Work Plan
POST TRAUMATIC STRESS DISORDER
Pembimbing: dr.Malawati, Sp. KJ
Disusun Oleh : T. Okky Radhinal Akhyar 0907101010075
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA BLUD RUMAH SAKIT JIWA BANDA ACEH TAHUN 2014 Definisi 1
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik. Peristiwa traumatik adalah peristiwa yang mengancam nyawa seperti pertempuran militer, bencana alam, insiden teroris, kecelakaan yang serius, atau penyerangan fisik/seksual pada orang dewasa atau pada anakanak.1,7
Epidemiologi Statistik pada anak-anak dan remaja menunjukkan bahwa hampir 40% muncul paling tidak satu peristiwa traumatik, yang berkembang menjadi PTSD pada hampir 15% anak perempuan dan 6% pada anak laki-laki. Hampir 100% dari anak-anak yang menyaksikan orangtuanya dibunuh atau mengalami kekerasan seksual atau kekerasan rumah tangga mengarah untuk berkembang menjadi PTSD, dan lebih dari sepertiga anak muda yang terpapar pada kekerasan akan mengalami gangguan ini.2,3 Etiologi A. Stresor Menurut definisinya, stressor adalah faktor penyebab utama dalam perkembangan gangguan stres pasca traumatik. Tetapi tidak setiap orang mengalami gangguan stres pasca traumatik setelah suatu peristiwa traumatik; walaupun stressor diperlukan, stressor tidak cukup untuk menyebabkan gangguan. Klinisi harus mempertimbangkan juga factor biologis individual yang telah ada sebelumnya, faktor psikososial sebelumnya, dan peristiwa yang terjadi setelah trauma.5 Penelitian terakhir pada gangguan stres pasca trauma telah sangat menekankan pada respons subjektif seseorang terhadap trauma ketimbang beratnya stresor itu sendiri. Walaupun gejala gangguan stres pasca traumatik pernah dianggap secara langsung sebanding dengan beratnya stressor, penelitian empiris telah membuktikan sebliknya. Sebagai akibatnya, consensus yang tumbuh adalah bahwa gangguan memiliki pengaruh pada arti subjektif stresor bagi pasien.5
2
Bahkan jika dihadapkan dengan trauma yang berat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala gangguan stres pascatraumatik. Demikian juga peristiwa yang tampaknya biasa atau kurang berbahaya bagi kebanyakan orang mungkin menyebabkan gangguan stress pasca traumatik pada beberapa orang karena arti subjektif dari peristiwa tersebut. Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi yang tampaknya memainkan peranan penting dalam menentukan apakah gangguan berkembang adalah: 1. Adanya trauma masa anak-anak. 2. Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial. 3. Sistem pendukung yang tidak adekuat. 4. Kerentanan kontitusional genetika pada penyakit psikiatrik. 5. Perubahan hidup penuh stres yang baru terjadi. 6. Persepsi lokus kontrol eksternal, bukannya internal. 7. Penggunaan alkohol yang baru.5 Penelitian psikodinamika terhadap orang yang dapat bertahan hidup dari trauma psikis yang parah telah menemukan aleksitimia, yaitu ketidak mampuan untuk mengidentifikasi atau mengungkapkan keadaan perasaan sebagai ciri yang umum. Jika trauma psikis terjadi pada anak-anak, biasanya dihasilkan perhentian perkembangan emosional. Jika trauma terjadi pada masa dewasa, regresi emosional seringkali terjadi. Orang yang selamat dari trauma biasanya tidak dapat menggunakan keadaan emosional internal sebagai tanda dan mungkin mengalami gejala psikosomatik. Mereka juga tidak mampu menenangkan dirinya jika dalam stres.5
B. Faktor Psikodinamika Model kognitif dari gangguan stres pascatrauma menyatakan bahwa orang yang terkena adalah tidak mampu untuk memproses atau merasionalisasikan trauma yang mencetuskan 3
gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak mengalami stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara bergantiganti.5 Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, malalui pembiasaan klasik, dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan.5 Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.5 C. Faktor Biologis Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan, dan sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamin, opiate-endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa system noradrenergik dan opiate endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal, adalah hiperaktif pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stress pascatraumatik.5 Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsivitas sistem saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peniggian kecepatan denyut jantung dan pembacaan 4
tekanan darah, dan arsitektur tidur yang abnormal. Bebrapa peneliti telah menyatakan adanya kemiripan antara gangguan stress pascatraumatik dan dua gangguan psikiatrik lain, gangguan depresif berat dan gangguan panik.5 Tanda dan Gejala Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu PTSD, yaitu: 1. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah, kilas balik yang biasanya disebabkan oleh hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik, mimpi buruk yang sering muncul mengenai trauma atau peristiwa yang berhubungan dengan trauma. 2. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang, orang-orang, dan pengalaman yang mengingatkan penderita pada trauma, kehilangan ketertarikan pada aktivitas yang disukai, memiliki masalah dengan mengingat peristiwa yang berbahaya. 3. Gejala hyperaurosal, termasuk masalah tidur, masalah dalam konsentrasi, iritabilitas, kemarahan,sulit mengingat sesuatu, peningkatan tendensi,
reaksi untuk terjaga dan
hypervigilance terhadap ancaman.3 Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala hyperaurosal harus ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh distress yang signifikan atau kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan.8
