LAPORAN PENELITIAN
PEMETAAN POTENSI KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI PERAIRAN TENGGARA PULAU BALI
TIM PENELITI 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prof. Dr. I Wayan Arthana, MSi Nyoman Dati Pertami, SP., Msi I Gede Hendrawan, S.Si., M.Si Ima Yudha Perwira, S.Pi., MP Dwi Budi Wiyanto, S.Kel., MP Devi Ulinuha, S.Pi., MP
DIBIAYAI DARI DANA DIPA BLU UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN ANGGARAN 2012 (BOPTN) DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN NOMOR : 0791/023-04.2.16/20/2012 TANGGAL: 26 SEPTEMBER 2012
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS UDAYANA 2012 1
HALAMAN PENGESAHAN ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Judul Penelitian : Pemetaan Potensi Kawasan Budidaya Rumpur Laut di Perairan Tenggara Pulau Bali ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------2. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap : Pro.f Dr. I Wayan Arthana, M.Si b. Jenis Kelamin : Laki-laki c. NIP : 19600728 198609 1 001 d. Jabatan Fungsional : Guru Besar e. Jabatan Struktural : Plt. Pembantu Dekan I f. Bidang Keahlian : Ekologi Lingkungan Perairan g. Fakultas/PS : Kelautan dan Perikanan / Manaj. Sumberdaya Perairan h. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana i. Tim Peneliti : No Nama Bidang keahlian Fakultas/PS Perguruan Tinggi 1. Nyoman Dati Konservasi Pesisir FKP / Manaj. Universitas Pertami, SP, M.Si dan Laut Sumberdaya Perairan Udayana 2 I Gede Hendrawan, Oseanografi fisik FKP / Ilmu Kelautan Universitas S.Si, M.Si Udayana 3 Ima Yudha Biologi Kelautan FKP / Manaj. Universitas Perwira, S.Pi, MP Sumberdaya Perairan Udayana 4 Dwi Budi Wiyanto, Ekologi Pesisir dan FKP / Ilmu Kelautan Universitas S.Kel, MP Laut Udayana 5 Devi Ulinuha, S.Pi, Kesehatan FKP / Manaj. Universitas MP Lingkungan Perairan Sumberdaya Perairan Udayana ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------3. Pendanaan dan jangka waktu penelitian: a. Jangka waktu penelitian yang diusulkan b. Biaya total yang diusulkan c. Biaya yang disetujui Mengetahui Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan UNUD
(Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM) NIP:19480628 197903 1 001
: 3 bulan : Rp 75.500.000,: Rp 75.500.000,Bukit Jimbaran, 26 November 2012 Ketua Peneliti
(Prof. Dr. Ir. I Wayan Arthana, M.Si) NIP: 19600728 198609 1 001
2
PEMETAAN POTENSI KAWASAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI PERAIRAN TENGGARA PULAU BALI I Wayan Arthana1, Nyoman Dati Pertami1, I Gede Hendrawan2, Ima Yudha Perwira1, Dwi Budi Wiyanto2, dan Devi Ulinuha1 1. 2.
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Propinsi Bali, Indonesia Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Propinsi Bali, Indonesia RINGKASAN
Rumput laut adalah salah satu potensi sumberdaya perairan laut di Indonesia, dan merupakan salah satu komoditas yang sangat popular karena memiliki nilai kemanfaatan yang tinggi. Pentingnya pemanfaatan komoditas ini sebagai salah satu komoditas budidaya menjadi alasan yang kuat untuk melakukan sebuah pemetaan potensi kawasan budidaya rumput laut. Perairan tenggara Pulau Bali merupakan kawasan perairan yang unik, dengan karakter sumberdaya fisik kelautan yang spesifik, yaitu karakter arus, pasang surut, kandungan nutrient, serta intensitas paparan sinar matahari yang sangat sesuai bagi kebutuhan pengembangan usaha budidaya rumput laut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan potensi kawasan budidaya rumput laut di perairan tenggara Pulau Bali, sehingga ke depannya dapat digunakan sebagai sumber informasi dan acuan pengembangan produksi rumput laut di Pulau Bali. Penelitian dilakukan secara deskriptif melalui dua tahapa, yaitu analisa citra digital (remote sensing) dan analisa kondisi factual secara in situ di lokasi penelitian. Berdasarkan analisa citra digital diketahui bahwa jumlah klorofil di perairan tenggara Bali memiliki rentang dari 0,25 hingga 2,5 mg/m3, memiliki rentang suhu dari 250 C hingga 310 C, dan memiliki kecepatan rata-rata arus 2,5 m/s melalui arus pasut utara dan 3 m/s melalui arus pasut selatan, dan berdasarkan analisa hasil factual secara in situ di beberapa lokasi penelitian diketahui bahwa perairan tenggara Pulau Bali memiliki kisaran suhu 29-30oC, salinitas 29-30 ppt, pH 7-9, dan kandungan oksigen terlarut 3-7 mg/L. Berdasarkan analisa citra digital (remote sensing) dan kondisi faktual secara in situ di lapangan dapat direkomendasikan bahwa wilayah perairan yang layak sebagai lokasi budidaya rumput laut adalah Perairan Pantai Tanjung Tengkulung, Perairan Pantai Kutuh, Perairan Pantai Padang Bai Karangasem, dan Perairan Pantai Sengkidu Karangasem. Kata Kunci: Pemetaan, Potensi, Rumput Laut, Perairan Tenggara, Bali
3
MAPPING OF THE POTENTIAL SEAWEED CULTURE AREA ON SOUTHEAST BALI ISLAND WATERS I Wayan Arthana1, Nyoman Dati Pertami1, I Gede Hendrawan2, Ima Yudha Perwira1, Dwi Budi Wiyanto2, dan Devi Ulinuha1 1. Department of Aquatic Resource Management, Faculty of Marine and Fisheries Science, Udayana Univerity, Bali Province, Indonesia 2. Department of Marine Science, Faculty of Marine and Fisheries Science, Udayana Univerity, Bali Province, Indonesia SUMMARY Seaweed is one of the most potential marine aquatic resources in Indonesia, and is one of the most popular comodities because of having high advantage value. The importance of the use of this commodities as a culture commodiities become a reason to perform a mapping of potential seaweed culture area on southeast Bali Island waters. Southeast Bali waters is unique, which is having specific physically marine charactersitic such as: water current, tide, nutrient content, and also sunlight exposure intensity suitable for the development of seaweed culture. The aim of this study is to mapping the potential seaweed culture area on southeast Bali waters. Study is performed in two stages descriptively, digital image (remote sensing) analysis and analysis of the factual condition in the location. Based on the digital image, it had been known that total clorofil content on the waters is ranging from 0,25 to 2,5 mg/m3, temperature ranging from 250 C to 310 C, and is having water current 2.5 m/s in north tide and 3 m/s in south tide. The result from factual condition describe the water temperature which is ranging from 29-30oC, water salinity ranging from 29-30 ppt, pH 7-9, and Dissolved Oxygen ranging from 3-7 mg/L. It could be concluded from the result that the most suitable and appropriate location for the culture of seaweed on southeast Bali waters are Tanjung Tengkulung, Kutuh, Padang Bai, and Sengidu waters. Keyword: Mapping, Potential, Seaweed, Southeast waters, Bali
4
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian Hibah Unggulan Udayana dengan judul penelitian Pemetaan Potensi Kawasan Budidaya Rumput Laut di Perairan Tenggara Pulau Bali. Kegiatan ini dilakukan sebagai Salah satu upaya untuk meningkatkan kegiatan penelitian serta meningkatkan budaya ilmiah di Universitas Udayana. Laporan penelitian hibah unggulan udayana ini merupakan salah satu syarat kelengkapan berkas hibah penelitian unggulan Udayana di Universitas Udayana. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat memerikan manfaat secara nyata dalam upaya pemetaan potensi wilayah pesisir dan laut di wilayah Propinsi Bali pada umumnya, dan Kawasan Tenggara Bali pada khususnya. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari penulisan laporan ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Bukit Jimbaran, 26 November 2012
Prof. Dr. Ir. I Wayan Arthana, MSi
5
DAFTAR ISI Halaman Halaman Pengesahan ............................................................................................. 2 Ringkasan dan Summary........................................................................................ 3 Kata Pengantar ....................................................................................................... 5 Daftar isi ................................................................................................................ 6 Daftar Gambar ....................................................................................................... 7 1 Pendahuluan....................................................................................................... 8 Latar Belakang .................................................................................................. 8 Rumusan Masalah ............................................................................................. 9 Tujuan Penelitian............................................................................................... 9 2 Tinjauan Pustaka ................................................................................................ 10 Biologi Rumput Laut ......................................................................................... 10 Budidaya Rumput Laut ...................................................................................... 12 Parameter Oseanografi ...................................................................................... 13 3 Metode Penelitian ..............................................................................................
