i
POTENSI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI APUNG UNTUK MENGATASI RISIKO BANJIR
SARAH PURNAMAWATI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
ii
ABSTRACT SARAH PURNAMAWATI, The Potential Development of Floating Rice Cultivation Technology to Address the Flood Risk. Supervised by RIZALDI BOER. Rice is one of the main food in Indonesia. Demand for rice increases as the population increases. The national rice production has not been able to meet the needs of national consumption. In the last number of years, Indonesia has to import rice to meet the demand. On the other hand, the risks and impacts of climate anomalies, such as floods and droughts, become more frequent and more intense. The climate hazards have been found to be main threat to agricultural production systems and national food security. In some specific area such as in coastal areas, the occurrence of environmental damage coupled with the problem of rising sea, flood has already become an annual disaster. The floods last for a few months during the rainy season and this does not allow farmer to plant the rice in this season. This research examines the potential of rice floating technology to address the problem of the annual floods which occurred in Pamotan Village, Ciamis District, West Java and Rawaapu Village, Cilacap District, Central Java. Floating rice technology addresses the flood risk using raft as cropping medium. The results of the analysis indicated that the floating rice technology is very potential to be applied in areas that have already been experiencing annual flooding problem. The economic feasibility of this technology is also very high. The total revenue earned by floating rice farming is greater than the total income of the conventional rice farming in Pamotan and Rawaapu. This is demonstrated by the higher ratio of revenue and cost (R/C) of floating rice farming than that of the conventional technique. The R/C of the floating rice reached 2,03 while that of the conventional rice was only 1,71. This suggests that the floating rice cultivation is not only very potential to address the problem of permanent flood but also for increasing farmers income. Key words: adaptation, flood, floating rice, farming revenue analysis
iii
ABSTRAK SARAH PURNAMAWATI, Potensi Pengembangan Teknologi Budidaya Padi Apung untuk Mengatasi Risiko Banjir. Dibimbing oleh RIZALDI BOER. Beras merupakan sumber makanan pokok masyarakat Indonesia. Permintaan terhadap beras terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Namun, produksi beras nasional belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi nasional. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia harus impor beras untuk memenuhi permintaan. Di lain pihak, risiko dan dampak anomali iklim, seperti banjir dan kekeringan, semakin sering terjadi. Bencana alam menjadi ancaman utama bagi sistem produksi pertanian dan ketahanan pangan nasional. Di beberapa wilayah tertentu seperti di kawasan pantai, terjadinya kerusakan lingkungan ditambah dengan adanya masalah kenaikan muka air laut, bencana banjir sudah menjadi bencana tahunan. Banjir terjadi beberapa bulan selama musim hujan sehingga penanaman padi tidak memungkinkan. Penelitian ini mengkaji potensi pengembangan teknologi padi apung untuk mengatasi masalah banjir tahunan yang terjadi di Desa Pamotan, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Rawaapu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Teknologi padi apung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam sebagai upaya untuk adaptasi terhadap bencana banjir. Hasil analisis menunjukkan bahwa teknologi padi apung sangat berpotensi untuk dikembangkan di wilayah yang sudah mengalami masalah banjir tahunan. Kelayakan ekonomi teknologi ini sangat tinggi. Pendapatan total yang diperoleh usahatani padi apung lebih besar daripada pendapatan total usahatani padi konvensional baik di Desa Pamotan dan Rawaapu. Hal ini ditunjukkan oleh lebih tingginya nilai rasio antara penerimaan dan biaya (R/C) usahatani padi apung dibanding konvensional. R/C usahatani padi apung mencapai 2,03 sementara padi konvensional hanya 1,71. Hal ini menunjukkan bahwa budidaya padi apung perlu dikembangkan terutama pada lahan yang mengalami banjir permanen. Kata kunci: adaptasi, banjir, padi apung, analisis pendapatan usahatani
iv
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
v
POTENSI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI APUNG UNTUK MENGATASI RISIKO BANJIR
SARAH PURNAMAWATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
vi
Judul Nama NIM
: Potensi Pengembangan Teknologi Budidaya Padi Apung untuk Mengatasi Risiko Banjir : Sarah Purnamawati : G24080068
Disetujui oleh Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer M.Sc NIP. 19600927 1989031 002
Diketahui oleh Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus :
vii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Potensi Pengembangan Teknologi Budidaya Padi Apung untuk Mengatasi Risiko Banjir. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyelesaian tugas akhir ini terdapat keterlibatan beberapa pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Papa H. Muhidin. S.E (alm), Mama Dra. Hj. Nety Hermawati, dan Adik Dwiyanti Pertiwi, yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang, dukungan, kesabaran dan pehatiannya. 2. Bapak Prof. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc atas segala bentuk bantuan, waktu, saran, pengarahan dan bimbingan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 3. Bapak Yon Sugiarto, S.Si, M.Sc dan Bapak Muh. Taufik, S.Si, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. 4. Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS selaku ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi serta Bapak Sonni Setiawan, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan nasihat yang membangun. 5. CCROM (Pak Faqih, Pak Ardi, Kak Adi, dan Kak Ikhsan), IPPHTI (Pak Kustiwa, Pak Feri, Pak Nyabar, Pak Een dan Pak Josep), dan DKH (Pak Leo, Mba Inggrid, Pak Renee dan Pak Gedo) yang telah memberikan informasi, dukungan moral dan materil selama masa penelitian. 6. Pak Anan, Bu Ade, dan Fera serta seluruh petani di desa Pamotan dan Rawaapu yang telah memberikan bantuan dan informasi selama masa penelitian. 7. Seluruh dosen dan staff departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. 8. Citra Pratiwi, Ernawati Apriani dan Ratna Dila atas persahabatan, cerita dan suka dukanya serta Dody Setiawan sebagai teman bimbingan tugas akhir. 9. Teman-teman seperjuangan di GFM 45 (Faiz, Fe, Arif, Sintong, Aulia, Miftah, Yuda, Hanifah, Joy, Ketty, Fida, Dewa, Firman, Iput, Akfia, Fitra, Okta, Dilper, Asep, Mirna, Dewi, Fitri, Fauzan, Maria, Pacul, Tiska, Putri, Geno, Ruri, Nia, Dora, Nadita, Widya, Fatchah, Topik, Ria, Farah, Aila, Usel, Nisa, Diyah, Emod, Mela, Pungki, Adit, Adi, Yoga, Dicky, Mail, Ian, Fella) atas canda, tawa, persahabatan, kerjasama, bantuan dan dukungannya. 10. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebut satu per satu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Bogor, Januari 2013
Penulis
