PCR untuk Deteksi Salmonella sp - Prayoga, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 2 p.483-488, April 2015
POLYMERASE CHAIN REACTION UNTUK DETEKSI Salmonella sp. : KAJIAN PUSTAKA Polymerase Chain Reaction for Detection of Salmonella sp. : A Review Windra Prayoga1*, Agustin Krisna Wardani1 1) Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang Jl. Veteran, Malang 65145 *Penulis Korespondensi, Email:
[email protected] ABSTRAK Keberadaan bakteri patogen seperti Salmonella sp. dalam makanan tidak dikehendaki sebab bakteri tersebut dapat menyebabkan foodborne disease, maka dari itu keberadaan Salmonella sp. dalam makanan harus dideteksi. Pendeteksian Salmonella sp. dapat dilakukan dengan berbagai cara, satu diantaranya adalah dengan teknik Polymerase Chain Reaction. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu metode molekuler yang bekerja dengan cara memperbanyak potongan DNA yang dikehendaki dari suatu organisme. PCR mampu bekerja pada substansi sampel yang sangat kompleks seperti makanan serta mampu bekerja secara cepat dan spesifik. Karena kelebihannya tersebut, PCR sesuai digunakan untuk mendeteksi keberadaan Salmonella sp. Pendeteksian Salmonella sp. pada menggunakan PCR menyebabkan deteksi dapat dilakukan dalam waktu singkat dengan keakurasian yang tinggi sehingga dapat dilakukan penanganan yang sesuai pada makanan. Kata Kunci: Deteksi, Molekuler, Salmonella sp. ABSTRACT Presence of pathogen bacteria such as Salmonella sp. in food wasn’t desired because it can causing foodborne disease, so the presence of Salmonella sp. in food must be detected. Salmonella sp. detection can performed using various way, one of them is Polymerase Chain Reaction technique. Polymerase Chain Reaction (PCR) is a molecular method that amplified a piece of desired DNA from organism. PCR can work on a complex sample substances (i.e. food) with fast and specific. For that reasons, PCR is appropriate to detect Salmonella sp. on food. Salmonella sp. detection on food using PCR makes the result can obtained fastly and accurately so the food can be handled correctly. Keywords: Detection, Molecular, Salmonella sp. . PENDAHULUAN Foodborne disease merupakan salah satu penyebab utama kematian manusia dan berpengaruh besar terhadap kesehatan manusia hampir di semua negara sehingga foodborne disease dianggap suatu ancaman serius bagi kesehatan masyarakat global [1] [2]. Foodborne disease umumnya diakibatkan adanya toksin atau infeksi oleh bakteri patogen yang masuk kedalam tubuh manusia melalui perantara makanan atau minuman [2]. Oleh sebab itu keberadaan bakteri patogen pada makanan atau minuman tidak dikehendaki dan harus segera dihilangkan. Namun sebelum melakukannya, diperlukan suatu deteksi bakteri patogen pada makanan tersebut. Deteksi harus dilakukan dengan tepat sehingga perlakuan yang diberikan sesuai dan dapat menghilangkan bakteri patogen tersebut pada makanan. Terdapat bermacam jenis deteksi bakteri patogen yang umumnya disesuaikan dengan bakteri patogen yang dideteksi serta jenis sampel yang digunakan. 483
PCR untuk Deteksi Salmonella sp - Prayoga, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 2 p.483-488, April 2015 Jenis bakteri patogen yang banyak dan kerap kali bertindak sebagai agen penyebab foodborne disease adalah Salmonella sp. [3]. Salmonella sp. dapat dideteksi dengan berbagai cara, salah satunya menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Teknik PCR merupakan teknik yang kini banyak dikembangkan dan populer, hal ini dikarenakan teknik PCR memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh teknik lainnya serta memiliki banyak potensi lain yang belum terungkap [4]. Salmonella sp. Salmonella adalah organisme sel tunggal (prokariota) yang termasuk dalam kelompok bakteri golongan Gammaproteobacteria, dan termasuk dalam famili Enterobacteriaceae [5] [6]. Seluruh anggota genus Salmonella merupakan bakteri Gram