POTRET KEKERASAN DALAM NOVEL MATA MOSES KARYA WIWID PRASETYO
OLEH JUNAIDI MOHAMAD NIM 311 409 050
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA 2013 Junaidi Mohamad (Penulis Utama) Dr. Hj. Ellyana Hinta, M.Hum (Anggota/Pembimbing I) Dr. Muslimin, S.Pd, M.Pd (Anggota/Pembimbing II)
ABSTRAK Mohamad, Junaidi. 2013. Potret Kekerasan dalam Novel Mata Moses Karya Wiwid Prasetyo). Skripsi, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo. Tujuannya yakni mendeskripsikan potret kekerasan ditinjau dari kekerasan langsung, tidak langsung, represif, dan alienatif dalam novel Mata Moses karya Wiwid Prasetyo. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Sumber data yaitu berupa kutipan cerita dalam novel Mata Moses. analisis data dilakukan dengan cara mengklasifikasi data, merelevansikan data, mendeskripsikan, dan menyimpulkan hasil. Berdasarkan hasil penelitian bahwa novel Mata
Moses
mempresentasikan
fenomena
kekerasan
seperti
pembunuhan,
pemukulan, cambukan, persoalan kemiskinan, kelaparan, pembatasan hak-hak, intervensi hukum, keterasingan sosial yang disebabkan oleh adanya pola pemerintahan yang otoriter.
Kata kunci : potret, kekerasan, novel.
1
PENDAHULUAN Karya sastra tidak terlepas dari dunia sosial, sebab masyarakat yang sering dibahas dalam karya sastra adalah cerminan masyarakat dalam dunia kenyataan. Menurut Plato (dalam Faruk, 2010: 47) bahwa karya sastra merupakan tiruan terhadap dunia kenyataan. Dalam sebuah karya sastra dapat ditemui berbagai peristiwa sosial yang dihadirkan pengarang lewat karyanya. Peristiwa tersebut ada yang menyenangkan karena dengan saduran peristiwa yang indah, dan ada pula yang menyedihkan. Peristiwa-peristiwa yang disebutkan itu, dapat ditemui dalam berbagai genre sastra baik drama, puisi, maupun prosa. Akan tetapi, yang paling menarik adalah melihat fenomena sosial dalam prosa, dan prosa yang dimaksud adalah novel. . Menurut Watt (dalam Tuloli, 2000: 17) novel adalah ragam sastra yang memberikan gambaran pengalaman dan kebudayaan manusia, yang disusun berdasarkan peristiwa, tingkah laku tokoh, waktu, plot, suasana dan latar. Penceritaan dalam novel memiliki hubungan dengan masalah-masalah sosial yang ada. Salah satunya novel yang dijadikan sebagai objek pada penelitian ini yakni novel yang berjudul Mata Moses karya Wiwid Prasetyo. Cerita yang terdapat dalam novel tersebut mencerminkan berbagai masalah-masalah sosial seperti tindakan kekerasan, sistem pemerintahan yang otoriter, konspirasi keyakinan, persaingan ras, dan konflik sosial. Akan tetapi, dalam novel Mata Moses, masalah sosial yang paling banyak dijumpai adalah masalah kekerasan. Kekerasan yang tergambarkan dalam novel ini merupakan tindakan kejahatan yang dapat menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Novel Mata Moses ini merefleksikan kehidupan sosial masyarakat pada zaman kerajaan Mesir yang terpuruk oleh kebijakan-kebijakan atau aturan-aturan yang ditetapkan oleh sang penguasa Mesir terhadap rakyatnya sehingga terindikasi sebagai tindakan kekerasan. Berbagai aturan yang sering ditetapkan oleh penguasa hanya menyebabkan rakyat menderita, misalnya rakyat diharuskan untuk kerja paksa. Di sisi lain, sistem pemerintahan yang otoriter menjadi salah satu ciri kepemimpinan penguasa Mesir. Dengan adanya pemerintahan otoriter inilah yang seringkali memicu 2
terjadinya
tindakan-tindakan
kekerasan
seperti
pembunuhan,
penganiayaan,
