POTENSI PEMBINAAN KARAKTER BERBASIS BUDAYA MASYARAKAT Oleh: H. Agung Hartoyo (Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak) Abstrak: Sampai dengan awal tahun 2011 ini, berbagai saluran media massa masih sering memberitakan fenomena-fenomena kemerosotan moral, pergesera nilai, kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran aturan-aturan. Fenomena negatif yang berkepanjangan tersebut menjadi salah satu penyebab tergerusnya nilai-nilai masyarakat. Para guru yang mempunyai tanggung jawab untuk mengantarkan anak didiknya menjadi manusia yang pintar dan baik, terjebak hanya pada usaha mencetak generasi pintar mengejar perolehan skor tinggi dalam ujian. Pengajar matematika pun seakan tidak mempunyai tanggung jawabnya untuk membina dan mengembangkan potensi-potensi afektual siswa untuk membentuk karakter peserta didik yang terpuji. Matematika masih dianggap sebagai materi pelajaran yang bebas nilai. Hasil Penelusuran pada berbagai sumber menunjukkan adanya kaitan erat antara matematika yang diajarkan di sekolah dengan berbagai aktivitas dan hasil budaya masyarakat maupun fenomena alam. Penerapan atau pengintegrasian budaya atau fenomena alam dalam pembelajaran matematika dipandang dapat dijadikan wahana untuk membelajarkan nilai moral dan karakter yang baik kepada peserta didik. Sudah saatnya bagi para pendidik matematika untuk merevitalisasi pembelajarannya mengambil bagian dalam membangun karakter yang baik (good character) kepada peserta didik sebagai penerus keberlangsungan bangsa. Kata Kunci: Budaya Masyarakat, Pembelajaran Matematika, Pendidikan Karakter. Pendahuluan Sampai dengan hari ini, dunia pendidikan kita tampaknya masih berfokus pada usaha mencetak “generasi pintar”. Pembelajaran masih mengutamakan pada pencapaian hasil akhir belajar siswa dengan sasaran “mengejar ranking-pemerolehan nilai ujian dengan skor tinggi” atau menjadi juara pada berbagai lomba bidang akademik. Dalam kompetisi akademik tingkat dunia, wakil dari Indonesia banyak yang mencapai juara olimpiade internasional, baik di bidang pelajaran matematika, informatika, fisika, kimia maupun
olahraga. Bahkan sekarang ini ada kecenderungan warga kelas menengah ke atas semakin tergila-gila untuk menyekolahkan anaknya di sekolah bertaraf internasional. Akibat tingginya permintaan itu, sekolahsekolah sibuk mendirikan kelas-kelas internasional. Berbagai fasilitas disulap, ada pendingin ruangan, komputer, serta laboratorium yang lengkap. Bahan-bahan pelajaran dikemas dan disampaikan dalam bahasa Inggris. Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), menurut UU Sistem Pendidikan Nasional diharuskan ada pada setiap daerah dan
20
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
merupakan kewajiban pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan. Alasan diadakannya SBI ini adalah untuk peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Asumsinya, semakin banyak SBI di setiap daerah, semakin memacu perbaikan kualitas pendidikan itu sendiri. Pertanyaannya, dengan mencetak generasi yang bertumpu pada logika (otak kiri) itu, apa yang dapat diharapkan untuk mendukung kemajuan bangsa di masa depan? Kita lupa, bangsa yang dibangun hanya dengan mengandalkan ilmu, tanpa bekal moral yang baik dan kreativitas, hanya akan menghancurkan bangsa itu sendiri. Albert Einstein, seorang ilmuwan Yahudi pernah mengatakan “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”. Ada dua hal yang perlu digaris bawahi, pertama tentang pentingnya agama untuk melandasi ilmu pengetahuan dan kedua perlunya ilmu dalam pengamalan agama. Padahal agama merupakan roh dari akhlak atau moral manusia (al Barasi, 1993). Sementara itu, "Moral education is not a new idea. It is in fact, as old as education itself. Down through history, in countries all over the world, education has had two great goals: to help young people become smart and to help them become good" (Campbell, 1997).
