WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
PERSEPSI GENDER DALAM NOVEL THE CHRONICLE OF KARTINI KARYA WIWID PRASETYO MELALUI PENDEKATAN FEMINISME LIBERAL Anang ABA BSI Jakarta Jalan SalembaTengah No. 45, Jakarta Pusat
ABSTRACT Liberal feminism is focused on women’s ability to show and maintain their equality through their own actions and choices.Liberal feminism's primary goal is gender equality in the public sphere, equal access to education, equal pay, ending job sex segregation, better working conditions, won primarily through legal changes. The research is about gender relations in Prasetyo’s The Chronicle of Kartini. The writer uses qualitative research as tools for collecting data of the research. The research focuses on two statements, they are: (1) to describe gender relations in education, employment and marital relations based on liberal feminism study by Mary Wollstonecraft in Rosemarie Tong 2009 Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction; and (2) to describe the findings of gender relations in the novel.The writer finds gender relations happen in the novel. Both male and female have equal opportunity in education, employment and marital relations. In education, they have equal opportunity to go to school. Entering the age of 12, women are not allowed to continue their education; they should stay at home every day. In the field of employment, women work in domestic areas and men work in public ones and in the marital relations.Having got married, men have the authority to marry another woman. Keywords: Gender Relations, Equality, Liberal Feminism
I. PENDAHULUAN Berbicara mengenai gender artinya berbicara mengenai peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat kaitannya dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban (lakilaki dan perempuan) yang dibentuk oleh ketentuan sosial, nilai-nilai yang berlaku, dan budaya lokal.Artinya, laki-laki dan perempuan harus bersikap dan berperan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. Misalnya, suatu masyarakat memiliki pandangan bahwa lakilaki itu perkasa dan perempuan lemah lembut, laki-laki itu berani dan perempuan itu penakut, laki-laki itu rasional dan perempuan emosional, laki-laki itu aktif dan perempuan itu pasif, dan sebagainya. Karena hasil konstruksi masyarakat, gender bisa berubah-ubah, bisa dipertukarkan, dan bersifat lokal, artinya, masing-masing ras, suku dan bangsa mempunyai aturan, norma dan budaya yang khas, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya (Badriyah Fayumi dkk., 2001: 123). Ideologi gender (Bainar, 1998: 12) telah menempatkan kaum pria sebagai pihak yang mempunyai ciri-ciri maskulin (rasional, agresif, mandiri, dan eksploratif) dan menempatkan kaum wanita dengan ciri-ciri
10
feminine (emosional, lemah lembut, tidak mandiri, dan pasif).Adanya ideologi gender yang dikonstruksikan oleh masyarakat tidak hanya terjadi dalam dunia nyata tetapi juga tercipta dalam karya sastra.Karya sastra merupakan tulisan yang mengekspresikan pikiran, perasaan, dan sikap pengarangnya terhadap kehidupan atau realita sosial sebagai refleksi terhadap fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya. Novel The Chronicle of Kartini adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan dan mengekspresikan hubungan antar tokoh perempuan dan tokoh laki-laki dalam masyarakat. Novel ini bercerita tentang kisah hidup Kartini sebagai putri dari pasangan Nyonya Ngasirah dan Raden Mas Sosroningratyang mempunyai cita-cita dan keinginan tinggi untuk dapat bersekolah dan memiliki kesempatan bekerja di ranah publik serta keinginannya untuk memperjuangkan kaum perempuan agar mempunyai kesempatan dan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Sosroningrat merupakan kepala distrik tingkat 1 di bumi Jepara mendidik ketiga anak laki-lakinya dengan memasukkan mereka ke sekolah ELS di Jepara dengan harapan kelak mereka dapat menjadi penerusnya.Ketiga anak
