya. Di sana mereka akan kita tangkap. Saya rasa bahwa itulah yang dimaksud oleh saudara Shatterhand.” “Ya. Itulah rencana saya,” jawab saya.
Sampai sekian Bloody Fox berdiam diri saja. Kini ia mengangkat bicara: “Saudara saya Winnetou mau kiranya memperkenankan saya memajukan pertanyaan. Schiba Bigk akan bersikap hati-hati supaya tidak terlalu pagi kedatangannya diketahui oleh penghuni rumah ini. Dan jikalau kita menyisi, lalu mengambil jalan yang sejajar dengan jalan yang akan ditempuh oleh Schiba Bigk, maka kita tak boleh terlalu mendekat supaya tidak akan dilihat oleh pasukan orang Comanche itu. Tidak adakah kemungkinan bahwa mereka akan lalu dengan tiada kita lihat?” “Tidak.” “Akan tetapi di padang pasir ini tidak ada jalan yang dapat kita sebut sebenar jalan. Yang dikatakan jalan itu sebenarnya tak lain daripada arah belaka. Oleh karena padang pasir ini luas sekali, maka saya kira ada pula kemungkinan bahwa orang akan menyimpang dari arah yang tepat. Tiadakah mungkin bahwa Schiba Bigk akan menyimpang juga dan dengan demikian justru akan terbentur pada kita?” “Tidak. Barangkali saudara saya Old Shatterhand mau menerangkan kepada saudara saya Fox, apa sebabnya maka saya menjawab dengan tidak.” Fox berpaling kepada saya dengan pandang yang mengandung pertanyaan; teman-teman saya yang lain berbuat begitu juga. Karena itu saya memberi keterangan: “Orang kulit putih dapat menyimpang dari arah yang tepat, orang kulit merah tidak. Orang kulit merah mempunyai bakat dan kecakapan untuk mengetahui arah yang tepat. Dalam hal itu ii seperti burung yang dari jarak berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus mil, dapat menemukan sarangnya. Dalam pada itu saudara saya hendaknya jangan lupa bahwa pasukan pertama orang Comanche ini mempunyai tugas yang lain pula, yaitu memancangkan tonggak di tanah pasir. Oleh pekerjaan itu maka mereka akan lengah terhadap kemungkinan akan menjumpai musuh. Saya percaya bahwa mereka akan jatuh ke tangan kita. Maka mereka tidak akan kita bawa ke rumah ini, melainkan kita ikat di luar hutan kaktus dan di sana kita jaga baikbaik sampai semuanya selesai.” “Dan akan kita apakan tonggak-tonggak itu? Dulu ada dikatakan bahwa tonggaktonggak itu akan kita ubah tempat dan arahnya.” “Itu akan kita lakukan juga supaya Vupa Umugi sesat.” “Ke mana?” “Hm, ke suatu tempat di mana dapat kita kepung dengan mudah. Hutan kaktus ini letak dan bentuknya sudah sedemikian berubah sejak saya meninggalkannya paling akhir, sehingga saya pada saat ini tidak dapat mengatakan di mana ada tempat yang serasi bagi maksud kita itu.” “Bolehkah saya memajukan usul? Kira-kira satu hari perjalanan di sebelah tenggara tempat ini ada sebuah hutan kaktus yang luas, di mana tanah pasir ini menjorok ke dalam bentuk segitiga. Kalau orang berjalan dengan perlahan-lahan maka untuk mencapai ujung tanah pasir yang menjorok itu orang memerlukan lebih kurang dua jam.?” “Masih muda atau sudah tua pohon-pohon kaktus itu?” “Bercampur; akan tetapi sangat lebat.” “Kalau begitu tak ada tempat yang lebih baik untuk maksud kita. Bagaimana pendapat saudara saya Winnetou?” Ketua suku Apache itu menganggukkan kepalanya, lalu menjawab dengan tenang: “Orang-orang Comanche akan kita giring ke sana.” “Nah, kalau begitu untuk hari ini perundingan kita sudah selesai. Selanjutnya