16
Tipe Penelitian ..................................................................................................
16
Ruang Lingkup ..................................................................................................
16
Sumber Data dan Variabel Penelitian.................................................................
16
Lokasi Pengambilan Sampel ..............................................................................
16
Pengambilan Sampel .........................................................................................
16
4 Hasil dan Pembahasan........................................................................................
18
Hasil..................................................................................................................
18
Pembahasan.......................................................................................................
28
5 Kesimpulan dan Saran........................................................................................
32
Daftar Pustaka..........................................................................................................
34
6
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1
Gambar 1. Karakteristik Bulanan Klorofil-a ............................................................. 19
2
Gambar 2. Karakteristik Musiman Klorofil-a............................................................ 20
3
Gambar 3. Karakteristik Klorofil-a (JJA dan DJF) .................................................... 20
4
Gambar 4. Variabilitas Klorofil di Tenggara Bali ..................................................... 20
5
Gambar 5. Karakteristik SPL Bulanan ...................................................................... 22
6
Gambar 6. Karakteristik SPL Musiman .................................................................... 23
7
Gambar 7. Karakteristik SPL JJA dan DJF ............................................................... 23
8
Gambar 8. Variabilitas Suhu Permukaan Laut di Tenggara Bali................................ 23
9
Gambar 9. Pola Arus Pasang Surut, Arus Pasang surut menuju ke utara (Kiri) dan mengarah ke selatan (Kanan) .................................................................................... 24
10
Gambar 10. Hasil pengukuran suhu pada masing-masing titik pengamatan ............... 27
11
Gambar 11. Hasil pengukuran salinitas pada masing-masing titik pengamatan ......... 27
12
Gambar 12. Hasil pengukuran pH pada masing-masing titik pengamatan ................. 27
13
Gambar 13. Hasil pengukuran DO pada masing-masing titik pengamatan ................ 27
7
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rumput laut adalah salah satu potensi sumberdaya perairan laut di Indonesia, dan merupakan salah satu komoditas yang sangat populer karena memiliki nilai kemanfaatan yang tinggi. Ditinjau dari fungsi dan kemanfaatan secara ekologis, komoditas ini memainkan peran sebagai tempat pembesaran dan perlindungan untuk berbagai jenis ikan di wilayah perairan laut, dan dapat digunakan sebagai sumber makanan alami (Winarno, 1990). Selain kemanfaatan dari sisi ekologis, komoditas ini juga melakukan peran yang sangat signifikan bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi manusia. Menurut Wirjatmadi (2002), rumput laut memiliki kandungan nutrisi yang cukup lengkap, dimana kandungan dari nutrisi di dalam rumput laut tersebut adalah air (27,8 %), protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,6%), serat (3%) dan abu (22,25%). Selain itu, terdapat pula beberapa jenis nutrient pendukung yang ada di dalamnya, antara lain: mengandung enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A,B,C,D, E dan K), makro mineral, seperti: kalsium dan selenium serta mikro mineral, seperti: zat besi, magnesium dan natrium. Kandungan asam amino, vitamin dan mineral rumput laut mencapai 10-20 kali lipat dibandingkan dengan tumbuhan darat. Pentingnya pemanfaatan komoditas ini sebagai salah satu komoditas budidaya menjadi alasan yang kuat untuk melakukan sebuah kajian tentang kelayakan lokasi budidaya rumput laut. Budidaya rumput laut menjadi alternatif profesi bagi masyarakat di kawasan pesisir, dalam kerangka pemanfaatan potensi wilayah pesisir yang merupakan kawasan perairan litoral dan kaya akan keanekaragaman hayati. Rumput laut menjadi salah satu komoditas unggulan di bidang budidaya perikanan karena komoditas ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi (high value commodity), dengan pohon industri yang lengkap, memiliki spektrum pemanfaatan dan penggunaan yang sangat luas, daya serap tenaga kerja yang cukup tinggi, dilengkapi dengan teknologi budidaya yang tidak sulit, masa tanam yang relatif singkat (45 hari) dan biaya unit per produksi yang cukup murah. Budidaya rumput laut ini tentunya ke depannya akan memiliki prospek yang sangat cerah dalam upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi (pro-growth), peningkatan kesempatan kerja (pro-eployement), dan pengentasan kemiskinan (pro-poor) (Daryanto, 2007). Keberhasilan usaha budidaya komoditas rumput laut tidak lepas dari kualitas lokasi budidaya yang akan digunakan. Rumput laut memiliki prasyarat tersendiri terhadap kualitas media pertumbuhannya. Kualitas air yang baik tentunya akan mendorong pertumbuhan rumput laut secara optimal. Perairan tenggara Pulau Bali merupakan kawasan perairan yang unik, dengan karakter sumberdaya fisik kelautan yang spesifik. Keunikan dari karakter 8
perairan tenggara Pulau Bali yang belum tentu dapat didapatkan dari wilayah lain adalah potensi pemanfaatan perairan untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut. Karakter arus, pasang surut, kandungan nutrient, serta intensitas paparan sinar matahari di kawasan perairan ini sangat sesuai bagi kebutuhan pengembangan usaha budidaya rumput laut. Oleh karena itu, tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan usaha budidaya rumput laut serta mengevaluasi kesesuaian lokasi budidaya rumput laut yang sudah ada untuk dapat dipetakan kembali kelayakan lokasinya. 1.2 Rumusan Masalah Perairan tenggara Pulau Bali merupakan kawasan perairan yang unik, dengan karakter sumberdaya fisik kelautan yang spesifik. Kekhasan lingkungan perairan laut di perairan tenggara Bali, perlu dikaji untuk keperluan analisa dan evaluasi kelayakan lokasi budidaya rumput laut. Luasnya daerah perairan tenggara pulau Bali menjadi kendala dalam upaya menentukan lokasi yang paling tepat sebagai lokasi budidaya rumput laut demi mendapatkan hasil yang paling optimal. Oleh karena itu diperlukan suatu pemetaan potensi kawasan budidaya rumput laut di perairan tenggara Pulau Bali. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan pemetaan potensi kawasan budidaya rumput laut di perairan tenggara Pulau Bali, sehingga ke depannya dapat digunakan sebagai sumber informasi dan acuan pengembangan produksi rumput laut di Pulau Bali.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Biologi Rumput Laut Secara morfologis rumput laut merupakan tanaman laut yang berklorofil dan berthallus, artinya tidak jelas perbedaan antara akar, batang dan daun. Perbedaan rumput laut jenis satu dengan jenis yang lainnya terletak pada thallusnya. Berupa bulat, pipih, gepeng, dan juga berbentuk seperti helai rambut, susunan thallus ada yang uniseluler (sel satu) atau multi seluler (banyak sel). Thallus ini bisa bercabang dua, berderet searah pada satu sisi thallus utama, bercabang dua-dua sepanjang thallus utama secara selang-seling (Santosa, 2003). Keanekaragaman jenis rumput laut di perairan Indonesia cukup tinggi, tetapi pada saat ini baru dikenal lima jenis yang bernilai ekspor tinggi, yaitu adalah Gelidium, Gelidiella, Hypnea, Eucheuma, dan Gracilaria. Dua jenis diantaranya sudah dibudidayakan dan berkembang di masyarakat, yaitu Eucheuma dan Gracilaria. Daerah budidaya rumput laut di Indonesia yang membudidayakan jenis Eucheuma dan Gracilaria adalah Kepulauan Riau, Lampung, Kepulaun Seribu, Bali, Lombok, Flores, Sumba, Sulawesi, dan Madura (Sediadi dan Budihardjo, 2000). Rumput laut termasuk golongan alga yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidup diperairan yang dangkal, dengan dasar perairannya berpasir, berlumpur atau pasir. Rumput laut biasa hidup di daerah pasang surut yang perairannya jernih, dan menempel pada karang yang mati, potongan karang atau substrat lainnya baik yang berbentuk secara alamiah maupun buatan (Afrianto dan Liviawati, 1993). 2.1.1. Klasifikasi Rumput Laut Rumput laut ini tergolong alga yang dikelompokkan menjadi empat kelas, yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga hijau-biru (Cyanophyceae), alga coklat (Phaecophyceae) dan alga merah (Rhodophyceae) (Winarno, 1996). Keempat kelas tersebut yang membedakan adalah pigmennya, Rhodophyceae memiliki pigmen fikobilin yang terdiri fikoeritrin (berwarna merah) dan fikosianin (berwarna biru). Selain itu, Rhodophyceae bersifat adaptasi kromatik, yaitu memiliki penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna pada thallus seperti : merah tua, merah muda, pirang, coklat, kuning dan hijau. Spesies dari divisi ini
yang mempunyai
nilai
ekonomis adalah dari marga Gracilaria, Gelidium, Hypnea, Gigartina, Rhodymenia dan Eucheuma sebagai penghasil ekstrak caragenan, foodstuff dan penghasil agar-agar. Menurut 10
Suptijah (2002), marga Eucheuma terdiri dari dua spesies yaitu Eucheuma spinosum dan Eucheuma cottonii yang mempunyai ciri-ciri : -
Thallus (kerangka tubuh tanaman) bulat silindris atau gepeng
-
Berwarna merah, merah-coklat , hijau-kuning dan sebagainya
-
Bercabang berselang tidak teratur, di atau trikotomous.