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013 tersebut bernama Raden Ario, Raden Slamet, dan Raden Sosrokartono.Kartini dan kedua saudari tirinya yakni Rukmini dan Kardinah harus tunduk pada tradisi yang ada. Anak perempuan dilarang bersaing dengan anak laki-laki karena pada akhirnya perempuan akan melakukan pekerjaan di ranah domestik seperti melakukan pekerjaan dapur, melayani suami, mendidik dan mengurusi anak. “…, kalian tidak boleh bersekolah, sudah menjadi kodratnya wanita hanya berada di dalam rumah saja, sampai menunggu nasib menunggu calon suami kalian kelak.” (Prasetyo, 2010: 153). Dari fenomena-fenomena yang ada, peneliti ingin mengetahui bagaimana bentuk hubungan gender terjadi di dalam bidang pendidikan, pekerjaan (ekonomi), dan bidang hubungan pernikahandan mendeskripsikan kesimpulan atau hasil temuan pada bentuk hubungan gender yang terdapat di dalam novel. Fokus masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah “Bentuk hubungan gender yang tercermin dalam novel The Chronicle of Kartini karya Wiwid Prasetyo.”Sub fokus dalam penelitian ini yaitu mendeskripsikan bentuk hubungan gender dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan hubungan pernikahan melalui pendekatan feminisme liberal dan mendeskripsikankesimpulan atau hasil temuan bentuk hubungan gender dalam novel. Dengan demikian, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk hubungan gender terjadi dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan hubungan pernikahan melalui pendekatan feminisme liberal dan bagaimana kesimpulan atau hasil temuan pada bentuk hubungan gender di dalam novel. Berdasarkan penjabaran tersebut, tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk memeperoleh pemahaman yang mendalam tentang bentuk hubungan gender yang tercermin dalam novel The Chronicle of Kartini dengan cara: 1. Mendeskripsikan bentuk hubungan gender yang terjadi dalam novel melalui pendekatan feminisme liberal bidang pendidikan, pekerjaan, dan hubungan pernikahan. 2. Mendeskripsikan kesimpulan atau hasil temuan bentuk hubungan gender dalam novel.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bentuk Hubungan Gender
Gender dapat diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan biologis tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang di pengaruhi oleh struktur masyarakat yang lebih luas (Agistino, 2007: 229). Perbedaan antara seks dan gender adalah kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara lakilaki dan perempuan dari segi sosial budaya dan psikologis, maka seks secara umum di gunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi fisik dan anatomi biologis. Manifestasi yang di timbulkan oleh adanya asumsi gender adalah sebagai berikut: 1. Terjadinya marginalisasi (kemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuanyang di sebabkan oleh perbedaan gender. Misalnya banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi miskin, akibat dari program pertanian revolusi hijau yang hanya memfokuskan pada petani laki-laki. 2. Terjadinya subordinasi pada salah satu jenis sex yang umumnya pada kaum perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan di buat tanpa menganggap penting kaum perempuan. Misalnya, anggapan karena pada akhirnya perempuan akan ke dapur, mengapa harus sekolah tinggi-tinggi. 3. Pelabelan negative (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu. Dalam masyarakat banyak sekali stereotype yang di labelkan pada kaum perempuan yang akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. 4. Kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentukarena perbedaan gender. Kekerasan di sini mulai dari kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan (seksual harassment) dan penciptaan ketergantungan. 5. Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden). Dengan kata lain “peran gender” perempuan yang menjaga dan memelihara kerapian tersebut telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik. Sosialisasi peran gender tersebut menjadikan rasa bersalah bagi perempuan yang tidak melakukannya, sementara bagi kaum laki-
11
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
laki, tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan di banyak tradisi dilarang untuk berpartisipasi. B. Prinsip dan Nilai Feminisme Prinsip feminisme dengan mata, hati, dan tindakan, yaitu bahwa dia menyadari, melihat, mengalami adanya penindasan, hegemoni, diskriminasi, dan penindasan yang terjadi pada perempuan, mempertanyakannya, menggugat, dan mengambil aksi untuk mengubah kondisi tersebut. Feminisme dengan demikian berpihak pada perempuan, pada mereka yang di tindas, di diskriminasi, di eksploitasi, dan di abaikan (Arimbi, 2007: 6). Terdapat lima belas nilai dalam feminisme menurut Arimbi (2007: 17), yaitu: pengetahuan dan pengalaman personal; rumusan tentang diri sendiri; kekuasaan personal; otentitas; kreativitas; sintetis; Personal is political; kesetaraan; hubungan sosial timbal balik; kemandirian ekonomi; kebebasan seksual; kebebasan reproduksi (gagasan penentuan atas tubuh sendiri dan gagasan bahwa kesadaran reproduksi merupakan hal yang terus berlangsung dan integratif, secara terus menerus menegaskan kesatuan perempuan dengan alam dan siklus waktu; identifikasi diri pada perempuan; perubahan sosial; berkekuatan politik dalam masyarakat. C. Feminisme dalam Sastra Faham feminisme lahir dan berkobar pada sekitar akhir tahun 1960-an di dunia barat. Faham ini muncul karena beberapa aspek, yaitu aspek politik, agama, dan konsep Marxis.Aspek politis yang dimaksud adalah adanya kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan perempuan.Aspek agama yaitu adanya anggapan mengenai adanya ajaran agama yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada kedudukan lakilaki.Aspek ketiga yaitu aspek Marxis. Menurut kaum feminis Amerika, kaum perempuan merupakan kelas yang tertindas kelas yang lain yaitu laki-laki (Djajanegara, 2000: 1-3). Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki-laki. (Sunarjati, 2000: 4). Hal ini menjadi prioritas utama agar kaum perempuan diperlakukan sama dan diberi peluang yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang. Gerakan feminis menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum perempuan. Teori-teori yang dimaksudkan, diantaranya: patriarki (berpusat
12
pada garis keturunan ayah), phallocentric (berpusat pada laki-laki), phallogocentric writing (gaya menulis laki-laki), androtext (ditulis oleh laki-laki), gynotext (ditulis oleh perempuan), gynocritic (kritik oleh kaum perempuan), manusia cyborg (manusia setengah mesin), misogynia (kebencian lakilaki terhadap perempuan, lawannya philogynia), dan sebagainya (Nyoman, 2010: 219-220). D. Feminisme Sebagai Sebuah Teori Feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki (Moelino dalam Sugihastuti dkk., 2002: 18). Feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan (Geofe dalam Sugihastuti, 2000: 140). Dalam mendapatkan bentuk hubungan gender dalam novel The Chronicle of Kartini, penulis menggunakan pendekatan feminisme liberal. Pendekatan feminisme liberal adalah sebagai alat analisis bentuk hubungan gender yang memusatkan perhatian pada bidang pendidikan, bidang pekerjaan, dan bidang hubungan pernikahan yang didasari oleh keyakinan gender. Tong di dalam bukunya Feminist Thought dan Nunuk Getar Gender menyatakanbahwa: abad 18, gerakan feminisme liberal menuntut persamaan pendidikan bagi perempuan dan laki-laki. Dasar pemikirannya, perempuan tidak mengetahui hak-haknya di bidang hukum karena rendah pendidikannya. Oleh karena itu asumsinya, apabila pendidikan perempuan meningkat, mereka akan mudah diajak untuk menyadari hak-haknya; abad 19, dasar pemikirannya memperjuangkan hak sebagai warga negara dan hak di bidang ekonomi. Mereka menuntut kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki; abad ke 20, dasar pemikirannya menuntut adanya perlakuan yang sama terhadap perempuan dan laki-laki, yakni dihapuskannya diskriminasi terhadap perempuan. (Nunuk, 2004: 125). Gerakan utama feminisme liberal adalah memasukkan wanita ke dalam struktur yang ada berdasarkan prinsip kesetaraan dengan laki-laki di berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan, pekerjaan dan kesetaraan dalam hubungan pernikahan. 1. Bidang pendidikan. Memperluas kesempatan dalam pendidikan dianggap sebagai cara paling efektif melakukan
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013 perubahan sosial. Perempuan harus diberi perlakuan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk dapat bersekolah dan melanjutkannya ketingkat yang lebih tinggi. 2. Bidang pekerjaan.Perempuan harus menjadi bagian dari dan untuk kepentingan laki-laki sehingga perempuan tidak hanya di tempatkan di ranah domestik saja, melainkan dapat berpartisipasi berada di ranah publik. 3. Kesetaraan dalam hubungan pernikahan.Perjuangan harus menyentuh kedalam kesetaraan pernikahan dan hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan. (1) perempuan harus diberi hak untuk tidak menikah ataupun ditikahkan di usia yang masih muda atau belia, dan (2) perempuan berhak untuk tidak mendapatkan kekerasan yang bersifat mental atau psikologis yang berkelanjutan untuk mengecilkan harga diri korban. Peneliti dapat menyimpulkan, dasar pemikiran feminisme liberal terfokus pada tiga bidang kajian, yakni: menuntut persamaan pendidikan bagi kaum perempuan dan laki-laki; memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan; dan menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal.Melalui pendekatan feminisme liberal ini, peneliti diharapkan mampu menjawab pernyataan-pernyataan penelitian bentuk hubungan gender bidang pendidikan, pekerjaandan kesetaraan dalam hubungan pernikahan sehingga penulis dapat menyimpulkan hasil daripada bentuk hubungan gender yang terdapat dalam novelThe Chronicle of Kartini.
III. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi, yakni pencarian fakta dengan interpretasi data teks sastra secara tepat.Penelitian ini mempunyai ciri deskriptif karena data yang di kumpulkan berupa kata-kata. Oleh karena itu, hasil penelitian berupa deskripsi yang disertai dengan kutipan-kutipan data yang berasal dari sebuah teks sastra, yang di beri interpretasi sesuai dengan teknik kajian sastra. Data pada penelitian ini berupa kutipan-kutipan dalam bentuk kata, frasa, kalimat, atau wacana yang medeskripsikan bentuk hubungan gender melalui analisis feminiseme liberal yang mencakup bidang pendidikan, pekerjaan, dan hubungan pernikahan.Sumber datanya adalah novel The Chroicle of Kartini.Pengumpulan data pada
penelitian ini di lakukan melalui tahapan: (1) pembacaan, (2) pencatatan atau pengutipan, (3) pengelompokkan, (4) penyortiran, dan (5) pemaknaan yang terdapat dalam novel The Chronicle of Kartini serta suber data lainnya yang mendukung pada penelitian ini. Adapun prosedur analisis data yang dilakukan yaitu setelah menentukan pendekatan dan metode penelitian dan teknik pengumpulan data, data yang terkumpul kemudian disusun dan di jabarkan dengan cara menjelaskan fenomena yang akan di tentukan dalam proses pengumpulan data. Tujuannya adalah untuk membatasi penemuan hingga menjadi data yang teratur dan tersusun kemudian di analisis secara sistematis. Penelitian ini kemudian mendeskripsikan dan menginterpretasikan bentuk-bentuk hubungan gender melalui analisis feminisme liberal yang mencakup bidang pendidikan, pekerjaan, dan hubungan pernikahan. Setelah semuanya di analisis, peneliti dapat mendeskripsikan kesimpulan atau hasil temuan bentuk hubungan gender dalam novel. Tahap-tahap analisis data dalam penelitian ini di lakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Tahap reduksi data: mengacu pada proses memilih, memfokuskan, dan menyederhanakan, meringkas, dan mengubah data mentah. 2. Tahap penyajian data: sebagai suatu susunan informasi yang terorganisir yang memungkinkan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 3. Tahap penyimpulan: menyimpulkan hasil temuan melalui kajian feminisme liberal berdasarkan data yang telah di uji kelogisannya, kekokohannya, dan validitasnya.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Riwayat Hidup Pengarang dan Ringkasan Cerita Wiwid Prasetyolahir pada 9 November 1981 di Semarang, adalah penulis Indonesia yang berbakat. Novel The Chronicle of Kartinimerupakan salah satu dari beberapa banyak karyanya yang telah berhasil dipublikasikan. Novel tersebut berceritakan mengenai Kisah nyata Kartini, putri dari Raden Mas Sosroningrat dan Ngasirah. Eyang Kartini dari pihak ibunya adalah seorang Ulama Besar bernama Kiai Haji Modirono dan Hajjah Siti Aminah.Istri kedua ayahnya yang berstatus gurwa padmi adalah putri keturunan bangsawan tinggi madura yaitu Raden Ajeng
13
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
Muryam anak dari Raden Citrowikromo yang memegang jabatan Bupati Jepara sebelum Raden Mas Sosroningrat. Setelah kelahiran Kartini pada tahun 1880 Masehi lahirlah adiknya Raden Ajeng Rukmini dari gurwa padmi. Pada tahun 1881 Masehi, Sosroningrat diangkat sebagai Bupati Jepara dan beliau bersama keluarganya pindah ke rumah dinas Kabupaten di Jepara.Pada tahun yang sama lahir pula adiknya yang diberi nama Raden Ajeng Kardinah. Lingkungan Pendopo Kabupaten yang luas lagi megah itu semakin memberikan kesempatan bagi kebebasan dan kegesitan setiap langkah Kartini.Kartini senang dapat bersekolah diEuropese Lagere School. Kecerdasan otaknya dengan mudah dapat menyaingi anakanak Belanda baik pria maupun wanitanya, dalam bahasa Belanda pun Kartini dapat diandalkan.Selang beberapa tahun kemudian setelah selesai pendidikan di Europase Legere School, Kartini berkehendak ke sekolah yang lebih tinggi, namun timbul keraguan di hati Kartini karena terbentur pada aturan adat apalagi bagi kaum ningrat bahwa wanita seperti dia harus menjalani pingitan. Kartini memasuki masa pingitan karena usianya telah mencapai dua belas tahun lebih. Namun dengan semangat dan keinginannya yang tak kenal putus asa Kartini berupaya menambah pengetahuannya tanpa sekolah dengan membaca apa saja yang didapat dari kakak dan juga dari ayahnya.Berbeda dengan tiga saudara laki-laki kembar Kartini, Raden Slamet Sosroningrat, Raden Ariososrobusono, dan Raden Sosrokartono yang mendapatkan kesempatan melanjutkan ke HBS. Bahkan atas kecakapan dan aksi spionase di koranNew York Herland, Sosrokartono berhasil membongkar kekalahan tentara Jerman dari tentara Perancis yang sebenarnya sangat di rahasiakan dan mendapat hadiah USD 1250.Tanggal 12 November 1903 Kartini melangsungkan pernikandengan Bupati Rembang Adipati Doyodiningrat dengan cara sederhana.Pada tanggal 13 September 1904 Kartini melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Singgih. Tetapi keadaan Kartini semakin memburuk meskipun sudah dilakukan perawatan khusus, dan akhirnya pada tanggal 17 September 1904 Kartini menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 25 tahun. B. BENTUK HUBUNGAN GENDER Berdasarkan pendekatan feminisme liberal, peneliti menemukan bentuk-bentuk hubungan gender dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan hubungan pernikahan.