kita harus menantikan perkembangan lebih lanjut. Matahari sudah sampai ke kaki langit. Kita harus beristirahat supaya besok pagi segar kembali, demikian juga kuda kita.” Kami pergi memeriksa kuda kami dan memberi mereka apa yang mereka perlukan. Winnetou pergi ke anak buahnya yang berkemah di luar hutan kaktus. Mereka dibawanya masuk untuk memberi kuda mereka kesempatan minum dan makan. Kemudian kami pergi tidur di atas kulit binatang yang sudah disediakan oleh Ibu Sanna. Sebagian besar tidak dapat tidur dengan segera. Saya berbaring di sebelah Winnetou dan mendengarkan kisahnya tentang pengalamannya sejak kami berpisah. Saya mendengar Old Wabble dan Parker melanjutkan pertengkaran mulut mereka dengan berbisik-bisik. Di luar kami mendengar bunyi langkah orang Apache yang sedang memelihara kuda mereka. Ketika keesokan harinya pagi-pagi saya bangun, Winnetou sedang mencuci badannya di pinggir kolam. Sanna sibuk sekali menyiapkan sarapan kami. Teman-teman saya yang lain masih tidur, akan tetapi sebentar kemudian mereka sudah bangun semuanya. Prajurit-prajurit Apache datang lagi memberi kudanya minum serta mengisi kantong air mereka. Setelah kami selesai makan sarapan, maka kami keluar, pergi ke tempat perhentian prajurit-prajurit Apache. Sementara itu mereka sudah selesai juga makan sarapan. Kami sudah siap sedia. Sebagian dari pasukan Apache itu kami tinggalkan untuk menjaga dan melindungi waha. Bloody Fox tinggal bersama-sama dengan pasukan kecil itu. Maka kamipun berangkat. Kemarin kami datang dari arah Barat-daya. Kini kami berjalan ke arah Barat, sebab di sanalah letak Gutesnonti Khai. Kami sudah dapat menduga garis jalan mana yang akan ditempuh oleh pasukan Schiba Bigk. Kami menyisih kira-kira setengah mil Inggeris dari garis itu, lalu membelok mengambil jalan yang kirakira sejajar dengan garis jalan orang-orang Comanche. Karena hari terang cuaca, maka jarak setengah mil itu masih kami pandang terlalu dekat. Maka kami menjauh lagi kira-kira sampai jarak hampir satu mil. Dalam padang pasir yang terbuka itu orang dapat melihat sangat jauh. Dalam pada itu kami mempunyai keuntungan terhadap orang-orang Comanche, sebab Winnetou dan saya ada mempunyai teropong untuk melihat jauh. Setelah lewat tengah hari maka pasukan kami kami suruh menjauh lagi, sedangkan Winnetou, Old Surehand dan saya lebih mendekat. Dalam pada itu kami tidak berdekat-dekatan, melainkan mengambil jarak, akan tetapi sedemikian sehingga dengan berteriak kami dapat saling memanggil. Kira-kira pukul satu saya mendengar Winnetou berteriak. Ia melihat dengan teropongnya sambil melambai-lambaikan tangannya memanggil Old Surehand dan saya. Demi kami ada di dekatnya maka Winnetou berkata: “Di kaki langit sebelah sana ada seorang menunggang kuda yang tidak dapat kita lihat dengan mata biasa.” “Orang Indian?” tanya Old Surehand. “Itu belum dapat saya ketahui. Silahkan saudara saya melihat dengan teropong saya.” Old Surehand memasang teropongnya sambil mengikuti arah yang ditunjuk oleh Winnetou, Saya mempergunakan teropong saya. “Ya, itu seorang yang menunggang kuda,” ujar Old Surehand, “akan tetapi saya tidak pula dapat membedakan adakah ia orang kulit merah atau orang kulit putih.” “Orang kulit merah,” kata saya.