-
Memiliki benjolan-benjolan (blunt nodule) dan duri-duri atau spines
-
Substansi thallus “gelatinus” dan/atau “kartilagenus” (lunak seperti tulang rawan) Pigmentasi merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi rumput laut. Pigmen ini
terdapat pada thallus dan perbedaan pigmen akan menentukan warna thallus yang ada dalam kelas seperti alga hijau, alga coklat, alga merah, dan alga biru. Satu kelas misalnya alga merah, warna thallus yang muncul tidak selalu hanya merah tetapi ada yang hijau kekuningkuningan, coklat kehitam-hitaman atau kuning kecoklat-coklatan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan hidupnya yang berbeda dan berubah-ubah akibat fenomena HidroOceanografis (Indriani dan Sumiarsih, 2003). 2.1.2. Habitat dan Penyebarannya Habitat rumput laut adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, umumnya terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal). Melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang moluska, umumnya E. cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef), karena di tempat tersebut beberapa persyaratan untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya faktor suhu perairan, substrat dan gerakan air. E. cottonii lebih bagus dengan suhu harian antara 25-300C dalam proses pertumbuhannya. Alga ini tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput laut lainnya yang memiliki keuntungan dalam hal penyebaran spora (Aslan, 2006). Namun pada E. Spinosum, algae ini tumbuh tersebar di perairan Indonesia pada tempat-tempat yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya, antara lain substrat batu, air jernih, ada arus atau terkenan gerakan air lainnya, kadar garam antara 28-36 per mil dan cukup sinar matahari (Nazam, 2004). Produksi rumput laut Indonesia sebagian besar merupakan rumput laut dari jenis Eucheuma dan Glacillaria. Permintaan luar negeri terhadap rumput laut Indonesia pada tahun 1990 sebesar 10.779 ton dengan total nilai US $ 7,16 juta yang terus meningkat hingga pernah mencapai 28.104 ton pada tahun 1995 dengan total nilai US $ 21,30 juta (DKP, 2002). Komoditas rumput laut menjadi salah satu hasil laut yang di unggulkan dan dikembangkan secara luas tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia (mencapai 384,73 ribu ha), dengan target produksi pada tahun 2014 sebesar 10 juta ton. Selama periode 200411
2008, produksi rumput laut Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan trend sebesar 52,87%. Pada tahun 2004 produksi rumput laut sebesar 406,68 ribu ton dan meningkat terus menjadi sebesar 877,77ribu ton (2005), 1,35 juta ton (2006), 1,49 juta ton (2007), 1,96 juta ton (2007) dan menjadi 3,08 juta ton pada tahun 2010 (Mulatsih, 2011) Data ststistik produksi rumput laut menurut provinsi utama (Riau, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulteng dan Sulsel) dari tahun 1999 hingga 2003 yaitu 157.232 ton, 230.183 ton, 246.930 ton dan 285.654 ton dengan kenaikan rata-rata 17,26% (Ditjenkan Budidaya, 2005). Sebagian rumput laut yang sempat berhasil dipanen masih diekspor dalam bentuk mentah dengan nilai tambah yang rendah, tanpa tersentuh teknologi yang tinggi sehingga menjadi produk yang penting seperti; alginat, karaginan, agar-agar dan lain sebagainya (Winarno, 1996). Pulau Bali merupakan salah satu pulau penghasil rumput laut di Indonesia. Produksi rumput laut di Bali pada 2008 turun 15,2% dibandingkan 2007. Produksi pada 2007 mencapai 152.226 ton, sementara 2008 hanya 129.095 ton atau turun 23.131 ton. Meski dari produksi merosot, namun hasil penjualan menunjukkan peningkatan 77,31% dari Rp 71 miliar tahun 2007 menjadi Rp126 miliar pada 2008. Bali memiliki potensi pengembangan rumput laut seluas 800 hektar dan baru dimanfaatkan 481 hektar atau 55%. Potensi tersebut tersebar di perairan lima kabupaten yang meliputi Nusa Penida Kabupaten Karangasem, Kabupaten Badung, Buleleng dan kota Denpasar. Petani rumput laut di Bali terhimpun dalam 109 kelompok beranggotakan 3.350 petani. (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2009). 2.2. Budidaya Rumput Laut Kebutuhan rumput laut yang semakin meningkat, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri, sekaligus memperbesar devisa negara dan sektor nonmigas. Maka cara terbaik untuk tidak menggantungkan persediaan dari alam adalah dengan budidaya rumput laut, baik secara ekstensif maupun secara intensif dengan menggunakan lahan yang ada (Anugrah, 1990). Dalam hal ini, dari rumpun thalli alga, dibuat potongan dengan ukuran tertentu (30150 gram) untuk dijadikan bibit. Bibit ini ditanam dengan cara mengikatnya pada tali nilon maupun rakit di atas perairan dengan jarak tanam 20 cm. Pertumbuhannya dapat dilihat dengan bertambah besarnya bibit tersebut (Afrianto dan Liviawati, 1993). Menurut Winarno (1996), bahwa sebagian besar rumput laut Indonesia masih merupakan hasil panen alami, oleh karena itu mutu, jumlah dan kesinambungan produksinya masih belum menentu. Mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan usaha pembudidayaan. Kegagalan budidaya rumput laut sering disebabkan adanya penyakit yang dapat merusak tanaman, bahkan menyebabkan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh terjadinya 12
perubahan lingkungan yang eksterm (arus, suhu dan kecerahan) sehingga bakteri mudah hidup. Karena itu monitoring lingkungan perlu dilakukan dengan cermat (Poncomulyo et al, 2006). Budidaya rumput laut secara umum di perairan pantai cocok diterapkan pada daerah yang memiliki lahan tanah sedikit (sempit) serta penduduk padat. Sehingga diharapkan pembukaan lahan budidaya rumput laut di perairan tersebut menjadi salah satu alternatif terbaik untuk membantu mengatasi lapangan kerja yang makin kecil, khususnya di Pulau Jawa (Aslan, 2006). Metode rakit apung cocok diterapkan pada perairan berkarang dimana pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari bambu/kayu. Ukuran setiap rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material. Ukuran rakit dapat disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran rakit yang dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang ditanam (Anggadiredja, 2006). Menurut laporan Anggadiredja (2006), keberhasilan budidaya rumput laut sangat ditentukan sejak penentuan lokasi. Hal ini dikarenakan produksi dan kualitas rumput laut dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi yang meliputi kondisi substrat perairan, metode budidaya, suhu, arus, salinitas, kecerahan, penyediaan bibit, penanaman bibit, perawatan selama pemeliharaan, hama dan penyakit. 2.3. Parameter Oseanografi Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut ditinjau dari segi oseanografi menurut Soenardjo, (2003) yaitu: a. Dasar perairan Kondisi perairan yang paling baik bagi pertumbuhan Eucheuma sp adalah yang memiliki dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan-potongan karang yang mati dan bercampur dengan pasir karang. b. Kedalaman air Eucheuma sp secara alami didapati hidup dan tumbuh dengan baik pada kedalaman air 10-30 cm pada surut terendah. c. Salinitas Eucheuma sp tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar akan menyebabkan pertumbuhan Eucheuma sp menjadi tidak normal. Namun sebaiknya lokasi budidaya terletak jauh dari mulut muara sungai yang debit airnya besar. Hal tersebut berguna untuk menghindari adanya endapan lumpur. Salinitas untuk pertumbuhan optimal Eucheuma sp sekitar 28-34 permil dengan nilai optimum salinitas 33 permil. 13
