POLITIK TAK BERJIWA: FENOMENA IKLAN POLITIK DAN ARTIS BERPOLITIK DI INDONESIA
Wahyu Ishardino Satries
ABSTRACT The aim in politics now has shifted to the direction of a very pragmatic, ie, profitoriented individuals or groups. This orientation is clearly an economic orientation that is promoting the benefits and how that individual makes a profit. These conditions make the current political and poisoned by the logic of economic rationality, profit-oriented individuals and groups. This makes the political and then lose his soul. Keywords: politics, political parties, political communication, political marketing
PENDAHULUAN Politik sejatinya adalah cara untuk mencapai kekuasaan yang dilandasi oleh semangat pengabdian perjuangan dalam mewujudkan kebaikan umum. Hal inilah yang kemudian menjadi ruh dari politik itu sendiri, yakni sebuah perjuangan untuk mencapai kepentingan umum. Runtuhnya rezim otoriter Soeharto pada tahun 1998 yang lalu, sebenarnya membuka jalan bagi sistem politik di Indonesia untuk menerapkan praktik politik yang sebenarnya. Praktik politik di masa Orde Baru yang kental dengan budaya KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), otoriter, dan demokrasi yang semu, diharapkan tidak terjadi lagi pada masa reformasi pasca 1998. Dengan demikian, reformasi 1998 sebenarnya merupakan pintu gerbang menuju sistem demokrasi di Indonesia yang lebih sehat. Kondisi politik riil dalam kurun 10 tahun terakhir, terlihat secara nyata telah terjadi pergeseran nilai. Tampak pada praktik politik yang ditunjukkan oleh sikap para wakil rakyat yang duduk di parlemen. Praktik politik masih kental dengan budaya
korupsi,
berorientasi
kepentingan
menghalalkan segala cara.
1
pribadi
dan
golongan,
serta
Toto Sugiarto dalam artikelnya yang berjudul “Politik yang Tak Berjiwa” (TEMPO, 22 September 2008),mengambarkan fenomena yang dipraktikkan oleh partai politik menjelang Pemilu. Sejalan dengan menyimpangnya orientasi politik, partai politik pun ikut mengalami perubahan fungsi, yang seharusnya merupakan wadah untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat berubah menjadi industri kekuasaan. Partai politik tidak menjadi sarana untuk mewujudkan dan memperjuangan roh politik yang sesungguhnya. Cara-cara yang digunakan oleh partai politik dalam meraih kekuasaan, yang secara konkrit berwujud pada perolehan kursi di parlemen, merupakan cara-cara yang cenderung instan serta tidak dimulai oleh perjuangan dari bawah. Terdapat dua fenomena yang setidaknya menunjukkan hal tersebut. Pertama adalah fenomena banyaknya artis yang dicalonkan atau mencalonkan diri menjadi calon legislatif dalam Pemilu 2009 lalu serta dalam Pemilukada 2010 ini. Sesungguhnya bukan keberadaan artisnya yang menjadi masalah, tetapi dijadikannya artis sebagai alat oleh partai politik untuk memperoleh kursi, hal itulah yang menjadi masalah. Partai politik menjadikan artis sebagai jawaban atas permintaan masyarakat yang telah bosan dan apatis terhadap politisi-politisi lama dan menginginkan wajah-wajah baru. Efek yang kemudian muncul adalah artis menjadi alat untuk meraih kursi, dan dalam konteks inilah kekuasaan menjadi industri yang mengikuti hukum ekonomi, yakni adanya permintaan pasar akan wajah baru dijawab oleh adanya penawaran dari partai politik berupa wajah baru yang barasal dari kalangan artis. Penawaran yang didasarkan oleh unsur popularitas yang bukan berasal dari hasil perjuangan mewujudkan kebaikan rakyat, melainkan dari kompetensi yang lain, seperti artis sinetron atau atlet, dan lain-lain. Penawaran yang pragmatis inilah yang kemudian membuat dicalonkannya artis tersebut bermotif ekonomi, yakni berorientasi pada keuntungan, bukan pada kebaikan umum. Fenomena kedua adalah iklan politik. Iklan sebagai bentuk komunikasi dan pemasaran politik merupakan hal yang sah dan wajar. Namun, ketika pola pikir yang digunakan dalam membuat iklan tersebut adalah bahwa kekuasan dapat
