Cara mereferensi tulisan ini: Firdaus, M. (2007). The position of Indonesia in the Age of Information Civilization (Posisi Indonesia dalam Era Peradaban Informasi). Jurnal Administrasi Negara 13 (2)
Posisi Indonesia dalam Era Peradaban Informasi Muhammad Firdaus
Abstrak Peradaban manusia telah berevolusi dari era pertanian ke era industri, dan kini ke era informasi. Setiap era tidak menghapuskan aktivitas maupun komoditas ekonomi utama dari era sebelumnya. Sebaliknya, era terkini memperkuat apa yang telah dicapai oleh manusia pada era sebelumnya. Untuk itu, penulis mencoba mengembangkan argumen bahwa untuk menjadi bagian dari masyarakat informasi, Indonesia tidak perlu menerlantarkan sektor pertanian yang masih merupakan tumpuan hidup utama kebanyakan masyarakatnya. Sebaliknya, Indonesia harus membangun sistem pertanian cerdas, yaitu pertanian yang mendayagunakan teknologi mekanisasi dari era industri dan memanfaatkan kemajuan pengetahuan yang telah dicapai manusia pada era informasi.
Pendahuluan Dalam dua karya seminalnya, The Future Shock dan The Third Wave, Alfin Toffler secara akurat membaca tanda-tanda zaman dan secara jitu memprediksi bagaimana perkembangan peradaban manusia dimasa yang akan datang. Pada tahun 1970, Alfin Toffler memprediksi bahwa akan datang suatu era dimana manusia akan dikagetkan oleh tzunami informasi tanpa mereka tahu atau sempat memilah informasi mana yang relevan dan mana yang tidak. Sepuluh tahun kemudian, Alfin Toffler kembali menegaskan prediksinya dengan mengklaim bahwa manusia telah memasuki peradaban gelombang ketiga, yaitu era informasi yang menenggelamkan. Setiap era memiliki ciri khasnya sendiri ditinjau dari segi faktor pemicu dan penggeraknya. Karena ini merupakan perubahan evolusioner, maka era yang baru tidak segera menghapus tatanan yang ada pada era sebelumnya. Olehnya
itu, dinegara-negara yang mengklaim sudah menjelma menjadi masyarakat informasi, kegiatan pertanian dan industri tetap berjalan meskipun bukan lagi perioritas utama. Bahkan era baru memperkuat atau mendayagunakan apa yang telah dicapai manusia pada era sebelumnya. Sebagai contoh, kegiatan pertanian di masyarakat informasi cukup dikerjakan oleh sebagian kecil anggota masyarakat tetapi hasilnya melimpah ruah berkat pemanfaatan mesin industri dan pengaplikasian pengetahuan baru kedalam proses produksinya. Evolusi Peradaban Manusia Dalam bukunya “The Third Wave”, Toffler (1980) menyebut tiga gelombang peradaban manusia. Gelombang pertama dinamai era pertanian yang mengejala sekitar 10.000 tahun SM, ketika manusia mulai meninggalkan kebiasaan hidup berpindah-pindah untuk berburu dan mengumpul makanan (hunting-gathering) dan beralih ke kehidupan yang lebih menetap melalui bercocok tanam (pertanian). Era pertanian ini dimungkinkan oleh ditemukannya daerah-daerah subur yang ditumbuhi rumput dan tanaman serta tersedianya air secara melimpah. Aliran sungai Mesopotamia, India, Mesir dan Cina merupakan beberapa contoh belahan bumi yang tumbuh berkat revolusi pertanian. Pada era ini kehidupan dan pertumbuhan bersandar pada kegiatan bercocok tanam. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1, bercocok tanam pada awalnya masih sangat mengandalkan tenaga manusia dan berciri subsistence farming, yakni pertanian ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri atau kelompok. Kemampuan manusia untuk menciptakan peralatan pertanian untuk membantu otot manusia, seperti tenaga air dan angin menciptakan surplus produk pertanian yang memungkinkan untuk diperdagangkan secara barter. Tabel 1. Karakteristik era peradaban manusia Gelombang I
Label Pertanian
Icon Bajak
II
Industri
Assembly line
III
Informasi Komputer
Faktor Produksi/energi Tanah, otot manusia & hewan, air, angin Tenaga Kerja, Bahan bakar fosil yang tak terbarukan Pengetahuan
Sumber: Diadaptasi dari Toffler dan Toffler (1994).
