MEMBANGUN KARAKTER SISWA MELALUI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Oleh Sulistyarini (IPS, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak) Abstrak: Proses pendidikan yang berlangsung selama ini lebih menekankan pada pengembangan ranah kognitif peserta didik dan cenderung mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik. Akibatnya, sekolah lebih berfungsi sebagai tempat pengajaran dari pada pendidikan. Sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral.Komponen karakter ada tiga yaitu moral knowing, moral feeling dan moral action. Pembelajaran Kontekstual dengan tujuh komponennya yaitu (1) Konstruktivistik; (2) Inquiry; (3) Questioning; (4) learning community; (5) Modelling; (6) reflection dan (7) authentic assessment, dapat dijadikan sebagai cara untuk membangun karakter siswa. Kata Kunci: Karakter, Pembelajaran Kontekstual
Pendahuluan Dalam dunia pendidikan masih ada kalangan pendidik yang menya-takan bahwa keberhasilan pendidikan hanya diukur dari tercapainya target akademis siswa, sehingga proses pendidikan yang berlangsung selama ini lebih menekankan pada pengem-bangan ranah kognitif peserta didik dan cenderung mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik. Karena itu wajar jika sebagian mereka ada yang mengajar hanya dengan orientasi bahwa siswa harus mendapatkan nilai akademis setinggi-tingginya jika ingin dianggap telah berhasil.Akibatnya, sekolah lebih berfungsi sebagai tempat pengajaran dari pada pendidikan, sekolah gagal membentuk peserta didik yang memiliki karakter dan kepribadian. Hasilnya sekolah cenderung hanya menghasilkan manusia Indonesia yang mengalami kepribadian pecah (split personality) dengan segala implikasi dan dampak negatifnya dalam kehidupan individual dan sosial. Sejak 2500 tahun yang lalu Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi “good and smart”. Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh), dan dapat hidup secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkelu-arga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara.Oleh karenanya, sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Karakter bangsa yang dimaksudkan adalah keselu-ruhan sifat yang mencakup perilaku, kebiasaan,
kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang mau bersatu, merasa dirinya bersatu, memiliki kesamaan nasib, asal, keturunan, bahasa, adat dan sejarah bangsa. Pendidikan untuk membangun karakter bukan barang baru untuk Indonesia. Pesan yang sangat jelas mengenai pentingnya membentuk (membangun) karakter sudah disampaikan oleh W.R. Supratman dalam lagu Indonesia Raya, ’…Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya’. W.R Supratman menempatkan pembangunan ”jiwa”, sebelum pembangunan badan”, bukan sebaliknya. Pemba-ngunan karakter adalah pembangunan ‘jiwa” bangsa. Pengertian Pendidikan Karakter Dalam pengertian harfiah, istilah “karakter” lebih condong memiliki makna psikologis atau sfat kejiwaan karena terkait dengan aspek kepribadian (personality), akhlak atau budi pekerti, tabiat, watak, sifat kualitas yangh membedakan seseorang dari yang lain atau kekhasan (particular quality) yang dapat menjadikan seseorang terpercaya dari orang lain. Dari konteks inipun karakter mengan-dung unsure moral, sikap bahkan perilaku karena untuk menentukan apakah seseorang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, hanya akan terungkap pada saat seseorang itu melakukan perbuatan atau perilaku tertentu. Dalam kamus Webster New World Dictionary (1991) yang dimaksud dengan karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of