2
diraih dengan cara meningkatkan popularitas melalui iklan dan rekayasa citra, maka hal inilah yang menjadi masalah. Pola pikir semacam itu seakan-akan menyamakan antara barang politik (partai politik, caleg, dan sebagainya) dengan barang/produk ekonomi yang sesungguhnya sangat jauh berbeda. Dalam hal ini, misalnya, sabun cuci sebagai barang ekonomi yang dipromosikan melalui iklan, yang memang bisa bermanfaat untuk mencuci, disamakan dengan caleg yang juga dipromosikan melalui iklan, namun belum tentu bisa bermanfaat bagi rakyat. Hal ini berarti, yang menjadi tujuan dalam iklan politik adalah hanya semata-mata untuk meraih popularitas dengan cara instan, bukan untuk mensosialisasikan konsep perjuangan rakyat atau hal-hal konkrit yang telah dilakukan oleh tokoh yang bersangkutan yang telah diakui oleh rakyat. Dalam konteks inilah, iklan politik kemudian lebih cenderung menipu rakyat ketimbang mempromosikan tokoh yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat dan memang memiliki
kapasitas dan pengalaman dalam
memperjuangan aspirasi rakyat. Dari kedua fenomena tersebut di atas, jelaslah bahwa politik telah mengalami pergeseran nilai, dan partai politik yang menjadi salah satu komponen dalam politik itu sendiri juga mengalami pergeseran fungsi. Tulisan ini akan menganalisis masalah tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan antara lain : 1.
Apa yang sesungguhnya menjadi penyebab dari terjadinya pergeseran nilai dan pergeseran fungsi tersebut, yang kemudian membuat politik menjadi kehilangan ruhnya, atau juga disebut sebagai politik yang tak berjiwa?
2.
Apa yang kemudian menjadi dampak dari terjadinya pergeseran nilai dan fungsi dari politik dan partai politik, yang secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh
terhadap
proses
berlangsung di Indonesia?
3
demokratisasi
yang
sedang
TINJAUAN PUSTAKA Teori Politik Mengenai politik, Harold D. Lasswell, menyatakan bahwa politics is who gets what, when and how. Politik adalah siapa mendapat apa, kapan, dan dengan cara bagaimana (Hamad, 2007). Dalam dunia politik, komponen siapa (who) adalah lembaga politik (yakni yang termasuk didalamnya antara lain partai politik, parlemen, lembaga kepresidenan, dan sebagainya), kandidat politik, aktivis politik, dan pejabat politik sebagai aktor politik. Selain bermaksud mendapatkan kedudukan dan jabatan politik (gets what), lembaga, pejabat, dan kandidat politik juga tentu ingin meraih perolehan materi. Musim (masa) Pemilu (baik yang merupakan Pemilu anggota legislatif, pilpres, serta pilkada) adalah saat-saat (when) yang dapat dengan mudah diidentifikasi sebagai waktu yang digunakan oleh lembaga dan kandidat dalam upayanya memperoleh keuntungan-keuntungan politik. Sedangkan how merujuk pada cara mencapai tujuan-tujuan yang dilakukan oleh lembaga dan atau kandidat politik.
Teori Partai Politik Selanjutnya mengenai partai politik itu sendiri, menurut Carl J. Friedrich dalam Budiardjo (2004), partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. Perolehan manfaat yang bersifat idiil maupun materiil bagi partai dan para anggotanya (sebagian maupun keseluruhan) telah dicantumkan secara jelas dalam definisi ini. Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties juga dalam Budiardjo (2004) mengemukakan bahwa partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang memiliki pandangan berbeda. Sigmund Neumann
4
telah menyatakan tentang adanya persaingan yang akan dilakukan oleh partai politik dalam rangka merebut dukungan rakyat. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai dan citacita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik –biasanya dengan cara konstitusionil– untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka (Budiardjo, 2004).