perbudakan dan sebagainya. Selain itu, fenomena lain yang menyangkut kekerasan dalam novel Mata Moses adalah adanya pembatasan hak-hak individu yang dilakukan oleh penguasa, hal ini pula berimplikasi pada hak-hak kebebasan setiap orang, akibatnya rakyat tidak lagi bebas dan malah merasa terkekang oleh setiap kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa. Kepincangan pemerintahan seperti inilah yang sering mengakibatkan rakyat menjadi korban, melegitimasi kekerasan sebagai upaya dalam membangun kekuasaan yang kuat merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan sosial. Kehidupan sosial seharusnya tenteram dan sejahtera di bawah komando seorang penguasa. Setiap penguasa harusnya bersikap wajar dan adil sehingga terkesan sebagai pemimpin yang bijaksana, karena pada dasarnya penguasa adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus mampu menjadi teladan yang baik bagi rakyatnya. Namun kenyataannya, rakyat diperlakukan dengan sangat kejam. Berdasarkan masalah yang terdapat di dalam novel Mata Moses, maka penelitian ini difokuskan pada masalah kekerasan. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap dan menyajikan berbagai potret kekerasan yang ada di dalam novel Mata Moses, sehingga dengan adanya penelitian ini pula akan lebih mempermudah pembaca dalam mengidentifikasi kekerasan yang biasanya terjadi pada kehidupan bermasyarakat. Alasan lain yang melatarbelakangi penelitian ini diarahkan pada masalah sosial khususnya kekerasan, karena mengingat sekarang ini banyak penelitian sastra yang orientasi penelitiannya hanya berfokus pada aspek struktural saja, yaitu dengan mangangkat masalah tokoh, latar, tema ataupun alur cerita pada suatu karya sastra. Padahal, masih banyak lagi masalah-masalah dalam novel yang bisa dijadikan sebagai dasar penelitian di bidang kesastraan, terutama berkaitan dengan masalah sosial yang ada dalam karya sastra, sehingga berbagai persoalan sosial dalam karya sastra dapat terungkap. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan kekerasan dalam novel Mata Moses karya Wiwid Prasetyo yang 3
ditinjau dari (1) kekerasan langsung, (2) kekerasan tidak langsung, (3) kekerasan represif dan (4) kekerasan alienatif. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk memaparkan apa adanya hasil penelitian, sesuai dengan temuan yang terdapat pada objek penelitian sesudah dilakukan analisis. Pada penelitian ini, yang dilakukan adalah mendeskripsikan fenomena sosial khususnya berkaitan dengan masalah kekerasan yaitu kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan represif dan kekerasan alienatif yang terdapat pada novel Mata Moses karya Wiwid Prasetyo. Sumber data pada penelitian ini yaitu berupa kutipan cerita yang diperoleh melalui novel Mata Moses karya Wiwid Prasetyo yang diterbitkan oleh Safirah di Yogyakarta pada tahun 2012 dengan jumlah 471 halaman, cetakan pertama. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara (1) Membaca dengan cermat secara keseluruhan isi novel Mata Moses karya Wiwid Prasetyo hingga beberapa kali, sehingga sekaligus memahami masalah yang ada dalam novel tersebut. (2) Mengidentifikasi data yang mempresentasikan masalah-masalah kekerasan dalam novel Mata Moses karya Wiwid Prasetyo. (3) Mencatat data berupa kutipan cerita yang berhubungan dengan masalah-masalah kekerasan yang terdapat dalam novel Mata Moses karya Wiwid Prasetyo. HASIL PENELITIAN 1) Potret Kekerasan Langsung dalam Novel Mata Moses Karya Wiwid Prasetyo Dalam novel Mata Moses karya Wiwid Prasetyo potret kekerasan langsung, terjadi diawali oleh adanya proses perbudakan yang diterapkan Akhmose sebagai salah satu usahanya untuk mewujudkan keinginan yang bersifat pribadi. Berikut kutipannya. Akhmose ternyata terobsesi dengan bangunan yang besar. Ia membangun menara yang terdiri dari puluhan lantai. Ia kerahkan seluruh rakyat untuk 4
