BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Dilihat dari sisi pengumpulan pajak (Pajak Penghasilan/PPh), sistem
perpajakan di Indonesia menggunakan self-assessment system dimana Wajib Pajak (WP) diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah Pajak Penghasilan (PPh) yang terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain itu Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah PPh yang terhutang dan telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Namun untuk memudahkan sistem pembayaran PPh, dikenal adanya pemotongan PPh melalui pemberi kerja/bendahara pemerintah. Masyarakat kelas bawah, pekerja, karyawan buruh dengan level rendah, setiap menerima penghasilan dari majikan/pemberi kerja langsung dipotong PPh, dengan demikan nyaris tidak ada cara untuk menghindari pajak (pajak.go.id, 2014). Melihat kontribusi pajak yang sangat besar dalam penerimaan negara, maka dari itu kesadaran dari masyarakat akan membayar pajak, akan sangat berpengaruh besar dalam pembangunan negara ini. “Pajak merupakan sumber penerimaan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan dan meningkatkan 1
2
kesejahteraan serta sumber daya manusia dalam segala bidang, sehingga diperlukan peran serta dari masyarakat dalam bentuk kesadaran dan rasa peduli untuk membayar pajak. Pemberian kesempatan serta wewenang kepada Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya melalui sistem self assessment ini diharapkan akan semakin meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak sehingga penerimaan negara diharapkan semakin meningkat, dimana keadaan perekonomian negara Indonesia masih dalam taraf yang belum dapat dikatakan baik.” (Supit, dkk, 2014). Tabel 1. 1 Realisasi Penerimaan Pajak Penghasilan Negara Sumber penerimaan Penerimaan Pajak Penghasilan (Milyar Rp)
2009
2010
619.922
723.307
2011 873.874
2012
2013
980.518 1.040.320
Sumber: Kementrian Keuangan (diolah) Dilihat dari tabel 1.1 menunjukan bahwa realisasi penerimaan pajak di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Namun hal tersebut bukan berarti apa yang ditargetkan telah berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Apabila kita mengacu pada pelaporan penerimaan pajak terutama pajak penghasilan, maka akan terlihat penerimaan pajak terutama dari pajak penghasilan, dari tahun ke tahun semakin membaik yang bisa dilihat dari jumlahnya yang terus-menerus bertambah. Namun hal ini belum berarti jika pemungutan pajak khususnya pajak penghasilan telah berjalan secara maksimal, artinya masih perlu adanya pengawasan ataupun pemeriksaan mendalam khususnya bagi Wajib Pajak yang membayar pajak penghasilannya tidak langsung dipotong dari penghasilan yang didapat. Mengingat dalam pemungutan pajak, khususnya bagi Wajib Pajak orang pribadi, tingkat penerimaan pajak penghasilan merupakan pajak yang paling besar
3
peranannya dalam penerimaan negara yang nantinya akan digunakan untuk pengeluaran pemerintah. “The revenue collected from taxes, economic growth, inflation, unemployment, etc. have become more and more concern for the economies of different countries. Income taxes are one of the tools that the government will use and for governmental spendings.”(Velaj and Prendi, 2014) Bagi
mereka
yang
mencari
penghasilan
sebagai
pengusaha,
wiraswastawan, pedagang dan jenis usaha lainnya selain buruh/karyawan dan sejenisnya, mereka memiliki peluang untuk tidak membayar PPh dengan jumlah yang semestinya bahkan sama sekali tidak membayar PPh baik karena sengaja maupun tidak, padahal memiliki tingkat kesejahteraan dan asset yang tinggi. Hal ini dapat terjadi karena bagi mereka yang penghasilannya tidak diberlakukan pemotongan pajak secara langsung, maka pembayaran pajak dan besaran pajak yang dibayarkan bergantung pada Wajib Pajak itu sendiri. Artinya apabila Wajib Pajak itu kurang memiliki kesadaran untuk membayar pajak sesuai dengan besaran yang semestinya dan tidak berdasarkan waktu yang telah ditentukan, maka proses pemungutan Pajak Penghasilan tidak akan berjalan dengan efektif, maka diperlukan kesadaran dari dalam diri Wajib Pajak dalam partisipasinya untuk melaksanakan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. “Bila ingin memaksimalkan penerimaan pajak dengan sistem selfassessment, selain berusaha meningkatkan jumlah Wajib Pajak aktif, maka pemerintah juga harus berupaya agar pembayar pajak semakin sadar bahwa peranan membayar pajak sangatlah penting bagi tercapainya pembangunan nasional.” (Herryanto dan Toly, 2013)