Teori Komunikasi Politik Selanjutnya mengenai cara untuk mencapai tujuan-tujuan politik adalah melalui komunikasi politik. Komunikasi politik menurut Sumarno dan Didi Suhandi dalam Erwantoro (1996) adalah suatu proses, prosedur, dan kegiatan membentuk sikap dan perilaku politik yang terintegrasi dalam suatu sistem politik. Pengertian ini menunjuk kepada sikap dan perilaku seluruh individu yang berada dalam lingkup sistem politik, baik sebagai penyelenggara pemerintah maupun sebagai warga negara, sehingga terwujud jalinan komunikasi antara suasana kehidupan politik pemerintah dengan suasana kehidupan politik masyarakat. Dengan demikian, secara prinsip komunikasi politik adalah proses meneruskan informasi politik yang relevan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, juga diantara sistem-sistem sosial dengan sistem politik. Proses itu merupakan proses yang berkesinambungan yang melibatkan pertukaran informasi di antara individu-individu yang satu dengan kelompokkelompoknya pada semua tingkat masyarakat. Adapun sifat informasi tersebut tidak hanya mencakup perwujudan pandangan-pandangan serta harapan para anggota masyarakat, tetapi juga merupakan sarana bagi para komunikator politik untuk menyampaikan pandangan, usulan, dan anjuran kepada anggota masyarakat. Dalam melakukan komunikasi politik terdapat bermacam saluran komunikasi politik yang secara umum terbagi atas enam kelompok (Hamad, 2007), yaitu saluran komunikasi politik lini atas (above the line), saluran komunikasi politik lini bawah (below the line), saluran komunikasi politik melalui special event dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang dirancang khusus untuk tujuan 5
politik, saluran komunikasi politik melalui media baru (new media), saluran komunikasi
politik
dengan
komunikasi
antarpribadi
(interpersonal
communication), dan media tradisional (folk art).
Teori Pemasaran Politik Kemudian dalam rangka meraih dukungan masyarakat demi tercapainya kekuasaan politik dan pemerintahan, terdapat sebagian politikus dan partai politik yang menggunakan pendekatan dan metode pemasaran. Penggunaan metode pemasaran dalam bidang politik dikenal sebagai pemasaran politik (political marketing). Penggunaan pendekatan dan metode pemasaran tersebut adalah untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efisien serta efektif dalam membangun hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat. Hubungan ini diartikan secara luas, dari kontak fisik selama periode kampanye sampai dengan komunikasi tidak langsung melalui pemberitaan di media massa (Firmanzah, 2008). Menurut Adman Nursal (2004), pada dasarnya pemasaran politik adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada pemilih. Tujuannya membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi, dan perilaku pemilih. Dalam pemasaran politik, terdapat elemen yang disebut periklanan yang merupakan salah satu sub dalam pemasaran (Setiyono, 2008). Melalui iklan, warga atau masyarakat mengetahui lebih banyak mengenai suatu produk atau ide yang dapat dipilih. Di banyak negara, iklan terbukti efektif dan efisien melakukan komunikasi massa. Dengan memahami profesionalismenya, praktisi periklanan dan komunikasi dapat mengoptimalkan peran iklan dalam membantu kampanye partai politik.
Fenomena Iklan Politik dan Caleg Artis Babak baru kehidupan berpolitik di Indonesia yang ditandai dengan penerapan sistem multipartai telah melahirkan pula berbagai fenomena baru yang 6
dilakukan oleh partai politik dalam upayanya meraih simpati dan suara rakyat Indonesia. Sebagian kalangan menilai fenomena ini sebagai politik tak berjiwa yang telah menggeser peran dan fungsi partai politik yang saat ini lebih berorientasi kepada upaya meraih dukungan sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan program, visi dan misi yang seharusnya ditawarkan kepada rakyat Indonesia sebagai solusi permasalahan negari ini. Iklan (dalam hal ini adalah iklan politik) yang merupakan suatu bentuk pemasaran politik, yang biasanya disajikan secara berulang-ulang, akan dapat menarik perhatian orang. Menurut Jalaludin Rakmat, apabila suatu hal disajikan secara berulang-ulang akan dapat menarik perhatian dan akhirnya mempengaruhi bawah sadar seseorang. Selain itu, Wells, Burnett & Moriarty (2000) menyatakan bahwa seseorang butuh untuk mendengar atau melihat sesuatu minimal tiga kali sebelum hal yang didengar atau dilihat menempel dalam memori seseorang. Informasi yang berasal dari terpaan iklan dan perasaan-perasaan yang terbentuk daripadanya dapat mempengaruhi sikap terhadap obyek iklan dan akhirnya dapat mempengaruhi tindakan khalayak. Fenomena-fenomena tersebut menurut Eep Saefulloh Fatah dinamakan juga dengan “demokrasi electoral” (electoral democracy) yaitu suatu kondisi iklim demokrasi yang memfasilitasi terbangunnya pemilih (electorate) sebagai penentu. Selain itu terdapat perubahan langgam hubungan di antara partai politik dengan pemilihnya yang kemudian membentuk pasar politik (political market) dengan aktivitas utama dari pasar politik tersebut yaitu pertukaran (exchange) antara partai politik dengan pemilihnya. Menurut Adnan Nursal (2004), terdapat 5 (lima) faktor yang membuat pemasaran politik berkembang di Indonesia : 1. Sistem multipartai yang memungkinkan siapa saja boleh mendirikan partai politik dan memiliki konsekuensi akan timbulnya persaingan tajam antar partai politik. 