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, tanggal 27 Juli 1991 dari pasangan Bapak H. Muhidin S.E. (alm) dan Ibu Dra. Hj. Nety Hermawati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan masa sekolah di TK Nurul Fatimah 1996, SD Negeri Pengadilan 3 Bogor tahun 2002, SMP Negeri 8 Bogor tahun 2005. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Gentra Kaheman divisi drama dan angklung tahun 2008-2010, anggota PRAMUKA IPB tahun 2009-2010, pengurus Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (Himagreto) pada Departemen Informasi dan Komunikasi serta anggota Indonesian Climate Student Forum (ICSF) tahun 2010-2012. Pada tahun 2011 penulis melakukan kegiatan magang di Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) Pekayon Jakarta, bagian Mitigasi dan Bencana. Untuk memperoleh gelar Sarjana Sains IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Potensi Pengembangan Teknologi Budidaya Padi Apung untuk Mengatasi Risiko Banjir dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer M.Sc.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................................... x I. PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................ 1 1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................................................... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................... 1 2.1 Perubahan Iklim ...................................................................................................................... 1 2.2 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pertanian........................................................................ 1 2.3 Pengaruh Banjir Terhadap Produksi Padi ............................................................................... 2 2.4 Usahatani ................................................................................................................................ 2 2.5 Analisis Usaha Tani ................................................................................................................ 3 2.5.1 Analisis Pendapatan Usaha Tani ...................................................................................... 3 2.5.2 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio Analysis) ..................................... 3 III. METODOLOGI ....................................................................................................................... 3 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................................................. 3 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................................................ 3 3.3 Metode Penelitian ................................................................................................................... 4 3.3.1 Analisis Karakter Petani Responden ................................................................................ 4 3.3.2 Analisis Pendapatan Usahatani ........................................................................................ 4 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................... 4 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................................................................... 4 4.2 Karakteristik Petani Responden .............................................................................................. 5 4.2.1 Jenis Kelamin dan Usia .................................................................................................... 5 4.2.2 Tingkat Pendidikan .......................................................................................................... 5 4.2.3 Jumlah Tanggungan Keluarga .......................................................................................... 6 4.2.4 Pengalaman Bertani .......................................................................................................... 6 4.3 Teknologi Budidaya Padi Apung ............................................................................................ 6 4.4 Analisis Perbandingan Efisiensi Usahatani Padi Konvensional dengan Padi Apung ............. 7 4.5 Potensi Pengembangan Budidaya Padi Apung di Desa Pamotan dan Rawaapu ..................... 8 V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................... 8 5.1 Kesimpulan ............................................................................................................................. 8 5.2 Saran ....................................................................................................................................... 8 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 8 LAMPIRAN .................................................................................................................................... 11
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kerawanan bencana pada sawah di Desa Pamotan ........................................................................ 5 2 Kerawanan bencana pada sawah di Desa Rawaapu ....................................................................... 5 3 Perbandingan biaya dan hasil padi konvensional dan padi apung .................................................. 7 4 Biaya pembuatan rakit per hektar ................................................................................................... 8
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta Desa Pamotan dan Rawaapu .................................................................................................. 4 2 Perbandingan hasil produktivitas padi apung dengan padi konvensional di Kecamatan Kalipucang (a) dan Kecamatan Patimuan (b). ............................................................................... 7
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Usahatani Pamotan ....................................................................................................................... 11 2 Usahatani Rawaapu ...................................................................................................................... 12 3 Dokumentasi ................................................................................................................................ 13
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyediaan pangan, terutama beras merupakan prioritas utama dalam pembangunan nasional. Selain sebagai makanan pokok untuk lebih dari 95% rakyat Indonesia, padi juga telah menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 20 juta rumah tangga petani pedesaan. Menurut Badan Pusat Statistik (2012), selama 10 tahun terakhir produksi padi di Indonesia mengalami peningkatan rata-rata 2,4% per tahun. Walaupun meningkat ternyata laju produksi padi belum mampu memenuhi konsumsi beras yang mencapai 139 kg per kapita per tahun. Keragaman produksi beras di Indonesia sangat dipengaruhi unsur iklim. Kegagalan panen yang meluas seringkali terjadi akibat berlangsungnya kejadian iklim esktrim baik dalam bentuk banjir maupun kekeringan. Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa kegagalan panen akibat kejadian iklim ekstrim baik banjir maupun kekeringan cenderung meningkat (Boer dan Subbiah 2005, Boer dan Suharnoto 2012). Disamping itu pada daerah dataran rendah, khususnya di dekat kawasan pantai, tingkat ancaman banjir juga meningkat karena terjadinya kerusakan lingkungan pada wilayah tangkapan hujan yang menyebabkan debit sungai meningkat di kawasan hilir ditambah dengan adanya masalah kenaikan muka air laut. Pada beberapa wilayah di Indonesia seperti di Kabupaten Ciamis dan Cilacap, wilayah pertanaman padi sudah ada yang tergenang selama musim hujan sehingga tidak bisa lagi dilakukan penanaman padi (Adinata 2012). Di Desa Rawaapu, Kabupaten Ciamis sekitar 300 ha dan Pamotan, Kabupaten Cilacap sekitar 200 ha lahan pertanian selalu mengalami kebanjiran dengan tinggi hingga 1 m dengan lama waktu banjir sampai 4 bulan pada musim hujan (IPPHTI 2012). Hal ini disebabkan oleh peningkatan curah hujan, luapan sungai maupun rob yang disebabkan oleh perubahan iklim sehingga sumber mata pencaharian utama masyarakat kedua desa tersebut hilang. Untuk mengatasi hal tersebut, dikembangkan teknologi budidaya padi apung. Budidaya padi apung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam sebagai upaya untuk adaptasi terhadap bencana banjir.