Dari hasil penelitian di AS, diketahui bahwa sumbangan dari kemampuan logika terhadap kesuksesan yang dicapai seseorang hanya sebesar 4%. Selebihnya (96%) kesuksesan seseorang ditentukan oleh kemampuan “otak kanan” yang punya andil besar dalam hal kreativitas, imajinasi, inovasi, daya rasa, kreasi, seni, kemampuan mencipta dan merekayasa. (MI, 16/1/2006) Kemampuan otak sadar manusia sendiri sebenarnya hanya 12% dari seluruh kemampuan otak manusia dan selebihnya (88%) berada di otak bawah sadar, tepatnya di otak kanan. (Quantum Ikhlas, 2007). Peberdayaan otak kanan inilah yang menjadi “rahasia” negara-negara Barat, Jepang, Korea, China, Singapura, dan kini mereka menjadi bangsa maju. Belakangan hal itu mulai diketahui dan disadari pula oleh India, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Indonesia? Barangkali baru sebagian kecil orang memahami pentingnya pengembangan peran otak kanan pada sebuah sistem pendidikan. Pada tahun 1987, 1995 dan tahun 2002 sebuah lembaga leadership internasional yang bernama The Leadership Challenge telah melakukan survey karakteristik CEO di beberapa negara di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa dan Australia. Masingmasing responden diminta untuk menilai dan memilih 7 (tujuh) karakteristik CEO ideal mereka. Hasil survey tersebut diperlihatkan pada Tabel 1.
Potensi Pembinaan Karakter Berbasis Budaya Masyarakat (H. Agung Hartoyo)
21
Tabel 1. Peringkat Karakter CEO Ideal (International Survey). Rangking
Karakteristik (%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Honest (kejujuran) Forward Looking (berpikiran maju) Competent (kompeten) Inspiring (dapat memberi inspirasi) Intelligent (cerdas) Fair-minded (adil) Broad-minded (berpandangan luas) Supportive (mendukung) Straight foward (terus terang/polos) Dependable (bias diandalkan) Cooperative (bekerjasama) Determined (tegas) Imaginative (berdaya imajinasi) Ambitious (berambisi) Courageous (berani) Caring (perhatian) Mature (dewasa dalam berfikir dan bertindak) Loyal (setia) Self-controlled (penguasaan diri) Independent (mandiri)
Dari dua puluh karakter para CEO tersebut, karakter kejujuran menempati urutan pertama yang harus dimiliki oleh pemimpin perusahaan, dan tidak tergeserkan sejak tahun 1987, 1995 hingga tahun 2002. Intelegensi, kemampuan logika hanya ditempatkan pada urutan ke-5 atau ke-6. Itulah karakter CEO yang ideal berdasarkan hasil survey di lima benua yang harus dimiliki oleh seorang Powerfull Leader. Ironis, di tengah bangsa-bangsa lain aktif mengembangkan model pendidikan ke arah yang lebih baik, Indonesia justru masih berkutat pada berbagai masalah kompleks. Sejak pendidikan usia dini, dasar, menengah hingga pendidikan tinggi, peserta didik tidak ketinggalan belajar agama, pendidikan moral atau kewarganegaraan? Suasana religius juga selalu melingkupi
Responden 2002 1995 1987 88 88 83 71 75 62 66 63 67 65 68 58 47 40 43 42 49 40 40 40 37 35 41 32 34 33 34 33 32 33 28 28 25 24 17 17 23 28 34 21 13 21 20 29 27 20 23 26 17 13 23 14 11 11 8 5 13 6 5 10
keseharian anak-anak Indonesia, ceramah keagamaan tidak dibatasi hanya di tempat-tempat ibadah, namun juga melalui media massa televisi, radio, dan media cetak. Sistem pendidikan nasional kita nampaknya masih jauh dari upaya membangun bangsa berbudaya dan berkarakter sebagaimana digagas oleh Ki Hadjar Dewantara (Kompas, 3 Mei 2010). Perilaku dan kehidupan masyarakat kurang mencerminkan nuansa kehidupan agamis. Budaya tertib dan bersih, yang diyakini sebagai bagian dari iman, terabaikan. Pelanggaran lalu lintas merupakan hal biasa yang diperlihatkan oleh masyarakat perkotaan yang berpendidikan. Budaya antri dan sopan santun dianggap sebagai penghambat. Kurang menaruh peduli pada kebersihan dan keindahan lingkungan. Banyak masyarakat membuang sampah
22
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