“Kalau begitu teropong Anda jauh lebih baik daripada teropong Winnetou.” “Bukan begitu. Sayapun tidak dapat membedakannya dengan nyata. Tetapi saya berani mengatakan bahwa ia adalah seorang Comanche, seorang prajurit dari pasukan Schiba Bigk, barangkali Schiba Bigk sendiri.” “Uf! Uf! Mengapa saudara saya mengira begitu?” “Ia tidak berjalan seorang diri. Saudara saya Winnetou boleh mengarahkan teropongnya ke arah dari mana penunggang kuda itu datang, jadi agak ke arah kiri sedikit. Di sana dapat Anda lihat lebih banyak penunggang kuda lagi. Dan di seberang mereka ada titik-titik kecil yang bergerak kian kemari; itu orang yang berjalan kaki. Tahukah saudara saya orang kulit merah mengapa titik-titik itu bergerak kian-kemari?” “Ya, berkat keterangan saudara Shatterhand tadi maka saya tahulah sebab itu. Mereka ialah orang-orang yang memancangkan tonggak di tanah pasir. Untuk dapat berbuat begitu mereka harus turun dari atas kudanya.” “Tepat! Old Surehand, Anda tahu bahwa di antara orang-orang Comanche itu hanya ada seorang yang mengetahui jalan ke waha Bloody Fox.” “Ya, Schiba Bigk,” jawab Old Surehand. “Ia bukan saja pemimpin mereka, melainkan bertugas sebagai penunjuk jalan juga. Karena itu maka saya tahu bahwa orang yang pertama kali kita lihat itu tadi dan yang berjalan di depan sekali tak lain daripada Schiba Bigk. Ia memelopori mereka, Sedang sekali-kali berhenti sampai ada tonggak terpancangkan. Lihatlah! Winnetou boleh memasang teropongnya lagi; ia akan melihat bahwa mereka yang berjalan kaki tadi kini sudah naik ke atas kudanya lagi. Mereka sudah selesai memasang tonggak, maka kini melanjutkan perjalanannya. Mereka berjalan cepat sekali; akhirnya tidak kelihatan lagi. Mereka menghilang ke arah sana.” “Dapatkah Anda menghitung jumlah mereka, Sir,” tanya Old Surehand kepada saya. “Tidak, akan tetapi saya kira jumlah mereka tidak lebih daripada limapuluh orang.” “Apa yang kita perbuat sekarang?” “Kita berjalan terus sebentar; nanti kita membelok ke arah Utara sampai menjumpai jejak mereka. Kemudian kita ikuti sampai kita memperoleh tempat yang serasi untuk mengepung mereka.” Kami menggabungkan diri dengan pasukan kami. Setelah mereka kami beritahu apa yang sudah kami lihat, maka kami melaksanakan rencana kami. Sepuluh menit kemudian kami sudah melihat jejak orang-orang Comanche itu. Jejak itu terang sekali: itu menandakan bahwa mereka merasa aman. Lain daripada jejak kuda kami melihat juga jejak manusia dan ada kami lihat di pasir garis-garis panjang yang ditimbulkan oleh tonggak yang diseretnya di belakang mereka. Kuda kami kami larikan dengan kencang sampai kami dapat melihat orang-orang Comanche dengan teropong kami. Kini kami memperlambat jalan kami. Jarak dari tonggak yang satu sampai tonggak yang lain kira-kira ada satu kilometer dan kalau orang-orang kulit merah itu melanjutkan pekerjaan itu dengan kecepatan dan irama yang sama, maka sebelum malam kita akan sampai ke hutan kaktus. Pada dugaan saya Schiba Bigk bermaksud menyerang penghuni waha itu pada malam hari. Bahwa kini ia akan dapat tiba di tempat Bloody Fox pada siang hari itu ruparupanya tidak mencemaskan ketua suku Comanche itu. Tentu ia mengira bahwa orang kulit putih belaka tidak akan dapat melawan limapuluh orang kulit merah. Saya berjalan antara Winnetou dan Old Surehand, mereka berdua berdiam diri. Di belakang kami kami mendengar Old Wabble bercakap-cakap dengan suara yang keras
