TUGAS KELOMPOK PERISTIWA EPIDEMIK (EPIDEMIOLOGI) TRAUMATIS DAN PTSD (POST-TROUMATIC STRESS DISORDER) Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling Kebencanaan dengan Dosen Pengampu : Dr. Imam Tadjri, M.Pd
Oleh: Kaslani
0105513041
Dewi Ekasari
0105513043
Giyono
0105513049
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING FAKULTAS PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa peperangan, pertengkaran, bencana alam, dan hal-hal lain semacamnya merupakan hal-hal yang selalu ada dalam kehidupan ini.Bagi anakanak, kejadian-kejadian tersebut belum bisa diterima sebagai suatu hal yang biasa. Bagi orang dewasa yang mentalnya tidak kuatpun akan memandang peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang membebani dan bisa menimbulkan stress baginya, apalagi bagi anak-anak. Termasuk di dalamnya kejadian ditinggal mati oleh orang tua atau orang yang paling dekat dengannya atau orang yang sangat dicintainya akan menyebabkan terjadinya trauma psikologis. Terdapat perbedaan antara peristiwa trauma dan PTSD dilihat melalui beberapa aspek. salah satunya yaitu perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Penelitian epidemiologi yang dilakukan oleh Breslau dalam jurnalnya (Vol 10: No. 3: 2009) telah melaporkan bahwa sebagian besar warga masyarakat di Amerika Serikat telah mengalami gangguan stres pasca trauma (PTSD) pada tingkat peristiwa traumatik, seperti yang didefinisikan dalam DSM-IV. Hanya sebagian kecil dari korban trauma akahirnya berkembang menjadi PTSD (<10%). Peningkatan terjadinya trauma karena adanya gangguan lain terjadinya eksposur terutama di antara para korban trauma dengan PTSD. Perempuan korban peristiwa traumatik berada pada risiko tinggi untuk PTSD dibandingkan korban laki-laki. Bukti langsung tentang penyebab perbedaan jenis kelamin dalam risiko bersyarat PTSD adalah tidak tersedia. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Vivia dll dalam jurnalnya (Vol 3, No.26: 2010) menemukan bahwa terdapat usia tingkat trauma yang dialami oleh individu yang mengacu pada jenis kelamis seseorang. Perbedaan resiko yang berkaitan dengan usia yang mengalami trauma yaitu kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan penelantaran, merupakan prediktor kuat dari PTSD yang dialami oleh remaja dan seorang dewasa awal.
2
Terjadinya kekerasan seksual merupakan prediktor awal pada peristiwa traumatik yang akan meningkatkan resiko dalam kehidupannya. Agar kita dapat memahami mengenai trauma dan PTSD maka dalam bab ini akan membahas mengenai epidemiologi traumatik dan PTSD. B. Rumusan Masalah Terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu: 1. Apa definisi dari peristiwa yang menimbulkan traumatis? 2. Bagaimana studi epidemiologi dari peristiwa yang menimbulkan traumatis dan PTSD? 3. Bagaimana epidemiologi PTSD? 4. Bagaimana kondisi kesehatan mental dan komordibitas apa yang ditimbulkan bagi penderita PTSD? C. Tujuan Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan makalah ini adalah: 1. Dapat mendefinisikan peristiwa yang menimbulkan traumatis. 2. Dapat memahami dan mengerti mengenai studi epidemiologi dari peristiwa yang menimbulkan traumatis dan PTSD. 3. Dapat memahami epidemiologi dari PTSD. 4. Dapat mengenal kondisi kesehatan mental dan komordibilitas pada individu yang mengalami PTSD. D. Manfaat Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk: 1. Memberikan pengetahuan mengenai definisi dari trauma dan PTSD. 2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai studi epidemiologi yang dilakukan diberbagai belahan dunia mengenai peristiwa trauma dan PTSD.