d. Suhu Suhu air laut yang baik untuk budidaya Eucheuma sp berkisar antara 27o-30oC, Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut yang menjadi pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat. e. Pencemaran Pencemaran pada lokasi budidaya rumput laut dari bekas solar atau minyak dari pengisian bahan bakar motor tempel akan mengakibatkan terjadinya kerontokan atau keguguran pada thallus. f. Kejernihan air Budidaya rumput laut dengan tingkat kejernihan air yang tinggi sangat dibutuhkan, sehingga cahaya dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut. g. Keasaman (pH) Rumput laut umumnya tumbuh pada pH optimal bagi pertumbuhan Eucheuma sp antara 7,5-8,0. H. Angin dan Arus Kesuburan lokasi tanaman sangat ditentukan oleh adanya gerakan air yang berombak maupun arus. Gerakan air ini merupakan pengangkut yang paling baik untuk zat makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan rumput laut. Ombak dan arus merupakan alat pengaduk yang baik sehingga air menjadi homogen. Arus dapat mengatasi kenaikan temperatur air laut yang tajam. Kecepatan arus yang dianggap cukup untuk budidaya rumput laut kira-kira 20-40 cm per detik. Untuk pertumbuhannya, Eucheuma sp membutuhkan gerakan air yang berupa ombak yang dominan sepanjang tahun. Suatu perairan yang mempunyai cukup gerakan air ditandai oleh terdapatnya karang lunak (soft coral) dan juga ditandai oleh kondisi daun (Thalasia, Euchallis) yang bebas dari debu air 9 (silt) (Winarno, 1996) Laju pertumbuhan per hari sangat ditentukan oleh sesuai atau tidaknya perairan tersebut bagi kehidupan tanaman. Salah satu faktor terpenting adalah cukup kuat tidaknya gerakan air/arus yang berfungsi sebagai pembawa makanan/zat hara tanaman. Kondisi perairan yang optimum untuk budidaya E. spinosum adalah kecepatan air sekitar 20-40 cm per detik, dasar perairan cukup keras tidak berlumpur, kisaran salinitas 28-34 ppt (optimum 33 ppt), suhu air berkisar 20-28oC dengan fluktuasi harian maksimal 4oC, kecerahan tidak kurang dari 5 m, pH antara 7,3 - 8,2 (Nazam, 2004). 14
Lokasi budidaya hendaknya dipilih perairan yang terlindung, namun masih memiliki pergerakan air yang baik. Sehingga dengan adanya pergerakan air, hara dalam air dapat selalu bergerak dan menyebar sehingga dapat diharapkan menjadi hara bagi pertumbuhan rumput laut. Persyaratan hara yang diperlukan (fosfat dan nitrat) biasanya sulit diperkirakan dan ditentukan. Hendaknya dipilih perairan yang bebas polusi, baik polusi oleh limbah domestik (rumah tangga) maupun limbah dari industri. Adanya polusi logam berat seperti merkuri (Hg), akan banyak meningkatkan biaya produksi dan pembersihan. Persyaratan umum lainnya adalah perairan harus bersih dan jernih karena perlu untuk fotosintesis tanaman. Daerah budidaya hendaknya dipilih daerah yang terpencil dan mudah dicapai dengan transportasi yang ada (Winarno, 1996). Persyaratan hidup yang dikaitkan dengan habitat masing-masing jenisnya adalah sebagai berikut, jenis Eucheuma hidup menempel pada dasar perairan karang (coral reef). Apabila polutan yang mencemari perairan ternyata mengganggu pertumbuhan, maka budidaya dapat mengalami kegagalan. Beberapa jenis logam berat seperti merkuri (Hg) dan timbal (Pb) dapat terakumulasi di dalam tanaman tanpa membahayakan tanaman. Namun demikian, bila produk rumput laut tersebut kelak digunakan untuk bahan mentah industri pangan, minuman, farmasi dan kosmetika, maka hal ini akan membahayakan konsumen. Karenanya perlu pengolahan khusus yang biayanya relatif lebih mahal (Departemen Pertanian, 1992).
15
III. METODE PENELITIAN
1.
Tipe Penelitian Pemetaan potensi kawasan budidaya rumput laut didasarkan pada identifikasi model
untuk kondisi lingkungan di perairan tenggara Pulau Bali. Oleh karena itu penerapan model yang paling baik adalah konsep eksplorasi. Penelitian eksploratif merupakan studi penjajakan, pengetahuan tentang teori masih sangat sedikit atau samar-samar, dan dari hasil observasi baru dapat dirumuskan lebih rinci (Salim, 2007). Penelitian akan dilakukan melalui dua tahapan, yaitu analisa citra digital untuk mengetahui model kondisi lingkungan di lokasi penelitian, dan analisa kondisi faktual secara in situ di lokasi penelitian. 2.
Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup dari pelaksanaan penelitian ini adalah karakterisitik lingkungan
perairan di wilayah perairan tenggara Pulau Bali kecuali di kawasan Nusa Penida yang sudah berkembang sebagai lokasi budidaya rumput laut. Di dalam penelitian ini akan dikaji tentang berbagai parameter pembatas bagi pertumbuhan rumput laut di beberapa pantai yang diindikasikan memiliki informasi kelayakan lokasi budidaya rumput laut dari hasil citra digital dan remote sensing. 3.
Sumber Data dan Variabel Penelitian Karakteristik kondisi lingkungan di daerah perairan tenggara pulau Bali diperoleh dari
data satelit Aqua Modis yang di proses dengan perangkat lunak Seadas. Data satelit Aqua Modis diambil selama satu tahun, dimana dipilih tahun yang relatif stabil, tidak dipengaruhi oleh fenomena El-Nino southern oscillation (ENSO) ataupun Indonesian Dipole Mode (IODM). Periode 10 tahun terakhir, tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun yang relatif stabil (Kertayasa et al, 2012; Suryaningsih et al, 2012), sehingga pada penelitian ini di ambil data pada periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009. Selain data analisa citra digital, dilakukan pula analisa kondisi faktual secara in situ di lapangan yang meliputi suhu, salinitas, pH dan kandungan oksigen terlarut.
4.
Lokasi Pengambilan Sampel Lokasi pengambilan sampel dilakukan di beberapa kawasan perairan di wilayah
perairan tenggara Pulau Bali antara lain: Perairan Pantai Semawang Sanur, Perairan Pantai Serangan, Perairan Pantai Tanjung, Perairan Pantai Geger Nusa Dua, Perairan Pantai Kutuh Kuta Selatan, Perairan Pantai Padang Bai, dan Perairan Pantai Sengkidu Karangasem. 16
5.
Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan melalui pengumpulan langsung di lapangan (in situ).
Sampel yang diambil untuk data kualitas air meliputi DO, pH, Suhu dan Salinitas di beberapa lokasi perairan yang telah direkomendasikan melalui hasil analisa citra digital dan remote sensing.