negatif, anaerob fakultatif, dan berbentuk batang lurus berukuran 0.70 – 1.50 x 2.00 – 5.00 µm, serta tidak memiliki kemampuan untuk membentuk spora (non-sporulating) [7] [8]. Salmonella sp. pada umumnya memiliki flagella tipe peritrichous sehingga memiliki kemampuan motilitas sel (kecuali serotipe Gallinarum atau Pullorum), memiliki fimbriae, membentuk koloni berdiameter antara 2-4 mm (kecuali serotipe Abortusovis), bersifat patogen, dan mudah beradaptasi dengan inang (host) [6]. Salmonella sp. dapat tumbuh optimal pada suhu 35 – 37oC, pH 6.50 – 7.50, dan Aw antara 0.94 – 0.99. Karena karakteristiknya tersebut, mayoritas Salmonella dapat dibunuh menggunakan perlakuan berupa pasteurisasi atau blansing (pemanasan dengan suhu sekitar 80 – 100oC) [9]. Salmonella terdiri atas dua spesies, yakni Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Spesies Salmonella enterica sendiri terdiri atas enam subspesies, yaitu subspesies enterica, arizonae, diarizonae, houtenae, indica, dan salamae, dimana subspesies tersebut terdiri atas bermacam serotipe sedangkan Salmonella bongori merupakan spesies yang berdiri tunggal tanpa memiliki subspesies dan serotipe [10]. Salmonella sp. seringkali bertindak sebagai penyebab utama infeksi pada penyakit foodborne disease [6]. Salmonella sp. dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti penyakit diare, salmonellosis, gastroenteritis, demam tifus, bacteremia (sepsis), serta penyakit infeksi lokal lainnya [11]. Salmonella sp. umumnya dikelompokkan secara garis besar berdasarkan jenis penyakit yang diakibatkannya menjadi dua golongan, yakni typhoid dan non-typhoid. Salmonella golongan non-typhoid merupakan kelompok Salmonella yang dapat menyebabkan penyakit tifus, yang termasuk dalam golongan typhoid ini adalah Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi (A, B, dan C) [9]. Sedangkan Salomonella golongan non-typhoid merupakan kelompok Salmonella yang tidak dapat menyebabkan penyakit tifus, yang termasuk dalam golongan non-typhoid ini adalah seluruh anggota genus Salmonella lainnya [12]. Polymerase Chain Reaction Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik in vitro yang digunakan untuk melakukan replikasi atau amplifikasi bagian spesifik dari berjuta lipatan DNA hanya dalam beberapa jam [13]. Ide awal PCR diemukan pada tahun 1983 oleh Kary Mullis untuk menjawab pertanyaan genetika saat itu, yakni bagaimana cara memperbanyak untaian DNA yang diinginkan. Metode PCR ini pada awalnya sangat lambat, mahal, dan tidak presisi, namun seiring perkembangannya kini PCR memiliki berbagai keunggulan sehingga banyak digunakan utamanya dalam bidang biologi molekuler [14] Kelebihan dan Kelemahan PCR PCR memiliki beberapa keunggulan, diantaranya dapat memperbanyak DNA pada bagian yang spesifik sesuai yang diharapkan [15], memiliki sensitivitas tinggi, dapat digunakan untuk melakukan pengujian hingga manipulasi DNA [13], mampu memberikan hasil dalam waktu singkat, dapat digunakan untuk mendeteksi sampel yang terkontaminasi maupun menyeleksi sampel negatif [4], dapat mengidentifikasi organisme secara mendetail hingga tingkat spesies bahkan serotipe yang bahkan tidak dapat dilakukan menggunakan sistem konvensional [16], dapat bekerja pada materi genetik dari berbagai sel, serta dapat 484
PCR untuk Deteksi Salmonella sp - Prayoga, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 2 p.483-488, April 2015 dilakukan pada sampel yang berupa campuran kompleks. Namun meski begitu, PCR juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya DNA sel bakteri yang mati ikut terdeteksi pula [17]. Prinsip Kerja PCR Dalam melakukan tugasnya, PCR membutuhkan beberapa substansi sebagai bahan baku, yakni primer, DNA target atau DNA sampel, enzim polimerase, dNTP, kation divalen seperti magnesium klorida, dan buffer (umumnya menggunakan buffer Tris). Primer merupakan oligonukleotida yang komplemen terhadap DNA target berjumlah