sekali dengan Parker dan Hawley, Cowboy tua itu rupa-rupanya tidak dapat menutup mulutnya. Old Wabble membuat pelbagai perhitungan serta mengucapkan pelbagai pendapat dan dugaan tentang apa yang akan terjadi nanti. Teman-temannya menyangkal, akan tetapi cowboy tua itu menolak setiap sangkalan mereka. “Saya berpendapat,” demikian kata Old Wabble, “bahwa tak mungkin kita akan dapat menangkap bedebah-bedebah itu, jikalau kita tidak berbuat lebih bijaksana daripada sekarang. Sekiranya saya yang menjadi pemimpin pasukan ini dan mempunyai hak memberi perintah, maka saya tahu apa yang harus saya kerjakan. Saya tidak akan membuang waktu, melainkan akan memberi perintah mengejar mereka dan menembak mereka sampai prajurit yang terakhir.” “Ah, bodoh sekali Anda. Old Wabble! Orang-orang Comanche itu akan mendengar kita datang dan mereka akan lari berpencaran.” “Apa! Mereka akan kita susul dan kita tangkap.” “Bagaimana kita dapat menangkap semuanya, kalau mereka memencar. Jika ada seorang saja yang lolos, maka segala rencana kita akan gagal. Bukankah begitu Mr. Shatterhand?” Saya menoleh serta menjawab: “Ya. Tetapi biarkanlah Mr. Cutter berbicara sampai puas. Ia tidak dapat memahami maksud Winnetou. Karena itu tidak boleh ia kita kecam.” Cowboy tua itu memandang saya dengan pandang yang mengandung pertanyaan. Oleh karena ia tidak berani mengucapkan pertanyaannya, maka saya berkata lagi: “Winnetou tahu bahwa kira-kira satu jam perjalanan dari sini ada sebuah lembah kecil yang terletak di jalan ke waha. Lembah itu agak panjang dan dalam, sehingga barangsiapa ada di dalamnya tidak dapat melihat apa yang ada di pinggir lembah. Orang-orang Comanche itu akan kita biarkan berjalan sampai mereka masuk ke dalam lembah itu.” Kini Winnetou menyela: “Saudara saya memberi saya kehormatan yang tidak pada tempatnya, sebab rencana itu adalah rencananya sendiri. Itu telah dikatakannya kepada saya kemarin malam sebelum kami tertidur. Rencana itu saya setujui sepenuhnya. Orang-orang Comanche akan kita tangkap di dalam lembah itu.” “Anda tidak akan memperkenankan salah seorang dari mereka berbicara lebih dahulu?” Ketika saya mengucapkan pertanyaan itu, Winnetou berpaling kepada saya, lalu bertanya: “Saudara saya hendak menanya Schiba Bigk?” “Ya.” “Anda menduga bahwa ia mau mengatakan apa yang hendak Anda ketahui? Schiba Bigk masih muda, akan tetapi cerdik sekali. Saya tahu bahwa Old Shatterhand pandai menyusun kata-katanya dan cerdik sekali dalam menanya orang. Schiba Bigk tahu juga dan karena itu ia akan berdiam diri.” “Ia akan berbicara, sebab ia akan menyangka bahwa saya datang bukan sebagai musuh, melainkan secara kebetulan saja saya bertemu dengan dia. Saya akan masuk ke dalam lembah ini dari sebelah depan, supaya ia mengira bahwa saya baru datang dari rumah Bloody Fox. Tentu ia akan menyangka juga bahwa saya tidak melihat jejaknya dan tidak mengetahui apa maksudnya. Ia akan menduga bahwa ia dapat menangkap saya dengan mudah. Karena itu ia akan lengah dan tidak terlalu mengindahkan kata-kata yang diucapkannya. Dengan demikian maka ada kemungkinan
besar saya akan dapat mendengar apa yang hendak saya ketahui.” “Saya mengerti. Apa gunanya saudara mencari bahaya? Apa yang hendak didengarnya sekarang dapat didengarnya juga besok tanpa mengambil risiko.” “Saya kira lebih besar manfaatnya apabila keterangan itu saya peroleh sekarang. Dan soal bahaya, saudara saya Winnetou bukankah sudah tahu bahwa saya tidak pernah memasuki sesuatu bahaya tanpa saya pikirkan masak-masak lebih dahulu.” “Sudahkah Anda pikirkan pula bahwa apabila orang-orang Comanche itu melihat kami, maka mereka akan mempergunakan Anda sebagai sandera.” “Itu tidak saya lupakan; saya mempunyai perisai yang dapat saya pergunakan untuk menangkis