ALIRAN FILSAFAT EKSISTENSIALIS Oleh: Izhar Salim (Pendidikan Sosiologi, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak) Abstrak : Sifat Materialisme teryata merupakan pendorong lahirnya eksistensialisme. Yang dimaksud dengan Eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Eksistensialisme lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Materialisme dan idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakikat yang ekstrim. Keduanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi keduanya juga salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dan kedua ekstrimitas itu. Materialisme memandang kejasmanian (materi) sebagai keseluruhan manusia, padahal itu hanyalah aspek manusia. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subyek. Manusia berpikir, berkesadaran inilah yang tidak disadari oleh materialisme. Sebaliknya berpikir, berkesadaran dilebih-lebihkan oleh idealisme sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran. Kata Kunci : Eksistensialis, Materialisme, Idealisme. Pendahuluan Eksistensialisme atau eksistensialis berkembang pada abad 20 di Perancis dan Jerman sebagai reaksi terhadap merosotnya komunisme yang telah dibangun sejak Abad Pencerahan. Keyakinan akan kesinambungan peradaban menuju kebenaran dan kebebasan, kedamaian dan kesejahteraan yang telah dimunculkan sejak Abad Pencerahan dihancurkan oleh meletusnya Perang Dunia I. Akibat dari perang ini runtuhlah keseimbangan dan kestabilan kekuatan antara Negara-negara besar di Eropa. Negara-negara Eropa banyak yang kehilangan struktur ekstemal kekuasaan, seperti struktur ekonomi, politik, dan intelektual milik kekuasaan. Seluruh struktur ini mulai kehilangan legitimasinya dan kuasanya atas individu. Mengatasi hal ini, para Eksistensialisme menawarkan agar kembali pada diri manusia sebagai pusat filsafat yang
sejati dan satu-satunya kekuasaan berlegitimasi. Materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya Eksistensialisme. Eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Eksistensialisme lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Materialisme dan idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakikat yang ekstrim. Keduanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi keduanya juga salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dari kedua ekstremitas itu. Materialisme memandang materi sebagai keseluruhan manusia, padahal itu hanyalah aspek manusia. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subyek. Manusia berpikir, berkesadaran inilah yang tidak disadari oleh materialisme. Akan tetapi, sebaliknya aspek berpikir, berkesadaran dilebihlebihkan oleh idealisme sehingga
184
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
menjadi seluruh manusia, bahkan sebagai yang dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran. Eksistensialisme juga didomng munculnya oleh situasi dunia pada umumnya. Di sini eksistensialisme lahir sebagai reaksi tethadap dunia pada umumnya, terutama dunia Eropa Barat. Secara umum keadaan dunia pada waktu itu tidak menentu. Rasa takut berkecamuk, teutama terhadap ancaman perang. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura dan kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di Eropa Barat dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan. Di beberapa tempat orang-orang beragama sendiri justru terlibat dalam krisis itu. Manusia menjadi orang yang gelisah, eksistensinya terancam perbuatannya sendiri. Tokoh-tokoh aliran filsafat eksistensialisme cukup banyak, seperti Gabriel Marcel, Karl Jaspers, Nicolai Berdyaev, Albert Camus, Martin Heiddegger, Soren Kierkegaard dan Jean Paul Sartre. Namun dalam tulisan ini hanya membatasi pembahasan pada dua pendapat yang dikemukakan dua filosof, yaitu Soren Kierkegaard dan Jean Paul Sartre. Apakah Arti Eksistensialis ? Menurut Linda Smith dan William Reaper yang dialih bahasakan P. Hardono (2000:76) pada
dasarnya eksistensialisme adalah filsafat pemberontak, terpusat pada individu dan masalah-masalah eksistensi. Dalam cara-cara tertentu eksistensialisme dapat dilihat sebagai pemberontakan romantisme melawan ide Pencerahan Eropa dengan tekanannya pada sistem rasionalitas. Kata Eksis secara harfiah berarti berdiri tegak melawan dan para filosof eksistensialis telah menekan bagaimana manusia individual berdiri tegak melawan dunia, masyarakat, lembaga, dan cara berpikir. Sedangkan menurut Ahmad Tafsir (2008:218) kata dasar eksistensi (Existency) adalah Exist yang berasal dari kata latin Ex yang berarti keluar dan Sistere yang berarti berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dan diri sendiri. Soren Kierkegaard (1813-1855) Suatu reaksi terhadap idealisme yang sama sekali berbeda dan reaksi materialisme ialah yang berasal dari pemikir Denmark yang benama Soren Kierkegaard. Menurut Kierkegaard, filsafat tidak merupakan suatu sistem, tetapi suatu pengekspresian eksistensi individual. Karena ia menentang filsafat yang bercorak sistematis, dapat dimengerti mengapa ia menulis karyanya dengan menggunakan nama samaran. Dengan cara demikian, ia mencoba menghindari anggapan bahwa bukunya merupakan gambaran tentang fase-fase perkembangan pemikirannya. Dengan menggunakan nama samaran, mungkinlah ia menyerang pendapat-pendapatnya di dalam bukunya yang lain. Pertama-tama Kierkegaard memberikan kritik terhadap Hegel. Ia berkenalan dengan filsafat Hegel