Dalam upaya pengembangan budidaya padi apung untuk mengatasi masalah banjir tahunan, perlu dilakukan analisis ekonomi sehingga dapat diketahui perbandingan potensi usaha ini dengan padi konvensional di Indonesia terutama di Desa Pamotan dan Rawaapu. 1.2 Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Penelitian ini bertujuan untuk: Mempelajari teknologi padi apung. Menganalisis efektifitas biaya (analisis ekonomi) pengelolaan padi apung. Menduga potensi pengembangan budidaya padi apung di Desa Pamotan dan Rawaapu. II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan Iklim Iklim adalah rata-rata jangka panjang kondisi atmosfer (cuaca) di suatu tempat. Menurut IPCC (2007), perubahan iklim adalah perubahan yang terjadi pada kondisi iklim yang dapat diidentifikasi (misal, dengan menggunakan uji statistik) melalui perubahan-perubahan pada nilai rata-rata atau variabilitas iklim, dan perubahanperubahan tersebut terjadi pada periode panjang, yaitu dekade atau lebih. Perubahan iklim disebabkan oleh proses-proses alamiah maupun yang dipercepat akibat aktifitas manusia (antropogenik) di muka bumi ini. Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim adalah: a) Meningkatnya frekuensi bencana alam/cuaca ekstrim seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, dan badai tropis b) Mengancam ketersediaan air c) Mengakibatkan pergeseran musim dan perubahan pola hujan d) Menurunkan produktivitas pertanian e) Peningkatan temperatur akan mengakibatkan kebakaran hutan f) Mengancam biodiversitas dan keanekaragaman hayati (Susandi et al. 2008). Beberapa daerah tertentu di Indonesia sangat rentan terhadap berbagai bahaya perubahan iklim antara lain seperti kekeringan, banjir, tanah longsor, dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat dan keadaan sumberdaya alam (Lietmann 2009). 2.2 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pertanian Sistem produksi padi nasional merupakan salah satu sistem yang dinilai
2
rentan terhadap kemungkinan perubahan dan anomali iklim. Kedua gejala alam ini bersifat global dan sangat besar pengaruhnya terhadap pola unsur-unsur iklim, seperti jumlah dan pola curah hujan, presipitasi lainnya, serta suhu udara dan lain-lain. Perubahan iklim yang terjadi secara global secara jelas dapat dirasakan dalam beberapa tahun terakhir seperti peningkatan temperatur udara, peningkatan ketinggian permukaan air laut dan perubahan pola hujan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan kebanjiran secara ekstrim (Mirza 2003). Peningkatan intensitas kejadian banjir sebagai efek perubahan iklim global dapat menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan produksi beras nasional. Banjir yang terjadi pada saat musim tanam padi akan menyebabkan penurunan produksi padi. Berdasarkan hasil simulasi, apabila terjadi perubahan iklim diperkirakan pada tahun 2030 untuk kondisi normal, rata-rata hasil tanaman padi akan lebih rendah dari rata-rata hasil padi saat ini, terjadi penurunan masing-masing sekitar 20% hingga 30% (Amien et al. 1999). 2.3 Pengaruh Banjir Terhadap Produksi Padi Banjir adalah peristiwa meluapnya air yang menggenangi permukaan tanah, dengan ketinggian melebihi batas normal. Banjir umumnya terjadi pada saat aliran air melebihi volume air yang dapat ditampung dalam sungai, danau, rawa, drainase, tanggul, maupun saluran air lainnya pada selang waktu tertentu (Rahayu 2009). Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan sungai. Hal ini terjadi karena air hujan tidak dapat merembes ke bumi melainkan mengalir menjadi air permukaan. Penyebab banjir antara lain adalah curah hujan yang tinggi, penutupan hutan dan lahan yang tidak memadai serta perlakuan atas lahan yang salah (Abidin et al. 2004). Menurut Gusti dan Padjung (2003), kedalaman banjir dikategorikan menjadi 3 yaitu banjir ringan, banjir sedang dan banjir berat. Banjir ringan adalah banjir dengan kedalaman 0,85 m dengan waktu genangan 21,7 jam, yang dikategorikan sebagai banjir sedang, kedalamannya 1,16 m dengan waktu genangan 34,9 jam, dan yang termasuk kategori banjir berat, kedalamannya 1,89 m dengan waktu genangan 42 jam.
Banjir dengan kategori ringan menyebabkan bibit yang dipindah-tanam pertama (first transplanted seedlings) mengalami kerusakan sebesar 20,6%, sedangkan banjir dengan kategori berat dapat merusak sampai 60%. Hal tersebut lebih menjelaskan bahwa tanaman padi rentan terhadap banjir pada periode pertumbuhan awal, khususnya pada saat baru dipindahtanamkan (Gusti dan Padjung 2003). Tanaman padi meskipun secara alami merupakan tanaman semi-akuatik yang dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan berair, namun terjadinya rendaman terhadap seluruh bagian tanaman dalam jangka panjang dapat merusak jaringan tanaman padi akibat terganggunya proses fisiologis tanaman hingga menyebabkan kematian (Ito et al. 1999). Semakin lama tanaman padi dalam kondisi terendam, presentase tanaman yang tumbuh akan semakin kecil. Menurut Gomosta, Hossain dan Haque (1981), tanaman padi air dalam (deepwater rice) tidak mampu menghasilkan anakan atau tidak mampu tumbuh kembali setelah direndam pada kedalaman air 70 cm selama 5 hari. 2.4 Usahatani Pertanian merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia pada suatu lahan tertentu, dalam hubungannya antara manusia dengan lahan yang disertai pertimbangan tertentu. Menurut Soekartawi (2002), ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki sebaikbaiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi suatu usahatani adalah lahan, tenaga kerja, modal, dan manajemen (Rahim dan Hastuti 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani digolongkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada pada usahatani itu sendiri, seperti petani pengelola, lahan usahatani, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga, dan
3
jumlah keluarga. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor di luar usahatani, seperti tersedianya sarana transportasi dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga hasil, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit, dan sarana penyuluhan bagi petani (Suratiyah 2006). Sistem usahatani berbasis padi sawah dilakukan pada hamparan (landscape) datar di zona agroekologi basah sampai lembab yang lebih dari 70% berupa lahan sawah irigasi. Padi sawah bergantung pada curah hujan, masa tanam dan ketersediaan air irigasi (Fagi dan Partohardjono 2004). 2.5 Analisis Usaha Tani Analisis usahatani adalah alat analisis yang digunakan untuk pengukuran keberhasilan usahatani dan bertujuan untuk melihat keragaan suatu kegiatan usahatani, yang terdiri dari analisis pendapatan usahatani dan analisis rasio penerimaan atas biaya (Soekartawi 2002). 2.5.1 Analisis Pendapatan Usaha Tani Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan tunai merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya tunai. Sedangkan pendapatan yang diperhitungkan merupakan selisih antara penerimaan total dengan biaya yang diperhitungkan (Soekartawi 2002). Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai. Sedangkan biaya yang diperhitungkan merupakan biaya yang tidak termasuk ke dalam biaya tunai tetapi diperhitungkan dalam usahatani (Hernanto 1991). Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual produk. Penerimaan terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan yang diperhitungkan. Penerimaan tunai merupakan penerimaan yang diterima petani dari hasil produksi yang benar-benar dijual. Sedangkan penerimaan yang diperhitungkan merupakan penerimaan didapat dari hasil produksi yang digunakan sendiri oleh petani tetapi tetap diperhitungkan kepada orang lain (Soekartawi 2002).