Diagnosis Berikut adalah kriteria diagnostic untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut DSMIV:
5
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat: 1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain. 2) Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau horror. Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi. B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut: 1) Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatan: pada anaka kecil, dapat menunjukkan permainan berulang dengan tema atau aspek trauma. 2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali. 3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma. 4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internak atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. 5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
6
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini: 1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. 2) Usaha untuk menghndari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma. 3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma. 4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna. 5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain. 6) Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta) 7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal) D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut: 1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur. 2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan. 3) Sulit berkonsentrasi. 4) Kewaspadaan berlebihan. 5) Respon kejut yang berlebihan. E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A, B, C, dan D) adalah lebih dari satu bulan.
7
F.
Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.5 Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik menurut PPDGJ
III (F 43.1) adalah sebagai berikut: 1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya. 2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpimimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks). 3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. 4. Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).6
Diagnosis banding Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selam trauma. Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek zat menghilang.5
8
Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental lain dengan mewancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguna buatan, dan berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dengan gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memilikiderajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperaurosal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura-pura.5 Tatalaksana Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan seperti relaksasi, teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pascatraumatik. Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll. Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresan golongan SSRI (penghambat selektif ambilan serotonin) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga imipramin 50-300mg/hr.11 Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini: 1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya. 2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini. 3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan. 9
4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.11 Prognosis Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.5 Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh baya. Kemungkinan, anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stres pascatraumatik. Pada umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik, kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parahnya.5
DAFTAR PUSTAKA 1. American Academy of Family Physicians, 2002. Post-traumatic Stress Disorder. American Academy of Family Physicians. Available from: 10
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/mentalhealth/anxiety/624.printvi ew.html 2. Chakraburtty, Amal, 2009. Post-Traumatic Stress Disorder.webMD. available from: http://www.webmd.com/mental-health/post-traumatic-stress-disorder 3. Edwards, R. D., 2010. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). MedicineNet. Available from: http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp? articlekey=12578&pf=3&page=1\ 4. Framingham, Jane, 2007. Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Psych Central. Available from: http://psychcentral.com/lib/2011/minnesota-multiphasicpersonality-inventory-mmpi/ 5. Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura Angkasa, Jakarta: 68-75. 6. Maslim, Rusdi, 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta: 79 7. Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2009. Post-traumatic Stress Disorder. Mayo Foundation for Medical Education and Research. Available from: http://www.mayoclinic.com/health/post-traumatic-stressdisorder/DS00246/METHOD=print 8. Mental Health America, 2007. Post-traumatic Stress Disorder. Mental Health America. Available from: http://mentalhealthamerica.net/index.cfm?objectid=C7DF91D3-13724D20-C8E6CFE1B56A38AB 9. Mu’tadin, Zainun, 2007. Gangguan Stress Pasca Trauma, Psikologi Indonesia. Available from: http://psiko-indonesia.blogspot.com/2007/01/gangguan-stress-pasca-trauma.html 10. National Institute of Mental Health. 2008. Post-traumatic Stress Disorder. National Institute of Mental Health. Available from:
11
http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-traumatic-stress-disorder-ptsd/what-ispost-traumatic-stress-disorder-or-ptsd.shtml 11. Utama, Hendra, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 254-264.
12
13