sembarangan, fasilitas-fasilitas umum kotor dan berbau tidak sedap menyengat hidung, banyak ”dirusak”, disalahfungsikan. Di lain pihak, kasus-kasus perusakan lingkungan dan kriminalitas jalanan setiap hari seakan menjadi berita utama pada berbagai media massa. Pendidikan karakter akhir-akhir ini ramai dibicarakan dan ingin dikembalikan lagi pada inti pendidikan nasional Indonesia. Dalam pandangan para pendidik, pendidikan tanpa karakter hanya akan membuat individu menjadi sosok yang cerdas dan pandai, namun kurang memiliki pertumbuhan secara lebih utuh sebagai manusia. Pengalaman pelaksanaan pendidikan nasional yang berorientasi pada domain kognitif berhasil mengantarkan para peserta didik mencapai kecerdasan tertentu dalam bidang dan jenjang pendidikan yang ditekuninya, namun ternyata telah gagal dalam membina manusia seutuhnya sebagaimana diinginkan dalam tujuan pendidikan nasional. Ada enam pertanyanaan dasar sehubungan dengan penerapan pendidikan karakter. Mengapa kita harus mengajarkannya kepada peserta didik ?; kapan pendidikan karakter mulai dibelajarkan kepada anak- anak ?; di mana pendidikan karakter dibelajarkan ?; siapa yang membelajarkan pendidikan karakter ?; apa yang dibelajarkan kepada anak-anak dalam pendidikan karakter ?; dan bagaimana cara membelajarkan pendidikan karakter kepada anak-anak ?. Dalam tulisan ini dibahas dua pertanyaan terakhir dalam penerapan pendidikan karakter. Pengalaman Pendidikan di Jepang Dari cerita pengalaman orang yang pernah berkunjung ke negeri Jepang dan mencermati secara seksama
sekolah dasar di negeri Sakura itu dalam keperluan menimba ilmu tentang Lesson Study, terekam pembiasaan sikap disiplin dan tingkah laku bermoral telah ditanamkan sejak siswa mulai masuk sekolah. Meski kurikulum mereka tidak membekali pelajaran agama, ternyata tatanan kehidupan masyarakat Jepang lebih mapan, tertib, bermoral. Begitu siswa-siswa memasuki lingkungan sekolah, mereka harus rela dan dengan ikhlas melepas sepatu untuk ditukar dengan sandal/sepatu khusus yang sudah disediakan di loker-loker. Ketika siswa berhajat ke kamar kecil, mereka dengan kesadarannya menukar sandal/sepatu yang dikenakannya dengan sandal khusus toilet yang tersedia secara rapi di depan pintu toilet. Seusai berhajat, secara sadar mereka mengembalikannya ke posisi semula agar dapat dipergunakan oleh rekanrekan lainnya. Meskipun kelihatannya mudah, namun pembiasaan-pembiasaan ini dapat menumbuhkan kesadaran pada siswa untuk bersikap sabar, bertanggung jawab, menghargai orang lain, hidup bersih dan selalu menjaga kesehatan tubuh. Pada waktu istirahat jam makan siang, anak-anak Jepang dibiasakan melayani teman-teman sekelasnya dengan menyajikan makanan secara bergiliran. Pembiasaan ini untuk menanamkan kesadaran anak-anak agar tertib, disiplin, menghargai budaya antre, rajin, penuh kebersamaan dan peduli sesama. Di kelas-kelas sekolah Jepang banyak dipajang hasil-hasil pekerjaan dan karya siswa, baik di dinding maupun di atas rak-rak tempat tas siswa, mulai dari karya pemanfaatan barang-barang bekas dengan disain robot, mobil, dan bangunan hingga bentuk-bentuk karya lainnya yang lebih rumit. Pembiasaan memajang hasil
Potensi Pembinaan Karakter Berbasis Budaya Masyarakat (H. Agung Hartoyo)
cipta karya siswa, merupakan momentum bagi siswa untuk berlatih pameran hasil karya dan meraih citacita. Lewat karya-karya tersebut, anakanak Jepang kelak diharapkan bisa menjadi perancang mobil, robot, arsitek bangunan spektakuler dan pencipta alat-alat canggih lainnya hingga menjadi kebanggaan bagi bangsanya. Aktivitas pengembangan kemampuan untuk berkreasi mendapat porsi besar dalam sistem pendidikan di Jepang. Sejak dini kemampuan dan kreativitas siswa dieksplorasi secara kontinyu agar mereka tumbuh berkembang sebagai sebagai caloncalon tenaga terampil yang penuh kreativitas di bidang masing-masing di masa depan. Orang Jepang berfalsafah, “Anak-anak adalah harta karun negara”. Nasib bangsa di masa depan diyakini ada di pundak generasi penerus. Negara memberikan perhatian dan perlakuan yang istimewa kepada anak-anak Jepang, baik dibidang pendidikan, kesehatan, gizi, maupun perkembangan emosionalnya. Sistem pendidikan nasionalnya pun lebih diarahkan demi kemajuan anak-anak bangsa ke depan. Suatu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kurikulum matematika di Jepang tidak sepadat pada kurikulum negara lain, misalnya di Filipina. Kurikulum matematika dasar Jepang memiliki tujuan belajar lebih sedikit daripada Filipina sehingga sebagian besar siswa Jepang memiliki cukup waktu untuk menyerap dan memahami setiap pelajaran. Mereka bahkan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan karya tangan dan kegiatan menyenangkan lainnya tapi merangsang dalam belajar matematika. Siswa Jepang belajar untuk menikmati matematika dan