segala serangan. Perisai itu ialah Schiba Bigk.” “Uf, uf! Saya insaf bahwa saya tidak perlu memberi peringatan kepada saudara saya orang kulit putih. Saya tidak merasa cemas.” “Saya akan merundingkan dengan Anda siasat yang harus kita jalankan. Lembah itu memanjang dari Barat ke Timur. Anda melihat bahwa orang-orang Comanche itu sudah masuk ke dalam lembah, maka pasukan kita ini hendaknya Anda bagi dalam empat bagian yang segera berpisah. Bagian pertama berjalan cepat-cepat mengeliling ke arah Timur. Di sana mereka harus menjaga ujung lembah itu. Old Surehand memimpin bagian yang kedua; tugasnya ialah menjaga tepi Selatan. Entschar Ko membawa bagiannya ke tepi sebelah Utara. Old Wabble memimpin bagian yang keempat, yang akan menjaga tempat masuk lembah ini. Dengan demikian maka musuh kita sudah terkepung dari segala pihak. Tentu saja hendaknya Anda jaga jangan sampai mereka dapat melihat Anda. Sekiranya Anda mendengar letusan bedil-pembunuh-beruang saya, maka hendaknya Anda sekalian menampakkan diri. Saya yakin bahwa tidak seorangpun akan dapat lolos. Dapatkah saudara saya orang kulit merah menyetujui rencana ini?” “Ya,” jawabnya dengan singkat. Old Surehand rupa-rupanya masih menaruh keberatan. Ia berkata: “Maaf, Sir, bahwa saya memberanikan diri untuk menyela. Bukankah Anda mengambil risiko yang terlalu besar? Apa daya Anda terhadap peluru musuh?” “Saya akan mengelak.” “Sir, mudah sekali mengatakannya, akan tetapi menjalankannya…? Yakinlah bahwa kepercayaan saya terhadap Anda tidak terhingga, akan tetapi demikian besar sayang saya kepada Anda, sehingga…” Winnetou segera menyela: “Winnetou tidak kurang sayangnya kepada Old Shatterhand, akan tetapi Winnetou membiarkan dia menjalankan rencananya. Saudara saya Old Surehand hendaknya jangan merasa khawatir; empat mata akan mengamat-amati dan melindungi Old Shatterhand, yaitu mata Anda dan mata saya.” “Dan mata saya juga,” seru Old Wabble dengan berlagak. Ia merasa bangga telah saya beri tugas memimpin sebagian dari pasukan kami dan ia sudah membulatkan hatinya untuk mematuhi segala perintah. “Awas, bedebah-bedebah orang kulit merah itu, sekiranya berani menyentuh badan Anda; peluru saya akan merebahkan mereka. It’s clear!” Pernyataan yang jantan itu perlu saya koreksi sedikit. Saya berkata:
“Ingat-ingat. Mr. Cutter! Jangan Anda berbuat terlalu gegabah atau terlalu tergesa-gesa. Jikalau Anda sekarang saya beri tugas yang bertanggung-jawab, maka itu mempunyai maksud yang tertentu, yakni untuk mengetahui adakah Anda sanggup menjalankan sesuatu tugas sesuai penuh dengan perintah. Jikalau sekali ini Anda mengecewakan saya lagi, maka yakinlah bahwa Anda selanjutnya tidak akan saya beri tugas lagi.” “Maksud Anda sudah cukup jelas bagi saya. Saya akan mematuhi segala perintah Anda.” “Itu baik. Sekarang saya akan minta diri, supaya dapat saya sampai ke ujung lembah ini pada waktu yang tepat.” Saya membelok ke kanan, lalu memacu kuda saya sampai binatang itu berlari sekuat-kuatnya. Demi saya mengira bahwa orang-orang Comanche itu tidak akan dapat melihat saya maka saya membelok ke kiri dan berjalan cepat-cepat ke arah ujung lembah. Kemudian ternyata bahwa perhitungan saya tepat sekali. Ketika saya kira-kira sudah ada di tengah-tengah lembah, maka saya melihat orang-orang kulit merah itu masuk. Mereka tidak memancangkan tonggak pada jalan masuk lembah; karena itu maka mereka tak usah berhenti, melainkan berjalan cepat-cepat ke arah saya. Betapa herannya demi mereka melihat saya! Saya menghentikan kuda saya dan berbuat seakan-akan sayapun heran menjumpai orang-orang kulit