menyelesaikan proyek tersebut. Tidak ada satupun rakyat yang dengan sepenuh hati mau melakukan pekerjaan berat tersebut, tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Mereka tidak kuasa melawan ketika tenaga mereka diperas. Tak jarang cambukan dan pukulan mendera mereka yang bermalasmalasan. Mereka yang belum terkena kerja berlomba-lomba melarikan diri ketempat yang tidak mungkin ditemukan oleh para prajurit istana. Tapi mereka yang tertangkap akan langsung digiring ke tempat kerja. (MM, hal: 22). Kutipan di atas menggambarkan kondisi perbudakan yang menimpa para pekerja. Obsesi Akhmose untuk membangun menara ternyata menghadirkan kengerian tersendiri bagi mereka yang terjerat dalam kerja paksa. Akhmose memerintahkan seluruh rakyat untuk mengerjakan pembangunan menara. Rakyat sadar, bahwa mereka akan menjadi binasa jika bekerja menuruti perintah itu. Sesungguhnya dari hati mereka yang terdalam, tidak pernah ikhlas untuk melakukan semua yang diperintahkan Akhmose, tapi sekuat apapun mereka mengelak pasti berujung dengan kesia-siaan. Pekerjaan yang menguras tenaga itu, tidak membuat Akhmose dan algojonya kasihan, tetapi mereka justru sering melakukan siksaan fisik pada rakyat. Mereka selalu merasakan pukulan dan cambukan dari algojo sehingga tubuh mereka sering kesakitan. Siksaan seperti ini berturut-turut dilakukan pada mereka yang dianggap hanya bermalas-malasan. perbudakan memang membawa penderitaan bagi setiap orang yang mengalaminya karena yang dipertaruhkan adalah fisik. Fisik akan menjadi korban dari keganasan para algojo bila melakukan kesalahan-kesalahan kecil karena itulah banyak dari mereka yang berusaha melarikan diri untuk menghindari kebijakan tersebut. Kutipan berikut. Moses melihat sekelompok orang terus hilir mudik sambil membawa batubatu besar dan menaruh dipunggungnya seperti semut-semut yang membawa makanan. Tiap kali tampak kelelahan atau jalannya melambat, maka algojo di samping kiri dan kanan akan mencambuknya. Mereka yang dicambuk dan kaget maka petaka akan menjadi bomerang sendiri. Batu besar itu akan menimpah tubuh sendiri, mengenai kepala atau kaki sehingga malaikat maut sering berpusar-pusar di sana. (MM, hal: 179). Ambisi Ramses yang tidak pernah padam, terobsesi dengan bangunanbangunan yang tinggi dan megah sehingga ia mempekerjakan secara paksa orang-
5
orang untuk membuatkan bangunan yang tinggi dan mewah untuknya. Saat itu Moses ditugaskan oleh Ramses untuk mengawasi pekerjaan pembangunan. Moses adalah anak angkat Ramses yang dipungut oleh permaisurinya dari sungai Nil. Moses sangat kasihan melihat rakyat yang begitu menderita di bawah garis pemerintahan Ramses. Para pekerja itu, selalu mendapatkan siksaan dari algojo. Mereka dipaksa membawa batu-batu berukuran besar sambil meletakannya di punggung, tetapi ketika tenaga mereka mulai lemas kadang batu yang ditentengnya menindih mereka. Pekerjaan ini sangat mengerikan. Hak-hak kebebasan mereka dirampas. Tak ada seorang pun yang diberi kebebasan untuk menghirup udara bebas. Semuanya dikekang oleh sistem pemerintahan Ramses yang otoriter. 