23
memiliki kemampuan untuk menghubungkan pelajaran mereka dalam situasi kehidupan nyata. Karakteristik kurikulum Jepang lainnya adalah ide ikiru chikara dan sōgōtekina gakushū jikan. Konsep ini bertujuan untuk membudayakan jiwa dan melatih kekuatan dan kemampuan untuk hidup di tengah masyarakat. Apakah kita akan terus membiarkan sistem pendidikan ini lebih bertumpu pada logika, tanpa mengutamakan penggalian kemampuan dan kreativitas seperti anak-anak dari bangsa Jepang ? Pendidikan Karakter Ketika semua pihak sudah menjerit pada lembaga pendidikan, semua mata akan tertuju pada sosok guru. Guru dianggap sebagai aktor kunci untuk membuat hal-hal yang tidak wajar menjadi wajar. Saat semuanya berlangsung normal wajar, guru seolah dilupakan, namun saat sendi bangunan peradaban bangsa terancam berantakan, guru kembali dilirik. Bagaimana dengan pendidikan, atau bagaimana tanggung jawab guru sebagai pendidik. Semua berharap pada pendidikan menggantungkan harapannya, agar pendidikan dapat menjadi penyelamat. Tidak salah bagi sebagian orang yang berharap pada pendidikan sebagai penyelamat, karena memang dengan pendidikan itulah akan dapat dibentuk watak dan karakter bangsa kita. Selama ini upaya untuk membentuk budi pekerti yang luhur di sekolah-sekolah bukannya tidak dilakukan. Hanya saja metodeloginya masih belum efektif. Pendidikan moral dan budi pekerti baru bersifat knowing. Budi pekerti yang luhur,
24
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
moral ataupun kepribadian yang baik baru bersifat pengetahuan dan belum menjadi karakter yang melekat pada diri siswa. Masih banyak orang (pendidik) yang merasa kesulitan untuk membedakan antara pendidikan budi pekerti yang selama ini pernah diterapkan di sekolah-sekolah dan pendidikan karakter yang sekarang sedang ramai dipersiapkan oleh para pengembang pendidikan holistik yang berbasis karakter. Oleh karena itu, sebaiknya kita melihat dulu apa yang disebut pendidikan budi pekerti. Menurut Syarkawi (2006) dalam bukunya “Pembentukan kepribadian Anak” menyatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah proses pendidikan yang ditujukan untuk mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku yang memancarkan akhlak mulia atau budi pekerti luhur. Nilai-nilai positif dan yang seharusnya dimiliki seseorang menurut ajaran budi pekerti yang luhur adalah amal saleh, amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja keras, beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lapang, berhati lembut, beriman dan bertaqwa, berinisiatif, berkemauan keras, berkepribadian, berpikiran jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersifat konstruktif, bersyukur, bertanggung jawab, bertenggang rasa, bijaksana, cerdas, cermat, demokratis, dinamis, efisien, empati, gigih, hemat, ikhlas, jujur, kesatria, komitmen, kooperatif, kosmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh hati, lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya orang lain, menghargai kesehatan, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, patriotik, pemaaf, pemurah, pengabdian, berpengendalian diri,
produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih sayang, rasa keterikatan, rasa malu, rasa memiliki, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar, semangat kebersamaan, setia, siap mental, sikap adil, sikap hormat, sikap nalar, sikap tertib, sopan santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar, tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan sejenisnya. Budi pekerti erat hubungannya dengan kepribadian. Dengan kepribadian yang baik, seseorang dapat mengapresiasi nilai-nilai yang terkandung pada budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari. Atau sebaliknya, dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang baik