3
BAB II KAJIAN TEORI A. Definisi Peristiwa Yang Menimbulkan Traumatis a. Pengertian Trauma dan PTSD Pada saat seseorang individu mengalami peristiwa traumatik, maka beberapa individu dapat dimungkinkan untuk berkembang menjadi gangguan stres postraumatik yang sebelumnya telah memberi informasi mengenai peristiwa yang menimbulkan trauma dan hal tersebut dilihat secara umum. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tracie O Afifi, Gordon JG Asmundson, and Jitender Sareen dalam (Nutt, 2009: 12) banyak orang mengalami peristiwa traumatik dan stres setelah trauma dalam hidupnya. Peristiwa yang menimbulkan stres pasca traumatik menurut DSM (Diagnostik Manual Gangguan Mental) adalah peristiwa diluar jangkauan dari pengalaman hidup manusia, seperti kejadian luar biasa dan akan menimbulkan kesedihan dalam hidupnya (Nutt, 2009). Definisi mengenai peristiwa yang menimbulkan trauma dilihat dari kriteria diagnostik manual gangguan mental (DSM I) mengenai kriteria untuk seseorang yang mengalami PTSD maka akan terkena suatu peritiwa traumatik. DSM III mendefinisikan suatu peristiwa traumatik seperti sebuah kegiatan di luar jangkauan dari pengalaman manusia yang pernah dialami dan menyedihkan hal ini juga dialami siapapun. Sementara itu menurut penelitian dari Kelly M. Murray dalam Erfort (2004) menjelaskan bahwa seseorang akan sering menunjukkan mudah marah, kemarahan dan agresi, atau mungkin cukup dengan menunjukkan perilaku verbal mengenai peristiwa trauma dan yang mereka rasakan, sementara yang lain tidak ingin merasakan perasaan mereka atau tidak memperhatikannya. Seseorang yang mudah mengalami trauma dapat dengan berbagai gejalayang tercantum dalam DSM-IV-TR. Ini mungkin sebagian karena mereka tidak memiliki ketrampilan verbal atau kemampuan kognitif yang diperlukan untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, bayi, balita dan anak prasekolah dapat mengalami gejala-gejala kecemasan seperti kekhawatiran, kecemasan, pemisahan, dan takut dengan orang asing. 4
Menurut arus DSM-IV kriteria untuk mendiagnostik PTSD, melalui suatu peristiwa traumatik pada sebuah peristiwa yang dialami atau menyaksikan dan melibatkan diri sebenarnya atau mengancam kematian, peristiwa perang, bencana alam, serangan seksual secara fisik atau kekerasan, ancaman dengan senjata, kecelakaan, penyakit serius, dan tak terduga yaitu kematian pada orang-orang yang dicintai. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu peristiwa traumatik adalah sebuah peristiwa yang dialami atau menyaksikan dan melibatkan diri secara nyata atau mengancam kematian, cedera serius, atau ancaman integritas fisik dari diri sendiri atau orang lain dan mengalami respon takut, ketidakberdayaan, atau horor banyak tipe yang berbeda dari peristiwa yang menimbulkan trauma yang termasuk di bawah DSM-IV definisi seperti peristiwa perang, bencana alam, serangan fisik seksual atau kekerasan, ancaman dengan senjata, kecelakaan, penyakit serius, dan kematian tak terduga. b. Metode Menilai dalam Peristiwa yang Menimbulkan Traumatik Motode dalam menilai peristiwa trauma pada populasi umum dalam studi epidemiologi pada peristiwa yang menimbulkan trauma dan PTSD telah dilakukan dengan menggunakan sampel. Populasi umum kebanyakan dari penelitian ini menggunakan sampel dari Amerika Serikat. Studi pertama dilakukan pada tahun 1980-an dengan menggunakan DSM-III, ditengah tahun 1990-an dipelajari dengan menggunakan kriteria DSM-IV dan mulai diterbitkan. Prevalensi peristiwa yang menimbulkan trauma dilaporkan dalam studi epidemiologi bervariasi tergantung pada metode dan kriteria yang digunakan untuk menilai peristiwa yang menimbulkan trauma yang berkaitan dengan metode yang digunakan, beberapa studi sebelumnya menggunakan kriteria DSM-III tentang peristiwa yang menimbulkan trauma menggunakan satu pertanyaan, sementara mempelajari DSM-IV menggunakan kriteria responden dengan daftar kualifikasi peristiwa yang menimbulkan trauma. Meode lain dalam studi yang berbeda ketika responden mengalami lebih dari satu peristiwa traumatik. Ketika responden telah mengalami beberapa peristiwa yang menimbulkan trauma, maka yang akan diidentifikasi adalah 5