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Citra Digital dan Remote Sensing Kondisi Lingkungan Perairan Tenggara Pulau Bali a. Karakteristik Bulanan dan Musiman Klorofil-a di PerairanTenggara Bali Karakteristik bulanan dan musiman klorofil-a di daerah Tenggara perairan pulau Bali diperoleh dari data satelit Aqua Modis yang di proses dengan perangkat lunak Seadas. Data satelit Aqua Modis diambil selama satu tahun, dimana dipilih tahun yang relatif stabil, tidak dipengaruhi oleh fenomena El-Nino southern oscillation (ENSO) ataupun Indonesian Dipole Mode (IODM). Periode 10 tahun terakhir, tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun yang relatif stabil (Kertayasa et al, 2012; Suryaningsih et al, 2012), sehingga pada penelitian ini di ambil data pada periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009. Karakteristik Bulanan Klorofil-a Klorofil-a di perairan tenggara Bali memiliki karakteristik yang berbeda setiap bulannya. Karakteristik tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi iklim di atas perairan. Karakteristik bulanan klorofil-a di tenggara Bali dapat dilihat melalui data satelit Modis seperti terlihat pada Gambar.1. Secara umum konsentrasi klorofil-a terlihat tinggi sepanjang bulan pada daerah perairan Gianyar sampai dengan Sanur menuju perairan nusa penida sampai dengan sekitar perairan kaki Pulau Bali. Konsentrasi klorofil-a pada saat musim hujan, yaitu pada bulan Desember sampai dengan maret tidak dapat terlihat dikarenakan tertutup oleh awan. September 2008
Agustus 2008 Bali
Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
November 2008
Oktober 2008
Bali
Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
18
Desember 2008
Januari 2009
Bali
Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
Februari 2009 Bali
Maret 2009 Bali
Nusa Penida
April 2009 Bali
Nusa Penida
Mei 2009 Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
Juli 2009
Juni 2009 Bali
Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
Gambar 1. Karakteristik Bulanan Klorofil-a Karakteristik Musiman Klorofil-a Karakteristik klorofil-a jika dilihat melalui variasi musiman, yaitu pada musim hujan (Oktober-Maret) dan musim kemarau (April-September) dapat dilihat pada Gambar 2. Secara umum konsentrasi klorofil-a di daerah perairan tenggara Bali lebih tinggi pada saat musim kemarau di bandingkan dengan musim hujan, terutama di daerah perairan Nusa Penida, sepanjang perairan Kabupaten Karangasem, dan perairan Kabupaten Gianyar sampai dengan 19
kaki Pulau Bali. Namun demikian, daerah perairan Kabupaten Gianyar sampai dengan kaki pulau Bali memiliki konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi di musim hujan. Konsentrasi klorofil-a pada saat puncak musim hujan (Desember-Januari-Februari [DJF]) dan puncak musim kemarau (Juni-Juli-Agustus [JJA]) dapat dilihat pada Gambar 3. Pada gambar tersebut juga memperlihatkan karakteristik yang sama dengan karakteristik sebelumnya (saat musim hujan dan kemarau). Musim Hujan Bali
Musim Kemarau Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
Musim Kemarau
Gambar 2. Karakteristik Musiman Klorofil-a DJF Bali
JJA Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
Gambar 3. Karakteristik Klorofil-a (JJA dan DJF) Variabilitas Klorofil di Tenggara Bali Variabilitas klorofil-a ini diperoleh dengan meratakan klorofil-a di wilayah Tenggara Bali yaitu pada 8,90 LS – 8,60 LS dan 115,20 BT – 115,70 BT, sehingga diperolehlah satu data setiap bulannya. Dari data yang diperoleh dibuatlah grafik seperti pada Gambar 4:
Gambar 4. Variabilitas Klorofil di Tenggara Bali
20
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah klorofil di perairan tenggara Bali memiliki rentang dari 0,25 hingga 2,5 mg/m3. Dari grafik di atas terlihat juga bahwa terjadi peningkatan jumlah klorofil yang sangat tinggi yaitu pada bulan November 2008 dan pada bulan April 2009. b. Karakteristik Bulanan dan Musiman Suhu Permukaan Laut (SPL) Tenggara Bali Karakteristik bulanan dan musiman dari suhu permukaan laut (SPL) di daerah Tenggara Bali
diperoleh dengan menggunakan Seadas. Dari karakteristik-karakteristik
tersebut dapat dilihat SPL yang terdapat dipermukaan laut. Semakin mendekati warna merah maka wilayah tersebut memiliki SPL yang tinggi, sedangkan jika berwarna mendekati biru maka daeraah tersebut memiliki SPL yang rendah. Karakteristik Bulanan Suhu Permukaan Laut (SPL) SPL perairan tenggara Bali memiliki karakteristik yang berbeda setiap bulannya. Seperti halnya klorofil-a, karakteristik SPL tersebut juga sangat dipengaruhi oleh perubahan kondisi iklim di atas perairan. Karakteristik bulanan SPL di tenggara Bali ini, dapat dilihat melalui data satelit Modis seperti terlihat pada Gambar 5. Secara umum SPL tenggara Bali terlihat cukup tinggi sepanjang bulan, hal ini dapat dilihat melalui warna dari visualisasi sebagian besar mendekati merah. Namun SPL akan sangat tinggi pada saat terjadinya musim hujan yaitu pada bulan Oktober sampai dengan Maret dibandingkan pada saat terjadi musim kemarau yaitu pada bulan April sampai September. SPL pada bulan Desember sampai dengan Februari tidak dapat terlihat dikarenakan tertutup oleh awan yang biasanya terjadi pada musim hujan. September 2008
Agustus 2008 Bali
Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
Oktober 2008
November 2008
Bali
Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
21
Desember 2008
Januari 2009
Bali
Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
Februari 2009
Maret 2009
Bali
Bali
Nusa Penida
April 2009
Nusa Penida
Mei 2009
Bali
Bali
Nusa Penida
Juni 2009
Nusa Penida
Juli 2009
Bali
Bali
Nusa Penida
Nusa Penida
Gambar 5. Karakteristik SPL Bulanan Karakteristik Musiman Suhu Permukaan Laut Untuk melihat karakteristik SPL musiman dari perairan tenggara Bali, dilakukan perataan klorofil-a yaitu dari bulan Oktober-Maret (Musim Hujan), April-September (Musim Kemarau), Juni-Agustus (merupakan puncak musim kemarau), dan Desember-Januari 22
(merupakan puncak musim hujan). Berikut ini adalah hasil visualisasi karakteristik SPL musiman: Musim Kemarau Bali
Musim Hujan Bali
Nusa Penida Nusa Penida
Gambar 6. Karakteristik SPL Musiman Secara umum SPL tenggara Bali lebih tinggi pada saat musim hujan daripada saat musim kemarau seperti dijelaskan sebelumnya. Sama halnya dengan visualisasi JJA (merupakan puncak musim kemarau) dan DJF(merupakan puncak musim hujan), dimana pada bulan-bulan JJA, SPL akan lebih rendah dari DJF , hal ini dapat dilihat dari Gambar 7. JJA Bali
DJF Bali
Nusa Penida Nusa Penida
Gambar 7. Karakteristik SPL JJA dan DJF Variabilitas Suhu Permukaan Laut di Tenggara Bali Variabilitas SPL ini diperoleh dengan meratakan SPL di wilayah Tenggara Bali yaitu pada 8,90 LS – 8,60 LS dan 115,20 BT – 115,70 BT, sehingga diperolehlah satu data setiap bulannya. Dari data yang diperoleh dibuatlah grafik seperti pada Gambar 8:
Gambar 8. Variabilitas Suhu Permukaan Laut di Tenggara Bali 23
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa jumlah SPL di perairan tenggara Bali memiliki rentang dari 250 C hingga 310 C. Dari grafik di atas terlihat juga bahwa SPL di perairan tenggara Bali cukup tinggi dan SPL tertinggi terjadi pada bulan Maret 2009. c. Arus Pasang Surut di Perairan Tenggara Bali Untuk memperoleh gambaran umum tentang pola arus di perairan tenggara Bali, pada penelitian ini di gunakan model numerik 3 dimensi Finite Volume Coastal Ocean Model (FVCOM) yang di kembangkan oleh Chen et al (2006). Pemodelan numerik pada penelitian ini digunakan 4 komponen pasang surat di batas terbuka, yaitu komponen semidiurnal (M2 dan S2) dan komponen diurnal (O1 dan K1). Dari perhitungan numeric didapatkan pola arus pasang surut seperti terlihat pada Gambar 9. Arus pasang surut yang mengarah ke Utara di awali dari perambatan arus kearah timur di wilayah utara Nusa Penida dan mengalir sepanjang tenggara Bali. Arus pasut arah utara terkuat dapat mencapai 4 m/s di antara Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok serta mencapai 2,5 m/s di wilayah perairan selat badung. Sedangkan Arus pasang surut yang mengarah ke selatan dimulai dari bagian tengah Selat Lombok menuju celah antara Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok serta mengarah ke selat Badung. Arus pasang surut pada kondisi ini mengalir disepanjang tenggara bali. Arus pasut yang mengarah ke selatan dapat mencapai 4, m/s di wilayah perairan antara Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok serta mencapai 3 m/s di perairan selat Badung.