sejak dini, akan membantu pembentukan kepribadian yang berbudi pekerti luhur. Setelah pendidikan nasional dianggap gagal dalam membentuk budi pekerti yang luhur atau lebih tepatnya sekolahsekolah belum seluruhnya berhasil melahirkan anak-anak yang berbudi pekerti luhur dengan sederet nilainilai di atas, maka harus ada yang perlu diubah yaitu bagaimana pendekatan, metode dan strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan mulia tersebut. Karena hal inilah yang sesungguhanya menentukan efektivitas dan efisiensi pembentukan kepribadian anak manusia. Megawangi dengan yayasannya Hati Mulia, telah melakukan sebuah perubahan besar dalam proses pembelajaran budi pekerti di sekolah dengan melahirkan konsep pendidikan holistik berbasis karakter. Seluruh nilainilai budi pekerti di atas dirangkum dalam “Sembilan pilar karakter emas“nya melalui pendekatan, metodelogi dan strategi “knowing the good,
Potensi Pembinaan Karakter Berbasis Budaya Masyarakat (H. Agung Hartoyo)
feeling the good/loving the good, acting the good”. Menurut Megawangi, pendidikan karakter merupakan sebuah proses/usaha untuk mengembangkan semua potensi anak menjadi manusia seutuhnya. Perkembangan anak harus seimbang, baik dari segi akademiknya maupun segi sosial dan emosinya. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari aktivitas belajar dengan cara membaca, menulis, menghafal dan lain-lain sedangkan perbuatan/sikap/perilaku yang baik dapat diraih dengan selalu berlatih/action dan selalu membiasakannya dalam setiap kegiatan/aktivitas sehari-hari. Elemen dan Pendekatan Pendidikan Karakter Menurut Brooks dan Goble (1997) dalam menjalankan pendidikan karakter terdapat tiga elemen yang penting untuk diperhatikan yaitu prinsip, proses dan prakteknya dalam pengajaran. Dalam menjalankan prinsip itu maka nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan dalam kurikulum sehingga semua siswa paham benar tentang nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam perilaku nyata. Untuk itu maka diperlukan pendekatan optimal untuk mengajarkan karakter secara efektif yang menurut Brooks dan Goble harus diterapkan di seluruh sekolah (school wide approach). Pendekatan yang sebaiknya dilaksanakan adalah meliputi: 1. Sekolah harus dipandang sebagai
suatu lingkungan yang diibaratkan seperti pulau dengan bahasa dan budayanya sendiri. Namun sekolah juga harus memperluas pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa didik, tetapi juga kepada keluarga/rumah dan masyarakat sekitarnya, 2. Dalam menjalankan kurikulum karakter maka sebaiknya: a). pengajaran tentang nilai-nilai
25
berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan; b). diajarkan sebagai subyek yang diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan; c). seluruh staf menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan, 3. Penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa menterjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku prososial. Mengingat moral adalah sesuatu yang bersifat abstrak maka nilai-nilai moral kebaikan harus diajarkan pada generasi muda ini. Oleh sebab itu tema yang sesuai dengan usia anak dalam berpikir konkrit perlu diakomodasi. Cerita-cerita kepahlawanan dan kisah kehidupan yang perlu diteladani baik dari para orang bijak, maupun para pejuang bangsa dan humanisme tetap diperlukan. Bahkan imajinasi anak terhadap kehidupan yang ideal ini (meskipun apa yang dilihatnya dari sekitarnya tidaklah demikian) perlu ditekankan kepada anak agar ia mencintai kebajikan dan terdorong untuk berbuat hal yang sama. Kritik para pendidik progresif tentang indoktrinasi nilai (Simon, Kirschenbaum, dan lain-lain) sebagai sesuatu hal yang tidak boleh dipaksakan kepada anak justru merupakan suatu kelemahan. Sebab, pendidikan tanpa nilai moral seperti yang mereka lakukan kepada siswa didik adalah merupakan pendidikan yang bernilai buruk. Karena itu dalam mendidik karakter pada anak pengenalan dini terhadap nilai baik dan buruk sangat diperlukan. Sejalan dengan perkembangan usia anak maka alasan (reason) atau mengapa (why) di balik nilai-nilai baik dan buruk dapat mulai diajarkan kepada siswa didik.