peritiwa traumatik yang terburuk, sementara studi lain akan memilih secara acak dalam suatu peristiwa traumatik guna menilai atau mengetahui gejala PTSD (Nutt, 2009). Kessler et al.(1995) dalam Nutt (2009) menyatakan, dalam mempelajari dan menggunakan metode, mungkin akan melebih-lebihkan peristiwa terburuk yang terasosiasi dari peristiwa itu dengan gejala PTSD, sementara menggunakan metode acak untuk memilih suatu peristiwa mungkin memberikan lebih banyak lagi informasi akurat mengenai trauma. Perbandingan langsung dari kedua metode telah mengindikasikan bahwa prevalensi dari ptsd berdasarkan metode peristiwa yang terburuk dan kegiatan metode acak adalah 13.6% dan 9,2 %, pada masingmasing namun, penyelidikan lebih lanjut ditentukan kedua metode tersebut dengan mengidentifikasi jenis kelamin dan peritiwa yang menimbulkan trauma yang akan mengakibatkan gejala PTSD. Selain itu, dipelajari juga metode pengumpulan data yang lain yaitu lokasi pendataan, usia responden, dengan menggunakan metode wawancara dan masyarakat luas sebagai sampel. Semua faktor ini mungkin akan bermain peran dalam mngungkapkan peristiwa traumatis dan PTSD yang telah dilaporkan dalam epidemiologi yang berbeda. B. Studi Epidemiologi Pada Peristiwa yang Menimbulkan Trauma dan PTSD a. Pravalensi Peristiwa Traumatik Pada studi epidemiologi, mengambil populasi umum dilakukan untuk peristiwa yang menimbulkan trauma dan rincian dengan survei juga yang menilai peristiwa yang menimbulkan trauma dan prevelensi PTSD. Penyelidikan pertama epidemiologi survei besar pada penderita PTSD dengan menggunakan kriteria DSM-III, dan sampel populasi umum dilakukan pada awal 1980-an dengan data dari st.Louis menggunakan daerah resapan epidemiologi dan Piedmont wilayah North Carolina. Pada tahun 1989, Breslau et al.(1991) dalam Nutt (2009) melakukan penyelidikan pertama dari peristiwa yang menimbulkan trauma dan PTSD menggunakan kriteria DSM-III pada masyarakat dengan sampel dewasa muda dari Tenggara Michigan. Berikut ini, kriteria DSMIII yang digunakan untuk menilai pada peristiwa yang menimbulkan trauma pada 6
sebuah sampel dari tenggara kota (Charleston, Greenville, Charlotte, dan Savannah), sampel secara nasional pada orang dewasa. b. Perbedaan Jenis Kelamin Dalam Peristiwa Traumatik Menurut Kessler (1995) dalam Nutt (2009) ditemukan bahwa peristiwa traumatik yang tinggi adalah dalam bentuk umum, yaitu dengan prosentase 60,7% laki-laki dan 51,2 % wanita menndukung bahwa peristiwa traumatis dapat terjadi dalam hidup manusia. Dan yang paling umum yang dialami peristiwa di penelitian ini adalah kematian yang tak terduga. Dari data Winnipeg mengemukakan bahwa sampel yang digunakan untuk menemukan banyaknya orang yang terkena traumatik dalam hidupnya, diantaranya kematian seorang teman atau anggota keluarga dan serangan secara fisik yang paling umum terjadi baik dialami laku-laki maupun perempuan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Breslau et al (1991) dalam Nutt (2009) menunjukkan bahwa semua orang dewasa muda
dalam masyarakat
menjadi sampel yang terkena suatu peristiwa traumatik, yaitu 67,3% mengalami salah satu peristiwa traumatik, 23,3% mengalami dua peristiwa yang menimbulkan trauma dan 9,4% tiga mengalami peristiwa yang menimbulkan trauma, dengan sampel perwakilan perempuan-perempuan yang mengalami peristiwa yang menimbulkan trauma (crime-related) seperti pemerkosaan, serangan seksual, pembunuhan fisik dari anggota keluarga. Perbedaan jenis kelamin juga mempengaruhi peristiwa traumatik yang dialaminya, karena dalam penelitian telah diumumkan bahwa laki-laki lebih mungkin mengalami peristiwa yang menimbulkan trauma hidup dibandingkan wanita (Nutt, 15-16: 2009). Namun beberapa perbedaan jenis kelamis ditemukan ketika menyelidiki peristiwa yang menimbulkan trauma diantara pria dan wanita. Misalnya, Breslau et al (1991) dalam Nutt (16: 2009) ditemukan bahwa pemerkosaan merupakan peristiwa traumatik yang dilaporkan oleh wanita, sedangkan Norris et al (1992) dalam Nutt (16: 2009) menemukan bahwa laki-laki lebih besar mengalami peristiwa traumatik dibandingkan wanita yaitu seperti serangan fisik saat berada dikendaraan bermotor yang dahsyat, terkena pertempuran, sementara wanita lebih besar kemungkinannya untuk mengalami 7
penyerangan secara fisik dibanding laki-laki, yaitu meng sementara wanita lebih besar daripada laki-laki yaitu mengalami serangan secara seksual. Tidak ada perbedaan jenis kelamin jika dideteksi pada penelitian ini yang berkaitan dengan paparan perampokan, bencana lainnya atau bahaya, dan kematian. Temuan yang paling konsisten umum di antara semua populasi studi dari peristiwa yang menimbulkan trauma yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin adalah bahwa perempuan lebih mungkin mengalami traumatization seksual yang melibatkan pemerkosaan, seksual atau penganiayaan, sementara pria yang lebih besar kemungkinannya untuk mengalami pertempuran dan kekerasan seperti
serangan-serangan
fisik
dan
ancaman
dengan
senjata.
