KRITIK TERHADAP FILSAFAT PROGRESIVISME DALAM PENDIDIKAN BAHASA Oleh Ikhsanudin (Bahasa Inggris, PBS, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak) Abstrak:Pikiran filsafat pendidikan progresivisme telah merasuk ke dalam pendidikan bahasa, khususnya melalui filsafat pragmatisme bahasa dan pengajaran pragmatik. Rasukan tersebut telah mereduksi hakikat manusia menjadi sekadar makhluk individu dan makhluk sosial sehingga pengajaran bahasa melupakan hakikat manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Karenanya, perlu ada perluasan pemikiran dan pemerkayaan sudut pandang dalam kajian bahasa dan pengajaran bahasa. Kata Kunci: Progresivisme, bahasa, pendidikan Pendahuluan Kajian historis mengenai pengaruh pikiran-pikiran filsafat pendidikan progresivisme John Dewey ke dalam pemikiran kebahasaan dan pendidikan bahasa telah dibahas dalam jurnal ini Volume 7 Nomor 1 (Ikhsanudin 2009). Dengan mengacu pada kajian tersebut, terutama hal-hal yang terkait dengan karya-karya Dewey dan pendukungnya (Dewey, John dan John L. Childs. 1933:68 dan Dewey 1967), kajian ini dilakukan untuk meninjau pengaruh tersebut secara lebih mendalam. Oleh karena itu, hal-hal elementer terkait inti pikiran progresivisme dan pengaruhnya dalam pendidikan bahasa tidak perlu lagi disinggung dalam kajian ini. Filsafat progresivisme telah sangat merasuk dalam kajian bahasa dan pendidikan bahasa, terutama melalui pandangan-pandangan pragmatisme telah menjadi pusat kajian kebahasaan maupun pendidikan bahasa. Bahkan, dalam kajian linguistik telah tumbuh suatu disiplin yang bernama pragmatik (pragmatics). Istilah pragmatisme mula-mula berasal dari bahasa Latin ”pragma” atau ”pragmat-” yang berarti tindakan yang dilakukan secara sengaja atau secara sadar. Istilah tersebut pada abad 19 diserap ke dalam bahasa Inggris dengan padaan ”deed”. Di dalam kajian filsafat, pragmatisme adalah suatu pendekatan atau cara berpikir yang menilai kebenaran makna suatu teori atau kepercayaan atas dasar keberdayagunaannya atau keberhasilannya dalam penerapan praktis. Dalam pendidikan, filsafat pragmatisme menekankan keberhasilan peserta didik dalam belajar untuk menghadapi keadaan sosial pada masa depannya. Pandangan tersebut beririsan dengan pandangan progresivisme terutama pada relativitas kebenaran. Meskipun ada perbedaan, karena pragmatisme memandang kebenaran pada keberdayagunaan (efektivitas) atau keberhasilan dalam melakukan sesuatu sementara progresivisme memandangnya sebagai sesuatu yang dinamis dan berkembang secara positif (Ikhsanudin 2009), keduanya tidak memiliki perhatian kepada kebenaran mutlak. Fokus utama tulisan ini adalah kandungan pemikiran progresivisme dalam pendidikan bahasa pada, terutama yang terjadi pada abad XX. Untuk menguraikannya diperlukan dua sub fokus kajian, yaitu filsafat progresivisme John Dewey dan pandangan kritis Penulis. Subkajian filsafat progresivisme Dewey hanya diuraikan