Gambar 9. Pola Arus Pasang Surut, Arus Pasang surut menuju ke utara (Kiri) dan mengarah ke selatan (Kanan) 4.1.2 Gambaran Faktual Kondisi Lingkungan Perairan Tenggara Pulau Bali secara in situ b. Perbandingan Kualitas Air pada masing-masing titik pengamatan Pantai Semawang Berdasarkan pengukuran kualitas air secara in situ di lokasi penelitian didapat hasil yang sangat bervariatif pada variable suhu, pH, DO dan salinitas air. Di titik pengamatan 24
pertama, yaitu Pantai Semawang suhu yang berhasil diukur pada tiga stasiun pengamatan tercatat masing-masing sebesar 27oC, nilai salinitas tercatat pada masing-masing stasiun sebesar 29,7 ppt. Nilai pH di Pantai Semawang Sanur pada titik pertama sebesar 9, pada titik kedua sebesar 8, dan pada titik ketiga sebesar 8, dan Nilai DO (Dissolved Oxygen) di Pantai Semawang Sanur pada titik pertama sebesar 5,11 mg/L, pada titik kedua sebesar 5,35 mg/L, dan pada titik ketiga sebesar 5,43 mg/L. Kondisi perairan Pantai Semawang Sanur ini yang memiliki dasar perairan berupa pasir kasar yang bercampur dengan pecahan karang menunjukkan adanya pergerakan air yang baik, sehingga cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi perairan di pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup. Pantai Pulau Serangan Hasil pengukuran kualitas air di kawasan Pantai Pulau Serangan didapatkan nilai suhu pada masing-masing stasiun sebesar 27oC, dan Nilai salinitas masing-masing sebesar 29 ppt. Nilai pH pada masing-masing stasiun menunjukkan keseragaman nilai yaitu pH=7. Pada pengkuran kandungan oksigen terlarut, didapatkan nilai yang bervariatif pada masing-masing stasiun pengamatan, yaitu pada titik pertama sebesar 3,07 mg/L, pada titik kedua sebesar 3,56 mg/L, dan pada titik ketiga sebesar 4,33 mg/L. Kondisi perairan Pantai Serangan ini memiliki dasar perairan berupa pasir putih kasar yang bercampur dengan pecahan karang menunjukkan adanya pergerakan air yang baik, sehingga cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi perairan di pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup Pantai Tanjung Tengkulung Hasil pengamatan dan pengukuran kualitas air pada titik ketiga, yaitu Pantai Tanjung Tengkulung memperlihatkan hasil suhu sebesar 28oC, salinitas sebesar 29 ppt dan pH 8. Selain itu, hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut menunjukkan hasil yang sangat bervariatif, yaitu pada titik pertama sebesar 5,91 mg/L, pada titik kedua sebesar 5,76 mg/L, dan pada titik ketiga sebesar 6,32 mg/L. Kondisi perairan Pantai Tanjung yang memiliki dasar perairan berupa pasir kasar yang bercampur dengan pecahan karang menunjukkan adanya pergerakan air yang baik, sehingga cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi perairan di pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup. Pantai Geger Nusa Dua Berdasarkan hasil pengamatan di titik pengamatan keempat, yaitu Pantai Geger Nusa Dua berhasil didapatkan data suhu, salinitas, pH dan kandungan oksigen terlarut. Suhu yang tercatat di lokasi pengamatan ini dari ketiga stasiun diketahui sebesar 28oC dan nilai pH 8. Nilai salinitas pada lokasi ini adalah 30 ppt. Pada pengamatan nilai kandungan oksigen terlarut di Pantai Geger diketahui pada stasiun pertama sebesar 3,53 mg/L, pada stasiun kedua sebesar 4,33 mg/L, dan pada stasiun ketiga sebesar 3,75 mg/L. Kondisi perairan Pantai Geger 25
ini yang memiliki dasar perairan berupa pasir kasar yang bercampur dengan pecahan karang menyebabkan lingkungan ini cocok bagi pengembangan rumput laut. Kondisi perairan di pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup. Pantai Kutuh Sawangan Hasil pengamatan pada titik kelima, yaitu Pantai Kutuh Sawangan diketahui nilai dari kualitas air di lokasi tersebut. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa nilai suhu pada titik pertama sebesar 29oC, pada titik kedua 28oC, dan pada titik ketiga 29oC. Selain itu diketahui pula nilai salinitas di perairan pantai tersebut, yaitu sebesar 30 ppt di masing-masing stasiun pengamatan. Pada pengamatan pH perairan diketahui bahwa pada masing-masing stasiun pengamatan memiliki pH 8, dan kandungan oksigen terlarut sebesar 6,27 mg/L pada stasiun pertama, pada stasiun kedua sebesar 6,54 mg/L, dan pada stasiun ketiga sebesar 6,89 mg/L. Kondisi perairan Pantai Kutuh Sawangan yang memiliki dasar perairan berupa pasir kasar yang bercampur dengan pecahan karang menunjukkan adanya pergerakan air yang baik, sehingga cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi perairan di pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup. Pantai Padang Bai, Karang Asem Hasil pengamatan pada titik keenam, yaitu Pantai Padang Bai, Karangasem diketahui nilai dari kualitas air di lokasi tersebut. Pengamatan suhu di lokasi tersebut menunjukkan nilai sebesar 27oC pada masing-masing stasiun pengamatan. Pada pengamatan salinitas diketahui nilai salinitas sebesar 30 ppt di masing-masing stasiun pengamatan. Pengamatan pada pH perairan di lokasi penelitian menunjukkan nilai pH 8 di masing-masing stasiun pengamatan, sedangkan pada pengamatan kandungan oksigen terlarut menunjukkan hasil yang beragam yaitu Padangbai pada titik pertama sebesar 5,16 mg/L, pada titik kedua sebesar 5,68 mg/L, dan pada titik ketiga sebesar 5,88 mg/L. Kondisi perairan Pantai Padangbai ini yang memiliki dasar perairan berupa pasir kasar yang bercampur dengan pecahan karang menunjukkan adanya pergerakan air yang baik, sehingga cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi perairan di pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup. Pantai Sengkidu, Karang Asem Hasil pengamatan pada titik ketujuh yaitu di Pantai Sengkidu Karang Asem, diketahui nilai kualitas air yang bervariatif. Pada pengamatan suhu diketahui nilai sebesar 28oC pada masing-masing stasiun pengamatan. Pada pengamatan salinitas perairan diketahui sebesar 30 ppt pada masing-masing stasiun pengamatan. Pada pengamatan pH perairan diketahui nilai pH 8 pada masing-masing stasiun pengamatan, dan nilai kandungan oksigen terlarut pada titik pertama sebesar 6,67 mg/L, pada titik kedua sebesar 6,54 mg/L, dan pada titik ketiga sebesar 6,45 mg/L. Kondisi perairan Pantai Sengkidu memiliki dasar perairan berupa pasir kasar yang 26
bercampur dengan pecahan karang menunjukkan adanya pergerakan air yang baik, sehingga cocok untuk budidaya rumput laut. Kondisi perairan di pantai ini pun relatif jernih dan memiliki tingkat kecerahan yang cukup. c.
Perbandingan masing-masing variable kualitas air pada beberapa titik pengamatan Berdasarkan pengamatan beberapa variable kualitas air pada beberapa titik
pengamatan, dapat diketahui gambaran perbandingan kualitas air sebagai informasi awal kondisi perairan di masing-masing titik pengamatan tersebut. Pengamatan suhu pada beberapa titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10, pengamatan salinitas pada beberapa titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11, pengamatan pH pada beberapa titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 12, dan pengamatan kandungan oksigen terlarut pada beberapa titik pengamatan dapat dilihat pada Gambar 13. Perbandingan variable kualitas air pada masing-masing titik pengamatan tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan rekomendasi lokasi yang paling sesuai untuk kegiatan budidaya rumput laut.
Gambar 10. Hasil pengukuran suhu pada masing-masing titik pengamatan
Gambar 11. Hasil pengukuran salinitas pada masing-masing titik pengamatan 27
Gambar 12. Hasil pengukuran pH pada masing-masing titik pengamatan
Gambar 13. Hasil pengukuran DO pada masing-masing titik pengamatan 4.2
Pembahasan Suhu memiliki keterkaitan erat dan sangat mempengaruhi kehidupan rumput laut.
Suhu air dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologis rumput laut seperti fotosintesa,
respirasi,
metabolisme,
pertumbuhan
dan
reproduksi
(Dawes,
1981).