14
1. Pola Hubungan Gender Bidang Pendidikan Bentuk hubungan gender pada bidang pendidikan mulai terasa di awal-awal cerita. Ada perbedaan perlakuan terhadap anak lakilaki dan anak perempuan yang dilakukan oleh kepala keluarga. Memasuki usia 12 tahun, Kartini tidak lagi bersekolah. Dia tidak mendapat restu untuk dapat bersaing dengan laki-laki sebayanya. Kartini harus menghabiskan hari-harinya tidak di sekolah tetapi melakukan segala aktifitasnya di rumah dan harus tunduk pada tradisi dan adat yang berlaku.. Menurut adat yang berlaku di keluarga tersebut, anak perempuan harus sudah di pingit ketika usianya mulai menginjak 12 tahun. Berikut adalah gambaran kutipannya. ... sampai hari ini aku di sekap dalam rumah ini tanpa bisa bernapas menghirup udara luar. Kerap kali aku bertanya-tenya mengapa Romo mengeluarkan aku dari sekolah?Apa salahku? Bukankah aku juga ingin pintar, ingin bisa menguasai bahasa Belanda lebih lancer lagi, aku ingin bisa menyaingi kakak-kakakku, namun mengapa tiba-tiba Romo menghentikanku dari sekolah?” (Prasetyo, 2010: 18). Kutipan data di atas mendeskripsikan bahwa, anak perempuan tidak diijinkan untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Anak perempuan mendapat kebebasan terbatas dibanding anak laki-laki. Anak perempuan menurut adat yang ada, harus menjalani aktifitasnya di rumah setelah usianya mencapai 12 tahun. Sikap sang ayah untuk meminggit Kartini sudah sesuai menurut adat yang berlaku di masyaralkat, bahwa perempuan tidak usah bersekolah karena pada akhirnya ia akan ikut sang suami setelah kelak mendapat jodoh dan ilmu yang ia dapatkan otomatis tidak akan berguna. Tradisi yang berlaku di keluarga tersebut sudah menjadi hal mutlak meski beberapa kali Kartini meyakinkan sang ayah untuk dapat bersekolah, mendapat pengetahuan, berinteraksi dan bertukar pikiran dengan teman sebayanya. Kartini mengungkapkan bahwa dirinya menyukai tradisi yang berlaku selagi tradisi tersebut menghargai pola hubungan yang sama, bahwa perempuan adalah makhluk sama dan mempunyai kemampuan yang sama dan kesempatan sama dengan anak laki-laki.
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013 “Aku menyukai tradisi Jawa yang begitu adiluhung, tradisi yang menyudutkan perempuan berarti itu bukan lagi sebuah tradisi yang pantas di hormati, tetapi harus di lawan dengan kesadaran berpikir dan pengetahuan.– mengapa di tanah airku hanya laki-laki saja yang boleh sekolah sampai tinggi sedangkan perempuan tidak?” (Prasetyo, 2010: 24). Kartini merasa dilemma dengan tradisi yang berlaku di dalam keluarganya. Dia sangat menyukai keadiluhungan tradisi yang ada, tetapi di sisi lain bahwa tradisi yang selama ini dia jalani, perlahan nampak bahwa tradisi itu bertentangan dengan pola pikir kartini. Kartini menganggap bahwa tradisi manapun yang menyudutkan perempuan harus di lawan karena apabila sebuah tradisi yang bertentangan dengan kesadaran berpikir dan pengetahuan, bukan lagi sebuah tradisi yang patut dipertahankan. Pola hubungan gender yang tergambar di dalam cerita, tidak mencerminkan kesetaraan dalam bidang pendidikan. Di dalam keluarga Kartini, anak perempuan sama sekali tidak menjadi prioritas untuk melanjutkan pendidikan. Berikut adalah gambaran kutipannya. “Tidak boleh, kalian tidak boleh bersekolah.Sudah menjadi kodratnya wanita hanya berada di dalam rumah saja, sampai menunggu nasib menunggu calon suami kalian kelak.” (Prasetyo, 2010: 153). 2. Pola Hubungan Gender dalam Pekerjaan Pola hubungan gender dalam bidang pekerjaan tergambar di dalam cerita. Pada dasarnya Kartini, seorang gadis kecil yang mempunyai cita-cita untuk menentukan arah hidup sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Dia telah terinspirasi oleh toko-tokoh wanita Eropa yang berhasil meraih kesuksesan. “Aku ingin seperti Christine de Pizzan, Maria Tesselschade Roemers Vissers, serta Anna Maria Schuirman di abad ke17 atau Clara Schumann dan Aletta Jacobs di abad-19 yang mendapat kesempatan untuk hidup sesuai dengan bakat yang di milikinya, itu semua karena ia mempunyai ayah yang di rasuki oleh zeitgeist zaman pencerahan. Eropa sedang berkobar peradaban ilmu, di mulai dari Renaissance di Inggris,
