Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni Arifianti)
POTENSI LONGSOR DASAR LAUT DI PERAIRAN MAUMERE Yukni ARIFIANTI Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122 Telp. 022-7272606, Fax. 022-7202761 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT On December 1992, an earthquake with the intensity of 6.8 SR stroked Flores Sea and caused a huge tsunami. This tsunami induced by submarine landslide killed almost 2080 persons. Recent investigation shows that submarine landslide caused a huge tsunami in Padang on 1797 and also in Pangandaran on 2006 with many victims and losses of material. Because of the destructive effect of submarine landslide, then a research about the potency of submarine landslides occurrences and distribution in the Maumere Bay region is needed. With the interpretation on Bathymetry Map and 2 dimension reflection seismic records to a morphological condition and geological structure then the potency of submarine landslides and its distribution in the Maumere Bay will be obtained. The presence of geological structure in Flores Sea with a steep slope morphological is the main factor of this submarine landslide which will trigger tsunami in Maumere Bay. Keywords: landslide, submarine, bathymetry, seismic, Maumere
PENDAHULUAN Proses geologi yang berhubungan dengan dinamika lantai samudera diantaranya adalah longsor dasar laut yang berpotensi merusak dasar laut. Longsor dasar laut yang berasosiasi dengan gempa bumi dapat memicu terjadinya tsunami yang besar dengan dampak yang sangat merusak. Ada beberapa jenis longsor dasar laut yaitu flow slide (longsor mengalir), mudflow (aliran lumpur) dan slump (nendatan). Flow slide disebabkan oleh akumulasi bahan rombakan longsor yang mengalir dari lereng atas ke bawah mengikuti lereng. Jenis longsor ini biasanya muncul di sedimen lemah berupa pasiran dengan pergerakan yang sangat cepat. Mudflow adalah longsor yang terjadi di daerah yang mengalami pengendapan secara cepat. Bentuk longsor ini amat kompleks sehingga mekanisme kejadiannya jarang bisa diketahui (Garrison and Sangrey. 1977). Slump adalah pergerakan material tidak terkonsolidasi atau terkonsolidasi lemah di permukaan retakan yang berotasi turun sepanjang bidang lengkung (Monroe and Wicander, 1997). Slump bisa terjadi pada hampir semua daerah paparan benua
(continental shelf) yang memiliki gradien lereng cukup curam. Walau slump sering bergerak lebih lambat daripada jenis longsor lain tapi potensi kerusakan yang diakibatkannya lebih besar mengingat perpindahan materialnya di sepanjang bidang luncur (failure surface) akan merusak tiap struktur buatan manusia(Garrison and Sangrey. 1977). Penyelidikan awal tentang prediksi penyebab longsor dasar laut hingga sekarang telah difokuskan pada pemicu seperti muatan seismik (gempa bumi) dan daerah-daerah berlereng curam (Morgenstern, 1967, Lee et al, 2000). Jenis longsor dasar laut seperti flow slide bisa dikenali dengan adanya gangguan pada suatu keadaan morfologi yang menunjukkan adanya pergerakan minor pada massa tanahterganggu. Keadaan morfologi pada massa tanah-terganggu akan menentukan apakah longsoran akan berhenti pada jarak terdekat atau akan berubah menjadi aliran yang akan mencapai jarak yang jauh (Whelan, 1977; Hampton, 1982). Di lingkungan kontinental yang berasosiasi dengan pulau-pulau gunung api juga bisa terjadi slump dan debris avalanches dengan pergerakan yang bisa mencapai jarak sejauh 200 km. Bencana
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 53‐62
Hal :53
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni Arifianti)
tersebut bisa menyebabkan tsunami (Moore and Normark, 1994). Penelitian Pre-Tsunami Investigation of Seismic Group (PreTI-GAP) di Kepulauan Mentawai menghasilkan rekaman data yang menunjukkan adanya bekas longsor dasar laut yang sangat besar. Jejak-jejak longsor di area sepanjang 340 km segmen timur Kep. Mentawai itu diduga sebagai penyebab terjadinya tsunami setinggi lima meter di Kota Padang pada 1797 (Singh, 2008). Hal ini disebabkan oleh adanya guncangan gempa dengan intensitas tertentu yang mempengaruhi struktur geologi berupa sesar di timur laut Kep. Mentawai dan menyebabkan longsor dasar laut yang kemudian memicu tsunami besar (Permana H., 2008). Sama halnya dengan tsunami setinggi dua meter yang menerjang Pangandaran pada 2006 pasca gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter diduga penyebabnya adalah longsor dasar laut (Singh, 2008). Daerah penelitian dan sekitarnya terletak di daerah Perairan Maumere (Gambar 1) terletak di daerah Zona Sesar Flores dengan rangkaian punggungan yang membentuk kelurusan berarah baratdaya-timurlaut. Kelurusan tersebut di beberapa tempat tergeserkan. Hal ini memberikan tanda adanya sesar geser pada daerah tersebut (Permana H., dkk., 1993). Di antara punggungan dasar laut Perairan Maumere terdapat perlapisan sedimen yang di beberapa tempat mengalami perlipatan, penerobosan dan pensesaran. Struktur sesar yang berkembang di sini menunjukkan sesar mendatar (Setya Budhi. 1994).