2.5.2 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio Analysis) Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pendapatan yang besar bukanlah sebagai petunjuk bahwa usahatani efisien. Suatu usahatani dikatakan layak apabila memiliki tingkat efisiensi penerimaan yang diperoleh atas setiap biaya yang dikeluarkan hingga mencapai perbandingan tertentu. Kriteria kelayakan usahatani dapat diukur dengan menggunakan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio analysis) yang didasarkan pada perhitungan secara finansial. Analisis ini menunjukkan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C maka akan semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan atau usahatani dikatakan menguntungkan. Adapun rumus yang digunakannya adalah sebagai berikut: ⁄
Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C Ratio) dapat digunakan untuk melihat keuntungan relatif dari suatu kegiatan cabang usahatani berdasarkan perhitungan finansial dimana yang menjadi titik perhatian adalah unsur biaya yang merupakan unsur modal. Dalam analisis ini akan diuji seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang dipakai dalam kegiatan cabang usahatani yang bersangkutan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dan Rawaapu, Kecamatan Patimuan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada bulan Mei sampai dengan November 2012. 3.2 Alat dan Bahan Data yang digunakan, yaitu: Data Primer Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani responden yang dipandu dengan kuesioner. 1.
4
2. Data Sekunder a. Data kejadian banjir di Kabupaten Ciamis dan Cilacap pada tahun 20052010 (BPS 2011) b. Data luas panen dan produksi padi di Kabupaten Ciamis dan Cilacap pada tahun 2005-2010 (BPS 2011) c. Data hasil produksi padi di Kabupaten Ciamis dan Cilacap pada musim hujan tahun 2005-2010 (BPS 2011) d. Data harga gabah 2012 (GKP dan GKG) (BPS 2011) e. Data harga jual Beras Organik (IPPHTI 2012)
3.3.3 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio) Analisis perbandingan antara penerimaan dan biaya dilakukan untuk mengetahui efisiensi dan kelayakan usahatani (Soekartawi 2002). ⁄ Jika nilai R/C > 1 maka usahatani tersebut layak atau sudah efisien, sedangkan jika nilai R/C < 1 maka usahatani tersebut tidak layak atau tidak efisien. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa: 1. Seperangkat komputer 2. Perangkat lunak Microsoft Office 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Analisis Responden
Karakter
Petani
Karakteristik petani diperoleh melalui wawancara yang dilakukan di lokasi penelitian. Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling (pengambilan contoh sengaja), yaitu metode pengambilan contoh dimana peneliti menentukan dengan sengaja contoh yang akan diteliti dengan tujuan menyajikan atau menggambarkan beberapa sifat di dalam populasi (Suhaeti dan Basuno 2004). Petani responden dalam penelitian ini berjumlah 30 orang, terdiri dari 15 petani Desa Pamotan dan 15 petani Desa Rawaapu.
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Pamotan dan Rawaapu didominasi oleh dataran rendah dengan ketinggian sekitar dua meter di atas permukaan laut. Walaupun berbatasan dengan laut Indonesia, kedua desa ini bukan termasuk tipe topografi pantai. Terdapat Laguna Segara Anakan yang menjadi pembatas antara daratan desa dengan wilayah perairan. Menurut klasifikasi iklim Schmidt Ferguson, kedua desa ini termasuk tipe iklim A dengan curah hujan rata-rata 3,4 mm/tahun dan curah hujan bulanan berkisar 7-34 mm selama musim kemarau dan 226,4-852 mm selama musim hujan. Lokasi desa yang berjarak cukup dekat dengan lautan ini menyebabkan suhu udara relatif panas dengan suhu ratarata bulanan 26,7 oC.