Namun,
membandingkan perbedaan jenis kelamin yang dipelajari ini menantang karena tidak semua mempelajari termasuk kualifikasi yang sama untuk peristiwa yang menimbulkan trauma (Nutt, 17: 2009). c. Faktor Resiko Dalam Peristiwa Traumatik Peristiwa yang menimbulkan traumatik pada beberapa yang dipelajari mengenai
penggunaan
sampel
tertentu
dalam
populasi
umum
telah
mengidentifikasi faktor yang meningkatkan resiko untuk mengalami peristiwa traumatik. Selain itu yang berhubungan dengan jenis kelamin menjadi faktor resiko pada beberapa peristiwa yang menimbulkan traumatik, seperti yang telah dibahas di atas, faktor resiko lain telah diidentifikasi didalam literatur. Menurut Norris et al (1992) dalam Nutt (2009: 16) telah ditemukan ras perbedaan, antara responden berkulit putih yang jauh lebih banyak dibanding responden berkulit hitam yang mengalami peristiwa yang menimbulkan trauma dalam hidupnya di masyarakat dengan mengambil sampel pada warga Amerika Serikat di Tenggara kota. C. Epidemiologi Dari PTSD a. Pravelensi PTSD Dalam dua studi mengenai PTSD dilakukan di awal 1980-an menggunakan sampel populasi umum dan DSM-III dengan disediakan serupa kriteria untuk memperkirakan dari prevalensi PTSD selama seumur hidup. Studi pertama menggunakan data yang ditunjukkan bahwa hanya 1 % dari total yang 8
ditemui dengan sampel penuh kriteria DSM-III untuk mendiagnosis PTSD namun, 15 % laki-laki dan 16 % dari wanita mempunyai sebuah paling tidak satu gejala PTSD setelah mengalami suatu peristiwa traumatik. Demikian pula, data dari sebuah komunitas contoh dari North Carolina melaporkan bahwa 1.3% dari sampel yang ditemukan DSM-III kriteria untuk PTSD. Secara Kolektif, bahwa pada awal tahun 1980-an menunjukkan bahwa secara umum pravelensi PTSD dengan sampel dari pria dan wanita berkisar dari 1%-11 %. Faktor penurunan comparability dalam penelitian ini telah terjadi. Namun, harus dicatat bahwa kisaran besarnya jumlah dari PTSD diperkirakan mungkin dijelaskan oleh studi yang dilakukan di kota yang berbeda dan diberbagai negara. Pravelensi dari peristiwa yang menimbulkan trauma, dan gejala PTSD, mungkin tergantung pada kejahatan, kemiskinan, politik, kekerasan dan faktor lainnya, yang berbeda dalam berbagai belahan dunia. Misalnya, Zlonick et al. (2006) dalam Nutt (2009) berspekulasi bahwa perbedaan dalam prevalensi PTSD yang ditemukan di Meksiko dan Cile terjadi karena kejahatan disana lebih besar dibandingkan dengan angka kemiskinan di Meksiko dan Cile. Terlepas dari kisaran terjadinya PTSD yang dilaporkan dengan populasi umum maka, temuan dari studi epidemiologi ini telah menentukan bahwa PTSD merata di populasi umum dan dianggap sebagai masalah penting kesehatan umum. b. Durasi Terjadinya PTSD Gejala-gejala PTSD telah ditemukan menjadi sebuah kondisi kronis bagi banyak individu. Definisi mengenai kondisi kronis dari PTSD tidak didefinisikan dalam penelitian, namun banyak studi yang memahaminya melalui durasi gejala PTSD yang harus bertahan minimal enam bulan maka akan disebut sebagai kasus PTSD dengan kondisi kronis. Dari data ECA (Nutt, 2009: 18) bahwa data tersebut menunjukkan antara individu yang mengalami gejala PTSD yang berlangsung selama kurang dari enam bulan hanya 49% individu, dan hal ini berlangsung selama enam tahun untuk sepertiga dari gejala orang pada umumnya. Data menyebutkan bahwa panjangnya durasi ini terjadi pada laki-laki yang mengalami pertempuran 9