merah itu. Saya mengangkat bedil saya. Mereka pun mengangkat senjatanya dan dengan segera mengepung saya. Kemudian saya turunkan bedil saya dan mengancam: “Berhenti! Barangsiapa hendak menghalang-halangi saya, akan saya tembak! Prajurit-prajurit Indian dari suku manakah….” Saya tidak menyelesaikan perkataan saya, melainkan dengan tercengang-cengang memandang muka ketua suku. “Uf! Uf! Old Shatterhand!” katanya dengan heran sambil ia menghentikan kudanya. “Hai, mungkinkah itu?” seru saya, “Schiba Bigk, ketua suku Comanche yang gagah perwira.” “Ya,” jawabnya. “Adakah Old Shatterhand dibawa angin ke savanna ini? Prajuritprajurit orang Comanche mengira bahwa ia tidak ada di daerah ini.” Saya tak berhenti-henti memandang dia, sampai akhirnya ketua suku itu tidak tahu dengan lagak apa semestinya ia menegur saya. Dahulu kami adalah sahabat. Saya masih mempunyai hak penuh menuntut persahabatan dari dia. Tetapi kini terpaksa menjadi musuh saya. “Siapa yang mengatakan kepada saudara saya orang kulit merah, bahwa saya tidak ada di daerah ini?” jawab saya. Ia membuka mulutnya, barangkali hendak mengatakan bahwa itu didengarnya dari Vupa Umugi, akan tetapi sekonyong-konyong berubah pikirannya dan ia menjawab: “Seorang pemburu kulit putih mengatakan kepada saya bahwa ia bertemu dengan Old Shatterhand di daerah Barat yang jauh letaknya dari daerah ini.” Ia berdusta. Pandangan prajurit-prajuritnya terarahkan kepada saya dan pandangan itu mengandung permusuhan. Saya berbuat pura-pura tidak mengetahuinya. Sayapun berbuat juga seakan-akan saya tidak pernah melihat mereka di Air Biru. Dengan tenang sekali saya turun dari atas kuda saya, lalu duduk serta berkata:
“Saya sudah pernah mengisap calumet persahabatan dengan Schiba Bigk, ketua suku Comanche. Hati saya senang sekali berjumpa dengan dia setelah sekian lamanya berpisah. Jikalau sahabat dan saudara bertemu muka, biasanya mereka bersalamsalaman dengan ramah-tamah. Adat istiadat orang Indian tidak memperkenankan kita menyimpang dari kebiasaan itu. Saudara saya orang kulit merah saya persilahkan turun dan duduk di sebelah saya agar saya dapat bercakap-cakap.” Pandang orang-orang Comanche itu kini mengandung ancaman. Mereka bersiap-siap untuk menyerang saya, akan tetapi Schiba Bigk memberi isyarat supaya mereka mundur. Air mukanya menunjukkan bahwa ia bersedia menuruti undangan saya. Ia bersedia berbicara dengan saya, dengan maksud untuk menanyai saya. Jadi ia mempunyai maksud yang sama dengan saya. “Kata-kata Old Shatterhand itu mengandung kebenaran,” katanya. “Apabila dua orang ketua suku yang bersahabat bertemu, mereka harus bersalam-salaman.” Ia lalu duduk berhadapan dengan saya. Demi prajurit-prajuritnya melihat perbuatannya, maka merekapun turun, lalu duduk mengelilingi kami. Dalam pada itu ada beberapa orang prajurit yang hendak duduk di belakang saya. Itu harus dihalang-halangi. Karena itu saya berkata dengan suara keras sehingga semuanya dapat mendengar: “Adakah di antara putera-putera Comanche yang bersifat pengecut sampai mereka tidak berani melihat muka Old Shatterhand? Saya tidak percaya. Lagi pula saya tidak suka bersikap tidak sopan dengan menghadapkan punggung saya kepada seorang prajurit yang gagah berani.” Akal saya itu berhasil. Mereka duduk dalam setengah lingkaran; semuanya dapat saya amat-amati. Mereka mengurungkan maksudnya untuk menyerang saya. Saya tidak berteman dan mereka yakin bahwa saya sudah jatuh ke tangan mereka. Saya mengambil pipa perdamaian saya dari kalung leher saya, lalu saya isi dengan tembakau seraya berkata: “Saudara saya Schiba Bigk boleh