3.3.2 Analisis Pendapatan Usahatani Usahatani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal (Suratiyah 2006). Secara umum pendapatan atas biaya total: dimana Keterangan: YT = pendapatan total atau keuntungan total usaha tani (Rp.) TR = total penerimaan usaha tani (Rp.) BT = biaya total termasuk biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan (Rp.) Px = harga output (Rp./kg) Qx = jumlah output (kg)
Gambar 1 Peta Desa Pamotan dan Rawaapu
5
Desa Pamotan dan Rawaapu memiliki masyarakat dengan mata pencaharian utama sebagai petani. Tanah di kedua desa tersebut terdiri atas lapisan tanah aluvial sehingga sangat cocok untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Luas sawah di Desa Pamotan mencapai 221 ha atau sekitar 50% dari total luas lahan pertanian. Dari luasan ini sekitar 78,5 ha sawah berada di Dusun Pamotan, 125,5 ha di Dusun Ciawitali dan 17 ha sawah di Dusun Majingklak. Untuk Desa Rawaapu luas sawah mencapai 301,5 ha atau sekitar 65% dari total lahan pertanian. Sebanyak 60 ha sawah berada di Dusun Kalenanyar, 50 ha di Dusun Rawaapu, 91,5 ha di Dusun Cikuning dan 100 ha di Dusun Cikadim. Tabel 1 Kerawanan bencana pada sawah di Desa Pamotan Dusun
Rob (ha)
Megu (ha)
1
Pamotan
40
32
Panen 1 kali/tahun (ha) 6,5
2
Ciawitali
20
0
105,5
3
Majingklak
17
0
0
Total
77
32
112
No
Sumber: Data Risk Assesment IPPHTI (2012) Tabel 2 Kerawanan bencana pada sawah di Desa Rawaapu No
Dusun
Rob (ha)
Megu (ha)
1 2 3 4
Kalenanyar Rawa Apu Cikuning Cikadim Total
5 3 22 0 30
5 7 30 0 42
Panen 1 kali/tahun (ha) 0 0 0 25 25
Sumber: Data Risk Assesment IPPHTI (2012) Di kedua desa tersebut sebagian besar area persawahan berupa lahan tadah hujan, ada juga areal yang dekat dengan saluran irigasi namun pembagian air belum merata. Sistem usahatani padi di dua desa tersebut rawan terhadap ancaman banjir baik akibat luapan sungai dan naiknya muka air laut (rob), khususnya saat terjadi penyimpangan iklim cukup ekstrim. Pada beberapa tahun terakhir, sawah produktif hanya mampu dipanen 1 kali dalam setahun akibat kondisi lahan dan iklim yang tidak mendukung. Hasil pengamatan IPPHTI (2012) menunjukkan bahwa sawah yang mengalami ancaman banjir akibat rob (banjir bandang)
dan megu (banjir menggenang) mencapai 109 ha untuk desa Pamotan (Tabel 1) dan 122 ha untuk desa Rawaapu (Tabel 2). Pada musim banjir masyarakat sudah melakukan adaptasi dengan menanam varietas padi yang cukup tahan terhadap air asin seperti varietas Ciherang dan IR serta melakukan sistem tanam ulang. Namun pada lahan yang tergenang lama (banjir tahunan) belum ditemukan upaya adaptasi karena lahan tidak dapat ditanami. 4.2 Karakteristik Petani Responden 4.2.1 Jenis Kelamin dan Usia Responden didominasi oleh petani berjenis kelamin laki-laki yaitu 29 responden (97%) dan perempuan 1 responden (3%) dengan usia termuda 35 tahun dan usia tertua 80 tahun. Umur merupakan faktor yang berpengaruh pada pola pikir dan kemampuan fisik untuk bekerja. Menurut BPS (2011) Usia produktif yaitu usia 15-64 tahun sedangkan usia non produktif yaitu penduduk dengan kelompok usia 0-14 dan 65 tahun ke atas. Umur responden didominasi oleh umur petani yang memiliki rentang umur antara 51-60 tahun yaitu sejumlah 18 responden (60%). Kisaran umur tersebut masih termasuk pada golongan usia produktif. Petani responden lainnya berasal dari kelompok umur 41-50 tahun yang berjumlah 5 orang (17%), kelompok umur dibawah 41 tahun berjumlah 3 orang (10%), dan kelompok umur diatas 60 tahun berjumlah 4 orang (13%). 4.2.2 Tingkat Pendidikan Pada umumnya petani yang memiliki tingkat pendidikan terbatas, menggunakan teknologi sederhana yang diperoleh turun temurun dalam kegiatan usahatani. Penyerapan teknologi baru cenderung lebih cepat ditangkap oleh petani yang berpendidikan (Hendayana 2003). Tingkat pendidikan petani responden bervariasi mulai dari tidak sekolah hingga S1. Sebagian besar petani responden menempuh pendidikan sampai dengan tingkat dasar (SD) yaitu berjumlah 22 orang (73%). Tingkat pendidikan tersebut masih relatif rendah. Responden lainnya menempuh pendidikan sampai tingkat menengah (SMP) berjumlah 2 orang (7%), SMA berjumlah 2 orang (7%), D3 berjumlah 1 orang (3%), S1 berjumlah 1 orang (3%).
6
Adapun responden yang tidak sekolah berjumlah 2 orang (7%). 4.2.3 Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan petani mempengaruhi pendapatan yang akan diperoleh dari suatu usahatani, karena semakin tinggi jumlah tanggungan artinya semakin tinggi pula pengeluaran petani, sehingga tidak mampu mengembangkan pertanian yang diusahakan (Malian 2004). Jumlah tanggungan rata-rata petani responden yaitu sebanyak 4 orang dengan jumlah tanggungan terbanyak sebesar 9 orang dan tanggungan terendah sebanyak 1 orang. Pada umumnya jumlah tanggungan berada pada kisaran 1 sampai 5 orang, yakni sebanyak 26 orang (87%). Responden lainnya memiliki jumlah tanggungan 6-10 orang sebanyak 4 orang (13%). 4.2.4 Pengalaman Bertani Tingkat pengalaman yang dimiliki seorang petani dapat dilihat dari seberapa lama petani tersebut terjun dalam kegiatan usahatani (Swastika 2004). Petani responden pada umumnya memiliki pengalaman bertani sejak kecil yang diajarkan turun temurun dari orang tua mereka dengan ratarata pengalaman bertani sebanyak 9 tahun. Sebagian besar petani responden memiliki pengalaman bertani sebanyak 31 sampai 40 tahun, yaitu 11 orang (7%). Hal ini menunjukkan bahwa petani responden sangat berpengalaman. Responden lainnya memiliki pengalaman bertani selama 11-20 tahun berjumlah 5 orang (17%), 21-30 tahun berjumlah 8 orang (27%), 31-40 tahun berjumlah 11 orang (37%), di atas 40 tahun berjumlah 4 orang (13%). 4.3 Teknologi Budidaya Padi Apung Budidaya padi apung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam sebagai upaya untuk adaptasi terhadap bencana banjir. Rakit berfungsi sebagai penahan agar tanaman tidak rubuh ketika terkena angin dan tidak tenggelam di lahan yang terkena bajir. Rakit tersebut terbuat dari bambu agar mudah terapung dan untuk bagian tengah rakit menggunakan bambu yang dibelah dua dan disusun seperti pagar yang kemudian diisi dengan menggunakan limbah jerami dan sabut kelapa yang dicampur dengan kompos organik kemudian bagian atas rakit ditutup dengan jaring. Media tanam rakit tersebut