2) Potret Kekerasan Tidak Langsung dalam Novel Mata Moses Karya Wiwid Prasetyo Lima puluh ribu hasta dari sungai Nil atau tepatnya di pinggiran sungai merah, terbangun sebuah pemukiman yang demikian padat. Dari keramaian dan corak bangunan, tampaknya para penduduk telah meninggalkan warisan bangunan beberapa abad ke belakang. Lihatlah bagaimana bangunanbangunan padat penduduk tampak mulai menua, rapuh, dan mulai berlumut disana-sini. Namun anehnya penduduk betah disana tanpa khawatir suatu saat roboh menimpa mereka. (MM, hal: 79). Negeri Mesir sebetulnya kaya, pemerintah kerajaan sebetulnya sangat mudah seandainya membiayai pembangunan untuk rumah-rumah penduduknya. Anehnya, bangunan-bangunan di pemukiman ini dibiarkan kumuh dan tak terawat, bahkan penduduknya makin berjejal saja seperti sekawanan semut yang tinggal dalam satu lubang. (MM, hal: 80). Kepenguasaan Akhmose telah berlalu menjadi sebuah cerita di masa depan. Akhmose telah meninggal dunia dan meninggalkan catatan kekuasaan yang sadis bagi rakyatnya. Selanjutnya ketika silih bergantinya kekuasaan raja-raja Mesir, kini akhirnya sampai pada seorang raja yang bernama Ramses. Saat itu Mesir mencapai puncak kejayaan yang menakjubkan. Dirinya menjadikan kekuasaan dan jabatan sebagai simbol keabsolutan segala sesuatu. Pada masa Ramses, kehidupan masyarakat tetaplah miskin dan terpuruk. Kondisi hidup yang serba-serbi terbatas sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu tanda bahwa 6
rakyat mengalami kemiskinan dapat dilihat dari tempat pemukiman penduduk. Banyak rumah-rumah yang tidak lagi layak huni tetapi masih terus digunakan oleh masyarakat sebagai tempat tinggal mereka. Hanya itu yang mereka punya karena jika mengharapkan bantuan pemerintah rupanya hal itu mustahil terkabulkan. Mesir adalah negeri yang sangat kaya dengan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, dan karena sumber daya alam yang melimpah sehingga pemerintah memiliki pasokan kekayaan yang banyak, tetapi sedikit pun tidak digunakan untuk mensejahterakan rakyat, karena itulah rakyat selalu hidup dalam kemiskinan. Seharusnya penguasa Mesir membantu rakyat yang sedang susah agar tidak ada rakyat yang melarat. Namun Jauh dari harapan rakyat, penguasa tetaplah membiarkan rakyat hidup miskin, kelaparan, dan tidak menghiraukan pemukiman penduduk yang tidak layak pakai lagi. Selanjutnya. Moses datang dan mencoba menghadirkan hatinya dan mengerti semua penderitaan mereka. Alangkah kasihan mereka yang hidup di garis kemiskinan. Pakaian mereka lusuh, mereka banyak berserakan di penggirpinggir bangunan dengan ngesot dan mata yang nanar. (MM, hal: 206). Moses benar-benar tak tega melihat keadaan itu. Seandainya ia punya sekerat roti atau makanan apapun, ia pasti bersedia memberikannya. Kalau perlu dirinya kelaparan sedangkan mereka menjadi kenyang. Ia sudah terbiasa menjadi kenyang dan tak takut dengan rasa lapar. (MM, hal: 206). Ketika Moses memutuskan pergi meninggalkan kerajaan Ramses, Moses bergegas menuju suatu perkampungan Bani Israil yang hidup berdampingan dengan warga Mesir. Sesampainya Moses di tempat itu, Moses melihat kondisi masyarakat setempat yang bertahan dengan kehidupan yang amat miskin. Moses mencoba memahami itu semua. Ia berusaha berempati dengan apa yang dirasakan oleh kelompok masyarakat ini. Mereka berpakaian sederhana tidak seperti kaum bangsawan yang selalu mengenakan pakaian serba mewah dan mahal. Ratapan mereka menandakan kehidupan yang mereka jalani begitu menyengsarakan. Moses tidak sanggup memandangi mereka dengan keadaan yang sangat memprihatinkan itu. Seandainya Moses punya makanan tentu akan dibagikannya kepada penduduk itu karena ia sadar bahwa mereka saat ini sedang merasa kelaparan, hanya saja mereka 7