secara ringkas karena pada tulisan terdahulu pada Jurnal ini (Ikhsanudin 2009), penulis telah menguraikan sisik-melik filsafat tersebut dan pengaruhnya pada pemikiran pendidikan bahasa abad XX. Makalah ini secara khusus dibuat untuk memuat pandangan-pandangan Penulis sesuai sudut pandang yang diyakininya mengenai pemikiran Dewey tersebut, bahasa, dan pendidikan bahasa. Pandanganpandangan tersebut disampaikan dalam sub bab tersendiri dengan tujuan mempermudah penegasan pendapat, terutama pada aspek-aspek yang membuat penulis ini berbeda pandangan dari para ahli yang terlebih dahulu melakukan kajian. Tujuan penulisan ini adalah mengkritisi rasukan progresivisme dalam pendidikan bahasa. Rasukan-rasukan tersebut dikaji secara kritis dengan sudut pandang yang yang lebih meluas agar dua hal penting, yaitu filsafat progresivisme dan pendidikan bahasa dapat dipandang secara lebih utuh. Untuk dapat mengritisi pemikiran tersebut, Penulis menggunakan studi kasus (lih. Richards, 2003, pp. 20-22; Gay, Mills, dan Airasian 424-444). Jejak Filsafat Progresivisme John Dewey Pikiran-pikiran Progresivisme John Dewey menjadi perhatian dalam makalah ini karena setakat ini pikiran-pikirannya nyaris tidak pernah disinggung dalam sumber-sumber bacaan kebahasaan maupun pengajaran bahasa. Dalam pandangan penulis ini, pikiran-pikiran progresivisme John Dewey telah mengakibatkan revolusi pemikiran pendidikan dan turut menyuburkan pemikiran demokrasi di Amerika Serikat. Meskipun pikiran-pikiran John Dewey nyaris tidak pernah disinggung dalam literature-literatur kebahasaan dan pendidikan bahasa, sangat mungkin pikiran-pikiran tersebut mempengaruhi cara berpikir publik Amerika pada akhir abad XIX dan awal sampai pertengahan abad XX. Dapat diduga, pikiran-pikiran progresivisme Dewey pada kadar tertentu memengaruhi pada bahasawan dan pendidik bahasa karena secara umum pendidikan di Amerika sangat pernah mengalami, bahkan pada kadar tertentu sampai sekarang, pengaruh pikiran filsafat tersebut. Pikiran progresivisme John Dewey mengenai pendidikan tertuang dalam bukunya mengenai sekolah dan masyarakat dan demokrasi dalam pendidikan (c.f. Dewey 1899 dan 1916) sangat berpengaruh terhadap pendidikan Amerika pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Seperti diulas oleh Wilds dan Lottich (1970:433-435), karya-karya Dewey telah membuat tujuan-tujuan pendidikan yang bersifat sosiologis dan teknik-teknik sosialisasi aktual dalam pendidikan menjadi perhatian paling besar daripada masa-masa sebelumnya. Pemikiran-pemikiran Dewey diikuti oleh para murid dan pengikutnya, seperti: William H. Kilpatrik, Boyd H. Bode, Thomas H. Briggs, Ross L. Finney, dan George S. Counts. Meskipun orang-orang tersebut – yang juga dijuluki “Molders of the American mind” (pembentuk pemikiran Amerika) – tidak sepenuhnya setuju dengan pemikiran Dewey. Meskipun demikian, mereka sependapat dengan Dewey dalam hal pentingnya filsafat sosial dalam pendidikan. Kiprah Dewey dalam penyuburkan pemikiran pragmatisme dimulai sejak dia meninggalkan Universitas Michigan pada 1894 untuk menjadi Ketua Departemen Filsafat dan Pendidikan di Universitas Chicago yang baru berdiri. Posisi barunya sangat pas untuk mengembangkan gagasan-gagasan pendidikan progresif yang memang juga tepat pada waktunya. Pada 1896 Dewey mendirikan Sekolah Laboratorium (lab-school) – yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Dewey School atau Sekolah Dewey (Cf. Mayhew dan Edwards 1936 Cremin 1959). Di sekolah tersebut ia dapat mengembangkan eksperimen praktis atas teori-teorinya mengenai pendidikan yang memasyarakat.