sedangkan pada wanita yang mengalami serangan fisik. Sampel yang di ambil di North Carolina, sekitar 50% individu yang mengalami gejala PTSD dianggap menjadi kasus yang kronis seperti diukur dengan gejala yang berlangsung selama lebih dari enam bulan. Sejarah perilaku anti sosial dan perilaku seks pada perempuan adalah faktor resiko tertentu untuk PTSD menjadi kronis. Data NSC perwakilan Nasional juga mengemukakan bahwa PTSD kronis dengan sepertiga dari individu yang tidak sembuh dari gejala tersebut mereka bahkan setelah bertahun-tahun dan terlepas dari pengobatan. Breslau et al (1998) dalam Nutt (2009) menemukan bahwa 26% dan 49% individu dengan PTSD. Data menunjukkan bahwa durasi gejala berlangsung lebih lama pada wanita (rata-rata durasinya 48.1 bulan) dibandingkan dengan laki-laki (rata-rata durasi 12.0 bulan). Sedangkan sampel yang dilakukan pada komunitas dari Meksiko menunjukkan bahwa 62% dari mereka yang mengalami PTSD gejalanya berlangsung lebih lama dari satu tahun dan dianggap sebagai kasus PTSD kronis. c. Perbedaan Jenis Kelamin Dalam PTSD Epidemiologi penyelidikan mengenai PTSD telah menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan daripada laki-laki untuk mengembangkan PTSD setelah mengalami peristiwa traumatik. Beberapa studi juga mengemukakan bahwa PTSD terjadi lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Breslau et al (1997) dalam Nutt (2009) memeriksa perbedaan jenis kelamin dalam PTSD secara detail yang digunakan di pada komunitas Tenggara Michigan dengan sampel orang dewasa dan menemukan bahwa laki-laki dan perempuan tidak mengalami perbedaan dalam peristiwa traumatis, namun wanita dua kali lipat lebih memungkinkan untuk mengalami PTSD setelah suatu peristiwa traumatik yang dialaminya. Faktor resiko yang menjelaskan mengenai perbedaan jenis kelamin dalam data tersebut ada yang sebelumnya mengalami gangguan kecemasan atau gangguan depresi utama dan peristiwa yang lebih besar seperti traumatis di masa kanak-kanak.
10
Penelitian menunjukkan bahwa wanita rentan mengalami gejala PTSD dengan prosentase mengalami kekerasan (36%) dibandingkan laki-laki yang hanya (6%) data ini mengindikasikan kalau trauma ini menunjukkan peningkatan resiko PTSD yang kemudian diikuti dengan peristiwa traumatik. Hal ini penting bahwa perbedaan jenis kelamin yang telah dikemukakan pada studi epidemiologi. Hasil dari sampel di Australia menunjukkan bahwa selama 12 bulan anatar laki-laki dan perempuan yang mengalami PTSD adalah serupa (1,2% versus 1,4%). Namun penelitian di Jerman menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan bukanlah faktor resiko dalam PTSD, para penulis menyarankan bahwa peningkatan resiko PTSD pada perempuan mungkin karena mereka lebih besar mengalami peristiwa paling terkait dengan PTSD (yaitu, pemerkosaan, dan pelecehan seksual) dan memiliki gangguan yang berhubungan dangan peningkatan resiko PTSD, dibandingkan dengan laki-laki. Secara umum perempuan tidak memiliki kerentananlebih besar terhadap PTSD. d. Peristiwa Paparan Traumatik dan PTSD Paparan dan peristiwa yang menimbulkan trauma dan PTSD telah ditemukan dengan berbagai variasi tergantung pada jenis peristiwa traumatik yang dialaminya. Pria dan wanita juga mengalami peristiwa yang menimbulkan trauma tertentu, yang membedakan adalah peristiwa yang menimbulkan traumatik dengan pengembangan dari PTSD. Pada awal studi oleh helzer et al.( 1987 ) dalam Nutt (2009:19), hanya dua pengalaman yang berhubungan dengan PTSD antara lakilaki adalah pertempuran dan melihat seseorang sakit atau mati, sementara kecelakaan serius, serangan fisik, dan ancaman, sedangkan pada wanita, ini peristiwa yang menimbulkan trauma PTSD yang paling umum di kalangan wanita yang secara fisik diserang. Data ini juga mengindikasikan bahwa mengalami bencana alam tidak menjelaskan salah satu dari PTSD kasus di antara laki-laki atau perempuan.