behavior found in an individual or group. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Dalam risalah ini, dipakai pengertian yang pertama, dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan keku-atan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berka-rakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pendidikan membentuk/ membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk. Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and Virtue (Raka,2007) mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Menurut Lickona (1992), komponen karakter yang baik (components of good character ) terdiri atas moral knowing, atau pengetahuan tentang moral, dengan indicator: (1) Moral awareness, (2) Knowing moral values, (3) Perspective-taking, (4) Moral reasoning, (5) Decision- making, dan (6) Self- Knowledge; moral feeling atau perasaan moral dengan indicator : (1) Conscience, (2) Self-Esteem, (3) Emphaty, (4) Loving the good, (5) Selfcontrol, dan (6) Humility; serta moral action atau perbuatan moral yang memiliki indicator: (1) Competence, (2) Will, dan (3) Habit. Ratna Megawangi (2004) sebagai pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang kemudian disebut sebagai 9 pilar yaitu:
1. Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya 2. Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian 3. Kejujuran 4. Hormat dan Santun 5. Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama 6. Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah 7. Keadilan dan Kepemimpinan 8. Baik dan Rendah Hati 9. Toleransi, Cinta Damai, dan Persatuan Menurut Sparks (1991) secara umum fungsi dari karakter adalah; (1) one’s sense of right and wrong; (2) one’s standards of what is good and just; (3) one’s judgement of what constitutes good and bad human behavior. Esensinya ada dua dimensi karakter: one is focused on the individual’s beliefs, moral reasong, and system of values; the other is focused on the individual’s actions and conduct.. Dimensi pertama adalah konsep pengembangan karakter yang secara tradisional , yakni pengembangan karakter yang difokuskan pada masalah keyakinan, penalaran, dan sistem nila. Sedangkan dimensi kedua adalah pengembangan karakter yang difokuskan pada tindakan seseorang. Membentuk Karakter Menurut Gede Raka (2007) Pendidikan untuk pembangunan/ pembentukan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang
dengan didasari oleh kesadaran, keyakinan, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan demikian, karakter bersifat inside-out, dalam arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar. ( Ada orang yang menyatakanan bahwa ’turis’ Indonesia yang bepergian ke Singapura atau Jepang akan berperilaku tertib di jalan raya atau di tempattempat umum, karena aturan yang sangat tegas dan keras di sana. Namun, saat pulang kembali ke Indonesia, mereka kembali pada kebiasaan lama, yaitu ’liar’ di jalan raya, tidak peduli tata-krama dan aturan lalu lintas. Jadi, perilaku tertib di Singapura atau Jepang bukanlah karakter orang-orang yang bersangkutan. Dalam pendidikan karakter, mengetahui apa yang baik saja tidak cukup. Yang sangat penting adalah menyemaikan kebaikan tersebut di hati dan mewujudkannya dalam tindakan, perbuatan dan/atau perilaku. Proses pembangunan karakter pada seorang dipengaruhi oleh faktor-faktor khas yang ada pada orang yang bersangkutan yang sering juga disebut faktor bawaan (nature) dan lingkungan (nurture) di mana orang yang bersangkutan tumbuh dan berkembang. Namun demikian perlu diingat, bahwa faktor bawaan boleh dikatakan berada di luar jangkauan masyarakat untuk mempengaruhinya. Hal yang berada dalam pengaruh kita, sebagai individu maupun bagian dari masyarakat, adalah faktor lingkungan. Jadi, dalam usaha pengembangan atau pembangunan karakter pada tataran individu dan masyarakat, fokus perhatian kita adalah pada faktor yang bisa kita pengaruhi atau lingkungan, yaitu pada pembentukan lingkungan. Dalam
pembentukan lingkungan inilah peran lingkungan pendidikan menjadi sangat penting, bahkan sangat sentral, karena pada dasarnya karakter adalah kualitas pribadi seseorang yang terbentuk melalui proses belajar,baik belajar secara formal maupun informal. Pembentukan karakter siswa melalui Pembelajaran Kontekstual Pembangunan karakter bangsa adalah upaya sadar untuk memperbaiki, meningkatkan seluruh perilaku yang mencakup adat istiadat, nilainilai, potensi, kemampuan, bakat dan pikiran bangsa Indonesia. Untuk membangun karakter bangsa, haruslah diawali dari lingkup yang terkecil. Khususnya di sekolah, ada baiknya kita menganalogikan proses pembelajaran di sekolah dengan proses kehidupan bangsa dalam hal ini yang kita bentuk adalah siswa. Upaya mewujudkan nilai-nilai tersebut di atas dapat dilaksanakan melalui pembelajaran. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan berbagai model dan metodenya, dapat dijadikan sebagai alat untuk membangun karakter bangsa, pembelajaran dengan pende-katan kontekstual lebih menekankan keterlibatan aktif siswa dalam belajar baik dalam tugas-tugas mandiri maupun kelompok. Pembelajaran Kontekstual memiliki lima elemen yang konstruktivistik, yaitu: (1) pengaktifan Pengetahuan yang sudah ada (activating nowledge); (2) Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge); (3) Pemahaman pengetahuan (Understanding knowledge); (4) Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman (applying knowledge;
dan (5) melakukan refleksi (reflecting knowledge). Landasan filosofis Pembelajaran Kontekstual adalah konstruktivistik, pembe-lajaran kontekstual adalah suatu pendekatan pembelajaran dan pengajaran yang mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa sehingga mendorong siswa untuk menerapkan pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu; (1) Konstruktivistik; (2) Inquiry; (3) Questioning; (4) learning community; (5) Modelling; (6) reflection dan (7)authentic assessment. (Yamin, 2008). sebagai anggota keluarga dan masyarakat.Bertolak dari pengertian tersebut jelas memberikan gambaran pada kita bahwa dalam pembelajaran kontekstual ini Proses Belajar Mengajar (PBM) akan lebih konkret, realistis, lebih aktual, lebih menyenangkan dan lebih bermakna. Dalam Pembelajaran Kontekstual siswa juga lebih diberdayakan agar mampu menumbuhkan daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuannya, hasrat menemukan hal-hal baru, menumbuhkan demokrasi dan kreatifitas berpikir. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan berbagai model dan metodenya, dapat dijadikan sebagai alat untuk membangun/membentuk karakter siswa. Model-model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menekankan keterlibatan aktif siswa dalam belajar. Baik dalam tugas-tugas mandiri maupun kelompok. Di samping itu, pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memiliki tujuan dan komponen yang sangat mendukung bagi terlaksananya nilai-nilai karakter siswa.
Pertama, Construcivism Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak tiba-tiba. Guru meyakinkan pada pikiran siswa bahwa ia akan belajar lebih bermakna apabila ia mampu bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan membentuk atau membangun pengetahuan atau ketrampilan barunya sendiri. membangun pengetahuan dengan cara sedikit demi sedikit, disini dapat memunculkan karakter pantang menyerah, percaya diri. .Kedua, Inquiri.Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru dan siswa melaksanakan proses penemuan pengetahuan secara mandiri, pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, teapi dari hasil menemukan sendiri. dan ini menjadi inti dari pembelajaran kontekstual. Komponen ini sangat mendorong tumbuhnya karakter kemandirian, kedisiplinan pada siswa. Ketiga, questioning. Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari, bertanya, Questioning (bertanya) merupakan strategi utama yang berbasis kontekstual. Guru dan siswa senantiasa mengembangkan pertanyaan agar menumbuhkan rasa ingin tahu,. Komponen ini mendorong terwujudnya karakter cinta kebenaran, kepedulian dan kreatif. Hal ini juga merupakan alat bagi siswa untuk
dapat menyelesaikan masalah belajar ketika mendapati tantangan. Keempat, learning community. Konsep learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Guru senantiasa membiasakan membangun belajar kelompok, atau dapat juga berpasangan, siswa dilatih dan dimantapkan pengetahuannya untuk bekerja secara secara kelompok. Komponen ini sangat penting bagi upaya terwujudnya nilai demokratis, menghargai/menghormati, gotongroyong, bertanggung jawab. Kelima, modeling. Dalam sebuah pembelajaran keterampilan tertentu ada model yang biasa ditiru, baik dari guru, siswa maupun alat peraga yang digunakan untuk mempermudah pemahaman siswa.Dalam