4
Untuk menjaga ketertiban dalam membayar pajak dan agar sistem administrasi perpajakan dapat berjalan dengan seefektif mungkin, maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengharuskan bagi masyarakat untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Meskipun sebagian masyarakat Indonesia menganggap bahwa jika seseorang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka tidak memiliki hak perpajakan serta tidak akan dikenai kewajiban perpajakan. Tanpa memiliki NPWP, masyarakat beranggapan bahwa akan terbebas dari segala macam masalah dan kesulitan yang akan timbul seperti tidak perlu membayar pajak, tidak perlu melapor, tidak perlu takut akan dipenjara karena pajak, dan lain sebagainya. Sangat patut diduga sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki pemahaman demikian, yang mendorong sebagian mereka selalu menghindar untuk memiliki NPWP. Sebelum segala kewajiban, denda, dan sanksi di bidang perpajakan diberikan, Wajib Pajak haruslah memiliki NPWP sebagai identitas di bidang perpajakan. Hanya saja, NPWP diberikan kepada Wajib Pajak tidak hanya karena Wajib Pajak mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP, tetapi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat memberikan NPWP kepada Wajib Pajak secara paksa yang disebut “Secara Jabatan”, jika terpenuhi syarat tertentu. Syarat tersebut adalah telah ditemukan informasi dan/atau data yang mengindikasikan bahwa pada diri Wajib Pajak telah terpenuhi syarat subjektif dan objektif untuk memiliki NPWP. Telaah lengkap dan mendalam dapat dilakukan dengan merujuk pada peraturan perpajakan yang berlaku, yaitu pasal 2 ayat (1) UU KUP; pasal 2 dan pasal 3 UU No.7 tahun 1983 (UU PPh) beserta
5
perubahannya (syarat subjektif); serta pasal 4 UU PPh (syarat objektif). Telaah Lebih lanjut dapat merujuk pada aturan pelaksanaan, di antaranya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) RI No.73 tahun 2012 (pasal 2). Menurut UU KUP pasal 2 ayat (1), persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UndangUndang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Sedangkan syarat objektif menurut UU KUP pasal 2 ayat (1) yaitu persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Memiliki NPWP adalah kewajiban pada saat telah terpenuhinya syarat subjektif dan objektif, maka bagi Wajib Pajak telah terutang pajak (penghasilan) dan karenanya dia membutuhkan identitas perpajakan, yaitu NPWP untuk memenuhi kewajiban (dan hak) perpajakannya, karena jika dia tidak memiliki NPWP tentu tidak akan dapat dilakukan pengadministrasian pembayaran pajak yang akan/telah dilakukannya. Jadi sesungguhnya memiliki NPWP adalah kewajiban yang berkaitan karena sebelumnya telah timbul kewajiban membayar pajak, karena telah terpenuhinya syarat subjektif dan objektif. Hal tersebut di atas juga mengandung pengertian bahwa timbulnya utang dan kewajiban perpajakan tidak tergantung apakah Wajib Pajak telah memiliki NPWP atau belum. Segala hak dan kewajiban perpajakan, termasuk denda dan berbagai sanksi di bidang perpajakan, serta merta telah melekat pada Wajib Pajak
6
sesuai peraturan yang berlaku, pada saat telah terpenuhinya syarat subjektif dan objektif. Hak-hak Wajib Pajak seperti hak untuk mendapatkan pelayanan perpajakan, mendapatkan konsultasi berkenaan dengan perpajakan, mendapatkan formulir-formulir perpajakan yang disediakan oleh DJP, menyampaikan Surat Keterangan Bebas (SKB) dalam hal tidak terutang pajak sesuai peraturan yang berlaku, hak yang berhubungan dengan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak (restitusi), hak mengajukan keberatan dan banding, hak diberlakukan baginya daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun, dan hak perpajakan lainnya sesuai peraturan yang berlaku. Demikian pula segala kewajiban, denda, sanksi (termasuk sanksi pidana), dan sebagainya, berkenaan dengan kewajiban perpajakannya,
harus
ditunaikan.