Daerah Perairan Maumere termasuk daerah yang memiliki tingkat kegempaan yang cukup tinggi. Gempa bumi pada tanggal 12 Desember 1992 yang berintensitas IX – X skala Mercally di daerah Maumere, berdasarkan hasil interpretasi beberapa peneliti mempunyai harga parameter yang berbeda, terutama pada posisi sumber gempa. Secara lateral posisi gempa bumi ini ± 40 km barat laut kota Maumere, dan getarannya mengakibatkan kerusakan di pulau Flores dan sekitarnya. Disamping gempa utama juga terjadi gempa susulan dengan intensitas magnitudo kurang dari 4 (Mb) (Soehaimi, A., dan Kertapati, E. 1993). Dari kajian teori dapat dirumuskan hipotesis bahwa kondisi morfologi dan keberadaan struktur geologi di dasar laut Maumere merupakan faktor utama penyebab terjadinya longsor dasar laut. Longsor dasar laut ini kemudian memicu tsunami besar dengan mengabaikan faktor tingkat kegempaan, sedimen dasar lautnya dan faktor keamanan lereng. Adapun batasan permasalahan dalam penelitian ini adalah menganalisis kondisi longsor dasar laut melalui keadaan morfologi dengan menggunakan peta batimetri dan struktur geologi hasil interpretasi rekaman seismik refleksi 2-dimensi. Tujuannya adalah untuk mengetahui potensi longsor dasar laut di Perairan Maumere dan sebaran longsor tersebut. METODA PENELITIAN Penelitian di kawasan Perairan Maumere hingga laut lepas dengan luas daerah ± 1422 km² ini ditunjang data-data sekunder berupa peta batimetri dasar laut, penampang seismik refleksi 2 dimensi Perairan Maumere, dan beberapa literatur tentang keadaan geologi daerah penelitian. Penampang seismik refleksi 2 dimensi di perairan tersebut terdiri dari 35 lintasan. Pada tahap berikut dilakukan interpretasi data yang diperoleh dengan analisis morfologi dan struktur geologi.
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian.