11
e. Faktor Resiko Dalam Peristiwa PTSD Faktor resiko pada peristiwa PTSD seperti disebutkan sebelumnya, bahwa jenis kelamin perempuan dikaitkan dengan resiko yang lebih besar terhadap PTSD. Selain itu penelitian telah mengidentifikasi faktor resiko pentiny yang lain untuk meningkatkan kemungkinan PTSD setelah mengalami peristiwa traumatik. Masalah perilaku pada masa kanak-kanak (yaitu berbohong, perkelahian dll) sebelum usia 15 tahun maka telah ditemukan yang berhubungan dengan PTSD, yang mungkin mencerminkan kemungkinan besar peristiwa traumatis dan/atau kecenderungan untuk mengalami gejala setelah peristiwa trauma. Faktor-faktor lain pada masa kanak-kanak dan keluarga telah diidentifikasi dalam sampel komunitas lain, yang menunjukkan bahwa individu yang mengalami PTSD lebih cenderung dialami pada masa kanak-kanak, kemiskinan, riwayat keluarga penyakit jiwa, perceraian orangtua atau perpisahan sebelum anak usia 10 tahun dan pelecehan anak. Dalam sebuah studi dari orang dewasa muda, bahwa PTSD adalah dikaitkannya dengan neurotisme, pemisahan dari orangtua dimasa kanak-kanak, kecemasan dan depresi, riwayat keluarga kecemasan atau perilaku anti sosial. D. Kesehatan Mental dan Komordibitas a. Kesehatan Mental Gangguan kejiwaan lain secara umum disamakan dengan individu yang mengalami PTSD. Helzer dkk (1987) dalam Nutt (2009:20) menemukan bahwa individu yang mengaami PTSD dua kali dimungkinkan akan memiliki komorbiditas gangguan kejiawaan, dengan obsessive compulsive disorder (OCD) dan gangguan manic depressive yang menjadi paling lazim didagnosa menjadi komorbiditas. Sementara itu Davidso dll (1991) dalam Nutt (2009:20) menemukan bahwa bila dibandingkan dengan individu tanpa PTSD dengan individu yang mengalami PTSD lebih mungkin untuk mengalami somatization disorder, skizofrenia, gangguan panik, fobia sosial, OCD, penyalahggunaan obat atau ketergantungan, depresi, agorophobia, fobia sederhana dan gangguan kecemasan umum 12
Breslau dkk (19910 dalam Nutt (20090 dengan ditemukan dalam posisi sampel populasi secara umum dari orang dewasa, 82,8% dari mereka dengan gangguan PTSD yang juga memiliki satu atau lebih komorbiditas kelainan jiwa, termasuk OCD, agorapobhia, manik, panik, depresi, GAD, penyalahgunaan obat atau ketergantungan, penyalahan alkohol atau ketergantungan. Demikian pula hasil dari NSC menunjukkan bahwa 88,3% laki-laki dan 79% perempuan mengalami PTSD dengan memiliki setidaknya satu didiagnosis psikiatri mengalami komorbiditas lainnya. Perilaku bunuh diri dalam penelitian telah menemukan hubungan yang signifikan antara PTSD dan keinginan bunuh diri. Studi sebelumnya menemukan bahwa individu dengan PTSD 14.9 kali (95% CI = 5.10 %) lebih cenderung mencoba untuk bunuh diri dibandingkan dengan individu tanpa PTSD. Menurut penelitian yang lain bahwa perempuan yang diambil datanya dari NSC bahwa PTSD dikaitkan dengan peningkatan peluang keinginan untuk bunuh diri, PTSD dipertalikan dengan 2,5 kali lebih besar peluangnya dari keinginan bunuh diri dilihat dari efek sosiodemografi, pengalaman serangan seksual, karakteristik psikologi, penyalahgunaan alkohol, dan depresi. Kondisi PTSD bagi kesehatan fisik ditemukan memiliki pengaruh terhadap kondisi kesehatan fisik. Sebuah studi pada komunitas telah ditemukan bahwa individu yang mengalami PTSD dibandingkan dengan orang yang