Faktor Pemicu Ditinggalkannya hunting-gathering Mesin uap
Transistor
Kemampuan menciptakan alat pertanian sederhana di era pertanian berkembang lebih lanjut dengan kemampuan menciptakan mesin-mesin berat bertenaga uap di Eropa sekitar abad ke-17. Mesin-mesin tersebut berhasil melipatgandakan produktivitas dan memicu transformasi peradaban manusia menuju era industri. Uap menjadi sumber tenaga yang begitu besar untuk membangkitkan berbagai mesin produksi massal, misalnya untuk keperluan membuat tekstil, mobil, menjalankan kapal dan mesin-mesin industri lainnya. Alat-alat produksi berbasis mesin beserta hasil produksinya merupakan bahan bakar utama yang menggerakkan perekonomian di era ini. Memasuki abad ke 19 dan 20 manusia menemukan sumber energi fosil yang lebih jauh memperkuat daya produksi. Perkembangan selanjutnya memungkinkan berbagai komoditi industri diperdagangkan melintasi batas negara dan benua. Penemuan transistor berhasil meningkatkan kemampuan pemrosesan data menjadi informasi secara signifikan. Olehnya itu, transistor dikenal luas sebagai faktor pemicu era informasi. Era Informasi Beragam istilah dipakai untuk menggambarkan bentuk dan karakter masyarakat diera informasi ini, diantaranya knowledge economy, information economy, post-industrial society, post-modern society, information society, network society, informational capitalism, network capitalism dan sebagainya. Information society atau masyarakat informasi adalah diantara istilah yang paling umum dipakai. Banyak ahli yang sependapat bahwa era informasi ini ditandai dengan telah terjadinya transformasi fundamental sekitar tahun 1970an yang mengubah cara kerja masyarakat global. Perubahan inilah yang oleh Toffler (1980) disebut sebagai “Gelombang Ketiga”. Menurut Touraine (1988), transisi ke era informasi ini terjadi ketika investasi mengarah ke produksi barangbarang simbolis yang memicu perubahan nilai-nilai, dan kebutuhan secara signifikan. Ada beberapa karakteristik masyarakat yang sudah menjelma menjadi masyarakat informasi, misalnya semakin banyaknya orang yang bekerja dibidang informasi dan pelayanan (Bell, 1976). Sebagaimana dikemukakan oleh Stehr (1994, 2002a, b), dalam knowledge society pekerjaan pada umumnya melibatkan orang bekerja dengan pengetahuan dan karenanya knowledge society tersebut tumbuh pada input berbasis pengetahuan dan bukan lagi pada yang berbasis materi fisik. Pada era informasi, hanya sekitar 13% angkatan kerja
bergelut dibidang pertanian dan industri, sekitar 35% di bidang pelayanan dan lebih 50% di sektor informasi (lihat Darin, 2003 dan Dent, 1995). Komoditas utama yang mengerakkan ekonomi di era informasi adalah pengetahuan. yang meliputi data, informasi, citra, simbol, budaya, ideologi, dan nilai-nilai (Dyson et.al., 1994). Pada masyarakat informasi, penciptaan, distribusi, penggunaan dan manipulasi informasi menjadi aktivitas ekonomi, politik dan budaya yang menonjol. Seperti dikemukakan oleh Drucker (1969), era sekarang ditandai dengan transisi dari perekonomian yang berbasis barang materi ke perekonomian berbasis pengetahuan. Bahkan Lyotard (1984) berpendapat bahwa informasi menjadi kekuatan produksi utama dan akan menjadi komoditas, atau oleh Toffler disebut sebagai sumberdaya utama. Karakteristik lain dari masyarakat informasi adalah berkembangnya lima sektor, yaitu pendidikan, penelitian dan pengembangan, media massa, teknologi informasi, layanan informasi. Komodifikasi pengetahuan kini bisa dilihat scara nyata di negara maju seperti Australia. Biro Statistik Australia, misalnya, melaporkan bahwa pendidikan merupakan salah satu komoditas export unggulan, dan export pendidikan tersebut berkontribusi 10 trilliun Dollar terhadap perekonomian Australia (IDP, 2007). Di Amerika Serikat, film Hollywood merupakan salah satu komoditas export terbesar (lihat Hozic, 2001). Perdagangan berita oleh jaringan kantor pemberitaan internasional juga turut andil besar dalam perekonomian Amerika Serikat. Dari segi bentuk organisasi, ada kecenderungan ukuran organisasi menciut (Toffler dan Toffler, 1994), dan topografinya beralih kebentuk jaringan (Castells 2000). Dalam masyarakat informasi fungsi dan proses-proses dominan terlaksana dalam jaringan, dan difusi logika jaringan ini secara signifikan mengembangkan cara dan hasil pada proses produksi, pengalaman, kekuasaan dan budaya (Castells 2000). Jaringan merupakan sistem syaraf masyarakat yang akan semakin melebar dan menebal (Van Dijk, 2006). Jaringan merupakan bentuk dasar dari organisasi manusia yang terbangun dari hubungan mereka yang meliputi konfigurasi dan assosiasi sosial, politik dan ekonomi (Barney 2004). Secara sederhana, Bar-Yam (n.d) menggabarkan evolusi organisasi yang mengiringi era peradaban manusia sebagaimana terlihat pada Diagram 1.