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 54‐62
Hal :54
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni Arifianti)
A. Analisis Morfologi Analisis peta batimetri dilakukan untuk mengetahui morfologi perairan Maumere. Hasilnya berupa peta morfologi yang membagi daerah penelitian ke dalam beberapa satuan morfologi. Interpretasi ini meliputi beberapa perhitungan sebagai berikut :
1. Perhitungan slope Pengukuran kemiringan lereng (slope) dilakukan terhadap peta batimetri dengan menggunakan metode Wentworth, 1930 dengan persamaan 1 yaitu (Hidartan, H.A., 1994):
(n − 1) . Ic
s =
Δh
x 100 %
................. (1)
dengan : s = nilai kemiringan lereng dalam % n = jumlah kontur Ic = interval kontur Δh = jarak horizontal (m) Pengklasifikasian nilai kemiringan lereng didasarkan klasifikasi kelas lereng oleh Van Zuidam (1983) diperlihatkan pada Tabel 1. Kemiringan lereng rata-rata dalam setiap satuan dapat diketahui dari persamaan 2 (Setyawan, dkk., 2002):
Sn
=
∑ (S
n1
+ S n 2 +... + S nx ) xn
............... (2)
Tabel 1. Klasifikasi kelas lereng Kelas lereng
Slope (%)
Keterangan
I II III IV V VI
0–2 2–7 7 – 15 15 – 25 25 – 45 > 45
Datar Landai Bergelombang Curam Sangat curam Terjal
2. Perhitungan Morfometri a. Gradien Hipsometri Gradien hipsometri merupakan suatu grafik yang akan memberikan gambaran hubungan antara kemiringan lereng dengan luas sebarannya dengan menggunakan rumus (Setyawan, dkk., 2002):
S
=
∑ An . Sn ∑A
.............. (3)
dengan : An = persentase luas satuan morfologi dasar laut-n A = luas setiap satuan morfologi dasar laut
S
= kemiringan lereng rata-rata
Kelas lereng yang kemiringannya curam sekitar 20% atau lebih, umumnya berpotensi untuk bergerak atau longsor (Setyawan, dkk., 2002).
dengan :
Sn
= kemiringan lereng rata-rata pada satuan morfologi dasar laut-n Snx = kemiringan lereng rata-rata pada unit grid/cell-n x = jumlah unit grid/cell dalam satuan morfologi dasar laut-n
b. Relief Hipsometri Relief hipsometri merupakan suatu grafik yang memberikan gambaran hubungan antara kedalaman laut dengan luas sebaran kelas kedalaman dan menentukan tingkat kedalaman yang paling besar dengan menggunakan rumus (Setyawan, dkk., 2002):
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 55‐62
Hal :55
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni Arifianti)
D =
∑ ( Ar . D ∑A
rat
)
......... (3)
dengan : Ar = luas setiap unit kelas kedalaman Drat = kedalaman rata-rata setiap kedalaman D = kedalaman rata-rata B.
kelas
Analisis Struktur Geologi Pengambilan data seismik refleksi dan batimetri di lapangan didapat dengan cara pemeruman/soundings. Data ini dihasilkan dengan memanfaatkan hasil pantulan gelombang akustik oleh bidang pantul akibat adanya perbedaan berat jenis pada bidang batas antara lapisan sedimen yang satu dengan yang lainnya. Hasil yang diperoleh merupakan penampang seismik menerus sepanjang lintasan (Budiono, K. 2002). Rekaman seismik refleksi dapat didefinisikan sebagai kumpulan dari lintasan seismik pantul. Parameter seismik yang dianalisis secara langsung di lintasan seismik adalah konfigurasi refleksi seismik. Konfigurasi ini adalah pola stratifikasi atau perlapisan kasar yang terdapat pada rekaman seismik. Penafsirannya menggunakan prinsip-prinsip seismik stratigrafi, yaitu pengenalan terhadap ciri-ciri reflektor batas atas, batas bawah, dan bagian dalam setiap unit seismik (Priyono, 2000). Interpretasi yang dilakukan terhadap lintasan seismik akan menghasilkan indikasi sesar dan indikasi longsor dasar laut. Ada lima tipe dasar konfigurasi yaitu (Rosandic, 1978): a. Pola paralel, terdiri dari tiga bagian yaitu pola datar, bergelombang, dan kombinasi keduanya pada bidang datar dengan laju yang sama.