Aliran Filsafat Eksistensialis (Izhar Salim)
ketika belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Mula-mula ia tertarik pada filsafat Hegel yang telah popular di kalangan intelektual di Eropa ketika itu, tetapi tidak lama kemudian ia melancarkan kritiknya. Keberatan utama yang diajukan oleh Kierkegaard kepada Hegel ialah karena Hegel meremehkan eksistensi yang konkrit karena Hegel mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Dengan demikian, Kierkegaard memperkenalkan istilah “eksistensi” dalam suatu arti mempunyai peran besar pada abad ke-20. Hanya manusia yang mampu bereksistensi, dan eksistensi saya tidak saya jalankan satu kali untuk selamanya, tetapi pada setiap saat eksistensi saya menjadi objek pemilihan baru. Bereksistensi ialah bertindak. Tidak ada orang lain yang dapat menggantikan tempat saya untuk bereksistensi atas nama saya. Hampir semua filosof masa lampau hanya mempelajari sifat-sifat umum, sifat manusia pada urnumnya, kehidupan pada umumnya, kebebasan pada umumnya, dan lain-lain. Mereka memandang yang umum atau yang abstrak. Yang umum memang selalu abstrak. Tradisi membicarakan “yang umum” memuncak pada hegel. Akan tetapi, menurut Kierkegaard filsafat harus mengutamakan manusia individual. Kehidupan secara konkrit berarti kehidupanku. Kebenaran secara konkrit berarti kebenaran bagi saya. Percobaan Hegel untuk membuat sintesis harus ditolak. Mendamaikan pertentangan dengan
185
cara menyintesisnya hanyalah akan menghasilkan sesuatu yang abstrak. Di dalam kehidupan konkrit kita selalu menghadapi pertentangan yang tidak mungkin disintesis. Di dalam bidang etika, misalnya, kita selalu dituntun memutuskan secara radikal ini atau itu. Kata ini menjadi buku Kierkegaard yang pertama yang terbit pada tahun 1843. Selain mengkritik Hegel, ia juga mengkeritik agama Kristen. Kierkegaard mengemukakan kritik tajam terhadap gereja Lutheran yang merupakan gereja Kristen resmi di Denmark ketika itu. Kritik itu dilemparkan terutama pada masa tuanya. Ia menganggap gereja di tanah airnya itu telah menyimpang dan Injil Kristus. Pada pokoknya, kritik Kierkegaard terhadap agama Kristen di tanah airnya tidak berbeda dan kritiknya terhadap filsafat Hegel. Masalah yang dikritiknya ialah karena orang mengaku Kristen di sana, tetapi kebanyakan tidak benar. Kristen tidak melekat di hati, tidak dianut dengan sepenuh kepribadian, ada kemunafikan. Sifat ini amat dibenci oleh Kierkegaard. Bahkan ketika itu iman Kristen menjadi sikap borjuis dan lahiriah saja. Sedangkan menurut Kierkegaard Iman kristen haruslah merupakan salah satu cara hidup radikal yang menuntut seluruh kepribadian. Pengaruh Kierkegaard belum tampak ketika ia masih hidup, bahkan bertahun-tahun namanya tidak dikenal orang diluar negerinya. Itu antara lain karena karyanya ditulis dalam bahasa Denmark. Barulah pada akhir abad ke-19 karya-karya Kierkegaard mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Karyanya menjadi sumber yang penting sekali untuk filsafat
186
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
abad ke-20, yang disebut eksistensialisme. Karenanya sering disebut bahwa Kierkegaard adalah Bapak Filsafat Eksistensialisme. Akan tetapi, eksistensialisme abad ke20 tidak jarang beraliran ateis, padahal Kierkegaard seorang penganut Kristen (Bertens, 1979:8385). Jean Paul Sartre (1905-1980) Jean Paul Sartre lahir di Paris path tahun 1905 dan meninggal pada tahun 1980. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 19241928. Setelah tamat dari sekolah itu pada tahun 1928 ia mengajar filsafat baik di Paris maupun di tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francais di Berlin dan di Universitas Freiburg. Tahun 1938 terbit novelnya yang beijudul La Nausee, dan La Mur terbit pada tahun 1939. Sejak itu muncullah karyakaryanya yang lain dalam bidang filsafat. Tatkala pecah perang pada tahun 1939 ia menggabungkan diri dalam pasukan Perancis, dan pada tahun 1940 ia ditangkap oleh Jerman. Setelah dibebaskan, ia kembali ke Paris. Di sana ia meneruskan karyanya sebagai pengajar dalam bidang filsafat sampai tahun 1944. Dalam waktu inilah ia menyelesaikan bukunya yang terkenal berjudul L‘Etre et Le Neant, pada tahun 1943. Dalam gerakan politik bersama temannya, Albert Camus dan Maurice Merleau Ponty, ia bekerja sama dengan Partai Komunis Perancis. Tahun 1960 terbit bukunya berjudul Critique de la Raison Dialectique (Encyclopedia of Philosophy, 7, 1967:287 dan Encyclopedia of Philosophy, 8, 1967:88).