mengisap calumet dengan saya, supaya saya dapat mengetahui bahwa Old Shatterhand masih dipandangnya sebagai sahabat.” Ia mengangkat tangannya untuk menunjukkan bahwa ia menolak ajakan itu, lalu menjawab: “Schiba Bigk pernah merasa bangga mempunyai saudara kulit putih yang masyhur, akan tetapi ia ingin mengetahui adakah Old Shatterhand masih benar-benar sahabatnya?” “Mengapa Anda sangsi?” tanya saya dengan heran. “Karena saya mendengar bahwa Old Shatterhand menjadi musuh orang Comanche. Bukankah Old Shatterhand telah mengunjungi Saskuan Kui? Apa maksud Anda datang ke sana?” “Tidak mempunyai maksud apa-apa. Saya kebetulan saja lalu di sana. Saya bermaksud hendak bermalam di sana untuk berjalan terus keesokan harinya.” “Jadi Anda tidak berbuat apa-apa di sana?” “Ya, ada. Saya melihat bahwa orang-orang kulit merah yang berkemah di sana telah menangkap seorang kulit putih. Orang kulit putih itu sudah saya bebaskan. Kemudian saya mendengar dari orang kulit putih itu bahwa orang-orang Comanche yang menawan dia itu adalah dari marga Naiini.” “Dengan kulit putih itu tidak berbuat apa-apa terhadap orang Comanche. Sekiranya ia orang Comanche yang ditawan oleh orang kulit putih, padahal ia tidak berdosa, maka ia akan saya bebaskan juga dari tangan orang kulit putih. Old Shatterhand adalah sahabat dari sekalian orang baik-baik dan musuh dari semua yang jahat. Ia tidak memandang warna kulit.”
“Karena itu maka Anda sudah menjadi musuh orang Comanche!” “Tidak, sebab keesokan harinya saya sudah berunding dengan Vupa Umugi, ketua suku Comanche Naiini. Saya sudah mengikat tali persahabatan dengan dia. Ia tawanan saya akan tetapi saya bebaskan.” “Tahukah Anda apa sebabnya orang-orang Comanche itu berkemah di Saskuan Kui?” “Bagaimana saya dapat mengetahuinya? Saya tidak menanyakannya. Barangkali mereka ada di sana untuk menangkap ikan.” “Tahukah Anda di mana orang-orang Comanche itu sekarang?” “Saya hanya dapat menduga saja. Mereka tentu pergi ke arah Barat, melintasi Mistake Canyon untuk membantu orang-orang Comanche yang terancam oleh tentara kulit putih.” “Uf!” serunya. Dalam pada itu ia tersenyum. Prajurit-prajuritnya melihat ke arah saya dengan pandang yang mengatakan bahwa saya sudah bersikap bodoh. Kemudian Schiba Bigk melanjutkan perkataannya: “Anda ditemani oleh beberapa orang kulit putih?” “Ya.” “Ke mana mereka pergi?” “Ke Barat.” “Dan Anda kini ada di sebelah Timur Air Biru! Apakah sebabnya?” “Saya mendengar bahwa serdadu-serdadu kulit putih yang ada di dekat Mistake Canyon itu sedang bermusuhan dengan prajurit-prajurit Comanche Sebagai seorang kulit putih sebenarnya saya harus membantu serdadu-serdadu itu. Akan tetapi oleh karena saya sahabat orang kulit merah, maka saya ingin menjauhkan diri. Itulah sebabnya maka saya berjalan ke arah Timur.” “Ke Air Biru lagi?” Tentu saja ia ingin mengetahui adakah saya pergi ke Air Biru lagi. Saya menjawab: “Untuk apa saya kembali ke Air Biru? Saya pergi ke Llano Estacado untuk mengunjungi saudara saya Bloody Fox. Anda mengenal dia, sebab Anda sudah pernah menjadi tamunya dan sudah pernah mengisap pipa perdamaian dan pipa persahabatan dengan dia.” “Anda membawa orang-orang kulit putih lain ke rumah Bloody Fox?” “Mengapa Anda bertanya demikian, padahal Anda tahu bahwa kita telah berjanji kepada Bloody Fox tidak akan membuka rahasia tempat tinggalnya? Dapatkah saya membawa orang asing ke rumah Bloody Fox?” “Di mana teman-teman Anda orang kulit putih itu sekarang?” “Ketika saya berpisah, mereka hendak pergi ke El Paso.” “Anda menjumpai Bloody Fox di rumahnya?” “Ya.” “Di mana ia sekarang?”