tidak punya sesuatu untuk dimakan. Rakyat yang selama hidupnya dibebani dengan ancaman dan penindasan Ramses, mereka juga memikul beban yang lain yakni berhadapan dengan kemiskinan dan kelaparan yang terkadang mendatangkan kematian. 3) Potret Kekerasan Represif dalam Novel Mata Moses Karya Wiwid Prasetyo “Apa yang kau katakan?!” Algojo pembawa cambuk itu melotot matanya, gemeretuk rahangya dan bergetar seluruh tubuhnya melihat lelaki itu mempunyai keyakinan selain pada Horus. (MM, hal: 38). Kutipan di atas menjelaskan betapa terbatasnya hak-hak kebebasan dalam memiliki kepercayaan sendiri sebagai mahkluk individu dan sosial. Seorang anggota masyarakat harus mengalami cambukkan dari algojo karena memiliki keyakinan sendiri selain pada Horus. Algojo merasa gerang ketika cambukkan yang dihantarkannya berturut-turut tidak mampu menyurutkan keimanan orang itu terhadap dewa yang diyakininya yaitu Isis. Dalam konteks ini, kekerasan yang dialami oleh orang tersebut merupakan tindakan pengekangan akan sebuah kebebasan berkeyakinan. Kutipan selanjutnya. “Jangan takut, aku datang untuk menyampaikan berita dari Ramses!” Amram maupun Yokhebed mengintip dari celah-celah pintu. “Kabar apa gerangan, wahai tentara berkuda kekar?’ Tanya seorang penduduk. “Ramses telah mengangkat dirinya menjadi Tuhan, selanjutnya kalian harus tunduk dan patuh padanya. (MM, hal: 85). Penderitaan bangsa Mesir dan kaum Bani Israil terus berkelanjutan. Kekerasan mengenai pembatasan hak-hak untuk memiliki kepercayaan sendiri-sendiri terus terjadi. Bukan hanya Akhmose yang berani mengakui dirinya sebagai titisan Dewa atau Tuhan, tetapi raja Ramses juga mengikuti jejak raja-raja dahulu sebelumnya. Ramses mengutus beberapa prajuritnya untuk menyampaikan kepada rakyat bahwa Ramses harus diakui dan disembah sebagai Tuhan mereka. Saat itu Amram dan Yokhebed yang sedang mengintip dari celah-celah rumah menjadi marah dan gerang melihat adanya kebodohan para penguasa yang selalu berambisi untuk 8
diakui sebagai salah satu Tuhan. Ramses dan raja-raja Mesir sebelumnya tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan ini adalah bentuk kekerasan terhadap pembatasan hak-hak sipil khususnya memaksa hati nurani rakyat. 4) Potret Kekerasan Alienatif dalam Novel Mata Moses Karya Wiwid Prasetyo Karena status sebagai pekerja yang diliburkan sementara, maka mereka dilarang menghadiri perayaan kerajaan. Mereka tak ubahnya budak yang tak punya hak layaknya manusia lain. (MM, hal: 228). Kutipan di atas menggambarkan adanya proses alienasi yang terjadi pada para pekerja. Mereka tidak diwajibkan untuk mengikuti perayaan kerajaan. Hak-hak sebagaimana makhluk sosial tak pernah diakui. Para budak ini selalu disudutkan oleh kebijakan penguasa. Masalah seperti ini bertentangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Alasan mereka tidak dilibatkan dalam perayaan itu karena Ramses menganggap status mereka hanyalah pekerja yang diliburkan. Padahal meskipun hanya sebagai budak yang diliburkan, tetapi mereka juga memiliki hak dan kewajiban untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh kerajaan. PEMBAHASAN 1) Kekerasan Langsung dalam Novel Mata Moses Karya Wiwid Prasetyo Perilaku kekerasan dalam suatu kehidupan bermasyarakat tentunya akan memberikan kesan negatif pada siapa saja yang menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Kekerasan
bukanlah
perbuatan