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dari tumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului wujud nyata (Existence) dianggap mengikuti hakikat (Essence)nya. Jadi hakikat manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain (Hanafi, l981;90). Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri (Beerling, 1966:215). Berikut ini dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan eksistensi mendahului esensi itu. Jika seseorang ingin membuat suatu barang, misalnya buku, ia seharusnya telah mempunyai konsep tentang buku yang akan dibuatnya itu. Selanjutnya dibuatnya buku itu sesuai dengan konsep yang telah ada padanya. Kita tidak dapat membayangkan seseorang dapat membuat buku tanpa didahului oleh suatu konsep tentang buku. Dapatlah dikatakan sekarang bahwa konsep buku merupakan esensi buku, sedangkan wujud buku adalah eksistensinya. Jelaslah sekarang bahwa kehadiran buku itu ditentukan oleh pembuatnya, yaitu manusia. Maka untuk buku berlaku esensi mendahului eksistensi. Ini tentulah formula biasa, yang tidak biasa ialah eksistensi mendahului esensi sebagaimana yang diajarkan eksistensialisme itu untuk manusia. Bila kita berfikir bahwa Tuhan adalah pencipta maka kita akan membayangkan bahwa Tuhan mengetahui secara pasti apa yang akan diciptakan-Nya. Jadi, konsep sesuatu yang akan diciptakan oleh Tuhan itu telah ada sebelum sesuatu itu diciptakan atau ditiadakan. Jika
Aliran Filsafat Eksistensialis (Izhar Salim)
demikian, maka bagi manusia juga berlaku formula esensi mendahului esensinya. Ini bila Tuhan yang menciptakan manusia. Ide seperti ini ada pada agama, juga pada Diderot, Voltaire, Kant, dan lain-lain. Bahkan pada plato, konsep sudah di alam idea. Ternyata, Sartre menyatakan bahwa itu semua berlawanan dengan kenyataan. Eksistensialisme yang ateis, yang saya adalah salah seorang tokohnya, menyatakan bahwa bila Tuhan tidak ada, maka tinggal satu yang ada yang eksistensinya mendahului esensinya, suatu ada yang adanya sebelum ia dapat dikenal dengan suatu konsep tentang dirinya. Itu adalah manusia, yang oleh Heidegger disebut realitas manusia Apa yang kita maksud dengan mengatakan eksistensi mendahului esensi pada manusia ? Kita maksudkan bahwa manusia adalah yang pertama dan semua yang ada, menghadapi dirinya, menghadapi dunia, dan mengenal dirinya sesudah itu. Bila manusia sebagai seorang eksistensialis melihat dirinya sebagai tidak dapat dikenal, itu karena ia mulai dari ketiadaan. Dia tetap tidak akan ada, sampai suatu ketika ia ada seperti yang diperbuatnya terhadap dirinya. Oleh karena itu, tidaklah ada kekhususan kemanusiaan karena tidak Tuhan yang mempunyai konsep tentang manusia (Strhl den Struhl, 1972:36). Formula ini dianggap amat penting oleh Sartre karena, bila eksistensi manusia mendahului esensinya, berarti manusia harus bertanggung jawab untuk apa ia ada. Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia menyadari bahwa ia
187
menghadapi masa depan, dan ia sadar berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia. Inilah yang dianggap sebagai ajaran pertama dan utama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh manusia (Struhl den Struhl, 1972:37). Sartre adalah fi1osof ateis. Itu dinyatakannya secara terang-terangan. Konsekuensi pandangan ateis itu ialah Tuhan tidak ada, atau sekurangkurangnya manusia bukanlah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Dari pemikiran ini ia menemukan bahwa eksistensi manusia mendahului esensinya. Seandainya pemikiran ini diajukan untuk menekankan tanggung jawab manusia, itu tidaklah sulit jika ia percaya kepada Tuhan. Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, Ia harus bebas menentukan, memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian tanpa orang lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya dan untuk seluruh manusia. Sartre mengatakan bahwa dalam memutuskan itu orang berdiri sendiri. Ini karena ia ateis. Bila ateis, maka manusia akan tahu bahwa dalam memutuskan ia tidak sendirian, ajaran Tuhan bersamanya dalam memutuskan. Rasa takut itu muncul karena adanya kesadaran pada manusia bahwa ia manusia. Rasa seperti tidak ada pada hewan, tumbuhan, dan bebatuan. Manusia selalu dalam keadaan menuju kepada orang lain. Setelah yang lain itu tercapai, pada waktu itu pula ia menyangkalnya.
188
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
Jadi, manusia itu selalu berubah, selalu meluncur, selalu menuju kepada. Hakikat penyangkalan itu dapat dirumuskan dalam kalimat “Yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada. Jadi, manusia itu laksana orang yang mengejar bayangannya”. Menurut Sartre, itulah hakikat manusia. Manusia harus berbuat, dan harus pula mengingkari hasilnya. Ini hukuman. Keadaan ini menimbulkan rasa mual, rasa hendak muntah. Akan tetapi, bila konstruksi itu diubah, maka yang terjadi ialah kekacauan, semua menjadi semua, semua dapat teijadi. Manusia harus menghadapi kenyataan ini. Manusia menjadi mual menghadapi kenyataan itu, sedangkan sifat eksistensi manusia selalu ingin mengubah. Terasa kenyataan itu beban berat, bahkan menindas. Itulah pada dasarnya yang dimaksud oleh Sartre dengan nausee (Drijarkara, 1 996:75). Sartre menghantam setiap bentuk determinisme. Ia menjelaskan bahwa kemerdekaan itu harus diartikan merdeka dalam keterbatasannya artinya ia merdeka dalam kondisinya. Orang lumpuh merdeka dalam kelumpuhannya, orang yang hidup dalam sel penjara merdeka dalam keadaannya. Selanjutnya Sartre mengemukakan bahwa ada bersama itu berupa konflik atau permusuhan terus-menerus. Oleh karena saya tatkala bertemu dengan orang lain (Beerling, 1996:231). Jadi, di dalam hubungan antar manusia itu, hanya ada dua kemungkinan menjadi subjek atau menjadi objek, memakan atau dimakan (Drijarkara, 1966:89). Kelihatan Sartre sedikit “lembut” tatkala ia mengatakan bahwa relasi antar manusia terjadi
juga karena ikatan cinta kasih. Dalam cinta kasih pihak lain kepadaku, demikian Sartre, eksistensiku diakui, badanku diinginkan, aku dihargai (Peursen, 1980:226). Di sini sifat saling merendahkan, saling memakan, seperti menghilang dan filsafat Sartre. Sekalipun demikian, demikian Sartre, dalam hubungan cinta kasih inipun konflik yang ada (Peursçn, 1980:226). Kebebasan dan Ketidakbebasan Masalah kemerdekaan atau kebebasan selalu mendapat perhatian dan setiap filsafat. Dalam persoalan mi muncul pandangan determinisme dan free will (bebas). Bagaimana pikiran Sartre tentang ini ? Tindakan atau tertindak adalah bagian sentral dalam filsafat Sartre. Manusia itu menjalani eksistensinya dalam perbuatan. Syarat utama dapat bertindak ialah adanya kemerdekaan (Struhl den Struhl, 1972: 107-117). Sartre menghantam setiap bentuk determinisme. Semua itu nonsense, kata Sartre, jika aku menjerumuskan kesusilaanku, karena aku mau. Jika aku tidak mau tidak berdayalah dorongan-dorongan yang ada dalam badanku. Jika aku jatuh cinta karena aku merdeka memilih jatuh cinta. Sartre mengatakan bahwa keapaan manusia bergantung pada kemauannya yang berasal dari kemerdekaannya. Sebagian besar buku Sartre berisi uraian yang tajam dan sinis tentang hubungan antar manusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia, dalam instansi yang terakhir ialah rivalitas dan konflik. Saya mendekati orang lain, menurut Sartre tidak dapat diartikan selain bahwa
Aliran Filsafat Eksistensialis (Izhar Salim)