Sekolah Dewey adalah pelopor sekolah-sekolah sejenis yang kemudian tumbuh di berbagai tempat. Di Eropa tumbuh semarak lembaga-lembaga experimental seperti sekolah-sekolah country-home Herman Lietz di Jerman, di Prancis berdiri the French Ecole des Roches of Edmund Demolins, dan di Belgia berdiri sekolah-sekolah progresif yang didirikan oleh Ovide Decroly. Di Amerika juga terjadi pertumbuhan sekolah yang sama menjamurnya dengan di Eropa, seperti: the Francis W. Parker School of Chicago, the Miriam School di Universitas Missouri, the Menomonie School di Wisconsin, the Lincoln Scool dan the Speyer School di Universitas Columbia, dan the Fairhope (Albama) Scool, Masih banyak sekolah serupa yang tidak dapat disebutkan di sini. Terkait dengan pengelolaan sekolah-sekolah tersebut di Amerika didirikan the Progressive Education Association dan di Eropa didirikan the New Education Fellowship (Wilds dan Lottich 1970:432-434). Pandangan Penulis Manusia dan Pendidikan Apapun bentuk kajiannya, filsafat progresivisme mengaji hal-hal yang terkait dengan manusia dan kemanusiaan. Setiap manusia dilahirkan dengan potensi yang sama – meskipun dengan bakat dan minat yang berbeda-beda – dan dengan tugas dan kewajiban sama. Manusia juga dilahirkan dengan martabat yang sama meski dengan warna kulit dan suku yang berbeda-beda. Tidak ada manusia yang dapat memilih akan dilahirkan sebagai suku apa dan bangsa apa. Perbedaan-perbedaan yang terjadi pada diri manusia merupakan rahmat Allah untuk keberagaman dan persaudaraan sesama manusia. Dengan takdirnya sebagai makhluk yang paling sempura di banding makhlukmakhluk lain, manusia memiliki konsekwensi untuk ”membina” makhluk-makhluk lain sehingga tercipta kemakmuran di muka bumi, yaitu menjadi khalifah di muka bumi. Konsekwensi kekhalifahan adalah berlaku benar dan layak menjadi teladan serta bertanggungjawab terhadap semua yang ada dalam binaannya. Oleh karena itu, manusia sebagai khalifah harus selalu memelihara dan meningkatkan kualitas dirinya agar dapat menjalankan tugas-tugas kekhalifahannya. Dengan tanggungjawab kekhalifahannya manusia harus dapat mengolah alam secara benar dengan memperhatikan asas-asas manfaat, keberlanjutan, keadilan, dan sebagainya. Tanggungjawab tersebut juga mengharuskan manusia dapat bermasyarakat dan berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan bermasyarakat bukan hanya melibatkan kegiatan manusia sebagai anggota masyarakat tetapi juga sebagai pemimpin dalam masyarakat. Dengan takdirnya sebagai hamba ciptaan Allah, manusia harus dapat menemptakan dirinya secara benar terhadap Allah. Sebagaimana makhluk-makhluk lain yang bergerak dan beredar sesuai dengan hukum-hukum yang ditentukan oleh Allah – Sang Pencipta, manusia juga harus mengikuti ketentuan-ketentuan Sang Pencipta. Sebagaimana ditulis oleh Rais (1987:13-17), sikap yang benar manusia terhadap Sang Pencipta adalah ketundukan total tanpa syarat dan membebaskan diri dari ketundukan kepada selain Sang Pencipta. Ketundukan manusia kepada selain Sang Pencipta berimplikasi pada rendahnya si manusia tersebut karena pada hakikatnya derajatnya sudah tinggi sejak dilahirkan. Dengan ketundukannya kepada selain Allah, si manusia merendahkan harga dirinya. Misalnya, jika seorang manusia yang tunduk kepada manusia lain, maka harga dirinya menjadi di bawah manusia lain tersebut. Oleh karena itu, sangatlah nista seseorang yang tunduk kepada manusia lain, misalanya: seorang istri terhadap suami atau sebaliknya, seorang rakyat tunduk kepada penguasa, si miskin tunduk kepada si kaya, orang ”biasa” tunduk kepada