26
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
Sekali lagi perlu dipahami benar oleh para pendidik dan pemerhati kehidupan bangsa, bahwa pendidikan moral dan karakter adalah seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi yang memiliki tujuan mulia dalam membentuk moral manusia, sebab tanpa moral maka manusia seperti dikatakan Wilson (1997) hanyalah seperti "social animal". Untuk itu maka para pendidik dan sekolah mempunyai tugas untuk menjadikan manusia menjadi makhluk baik yang beradab dan berbudi luhur. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik seharihari di masyarakat. Kegiatan ekstrakurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik. Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
Potensi Pembinaan Karakter Berbasis Budaya Masyarakat (H. Agung Hartoyo)
Menggunakan Matematika Sebagai Alat Bantu Untuk Berlatih Nilai Manusia Ada banyak cara penggunaan matematika agar dapat membantu memperkuat dan menerapkan nilai-nilai kemanusiaan. Berikut ini menjelaskan beberapa contoh kegiatan kelas untuk menunjukkan bagaimana guru dapat menggunakan topik matematika untuk memfasilitasi praktek nilai-nilai kemanusiaan, tanpa harus menambah topik baru ke dalam kurikulum. Beberapa contoh yang dimaksud meliputi: belajar untuk melestarikan dan melindungi lingkungan melalui, misalnya, pemantauan penggunaan kertas, atau menyelidiki potensi untuk mendaur ulang beberapa bahan (statistik, grafik); menciptakan kesadaran akan isu-isu sosial seperti pengelolaan uang (pemecahan masalah, bunga tung-gal dan bunga majemuk, operasi pasar), masalah seperti perjudian (probabilitas), dan berbagi makanan (pengukuran, estimasi, perhitungan dengan bilangan bulat dan pecahan); pemahaman warisan budaya melalui belajar lebih banyak tentang sejarah perkembangan matematika, belajar tentang cara-cara berpikir yang berbeda tentang matematika dalam budaya yang berbeda, dan menghargai keseimbangan dan keindahan matematika. Matematika dapat digunakan sebagai alat untuk mengeksplorasi isuisu sosial. Contoh berikut menunjukkan bagaimana kegiatan masyarakat dapat mendorong siswa untuk menggunakannya untuk mengembangkan pemahaman tentang kewajiban sosial mereka, cara-cara pelestarian dan perlindungan lingkungan dan berkontribusi terhadap kesejahteraan orang lain dalam masyarakat.
1.
27
Matematika dan Pelestarian Lingkungan Ide-ide berikut ini telah diilhami oleh tulisan yang termuat pada Arthmatics Teacher edisi 41 (1), September 1993, 27-29. Matematika Topik: Statistik, Grafik. a. Penggunaan Kertas di Sekolah. Siswa diminta untuk memprediksi jumlah lembar kertas yang akan digunakan dalam pembelajaran pada suatu hari. Hindarkan para siswa melakukan penghitungan jumlah penggunaan kertas secara aktual. Gunakan grafik untuk mencatat nomor yang digunakan lebih dari seminggu. Berikan tugas diskusi kepada siswa untuk mencatat temuan dan hasil diskusi. 1. Apakah mereka memperlihatkan rona wajah terkejut ? 2. Apakah murid-murid berpikir bahwa mereka terlalu banyak menggunakan kertas ? 3. Apakah ada ide-ide untuk menghemat kertas ? 4. Melaksanakan beberapa ide-ide, dan mengumpulkan data lebih lanjut untuk perbandingan, 5. Apakah siswa meneliti dan membandingkan grafik mereka dan mendiskusikan hal-hal yang mereka perhatikan ? 6. Mengapa jumlah pemakaian kertas bervariasi dari satu siswa ke siswa lainnya ? 7. Mengapa kertas lebih banyak digunakan pada beberapa hari dari yang lain ? 8. Apakah kampanye untuk mengurangi penggunaan kertas telah berhasil ? b. Topik Matematika: Statistik, Grafik. Minuman Kaleng Aluminium. Melakukan survei di antara teman-teman sekelas atau terhadap