dua buah atau sepasang. Enzim polimerase merupakan enzim yang berperan dalam proses sintesis atau pemanjangan untaian DNA baru, umumnya menggunakan enzim Taq Polimerase. dNTP merupakan molekul bahan baku pembentuk untaian DNA baru, terdiri atas dATP, dTTP, dGTP, dan dCTP. Magnesium klorida menyediakan molekul Mg2+ yang berfungsi sebagai kofaktor enzim polimerase. Buffer yang digunakan dalam PCR umumnya adalah Tris-HCl [13]. Proses PCR secara umum berlangsung dalam tiga tahap, yakni tahap denaturasi, tahap penempelan (annealing), dan tahap pemanjangan (extension). Tahap denaturasi dilakukan dengan menaikkan suhu hingga suhu 93 – 94oC dan bertujuan untuk memecah DNA target dari dua untai menjadi untaian DNA tunggal yang saling terpisah. Tahap annealing dilakukan pada suhu 50 – 60oC setelah tahap denaturasi dan bertujuan agar primer menempel pada DNA target. Tahap extension berlangsung pada suhu 72oC setelah tahap annealing dan bertujuan agar enzim polimerase dapat melakukan sintesis sehingga berlangsung proses pemanjangan untaian DNA baru [13]. Setiap tahap PCR tersebut harus dilakukan secara berurutan dan satu perjalanan dari tahap denaturasi hingga tahap extension dinamakan satu siklus (cycle). Umumnya satu proses PCR membutuhkan sekitar 30 – 40 siklus demi mendapatkan untaian DNA baru (amplicon) dalam jumlah cukup banyak sesuai kebutuhan hasil analisis DNA. Perubahan suhu dalam setiap tahap PCR tersebut juga harus dilakukan dalam waktu singkat, oleh sebab itu PCR dilakukan menggunakan alat bernama PCR thermal cycler [13]. Faktor yang Mempengaruhi PCR Karena prinsip kerjanya yang demikian, hasil yang didapatkan dari teknik PCR dipengaruhi oleh beberapa hal seperti substansi yang digunakan serta pola gradien dan siklus PCR. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, dibutuhkan konsentrasi enzim Taq Polimerase sekitar 1 – 2.50 unit / 100 µl reaksi, dNTP dengan konsentrasi 10 mM, magnesium klorida dengan konsentrasi 1 – 10 mM, buffer Tris-HCl konsentrasi 10 – 50 mM pH 8.30 – 8.80. Disamping itu untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal, dibutuhkan primer yang spesifik sesuai kebutuhan dengan konsentrasi 25 µM. Kemurnian DNA target juga mampu mempengaruhi hasil PCR, sehingga untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal diperlukan DNA target yang murni dengan konsentrasi 500 ng [17]. Pola gradien dan siklus PCR merupakan faktor lain yang juga berpengaruh besar terhadap hasil PCR. Namun seringkali pola gradien dan siklus PCR tidak dapat ditentukan dengan pasti. Hal ini dikarenakan pola gradien dan siklus PCR dapat berbeda-beda menyesuaikan dengan substansi yang digunakan, utamanya suhu annealing yang menyesuaikan dengan jenis primer yang digunakan. Meski begitu, umumnya PCR dilakukan dengan pola gradien dan siklus yang tidak berbeda jauh. Pola gradien yang umumnya digunakan adalah tahap denaturasi pada suhu 90 – 97oC, tahap annealing pada suhu 50 – 65 oC, tahap extension pada suhu 72 oC, serta siklus PCR sebanyak 25 – 35 siklus [17]. Analisis Hasil PCR Hasil PCR yang didapat tidak dapt diketahui secara langsung menggunakan mata telanjang, sehingga diperlukan adanya analisis terhadap produk PCR tersebut menggunakan suatu metode, yakni metode elektroforesis [15]. Elektroforesis merupakan metode standar untuk analisis, identifikasi, dan purifikasi fragmen DNA dalam berbagai 485
