BAHASA DAN MASYARAKAT Oleh: Ikhsanudin (Pendidikan Bahasa, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak) Abstrak: Artikel ini berbicara mengenai keterkaitan antara ilmu kebahasaan dan kecenderungan masyarakat dalam berbahasa. Diawali dengan pembahasan mengenai munculnya kajian linguistik modern, artikel menguraikan kemunculan kajian sosiolinguistik, perbedaan sosiolinguistik dan sosiologi bahasa, pendekatan-pendekatan dalam sosiolinguistik, dan diakhiri dengan penguraian atas prinsip-prinsip dalam penelitian sosiolinguistik. Kajian yang digunakan di sini sepenuhnya adalah kajian kepustakaan dan hasilnya berupa deskripsideskripsi teoritis yang bersifat kumulatif. Kata Kunci: Bahasa, Masyarakat, Sosiologi, Sosiolinguistik. Pendahuluan Terdapat kecenderungan yang berbeda-beda dalam masyarakat menggunakan bahasa, meskipun bahasa yang sama. Kecendereungankecenderungan tersebut bisa terjadi pada aras bunyi (fonetis), aras fonem (fonologis), aras perubahan dan pembentukan kata (morfologis), aras susunan kalimat (sintaksis), sampai dengan aras penggunaan bahasa dalam konteks tertentu (wacana). Hal tersebut dapat diakibatkan banyak hal yang menjadi ciri kelompok masyarakat seperti usia, status sosial, pekerjaan, keadaan ekonomi, politik, dan agama. Hal tersebut mendorong munculnya kajian baru dalam linguisitik (yaitu sosiolinguistik) dan dalam sosiologi (sosiologi bahasa). Untuk memberikan gambaran kepada peminat pemula di bidang tersebut, di artikel ini sengaja disiapkan untuk memberikan uraian mengenai; (1). bagaimana munculnya disiplin ilmu kebahasaan modern ?; (2). bagaimana munculnya disiplin sosiolinguistik ?;
(3). Apa perbedaan sosiolinguistik dan sosiologi bahasa ?; (4). bagaimana pendekatan penelitian sosiolinguistik ?; dan (5). apa saja prinsip-prinsip dalam penelitian sosiolinguistik ?. Pertanyaan-pertanyaan di atas dibahas dengan kajian kepustakaan. Jawaban-jawaban yang diperoleh berupa deskripsi-deskripsi teoretis yang bersifat kumulatif. Sejarah Singkat Linguistik Modern Kajian sosiolinguistik selalu terkait dengan masyarakat dan bahasa, serta memberikan tekanan khusus pada aspek-aspek kebahasaan, terutama dalam hal masalah, tujuan, dan implikasi teoritisnya. Kajian kebahasaan memiliki sejarah yang amat panjang dalam dunia ilmu pengetahuan. Seperti ditulis oleh Johnson (2006) ilmu kebahasaan telah dibahas dalam dialog Plato (427-346 SM) dan dalam tulisan-tulisan zaman Romawi (Johnson 2006). Bahkan, secara praksis sebenarnya manusia yang nota bene diciptakan bersukusuku dan berbangsa-bangsa agar
139
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 2. No. 2. Oktober 2011
saling kenal mengenal sejak memulai kehidupannya telah menggunakan bahasa. Berbagai spekulasi mengenai hal tersebut telah dan sampai saat ini masih saling mempertahankan pendapatnya dari berbagai sudut pandang. Khusus dalam bidang kebahasaan, penelitian-penelitian lama bertitik tumpu pada linguistik diakronis, yang salah satu harapannya adalah mengupayakan rekonstruksi sejarah bahasa dan sejarah peradaban manusia yang diharapkan juga berimplikasi pada penemuan sejarah asal-usul manusia pertama. Namun, dalam perkembangan berikutnya, sepeti juga dalam ilmu-ilmu lain, linguistik modern minimal memiliki tiga fungsi, yaitu: fungsi deskriptif dan eksplanatif, fungsi prediktif, dan fungsi pengembangan. Linguistik modern mulai dikenalkan oleh De Saussure (8571913), yang kemudian dikenal sebagai Bapak Linguistik Modern, seorang Swiss yang sempat mengajar di Paris dan kemudian menjadi profesor di Jenewa serta mendirikan “Mazhab Janewa”. Semasa hidupnya dia tidak terlalu banyak menghasilkan karya tulis. Bukunya yang paling terkenal Cours de Linguistique Générale (terbit pertama kali pada 1916) justru merupakan kumpulan catatan kuliah yang dihimpun oleh mantan mahasiswanya dan diterbitkan secara anumerta. Paling tidak ada tiga hal menjadi landasan revolusi linguistik modern yang dibangun oleh de Saussure, yaitu: (1). Bahwa tanda terdiri atas signifiant dan signifié; (2). Perbedaan Langue, Parolé, dan Langage; serta, (3). Perihal sinkroni dan diakroni (de Saussure 1973).