tanpa PTSD lebih mungkin memiliki penyakit asma bronkitis (13,5% versus 4,8%, p = 0,02), ulkus peptikum (12,8% dibandingkan 4.1%, p = 0,02) dan hipertensi (31,4 % dibandingkan 18,5%, p = 0,04), data ini tidak mengungkapkan hubungan antara PTSD dengan kesehatan fisik lainnya seperti (paru-paru, diabetes, penyakit jantung, artrtis, penyakit serebrovaskular, kanker, arteriosklerosis, dan ganguan neurologis). PTSD kronis didefinisikan sebagai gejala yang berlangsung setidaknya satu tahun yang juga telah ditemukan hubungannya dengan kemungkinan peningkatan dibandingkan dengan PTSD non kronis, yaitu penyakit rematik, bronkitis, migran, dan masalah-masalah Ginekologi (bagi perempuan).
13
b. Gejala-gejala PTSD Menurut penelitian yang dilakukan oleh indah lestari dalam penelitiannya bahwa gejala-gejala yang dialami oleh individu PTSD adalah: 1) Pada gangguan PTSD orang mengalami frekuwensi ingatan yang tidak diinginkan menimbulkan kembali peristiwa traumatik. 2) Mimpi buruk adalah biasa. 3) Kadangkalaperistiwa hidup kembali sebagaimana jika terjadi (flashback). 4) Gangguan hebat seringkali terjadi ketika orang berhadapan dengan peristiwa atau keadaan yang mengingatkan mereka pada trauma asal. 5) Misalkan beberapa ingatan adalah perasaan pada peristiwa traumatik tersebut, melihat senjata setelah dipukul dengan senjata ketika terjadi perampokan, dan berada diperahu kecil setelah kecelakaan dan tenggelam. Data penelitian yang diperoleh dari jurnal nasional (Margaretha dkk, 2013) mengenai trauma masa kanak-kanak dan kekerasan relasi intim, menyebutkan bahwa data yang diperoleh memberikan bukti empiris atas pengaruh negatif jangka panjang trauma yang menyaksikan dan mengalami KDRT masa kanak. Sedangkan studi berikutnya tidak menemukan hubungan antara trauma KDRT dengan pengalaman sebagai korban kekerasan dalam relasi intim, namun dipertimbangkan hubungan ini dapat terjadi secara tidak langsung. Melihat dampak psikologis yang dapat ditimbulkan oleh peristiwa yang menyebabkan trauma, menjadikan setiap orang untuk dapat memahami dampakdampak yang terjadi. Dampak psikologis dari trauma dan PTSD diharapkan setiap individu dapat pemahamannya maupun upaya penanganannya. Hal ini memang belum mendapat perhatian maksimal dari pemerintah maupun anggota masyarakat. Perhatian pemerintah dan anggota masyarakat lebih terpusat pada penanganan bidang sosial dan materi. Upaya-upaya tersebut dapat terlihat dengan mengalirnya bantuan bagi pembangunan kembali tempat tinggal dan dilakukannya upaya perdamaian antara pihak yang bertikai serta pemulihan situasi keamanan. Sangat disayangkan bahwa upaya penyelesaian ini belum menyeluruh, karena dampak psikologisnya
14
Keterangan: DSM-IV Kriteria Diagnostik Untuk Gangguan PTSD (Nutt, 2009:2) A. Orang yang telah terkena peristiwa traumatis dimana kedua hal berikut yang dialaminya: 1) Orang yang dialami, disaksaikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau kejadian bahwa kematian terlibat aksi atau ancaman atau cedera serius, atau ancaman bagi integritas fisik diri sendiri atau orang lain 2) Respon seseorang yang terlibat ketakutan yang intens, tidak berdaya, atau horor. B. Peristiwa traumatis yang terus-menerus dialaminya lagi dalam satu atau lebih dengan cara sbb: 1)
Berulang dan kenangan menyedihkan yang mengganggu, termasuk gambar, pikiran dan persepsi .