2. Pemilih telah lebih bebas menentukan pilihannya dibandingkan Pemilu sebelumnya, sehingga syarat bagi penerapan political marketing terpenuhi. 3. Partai-partai lebih bebas menentukan platform dan identitas organisasinya. 7
4. Pemilu merupakan momentum sejarah yg penting dalam perjalanan bangsa sehingga pihak-pihak berkepentingan, terutama elit politik akan berusaha keras untuk ambil bagian. 5. Sistem pemilihan anggota parlemen, Dewan Perwakilan Daerah, dan presiden secara langsung, yang kelak akan diikuti oleh pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Kelima faktor ini merupakan alasan utama yang menjadi pemikiran pelaku politik, dalam hal ini partai politik agar aktivitas politik mereka dapat diterima oleh masyarakat. Selain itu juga sebagai wahana pembuktikan eksistensi mereka dalam dunia perpolitikan. Terkait penggunaaan iklan politik, data AC Nielsen menunjukkan bahwa belanja iklan 41 partai politik pada Pemilu tahun 1999 mencapai Rp. 35,6 milyar dengan total dana kampanye partai politik dalam Pemilu tahun 1999 berdasarkan iklan yang ditayangkan dari 10 partai politik yang paling besar mengalokasikan dana adalah Rp.34,0 milyar. Sedangkan pada Pemilu 2004, penggunaan strategi periklanan dalam kampanye politik makin semarak. Belanja iklan nasional partai politik mengalami peningkatan yang signifikan. hasil riset Nielsen Media Research (NMR) periode Maret 2004 menunjukkan bahwa total belanja iklan partai politik mencapai Rp. 112,2 milyar. Untuk Pemilu tahun 2009, total belanja iklan partai politik peserta Pemilu diperkirakan naik menjadi sekitar Rp 2 triliun. Semakin ketatnya aturan bagi partai politik yaitu dengan adanya aturan parliamentary threshold dan electoral threshold berdasarkan UU No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Pasal 202 ayat 1, diyakini semakin membuat belanja iklan partai politik melonjak tajam. Dari data yang diperoleh berdasarkan riset AC Nielsen periode kuartal I tahun 2009, 3 besar partai politik yang memiliki belanja iklan terbesar adalah Partai Golkar menempati posisi teratas dalam membelanjakan iklan mencapai Rp 185,153 miliar. Kemudian disusul oleh Partai Demokrat dengan belanja sebanyak Rp 123,056 miliar, sedangkan di posisi ketiga ditempati oleh Partai Gerinda sebesar Rp 66,716 miliar. 8
Dengan iklan mereka tak hanya dapat melakukan perjumpaan dengan rakyat Indonesia yang terlampau banyak itu, namun dengan iklan mereka mampu memanipulasi diri agar tampak baik dan mengagumkan. Agaknya sebab itu pula, dalam penampilan mereka di iklan-iklan, para politisi itu tak menjual programnya, tapi bagaimana menampilakan citra yang baik, dalam durasi beberapa menit. Pesan-pesan politiknya dibuat sesingkat mungkin, supaya dapat mempengaruhi kesadaran para pemilih yang mengambil kesimpulan berdasar low information rationality. Sementara itu, terkait dengan kebijakan sebagian partai politik yang menetapkan calon legislatif dari kalangan artis, banyak yang meyakini bahwa hal tersebut adalah upaya partai politik memanfaatkan popularitas yang bersangkutan untuk mendongkrak perolehan suara partai tersebut. Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa suara terbanyak menjadi dasar penetapan anggota legislatif, maka tak ayal lagi kalau popularitas dari calon yang diusung merupakan salah satu modal terbesar untuk meraup suara. Menjelang Pemilu 2009 lalu sebagian besar partai politik saling berlomba merekrut para artis menjadi calon anggota legislatif yang bertujuan mendulang suara sebesar-besarnya dengan meminjam popularitas mereka. Kualifikasi tak menjadi soal karena kompetensi, kapabilitas, dan kualitas legislator tidak dianggap penting lagi oleh partai politik. Artis hanya dijadikan magnet untuk memikat pemilih dan mengakumulasi suara dalam kontestasi Pemilu. Mereka berfungsi sebagai vote-getter semata. Tidak heran banyak artis tenar menghiasi daftar usulan caleg hampir semua partai politik. Partai politik kini bertaburan bintang sinetron dan penghibur sehingga telah berubah laksana rumah produksi tempat para artis menjalani karier profesional di dunia hiburan.