b. Pola divergen, dicirikan oleh bidang yang membaji di beberapa tempat akibat laju pengendapan yang bervariasi. c. Pola progradasi, pola yang dihasilkan oleh penambahan deposisi lateral yang berubah terhadap posisi semula berupa sigmoid, miring (oblique), clinoform, dan kombinasinya. d. Kaotik (chaotic), dicirikan oleh banyaknya bidang diskontuinitas pantulan sehingga menghasilkan kenampakan berbintik-bintik dan bercak-bercak pada rekaman seismik. Sifat pada pola ini adalah amplitudo yang bervariasi, menunjukkan adanya komplikasi endapan tektonik. e. Pola bebas refleksi, daerah bebas refleksi pada rekaman seismik menunjukkan adanya kehomogenan, dan amplitudo yang terjadi adalah nol. HASIL DAN PEMBAHASAN Perairan Maumere memiliki rentang kedalaman yang cukup besar sehingga interval kontur pada peta batimetrinya adalah 50 m. Dari peta batimetri dapat dihasilkan dua klasifikasi, yaitu kelas kemiringan lereng dan kelas kedalaman. Kelas kemiringan lereng Perairan Maumere terdiri dari 3, yaitu Kelas Kemiringan Lereng II, IV dan V. Sedangkan kelas kedalamannya dengan rentang kedalaman sebesar 500 m, Perairan Maumere terdiri dari 5 kelas, yaitu Kelas Kedalaman I, II, III, IV, dan V. Hasil perhitungan gradien hipsometri menghasilkan nilai kemiringan lereng rata-rata sebesar 19,4 %, diperlihatkan pada Tabel 2 dan Gambar 2. Dari nilai tersebut disimpulkan bahwa kemiringan lereng rata-rata Perairan Maumere relatif curam yang berarti termasuk ke dalam Kelas Kemiringan Lereng IV.
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 56‐62
Hal :56
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni Arifianti)
Tabel 2. Hasil perhitungan kuantitatif gradien hipsometri
Kelas Slope I II III IV V VI Σ
Luas (A) km2 45,125 90,250 406,125 451,250 383,563 45,125 1421,4375
Slope Ratarata (Sn) % 2,75 5,90 10,32 20,18 30,81 40,00
Hasil perhitungan relief hipsometri menghasilkan kedalaman laut rata-rata yang didapatkan adalah 0,68 km, diperlihatkan pada Tabel 3 dan Gambar 1. Dari nilai tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat variasi relief
A . Sn % km2 124,09 532,47 4191,21 9106,22 11817,56 1805,00 27576,55
Persentase Luas (%) 3,17 6,34 28,60 31,74 26,98 3,17 100
Persentase Luas Kumulatif (%) 3,17 9,51 38,11 69,85 96,83 100
daerah penelitian terdiri dari dua bidang hamparan teras yaitu antara relief halus dan kasar.
Tabel 3. Hasil perhitungan kuantitatif relief hipsometri
Kelas Kedalaman (km) 0 – 0,5 0,5 – 1,0 1,0 – 1,5 1,5 – 2,0 2,0 – 2,5
Luas (A) km2
Drat
A . Drat
654,3125 518,9375 112,8125 45,1250 90,2500
0,25 0,75 1,25 1,75 2,25
163,58 389,20 141,01 78,97 203,06
Σ
1421,4375
975,82
Persentase Luas (%) 46 36,50 7,94 3,21 6,35
Persentase Luas Kumulatif 46 82,50 90,44 93,65 100
100
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 57‐62
Hal :57
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni Arifianti)
Gambar 2. Grafik gradien hipsometri dan kemiringan lereng rata-rata (A) serta grafik relief hipsometri dan kedalaman rata-rata (B).