Aufklarung di Jerman dan seruan Liberte, Egalite, dan Fraternite di Francis.” (Prasetyo, 2010: 22-23). Kutipan di atas mendeskripsikan bahwa, andai saja tradisi memberi Kartini kebebasan berpartisipasi di ranah publik, dia akan menjadi besar seperti tokoh-tokoh perempuan eropa yang yang menginspirasinya. Dia ingin melanjutkan sekolah dan mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyakbanyaknya sehingga dia bisa ikut serta menikmati dampak dari berkobarnya peradaban ilmu di Eropa seperti Renaisance dan Aufklarung. Berbanding terbalik dengan keadaan kartini, Nasib kakak-kakaknya jauh lebih beruntung. Oleh Sosroningrat, masa depan anak laki-lakinya ia persiapkan dengan baik dan terencana sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan. Berikut adalah kutipan yang tergambar di dalam cerita. “Aku merasa iri dengan Kang Mas Sosrokartono, Kelak ketika besar doa yang di panjatkan Romo padanya di kabulkan Gusti Pangeran.Ia menjadi lelaki yang serba bisa seperti ayahnya. Ia seorang dokter Jawa pertama di STOVIA, menguasai tujuh belas bahasa dunia dan menjadi mahasiswa Universitas Laiden yang kemudian menjadi wartawan perang dunia pertama. Srdangkan aku sendiri, jangankan untuk melanjutkan sekolah, bercita-cita tinggi saja tidak boleh,…Romo tak memuluskan keinginanku.” (Prasetyo, 2010: 56). Kutipan data di atas mendeskripsikan bahwa, Kartini berharap dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan begitu, ia akan mengikuti jejak karir sang kakak yang sukses mencapai keberhasilan di ranah publik dengan menjadi wartawan perang dunia pertama. Dari kutipan di atas, terdapat pola hubungan gender yang tidak mencerminkan nilai-nilai kesetaraan antara anak laki-laki dan anak perempuan di bidang pekerjaan. Ranah publik seolah-olah menjadi milik laki-laki karena perempuan tidak diikut sertakan berpartisipasi. 3. Pola hubungan Gender dalam Pernikahan Trdapat pula pola hubungan gender dalam bidang hubungan pernikahan. Ngasirah, seorang putri pasangan H. Modirono dan Hajah
15
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
Siti Aminah dari desa Teluk Awur.Setelah usianya mulai menginjak dewasa, Ngasirah di jodohkan dengan pejabat Wedana di Mayong, bernama Sosroningrat. Meski Ngasirah menolaknya, namun, keyakinan sang ayah untuk menjodohkannya sudah bulat. Berikut adalah jawaban pembelaan H. Modirono atas pertanyaan yang di lontarkan putrinya. “Mengapa aku harus menikah?” “Semua demi kemaslahatan di Teluk Awur, Anakku, agar pembesar itu ada ikatan dengan Teluk Awur. Dengan menikahimu, ia akan ada ikatan batin dengan tanah ini sehingga sukarela untuk memberikan bantuan bagi penduduk Teluk Awur. Jika kau mau menikah dengannya, kau akan membantu banyak orang untuk mencapai kesejahteraan yang di idam-idamkan. Bagaimana, kau mau kan?” tanya ayah Ngasirah, yang tak lain adalah Kiai Modirono. (Prasetyo, 2010: 48). Dengan menjodohkan anaknya, Ngasirah dengan Sosroningrat, Haji Modirono berharap kesejahteraan warga di Teluk Awur dapat hidup lebih baik. Selama ini Modirono merasa kewedanan kurang peduli terhadap kesejahteraan warga di Teluk Awur. Modirono dikenal masyarakat sebagai orang yang santun terhadap keluarga, lingkungan dan masyarakat.Kedermawanannya menyantuni warga yang kurang beruntung sungguh luar biasa.Dia rela menjadikan anak gadis satu-satunya itu sebagai alat untuk mendapatkan kesejahteraan warga di sekitarnya. Sungguh mulia H. Modirono dalam membantu masyarakat di sekitarnya hingga tidak ia sadari kalau perjodohan itu telah menyakiti dan melukai sang anak, Ngasirah. Mendengar alasan yang di lontarkan sang ayah, Ngasirah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kalaupun ia melawan, maka oleh adat, dia di sebut sebagai anak pembangkang yang tidak menuruti kemauan sang ayah. Ngasirah adalah gadis yang tidak ingin disebut pembangkang terhadap orang tuanya sehingga ia mau melakukan apa yang telah di rencanakan ayahnya, termasuk menjodohkannya. Kemudian, sang ibu, Siti Aminah memberikan keterangan kepada gadisnya itu bahwa, Sosroningrat mempunyai dua istri. Berikut adalah percakapan haru yang terjadi antara ibu dan anak. “Satu hal yang belum kau ketahui dan ibu minta kau sabar menghadapinya.” “Ada apa, Bu?”