Perkembangan tetraspora pada salah satu jenis rumput laut yaitu Polysiphonia berlangsung dengan baik pada kisaran suhu 25-30oC dan sebaliknya pertumbuhan akan terhambat bila temperatur rendah dan intensitas cahaya tinggi (Dahuri, 2003). Sedangkan menurut Kadi dan Atmadja (1988) suhu yang dikehendaki pada budidaya Eucheuma berkisar antara 27-30°C. Tingginya suhu perairan memiliki dampak yang kurang baik bagi pertumbuhan rumput laut, sesuai dengan pernyataan Haslam (2005), bahwa suhu yang tinggi dapat mempengaruhi aktivitas proses biokimia dan pertumbuhan thallus. Hal ini disebabkan peningkatan suhu dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas O2, CO2, N2 dan CH4 dalam air. Berdasarkan analisa citra digital, karakter suhu permukaan air laut menunjukkan kisaran 25-31oC. Pada 28
musim hujan, suhu permukaan air laut cenderung menunjukkan kisaran suhu sebesar 25oC dan pada musim kemarau suhu permukaan air laut cenderung menunjukkan kisaran suhu sebesar 27oC. Berdasarkan hal tersebut diatas, semua titik pengamatan (Pantai Semawang, Pantai Pulau Serangan, Pantai Tanjung Tengkulung, Pantai Geger, Pantai Kutuh, Pantai Padangbai, dan Pantai Sengkidu) memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan optimal dari rumput laut dimana suhu di semua titik pengamatan menunjukkan kisaran 27-28oC, dan berdasarkan analisa citra digital kisaran suhu rata-rata di perairan tenggara Pulau Bali menunjukkan kisaran 25-31oC. Parameter lain yang sangat berperan dalam pertumbuhan rumput laut adalah salinitas perairan. Salinitas merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan rumput laut. Mekanisme osmoregulasi pada rumput laut dapat terjadi dengan menggunakan asam amino atau jenisjenis karbohidrat. Kisaran salinitas yang rendah dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Doty (1985), menyatakan bahwa salinitas yang dikehendaki oleh rumput laut Eucheuma yaitu berkisar antara 29-34 ppt. Sedangkan Kadi dan Atmadja (1988) menyatakan bahwa kisaran salinitas untuk pertumbuhan rumput laut yaitu 30-34 ppt. Pada beberapa jenis rumput laut, salah satunya Gracillaria memiliki toleransi terhadap kisaran salinitas yang tinggi (Luning, 1990), akan tetapi pertumbuhan optimal hanya dapat terjadi pada salinitas 30 ppt. Selain itu, fungsi reproduksi berupa pelepasan spora Gracilaria sp biasanya berlangsung pada salinitas 10-40 ppt (Susanto et al, 1996). Berdasarkan berbagai pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perairan tenggara pulau Bali memiliki kisaran salinitas yang cukup tinggi dengan kisaran 29-30 ppt. Walaupun menurut beberapa pakar, kisaran salinitas tersebut merupakan batas rendah dari kondisi optimal pertumbuhan rumput laut, tetapi masih dapat dikatakan layak untuk dijadikan sebagai lokasi budidaya rumput laut seperti yang dinyatakan oleh Susanto et al (1996), bahwa kisaran salinitas yang dapat ditelorir rumput laut adalah 40 ppt. Tingkat keasaman (pH) perairan juga memiliki peran yang cukup signifikan dalam pertumbuhan rumput laut. Menurut Salim (1986), kondisi perairan yang normal memiliki kisaran pH antara 8,0-8,3, dan menurut Sediadi et al (2000), pH yang baik dan sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar antara 6-9. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian berhasi diketahui bahwa pH perairan di lokasi penelitian berkisar antara 7-9. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi yang diamati layak untuk dijadikan sebagai lahan budidaya rumput laut. Arus menjadi salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam optimalisasi pertumbuhan rumput laut, dimana faktor arus ini memainkan peranan penting dalam distribusi unsure hara sebagai sumber makanan bagi rumput laut (Mubarak, 1981). Pola arus yang bagus secara tidak langsung akan membawa cukup nutrient untuk rumput laut, dan dapat mencuci 29
kotoran-kotoran halus yang menempel pada thallus dari rumput laut. Akan tetapi, perlu diperhatikan juga kecepatan arus air laut yang ada dalam kaitannya dengan perlindungan eksistensi rumput laut dari arus yang kuat. Berdasarkan analisa citra digital, arus pasang surut yang mengarah ke utara di awali dari perambatan arus kearah timur di wilayah utara Nusa Penida dan mengalir sepanjang tenggara Bali. Arus pasut arah utara terkuat dapat mencapai 4 m/s di antara pulau nusa penida dan pulau Lombok serta mencapai 2,5 m/s di wilayah perairan selat badung. Sedangkan Arus pasang surut yang mengarah ke selatan dimulai dari bagian tengah Selat Lombok menuju celah antara Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok serta mengarah ke selat Badung. Arus pasang surut pada kondisi ini mengalir disepanjang tenggara bali . Arus pasut yang mengarah ke selatan dapat mencapai 4, m/s di wilayah perairan antara Pulau Nusa Penida dan Pulau Lombok serta mencapai 3 m/s di perairan selat Badung. Hal ini menunjukkan bahwa Selat Badung memiliki kecepatan arus yang cukup kuat dan mampu memenuhi kebutuhan tumbuh rumput laut. Dibandingkan wilayah perairan laut di timur, perairan laut tenggara relatif lebih kecil sehingga mampu melindungi eksistensi rumput laut. Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan organisme untuk proses respirasi. Oksigen terlarut dalam air umumnya dari difusi oksigen, arus atau aliran air melalui air hujan dan fotosintesis. Kadar oksigen terlarut bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa kandungan oksigen terlarut di semua titik pengamatan berkisar antara 3,07-6,89. Sebagian besar titik pengamatan memiliki kadar kandungan oksigen terlarut lebih dari 4 mg/L, tetapi pada beberapa titik memiliki kandungan oksigen terlarut kurang dari 4 mg/L yaitu pada Pantai Serangan dan Pantai Geger Nusa Dua. Kandungan oksigen terlarut lebih rendah dari 4 mg/L dapat mengindikasikan perairan tersebut mengalami gangguan (kekurangan oksigen) akibat kenaikan suhu pada siang hari, malam hari akibat respirasi organisme air juga disebabkan oleh adanya lapisan minyak di atas permukaan air laut dan masuknya limbah organik yang mudah terlarut. Pernyataan tersebut di atas didukung juga oleh
Standar
Baku
Mutu
Air
Laut
untuk
Biota
Laut
(Budidaya
Perikanan)
Kep02/MENKLH/I/88 yang diperbolehkan lebih besar dari 4 mg/L. Berdasarkan baku mutu kualitas air yang disyaratkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, maka lokasi yang tidak direkomendasikan untuk budidaya rumput laut adalah Pantai Serangan dan Pantai Geger Nusa Dua. Pantai Serangan diduga memiliki tingkat cemaran yang cukup tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya karena merupakan daerah lintasan kapal dari Pelabuhan Tanjung Benoa. Diduga cemaran minyak yang berasal dari kapal-kapal yang melintas menyebabkan 30
rendahnya difusi oksigen dari udara ke dalam air. Saat minyak terekspos ke lingkungan laut, sifat-sifat fisik, kimia, dan biologis minyak akan segera berubah (Mangkoedihardjo, 2005). Lapisan minyak di permukaan air berpengaruh pada penetrasi sinar ke dalam kolom air, sehingga nilai kecerahan perairan menurun akibat dipantulkannya sebagian sinar. Hal ini diduga akan berakibat secara tidak langsung pada aktifitas fotosintesis fitoplankton, karena lapisan minyak menghalangi sinar yang dibutuhkan untuk melakukan fotosintesis. Pada berbagai kondisi tercemar, lapisan minyak akan menutupi permukaan air laut dan menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Hal ini menyebabkan menurunnya nilai laju fotosintesis fitoplankton sehingga dapat menyebabkan turunnya kandungan oksigen terlarut di dalam perairan (Setiapermana et al, 1995). Selain itu, cemaran partikel minyak ke dalam perairan juga dapat menghambat proses difusi oksigen bebas ke permukaan sehingga kandungan oksigen terlarut berkurang secara drastis (Setyono dan Soetarto, 2008). Pantai Geger Nusa Dua memiliki kandungan Oksigen yang rendah dimungkinkan karena adanya cemaran bahan organik yang cukup tinggi di lokasi tersebut. Daerah Nusa Dua telah dikenal lama sebagai daerah wisata dengan jumlah hotel yang sangat banyak. Output dari hotel-hotel tersebut berupa limbah bahan organik menyebabkan akumulasi cemaran bahan organik yang cukup tinggi di wilayah perairan Nusa Dua. Keadaan perairan dengan kadar oksigen yang sangat rendah berbahaya bagi organisme akuatik. Semakin rendah kadar oksigen terlarut, semakin tinggi toksisitasnya (daya racun) (Effendi, 2003). Selain itu, Wetzel (1983) menjelaskan bahwa di daerah dimana terdapat akumulasi bahan organik yang sangat tinggi akan menyebabkan metabolisme yang tinggi dengan kebutuhan oksigen yang sangat banyak. Akibatnya hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya kandungan oksigen terlarut di dalam perairan. Dengan demikian lokasi yang direkomendasikan untuk dapat digunakan sebagai lokasi budidaya rumput laut adalah semua lokasi penelitian kecuali Pantai Geger Nusa Dua dan Pantai Serangan. Pantai Semawang, Pantai Tanjung Tengkulung, Pantai Kutuh, Pantai Padangbai dan Pantai Sengkidu merupakan lokasi yang layak untuk dijadikan sebagai lokasi budidaya dan pengembangan rumput laut di kawasan perairan Tenggara Pulau Bali.