saya hendak merebutnya, saya hendak menjadikannya objek. Disini kita menyaksikan untuk kesekian kalinya dilema dalam filsafat Sartre: disatu pihak seseorang memerlukan orang lain agar ia dapat menjalani eksistensinya, tetapi dipihak lain ada bersama itu merupakan permusuhan. Sekarang semakin lengkaplah keterhukuman manusia, terdamparannya, dan kesegarannya. Semakin jelas mengapa hidup itu dikatakan memuakkan, putus asa. Sartre memulai filsafatnya dengan menjelaskan hakikat ekstensi manusia. Eksistensi manusia mendahului esensinya. Mulainya manusia bereksistensi ialah sejak ia mengenal dirinya dan dunia yang dihadapinya. Itu berarti bahwa ia telah berkesadaran, dan kesadaran itu muncullah tanggung jawab, karena bertanggung jawab, maka manusia harus memilih, menentukan, memutuskan, dilakukannya sendirian. Timbullah rasa kesendirian, sepi, lalu takut. Takut itu tidak jelas objeknya, tidak jelas takut pada apa. Ini tentu menjadi penderitaan. Karena kesadarannya itu manusia harus berbuat, berarti ia selalu berubah, selalu mengalih, karena yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ialah yang belum ada. Tentu saja manusia selalu mendobrak berpindah, meluncur terus. Manusia menjadi mual, muak, seperti mau muntah. Manusia dipaksa bekerja, tetapi tanpa harapan. Sial betul nasib manusia. Determinisme ditolak, tetapi manusia dihukum berarti determinisme juga. Kehidupan bersama diperlukan, tetapi ada bersama itu merupakan neraka bagi manusia dan dilema.
189
Memang filsafat Sartre penuh kalau bukan seluruhnya oleh dilema. Sebenamya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh pandangan yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya dapat diselesaikan dalam teisme (Drijarkara, 1966:89). Bagaimanapun juga, tampaklah di dalam uraian di atas, bahwa filsafat Sartre bentrokan dengan realitas. Kita akui, bahwa buah pikiran Sartre memuat pandangan-pandangan yang bagus. Namun dasar-dasarnya tidak tahan uji baik secara teoritis maupun empiris (Drijarkara, 1966:89). Penutup Eksistensialisme adalah filsafat pemberontakan, terpusat pada individu melawan ide Pencerahan Eropa dengan tekanannya pada sistem dan rasionalitas artinya manusia melawan individual melawan dunia, masyarakat, lembaga, dan cara berpikir. Manusia harus memilih apa yang mau mereka kerjakan dan mereka mau menjadi apa. Mereka adalah bebas. Para filosof eksistensialis dalam tulisannya menekankan pada kebebasan, individualitas, tanggung jawab, dan pilihan. Selain itu juga menulis mengenai keterasingan dan keputusan. Dengan mempelajari filsafat eksistensialisme dalain hubungannya dengan pendidikan umum/pendidikan nilai maka manusia memiliki moralitas yang berintikan etika, norma, estetika, dan agama. Untuk itu, meskipun manusia memiliki kebebasan, tetapi tetap dibatasi oleh moralitas yang berintikan unsur-unsur dimaksud.
190
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 1. No. 2. Oktober 2010
Daftar Pustaka Berten, K. (1975). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. Berten, K. (1979). Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Beerling, R.F. (1996). Filsafat Dewasa Ini. Terjemahan Hasan Arnin. Djakarta: Balai Pustaka. Drijarkara, S.J. (1996). Percikan Filsafat. Djakarta: Pembangunan. Encyclopedia American. (1977). Encyclopedia Britannica. (1970). Hanafi, A. (1981). Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat. Jakarta: AlHusna. Peursen, C.A. van. (1980). Orientasi Di Alam Filsafat, Diterjemahkan oleh Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia. Smith., L Raeper., W. (1991). Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Alih Bahasa oleh P. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius. Strurhl, Paula Rothenberg, den Karsten J. Struhl. (1972). Philosophy Now. New York: Random, Inc. Tafsfr, Ahmad. (2008). Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya.