POTENSI PELANGGARAN ETIKA ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DALAM KASUS PERPANJANGAN KONTRAK KARYA PT. FREEPORT INDONESIA
Pudjo Utomo Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang
[email protected]
ABSTRAK Kode Etik merupakan suatu bentuk aturan yang tertulis, yang secara sistematik dengan sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan ketika dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi berbagai macam tindakan yang secara umum dinilai menyimpang dari kode etik tersebut, dengan tujuan supaya anggota Dewan memberikan jasa yang sebaik-baiknya kepada yang diwakili. Kode etik ini merupakan panduan normatif bagi anggota Dewan dalam menjalankan peran mereka yang berkaitan langsung dengan kepentingan umum, disiplin kerja, tanggung jawab, keterbukaan, dan manajemen konflik kepentingan. Hasil survei yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga survei, mengungkapkan pencitraan yang buruk terhadap DPR. Perilaku anggota Dewan kerap berlawanan dengan kode etik, yang menghasilkan gambaran ‘minor’ atas wakil rakyat. Harapan publik agar DPR bisa terus memperbaiki kinerjanya dari tahun ke tahun tidak pernah terwujud, bahkan para anggota Dewan banyak yang terlibat dalam perilaku dan kasus-kasus yang merendahkan martabat DPR. Kata kunci : etika, kode etik, pelanggaran, sanksi
A. Pendahuluan Perpanjangan kontrak karya pertambangan PT.Freeport yang berlokasi di Timika Papua, menjadi sorotan masyarakat seiring dengan tersebarnya transkrip pembicaraan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) berinisial SN bersamasama dengan seorang pengusaha dan Presiden Direktur PT.Freeport. Dalam transkrip tersebut terungkap bahwa telah terjadi negosiasi atau lobi sebagai upaya untuk perpanjangan kontrak PT.Freeport. PT.Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoran Copper & Gold Inc.,yang melaksanakan kegiatan menambang, mem-proses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten Mimika, provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia 156
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia 46, merupakan salah satu dari puluhan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia berdasar-kan perjanjian Kontrak Karya pertambangan, yang akan berakhir pada tahun 2021. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan kontrak karya PT.Freeport dengan pemerintah Indonesia baru bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak karya berakhir, yaitu tahun 2019, tetapi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said merencanakan melakukan renegosiasi kontrak pada tahun ini (2015). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said melaporkan Ketua DPR RI, SN ke Mahkamah Kehormatan Dewan, sehubungan dengan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh SN. Selain menyertakan surat pengaduan, Sudirman juga melampirkan transkrip rekaman pembicaraan tiga orang dengan inisial SN, MR, dan MS; yang diduga hendak mengatur perpanjangan kontrak karya PT.Freeport. Sudirman juga menyebut bahwa SN telah mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. SN meminta saham PT.Freeport 20 persen, di mana 11 persen untuk Presiden Joko Widodo dan 9 persen untuk Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain itu, politisi dari partai Golkar itu juga meminta saham sebesar 49 persen dalam proyek listrik yang dibangun di Timika dan 51 persen saham sisanya dikuasai oleh PT.Freeport. 47 Mahkamah Kehormatan Dewan berencana akan menggelar sidang untuk menguji kebenaran laporan tersebut. Ada dua tujuan tulisan ini. Pertama, memberikan tinjauan mengenai etika dan kode etik, serta potensi pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Dewan, khususnya Ketua DPR RI, SN. Kedua, memberikan penjelasan tentang etika dari sudut pandang etika moral khususnya etika moral Kantian. B. Pembahasan 1.
Etika dan Kode Etik Secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya: ta etha), yang
berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup
46
Tambang Grasberg di Timika, Papua merupakan salah satu tambang yang menyimpan cadangan emas dan tembaga. Cadangan emas mencapai 29,8 juta ons merupakan cadangan terbesar atau mencakup 95 persen dari total cadangan emas Freeport di dunia; sedangkan cadangan tembaga mencakup sekitar 27 persen dari total cadangan Freeport atau cadangan terbesar ketiga di dunia: http://katadata.co.id/infografik/2015/11/19/papua-cadangan-emas-freeportdunia#sthash.UW2fCFat.dpuf. 47
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/19/078720455/mkd-pastikan-keaslian-rekaman-setnovdan-bos-freeport. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015 157
yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik tersebut, lalu dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma yang disebarkan, dikenal, dipahami, dan diajarkan. Kaidah, norma atau aturan, sesungguhnya bertujuan untuk menjaga, mengungkap, melestarikan nilai tertentu, yaitu apa yang dianggap baik dan penting oleh masyarakat; karena diyakini bahwa etika berisikan nilainilai dan prinsip-prinsip moral yang bisa dijadikan pegangan berperilaku. Dengan demikian, etika memberi kriteria bagi penilaian moral tentang apa yang harus dilakukan dan tentang apakah suatu tindakan dan keputusan dinilai sebagai baik atau buruk secara moral. Dari pengertian tersebut, etika secara lebih luas dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup, dan bertindak sebagai orang yang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi, arah bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia. Sebagai bagian dari filsafat moral, etika juga dipahami sebagai ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret. 48 Untuk mempertahankan agar orientasi yang telah terbentuk sebagai suatu tatanan yang tetap, maka diperlukan kode etik. Dapat dikatakan bahwa kode etik adalah suatu sistem norma, nilai dan juga aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa saja yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan perbuatan apa yang harus dihindari. 49 Atau secara singkatnya definisi kode etik yaitu suatu pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis ketika melakukan suatu kegiatan atau suatu pekerjaan, kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Pengertian kode etik yang lainnya yaitu, merupakan suatu bentuk aturan yang tertulis, yang secara sistematik dengan sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan ketika dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi berbagai macam tindakan yang secara umum dinilai menyimpang dari kode etik tersebut, dengan tujuan supaya anggota Dewan memberikan jasa yang sebaik-baiknya kepada yang diwakili. Kode etik ini merupakan panduan normatif bagi anggota Dewan dalam menjalankan peran mereka yang berkaitan langsung dengan kepentingan umum, disiplin kerja, tanggung jawab, keterbukaan, dan manajemen konflik kepentingan. Setiap tindakan yang menyalahi
48 49
Sony Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta:Penerbit Buku Kompas,2002,hal.3
Lihat Tom L.Beauchamp dan Norman E.Bowie (ed), Ethical Theory and Business, New Jersey: Prentice Hall, 1983, hal.38-39. 158 Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
panduan perilaku itu bisa dikatakan sebagai pelanggaran kode etik. Sudah tentu kode etik ini memiliki tujuan untuk melahirkan anggota Dewan yang profesional dan dedikatif. 2.