16
“”Calon suamimu, Sosroningrat.” “Ya ada apa dengannya lagi? Aku sudah menerima kenyataan ia lebih pantas jadi ayahku daripada suamiku.” “Bukan itu, Nak.” “Lantas?” “Kau sabar jadi isteri mudanya ya.” “Memang istri Sosroningrat itu berapa?” “Dua,” jawab Ibu Siti Aminah singkat. (Prasetyo, 2010: 51). Ngasirah hanya bisa pasrah untuk menikah dengan pejabat kewedanan. Terlebih ia tahu kalau calon suaminya itu tengah beristri dua. Sang ibu, Siti Aminah memintanya untuk tabah menjalani nasib yang tengah digariskan kepadanya, menjadi istri muda. Tujuan H. Modirono menjodohkan gadis belianya dengan laki-laki yang tengah mempunyai istri dua itu tidak semata-mata mutlak demi kebahagiaan anaknya.Terdapat tujuan yang lebih besar yang ingin diraih di belakang pernikahan gadisnya itu. “Satu hal yang akhirnya ibu akhirnya banyak belajar tentang perkawinan paksaan adalah tujuan perkawinan ternyata tak semata-mata ikatan cinta dan asmara yang begitu rendah, tetapi ada tujuan-tujuan yang lebih besar dari itu.Motif politik, kekuasaan, dan strategi untuk menyatukan dua bangsa yang bertikai, atau perkawinan berarti akanada dua buah keluarga besar yang berkumpul dan menyusun kekuatan, atau dua kekuatan yang dahulu bertikai bisa lebur menjadi penyatuan yang kokoh dan utuh.” (Prasetyo, 2010: 49). Selang beberapa tahun setelah pernikahan Ngasirah dengan Wedana Mayong berlangsung, Sosroningrat kemudian dicalonkan menjadi bupati di Jepara.Namun, Sosroningrat belum memenuhi salah satu syarat yang sudah menjadi tradisi, yakni menikahi gadis keturunan bangsawan. Demi melempangkan jalan menuju kursi bupati, Sosroningrat pun berusaha meminta restu dari Ngasirah sang isteri. “Aku bisa diangkat menjadi bupati asalkan harus menikahi perempuan keturunan ningrat.” “Apa?” “Maafkan aku, Yayi,” Kata Raden Mas.Ia justru yang bersimpuh, memeluk kaki berjarik milik Ngasirah. Ngasirah sendiri sebenarnya sudah tidak kuat
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013 berdiri, telinganya bagai mendengar bunyi petir di sebelahnya, kepalanya seperti diserang ribuan tawon mengamuk, hampir-hampir saja tubuhnya limbung, jika tidak disangga oleh tubuh Raden Mas yang gagah ia sudah jatuh. (Prasetyo, 2010: 64). Ngasirah merupakan sosok istri yang taat dan patu pada suami.Dia mencoba menikmati masa-masa pernikahannya dengan laki-laki pilihan ayahnya. Namun di tengah kecintaannya terhadap suami yang mulai tertanam, Ngasirah dihadapkan pada kenyataan bahwa, ia harus merelakan suami yang dicintainya itu menikahi perempuan lain. “Siapa yang akan kau nikahi?” tanya Ngasirah sambil terbata-bata. “Raden Ayu Muryam, seorang putri bangsawan keturunan Madura, putra bupati jepara sebelumnya, Citrowikromo,” jawab Sosroningrat yakin “Kalau Yayi benar-benar mencintai aku, Yayi harus merelakan aku untuk menikah lagi, demi anak-anak kita, demi kehidupan yang lebih baik.” (Prasetyo, 2010: 65). Ngasirah harus merelakan menjadi permaduan Sosroningrat. Selain menjadi madu bagi orang lain, kedudukan Ngasirah secara hukum adat yang berlaku di masyarakat, akan menggesernya menjadi Garwa ampil karena ia dari rakyat biasa. Sedangkan Raden Ayu Muryam akan langsng mendapatkan status gurwa pami. Meski tidak dinikahi yang pertama, namun ia tetap menjadi yang utama bagi Sosroningrat karena dia dari keturunan ningrat, sedangkan Ngasirah, meski yang di nikahi pertama, namun bukan yang utama bagi Sosroningrat. Kedudukannya akan secara otomatis berubah menjadi istri simpanan (selir). Kekuasaan telah mengalahkan kekuatan cinta yang tengah tumbuh dan berakar pada diri mereka karena pada hakikatnya, kebahagiaan yang hakiki di dalam sebuah keluarga ketka mereka dapat menyatukan dua pendapat yang berbeda untuk saling melengkapi dan saling menghargai sehingga terjalin keharmonisan yang hakiki.Kini, kebahagiaan Sosroningrat adalah derita bagi Ngasirah. “Raden Muryam telah melempangkan jalanku menuju kursi bupati Jepara, sedangkan Ngasirah, istriku yang cantik