31
KESIMPULAN DAN SARAN 4.3 Kesimpulan Berdasarkan pengamatan dan analisa hasil pemetaan potensi kawasan budidaya rumput laut di perairan tenggara Pulau Bali ini dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain: 1.
Karakteristik lingkungan perairan tenggara Pulau Bali memiliki beberapa perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau.
2.
Berdasarkan analisa citra digital diketahui bahwa jumlah klorofil di perairan tenggara Bali memiliki rentang dari 0,25 hingga 2,5 mg/m3, memiliki rentang suhu dari 250 C hingga 310 C, dan memiliki kecepatan rata-rata arus 2,5 m/s melalui arus pasut utara dan 3 m/s melalui arus pasut selatan.
3.
Berdasarkan analisa hasil factual secara in situ di beberapa lokasi penelitian diketahui bahwa perairan tenggara Pulau Bali memiliki kisaran suhu 29-30oC, salinitas 29-30 ppt, pH 7-9, dan kandungan oksigen terlarut 3-7 mg/L.
4.
Berdasarkan analisa citra digital (remote sensing) dan kondisi factual secara in situ di lapangan dapat direkomendasikan bahwa wilayah perairan yang layak sebagai lokasi budidaya rumput laut adalah Perairan Pantai Tanjung Tengkulung, Perairan Pantai Kutuh, Perairan Pantai Padang Bai Karangasem, dan Perairan Pantai Sengkidu Karangasem.
5.
Wilayah perairan yang tidak direkomendasikan sebagai lokasi budidaya rumput laut antara lain Perairan Pantai Sanur, Perairan Pantai Serangan, dan Perairan Pantai Geger Nusa Dua. Perairan Pantai Sanur dan Pantai Geger Nusa Dua kurang direkomendasikan karena masuk dalam wilayah sentra pariwisata, selain itu kondisi kandungan oksigen terlarut di wilayah tersebut berada di luar batas toleransi pertumbuhan rumput laut. Perairan Pantai Serangan kurang direkomendasikan karena terdapat pelabuhan di lokasi tersebut selain rendahnya kandungan oksigen terlarut sebagai faktor pembatas pertumbuhan rumput laut.
4.4 Saran Mengacu dari hasil penelitian tentang pemetaan kawasan budidaya rumput laut di Perairan Tenggara Pulau Bali, maka sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan penelitian lebih detail tentang jenis rumput laut yang paling layak untuk dibudidayakan di kawasan tersebut.
32
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto dan Liviawati, 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bharata: Jakarta Anggadiredja, J, T., 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. Aslan, L. M., 2006. Budidaya Rumput Laut. Kanisius . Yogyakarta. Anugarah, 1990. Potensi dan Pengembangan Budidaya Perairan di Indonesia. Lembaga penelitian Indonesia. Jakarta. Chen, C., Beardsley, R. C. and Cowles, G.,(2006). An unstructured grid,finite-volume coastal ocean model: FVCOM user manual, second edition, 2006 Daryanto, A., 2007. Model Kelaster Pacu Daya Saing Industri Rumput Laut. Trobos: 6 Juni 2010. Dawes CJ. 1981. Marine Botany. New York: John Wiley dan Sons, University of South Florida. 268 p Depertemen kelautan dan perikanan, 2003. Profil Rumput Laut Indonesia. Indonesia Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2009. Produksi Rumput Laut di Bali turusn 15,2%. http://www.kabarbisnis.com/read/282238. Ditjenkan Budidaya 2005. Profil Rumput Laut Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Depertemen pertanian, 1992. Budidaya Beberapa Hasil Rumput Laut. Departemen Pertanian. Jakarta. Doty MS. 1985. Eucheuma alvarezii sp.nov (Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia. dalam: Abbot IA, Norris JN (editors). Taxonomy of Economic Seaweeds. California Sea Grant College Program. p 37 – 45 Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Haslam, S.M. 1995. River Pollution and Ecological Perspective. John Willey and Sons. Chichester, UK. 253 pp. I Made Kertayasa, I Gede Hendrawan, I Ketut Sukarasa, IGA Widagda, 2012, Pengaruh Indian Ocean Dipole Mode (IODM) Terhadap Intensitas Hujan di Benua Maritim Indonesia (BMI) Barat, Jurnal Fisika UNUD, in press Indriani, H., dan Sumiarsih, E., 2003. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut (cetakan 7) Penebar Swadaya, Jakarta. Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput Laut Jenis Algae. Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Jakarta: Pusat 33
penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 101 hal Lüning, Klaus. 1990. Seaweeds: Their Environment, Biogeography and Ecophysiology. John Wiley and Son. New York Mangkoedihardjo, S. 2005. Seleksi Teknologi Pemulihan untuk Ekosistem Laut Tercemar Minyak (Remediation Technologies Selection for Oil-Polluted Marine Ecosystem). Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan ITS. Surabaya: 1-9. Mubarak. 1981. Budidaya Rumput Laut. Materi Lokakarya Budidaya Laut di Denpasar. Dirjen Perikanan dan UNDP/FAO. 12 hal Mulatsih, S.N dan Dharmayanti, N. 2011. Profil rumput laut Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Vol. I tahun 2011. Nazam, M. P. dan A. Surahman, 2004. Dampak Pengkajian Budidaya Rumput Laut di Nusa Tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Ni Luh Gede Desy Suryaningsih, I Gede Hendrawan, I Ketut Sukarasa, Ida Bagus Alit Paramarta, 2012, Pengaruh Enso terhadap Variabilitas Iklim di Sulawesi dengan menggunakan Metode Transformasi Wavelet, Jurnal Fisika UNUD, in press Poncomulyo, Herti Maryani, dan Lusi Kristiani,. 2006. Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Agro Media. Jakarta Salim, 1986. Baku Mutu Lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. 25 hal. Salim, A., 2007.Penelitian Deskriptif Interpretatif. Direktorat Profesi Pendidik Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. Santosa, G.W. 2003. Budidaya Rumput Laut di Tambak. Program Community College. Industri kelautan dan perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang. Sediadi dan Budihardjo., 2000. Rumput Laut Komuditas Unggulan. Grasindo Jakarta. Setiapermana, 1995. Efek Minyak Mentah ATTAKA 39,60 API terhadap Parameter Fotosintetik Fitoplankton dalam Suatu Mesokosm. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia NO. 28 : 37 – 63 Setyono, P dan E.S. Soetarto. 2008. Biomonitoring Degradasi Ekosistem Akibat Limbah CPO di Muara Sungai Mentaya Kalimantan Tengah dengan Metode Elektromorf Isozim Esterase. Biodiversitas. Vol 9 (3): 232-236. Soenardjo N., 2003. Membudidayakan Rumput laut, Balai Pustaka Semarang. Suptijah, 2002. Rumput Laut. http:// www.rumput laut /com. Institut pertanian Bogor. Bogor. Susanto, A. B., Suryono dan R. Pramesti. 1996. Penelitian Pendahuluan Pelepasan Tetraspora Gracilaria sp. dari Perairan Bondo Jepara dalam Skala Laboratorium. Balai Budidaya Air Payau Jepara. Hal: 36 – 41. 34
Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Second Edition. Saunders College Publishing, Toronto, Canada Winarno, F.G., 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 112 Hal. Winarno, 1996. Teknik Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
35