Pelanggaran Etika dan Kinerja Anggota Dewan Kiprah anggota Dewan Perwakilan Rakyat bisa menjadi sensasi politik tatkala aktivitas ataupun perkataannya di hadapan publik bertentangan dengan norma-norma umum dan kapasitas jabatannya sebagai wakil rakyat. Bukan cerita baru bagi rakyat, tentang tindak tanduk ataupun anggota Dewan yang kerap menyalahi kode etik institusinya. Di dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR RI, kode etik merupakan norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR. Artinya, dengan peraturan tentang Kode Etik DPR ini, para anggota Dewan telah memiliki standar formal yang mengatur perilaku, profesi, dan kapasitas mereka selaku wakil rakyat. Tercatat, sudah banyak daftar ‘dosa’ anggota Dewan yang terungkap ke publik terkait dengan pelanggaran kode etik, mulai dari pernyataan yang menyakitkan, tidak disiplin menghadiri rapat, malas, arogan, egois, hingga korup. Sehingga tidaklah salah apabila rakyat memandang para anggota Dewan dengan citra yang buruk. Hasil
survei
yang
diselenggarakan
oleh
beberapa
lembaga
survei,
mengungkapkan pencitraan yang buruk terhadap DPR. Watak anggota Dewan kerap berlawanan dengan kode etik, yang menghasilkan gambaran ‘minor’ atas wakil rakyat. Harapan publik agar DPR bisa terus memperbaiki kinerjanya dari tahun ke tahun tidak pernah terwujud, bahkan para anggota Dewan banyak yang terlibat dalam perilaku dan kasus-kasus yang merendahkan martabat DPR, semisal kasus perkelahian yang melibatkan dua anggota DPR dari fraksi yang berbeda ketika berlangsung rapat Dewan atau kasus anggota Dewan yang mengintip gambar porno melalui gawai ketika rapat paripurna. Selain itu, perilaku anggota Dewan yang malas rapat, suka tidur ketika rapat, atau asyik dengan urusan masing-masing ketika rapat kerap menjadi sorotan media massa. Perilaku yang cukup menohok publik adalah kebiasaan anggota Dewan mengajak sanak keluarga ketika mengadakan perjalanan dinas ke luar kota atau ke luar negeri. Tidak sedikit anggota Dewan yang menggunakan anggaran negara untuk membiayai sanak keluarga mereka. Padahal, di dalam kode etik sudah digariskan dengan jelas bahwa perjalanan dinas anggota merupakan tugas kenegaraan yang sepenuhnya dibiayai oleh negara. Karena itu, anggota Dewan tidak diperbolehkan Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
159
membawa keluarga dalam perjalanan dinas, kecuali dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan atau atas biaya sendiri. Kebiasaan inilah yang kerap menjadi kontroversi karena selain substansi perjalanan ke luar negeri yang dinilai kurang relevan, keikutsertaan anggota keluarga ikut membuat anggaran perjalanan dinas menjadi lebih besar. Aroma kepentingan pribadi di balik perjalanan dinas ini sangat terasa sehingga harapan agar anggota Dewan bisa dedikatif untuk kepentingan rakyat tidak terlihat. Sebaliknya, para anggota justru menjadi rakus dan egois dalam menghabiskan anggaran negara untuk membiayai kebiasaan jalan-jalan ini. Kesimpulan dari survei yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 14-21 Oktober 2015, dari 1.183 responden yang dilibatkan dalam jajak pendapat ini, sebanyak 67,5 persen mengaku tidak puas atas kinerja Wakil Rakyat. Hanya 29,2 persen yang merasa puas.Tingkat kepuasan terhadap kinerja DPR ini masih berada di bawah kepuasan terhadap Jokowi-JK. Secara umum, 48,2 persen responden tidak puas atas setahun kinerja pemerintah. Sebanyak 50,6 persen lain menyatakan kepuasannya. Ketidakpuasan terhadap DPR terjadi karena pencapaian mereka tidak maksimal. Di bidang legislasi, baru sedikit Undang-Undang yang diselesaikan dalam prolegnas prioritas. Di bidang pengawasan, DPR juga dinilai tidak terlalu bekerja maksimal mengawal jalannya pemerintahan. Masyarakat di daerah pemilihan pun merasa tidak terwakili oleh anggota DPR. Survei ini dilakukan melalui wawancara tatap muka dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Responden yang tersebar secara proporsional di 34 provinsi di Indonesia. Survei menggunakan multi-stage random sampling, margin of error sebesar +/- 2,85 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. 50 Dari hasil survei nasional Pol-Tracking Institute, menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat tidak puas dengan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat. Hanya 12 persen yang mengatakan kinerja DPR baik. "Survei ini menunjukkan hanya 12,64 persen masyarakat yang menjawab puas terhadap kinerja DPR periode 2009-2014. Sisanya ada 61,68 persen menyatakan tidak puas terhadap kinerja DPR. Sebanyak 25,68 persen menyatakan tidak tahu. Hal ini bisa dijelaskan dengan menelusuri riwayat tiga fungsi dewan: legislasi, penganggaran, dan pengawasan," ujar Direktur Riset Arya Budi saat mempresentasikan temuan lembaga surveinya di Hotel Morrisey, Minggu, 20 Oktober 2013. Rendahnya penilaian publik terhadap kinerja DPR RI periode ini 50