Sumber: Bar-Yam (n.d)
Diagram 1. Evolusi model organisasi menurut era peradaban manusia Jaringan di atas semakin diperkuat oleh ditemukannya teknologi informasi modern, terutama komputer, yang kini saling terhubung secara global melewati batas-batas ruang dan waktu. Akibatnya, informasi menjelma menjadi aset ekonomi dan sumber kekuasaan yang sangat besar. Hegemony negara-negara maju (Barat) dewasa ini tidak terlepas dari possi sentral mereka dalam masyarakat informasi melalui penguasaan dalam hal rekayasa dan pemanfaatan teknologi informasi. Posisi Indonesia di era Informasi Menyadari bahwa sekarang adalah era informasi, muncul pertanyaan krusial, yaitu dimana posisi Indonesia didalam masyarakat dunia yang telah menjelma menjadi masyarakat informasi (cyberspace) tersebut? Dari phenomena masyarakat Indonesia yang mengemuka dewasa ini, sepertinya Indonesia masih merupakan masyarakat pinggiran di cyberspace. Ada beberapa indikasi yang bisa mendukung asumsi ini. Pertama, proporsi angkatan kerja Indonesia yang bekerja di sektor informasi atau pengetahuan masih kecil. Tenaga Kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri masih kebanyakan pekerja fisik, bukan pekerja ilmu. Selain itu, penghargaan masyarakat Indonesia terhadap nilai guna informasi masih rendah. Dokumentasi lagu kebangsaan Indonesia Raya yang justru ditemukan di Negeri Belanda baru-baru ini merupakan salah satu dari sekian banyak contoh kongkrit bagaimana rendahnya apresiasi Bangsa Indonesia terhadap informasi. Pembajakan hak atas karya intelektual (HAKI) yang belum bisa teratasi merupakan contoh lain dari budaya informasi yang belum berkembang di Indonesia. Model organisasi yang berlaku, baik di sektor
swasta maupun pemerintah, juga masih sangat hierarkhis. Hal ini menyebabkan arus informasi dalam organisasi menjadi lamban dan banyak detail informasi tersaring oleh gate keepers pada setiap jenjang jabatan dalam organisasi. Selain itu, komoditas ungulan Indonesia masih kebanyakan berbasis fisik, bukan pengetahuan. Posisi marjinal Indonesia dalam masyarakat informasi bisa juga dilihat pada hasil survey Information Society Index (ISI) tahun 2000. Dalam survey ini 55 negara dibagi kedalam 4 kelompok dalam hal kemampuan mengambil manfaat dari revolusi informasi, yakni Skaters (peselancar), Striders (pelari cepat), Sprinters (pelari jarak pendek) dan Strollers (pejalan santai). Sejumlah 23 indikator digunakan yang dikelompokkan ke dalam empat variable: infrastruktur komputer, infrastruktur Internet, infrastruktur informasi dan infrastruktur sosial. Sebagaimana terlihat pada Tabel 2, diantara 55 negara tersebut Indonesia ditempatkan pada ranking ke 52 dan digolongkan sebagai “pejalan santai”. Terlihat pula bahwa Indonesia berada dibawah negara-negara tetangga seperti Malaysia, Pilipina dan Thailand. Tabel 2. Pemanfaatan Revolusi Informasi oleh beberapa negara Negara Swedia Amerika Serikat Australia Jepang Singapura Hong Kong Perancis Korea Malaysia Afrika Selatan Saudi Arabia Pilipina Thailand Mesir Cina Indonesia Pakistan
Ranking 1 2 9 10 11 14 21 22 35 38 41 47 48 50 51 52 55
Golongan Skaters Skaters Skaters Skaters Skaters Striders Striders Striders Sprinters Sprinters Sprinters Sprinters Sprinters Strollers Strollers Strollers Strollers
Sumber: The Information Society Index (2000)
Skor 5062 5041 4129 4093 4014 3484 3140 2931 1583 1537 1362 1012 1010 931 915 888 719
Sebagai masyarakat pinggiran apakah Indonesia bisa kecipratan manfaat yang ditimbulkan oleh masyarakat informasi tersebut, ataukah malah dirugikan? Meminjam bahasanya Toffler, apakah Indonesia memanfaatkan banjir Informasi ataukah tenggelam didalamnya? Dalam konteks pemasaran global, Huseini (2000) bahkan mempertanyakan mampukah Indonesia menjadi pelaku yang aktif dalam pemasaran global, dan bukan sekedar obyek yang menjadi sasaran para pemain dari manca negara? Posisi periferal Indonesia perlu disiasati dengan bijak. Dengan posisi ini potensi mendapatkan dampak negatifnya lebih tinggi dibanding dampak positifnya. Bahkan kenyataannya, arus informasi yang begitu deras malah