yang
patut
untuk
dimaklumi,
meskipun
keberadaannya tidak terlepas dari kehidupan bermasyarakat, karena setiap tindakan kekerasan yang bersifat melukai atau yang dapat mencederai orang lain adalah suatu bentuk perbuatan yang tidak memberikan keuntungan bagi siap saja serta telah melanggar hak-hak asasi manusia sebagaimana setiap orang patut mendapatkan perlindungan. Kekerasan yang melibatkan kontak secara langsung antara korban maupun pelaku kekerasan seperti kasus-kasus pemukulan, penganiayaan, kerja paksa atau dalam hal ini adalah perbudakan, semua itu hanya akan membentuk citra kehidupan sosial suatu masyarakat menjadi tidak harmonis. 9
Seperti halnya yang tampak pada novel Mata Moses. Konteks sosial masyarakatnya yang mengalami penindasan merupakan fenomena yang sangat tragis dan memprihatinkan dimana setiap orang dihantui oleh aturan yang ditetapkan oleh penguasa. Berbagai potret kekerasan langsung yang tersajikan, memiliki sebab-sebab terjadinya kekerasan itu sendiri. Faktor utama yang menjadi pemicu lahirnya kekerasan langsung yakni adanya pola pemerintahan yang otoriter. Keabsolutan kekuasaan yang dimiliki penguasa adalah harga mati sehingga peluang terjadinya kekerasan langsung, baik fisik maupun psikis sangatlah besar. Dalam novel Mata Moses, kondisi kehidupan masyarakatnya yang terpuruk dan menderita, salah satunya diakibatkan oleh adanya kegemaran penguasa untuk membangun istana kerajaan yang lebih besar, yang terdiri dari bangunan-bangunan yang tinggi. Pada proses pelaksanaan pembangunan inilah terjadinya perbudakan sehingga rakyat sering diterpa dengan siksaan fisik seperti pemukulan, tendangan, cambukan sampai-sampai seseorang meninggal dunia. 2) Kekerasan Tidak Langsung dalam Novel Mata Moses Karya Wiwid Prasetyo Dalam novel Mata Moses, selain terdapat peristiwa-peristiwa kekerasan langsung, novel ini juga menggambarkan persoalan kemiskinan yang menjerat kehidupan rakyat Mesir dan Bani Israil. Kemiskinan yang melanda rakyat Mesir maupun kaum Bani Israil merupakan cobaan hidup yang pahit, sebab mereka harus bertahan di atas tirani para penguasa, sementara hidup mereka terus dimiskinkan. Kebijakan-kebijakan penguasa tidak pernah mempertimbangkan hak-hak mereka sebagai manusia sehingga keadilan tak pernah mereka rasakan. Pada dasarnya kemiskinan, kelaparan, dan masalah sosial yang lain hanya akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan sosial. Bencana seperti ini perlahan tapi pasti akan menyengsarakan setiap orang dan akhirnya membawa ancaman kematian. Sesungguhnya pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya bencana seperti kemiskinan atau kelaparan bagi rakyat adalah penguasa karena ada hal-hal yang menyangkut keputusan yang mereka ambil berdampak kepada rakyat. Hal ini 10
hanya dapat diatasi dengan membuka ruang gerak kepada masyarakat yakni menyediakan lapangan pekerjaan dengan status upah yang pasti, memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menghidupi diri sendiri tanpa aturan yang mengikat, dan adanya upaya penanggulangan dan pencegahan jika terdapat hal-hal yang dianggap dapat menggangu kestabilan perekonomian masyarakat. Bencana kemiskinan dan kelaparan yang tergambarkan di dalam novel Mata Moses merupakan potret kekerasan tidak langsung yang dialami oleh rakyat Mesir dan Bani Israil. Kemiskinan atau kelaparan merupakan tanggung jawab penguasa untuk mengatasi itu semua. Penguasa harus lebih serius dalam menangani masalah sosial yang ada. Dalam konteks sejarah