Mengenai yang pertama, setiap tanda (sign) memiliki dua sisi mata uang, yaitu signifiant dan signifié. Kata signifiant (Prancis) yang setara dengan signifier (Inggris) berarti sesuatu yang menandai atau dalam bahasa Indonesia disebut signifié “penanda” sementara (Prancis) yang setara dengan signified (Inggris) berarti sesuatu yang dimaksud oleh penanda yang dalam bahasa Indonesia disebut “petanda”. Penanda adalah wujud (form) yang bisa diindra sehingga orang yang mengindranya dapat sampai ke petanda (sering diacukan ke meaning). Mengenai yang kedua, dalam beberapa bahasa hanya ada dua kata terkait bahasa. Dalam bahasa Prancis ada langage dan langue, dalam bahasa Italia ada languaggio and lingue, and dalam bahasa Spanyol ada lenguaje dan lengua. Namun, yang perlu dibahas terkait ini adalah konsep dalam bahasa Prancis, yang membedakan langage dan langue. Konsep langage mengacu ke konsep “bahasa” secara umum sedangkan langue mengacu ke bahasa tertentu. Satu konsep lagi yang tidak dapat dipisahkan dalam bahasa Prancis adalah ‘parole’ yang berarti ‘ujaran’. Pangkal diskusinya adalah istilah ‘langue’, yaitu sistem bahasa dari suatu bahasa. Di dalam sistem ada unit-unit dan hubungan-hubungan di antaranya. Linguistik modern mengalihkan perhatian dari kajian karya-karya Adiluhung yang dilakukan oleh tata bahasa tradisional kepada pengajian sistem bahasa. Mengenai yang ketiga, de Saussure menggerakkan bahasawan agar mendahulukan kajian sinkronis (pada suatu waktu) bahasa sebelum mengkajinya secara diakronis (lintas
Bahasa Dan Masyarakat (Ikhsanudin)
waktu). Bahasawan Abad 19 banyak mengkaji linguistik secara historis (sinkronis), padahal sebelum mengkaji secara sinkronis diperlukan pemahaman yang cukup mengenai keadaan bahasa terkait pada masanya. Terkait adanya konsep langue, pengajian sinkronis sangat memungkinkan. Dengan mengkaji secara sinkronis, bukan saja dapat menyampingkan unsur-unsur ekstralingual tetapi linguistik juga dapat melapaskan diri dari dimensi waktu. Dengan adanya tiga pokok kajian di atas.
140
memperkenalkan kajian semasiology, untuk mencakup kajian-kajian historis mengenai perubahan makna. Namun, meskipun kajian makna telah dilakukan dengan memperhatikan konteks situasi, masih ada proses kontekstualisasi, yang diberi istilah bombastis sebagai “the province of sociological linguistics”, untuk menjaga campur aduknya kajian linguistik sosiologi dari bidangbidang lain dalam linguistik yang telah terbentuk. Kesulitan yang akan timbul sudah diketahuinya sejak awal, yaitu: (1). Menggambarkan dan mengklasifikasikan konteks-konteks situasi tipikal dalam konteks budaya; dan, (2). Menggambarkan dan menglasifikasikan tipe-tipe fungsi linguistik dalam konteks-konteks situasi terkait. Kajiannya tidak hanya berhenti pada kapling yang telah diambilnya. Ambisi kajian tersebut adalah membangun fondasi linguistik. Kajian tersebut selanjutnya menginspirasi pengembangan sub disiplin sosiolinguistik.