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/25/22050271/Survei.Publik.Tak.Puas.Kinerja.DPR. 160
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
disebabkan oleh rendahnya kualitas dan kuantitas kinerja serta produk DPR di tiga fungsi utama: legislasi, 51 penganggaran, 52 dan pengawasan. 53 Lebih diperburuk oleh tersangkutnya anggota dewan dalam kasus hukum, seperti korupsi, skandal moral, dan komunikasi publik yang kurang etis di media. Hasil survei merupakan bagian dari survei nasional Lembaga Pol-Tracking Institute yang bertajuk "Stagnasi Kepuasan Publik Terhadap Kinerja Pemerintah dan DPR". Survei ini dilakukan pada 13-23 September 2015 secara serempak di 33 provinsi di seluruh Indonesia, dengan total jumlah sampel mencapai 2010 responden. Survei ini memiliki margin error kurang lebih 2,19 persen, dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Penarikan survei ini menggunakan metode multistage random sampling. Sedangkan pengambilan data melalui wawancara tatap muka dengan kuesioner. 54 Citra DPR sebagai institusi yang terhormat, semakin terpuruk sehubungan dengan diadukannya Ketua DPR RI, SN yang berkolaborasi dengan pengusaha dalam usahanya untuk lobi perpanjangan kontrak kerja PT.Freeport. Terdapat empat pasal Kode Etik Anggota DPR yang telah dilanggar, yaitu Pasal 2 ayat 1 dan 2; Pasal 3 ayat 2 dan 3; Pasal 3 ayat 2 dan 3; Pasal 4 ayat 1 dan 2; dan Pasal 7. 55 Pasal 2: (1) Anggota dalam setiap tindakannya harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan.
51
Fungsi legislasi : Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU);Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah),Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun DPD,Menetapkan UU bersama dengan Presiden,Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan Presiden) untuk ditetapkan menjadi UU. 52
Fungsi Penganggaran: Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN (yang diajukan Presiden),Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama;Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;Memberikan persetujuan terhadap pemindah tanganan aset negara maupun terhadap perjanjian yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara 53 Fungsi Pengawasan: Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah;Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD (terkait pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama). 54
http://nasional.tempo.co/read/news/2013/10/20/078523131/lagi-hasil-survei-kinerja-dpr-buruk Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 55
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
161
(2) Anggota bertanggung jawab mengemban amanat rakyat, melaksanakan tugasnya secara adil, mematuhi hukum, menghormati keberadaan lembaga legislatif, dan mempergunakan fungsi, tugas, dan wewenang yang diberikan kepadanya demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pasal 3 (2) Anggota sebagai wakil rakyat memiliki pembatasan pribadi dalam bersikap, bertindak, dan berperilaku. (5) Anggota dilarang meminta dan menerima pemberian atau hadiah selain dari apa yang berhak diterimanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 (1) Anggota harus bersikap profesional dalam melakukan hubungan dengan Mitra Kerja. (2) Anggota dilarang melakukan hubungan dengan Mitra Kerjanya untuk maksud tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme. Pasal 7 Anggota wajib menjaga Rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil Rapat yang dinyatakan sebagai Rahasia sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan atau sampai dengan masalah tersebut sudah dinyatakan terbuka untuk umum. 3.