Gejala Mengkhawatirkan Perkembangan politik mutakhir ini menggambarkan setidaknya tiga gejala yang mengkhawatirkan. Pertama, sikap pragmatisme ketika partai politik berharap dapat mengumpulkan suara dalam jumlah banyak dengan menempuh cara termudah. Salah satu fungsi utama partai politik sebagai mesin politik dalam 9
proses elektoral adalah mobilisasi konstituen dengan membujuk dan meyakinkan pemilih agar bersedia menyalurkan aspirasi dan memberikan suara ke partai politik bersangkutan atas dasar visi, agenda, dan program yang cocok dengan aspirasi mereka. Namun, partai politik gagal menjalankan fungsi elementer ini sehingga mengambil jalan pragmatis dengan merekrut para artis yang menjadi idola masyarakat. Kedua, kegagalan proses kaderisasi di lingkungan partai politik yang membawa dampak negatif ganda. Rekrutmen para artis menjadi caleg berarti memotong mata rantai proses kaderisasi internal partai politik. Hal ini akan menutup peluang para kader yang sejak awal merintis dan menekuni kerja-kerja kepartaian di tingkat akar rumput. Jika kader-kader partai politik terhalang melakukan mobilitas vertikal (baca: menjadi caleg), maka akan melemahkan kerja-kerja kepartaian karena mereka merasa tak mendapat penghargaan semestinya. Dalam jangka panjang hal ini dapat memicu proses pelapukan internal, mengingat kader-kader partai politik yang jauh lebih menghayati ideologi dan memahami cita-cita perjuangan partai politik justru tersisih atau dikalahkan oleh para artis yang mendapat privilege menjadi caleg. Dalam konteks ini, partai politik tak bisa lagi dijadikan sebagai sumber rekrutmen kepemimpinan nasional karena tak mampu melakukan proses kaderisasi secara konsisten, berjenjang, dan terstruktur. Ketiga, gejala ini juga mencerminkan pemahaman yang dangkal di kalangan elite politik dan pimpinan partai politik mengenai makna dan hakikat politik, idealisasi praktik politik, tujuan, dan orientasi berpolitik. Parlemen sebagai institusi politik sebaiknya dihuni oleh orang-orang berkualifikasi yang tecermin pada kualitas, kapabilitas, dan kompetensi. Parlemen terkait-erat dengan dimensi paling fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan dan praktik kenegaraan, yakni pembuatan kebijakan publik dan legislasi. Jika orang-orang yang direkrut menjadi anggota parlemen tidak memenuhi kualifikasi, tak punya pemahaman yang baik mengenai isu-isu strategis dan permasalahan utama dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, maka sulit diharapkan DPR dapat
10
melahirkan produk kebijakan publik bermutu dan mampu menjawab aneka ragam persoalan dalam kehidupan masyarakat.
Dampak Yang Ditimbulkan Dari pemaparan di atas, terlihat jelas bahwa saat ini politik di Indonesia telah berubah menjadi industri kekuasaan yang telah pula merubah orientasi dari partai politik. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan semakin majunya teknologi ternyata turut berimbas pada dinamika partai politik di Indonesia agar tetap survive di tengah semakin ketatnya persaingan menuju kekuasaan. Fenomena yang berkembang di partai politik dalam upaya meraih simpati rakyat merupakan hal yang wajar apabila diimbangi dengan usaha melakukan pencerdasan politik kepada para konstituen dan up grading pengetahuan kepada para caleg yang diusungnya, sebab jika hal ini tidak dilakukan dengan optimal maka rakyat Indonesia sebagai penentu arah politiklah yang akan menjadi korbannya. Beberapa dampak yang dikhawatirkan akan muncul apabila pakem politik dari partai politik tidak segera dikembalikan sesuai fungsinya antara lain adalah : 1. Praktik politik tidak akan berjalan dengan baik. Semangat reformasi di bidang politik yang berupaya mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat pada akhirnya hanya sebatas jargon semata. Praktik-praktik jual beli suara, manipulasi data, black campaign, dan lainnya yang masih kerap terjadi, mengindikasikan bahwa para pelaku politik di negeri ini masih berfikir pragmatis dan instan. Setelah menjadi anggota legislatif pun sebagian dari para wakil rakyat tidak menunjukkan praktik politik yang ideal. 2. Sistem keterwakilan menjadi tidak sehat. Partai politik hanya mewakili rakyat dari segi kuantitas suara bukan dari sisi aspirasi rakyat. Setelah menjadi anggota dewan, aspirasi pemilih yang seharusnya tersalurkan melalui wakilnya sering tidak berjalan efektif.