orang ”suci” dan sebagainya. Lebih nista lagi apabila ada manusia tunduk kepada benda-benda keramat, kepada iblis, kepada hawa nasfunya sendiri, kepada uang, dan sebagainya. Tunduk kepada Allah secara mutlak memiliki beberapa dimensi penting. Dimensi pertama adalah kepatuhan. Makhluk yang bernama manusia harus patuh terhadap Allah, Sang Pencipta semesta. Dimensi kedua adalah kecintaan. Manusia yang patuh kepada Sang Pencipta mencintai penciptanya dan merasa bahwa Sang Pencipta adalah yang paling penting dalam kehidupannya. Kecintaan dan pementingan tersebut merupakan konsekwensi keterikatannya kepada Sang Pencipta. Dimensi ketiga adalah ajaran. Manusia yang tunduk kepada Allah akan mengikuti ajaran Allah di atas ajaran-ajaran lain karena Allah. Ajaran Sang Pencipta dan yang Mahakuasa adalah ajaran yang terbaik dan ajaran yang kebenarannya mutlak. Adalah suatu kewajaran apabila sesuatu yang mencipta dan memelihara secara sempurna memiliki ajaran yang benar dan juga merupakan kewajaran apabila ajaran yang benar ditempatkan di atas ajaran-ajaran yang lain. Hakikat pendidikan adalah upaya menempatkan manusia pada takdirnya sebagai makhluk yang terbaik dan pada kedudukannya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di muka bumi. Dengan kata lain, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia dan untuk berjalannya (mamuliakan) kemanusiaan (to flourish humanity). Dua dimensi pendidikan – kehambaan dan kekhalifahan – tersebut dapat diupayakan melalui peningkatan iman dan ilmu. Iman tidak dapat berjalan sendiri karena untuk mengokohkan keimanan diperlukan ilmu. Ilmu juga tidak dapat berjalan sendiri karena pengalaman menunjukkan bahwa ilmu hanya dapat menyelesaikan pertanyaan apa dan bagaimana (Maarif 2004:26). Jadi, pendidikan harus dapat menyeimbangkan keimanan dan keilmuan manusia untuk pada gilirannya terjadi juga manifestasi keimanan yang didukung dengan ilmu yang cukup dan manifestasi keilmuan yang dilandasi dengan keimanan yang memadai. Manusia yang belum beriman secara benar kepada Sang Khalik adalah manusia yang belum merdeka dari penindasan sesama makhluk dan belum memahami status kemanusiaannya (Rais 1987:15). Keimanan yang benar anak berbuah pada karya-karya yang baik (amal saleh). Amal saleh bukan hanya peribadan ritual seperti yang dipahami secara sempit oleh sementara kalangan tetapi segala tindakan manusia yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi makhluk lain (Ikhsanudin 2001:ix). Masalah tersebut adalah masalah terbesar yang harus ditangani oleh pendidikan. Bahasa dan Pendidikan Bahasa Bahasa memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Sebagai makhluk individu, manusia memerlukan bahasa untuk berpikir, berkomunikasi intrapersonal, dan memahami dunia sekitarnya. Sebagai makhluk religius, manusia memerlukan bahasa untuk mengekspresikan pengabdian dan menyampaikan doadoanya kepada Tuhan yang dipujanya. Sebagai makhluk berbudaya, manusia memerlukan bahasa untuk memikirkan dan mengaktualisasikan pikiran, perasaan, karya, dan karsanya. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan bahasa untuk berinteraksi dengan sesama manusia, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, sampai dengan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi. Pendeknya, tidak ada kiprah manusia di bumi yang tidak memerlukan bahasa. Definisi-definisi bahasa yang beredar setakat ini seperti yang disenaraikan oleh Ikhsanudin (2005), yaitu pemikiran-pemikiran Sapir (1921), Bloch dan Tragger (1942), Chomsky (1957), Hall (1968), Wardaugh (1972), Finnochiaro (1974), Pei dan Gaynor (1975), dan Halliday (1985) masih belum cukup
memadai. Dengan kata lain, masih diperlukan pengajian lebih mendalam mengenai bahasa untuk memperoleh definisi yang komprehensif mengenai bahasa. Karena luas dan kompleksnya kegiatan manusia yang memerlukan bahasa, dalam kehidupan manusia bahasa memiliki fungsi yang amat luas – bukan sekadar untuk memahami dan menyampaikan maksud kepada orang lain. Secara individu, manusia sangat terbantu oleh bahasa dalam mengembangkan dirinya, dari pengembangan emosi, spiritualitas, intelektualitas, sampai dengan kemampuan psikomotorik. Secara religius, manusia dapat menjadi lebih dekat kepada Tuhannya dengan melakukan ritual dan doa menggunakan bahasa. Secara budaya, manusia menjadi lebih maju dalam peradaban karena memanfaatkan bahasa untuk merasa, berpikir, melahirkan kehendak, dan berkarya. Secara sosial, manusia dapat membangun komunitas, negara dan bahkan bangsa, kesejahteraan bersama, menyelesaikan perselisihan, dan sebagainya. Oleh karena itu, suatu bahasa yang telah disepakati menjadi linguafranca dalam suatu Negara (seperti bahasa Indonesia) harus dibangun agar dapat menjalankan fungsi-fungsi di atas dan dapat memuliakan manusia dan kemanusiaan secara lebih optimal. Pendidikan bahasa bukan sekadar untuk membuat manusia mampu berkomunikasi interpersonal. Karena kompleksnya identitas manusia, luasnya fungsi dan misi kemanusiaan, dan pada kenyataannya banyak bahasa yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan identitas dan fungsi serta misi kemanusiaan tersebut, pendidikan bahasa hendaknya dapat menyentuh optimalisasi kecerdasan berbahasa untuk memenuhi kebutuhan identitas manusia dan fungsi serta misi kemanusiaan di muka bumi. Peran guru sebagai fasilitator pembelajaran bahasa dan orang tua sebagai sosok dewasa yang menjadi suri tauladan dalam membangun tradisi dan dan memuliakan kemanusian tidak mungkin dapat tergantikan. Pemikiran-pemikiran pragmatisme pada satu sisi telah memberikan sumbangan signifikan pada bidang pendidikan, kebahasaan, dan pendidikan bahasa. Gagasan Dewey yang berisi demokratisasi pendidikan, pengutamaan kemampuan berpikir, pentingnya pengalaman langsung, pemecahan masalah secara mandiri, pengorelasian fakta-data- pengetahuan, dan pemunculan gagasan siswa dalam pemecahan masalah dapat merangsang perkembangan dapat mempercepat perubahan perilaku sebagai hasil belajar. Namun, perubahan perilaku yang tidak diarahkan secara hati-hati dapat berefek samping pada perubahan perilaku yang tidak terkendali. Akibatnya, sangat mungkin terjadi kemunduran (set-back) tradisi dan peradaban suatu masyarakat atau kebudayaan. Terlebih lagi, perkembangan religiusitas dan spiritualitas akan terganggu karena sangat mungkin pertentangan antara hawa nafsu dan akal dalam diri pebelajar akan dimenangkan hawa nafsu akibat kebebasan yang tecipta. Dalam pada itu, pemikiran-pemikiran kebahasaan dan pendidikan bahasa yang hanya mengutamakan fungsi kamunikatif dan kebudayaan pada satu sisi merupakan kemajuan besar karena telah menghasilkan kemajuan dalam pembelajaran bahasa sehingga bahasa menjadi lebih mudah dikuasai. Namun, pada sisi lain, pemikiran-pemikiran tersebut telah mereduksi hakikat dan fungsi manusia serta misi kemanusiaan sebagaimana diajarkan oleh agama. Oleh karena itu, diperlukan perluasan pemikiran pendidikan, kebahasaan, dan pendidikan bahasa ke arah hakikat manusia sebagai makhluk religius. Namun, hal tersebut tidak berarti tidak lagi memperhatikan peningkatan pemikiran terkait hakikat manusia sebagai makhluk individu. Perluasan pemikiran tersebut pada gilirannya akan membuat bahasa dan pendidikan berfungsi lebih holistik karena dua alas an. Pertama, dengan perluasan pemikiran pendidikan, kebahasaan, dan pendidikan bahasa ke arah religiusitas penutur bahasa dan pebelajar bahasa diharapkan bahasa dan pendidikan
bahasa akan dapat menjangkau kebutuhan manusia sebagaimana hakikat, fungsi, dan misinya. Kedua, peningkatan pemikiran di luar religiusitas diharapkan akan membuat bahasa dan pendidikan bahasa lebih berdayaguna. Misalnya, bahasa dan pendidikan bahasa dapat menyentuh hal-hal seperti kebangsaan, disiplin, dan kerjasama. Penutup Jejak pemikiran filsafat progresivisme seperti digambarkan pada bagian dua tumbuh sebagai konsekwensi dari ajaran demokrasi yang berkembang di Amerika dan kemudian tumbuh subur di pelbagai belahan dunia. Konsekwensi manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pandangan filsafat progresivisme adalah perlunya kerjasama, berkooperasi dan berkolaborasi. Tujuan pendidikannya adalah agar pebelajar dapat menghadapi kehidupan pada yang akan dihadapi pada masa depannya. Tujuan pendidikan yang hanya memersiapkan manusia untuk hidup sebagai makhluk