pembelajaran kontekstual guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seseorang bias ditunjuk untuk memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahuinya. Komponen ini dapat melahirkan nilai-nilai berakhlak mulia, iman, dan taqwa, cinta tanah air, dan kreatif. Hal ini dapat dipahami misalnya ketiga guru PKn menjelaskan sosok seorang Pangeran Diponegoro yang relegius berjuang dengan jiwa dan raga untuk menjaga martabat bangsa. Keenam, reflection. Cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan.Refleksi merupakan respon terhadap kejadian atau peristiwa, aktivitas atau pengetahuan yang baru diterima. Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diperluas melalui konteks [pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu
siswa membuat hubungan-hubungan antar pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuanpengetahuan baru. Refleksi dapat berupa pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya pada hari itu, baik berupa catatan atau jurnal di buku siswa, kesan maupun saran siswa. Komponen ini dapat melahirkan kesadaran untuk senantiasa berinteropeksi diri setiap kali telah melakukan sesuatu (menumbuhkan karakter rendah hati). Ketujuh, authentic assessment. Proses pengumpulan data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa, baik oleh guru maupun siswa. Khususnya bagi siswa, komponen ini membiasakan siswa untuk dapat mengukur diri apakah sudah baik? Apakah sudah maju? Apakah sudah berhasil? Adakah hambatan? Atau bagaimana cara mengatasi hambatan? Siswa yang sejak dini terbiasa dengan authentic assessment akan menumbuhkan karakter keadilan. Siswa akan mengerti apa yang memang sepatutnya ia dapatkan. Karakter sebagai satu aspek dari kepribadian terbentuk oleh kebiasaan (habits) dan gagasan (ideas) yang keduanya tidak dapat terpisahkan. Untuk membentuk karakter, maka unsure-unsur keyakinan (beliefs), perasaan (feelings), dan tindakan (actions) merupakan unsure-unsur yang saling terkait sehingga untuk mengubah karakter berarti melakukan reorganisasi terhadap kepribadian. Dengan kata lain, kondisi proses pendidikan untuk membangun karakter siswa dapat berimplikasi terhadap mutu karakter warga Negara.
Membentuk/membangun karakter adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga “berbentuk “unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain (Elmubarok, 2008). Proses membentuk/membangun karakter memerlukan disiplin yang tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan keputusan moral, ditindak lanjuti degan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi dab praktik. Perlu waktu untuk membuat kesemua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat siswa. Penutup Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh), dan dapat hidup secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Pendidikan untuk pembangunan/ pembentukan karakter pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dengan berbagai model dan metodenya, dapat dijadikan sebagai alat untuk membangun/membentuk karakter siswa. Model-model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menekankan keterlibatan aktif siswa dalam belajar. Baik dalam tugas-tugas mandiri maupun kelompok.
Daftar Pustaka Asri Budiningsih. (2004). Pembelajaran Moral. Berpijak Pada Karakteristik Siswa Dan Budayanya. Jakarta : Rineka Cipta. Doni Koesoema A (2009). Pendidik Karakter. Jakarta: Kompas Gramedia. Elmubarok., Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang terputus dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabeta. Gede Raka.(2007). Pendidikan Membangun rakter. http://www.jatidiribangsa.or.id Ratna Megawangi.(2004). Pendidikan Karakter. Jakarta : IHF _____________ (2007). Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik Berbasis karakter. http://keyanaku.blogspot.com/2007/0 9/membangun-sdmIndonesia. Html. Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Uno., H. (2008). Model Pembelajaran. Menciptakan Proses Belajar mengajar Yang Kreatif Dan Efektif. Jakarta : Bumi Aksara. Yamin., HM.(2008). Paradigma pendidikan Konstruktivistik. Jakarta: GP Press.