PCR untuk Deteksi Salmonella sp - Prayoga, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 2 p.483-488, April 2015 laboratorium biologi molekuler. Elektroforesis pada dasarnya bekerja berdasarkan migrasi atau perpindahan partikel-partikel bermuatan dalam lingkungan yang memiliki medan listrik dan kemudian terpisahkan oleh gel elektroforesis tempatnya berpindah [17]. Seluruh molekul atau fragmen DNA bermuatan negatif, sehingga fragmen DNA akan bergerak menuju kutub positif (anoda) dengan perpindahan yang sama dalam medan listrik. Fragmen DNA kemudian terpisahkan berdasarkan kemampuan pergerakannya dalam matriks gel. Molekul DNA berukuran besar akan mengalami kesulitan untuk melewati poripori gel agarosa, sedangkan molekul DNA berukuran kecil akan lebih mudah melewati poripori gel tersebut. Oleh sebab itu maka mobilitas molekul DNA dalam gel agarosa pada konsentrasi gel yang sama akan berbeda bergantung pada ukuran molekul atau fragmen DNA sampel [17]. Metode elektroforesis yang banyak digunakan untuk menganalisis molekul DNA adalah elektroforesis horisontal menggunakan gel agarosa [17]. Konsentrasi gel agarosa yang digunakan untuk elektroforesis harus disesuaikan dengan panjang amplicon yang diharapkan. Pengaturan kapilaritas gel elektroforesis akan meningkatkan resolusi analisis hasil PCR secara signifikan, dan hal ini menyebabkan terjadinya pemisahan molekul DNA berdasar ukuran molekul secara sempurna [18]. Hasil elektroforesis DNA dapat dianalisis setelah melalui pewarnaan menggunakan pewarna DNA, pewarna DNA yang paling banyak digunakan adalah ethidium bromida [18]. Fragmen DNA yang telah diwarnai tersebut ketika diamati dibawah sinar ultraviolet akan terlihat sebagai pita-pita dalam gel elektroforesis berwarna oranye-merah yang berpendar [17]. PCR untuk Deteksi Salmonella sp. PCR yang bekerja dengan cara memperbanyak potongan DNA spesifik dari suatu organisme serta kemampuannya untuk bekerja pada sampel yang kompleks dengan cepat dan memberikan hasil dengan tingkat akurasi tinggi [19] menyebabkan PCR memiliki potensi besar untuk diaplikasikan sebagai metode deteksi bakteri patogen penyebab foodborne disease seperti Salmonella sp. [20] [21]. Namun penggunaan PCR untuk mendeteksi Salmonella sp. tersebut harus memperhatikan beberapa hal, utamanya tentang DNA sampel dan primer yang akan digunakan. DNA sampel yang digunakan dalam deteksi Salmonella sp. didapatkan dari hasil ekstraksi DNA bakteri Salmonella sp. dalam sampel yang umumnya berupa makanan atau minuman. Proses ekstraksi DNA tersebut harus dilakukan dengan tepat sehingga DNA bakteri dapat terekstrak dengan baik, disamping itu dibutuhkan pula tahap preparasi DNA sampel berupa purifikasi dan penyesuaian konsentrasi DNA sampel sebelum memasuki proses PCR. Purifikasi DNA sampel berfungsi untuk memisahkan DNA sampel dari komponen sel bakteri lainnya, sedangkan penyesuaian konsentrasi DNA sampel berfungsi untuk menjadikan konsentrasi DNA sampel cukup untuk digunakan dalam PCR (umumnya sebesar 500 ng) [17]. Selain DNA sampel, jenis primer yang digunakan dalam mendeteksi Salmonella sp. dengan PCR juga harus disesuaikan. Hal ini dikarenakan jenis primer sangat beragam, dimana setiap jenis primer memiliki kesesuaian dengan suatu jenis bakteri tertentu yang memiliki spesifitas tertentu. Jenis primer yang banyak digunakan untuk mendeteksi Salmonella sp. secara umum menggunakan PCR adalah primer S139-S141 yang komplemen dengan sekuen pada gen invA [22]. SIMPULAN Penggunaan PCR untuk mendeteksi Salmonella sp. merupakan suatu aplikasi yang tepat sebab PCR mampu memberikan hasil deteksi Salmonella sp. yang lebih cepat dan akurat walaupun dilakukan pada sampel yang kompleks. Meski begitu agar didapatkan hasil deteksi yang optimal, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain substansi serta pola dan gradien yang digunakan pada proses PCR. 486
PCR untuk Deteksi Salmonella sp - Prayoga, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 2 p.483-488, April 2015 DAFTAR PUSTAKA 1) Johnson, E.A. ‘Bacterial Pathogens and Toxins in Foodborne Disease’. Dalam D’Mello, J.P.F. (ed.). 2003. Food Safety: Contaminants, and Toxins. Cab Publishing, Edinburgh. 2) Blackburn C.W. and P.J. McClure. ‘Introduction’. Dalam Blackburn C.W. and P.J. McClure (ed.). 2002. Foodborne Pathogens: Hazards, Risk Analysis and Control. Woodhead Publishing Limited, Cambridge and CRC Press LLC, Boca Raton. 3) Bell, C. ‘Salmonella’. Dalam Blackburn C.W. and P.J. McClure (ed.). 