Kajian Awal Sosiolinguistik Pada perkembangan berikutnya, J.R. Firth mengemukakan gagasan pada 1935 yang kemudian diungkapkan lagi pada 1957 dan 1964/2005 mengenai perluasan kajian linguistik (Firth 2005: 66-70). Diperkenalkannya bahwa proses pemaknaan atau semantik utama adalah konteks situasi. Baginya, kajian fonetik, tata bahasa, semantik, leksikografi, dan sejenisnya cukup dipegang oleh para ahlinya. Dia memperluas kajian untuk pemakaian yang lebih luas dengan Bagan: Organisasi Linguistik beserta bidang-bidang kajian terkait.
141
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 2. No. 2. Oktober 2011
Posisi sosiolinguistik dalam keseluruhan kajian linguisitik adalah sebagai berikut. Linguistik terdiri atas topik-topik dan cakupan yang luas yang tidak dapat didefinisikan dengan mudah dan sederhana. Bagan di atas, yang diambil dari Aitchison (1999) kira-kira dapat membantu pemahaman mengenai hal tersebut. Bagian yang paling tengah adalah fonetik, yaitu kajian mengenai bunyi ujaran manusia. Untuk dapat menggambarkan sistem bahasa dan realisasi ajarannya pemahaman mengenai fonetik sangat diperlukan. Pengetahuan tersebut bukan sekadar bagian dari linguistik tetapi juga merupakan pengetahuan linguistik dasar untuk memahami linguistik. Meskipun fonetik dan linguistik sering diacu bersama sebagai sains linguistik, fonetik bukan merupakan inti linguistik umum sebagai pengetahuan pemulaan bahasa. Pada bagian tersebut, fonetik dilingkupi oleh fonologi (pemulaan bunyi), lalu area fonologi diselimuti oleh sintaksis. Istilah “sintaksis” digunakan dalam arti luas sehingga mengandung arti bentuk kata dan susunannya (morfologi dan sintaksis). Sementara itu, semantik tidak masuk dalam sintaksis. Jadi, fonologi, sintaksis, dan semantik bagaikan “kacang gerus, bumbu, dan sayuran” dalam pecal linguistik, yang membentuk tata bahasa. Pusat daerah tata bahasa diselimuti oleh daerah pragmatik, yang mencakupi bagaimana penutur menggunakan bahasa yang tidak dapat diprediksi hanya dari pengetahuan linguistik semata. Pragmatik relatif baru perkembangannya dan terkait langsung baik dengan semantik
maupun dengan cabang linguistik yang berhubungan langsung dengan dunia eksternal, yaitu: psikolinguistik, sosiolinguistik, linguistik terapan, linguistik komputasi, stilistik, antropolinguistik, dan filsafat bahasa. Dalam beberapa hal, cabang-cabang itu tumpang tindih sehingga sulit di definisikan secara pasti. Yang paling berkembang secara cepat di antara cabang-cabang itu adalah psikolinguistik dan sosiolinguistik. Posisi sosiolinguistik sangat penting dalam membangun kajian pragmatik bahasa dengan kajian kemasyarakatan atau dengan gejala-gejala kemasyarakatan. Sosiolinguistik dan Sosiologi Bahasa Pada intinya baik sosiolinguistik maupun sosiologi bahasa mengaji perkara bahasa dan masyarakat. Namun, secara lebih terurai para ahli kemudian melakukan penajaman-penajaman dengan cara pandang yang berbedabeda. Di antara pandanganpandangan mengenai sosiolinguistik dan yang bukan sosiolinguistik yang dapat dikemukakan di sini adalah pandangan Wardhaugh, Hudson, dan Trudgill. Pandangan-pandangan mereka berbeda terutama dalam hal bagaimana titik berat kajian, jenis hubungan antara bahasa dan masyarakat, dan hal-hal terkait metodologi penelitian dan pengembangan teori. Wardhaugh (1986:12-13), sosiolinguistik mengaji hubungan linguistik dan sosiologi bahasa dengan tujuan memahami lebih dalam struktur bahasa dan bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik
Bahasa Dan Masyarakat (Ikhsanudin)
membahas hal-hal terkait kemasyarakatannya untuk memahami bahasanya. Sebaliknya, kajian sosiologi bahasa ditujukan untuk menemukan pemahaman lebih dalam mengenai struktur sosial melalui kajian atas bahasa. Misal: bagaimana ciri-ciri kebahasaan membantu menemukan susunan kemasyarakatan. Keselarasan pada keduanya adalah keharusan pengkajian yang sistematis dengan data-data kebahasaan dan data-data kemasyarakatan. Selanjutnya, sosiolinguistik tidak terlalu terganggu dengan temuan-temuan sosiologis dalam kajiannya dan, sebaliknya, sosiologi bahasa tidak perlu terganggu dengan temuan-temuan linguistik dalam kajiannya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, Hudson (1980:4-5) membedakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian kebahasaan terkait masyarakat dan sosiologi bahasa adalah kajian kemasyarakatan terkait bahasa. Dengan cara pandang lain, Trudgill (1978) lebih tertarik membedakan kajian sosiolinguistik dari yang bukan sosiolinguistik. Menurutnya, tidak ada yang mempermasalahkan bahwa sosiolinguistik mengaji perkara mengenai bahasa dan masyarakat tetapi tidak semua semua perkara “bahasa dan masyarakat” dapat dikaji oleh sosiolinguistik. Oleh karena itu, perlu diketahui beberapa kategori terkait pemisahan yang sosiolinguistik dan yang bukan. Kategori yang pertama adalah kategori bukan sosiolinguistik, yang tergolong dalam kategori ini adalah kajian-kajian tertentu mengenai kebahasaan yang bertujuan seperti
142
tujuan kajian sosiologi. Beberapa contoh yang dikemukakan adalah kajian yang bersifat etnometodologis. Di samping itu, karya-karya Bernstein juga dikategorikan ke dalam kelompok ini. Kategori yang kedua adalah kategori sosiolinguistik, yang termasuk dalam kategori ini adalah struktur wacana dan percakapan, tindak tutur, kajian dalam etnometodologi dalam wicara, penelitian-penelitian sistem kekerabatan, kajian sosiologi bahasa (e.g. bilingualisme, alih kode, dan diglosia), dan keterkaitan praktis tertentu seperti berbagai aspek pengajaran dan perilaku berbahasa di ruang kelas. Kategori yang ketiga adalah kategori sosiolinguistik dengan cara pandang lain, yang termasuk dalam kajian ini adalah kajian-kajian empiris penggunaan bahasa dalam konteks sosial dan terkait minat para pakar bahasa. Dari penjelasan tersebut, dapat diambil contoh yang seiring seperti teori variasi (Labov) dan perubahan bahasa (Mac Mahon). patokannya adalah bahwa semua penelitian dalam kategori ini ditujukan terutama untuk mengembangkan teori linguistik dan mengembangkan pemahaman kita mengenai hakikat bahasa. Kategori yang ketiga adalah kategori keperluan praktis, maksudnya adalah kategori kajian kebahasaan untuk keperluan lain, yang diuraikannya pada kesempatan berbeda. Dalam kategori ini, ilmu lain dapat dimasukkan ke sub-sub anthropological kajian seperti: linguistics, geolinguistics, social prsychology of language, dan sebagainya (Trudgill 1983:32-33).