“Di rumahnya.” “Lekas benar Anda meninggalkan dia. Tidakkah ia meminta Anda tinggal lebih lama lagi dengan dia?” “Ya. Tepat seperti dahulu ketika Anda dengan saya menjadi tamunya. Akan tetapi saya sudah menjawab sekian banyak pertanyaan dan Anda mengetahui yang hendak Anda ketahui. Marilah kita sekarang mengisap calumet.” “Tunggu sebentar!” Saya berbuat sebagai anak yang dapat ditanyai tanpa menginsafinya. Bigk melihat kepada teman-temannya dengan pandang yang mengandung kepuasan. Kini ia benarbenar percaya bahwa ia sudah menjadi lebih cerdik daripada saya. Karena itu maka ia mengucapkan perkataan “tunggu sebentar” dengan lagak memerintah. Kemudian ia berkata lagi: “Sejak kita berpisah sudah lewat beberapa minggu dan beberapa bulan. Dalam waktu yang selama itu pandangan manusia berubah. Anak kecil menjadi dewasa, menjadi kuat dan bijaksana. Sebaliknya Old Shatterhand kini sudah menjadi anak kecil. Anda membiarkan saya menanyai Anda seperti orang dewasa menanyai anak kecil yang belum lagi berakal atau sebagai wanita tua yang otaknya sudah menjadi kering. Mata Anda sudah menjadi kabur dan telinga Anda sudah menjadi tuli. Anda sedikitpun tiada mengetahui siapa kami ini dan apa yang kami kehendaki.” “Uf! Demikian berbicara seorang anak muda dengan siapa saya dahulu telah pernah mengisap pipa perdamaian?” “Itu bahasa seorang anak muda yang sekarang sudah menjadi seorang prajurit yang masyhur. Calumet sudah tidak berguna lagi, sebab Anda bukan sahabat saya lagi, melainkan sudah menjadi musuh saya yang harus saya bunuh. Anda telah membebaskan tawanan kami.” “Tawanan Anda? Saya membebaskan orang kulit putih itu dari tangan orang-orang Comanche Naiini. Anda termasuk marga lain.” “Orang Naiini adalah saudara kami: musuh mereka adalah musuh saya. Tidakkah Anda mengenal prajurit-prajurit yang duduk di muka Anda ini?” “Bukankah mereka itu prajurit dari marga Anda?” “Hanya duapuluh orang dari mereka. Selebihnya ialah orang Naiini, yang Anda lihat di Air Biru. Kami telah menggali kapak peperangan terhadap semua orang kulit putih dan Anda adalah orang kulit putih juga. Tahukah Anda kini apa yang dapat Anda harapkan?” “Saya tahu. Saya akan naik ke atas kuda saya dan berjalan terus dengan tenang.” “Old Shatterhand benar-benar sudah menjadi anak kecil. Anda adalah tawanan saya dan Anda akan mati pada tiang siksaan.” “Saya bukan tawanan Anda dan saya tidak akan mati oleh karena Anda menghendakinya. Saya akan mati asalkan itu dikehendaki oleh Manitou.” Mereka tidak mengerti mengapa saya menjawab dengan segala ketenangan. Saya tidak bergerak; saya tidak memberi mereka alasan untuk menduga bahwa saya akan lari atau akan melawan. Karena itulah maka mereka tidak memegang senjata mereka. Dalam pada itu mereka tidak mengetahui bahwa mereka semuanya saya intai dengan mata saya yang tajam. Dengan tertawa kecil ketua suku itu bertanya: “Adakah Anda mengira bahwa Anda dapat melawan? Tidakkah Anda melihat bahwa Anda berhadapan dengan lima kali sepuluh orang prajurit yang gagah berani?”
“Adakah Old Shatterhand pernah menghitung jumlah musuhnya?” “Jadi Anda mengandalkan bedil khasiat Anda?” Dalam sekejap mata saja bedil Henry saya sudah ada di tangan saya. Saya melompat, lalu berdiri di belakang kuda saya yang memberi perlindungan kepada saya. Saya berseru: “Ya, itu yang saya andalkan. Barangsiapa menyentuh senjatanya, dengan seger