Mesir, masyarakat Mesir memang hidup dalam keadaan yang pas-pasan. Penguasa Mesir menetapkan kebijakan untuk mengambil sebagian dari hasil pertanian rakyat untuk membiayai pembagunan kerajaan. Maka untuk itulah tidak heran jika pembangunan peradaban Mesir merupakan pembangunan yang menakjubkan, karena banyaknya pendapatan yang diterima serta adanya sistem perbudakan memungkinkan mengurangi pemakaian biaya pembangunan. Masalah kemiskinan yang tergambarkan dalam novel Mata Moses merupakan gambaran situasi sosial masyarakat Mesir dan Bani Israil yang tetap dimiskinkan meskipun dengan pergantian kekuasaan. Terpaan kemiskinan yang melanda mereka adalah cobaan hidup yang sangat berat untuk dijalani. Otoritas penguasa yang sebenarnya mampu mensejaterakan rakyat justru dipergunakan untuk menindas mereka. Sikap apatis yang tertanam di dalam diri penguasa Mesir, telah membuat kehidupan sosial mengalami kesenjangan sosial. 3) Kekerasan Represif dalam Novel Mata Moses Karya Wiwid Prasetyo Novel
Mata
Moses
mempresentasikan
situasi
masyarakatnya
yang
menjunjung tinggi paham politeisme dan animisme. Mereka menganggap bahwa Tuhan itu banyak serta alam dan benda-benda memiliki roh atau jiwa yang menguasai kehidupan. Atas dasar pemahaman ini sehingga segala aktivitas mereka terwujudkan
11
dalam sebuah ciri khas kebudayaan yaitu melakukan penyembahan terhadap berhalaberhala yang mereka buat sendiri sebagai bentuk penghormatan. Kebuntuan pola berpikir ini telah merumuskan sebuah kebudayaan yang jelas bertentangan dengan logika manusia itu sendiri. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa hampir semua golongan meyakini akan eksistensi berhala-berhala yang mereka anggap sebagai Dewa atau Tuhan adalah sesuatu yang memiliki kekuatan. Penguasa pun ikut menjadi penyembah berhala. Namun yang menjadi persoalan dalam masyarakat bahwa hak menyangkut kebebasan setiap orang ingin memiliki, dan meyakini kepercayaan sendiri turut diinterfensi. Rakyat dipaksa untuk menyembah Dewa-Dewa yang diyakini oleh penguasa Selain intervensi persoalan keyakinan, penguasa cenderung mencampuri urusan hukum dinegerinya. Lembaga hukum yang sebenarnya menjadi sebuah lembaga sosial yang bertugas untuk memberikan keadilan bagi rakyat, memfasilitasi segala bentuk masalah sosial, dan mencari titik kebenaran yang tersembunyi di balik bayang-bayang kebatilan, telah berubah menjadi lembaga hukum yang kontradiktif terhadap peran dan fungsinya dalam masyarakat. Ramses bukan hanya ikut campur di bidang agama dan budaya rakyatnya, tetapi lembaga hukum pun dapat ia tunggangi dengan mengendalikannya. Sehingga keadilan di mata hukum sulit untuk didapatkan. Akibatnya orang-orang yang ingin mencari kebenaran justru terjebak pada sistematika hukum yang telah didesain sedemikian mungkin untuk memberikan keuntungan bagi pihak penguasa. Lembaga hukum kini tidak lagi berdiri diantara masalah-masalah penguasa dan rakyat, lembaga hukum lebih memihak kepada orangorang yang memiliki kekuasaan dan mengesampingkan hak-hak perlakuan adil bagi rakyat biasa. 4) Kekerasan Alienatif dalam Novel Mata Moses Karya Wiwid Prasetyo Bani Israil merupakan sekelompok kaum yang terus terasingkan oleh berbagai kebijakan-kebijakan penguasa Mesir. Salah satu hal yang mesti disesalkan adalah hak-hak mereka sama sekali tidak pernah diakui oleh penguasa. Jaminan akan
12