143
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 2. No. 2. Oktober 2011
Pandangan berikutnya, dari Hudson (1980:5) yang didukung oleh Wardhaugh (1986:14) adalah pada penekanannya, yaitu: (1). Siapakah si peneliti lebih tertarik pada bahasa atau masyarakat; dan, (2). Apakah si peneliti lebih piawai dalam menganalisis bahasa atau menganalisis kemasyarakatan. Di luar hal tersebut sulit dilakukan pembedaan karena keduanya saling tumpang tindih. “The difference between sociolinguistics and the sociology of language is very much one on emphasis, according to whether the investigator is more interested in language or society, and also whether he has more skill in analyzing linguistic or social structures. There is a very large area of overlap between the two and it seems pointless to try to divide the disciplines more clearly than at present.” Pandangan para penulis makalah ini dapat ungkapkan sebagai berikut. Suatu penyelidikan ilmiah (scientific investigation) berpangkal dari masalah dan dilakukan dengan metode yang benar dalam mengaji variabel-variabel untuk memeroleh kebenaran. Pada gilirannya, setiap penelitian dapat mengarah kepada upaya membangun teori. Terkait dengan prinsip tersebut, yang dapat digolongkan ke dalam kajian sosiolinguistik adalah kajian kebahasaan dan kemasyarakatan yang berpangkal pada masalah kebahasaan dan dilakukan untuk mencapai kebenaran kebahasaan serta berpotensi membangun ilmu kebahasaan dengan variabel kemasyarakatan dan dapat
menggunakan metode-metode ilmuilmu sosial. Pendekatan Penelitian Sosiolinguistik Setiap kajian keilmuan perlu berpangkal pada suatu pendekatan. Konsep pendekatan diperkenalkan oleh Anthony dalam konteks pengajaran bahasa. Dalam pandangannya, pendekatan adalah serangkaian asumsi-asumsi yang saling berhubungan mengenai hakikat bahasa dan hakikat pengajaran dan pembelajaran bahasa (Anthony 1963: 63-67). Semua asumsi di atas bersifat aksiomatis dan selalu dapat diperdebatkan. Namun, jika perdebatan tidak berujung, alamat penelitian dan pengajian yang bersifat metodologis tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu, pendekatan bersifat filosofis dan kebenarannya bersifat spekulatif, logis, dan sistematis. Jika diproyeksikan ke dalam bidang penelitian sosiolingusitik, pendekatan berarti serangkaian asumsi yang saling berhubungan mengenai bahasa, masyarakat, dan sosiolinguistik. Pendekatan sosiolinguistik mempertimbangkan “who speaks (or writes) to whom and when and to what end” (Fishman, 1972:46), yaitu; distribusi sosial butir-butir kebahasaan, sampai dengan mempertimbangkan bagaimana variabel-variabel linguistik tertentu berpotensi berhubungan dengan perumusan aturan gramatikal khas dalam suatu bahasa atau dialek dan bahkan proses yang memungkinkan bahasa-bahasa dapat berubah (Wahaugh 1986:16). Asumsiasumsi dasar mengenai bahasa, masyarakat, dan sosiolinguistik masing-masing telah dikemukakan di
Bahasa Dan Masyarakat (Ikhsanudin)
atas dan tidak perlu di ulang pada bagian ini. Pada bagian ini hanya akan ditambahkan beberapa asumsi dasar dan aksioma-aksioma yang belum dibahas di atas. Berdasarkan asumsi-asumsi mengenai bahasa, masyarakat, dan sosiolinguistik di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap penelitian sosiolinguistik berbasis data lapangan yang dapat dipercaya (bukti), terfokus, dan cukup serta didukung dengan teori ilmiah dalam mempertanyakan mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki pertanyaan-pertanyaan yang baik secara metodologis dan bidang sosiolinguistik serta mengumpulkan data-data yang benar yang mengarah kepada jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut. Pertanyaanpertanyaan sosiolinguistik dapat merupakan