dapat digunakan hingga 6 kali musim tanam (3 tahun) (Adinata 2012). Dalam budidaya padi apung ini digunakan metode SRI (System Rice Intensification), yaitu suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi yang memanfaatkan dan mengelola kekuatan sumberdaya alam secara terpadu (tanaman, tanah, air, biota, dan nutrisi) untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi yang berbasis organik (Berkelaar 2001). Tanaman dipindahkan ke media tanam (rakit) ketika bibit padi sudah di semai selama 10 hari dan pupuk disemprotkan ke batang serta daun agar lebih efektif. Pupuk organik yang digunakan adalah PPC (Pupuk Pelengkap Cair) dan MOL (Micro Organism Local) (Adinata 2012). Budidaya padi apung merupakan salah satu upaya adaptasi terhadap perubahan iklim yang dikembangkan oleh Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) dan Center for Climate Risk and Oportunities Management (CCROM) IPB Bogor. Budidaya tersebut pertama kali dilakukan pada bulan Desember 2011 di Desa Pamotan dan Rawaapu. Kelebihan teknik budidaya padi apung, yaitu: 1. Tidak membutuhkan penyiraman air dan saluran irigasi. 2. Tidak membutuhkan traktor untuk membajak lahan. 3. Tidak membutuhkan pupuk kimia dan pestisida organik. 4. Tidak membutuhkan perawatan membersihkan rumput. 5. Mengurangi limbah jerami dan sabut kelapa. 6. Memanfaatkan lahan yang terbengkalai/ tidak produktif karena banjir dengan durasi yang panjang (satu musim tanam). 7. Bebas ancaman kekeringan pada musim kemarau untuk wilayah yang banjir tahunan. Namun budidaya padi apung juga memiliki kendala, antara lain: 1. Biaya pembuatan rakit yang cukup besar pada awal tanam. 2. Belum adanya fasilitas pemasaran beras organik di Desa Pamotan dan Rawaapu sehingga hasil panen masih di jual ke tengkulak dengan harga sama seperti beras biasa. 3. Petani masih menilai bahwa teknologi budidaya padi apung mahal dan merepotkan.
7
Produktivitas (Ton/ha)
8.0
Padi Konvensional
Padi Apung
7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 1
2
3
4
Musim Tanam
(a) Padi Konvensional
Padi Apung
Produktivitas (Ton/ha)
8.0 7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 1
2
3
4
Musim Tanam
(b) Gambar 2 Perbandingan hasil produktivitas padi apung dengan padi konvensional di Kecamatan Kalipucang (a) dan Kecamatan Patimuan (b). Di Desa Pamotan dan Rawaapu, hasil produktivitas padi apung menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan padi konvensional karena budidaya padi apung menggunakan metode SRI yang menghasilkan rumpun yang lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa budidaya padi apung sangat berpotensi untuk dikembangkan terutama di lahan yang mengalami banjir tahunan. 4.4 Analisis Perbandingan Efisiensi Usahatani Padi Konvensional dengan Padi Apung Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi dengan efektif, efisien, dan kontinu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga pendapatan usahataninya meningkat (Rahim dan Hastuti 2007). Analisis biaya usahatani dibagi menjadi dua yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Kegiatan usahatani dikategorikan layak jika memiliki nilai R/C ratio lebih besar dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan
penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya atau secara sederhana kegiatan usahatani menguntungkan. Sebaliknya kegiatan usahatani dikategorikan tidak layak jika memiliki nilai R/C ratio lebih kecil dari satu, yang artinya untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya atau kegiatan usahatani merugikan. Sedangkan untuk kegiatan usahatani yang memiliki nilai R/C ratio sama dengan satu berarti kegiatan usahatani berada pada keuntungan normal (Suratiyah 2006). Pada analisis usahatani di Desa Pamotan dan Rawaapu, diketahui bahwa penerimaan total rata-rata usahatani konvensional adalah sebesar Rp. 8.414.000 dengan biaya total rata-rata sebesar Rp. 14.350.000. Berdasarkan nilai tersebut diperoleh R/C ratio total usahatani padi konvensional adalah sebesar 1,71 artinya setiap Rp. 1 dari biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi konvensional akan memberikan penerimaan sebesar Rp. 1,71. Sedangkan untuk usahatani padi apung penerimaan total rata-rata yaitu sebesar Rp. 46.080.000 dengan biaya total rata-rata sebesar Rp. 22.742.000. Berdasarkan nilai tersebut diperoleh R/C ratio total usahatani padi apung sebesar 2,03 yang berarti bahwa setiap Rp. 1 dari biaya total yang dikeluarkan oleh petani padi apung akan memberikan penerimaan sebesar Rp. 2,03. Tabel 3 Perbandingan biaya dan hasil padi konvensional dan padi apung No I A 1 2 3 4 B 1 2 3 4 5 6 II
Komponen Biaya Produksi (Rp./ha) Biaya Tunai Benih Pupuk Pestisida Tenaga Kerja Biaya diperhitungkan Sewa Traktor Pajak Negara Pajak Desa Karung Penyusutan Alat Rakit Penerimaan (Rp./ha)
Padi Konvensional (Rp.)
Padi Apung (Rp.)