Pelanggaran dan Sanksi Pelanggaran
peraturan
perundang-undangan
oleh
anggota
Dewan
ditindaklanjuti melalui mekanisme persidangan oleh Majelis Kehormatan Dewan (MKD). Tugas utama lembaga ini adalah menyidangkan para anggota Dewan yang terindikasi melakukan pelanggaran kode etik. Peraturan DPR memang memberikan wewenang kepada MKD untuk menindak anggota Dewan yang melanggar kode etik dengan sanksi yang variatif. Dalam BAB IV Bagian Kesatu Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menjelaskan tentang kriteria pelanggaran. Pasal 20 (2) Pelanggaran ringan adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai berikut: a.
tidak mengandung pelanggaran hukum,
b.
tidak menghadiri rapat yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) daari jumlah rapat paripurna dalam 1(satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat Alat
162
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
Kelengkapan DPR dalam 1(satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi; c.
menyangkut etika pribadi dan keluarga; atau
d.
menyangkut tata tertib rapat yang tidak diliput media massa.
(3) Pelanggaran sedang adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai berikut: a.
mengandung pelanggaran hukum;
b.
mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi ringan oleh MKD;
c.
mengulangi ketidakhadiran dalam rapat yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenangnya sebanyak 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat paripurna dalam 1(satu) masa sidang atau 40% (empat puluh persen) dari jumlah rapat Alat Kelengkapan DPR dalam 1(satu) masa sidang tanpa keterangan yang sah dari pimpinan fraksi atau ketua kelompok fraksi setelah sebelumnya mendapat sanksi ringan; atau
d.
menyangkut pelanggaran tata tertib rapat yang menjadi perhatian publik.
(4) Pelanggaran berat adalah pelanggaran Kode Etik dengan kriteria sebagai berikut: a.
mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi sedang oleh MKD;
b.
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c.
tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota selama 3(tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah;
d.
tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana Anggota sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon Anggota yang diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai pemilihan umum anggota Dewan Perwakilann Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
e.
melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
f.
tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
g.
terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat 5(lima) tahun dan telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
163
Dalam BAB IV Bagian Kedua Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, menjelaskan tentang sanksi terhadap anggota Dewan yang melanggar Kode Etik, sebagai berikut: Pasal 21 Anggota yang dinyatakan melanggar Kode Etik dikenai sanksi berupa: a.
sanksi ringan dengan teguran lisan atau teguran tertulis;
b.
sanksi sedang dengan pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR; atau
c.
sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat 3 (tiga) bulan atau pemberhentian sebagai anggota.
C. Simpulan Kasus yang melibatkan anggota Dewan khususnya Ketua DPR, SN yang diadukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ke Mahkamah Kehormatan Dewan menyangkut dugaan pelanggaran etika, dan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden; semakin menjadikan kewibawaan institusi DPR bertambah turun. Apabila terbukti kebenarannya, seharusnya MKD secara tegas memberi sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, sesuai dengan Pasal 21 huruf (c) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pengenaan sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat 3 (tiga) bulan atau pemberhentian sebagai anggota, dimaksudkan untuk lebih memberi ruang kepada aparat penegak hukum mengembangkan pemeriksaan kepada yang bersangkutan apabila terdapat unsur-unsur melanggar hukum. Dalam menjalankan fungsinya, anggota Dewan perlu mem-pertimbangkan prinsip etika utilitarianisme, bahwa bertindaklah sedemikian rupa agar tindakanmu itu mendatangkan manfaat sebesar mungkin bagi sebanyak mungkin orang.
164
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
DAFTAR PUSTAKA
Sony Keraf, Etika Lingkungan, Jakarta:Penerbit Buku Kompas,2002. Tom L.Beauchamp dan Norman E.Bowie (ed), Ethical Theory and Business, New Jersey: Prentice Hall, 1983. http://katadata.co.id/infografik/2015/11/19/papua-cadangan-emas-freeportdunia#sthash.UW2fCFat.dpuf. http://nasional.kompas.com/read/2015/10/25/22050271/Survei.Publik.Tak. Puas.Kinerja.DPR. http://nasional.tempo.co/read/news/2013/10/20/078523131/lagi-hasil-survei-kinerja-dpr-buruk http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/19/078720455/mkd-pastikan-keaslian-rekamansetnov-dan-bos-freeport. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTIE Vol. 8 No. 2 Nov 2015
165