cenderung merugikan Indonesia, misalnya dalam bentuk pemberitaan negatif mengenai masalah keamanan yang membuat beberapa negara memberlakukan travel warning bagi warganya yang berencana melancong ke Indonesia. Pemberitaan mengenai pemboikotan Uni Eropa terhadap maskapai Garuda yang merupakan perusahaan penerbangan flag carrier Indonesia juga menimbulkan citra negatif yang merugikan. Diperhadapkan pada situasi seperti ini, Indonesia belum mampu menciptakan arus balik informasi untuk membela kepentingannya di kancah internasional. Masih banyak contoh serupa yang mengindikasikan posisi marjinal Indonesia tersebut di era informasi ini. Sebagian kalangan berpandangan bahwa kurang mampunya Indonesia meraup manfaat dari era informasi lantaran negara ini masih berciri agraris dimana perekonomian masih berbasis pada pertanian. Lantas apakah dengan kondisi ini Indonesia harus meninggalkan pertanian dan beralih ke sektor informasi? Kenyataannya Indonesia sudah pernah mencoba merambah teknologi hulu kedirgantaraan dan mengabaikan pertanian. Akibanya, Indonesia yang sudah swasembada beras tahun 1984 dan mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian dunia (FAO) sekarang harus kembali mengimpor beras dari negara tetangga. Dikhawatirkan hal serupa bisa terjadi kalau Indonesia terburu-buru memperioritaskan sektor informasi dan kembali menerlantarkan pertanian. Posisi geografis Indonesia pada garis khatulistiwa memberikan keuntungan berupa alam yang subur, kaya dan indah yang membuat nusantara ini biasa digambarkan sebagai untaian mutu manikam. Potensi dan aset utama ini tidak boleh diterlantarkan. Sebaliknya, alam yang subur ini, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan hidup, harus tetap digali dan dibangun.
Perlu dipahami bahwa kedatangan era peradaban baru tidak mematikan aktivitas ekonomi unggulan dari era sebelumnya, tetapi bahkan ikut memperkuatnya. Dengan kata lain, negara yang berbasis agraris seperti Indonesia bisa mengambil manfaat dari kemajuan yang dicapai di era peradaban industri dan informasi. Dengan demikian Indonesia tidak perlu meninggalkan pertanian. Produksi pertanian Indonesia bisa lebih ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya melalui mekanisasi pertanian yang merupakan teknologi mesin dari era industri. Bahkan pertanian itu sendiri bisa dan bahkan telah bermetamorfosa menjadi industri. Pengetahuan yang merupakan keunggulan era informasi bisa membantu dalam hal pengembangan bibit unggul, sistem pemasaran, sistem pengolahan hasil dan sebagainya. Kenyataannya di negara maju yang sudah menempati posisi sentral dalam masyarakat informasi, sektor pertanian tidak ditinggalkan. Bahkan dengan pendayagunaan teknologi industri dan informasi hanya 20 – 30 persen penduduknya yang bertani namun mampu mensuplai kebutuhan dalam negeri dan bahkan ada surplus untuk di ekspor. Negara tetangga seperti Thailand merupakan contoh nyata negara yang mampu membangun daya saing global dari sektor pertanian yang berbasis pengetahuan. Pertanian berbasis pengetahuan, jika bisa dibangun, pada hakekatnya bisa menjadikan Indonesia bagian penting dari cyberspace. Tetapi tentu ini baru langkah awal dan sekaligus sebagai proses pembelajaran. Pada gilirannya, aset pengetahuan itu sendiri harus benar-benar dieksploitasi sebagaimana dilakukan oleh negara-negara yang sudah berada di pusat masyarakat informasi. Namun sebelum bisa sampai ke sana, ada beberapa prekondisi yang perlu diperhatikan. Pertama, harus ada political will untuk menjadikan informasi sebagai aset strategis. Kedua, sumber daya manusia, yang merupakan wadah dan sekaligus pengguna pengetahuan, harus ditingkatkan kualitasnya. Bukti-bukti kuat menunjukkan bahwa kemauan politik serta sumber daya manusia dan keuangan yang memadai bisa segera mentransformasikan suatu negara menjadi masyarakat informasi (Wilford, 2000). Ketiga, perlu dilakukan secara evolusioner proses pembudayaan dan penghargaan terhadap nilai guna dan nilai ekonomi informasi. Keempat, infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi harus dikembangkan.