11
3. Kualitas wakil rakyat menurun. Gencarnya iklan dan tingginya tingkat popularitas wakil rakyat, telah berhasil menutupi kekurangan wawasan calon yang bersangkutan. 4. Kualitas rumusan kebijakan menurun. Dampak dari menurunnya kualitas wakil rakyat adalah menurunnya pula kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh anggota dewan. 5. Masa depan penyelenggaraan negara terancam. Akibat dari menurunnya kualitas kebijakan yang dihasilkan oleh wakil rakyat, maka masa depan penyelenggaraan negara ini menjadi terancam, sehingga penyelenggaraan negara pada akhirnya tidak dipandang lagi (non legitimite).
Kesimpulan John Lazarus (1999) mengatakan bahwa partisipasi rakyat dalam Pemilu merupakan wujud tindakan pengorbanan seseorang demi orang lain dengan sukarela, telah muncul dalam konteks sejarah evolusi manusia dan budaya (altruisme). Bagi kaum hedonis (juga politisi), semua perilaku dimotivasi hasrat menghindari rasa sakit dan mengejar rasa senang, sehingga altruisme berkarakter egoistis. Idealnya, altruisme berkembang dengan baik dalam lingkungan masyarakat kecil yang egaliter dan interaksinya sangat kental, karena sumber daya dan lingkungannya sangat terbatas dan tidak menjadi ajang perebutan (Sumartias, 2009). Di negara-negara maju, salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan proses demokrasi dapat dilihat dari sejauh mana partai politik menjalankan perannya dalam kerangka mengartikulasikan kepentingan publik, untuk dijadikan sebagai sebuah agenda dalam proses formulasi kebijakan. Hal lain yang dapat menjadi indikator terhadap keberhasilan partai politik dalam menjalankan perannya adalah, apakah aspirasi konstituen sebagaimana yang tercermin dalam janji politiknya dapat diwujudkan. Dengan demikian, diharapkan partai politik senantiasa tampil sebagai lokomotif dalam pencerahan proses demokrasi, termasuk pengembangan pendidikan poltik dan budaya politik, yang pada akhirnya masyarakat dan elemenelemen lainnya lebih memiliki kedewasaan dalam berdemokrasi. 12
Dengan demikian sudah selayaknya segala hingar-bingar politik yang lebih mengedepankan hasil ketimbang proses ini segera di minimalisir agar dampak negatif yang akan muncul dapat di atasi. Semoga harapan akan masa depan bangsa Indonesia yang adil dan makmur dapat terwujud melalui prosesproses politik yang elegan dan dinamis serta benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA Budiardjo, Miriam. (2004). Dasar-Dasar Ilmu Politik (Cetakan ke-26). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Budi, Yohan. Fenomena Caleg Artis di Pemilu 2009, dalam www.KompasCetak.com Erwantoro, H. (1996). Bahasa Politik di Indonesia dari Hiperbol ke Eufimisme Suatu Analisis Komunikasi Politik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, POTENSIA. Fatah, Eep Saefulloh. (2008). Dari Komunikasi Politik ke Political Marketing. Makalah pada Diskusi Politk Firmanzah. (2008). Marketing Politik antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hamad, I. (2007). Political Marketing: Konsep dan Metode. Bisnis dan Birokrasi. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI Nursal, Ahmad. (2004). Political Marketing Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Setiyono, B. (2008). Iklan dan Politik. Jakarta: AdGoal.com. Sumartias, Suwandi. Politik Pencitraan Caleg. Harian Umum Pikiran Rakyat, 17 Februari 2009 Surbakti, Ramlan. (1999). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. Rakhmat, Jalaludin. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Wells, W., Burnett, J., dan Moriarty, S. (2000). Advertising Principles and Practice. New Jersey: Prentice-Hall International Inc..
13