individu dan makhluk sosial telah mereduksi hakikat manusia yang sebenarnya, yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, diperlukan perluasan atau pemerkayaan atas pemikiran filsafat progresivisme kearah hakekat manusia dengan sudut pandang religi dengan tetap memelihara kemajuan pemikiran manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Kerumpangan pemikiran filsafat tersebut pada aspek religiusitas menjadi tantangan para pemikir kependidikan dan kebahasaan. Karena mencoloknya kerumpangan tersebut, optimisme akan adanya perluasan pemikiran tersebut sangat wajar. Di samping karena jelasnya kerumpangan tersebut, efek globalisasi pada persuaan (encounter) pemikiran keagamaan, sains, dan filsafat juga dapat menjadi faktor pendukung yang signifikan. Harapan penulis ini, perluasan dan pemerkayaan pemikiran kependidikan dan kebahasan ke arah religiusitas akan menuju kepada pemikiran yang terbimbing kitabkitab suci agama-agama yang ada meskipun tetap menghargai variasi penafsirannya. Jika terlepas dari kitab suci, peluasan pemikiran ke arah religiusitas yang nota bene berfisat transendental akan cenderung lepas arah dan teramat spekulatif. Akibatnya, hasil-hasilnya tidak dapat dijadikan dasar dan patokan pengembangan kepandidikan dan kebahasaan yang muaranya adalah mutu sumber daya manusia. Daftar Pustaka Bloch, Bernard and George L. Trager. 1942. Outline of Linguistic Analysis. Baltimore: Linguistic Society of AmericalWaverly Press. p.5). Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structures. The Hague: Mouton. Cremin, Lawrence A. 1959. “John Dewey and the Progressive Education Movement, 1915-1952,” The School Review, vol. 67, no. 2 (Summer). Dewey, John dan John L. Childs. 1933. “The Social-economic Situation and Education.” Dalam Kilpatrik (Ed.), pp. 68. Dewey, John. 1967. “Thinking in Education”. Dalam Raths, Pancella, dan van Ness. 1967. Dewey, John. 1899. The School and Society. Chicago: University of Chicago Press. Dewey, John. 1916. Democracy and Education. New York: Crowell-Collier and Macmillan, Inc. Dalam Wild dan Lottich 1970. Finnochiaro, Mary. 1974. English as a Second Language From Theory to Practice. New York: Regents Publishing Company, Inc. Hall, R.A 1968. An Essay on Language. Philadelphia & New York: Chilton Books.
Halliday, M.AK. 1985. An Introduction to Functional Grammar. London: Edrward Arnold. Ikhsanudin. 2001. ”Penyucian Diri”. Catatan editor dalam Uti Konsen UM. AlIntiqod: Sebuah Renungan. Kalimantan Barat: Yayasan Madani Indonesia. Ikhsanudin. 2005. “Understanding Language and Linguistics.” Al-Ribaath: Majalah Ilmiah Universitas Muhammadiyah Pontianak. Vol. 2, No.1. 2005. Ikhsanudin. 2009. “Filsafat Pendidikan Progresivisme dan Pendidikan Bahasa.” Jurnal Cakrawala Pendidikan Vol. 7 No. 1, pp. 1-13. Kilpatrik, William H. 1933. The educational Frontier. New York: Appleton-CenturyCrofts. Maarif, Ahmad Syafii. 2004. Mencari Identitas dalam Kegalauan. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah. Mayhew, K.C. dan A.C. Edwards. 1936. The Dewey School. New York: AppletonCentury-Crofts. Mills, L.R., Geoffery E. Mill, dan Peterasian. 2009. Educational Research: Competencies for Analysis and Applications. Upper Saddle river, NJ.: Pearson. Edisi ke-9 (Edisi pertama 1976). Pei, Mario and Frank Gaynor. 1975. Dictionary of Linguistics. Littlefield, U.S.A: Adams & Co. Rais, Muhammad Amin. 1987. Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta Bandung: Mizan. Raths, James, John R. Pancella, dan James S. van Ness. 1967. Studying Teaching. Englewood Cliffs, N.J.: Printice Hall, Inc. Richards, Keith. 2003. Qualitative Inquiry in TESOL. New York, Palgrave Macmillan. Sapir, Edward. 1921. Language. New York: Harcourt Brace. Wardaugh, Ronald. 1972. Introduction to Linguistics. New York: McGraw-Hili, Inc. Wilds, Elmer Harrison dan Kenneth V. Lottich. 1970. The Foundation of Modern Education. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Edisi ke-4.