kajian korelasional, kajian pengaruh, kajian mikrolinguistik, kajian makrolinguistik, dan sebagainya. Di samping itu, karena sosiolinguistik merupakan kajian empiris maka hal-hal berikut tidak dapat di abaikan. Pertama, upaya memperoleh jawaban harus dilakukan dengan dukungan data lapangan. Kedua, pengumpulan data dapat dilakukan dengan pengamatan alamiah dalam situasi percakapan apa adanya dan dapat juga (bahkan sebagian kasus perlu dilakukan) dengan pemancingan, dan manipulasi eksperimental (seperti percobaan samaran terbanding atau matched guise experiments). Ketiga, data dapat diperoleh dengan teknik sampling. Pengambilan kesimpulan dapat juga tidak memerlukan statistik karena yang diperlukan malah kategorisasi. Keempat, kerangka
144
teoretis yang baik, data-data yang relevan, keterpercayaan, dan hasil yang sesungguhnya perlu diperoleh. Prinsip-Prinsip dalam Kajian Sosiolinguistik Melengkapi asumsi-asumsi di atas, aksioma Bell yang terdiri atas delapan prinsip perlu dikemukakan dalam bagian ini. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip-prinsip kumulatif, keseragaman, konvergensi, alihan subordinat, pengalihan gaya, perhatian, keaslian dan keformalan (Wardhaugh 1986: 18-19). Delapan prinsip diuraikan secara ringkas sebagai berikut: Prinsip kumulatif berarti semakin banyak memiliki pengetahuan menganai bahasa semakin besar kemungkinan memperoleh temuan tentang bahasa, dan tidak mengejutkan jika penelitian mengenai pengetahuan baru akan membawa kepada bidangbidang kajian baru dan bidangbidang yang sudah digeluti oleh para wiyatawan (scholar) bidang lain. Prinsip keseragaman berarti proses-proses linguistik yang diamati dan berlangsung di sekitar pengamat sama dengan proses-proses linguistik yang terjadi pada masa lampau, sehingga tidak ada pemisah yang jelas antara kajian-kajian sinkronis dan diakronis. Prinsip konvergensi berarti nilai data baru yang digunakan untuk mengonfirmasi atau menginterpretasi temuan sebelumnya proporsional terhadap perbedaan-perbedaan cara pengumpulan data baru; yang secara khusus dapat digunakan adalah data linguistik yang dikumpulkan dengan prosedur-prosedur yang diperlukan di bidang-bidang kajian lain.
145
Jurnal Pendidikan Sosiologi Dan Humaniora Vol. 2. No. 2. Oktober 2011
Prinsip alihan subordinat berarti ketika penutur varietas bahasa non standar (subordinat), e.g. dialek, ditanya langsung mengenai varietasnya, tanggapannya akan beralih secara tidak teratur mengarah kepada atau menjauh dari varietas standarnya (superordinat), e.g., bahasa standar, sehingga memungkinkan peneliti mengumpulkan bukti berharga terkait perkara tersebut seperti varietas, norma, dan perubahan. Prinsip pengalihan gaya berarti tidak ada bahasa yang para penuturnya hanya memiliki satu gaya, karena setiap insan mengendalikan dan menggunakan satu varietas gaya kebahasaan dan tidak ada seorang pun berbicara dengan cara yang sama persis dengan cara orang lain di semua keadaan. Prinsip perhatian berarti gaya bicara dapat diatur sesuai dengan satu dimensi seberapa perhatian penutur terhadap tuturan yang disampaikan, sehingga semakin penutur ‘sadar’ akan apa yang akan dituturkan maka gayanya akan menjadi lebih ‘formal’. Prinsip keaslian berarti gaya yang asli adalah yang struktur dan keterkaitan historis bahasanya paling teratur, yang santai, dan merupakan bahasa lisan yang diujarkan secara sangat atau paling tidak diperhatikan sadar (least conscious attention). Prinsip keformalan berarti observasi sistematis atas ujaran mana pun mensyaratkan suatu konteks penuh dengan perhatian sadar pada wicaranya, sehingga tanpa kelihaian yang luar biasa sangat sulit dilakukan observasi terhadap keaslian yang benar-benar “asli”.