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka morfologi dasar laut Perairan Maumere dibagi menjadi tiga jenis satuan morfologi dasar laut, yaitu Satuan Morfologi Dasar laut Pedataran, Satuan Morfologi Dasar laut Curam, dan Satuan Morfologi Dasar laut Sangat Curam. Perairan Maumere relatif terletak di Satuan Morfologi Dasar laut Curam. Satuan ini terdapat memanjang dengan arah timur laut – barat pada kisaran kedalaman laut 250 – 1350 m. Luas sebaran mencapai 568,8 km2 atau sekitar 40 % dari total luas daerah penelitian. Kemiringan lereng pada satuan ini 7 sampai 24,6 % dengan relief sedang sampai rapat, didominasi oleh topografi punggungan dengan kemiringan lereng yang bervariasi dari yang bergelombang sampai curam. Interprentasi terhadap kelurusan kontur, bentuk punggungan, dan panjang serta kemiringan lereng di satuan morfologi tersebut maka Perairan Maumere dibagi menjadi tiga daerah rawan yaitu Daerah Rawan Longsor Dasar Laut I, II, dan III. Dari interpretasi rekaman seismik refleksi didapat beberapa indikasi struktur geologi
berupa sesar pada beberapa lintasan ditandai oleh beberapa kenampakan yang khas, diantaranya: 1. Morfologi lembah sempit dengan kedua sisi yang mempunyai pola reflektor yang berbeda. 2. Reflektor pada dasar lembah adalah chaotik. 3. Kontak yang tegas antar sekuen. 4. Adanya perlipatan sedimen yang kuat di sekitar bidang sesar. Indikasi sesar diperlihatkan pada lintasan S-21, S-27, dan L-53 (berarah selatan – utara); S-23 dan S-45 (berarah utara – selatan); S-30, S-34, dan S-38 (berarah barat – timur); S-36 (berarah timur – barat); L-52 (berarah barat laut – tenggara); dan L-60 (berarah tenggara – barat laut). Dua contoh penampang seismik yang di dalamnya ditemukan indikasi sesar ada di lintasan S-21 dan S-23 pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 58‐62
Hal :58
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni Arifianti)
Rekaman seismik refleksi lintasan S-23: 1. Arah lintasan utara – selatan. 2. Ciri-cirinya : morfologi lembah sempit dengan kedua sisi yang mempunyai pola reflektor yang berbeda, reflektor pada dasar lembah adalah chaotic, kontak yang tegas antar sekuen, adanya perlipatan sedimen yang kuat di sekitar bidang sesar.
Gambar 3. Rekaman seismik refleksi lintasan S-21.
Rekaman seismik refleksi lintasan S-21: 1. Arah lintasan selatan – utara. 2. Ciri-cirinya : morfologi lembah sempit dengan kedua sisi yang mempunyai pola reflektor yang berbeda, reflektor pada dasar lembah adalah chaotic, kontak yang tegas antar sekuen, adanya perlipatan sedimen yang kuat di sekitar bidang sesar.
Sedangkan indikasi longsor dasar laut dicirikan oleh adanya reflektor chaotik yang terdapat di kaki suatu bidang gelincir pada lereng tinggian. Beberapa indikasi longsor dasar laut berjenis slump, diperlihatkan oleh penampang seismik di lintasan S-28 dan S-36 (berarah timur – barat), S-38 (berarah barat timur), dan L-60 (berarah tenggara – barat laut). Dua contoh penampang seismik yang di dalamnya ditemukan indikasi longsor dasar laut ada di lintasan S-21 dan S-23 pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Gambar 5. Rekaman seismik refleksi lintasan S-36.
Gambar 4. Rekaman seismik refleksi lintasan S-23. Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 59‐62
Hal :59
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni Arifianti)
Rekaman seismik refleksi lintasan S-36: 1. Arah lintasan timur – barat. 2. Ciri-cirinya : reflektor chaotik yang dibatasi oleh reflektor paralel pada bagian atasnya yang terdapat di kaki suatu tinggian dengan bidang gelincir pada lereng tinggian tersebut. Di sebelah timur indikasi slump ini ditemui juga indikasi sesar.
Rekaman seismik refleksi lintasan L-60: 1. Arah lintasan tenggara – barat laut. 2. Ciri-cirinya : reflektor chaotik pada kaki lereng suatu tinggian dengan reflektor paralel pada bagian atasnya. Di sebelah timur indikasi slump ini ditemui juga indikasi sesar. Setelah dilakukan pengeplotan dan korelasi antar lintasan dari setiap indikasi longsor dasar laut dan struktur geologi (Gambar 7), kemudian digabung kondisi morfologi, maka hasilnya adalah Peta Potensi Longsor Dasar Laut (Gambar 8). Peta tersebut memuat empat longsor dasar laut yang terjadi pada Perairan Maumere, yaitu dua longsor pada sebelah utara, satu longsor di bagian tengah dan satu longsor lagi di timur laut daerah penelitian. Peta Potensi Longsor Dasar Laut memuat informasi tentang daerah rawan struktur geologi dan potensi longsor dasar laut. Dari peta tersebut terlihat bahwa struktur geologi dan lokasi longsor dasar laut pada perairan Maumere letaknya berada di Daerah Rawan Longsor Dasar Laut II dan Daerah Rawan Longsor Dasar Laut III.