28
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
anggota keluarga untuk mengetahui berapa banyak minuman kaleng yang dibeli dalam seminggu. Gunakan informasi ini untuk menghitung rata-rata individu mengkonsumsi minuman tersebut dalam setahun. Gunakan hasil sebagai dasar untuk diskusi tentang konservasi dari aluminium. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan bahan lainnya, termasuk tas kresek (kantong plastik) untuk bungkus belanja dari supermarket. c. Topik Matematika: Persentase, Berlatih Keterampilan Aritmatika. Mengelola uang sebagai sumber belajar. Tujuan: untuk mengajarkan keterampilan pengelolaan uang pribadi dan mengembangkan keterampilan matematika. 1) Siswa disuruh untuk membuat grafik/diagram batang untuk menunjukkan pertumbuhan uang simpanannya di bank sebesar Rp. 1.000.000 dengan bunga majemuk sebesar 8 % selama 20 tahun. Berapakah saldo akhir ? 2) Membuat diagram lingkaran untuk menunjukkan jenis-jenis kendaraan yang menggunakan jasa perparkiran di suatu mall. 2. Menggunakan Matematika untuk membantu orang lain Mengerti sifat-sifat kemanusiaan secara lebih baik, dan memahami warisan budaya. Barta (1995) menyatakan, ”jika dipikir-pikir secara tradisional matematika dan budaya tidak ada hubungannya satu sama lain, meskipun sebenarnya tidak benar. Anak-anak jarang diceritakan tentang pengalaman beberapa matematikawan Yunani kuno, seperti Pythagoras dan Thales (pendiri legendaris dari matematika Yunani)
misalnya, bagaimana pengalaman mereka bepergian dan belajar ke tempat-tempat lain seperti India dan Afrika Utara untuk mendapatkan banyak pengetahuan matematika mereka. ”Belajarlah walau sampai ke negeri China”. Siswa hanya tahu sedikit tentang penemuan matematika atau aplikasi matematika dalam budaya non Eropa seperti orang Mesir kuno, orang Babel, suku Maya, suku Inca, atau bahkan suku Dayak di Kalimantan Barat. Mereka tidak mengerti karena mereka tidak diajarkan bahwa banyak kebudayaan telah memberikan kontribusi pada pengembangan matematika; budaya yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat yang cerdas, banyak akal dan kreatif. Matematika dapat dikatakan sebagai kompilasi dari penemuan progresif dan penemuan dari budaya di seluruh dunia sepanjang sejarah. Sejarah matematika itu telah menjadi mosaik indah sebagai kontribusi dari budaya. (Barta, 1995 : 13). Nelson, Joseph dan Williams (1993) memberi contoh topik-topik matematika yang memperlihatkan pendekatan-pendekatan yang berbeda pada topik-topik yang telah dikembangkan oleh berbagai kelompok kebudayaan. Salah satu contoh yang digunakan oleh masyarakat budaya adalah menghitung (membulatkan) ke atas. Murid dapat menampilkan beberapa metode yang berbeda, untuk menghargai bahwa ada banyak cara yang berbeda untuk mendapatkan jawaban yang sama. 3.