Kewajiban
pajak
terutang
tersebut
diperhitungkan sejak terpenuhinya syarat subjektif dan objektif, bukan sejak Wajib Pajak memiliki NPWP (pajak.go.id,2014). Tabel 1. 2 Jumlah Wajib Pajak Terdaftar Tahun 2009 - 2013
Tahun
Jumlah Wajib Pajak Terdaftar Awal Tahun (orang)
Jumlah Wajib Pajak Terdaftar Akhir Tahun (orang)
2009
38.920
46.575
2010
46.575
52.763
2011
52.763
59.546
2012
59.546
66.613
2013
66.613
61.219
Sumber: KPP Pratama Bandung Tegallega (diolah)
7
Pada tabel 1.2 di atas, dapat dilihat bahwa jumlah Wajib Pajak terdaftar tidak selamanya meningkat, hal ini yang harus terus diupayakan agar penerimaan pajak dapat terlaksana dengan optimal. Namun penurunan jumlah Wajib Pajak bukan berarti merupakan kesalahan dari pihak penyelenggara pemungut pajak, dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak. Melihat pentingnya kontribusi Wajib Pajak yang memiliki kesadaran untuk memiliki NPWP, maka Direktorat Jenderal Pajak diharuskan untuk melakukan beberapa upaya ataupun pendekatan kepada Wajib Pajak. Salah satu caranya yaitu dengan melakukan ekstensifikasi pajak. “Dengan semakin meningkatnya persentasi penerimaan pajak, hal tersebut berarti pemerintah dapat melakukan upaya-upaya untuk menggali potensi pajak dan mengoptimalkan penerimaan pajak. Upayaupaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah di antaranya dengan ekstensfikasi pajak, yaitu dengan menambah jumlah Wajib Pajak dan dengan intensifikasi pajak yaitu dengan mengaktifkan atau menggali potensi dari Wajib Pajak yang sudah ada” (Komarawati dan Mukhtaruddin, 2012). Ekstensifikasi itu sendiri adalah kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP ) kepada Wajib Pajak yang memiliki penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kegiatan ekstensifikasi ini bertujuan untuk menggali potensi pajak yang selama ini belum tersentuh sekaligus merupakan bagian dari modernisasi administrasi perpajakan (Surat Direktorat Pajak Nomor SE-06/PJ.9/2001). Kegiatan ekstensifikasi, harus dilaksanakan karena amanat ketentuan atau peraturan yang berlaku, dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak harus dipatuhi oleh Wajib Pajak. Pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak masih jauh dari optimal, dapat dilihat dari rasio penerimaan Pajak
8
Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) atau Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) terhadap penerimaan perpajakan Nasional. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Ekstensifikasi Pajak dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Tingkat Penerimaan Pajak Penghasilan (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bandung Tegallega). 1.2.
Identifikasi masalah Berdasarkan dari latar belakang dan ditinjau dari beberapa penelitian,
maka penulis dapat mengidentifikasikan rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana pengaruh ekstensifikasi pajak terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Bandung Tegallega. 2.
Bagaimana pengaruh tingkat kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Bandung Tegallega.
3.
Bagaimana pengaruh ekstensifikasi pajak dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi terhadap tingkat penerimaan penghasilan pada KPP Pratama Bandung Tegallega.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui pengaruh ekstensifikasi pajak terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Bandung Tegallega.
9
2.
Untuk mengetahui pengaruh tingkat kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Bandung Tegallega.
3.
Untuk mengetahui pengaruh ekstensifikasi pajak dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak orang pribadi terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan pada KPP Pratama Bandung Tegallega.
1.4
Manfaat Penelitian Apabila penelitian ini disampaikan atau dibaca oleh yang bersangkutan,
diharapkan dapat memberikan informasi baik secara teoritis maupun praktisi sebagai berikut : 1.
Bagi KPP Pratama Tegallega Penelitian ini sebagai bahan masukan bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Tegallega dalam hal-hal yang menyangkut kepatuhan Wajib Pajak dan para Wajib Pajak lainnya dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya.
2.
Bagi Pihak Akademik Hasil
penelitian ini
diharapkan dapat
berguna sebagai
bahan
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya serta dapat memberikan informasi tambahan mengenai pengaruh ekstensifikasi pajak dan kepatuhan wajib pajak orang pribadi terhadap tingkat penerimaan PPh. 3.
Bagi Pihak Lain Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan menjadi bahan referensi khususnya mengenai topik yang berkaitan
10
dengan penelitian ini, dan dapat menjadi bahan acuan untuk penelitian dan analisa berikutnya. 1.5.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Untuk memperoleh data dan menjawab masalah yang sedang diteliti, penulis melakukan penelitian di KPP Pratama Bandung Tegallega yang berlokasi di Jalan Soekarno-Hatta No. 216, Bandung. Sedangkan waktu penelitian akan dilakukan pada bulan Mei 2015 sampai dengan selesai.