Gambar 6. Rekaman seismik refleksi lintasan L-60.
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 60‐62
Hal :60
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni Arifianti)
Gambar 7. Korelasi antar lintasan indikasi struktur geologi (A) dan korelasi antar lintasan indikasi longsor dasar laut (B)
Gambar 8. Peta potensi longsor dasar laut Perairan Maumere
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 61‐62
Hal :61
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni Arifianti)
KESIMPULAN Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk lereng, kemiringan lereng (aspek morfologi), dan keberadaan sesar (aspek struktur geologi) mempengaruhi terjadinya longsor dasar laut. Longsor dasar laut umumnya terletak pada kemiringan lereng yang curam (sekitar 24 % – 35 %) atau pada Daerah Rawan Longsor Dasar Laut II dengan bentuk lereng cembung, panjang lereng cukup kecil dan terdapat struktur geologi di sekitarnya. Kelas lereng yang kemiringannya curam 20% atau lebih berpotensi untuk bergerak atau longsor dan bisa mengakibatkan tsunami. SARAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi longsor dasar laut di daerah Perairan Maumere, Kabupaten Maumere, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada penelitian lebih lanjut perlu diteliti mengenai faktor pemicu seperti gempa, sedimen lautnya, serta faktor keamanan lereng. Kemudian dijadikan peta dasar dari pembuatan peta resiko bencana dengan melibatkan unsur bencana geologi lain dan data-data sosial ekonominya. Sehingga diharapkan dari hal tersebut dapat diberikan langkah-langkah untuk meminimalisasi kerusakan yang akan disebabkan oleh bencana geologi tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Ir. Kris Budiono, M.Sc. selaku pembimbing Tugas Akhir. Terima kasih juga disampaikan kepada Yudhicara, M.T. atas saran dan masukannya dalam penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA
Garrison and Sangrey. 1977. Submarine Landslides. USGS Yearbook. USA. Hidartan H.A. 1994. Pemetaan Geomorfologi Sistematis Untuk Studi Geologi. IAGI. Locat, Lee, and Homa. 2002. Submarine Landslides: Advances and Challenges 1, Can Geotech J. Vol 39, NRC Research Press. http://cgj.nrc.ca. diakses tahun 2002. Permana H., Pramumijoyo S., dan Kumoro Y. 1993. Pola Kelurusan Geologi Daerah Flores : Implikasinya Terhadap Kerusakan Akibat Gempabumi 1992. PIT IAGI ke 22. Jakarta. Setya Budhi. 1994. Laporan Penyelidikan Geologi dan Geofisika Kelautan di Perairan Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung. Setyanto, Usman dan Setiady. 2008. Potensi Mineral Kuarsa dan Endapan Timah Letakan dalam Kaitannya dengan Batuan Granit Lp1017 Batam, Riau Kepulauan. www.dim.esdm.go.id. diakses tanggal 20 Juli 2009. Setyawan,Wilopo dan Suparno. 2002. Mengenal Bencana Alam Tanah Longsor dan Mitigasinya. http://io.ppijepang.org/article.php?id=196. diakses tanggal 17 Februari 2009. Soehaimi, A., dan Kertapati, E. 1993. Gempabumi Laut Flores 12 Desember 1992. Pertemuan Himpunan Ahli Geologi Indonesia. Jakarta. Susilo, B.K. 2008. Longsor. http://budhikuswansusilo.files.wordpress.co m/2008/05 /l-o-n-g-s-o-r.pdf, diakses tanggal 20 Juli 2009. Universitas Padjadjaran. 2001. Prinsip-Prinsip Seismik. tidak dipublikasikan. UNPAD. Bandung.
Antara News. 2008. Longsor di Dasar Laut Picu Tsunami. www.antara.co.id, diakses tanggal 22 Juli 2009. Budiono, K. 2002. Submarine Landslides on the Sea Bottom of Maumere Bay, Flores, Based on the Interpretation of Seismic Reflection Records Proceeding. Surabaya. The 31st Annual Conference of Indonesian Association of Geologist.: Hal. 364-376. Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1, April 2011 : 62‐62
Hal :62