itu, telah banyak memberikan kebahagiaan padaku, yakni, tiga orang anak laki-laki yang kini sudah mulai belajar berjalan, …” (Prasetyo, 2010: 88). C. HASIL TEMUAN BENTUK HUBUNGAN GENDER Berdasarkan uraian di atas mengenai bentuk hubungan gender melalui pendekatan feminisme liberal, bahwa cerita novel The Chronicle of Kartini menggambarkan nilainilai feminis yang tidak mencerminkan nilainilai kesetaraan, kesejajaran, kemitraan, dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Faktor yang menggambarkan nilainilai feminis yang tidak mencerminkan nilainilai kesetaraan, kesejajaran, kemitraan, dan keadilan gender antara laki-laki dan perempuan lebih disebabkan oleh Sosroningrat yang bertindak sebagai kepala keluarga.Dalam menjalani kehidupannya sebagai kepala keluarga, dia memberlakukan struktur budayapatriarki yang terwujud dalam adat dan aturan-aturan yang menyikapi perempuan, sebagai pribadi, maupun kelompok.Menurut Faturochman, institusi dasar dalam pembentukan budaya patriarki adalah keluarga, di mana ideologi patriarki terpelihara dengan baik dalam masyarakat tradisional maupun modern (2002: 16). Sistem patriarki meletakkan perempuan sebagai mahluk inferior sekaligus meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan. “The patriarchy had made women the inferiors. There are many stereotypes, judgements and also myths to marginalize women. These stigmas are created to resist men’s authorities. Men found that they can control women by creating the myths: their irrationalities, complexities, and the myth that women are unable to be understood.”(Tong, 2009: 267). Di dalam bidang pendidikan, anak laki-laki diberi kebebasan mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya sedangkan perempuan tidak. Di dalam pekerjaan, laki-laki bekerja di ranah publik dan perempuan bekerja di ranah domestik. Dan di dalam hubungan pernikahan, laki-laki dapat menikahi perempuan lebih dari satu sedangkan perempuan hanya menjadi korban dari peraturan-peraturan yang ada.Perempuan di dalam cerita, baik istri maupun anak, di harapkan selalu dapat menjadi seorang pribadi
17
WANASTRA Vol. IV No. 1 Maret 2013
yang baik, tunduk, dan patuh pada kekuasaan laki-laki sebagai kepala keluarga. Budaya patriarki yang melekat di dalam keluarga, ditunjukkan dalam tiga ranah, yakni pendidikan, pekerjaan, dan hubungan pernikahan.Di ranah pendidikan, kepala keluarga, melarang anak perempuannya bersekolah.Anak perempuan tidak di berikan akses pendidikan sehingga menyebabkan perempuan menjadi tertinggal dan tidak berkembang.Di ranah pekerjaan, anak perempuan tidak diberikan kesempatan bekerja di ranah publik. Perempuan dididik hanya untuk bekerja di ranah domestik, seperti melakukan pekerjaan-pekerjaan dapur, mengurus dan mendidik anak, serta melayani suami.Dan di ranah hubungan pernikahan, perempuan di intimidasi melalui praktik poligami, perjodohan, dan tuntutan.
V. KESIMPULAN Dari hasil penelitian novel The Chronicle of Kartini, peneliti menemukan adanya bentuk-bentuk hubungan gender terjadi dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan hubungan pernikahan. Namun dari hasil tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa dari bentuk-bentuk hubungan yang terjalin, terdapat bentuk hubungan gender atau nilai-nilai feminis yang tidak mencerminkan nilai-nilai kesetaraan, kemitraan, dan keadilan antara lakilaki dan perempuan. Hal ini tergambar bahwa, anak laki-laki diberi kebebasan mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya sedangkan perempuan tinggal di rumah sampai menunggu calon suami meminangnya. Laki-laki bekerja di ranah publik dan perempuan bekerja di ranah domestik seperti melayani suami, mendidik anak dan melakukan pekerjaan dapur. Laki-laki berhak menikahi lebih dari satu perempuan. Artinya, secara tidak langsung perempuan mendapat perlakuan tidak adil yang mengarah pada kekerasan berupa tekanan psikologis. Bentuk hubungan gender dalam novel The Chronicle of Kartini berjalan tidak selaras karena dominasi yang dilakukan oleh laki-laki adalah untuk membuat kepentingankepentingan perempuan tidak tergambarkan atau terpetakan serta tidak menjadi perhatian dan di buat menjadi keputusan.
18
DAFTAR PUSTAKA Beasley, Chris. 2005. Gender and Sexuality: Critical Theories, Critical Thinkers. London: SAGE Publications Ltd. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: PT. Buku Seru. Fayumi, Badriyah, dkk. 2001. Keadilan dan kesetaraan Gender (Perspektif Islam). Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI. Freedman, Estelle B. 2007.The Essential Feminist Reader. New York: The Modern Library. Murniati, A. Nunuk. 2004. Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Magelang: Yayasan Indonesiatera. Murniati, A. Nunuk. 2004. Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM. Magelang: Yayasan Indonesia. Ratna, Nyoman. 2010. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rooney, Ellen. 2006. Feminist Literary Theory. United Kingdom: Cmbridge University Press. Thornham, Sue. 2000. Feminist Theory and Cultural Studies: Stories of Unsetted Relations. London: Arnold. Tong, Rosemarie. 2009. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. University of North Carolina: Westview Press.