8.414.000
22.742.000
600.000 962.500 252.500 4.390.000
72.000 1.000.000 3.000.000
1.025.000 62.500 600.000 212.500
212.500
309.000
12.670.000
14.350.000
46.080.000
8
Biaya pembuatan rakit meliputi bilah bambu, bambu reng, jaring kolam, pupuk kandang dan tenaga kerja. Tabel 4 Biaya pembuatan rakit per hektar No 1 2 3 4 5
Biaya Pembuatan Satuan Rakit Bambu bulat 6 (panjang 5 m) batang Bambu reng (lebar 2 ikat 3-4 cm) Jaring 10 m Kompos organik Tenaga kerja Jumlah Biaya Rakit (6 musim) Jumlah per Musim
Harga (Rp.) 24.000.000 12.000.000 8.000.000 16.000.000 16.000.000 76.000.000 12.670.000
4.5 Potensi Pengembangan Budidaya Padi Apung di Desa Pamotan dan Rawaapu Di Desa Pamotan terdapat sekitar 70 ha dan Rawaapu sekitar 135 ha lahan sawah yang terkena banjir menahun sehingga tidak dapat ditanami. Lahan tersebut merupakan lahan yang sangat berpotensi terhadap pengembangan budidaya padi apung. Pendapatan (keuntungan) padi apung per hektar yaitu sebesar Rp. 23.338.000 hektar dengan hasil produksi rata-rata sebesar 6,4 ton. Apabila pada semua lahan yang berpotensi tersebut dikembangkan teknologi budidaya padi apung, maka akan terjadi peningkatan hasil produksi dan pendapatan bagi para petani di Desa Pamotan sebesar 448 ton dengan keuntungan Rp. 1.633.660.000 dan Rawaapu sebesar 864 ton dengan keuntungan Rp. 3.150.630.000. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi padi apung memberikan keuntungan yang sangat besar, tidak hanya bagi petani, tetapi juga terhadap perkembangan ekonomi di kedua desa tersebut. Namun demikian, agar teknologi ini dapat diterima dan diterapkan dengan baik oleh petani, pemerintah setempat dengan dukungan Kementerian Pertanian perlu mengembangkan kegiatan demonstrasi (pilot) yang lebih luas dan memperkuat program penyuluhan dan juga akses terhadap kredit khususnya dalam membantu petani memenuhi kebutuhan investasi awal yang cukup besar untuk membangun media tanam untuk padi apung (lihat Tabel 3). Penelitian tentang pengembangan model media tanam padi apung dengan biaya yang lebih murah dan lebih tahan lama juga perlu dikembangkan. Menurut Kementerian Pertanian Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (2012) lahan pertanian seluas 3.457 ha terkena banjir di Kecamatan Ciamis dan
sekitar 1.082 ha diantaranya puso. Sementara itu di Kabupaten Cilacap lahan yang terkena banjir sekitar 5.598 ha dan sekitar 2.130 ha puso. Oleh karena itu potensi pengembangan teknologi padi apung di Indonesia diperkirakan sangat besar. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Budidaya padi apung merupakan teknik budidaya padi yang menggunakan rakit sebagai media tanam sebagai upaya untuk adaptasi terhadap bencana banjir. Usahatani padi apung layak untuk dikembangkan lebih lanjut pada lahan yang mengalami banjir tahunan sebab menunjukkan pendapatan dan hasil produktivitas yang lebih tinggi daripada usahatani padi konvensional di Desa Pamotan dan Rawaapu. Hal ini terlihat dari hasil R/C ratio total usahatani padi apung sebesar 2,03 lebih besar daripada R/C rasio total usahatani padi konvensional sebesar 1,71. Apabila pada semua lahan yang berpotensi tersebut dikembangkan teknologi budidaya padi apung, maka akan terjadi peningkatan hasil produksi dan pendapatan bagi para petani di Desa Pamotan dan Rawaapu. 5.2 Saran Diperlukan pembinaan dan penyuluhan mengenai budidaya padi apung agar petani lebih terampil dan mendapatkan hasil yang optimal. Adanya bantuan dari pemerintah maupun pihak terkait akan sangat membantu para petani dalam memberikan modal awal pembuatan rakit. Selain itu adanya fasilitas pemasaran hasil produksi petani berupa beras organik melalui sistem kontrak ke pedagang dan supermarket baik antar pulau maupun ekspor akan sangat membantu bagi petani. DAFTAR PUSTAKA Abidin R, Oentarjo JR, Oemijati, Wasis B. 2004. Pedoman Kegiatan Pencegahan dan Perusakan Lingkungan. Forum Pengkajian Kebijakan dan Manajemen Ekosistem Hutan Tropika. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. p 21. Adinata K. 2012. Petunjuk Teknis Padi Apung. IPPHTI, Cilacap. Amien I, Redjekiningrum P, Kartiwa B, Estiningtyas W. 1999. Simulated Rice
9
Yields as Affected by Interannual Climate Variability and Possible Climate Change in Java. Climate Research 12:145-152. [BPS] Badan Pusat Statistik Cilacap. 2011. Cilacap dalam Angka 2011. BPS, Cilacap. [BPS] Badan Pusat Statistik Ciamis. 2011. Ciamis dalam Angka 2011. BPS, Ciamis. Berkelaar D. 2001. The System of Rice Intensification: Less Can Be More. Buletin ECHO Development Notes. Januari 2001 Issue 70. Boer R, Subbiah AR. 2005. Agriculture Drought in Indonesia. In V.K. Boken, A.P. Cracknell and R.L. Heathcote (eds). Monitoring and predicting agriculture drought: A global study. Oxford Univ Pr, New York. p 330-344. Boer R, Suharnoto Y. 2012. Climate Change and It’s Impact on Indonesia’s Food Crop Sector. Paper presented at the Sixth Forum on Natural Resource Management: Water and Food in a Changing Environtment on 11-13 April 2012 at SEARCA headquarters, Los Banos, Philippines. Fagi AM, Partohardjono S. 2004. Diversifikasi Usahatani Berorientasi Padi dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Hernanto F. 1991. Ilmu Usaha Tani. Penebar Swadaya, Jakarta. Gomosta AR, Hossain MM, Haque MZ. 1981. Screening Methods for Submergence Tolerance in Rice in Bangladesh. Proceedings of the 1981 International Deepwater Rice Workshop. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna. Philippines. p 98. Gusti S, Padjung R. 2003. Karakteristik Banjir Tahun 1998 di Daerah Hilir Sungai Gilireng, Kabupaten Wajo dan Pengaruhnya Terhadap Kehilangan Hasil Gabah dalam J Sains dan Teknologi 3(2): 73-80. Hendayana R. 2003. Dampak Penerapan Teknologi Terhadap Perubahan Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Padi. Working Paper. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. p 14. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Impact, adaptation and vulnerability. Contribution of Working
Group II to the Fourth Assesment Report. Cambrige Univ Pr, Cambridge, United Kingdom. [IPPHTI] Ikatan Petani Pengendali Hama Tanaman Indonesia. 2012. Data Risk Assesment. Cilacap. Ito O, Ella E, Kawano N. 1999. Physiological Basis of Submergence Tolerance in Rainfield Lowland Rice Ecosystem. Field Crops Res 64: 75-90. Kementerian Pertanian Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2012. Statistik Pertanian. Jakarta. Lietmann J. 2009. Berinvestasi untuk Indonesia yang lebih Berkelanjutan: Analisa Lingkungan Indonesia. Seri CEA, Kawasan Asia Timur dan Pasifik. Bank Dunia. Washington DC. Malian AH. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi pada Skala Pengkajian. Makalah Disajikan dalam Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi bagi Pengembangan Sistem dan Usahatani Agribisnis Wilayah, Bogor, 29 November - 9 Desember 2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Mirza MMQ. 2003. Climate Change and Extreme Weather Event Can Developing Countries Adopt. Climate Policy 3: 233. Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I, Verbist B. 2009. Monitoring air di Daerah Aliran Sungai. World Agroforestry Centre–ICRAF, SEA Regional Office. p 104. Rahim A, Hastuti DRD. 2007. Ekonomika Pertanian (Pengantar, Teori dan Kasus). Penebar Swadaya, Jakarta. Soeharjo A, Patong D. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia, Jakarta. Suhaeti RN, Basuno E. 2004. Analisis Dampak Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Terhadap Produktivitas (Kasus: BPTP Nusa Tenggara Timur). J Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA 4(2): 214-223. Suratiyah K. 2006. Ilmu Usahatani: Biaya dan Pendapatan dalam Usahatani. Edisi ke-I. Penebar Swadaya. Jakarta. p 61. Susandi A, Herlianti I, Tamamadin M, Nurlela I. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut
10
Di Wilayah Banjarmasin. J Ekonomi Lingkungan 12(2): 208. Swastika DKS. 2004. Beberapa Teknik Analisis Dalam Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian.
Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. J Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7(1): 90-103.
11
LAMPIRAN Lampiran 1 Usahatani Pamotan 1. Pengeluaran Sarana Produksi, Tenaga Kerja dan Lainnya No Uraian Satuan A Sarana Produksi 1 Benih 75 kg x 8000 2 Pupuk Ponska 250 kg x 3000 Urea 250 kg x 2500 3 Peptisida Pastak 5 botol Sidatan 5 botol Akor 5 botol B Tenaga Kerja 1 Pengolahan tanah/ media tanam Traktor Perataan & pematang 2 Pembibitan Pembuatan persemaian 3 hari 3 Penanaman Cabut & tanam bibit 3 hari 4 Pemeliharaan 20 hari Penyiangan I Penyiangan II 20 hari Penyemprotan 2 hari Pemupukan 2 hari 5 Panen 6 Pasca Panen Pengeringan 4 hari Penggilingan C Lainnya 1 Pajak Negara 2 Pajak Desa 3 Karung 50 x Rp 2.000
Harga (Rp.) 600.000 750.000 625.000 75.000 75.000 75.000
750.000 700.000 210.000 210.000 700.000 700.000 70.000 70.000
560.000 500.000 65.000 600.000 100.000
2. Penggunaan Peralatan No
Jenis Alat
1 2 3 4 5 6 7 8
Cangkul Kored Parang Handsprayer Garokan Caplakan Terpal Perata tanah
Jumlah (buah) 1 1 1 1 1 1 4 1
Padi Konvensional Harga (Rp.) Masa pakai (tahun) 100.000 50.000 50.000 350.000 25.000 100.000 600.000 25.000
5 5 5 5 3 3 2 2
3. Penerimaan Hasil Produksi Padi Konvensional Luas Panen (ha) Produksi (ton/ha) Total Harga (Rp.) 1 GKP 1 3 ton 2 GKG 1 2,5 ton 10.000.000 3 Beras 1 1,5 ton 10.500.000 Keterangan: GKP = Gabah Kering Panen dan GKG = Gabah Kering Giling No
Produksi
12
Lampiran 2 Usahatani Rawaapu 1. Pengeluaran Sarana Produksi, Tenaga Kerja dan Lainnya No Uraian Satuan A Sarana Produksi 1 Benih 75 kg x 8000 2 Pupuk KCl 50 kg TSP 50 kg Urea 50 kg 3 Peptisida Pastak ½ liter Regen ½ liter 4 Lain-lain Score 5 botol B Tenaga Kerja 1 Pengolahan tanah/ media tanam Traktor 11 hari Perataan & Pematang 2 Pembibitan Pembuatan persemaian 4 hari 3 Penanaman Cabut & tanam bibit 6 hari 4 Pemeliharaan Penyiangan I 40 hari Penyiangan II Penyemprotan 1 hari Pemupukan 1 hari 5 Panen 6 Pasca Panen Pengeringan 15 hari Penggilingan C Lainnya 1 Pajak Negara 2 Pajak Desa 3 Karung 130 x Rp 2500
Harga (Rp.) 600.000 140.000 125.000 285.000 60.000 60.000 160.000
1.300.000 880.000 240.000 320.000 800.000 800.000 40.000 80.000
600.000 1.300.000 62.500 600.000 325.000
2. Penggunaan Peralatan No
Jenis Alat
1 2 3 4 5 6 7
Cangkul Kored Parang Handsprayer Tambang Terpal Perata tanah
Jumlah (buah) 1 1 1 1 1 kg 4 1
Padi Konvensional Harga (Rp.) Masa pakai (tahun) 65.000 3 30.000 3 150.000 3 350.000 3 50.000 4 1.120.000 3 25.000 2
3. Penerimaan Hasil Produksi Padi Konvensional Luas Panen (ha) Produksi (ton/ha) Total Harga (Rp.) 1 GKP 1 5,2 ton 2 GKG 1 3,25 ton 13.000.000 3 Beras 1 2,6 ton 18.200.000 Keterangan: GKP = Gabah Kering Panen dan GKG = Gabah Kering Giling No
Produksi
13
Lampiran 3 Dokumentasi
Sawah sebelum banjir
Sawah setelah banjir
Padi konvensional roboh akibat banjir
Saluran pembuangan air (apur) penyebab banjir rob
Sungai Citanduy
Laguna Segara Anakan
Pembibitan padi apung dengan metode SRI
Penanaman padi apung dengan metode SRI
14
Proses pembuatan rakit
Wawancara dengan petani
Tanaman padi apung
Tanaman padi apung