2002. Foodborne Pathogens: Hazards, Risk Analysis and Control. Woodhead Publishing Limited, Cambridge and CRC Press LLC., Boca Raton. 4) Bell, C. and A. Kyriakides. 2002. Salmonella : A Practical Approach to The Organism and Its Control In Foods. Blackwell Science, Ltd., Oxford. 5) Brands, D.A. 2006. Deadly Diseases and Epidemics : Salmonella. Chelsea House Publisher, Philadelphia. 6) Popoff, M.Y. and L.E.L Minor. ‘Genus XXXIII: Salmonella’. Dalam Garrity, G.M. et al.(ed.). Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology, Second Edition, Volume Two:The Proteobacteria, Part B:The Gammaproteobacteria. Springer Science+Business Media, LLC., New York. 7) Levin, R.E. 2010. Rapid Detection and Characterization of Foodborne Pathogens by Molecular Techniques. CRC Press, Boca Raton. 8) Mølbak, K., J.E. Olsen, H.C. Wegener. ‘Salmonella Infections’. Dalam Riemann, H.P. and D.O. Cliver (ed.). 2006. Foodborne Infections and Intoxications, Third Edition. Academic Press, Elsevier Inc., London. 9) Hu, L. and D.J. Kopecko. ‘Typhoid Salmonella’. Dalam Miliotis, M.D. and J.W. Bier. (ed.). 2003. International Handbook of Foodborne Pathogens. Marcel Dekker, Inc., New York. 10) Jenkins, C. and S.H. Gillespie. ‘Salmonella spp.’. Dalam Gillespie, S.H. and P.M. Hawkey (ed.). 2006. Principles and Practice of Clinical Bacteriology, Second Edition. John Wiley & Sons, Ltd., England. 11) Forbes, B.A., D.F. Sahm, and A.S. Weissfeld. 2007. Bailey & Scott's Diagnostic Microbiology, 12th Edition. Mosby Elsevier, Missouri. 12) Hanes, D. ‘Nontyphoid Salmonella’. Dalam Miliotis, M.D. and J.W. Bier. (ed.). 2003. International Handbook of Foodborne Pathogens. Marcel Dekker, Inc., New York. 13) Loeffelholz, M. and H. Deng. ‘PCR and Its Variations’. Dalam Tang, Y.W. and C.W. Stratton (ed.). 2006. Advanced Techniques in Diagnostic Microbiology. Springer Science+Business Media LLC., New York. 14) Broll, H. ‘Polymerase Chain Reaction’. Dalam Popping, B., C.D. Amigo, K. Hoenicke (ed.). 2010. Molecular Biological and Immunological Techniques and Applications for Food Chemists. John Wiley & Sons, Inc., New Jersey. 15) Sanderson, K. and D. Nichols. ‘Genetic Techniques : PCR, NASBA, Hybridisation and Microarrays’. Dalam McMeekin, T.A. (ed.). 2003. Detecting Pathogens in Food. Woodhead Publishing Limited, Cambridge and CRC Press LLC., Boca Raton. 16) Kohlerschmidt, D.J., K.A. Musser, and N.B. Dumas. ‘Identification of Aerobic GramNegative Bacteria’. Dalam Goldman, E. and L.H. Green (ed.). 2009. Practical Handbook of Microbiology, Second Edition. CRC Press, Boca Raton. 17) Agrawal, S. 2008. Techniques in Molecular Biology. International Book Distributing Co., Lucknow. 18) Lo, Y.M.D. and K.C.A. Chan. ‘Introduction to the Polymerase Chain Reaction’. Dalam Lo, Y.M.D., R.W.K. Chiu, and K.C.A. Chan. (ed.). 2006. Clinical Applications of PCR, Second Edition. Humana Press, New Jersey. 19) Amar, C.F.L. ‘Molecular Diagnosis of Gastrointestinal Pathogens’. Dalam Kessler, H.H. (ed.). 2010. Molecular Diagnostics of Infectious Diseases. Walter de Gruyter GmbH & Co. KG., Berlin.
487
PCR untuk Deteksi Salmonella sp - Prayoga, dkk Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 2 p.483-488, April 2015 20) Boer, E.D. ‘Detection and Enumeration of Pathogens in Meat, Poultry, and Egg Products’. Dalam Mead, G.C. (ed.). 2007. Microbiological Analysis of Red Meat, Poultry and Eggs. Woodhead Publishing Limited, Cambridge and CRC Press LLC., Boca Raton. 21) Marlowe, E.M. and D.M. Wolk. ‘Pathogen Detection in the Genomic Era’. Dalam Tang, Y.W. and C.W. Stratton (ed.). 2006. Advanced Techniques in Diagnostic Microbiology. Springer Science+Business Media LLC., New York. 22) Malorny, B., J. Hoorfar, C. Bunge, and R. Helmuth. 2003. Multicenter Validation of the Analytical Accuracy of Salmonella PCR: towards an International Standard. Applied and Environmental Microbiology Vol.69:No.1, 290-296.
488