2)
Mempi menyedihkan yang berulang-ulang.
3)
Bertindak atau merasa seolah-olah peristiwa traumatik yang berulang
4)
Tekanan psikologis yang intens pada peristiwa isyarat internal dan eksternal yang melambangkan atau menyerupai suatu aspek dari peristiwa traumatik.
5)
Reaktivitas
fisiolpgis
pada
peristiwa
internal
atau
eksternal
yang
melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik. C. Menghindari rangsangan yang terkait dengan trauma dan respon mati rasa 1) Upaya untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. 2) Upaya untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang-orang yang membangkitkan kenangan trauma. 3) Ketidakmampuan untuk mengingat aspek pentingdari trauma. 4) Secara nyata berkurangnya minat atau partisipasi dalam kenangan yang signifikan. 5) Perasaan keterasingan dari orang lain. 6) Dibatasinya kisaran yang mempengaruhi (misalnya: tidak dapat memiliki perasaan yang penuh kasih).
15
7) Memiliki rasa masa depan yang menyempit (misalny tidak berharap untuk memiliki karir, pernikahan dll dalam jangka hidup yang normal) D. Gejala Persistent peningkatan gairah ( tidak hadir sebelum trauma ) seperti yang ditunjukkan oleh dua ( atau lebih ) sebagai berikut: 1)
Kesulitan jatuh atau tetap tertidur
2)
Lekas marah atau ledakan kemarahan
3)
Kesulitan berkonsentrasi
4)
hypervigilance
5)
Respon kejut berlebihan
E. Durasi dari gangguan ( gejala dalam kriteria B , C , dan D ) lebih dari satu bulan F. Gangguan menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan sosial bidang-bidang penting lainnya pada pekerjaan atau fungsinya.
16
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Peristiwa yang menimbulkan trauma merupakan peristiwa yang secara umum juga dialami oleh manusia. Dalam penelitian telah mengidentifikasikan faktor tertentu yang menimbulkan trauma. Trauma dilihat dari segi kesehatan yang terpenting adalah sebuah masalah bukan saja karena tingginya pravelensi yang ditemukan secara umum namun juga karena adanya komorbiditas dan hubungan yang ditemukan antara PTSD dengan komorbiditas lainnya, seperti gangguan kejiwaan, perilaku bunuh diri, masalah kesehatan dan fisik dll. Pengetahuan tentang studi epidemiologi pada peristiwa yang menimbulkan trauma dan PTSD akan membantu menginformasikan upaya pencegahan dan peningkatan kemampuan untuk mengatasi PTSD dan individu-individu yang terkena faktor resiko lainnya. B. Saran Saran yang dapat diberikan dalam pembahasan makalah mengenai epidemiologi trauma dan PTSD adalah: 1.
Menggali lebih banyak lagi gejala-gejala lain yang menimbulkan trauma dan PTSD dari barbagai macam sumber .
2.
Menelaah beberapa penelitian mengenai epidemiologi trauma dan PTSD dari berbagai belahan dunia/populasi yang berbeda.
17
DAFTAR PUSTAKA Breslau, N. 2009. Articles International The Epidemiology of Trauma, PTSD, and Other Posttrauma Disorders. http://www.sagepublications.com Erfort,
T. 2004. Professional School Counseling: Theories,Program & Pracices. Texas: CAPS Press
a
Handbook
of
Lestari, Indah. 2011. Konseling Post-Traumatic. FKIP Universitas Muria Kudus. Kudus Margaretha, dkk. 2013. Jurnal Nasional Trauma Kekerasan Masa Kanak dan Kekerasan dalam Relasi Intim. DOI: 10.7454/mssh.v17i1.1800 Nutt, D. J. 2009. Posttroumatic Stress Disorder: Diagnostik, Menejement, and Treatment. UK. InformaHealthcare Vivia, dkk. 2010. Journal International Age at Trauma Exposure and PTSD Risk in Young Adult Women. Vol 23, No. 6 : Hal 1
18