Menghargai Keindahan Matematika Naidu (1986:6) banyak membicarakan tentang kebenaran, kekuatan dan keindahan matematika:
Potensi Pembinaan Karakter Berbasis Budaya Masyarakat (H. Agung Hartoyo)
matematika merupakan subjek yang luar biasa yang memiliki relevansi besar dalam pikiran penjinakan, pelatihan intelek, dan memurnikan visi melalui kebangkitan intuisi individu. Setiap guru matematika harus membuat misinya untuk mengakomodasi secara optimal semua fasilitas intelektual dan intuitif siswa dengan menyampaikan subjek dalam perspektif yang tepat sehingga dapat menyalakan kekaguman dan kecintaannya terhadap untuk subjek, membuat siswa memahami kebenaran, menciptakan kesenangan intens dalam hatinya, keindahan dan nilai sosial dari subjek matematika. Salah satu contoh cara menghubungkan matematika dengan hal-hal yang tampaknya tidak berhubungan adalah barisan Fibonacci, ditemukan pada abad ketiga belas oleh Leonardo Fibonacci (Barnard, 1996). Matematika Topik: Pola Nomor, Simple Aljabar Bilangan Fibonacci Salah satu cara untuk memulai suatu studi dari barisan Fibonacci adalah mulai dengan sepasang kelinci (satu jantan, satu betina). Kelinci muda mulai menghasilkan anak kelinci yang baru dalam masa waktu dua bulan setelah kelahiran mereka sendiri. Setelah dua bulan pertama, setiap pasangan campuran menghasilkan sepasang (satu laki-laki, satu perempuan) dan terus menghasilkan pasangan campuran lain setiap bulan. Siswa dapat menghitung jumlah pasangan lahir di setiap bulan, menemukan bahwa urutan akan 1,1,2,3,5,8,.... Dengan memperhatikan urutan jumlah kelinci tersebut, mereka segera dapat menemukan cara untuk memprediksi bilangan yang menyatakan banyak kelinci dalam barisan berikutnya.
29
Penutup Waktu berjalan terus semakin bertambah maju, perubahan semakin cepat, tantangan hidup semakin keras, dan hambatan mendidik anak didik menjadi anak bangsa yang berkarakter baik semakin berat. Tindakan untuk mengatasi sekelumit masalah pendidikan anak bangsa, menjadi persoalan seluruh komponen bangsa yang harus ditangani secara terintegrasi oleh lembaga-lembaga yang berkompeten. Salah satu tindakan yang disarankan adalah pengakraban dan pembiasaan oleh orang tua, guru dan masyarakat pada konsep-konsep pendidikan nilai untuk membentuk karakter anak. Dengan pembudayaan, mudah bagi anak untuk belajar, tertular, membuat benchmarking atau mengimitasi. Pepatah lama mengatakan: kalau kita dekat-dekat dengan penjual minyak wangi, tentu kita mudah mencium aroma wanginya; dan kalau tidak ingin terkena tempias api dan hitamnya arang jangan dekat-dekat dengan tukang pandai besi. Jika orang tua dan masyarakat menginginkan generasi muda anak bangsa ini berkarakter baik, maka menjadi tanggung jawab bersama untuk mengakrabkan anak dengan nilai-nilai universal, moral yang baik, berkepribadian mempesona. Jadi, anakanak kita akan menjadi apa yang dia akrabi dalam kesehariannya. Yes, They are what their familiar with………. Tetapi, semua itu sebaiknya dilakukan bukan karena keterpaksaan, tetapi karena kesadaran yang terdalam, karena dijalani secara merdeka.
30
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 1. April 2010
Daftar Pustaka Al-Abrasyi, M.A. (1993). Dasardasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Barnard, J. (1996). 'Those fascinating Fibonaccis!' National Council of Teachers of Mathematics Student Math Notes, Reston, VA : NCTM. January 1996. Barta, J. (1995). 'Reconnecting maths and culture in the classroom: ethnomathematics'. Mathematics in School, 24 (2),12-13. Brooks, D.G. and Goble, F.G. (1997). The case for character education: The role of the school in teaching values and virtue. Northridge, CA: Studio 4 Productions. Campbell, E. (1997). Connecting the Ethics of Teaching and Moral Education. Journal of Teacher Education. Vol. 48. Naidu, K. (1986). 'Value orientation to the teaching of mathematics'. The Sai World Gazette, 4,.5-6. Nelson, D., Joseph, G. and Williams, J. (1993). Multicultural Mathematics: Teaching Mathematics from a Global Perspective. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19282241-1. Syarkawi. (2006). Pembentukan Kepribadian Anak. Jakarta: Bumi Aksara. Sentanu, E. (2007). Quantum Ikhlas, The Power of Positive Feeling. Jakarta : Elex Media Komputindo. Taplin, M. (1998). Education in Human Values Through Mathematics: Mathematics
Through Education in Human Values. Hong Kong: Sathya Sai Baba Center of Hong Kong. Voolich, E. (1993). 'Using biographies to 'humanize' the mathematics class'. Arithmetic Teacher, 41(1),16-19. Wilson, E. O. (1971). The insect societies. Cambridge: Harvard University Press.