kehidupan yang lebih baik sangat mustahil dipenuhi. Seperti halnya yang dilakukan oleh Ramses yang tidak sama sekali mempertimbangkan identitas dan hak-hak mereka sebagai bagian dari kehidupan Mesir. Tidak sepantasnya seorang penguasa seperti Ramses menyudutkan keberadaan mereka di Mesir. Dampak dari perlakuan penguasa seperti ini mengakibatkan kaum Bani Israil sering merasa terkucilkan. Mereka akan sangat sulit beradabtasi dengan masyarakat pribumi jika penguasa saja tidak mengakui hak-hak mereka sebagai manusia. Proses alienasi yang dialami oleh Bani Israil menjelaskan bahwa penguasa belum sanggup memberikan keadilan bagi rakyat atau justru sengaja keadilan untuk rakyat ditiadakan sehingga penguasa dengan mudah mengendalikan situasi sosialnya. Di samping itu, status Bani Israil yang hanya menjadi budak dilarang untuk mengikuti kegiatan-kegiatan kerajaan. Bentuk tindakan ini merupakan pembatasan terhadap orang lain untuk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan yang ada. Setiap orang sebenarnya membutuhkan pemenuhan kebutuhan yang tidak hanya materi saja, tetapi pemenuhan kebutuhan nonmateri juga merupakan hal yang sangat penting, misalnya kasih sayang, mengakui identitas orang lain, pemberian kesempatan, dan hal-hal lain yang tidak bersifat material sehingga perilaku alienasi terhadap orang lain tidak akan terjadi. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa (1) Peristiwa kekerasan langsung yang termuat dalam novel Mata Moses disebabkan oleh adanya pemerintahan yang otoriter. Para penguasa memberlakukan sistem kerja paksa dalam hal membangun istana kerajaan. Pada pelaksanaannya, kekerasan seperti pemukulan, tendangan, cambukan hingga pembunuhan sering. menimpa para pekerja. Penyebab lain terjadinya kekerasan langsung juga dikarenakan persoalan keyakinan. (2) Masyarakat Mesir dan Bani Israil yang tidak pernah mendapatkan perhatian khusus dari penguasanya. Penguasa lebih memprioritaskan pembangunan istana kerajaan, dan memperkaya diri sendiri ketimbang memperbaiki rumah-rumah
13
penduduk yang tidak layak huni lagi sehingga kehidupan mereka tetaplah miskin dan sering mengalami kelaparan. (3) Penguasa Mesir terlalu memberikan tekanan terhadap warganya untuk menyembah Tuhan yang diusung oleh penguasa. Di samping itu, para penguasa sering menciptakan ketidakadilan bagi rakyatnya. Hal ini dapat diketahui dari adanya interfensi hukum yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. (4) Dalam novel Mata Moses menggambarkan kekerasan alienatif terhadap kaum Bani Israil. Identitas mereka yang bukan pribumi asli Mesir membuat para penguasa selalu mengesampingkan hak-hak mereka sebagai manusia, sehingga tidak heran Bani Israil lebih menderita kehidupannya ketimbang warga Mesir. SARAN Adapun beberapa hal yang perlu disarankan yakni (1) Bagi pembaca, disarankan agar penelitian ini dijadikan sebagai acuan berpikir dalam memahami hakikat kekerasan, orientasi, dan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat. (2) Penelitian terhadap karya sastra harus terus dilakukan karena banyak menyimpan pengetahuan sejarah serta nilai-nilai kemanusiaan. (3) Novel Mata Moses dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan pendekatan sastra bandingan dalam membandingkan unsur intrinsiknya dengan konteks sejarah. DAFTAR PUSTAKA Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemology, Model, Teori, dan Pengaplikasiannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Salmi, Jamil. 2005. Violence and Democratic Society: Hooliganisme dan Masyarakat Demokarsi. Yogyakarta: Pilar Humania. Santoso, Thomas. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
14