Penutup Suka atau tidak suka, dunia sudah dilanda banjir informasi. Revolusi informasi membawa perubahan yang begitu drastis dalam peradaban manusia sekaligus menyuguhkan peluang dan tantangan. Negara yang siap memasukinya memperoleh banyak manfaat, sementara yang kurang siap hanya mendapatkan sedikit manfaat atau bahkan terkena dampak negatifnya. Indonesia tidak, atau setidaknya belum, termasuk di antara negara yang meraup keuntungan besar dari era informasi ini. Kondisi Indonesia sebagai negara agraris bukanlah penyebab mengapa manfaat era informasi ini tidak banyak dinikmati. Penyebab utama adalah tidak mampunya pemerintah menciptakan strategi pengembangan potensi utama, yakni pertanian, melalui pendayagunaan secara optimal berbagai kehebatan era industri dan informasi. Terbukti negara seperti Thailand mampu menciptakan daya saing global melalui sektor pertaniannya. Untuk itu, Indonesia harus membangun pertanian cerdas seraya membenahi prekondisi untuk bisa secara penuh menjadikan informasi dan pengetahuan sebagai komoditas unggulan.
Referensi
Barney, Darin (2003) The Network Society. Cambridge: Polity. Bar-Yam, Yaneer (n.d.) Complexity rising: From human beings to human civilization, a complexity profile [Online]. Available: http://necsi.org/Civilization.html (New England Complex System Institute Bell, Daniel (1976) The Coming of Post-Industrial Society. New York: Basic Books. Bridges, W. (1994). JobShift: How to prosper in a workplace without jobs. Reading, MA: Addison-Wesley. Castells, M. (2000). "Toward a sociology of the network society." Contemporary Sociology 29(5): 693-699.
Castells, M. (2000) The Rise of the Network Society. The Information Age: Economy, Society and Culture. Volume 1. Malden: Blackwell. Second Edition. Dent, H., Jr. (1995). Job shock: Four new principles transforming our work and business. New York: St. Martins Press. Drucker, P. (1969). The Age of Discontinuity. London: Heinemann. Dyson, Gilder, Keyworth dan Toffler (1994) Cyberspace and the American Dream: A Magna Carta for the Knowledge Age. In: Future Insight 1.2. The Progress & Freedom Foundation. Hozic, Aida A. (2001). Hollyworld: Space, Power, and Fantasy in the American Economy. Ithaca, NY: Cornell University Press. Huseini, Martani (2000) Mencermati misteri globalisasi : Manata-ulang strategi pemasaran internasional Indonesia melalui pendekatan Resource-Based. USAHAWAN No. 01 Th XXIX Januari 2000 IDP (2007). Australia’s Export of Education Services [Onlaine]. Available: http://www.idp.com/research/statistics/article403.asp Lyotard, Jean-François (1984). The Postmodern Condition. Manchester: Manchester University Press. Sutadi, Heru (2003). Transaksi Seks, Modus Baru Kejahatan Internet. Sinar Harapan, Sabtu, 14 Juni 2003 Stehr, Nico (2002a) A World Made of Knowledge. Lecture at the Conference “New Knowledge and New Consciousness in the Era of the Knowledge Society", Budapest, January 31st 2002. Online: [http://www.crsi.mq.edu.au/documents/worldknowledge.pdf] Stehr, Nico (2002b) Knowledge & Economic Conduct. Toronto: University of Toronto Press. Toffler, A. (1970). Future Shock. New York, Bantam Books. Toffler, A. (1980). The Third Wave. New York, Bantam Books. Toffler, A., & Toffler, H. (1994). Creating a new civilization. Atlanta: Turner Publishing.
Touraine, Alain (1988). Return of the Actor. Minneapolis. University of Minnesota Press. Van Dijk, Jan (2006) The Network Society. London: Sage. Second Edition. Welch, Wilford (2000). The Information Society Index (ISI) 2000 (A Special Report). World Bank, IDC Framingham, MA.