Penutup Sosiolinguistik adalah lahan yang sangat subur bagi penelitianpenelitian kebahasaan karena memiliki kaitan langsung dengan kehidupan. Dengan kedekatannya dengan masalah-masalah kehidupan secara langsung, sosiolinguistik menjadi lapangan penyelidikan kebahasaan yang menarik dan hasilnya dapat segera dimanfaatkan. Oleh karena itu, pengembangan pemahaman mengenai sosiolinguistik menjadi semakin “menggugah selera” pengaji bahasa. Makalah ini baru mengaji masalah-masalah yang sangat elementer dalam sosiolinguistik. Oleh karena itu, diperlukan upayaupaya lebih jauh untuk memahami sosiolinguistik agar pemahaman yang dimiliki cukup memadai untuk menjalankan sebuah penyelidikan sosiolinguistik. Kajian-kajian lebih jauh mengenai sosiolinguistik semakin lama semakin luas dengan berbagai hal baru ditemukan dalam teori maupun praktik. Beberapa di antara yang perlu segera dipelajari adalah pemahaman lebih dalam mengenai bahasa, dialek, dan variaetas bahasa yang dikaitkan dengan pemahaman mengenai perubahan bahasa, pujian dan kreasi. Pemahaman berikutnya memerlukan kajian lebih dalam mengenai masyarakat tutur, variasi regional dan sosial, pemilihan kode bahasa, bahasa dan budaya, etnografi dan etnometodologi, kesetaraan dan kesantunan, bertindak dan bercakapcakap, bahasa dan jantina, dan perencanaan bahasa. Semua sub-sub kajian di atas dapat dipelajari dari berbagai sumber, terutama bukubuku teks dan jurnal-jurnal ilmiah.
Bahasa Dan Masyarakat (Ikhsanudin)
Daftar Pustaka Aitchison, Jean. Teach Yourself Linguistics (edisi ke-5). London: Hodder & Stoughton. 1999 Anthony, Edward M. “Approach, Method, and Technique”. English Language Teaching. 17 (January) 1963. pp. 63-67. Dimuat ulang di dalam Harold B. Allen dan Russell Teaching N. Campbell. English as a Second Language. New Delhi: Tata McGrawHill Publishing Company Ltd. pp.4-8. Firth, J.R.. “On Sociological linguistics”. Dimuat dalam Dell Hymes. Culture and Society: A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper & Row. 2005. disarikan dari J.R. Firth. “The technique of semantics”. Transactions of the Philological Society. London: 1935. pp. 36-72. Artikel tersebut juga telah dicetak ulang dalam J.R. Firth. Papers in Linguistics 1934-1951 (London: Oxford University Press, 1957), pp. 7-35 atas izin Philological Society dan Miss Jean M. Wheeler. Fischer, John L. “Social Influences on the Choice of a Linguistic Variant”. Culture and Society A Reader in Linguistics and Anthropology, ed. Dell Hymes. New York: Harper and Row Publishers, Inc., 1964. Fishman, J.A. The Sociology of Language. Rawly,
146
Massacchusett: Newbury House, 1972. Sociolinguistics. Hudson, R.A. Cambridge: Cambridge University Press, 1980. Johnson, Dora. “Linguistics”. ERIC/CLL Resource Guides Online. Tersedia di www.cal.org/ericcll/faqs/rgos/li nguistics.html. diakses pada 5 July 2006. Joos, Martin. The Five Clocks. New York: Harcourt Brace World, Inc., 1967. Saussure, Ferdinand de. Cours de Linguistique Générale. Paris: Payot. 1973 (terbit pertama kali 1916). Terj. Rahayu S. Hidayat. (Ed.: Harimurti Kridalaksana). “Pengantar Linguistik Umum”. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1988. Trudgill, P. Sociolinguistic Patterns in British English. London: Edward Arnold. 1978. Trudgill. P. Sociolinguistics: An Introduction to Linguistics and Society. (edisi revisi) Harmonsworth, England: Penguin Books. 1983. pp. 3233. Wardhaugh, Ronald. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell Ltd., 1986.